Anda di halaman 1dari 7

TUGAS BESAR 2.

3
KEWARGANEGARAAN

MEIZY ANGGUN NINGSIH

41620110063

PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MERCUBUANA
JAKARTA
2021
1. Jelaskan landasan hukum otonomi daerah
Pelaksanaan otonomi daerah menjadi implementasi tuntutan globalisasi yang harus
diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan pada daerah dalam mengatur,
memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerah masing-masing,
sehingga akan menimbulkan keuntungan dan manfaat bagi masyarakat di daerah.
Tentunya pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia telah diatur dalam undang-undang
selaku dasar hukum otonomi daerah. UUD 1945 menjadi landasan hukum otonomi daerah yang
utama, tepatnya pada pasal 18, pasal 18A, dan pasal 18B. Selain itu otonomi daerah juga diatur
dalam berbagai Ketetapan MPR RI dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Berikut ini akan diulas apa saja landasan dan dasar hukum otonomi daerah di Indonesia
beserta penjelasannya.

UUD 1945 pasal 18 ayat 1-7


(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota
itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah
Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-
undang.
UUD 1945 pasal 18A ayat 1-2

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi.
kabupaten dan kota, atau antara provinsi dan kebupaten dan kota. di atur dengan
undang-undang.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan
secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

UUD 1945 pasal 18B ayat 1-2

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang di atur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dab sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang.

Dasar hukum Otonomi daerah lainnya :

 Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah,


Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI.
 Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
 UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
 UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah (Revisi UU No.32 Tahun 2004)
2. Bandingkan tentang urusan pembagian kewenangan pusat dan daerah
Pembagian kewenangan dalam hubungan pusat dan daerah adalah menyangkut pembagian
urusan rumah tangga atau dalam bahasa peraturan perundangan disebut dengan urusan
pemerintahan. Menurut Ni’matul Huda, pada hakikatnya urusan pemerintahan terbagi dalam dua
kelompok. Pertama, urusan pemerintahan yang sepenuhnya diselenggarakan oleh pemerintah
tanpa asas desentralisasi. Berbagai urusan pemerintahan tersebut secara eksklusif menjadi
wewenang pemerintah, baik pemerintah negara kesatuan maupun pemerintah negara federal.
Sejumlah urusan pemerintahan tersebut diselenggarakan dengan asas sentralisasi, dekonsentrasi
dan tugas pembantuan.
Kedua, meski sejumlah urusan pemerintahan lain dapat diselenggarakan dengan asas
desentralisasi, berbagai urusan pemerintahan tersebut tidak pernah secara eksklusif (sepenuhnya)
menjadi wewenang daerah otonom. Di luar dari sejumlah urusan pemerintahan yang tidak dapat
diselenggarakan oleh pemerintah sub nasional, Maddick menjelaskan bagian dari urusan
pemerintahan tersebut juga menjadi wewenang pemerintah. Sementara bagian-bagian lainnya
didesentralisasikan.
Otonomi luas biasanya bertolak dari prinsip bahwa semua urusan pemerintahan pada
dasarnya menjadi urusan rumah tangga daerah kecuali yang ditentukan sebagai urusan pusat.
Untuk menjalankan hal tersebut maka sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang dijadikan
dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilakukan dengan cara membagi
wewenang, tugas, dan tanggung jawab mengatur serta mengurus urusan pemerintahan antara
pusat dan daerah. Menyangkut pembagian kewenangan dalam urusan pemerintahan tersebut
secara konseptual dikenal tiga ajaran utama yakni ajaran rumah tangga formal, material dan
nyata (riil). Di kalangan para sarjana, istilah yang diberikan terhadap pembagian urusan antara
pusat dan daerah dalam konteks otonomi ternyata tidak sama. R. Tresna menyebut dengan istilah
“kewenangan mengatur rumah tangga”. Bagir Manan menyebut dengan istilah “sistem rumah
tangga daerah, yang didefinisikan sebagai tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi
wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat
dan daerah. Tetapi meskipun istilah yang dipergunakan berbeda, tetap berpijak pada pengertian
yang sama bahwa ajaran (formal, material, dan riil) menyangkut tatanan yang berkaitan dengan
cara pembagian wewenang tugas, dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan antara pusat dan daerah. Ajaran-ajaran rumah tangga tersebut adalah sebagai
berikut;
a. Sistem Rumah Tangga Formal (formele huishoudingsleer)
Pada sistem rumah tangga formal, pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab antara
pusat dan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu tidak ditetapkan
secara rinci. Sistem rumah tangga formal berpangkal tolak dari prinsip bahwa tidak ada
perbedaan sifat antara urusan yang diselenggarakan pusat dan yang diselenggarakan daerah. Apa
saja yang dapat diselenggarakan oleh pusat pada dasarnya dapat pula diselenggarakan oleh
daerah. Pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus suatu
urusan pemerintahan sematamata didasarkan pada keyakinan bahwa suatu urusan pemerintahan
akan lebih baik dan berhasil kalau diurus dan diatur oleh suatu pemerintahan tertentu, dan begitu
pula sebaliknya.Satu-satunya pembatasan terhadap daerah adalah bahwa daerah tidak boleh
mengatur apa yang telah diatur oleh undang-undang dan atau peraturan daerah yang lebih tinggi
tingkatannya. Apabila pihak yang lebih tinggi kemudian mengatur apa yang tadinya telah diatur
oleh daerah, maka peraturan daerah yang bersangkutan sejak itu tidak berlaku lagi.
b. Sistem Rumah Tangga Material (materiele huishoudingsleer)
Dalam sistem rumah tangga material ada pembagian wewenang tugas dan tanggung jawab
yang rinci antara pusat dan daerah. Urusan pemerintahan yang termasuk ke dalam urusan rumah
tangga daerah ditetapkan dengan pasti. Sistem rumah tangga material berpangkal tolak ada
pemikiran bahwa memang ada perbedaan mendasar antara urusan pemerintahan pusat dan
daerah. Daerah dianggap memang memiliki ruang lingkup urusan pemerintahan tersendiri yang
secara material berbeda dengan urusan pemerintahan yang diatur dan diurus oleh pusat. Lebih
lanjut system ini berangkat dari pemikiran bahwa urusan-urusan pemerintahan itu dapat dipilah-
pilah dalam berbagai lingkungan satuan pemerintahan.
c. Sistem Rumah Tangga Nyata (Riil)
Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan
pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari daerah
maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi.26 Sistem
rumah tangga ini lazim pula disebut (sistem) otonomi nyata atau otonomi riil. Disebut “nyata”,
karena isi rumah tangga daerah didasarkan kepada keadaan dan faktor-faktor yang nyata. Tresna
menyebut sistem ini mengambil jalan tengah.
Menurut Bagir Manan, memperhatikan apa yang diutarakan Tresna, terkesan bahwa cara-
cara yang terkandung dalam sistem rumah tangga formal merupakan prinsip yang lebih
diutamakan dari pada cara-cara menurut sistem rumah tangga material. Kalau kesimpulan
tersebut benar, lalu mengapa demikian dan apa tujuannya? seperti yang diutarakan di muka,
wewenang yang dirumuskan secara umum pada sistem rumah tangga formal memberikan
landasan untuk mewujudkan prinsip kebebasan dan kemandirian di dalam rumah tangga.
Sementara sistem rumah tangga material menurut Bagir Manan lebih merangsang timbulnya
ketidakpuasan daerah dan spanning hubungan antara pusat dan daerah. Jadi, sistem rumah tangga
formal mengandung dasar-dasar yang lebih kokoh untuk mewujudkan prinsip dan tujuan rumah
tangga daripada sistem material. Dalam konteks pemikiran seperti ini dapatlah dipahami apabila
sistem rumah tangga nyata meletakkan asasnya dalam sistem rumah tangga formal. Melalui
sistem rumah tangga formal yang disertai dengan unsur-unsur sistem rumah tangga material
maka otonomi dianggap dapat diwujudkan secara wajar. Dari ciri-ciri di atas maka tidaklah
berlebih-lebihan kalau dikatakan bahwa sistem rumah tangga nyata memang mencerminkan
sistem tersendiri yang berbeda dari sistem rumah tangga formal dan sistem rumah tangga
material. Sebagai jalan tengah, sistem rumah tangga nyata diharapkan dapat mengatasi kesulitan
atau kelemahan yang terkandung dalam sistem rumah tangga formal dan sistem rumah tangga
material.

3. Uraikan bagaimana keterkaitan otonomi daerah dan politik lokal


UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat-
Daerah, desentralisasi dalam konteks otonomi daerah dimanifestasikan dalam bentuk adanya
pemberian kewenangan kewenangan, tanggungjawab dan keuangan (fiskal). Transfer
kewenangan secara sempit dipahami dan dipraktikkan melalui penyerahan urusan secara luas
kepada daerah dan pemangkasan instansi vertikal (dekonsentrasi) yang dulu terdapat di daerah.
Desentralisasi keuangan diwujudkan dengan menata kembali perimbangan keuangan dan juga
memberikan kewenangan pada daerah untuk menggali dan membelanjakan sumber-sumber
keuangan daerah.
Perkembangan Otonomi daerah hakekatnya memberikan harapan yang luas pada
masyarakat untuk dapat berperan serta dalam perencanaan , pelaksanaan, dan emantauan
pembangunan untuk menyelesaikan masalah masyarakat sendiri. Berkembangnya otoda
memberikan ruang dan media yang lebih besar pada upaya peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat, kehidupan berdemokrasi, keharmonisan hubungan antara pemerintah
pusat dengan daerah, dan kondisi tersebut adalah pengukur bagi efektivitas pemda secara
keseluruhan. Bekerjanya Pemda pada dasarnya diukur dari seberapa pengakuan masyarakat
terhadap keberadaan Pemda dalam menyelesaikan maslah masyarakat.
Pemda yang efektif lahir dari suatu sistem politik yang berkembang di tingkat lokal dalam
kerangka sistem politik nasional yang baik. Secara faktual era reformasi telah memberikan
instrumen melalui adanya regulasi yang memberikan hidu dan dinamisnya praktek-praktek
kehidupan berdemokrasi. Pemilahan kepala daerah langsung, adalah salah satu bukti failitasi
terhadap amanah kehendak masyarakat. Dengan lahirnya otoda, intitusi politik tidak lagi secara
mudah melakukan dominasi politik yang melahirkan kepemimpinan otoritarian. Institusi politik
harus memiliki kemampuan untuk melakukan upaya yang dapat memberikan kepercayaan
kepada masyarakat pada upaya mencaoai tujuan kesejahteraan masyarakat baik secara lahir
maupun batin.
Desentralisasi memberikan ruang yang besar bagi lahirnya kepemerintahan atau tata
pemerintahan yang efektif. Asumsi ini telah dapat dibuktikan dengan semakin menguatnya
kepemimpinan daerah dari pilihan yang demokratis dan diikuti oleh peran serta masyarakat yang
signifikan dalam pencapaian tujuan daerah. Kepemimpinan oleh masyarakat daerah secara
langsung memberikan pengabsahan untuk memudahkan pemimpin mengetahui masalah
daerahnya dan menjadi penghubung yang tepat anatara daerah dengan pusat. Secara faktual
efektivitas pemda dapat dijabarkan dalam persepsi masyarakat terhadap keberaan Pemda.
Berikut adalah pendapat komponen masyarakat terhadap efektivitas Pemda.

Anda mungkin juga menyukai