Anda di halaman 1dari 6

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENYIMPANGAN

SEKSUAL KEPADA HEWAN

Febi Ni’matus Salsabiela

1802016082

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang

salsabiela.febi@gmail.com

Abstrak

Dalam agama Islam mengatur bagaimana cara menyalurkan hawa nafsu (seksual) dalam diri
manusia. Tidak lain tidak bukan adalah melalui jalan pernikahan, sebab perkawinan mengatur
hubungan seks yang sah dan halal diantara pria dan wanita yang mana dimaksudkan untuk
memelihara keturunan. Namun kendati demikian tidak sedikit juga yang melakukan penyimpangan
seksual yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang muslim. Diantaranya perzinaan, homoseksual,
lesbian dan gay, penyimpangan kepada hewan (bestiality), dan masih banyak lagi. Hal ini terjadi
karena adanya dorongan biologis yang tidak terkontrol dengan baik yang disebabkan kurangnya
memahami serta menjalankan ajaran agama Islam dengan baik. Kebutuhan penyaluran seksual
merupakan kebutuhan yang sifatnya naluriyah sehingga menjadikan manusia terkadang lepas control
jika tidak dibarengi dengan pemahaman agama yang kuat. Oleh karena itu, penting adanya untuk
meneliti bagaimana pandangan hukum islam mengenai penyimpangan seksual yang banyak
menimbulkan kemadharatan seperti bersetubuh dengan hewan (bestiality).

Kata kunci : kebutuhan seksual, penyimpangan seksual, bestiality

1. PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang dibekali dengan hawa nafsu dan
akal. Adanya akal digunakan untuk berfikir apakah tindakannya tersebut didasari
hawa nafsu sesaat saja atau bukan. Hawa nafsu dapat disalurkan melalui hubungan
seksual dua makhluk dengan gender yang berbeda. Hubungan seksual dapat dilakukan
oleh mereka yang telah terikat dalam suatu hubungan resmi (pernikahan). Hubungan
seksual merupakan salah satu langkah dalam mempertahankan keberlangsungan
kehidupan umat di bumi dengan menghasilkan keturunan. Hubungan seksual juga
memperhatikan kepuasan dari masing-masing pelakunya sehingga tercapainya
keharmonisan dengan pasangan. Kepuasan seksual merupakan salah satu indikator
kedekatan pasangan dalam berhubungan seksual dengan meningkatnya kualitas
komunikasi seksual, penyingkapan hubungan seksual, dan keseimbangan hubungan
seksual. Hawa nafsu dapat mempengaruhi manusia menjadi tidak terkendali.
Beberapa penyimpangan dapat terjadi akibat hawa nafsu yang berlebihan sehingga
mengakibatkan manusia menyalahi aturan yang berlaku. Sebagai contoh terjadinya
LGBT, perzinahan, homoseksual, hingga terjadinya bestiality yang merupakan
penyimpangan terhadap hewan. Penyimpangan tersebut merupakan hal yang tidak
lazim terlebih pada manusia yang dibekali dengan akal dan pikiran. Pondasi agama
yang kuat juga berpengaruh terhadap pola pikir seseorang terhadap cara mereka
mengontrol nafsu yang ada pada diri mereka.

2. TINJAUAN PUSTAKA
a. Definisi Kebutuhan Seksual
Kebutuhan seksual merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang berupa
ekspresi sebuah perasaan dari dua individu sehingga menimbulkan feedback dari
kedua individu tersebut (Potter & Perry, 2005). Kebutuhan seksual dapat
memberikan efek kepuasan apabila kedua individu melakukannya dengan rasa saling
menghargai, memperhatikan, dan menyayangi satu sama lain sehingga tidak terdapat
unsur paksaan didalamnya. Kebutuhan seksual yang terdapat unsur paksaan
didalamnya dapat menimbulkan hukum pidana pada pelakunya.
Menurut Geshgalghi (2014), kebpuasan seksual adalah sebuah bentuk
kedekatan seksual yang dapat dirasakan oleh pasangan dalam wilayah interpersonal
yang meliputi kualitas komunikasi seksual, penyingkapan hubungan seksual, dan
keseimbangan hubungan seksual. Kepuasan ini dapat dirasakan dengan adanya
sentuhan fisik dan kepuasan secara psikis dan emosi.
Sedangkan menurut Davidson (1995), kepuasan seksual didefinisikan sebagai
rasa nyaman dan puas pada kehidupan seksualnya yang terjadi secara personal dan
berhubungan dengan pengalaman seksual, harapan-harapan, dan aspirasi-aspirasi ke
depan terkait dengan hubungan seksual. Kepuasan seksual diciptakan dan dirasakan
oleh dua individu dengan memperhatikan perasaan individu tersebut satu sama lain.
Menurut Busko & Brouillard (2011), kepuasan seksual memiliki 3 (tiga) aspek
yang membentuknya. 3 aspek tersebut yaitu aspek individual, aspek, aspek. Aspek
individual sendiri terbagi menjadi sensasi seksual dan kesadaran seksual. Kemudian
aspek interpersonal yang terdiri atas pertukaran atau timbal balik sensual dan
kedekatan emosiona. Aspek behavioral merupakan aspek terakhir yang meliputi
aktivitas seksual.
Kepuasan seksual dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik dari segi
karakter individu tersebut ataupun karakter yang berkaitan dengan hal-hal diluar
jangkauan seperti dukungan sosial dan agama. Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap kepuasan seksual diantaranya sebagai faktor demografik, yaitu faktor yang
berkaitan dengan status pendidikan dan ekonomi serta umur individu tersebut.
Individu yang memiliki status pendidikan dan ekonomi yang tinggi pada umumnya
memiliki tingkat kepuasan seksual yang baik. Faktor berikutnya yaitu interpersonal
yang meliputi kepuasan relasi dan dukungan sosial. Kemudian faktor berikutnya
yaitu intrapersonal yang meliputi relijiusitas, citra diri, citra diri genital, dan fungsi
seksual.

b. Definisi Penyimpangan Seksual


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, seks merupakan jenis kelamin yang
menandakan bahwa seseorang merupakan pria atau wanita secara biologis.
Pendidikan seks hendaknya diterapkan sejak dini untuk membekali anak agar tidak
terjerumus dengan pergaulan yang salah. Para orangtua yang menganggap edukasi
seksual merupakan kebutuhan ketika dewasa merupakan suatu pendapat yang keliru.
Pada dasarnya, anak-anak saat ini dapat mengakses setiap informasi yang diinginkan
dengan mudah. Kemudahan ini lebih rawan disalahgunakan akibat informasi yang
tidak tersaring dengan baik, sehingga informasi-informasi negative sangat mudah
untuk diakses. Informasi negative ini termasuk didalamnya misscommunication
terkait pendidikan seksual sehingga memicu adanya penyimpangan seksual.
Penyimpangan seksual merupakan aktivitas seksual yang diperoleh dengan tidak
sewajarnya. Mereka menggunakan objek seks yang bukan seharusnya menjadi
partner seks.

c. Penyimpangan Seksual dalam Persperktif Teologis


Pada dasarnya laki-laki dan perempuan diciptakan dengan perbedaan, namun
perbedaan ini tidak menjadi alasan untuk saling merendahkan. Hal ini diisyaratkan
dalam QS al-Hujurat ayat 13
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dengan perbedaan fitrah ini maka islam mengaturnya dalam norma-norma yang
jelas,agar masing-masing saling melengkapi dan menghargai. Sehingga secara
teologis maka tidak ada laki-laki yang menyerupai perempuan dan sebaliknya.
Allah SWT telah menanamkan pada setiap orang potensi berkembang biak berupa
dorongan untuk berhubungan seksual. Dalam QS al-A’raf ayat 31-33, Allah SWT
menyeru pada manusia agar bersikap sewajarnya (baca: tidak berlebih-lebihan atau
tidak melampaui batas) dalam memperoleh dan menikmati kenikmatan dunia apalagi
berlaku keji untuk hal tersebut.

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah: "Siapakah yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hambahamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?"
Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah Kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang Mengetahui. Katakanlah:
"Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun
yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui."

Kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan seksual islam melegalkan


pernikahan, antara seorang laki-laki dengan perempuan dengan syariat yang berlaku.
Dengan pernikahan maka pemenuhan kebutuhan seksual menjadi ibadah dan
dihalalkan. Sebaliknya dalam islam melarang bentuk-bentuk penyimpangan seksual.
d. Bestiality
Menurut Anwar Achmad (2008) Bestiality adalah persetubuhan seksual
dengan hewan, penyebabnya karena merasa kekurangan untuk melakukan hubungan
seks dengan manusia. Hal ini dapat terjadi pada priadan wanita. Misalnya seorang
wanita yang memelihara anjing yang sangat disayanginya. Dia melatih anjingnya
untuk menjilati alat kelaminnya dan kemudian bersetubuh dengan anjing itu. Dan dia
memperoleh kepuasan atas persetubuhan tersebut. Yusuf Madani (2003) mengatakan
dari berbagai macam penyimpangan seksual diatas banyak factor yang
mempengaruhi diantaranya adalah pendidikan seks yang salah diantaranya adalah
pendidikan seks yang salah diantaranya adalah ketidaktahuan ayah tentang
pendidikan seks pada anak , rangsangan seksual yang terjadi dalam keluarga, anak
tidak terlatih meminta izin untuk masuk ke kamar orang lain dalam rumahnya,
tempat tidur orang tua yang terlalu berdekatan dengan anak, peniruan perilaku
seksual orang tua,melarang anaknya bertanya tentang seks dan masih banyak lagi.
Para ulama sepakat tentang haramnya perbuatan ini akan tetapi berbeda
pendapat dalam meberikan sanksi pidana bagi pelaku bestiality. Imam Malik dan
Imam Hambali berpendapat bahwa bestiality bukan merupakan perbuatan zina, tetapi
merupakan perbuatan maksiat yang ikenai sanksi ta’zir. Sedangkan di kalngan
mazhab Syafi’I dan Hambali terdapat dua pendapat. Pendapat yang paling kuat
adalah dari Imam Syafi’I yaitu hukuman mati.
3. METODE

4. ISI PEMBAHASAN
5. KESIMPULAN
6. SARAN
7. DAFTAR PUSTAKA
Davidson, J.K., Darling, C.A., & Norton, L. 1995. Religiosity And The Sexuality Of
Women: Sexual Behavior And Sexual Satisfaction Revisited. Journal Of Sex
Research, 32 (3), 235-243

Anda mungkin juga menyukai