Kelas : M72
Nim : 1847142026
1. )
A. Definisi UNESCO
jawab:
UNESCO memiliki anggota 191 negara. Organisasi ini bermarkas di Paris, Prancis, dengan 50
kantor wilayah serta beberapa lembaga, dan institut di seluruh dunia. UNESCO memiliki lima
program utama yang disebarluaskan melalui: pendidikan, ilmu alam, ilmu sosial, dan
manusia, budaya, serta komunikasi, dan informasi. Proyek yang disponsori oleh UNESCO
termasuk program baca-tulis, teknis, dan pelatihan guru; program ilmu internasional; proyek
sejarah regional, dan budaya, promosi keragaman budaya; kerja sama persetujuan
internasional untuk mengamankan warisan budaya, dan alam serta memelihara HAM; dan
mencoba untuk memperbaiki perbedaan digital dunia.
"Tidak harus kabupaten atau kota itu mendeklarasikan sebagai wilayah inklusi. Yang penting
bisa dipastikan di setiap kecamatan ada sekolah inklusinya," disampaikan Direktur
Pembinaan Pendidikan Khusus, Sanusi pada penutupan Rapat Koordinasi Kelompok Kerja
(pokja) Pendidikan Inklusif, di Surabaya, Minggu (14/7/2019).
Maka, melalui kebijakan zonasi pendidikan, Pemerintah berupaya lebih sigap dalam
melakukan intervensi dan afirmasi dalam meningkatkan akses dan mutu pendidikan bagi
anak-anak berkebutuhan khusus, khususnya dalam mendorong pendidikan inklusif.
"Permendikbudnya 'kan sudah jelas. Dari zonasi 80 persen itu mewajibkan kuota untuk
siswa berkebutuhan khusus dan untuk siswa miskin. Kita harapkan ini dipatuhi juga oleh
pemerintah daerah, dan kita akan dukung," kata Sanusi."Targetnya ya di setiap zona itu
minimal ada satu sekolah inklusi," imbuhnya.
Adapun peserta didik yang dimaksud dalam peraturan menteri di antaranya adalah siswa
tunanetra; tunarungu; tunawicara; tunagrahita; tunadaksa; tunalaras; berkesulitan belajar;
lamban belajar; autis; memiliki gangguan motorik; korban penyalahgunaan narkoba, obat
terlarang dan zat adiktif lainnya; serta tunaganda. "Yang namanya pendidikan khusus itu
ditanganinya secara khusus, pembiayaannya khusus, dan gurunya juga khusus," ujar Sanusi.
Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif dapat bekerja sama dan membangun
jaringan dengan satuan pendidikan khusus, perguruan tinggi, organisasi profesi, lembaga
rehabilitasi, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik terapi, dunia usaha, lembaga
swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat.
Kemendikbud berharap agar Tim Pokja Pendidikan Inklusif dapat terus menggelorakan
pentingnya pendidikan khusus di wilayah masing-masing. Berdasarkan pantauan
Kemendikbud, aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus masih perlu ditingkatkan, baik di
sekolah umum maupun yang telah menyelenggarakan pendidikan inklusif. Sanusi meminta
setiap perwakilan dapat memberikan masukan guna meningkatkan pelayanan bagi siswa
berkebutuhan khusus. "Kami minta bantuan kepada bapak dan ibu mengenai peningkatan
aksesibilitas di lingkungan sekolah-sekolah inklusi," pesannya.
Hardadi Gatot, Guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Kota Palu, Sulawesi
Tengah, yang ditugaskan dalam kegiatan pokja pendidikan inklusif mengungkapkan
pentingnya peningkatan pemahaman pemangku kepentingan di daerah mengenai
pendidikan khusus. Selain itu, koordinasi antara guru sekolah inklusi dengan dinas
pendidikan dirasa masih perlu diperbaiki. "Kami harapkan segera diterbitkan SK tim
kelompok kerja pendidikan inklusif dari Dinas Pendidikan," ujar Gatot.
Segera, menurut Sanusi, Peraturan Pemerintah (PP) mengenai akomodasi yang layak bagi
penyandang disabilitas di bidang pendidikan akan diterbitkan untuk mendorong
peningkatan pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus.
Saat ini, dengan adanya perubahan nomenklatur, seiring dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Kemendikbud tengah merancang penerbitan
Permendikbud tentang Pendidikan Khusus. "Nantinya akan mencakup di wilayah segregasi
yang ada di SLB, pendidikan inklusi, kemudian yang cerdas istimewa dan bakat istimewa,"
pungkas Sanusi. (*)
o referensi
peraturan menteri pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 70 tahun 2009 tentang
pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan /bakat istimewa
2. )
A.
Memberikan pendidikan yang berkualitas untuk semua anak merupakan tantangan yang paling berat
dan sekaligus merupakan isu sangat penting dalam dunia pendidikan. Menyadari hal ini masyarakat
dunia menyelenggarakan Konferensi Internasional di Jomtien Thailand tahun 1990 yang mempersoalkan
pendidikan dasar bagi semua anak. Puncak dari konferensi ini adalah lahirnya deklarasi tentang
Pendidikan untuk semua (Education For All). Konferensi ini menyimpulkan antara lain:
1. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan masih terbatas atau masih banyak orang yang belum
mendapat akses pendidikan. 2. Kelompok tertentu yang terpinggirkan seperti penyandang cacat
(disabled), etnis minoritas, suku terasing dan sebagainya masih terdiskriminasikan dari pendidikan
bersama. Meskipun demikian inplementasi hasil dari konferensi ini belum memuaskan, khususnya yang
terkait dengan para penyandang cacat.
2. Pernyataan Salamanca
negara.
1. organisasi-organisasi.
kebutuhan tersebut
untuk:
inklusif
Bank Dunia:
pendidikan;
dan UNICEP;
regional; juga agar berfungsi sebagai pusat penerangan bagi kegiatan-kegiatan tersebut dan agar
penyelenggaraannya.
B.
A. Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (UU tentang Penyandang Cacat),
yang kemudian dikeluarkan pula Peraturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut yaitu
Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial
Penyandang Cacat (PP tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat).
Dalam kedua peraturan tersebut yang berfungsi sebagai dasar hukum pelaksanaan pemenuhan
hak-hak penyandang cacat secara eksplisit diatur bahwa penyandang cacat mempunyai hak dan
kedudukan yang sama dengan warga negara pada umumnya dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan. Ketentuan tersebut kemudian dikukuhkan oleh UUD 1945 hasil amandemen yang
tercantum dalam Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2). Dengan diundangkannya UU tentang
Penyandang Cacat, para penyandang cacat sangat menaruh harapan besar dari undang-undang
tersebut. Undang-undang tersebut diharapkan menjadi suatu alat untuk mengeluarkan
penyandang cacat dari belenggu kerentanan dan keterbelakangan.Dalam UU tentang
Penyandang Cacat diatur mengenai pemenuhan hak, salah satunya yaitu pemenuhan hak
aksesibilitas diantaranya hak untuk dapat mengakses bangun gedung, lalu lintas dan angkutan
umum. Pemenuhan mengenai hak aksesibilitas tidak hanya diatur dalam UU tentang
Penyandang Cacat tetapi juga sudah diatur dalam UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung (UU tentang Bangunan Gedung), UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (UU tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) beserta peraturan pelaksanaanya.
Refrensi :
Irwanto, “Asupan Untuk RUU Perubahan UU No. 4 Tahun 1997”, makalah disampaikan dalam diskusi
dengan Tim Asistensi Revisi UU No. 4 Tahun 1997, Jakarta: bagian PUU Kesra, Setjen DPR RI, 11 Feb
2014.
Dalam UU ini penyelenggaraan pendidikan wajib memegang beberapa prinsip , yakni pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa dengan satu kesatuan yang
sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Selain itu dalam penyelenggaraan juga harus dalam
suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat dengan
memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam
proses pembelajaran melalui mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap
warga masyarakat memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Refrensi :
/Instrumen HAM Nasional /Tematik HAM /UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional
C. Permendiknas Nomor 70 /2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan / bakat istimewa
Jawab :
Di Indonesia pendidikan inklusi diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun
2009. Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran
dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Tujuan
dari pendidikan inklusif secara umum adalah untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada semua peserta didik untuk dapat memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya serta mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai
keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Hal ini berarti sekolah inklusi tidak
hanya sekolah yang sudah mendapatkan predikat inklusi, tetapi semua sekolah umum yang melayani
anak penyandang disabilitas, dan memenuhi kebutuhan khususnya sehingga dapat menunjang proses
belajar mengajar di sekolah tersebut. Di Indonesia, pemahaman tentang sekolah inklusi di kalangan
tenaga pendidik pun masih beragam. Ada yang memahami bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang
sudah memiliki predikat inklusi, tetapi ada juga yang memahami bahwa semua sekolah umum, yang
menerima dan memberikan pelayanan terhadap siswa penyandang disabilitas disebut sebagai sekolah
inklusi. Untuk mendapatkan persepsi yang sama dalam penelitian ini, peneliti mendefinisikan Sekolah
Inklusi sebagai semua sekolah umum yang menerima dan memberikan pelayanan kepada siswa
penyandang disabilitas, baik sekolah umum yang sudah mendapatkan predikat sebagai sekolah inklusi,
ataupun sekolah umum yang belum mendapatkan predikat sekolah inklusi.Pendidikan inklusi
merupakan alternatif bagi anak penyandang disabilitas. Dengan pelaksanaan pendidikan inklusif di
Indonesia, anak penyandang disabilitas memiliki pilihan untuk bersekolah di sekolah inklusi atau di
sekolah luar biasa. Walaupun semangat inklusif sedang menghangat, tetapi kebutuhan khusus anak
penyandang disabilitas tidak boleh diabaikan. Kebutuhan khusus tersebut harus juga mendapatkan
perhatian. Karena, tidak semua anak penyandang disabilitas mampu bersekolah di sekolah inklusi.
Sebagian dari mereka harus mendapatkan pelatihan khusus terlebih dahulu seperti speech therapy,
yang mungkin belum tersedia di Sekolah Inklusi di Indonesia. Selain itu, kemampuan siswa penyandang
disabilitas dalam bersosialisasi.
Refrensi :
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70. (2009). Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang
Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
http://peduliinklusi.blogspot.com/2009/11/permendiknas-no-70-tahun-2009 tentang.html, diakses
pada tanggal 2 Desember 2013.
3.)
B. konsep disabilitas
jawab :
Anak – anak yang memiliki kebutuhan individual yang bersifat khas tersebut dalam proses
perkembangannya memerlukan adanya layanan pendidikan khusus agar potensinya dapat
berkembang secara optimal.
B. konsep disabilitas
Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual,
mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan
efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Referensi
Kebutuhan Khusus dan Implikasinya terhadap Layanan Pendidikan. Jurnal Asesmen dan
Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus. Vol.3 No 1 (52-63)
Budiyanto. 2006. Sistem Pendidikan Inklusi berbasis Budaya Pendidikan Lokal. UPI Bandung
Referensi utama
4.)
A. aksesbilitas pembelajaran
B. aksesbilitas lingkungan fisik
Jawab :
A. Aksesibilitas adalah derajat kemudahan dicapai oleh orang, terhadap suatu objek, pelayanan
ataupun lingkungan. Kemudahan akses tersebut diimplementasikan pada bangunan gedung,
lingkungan dan fasilitas umum lainnya.
B. Aksesbitas lingkungan fisik adalah lingkungan fisik yang oleh penyandang cacat dapat
dihampiri, dimasuki atau dilewati, dan penyandang cacat itu dapat menggunakan wilayah dan
fasilitas yang terdapat di dalamnya tanpa bantuan. Aksesibilitas fisik berupa : aksesibilitas pada
bangunan umum ; aksesibilitas pada jalan umum; aksesibilitas pada pertamanan dan
pemakaman umum; aksesibilitas pada angkutan umum.
Referensi
https://mellyhandayanicyrus.wordpress.com/2015/05/16/aksesibilitas-fisik-dan-non-fisik-
dalam-setting-pendidikan-inklusif/amp/
Referensi utama
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 30/ PRT/M/ 2006 tentang pedoman teknis
fasilitas dan aksesbilitas pada bangunan gedung dan lingkungan
5.)
B. bidang-bidang kolaborasi
Jawab :
A.)
Collaborative learning atau pembelajaran kolaboratif adalah situasi dimana terdapat dua
atau lebih orang belajar atau berusaha untuk belajar sesuatu secara bersama-sama.[1] Tidak
seperti belajar sendirian, orang yang terlibat dalam collaborative learning memanfaatkan
sumber daya dan keterampilan satu sama lain (meminta informasi satu sama lain,
mengevaluasi ide-ide satu sama lain, memantau pekerjaan satu sama lain, dll).[2][3] Lebih
khusus, collaborative learning didasarkan pada model di mana pengetahuan dapat dibuat
dalam suatu populasi di mana anggotanya secara aktif berinteraksi dengan berbagi
pengalaman dan mengambil peran asimetri (berbeda).[4] Dengan kata lain, collaborative
learning mengacu pada lingkungan dan metodologi kegiatan peserta didik melakukan tugas
umum di mana setiap individu tergantung dan bertanggung jawab satu sama lain. Hl ini juga
termasuk percakapan dengan tatap muka[5] dan diskusi dengan komputer (forum online,
chat rooms, dll.).[6] Metode untuk memeriksa proses collaborative learning meliputi analisis
percakapan dan analisis wacana statistik.[7]
Collaborative learning ini sangat berakar dalam pandangan Vygotsky bahwa ada sebuah sifat
sosial yang melekat pada pembelajaran, yang tercermin melalui teorinya tentang zona
pengembangan proksimal. Sering kali, pembelajaran kolaboratif digunakan sebagai istilah umum
untuk berbagai pendekatan dalam pendidikan itu. melibatkan upaya intelektual bersama oleh
siswa atau siswa dan guru. Dengan demikian, pembelajaran kolaboratif umumnya berlangsung
ketika kelompok siswa bekerja sama untuk mencari pengertian, makna, atau solusi untuk
membuat sebuah artefak atau produk pembelajaran mereka. Lebih jauh, pembelajaran
kolaboratif yang mengubah hubungan tradisional murid-guru di kelas ini, menghasilkan
kontroversi mengenai apakah paradigma ini lebih bermanfaat daripada merugikan. Kegiatan
belajar secara kolaboratif dapat mencakup penulisan kolaboratif, proyek kelompok, pemecahan
masalah secara bersama, debat, studi tim, dan kegiatan lainnya. Pendekatan ini terkait erat
dengan pembelajaran kooperatif.
Collaborative Networked Learning adalah suatu bentuk pembelajaran kolaboratif untuk para
pembelajar dewasa mandiri. Menurut Findley (1987) " Collaborative Networked Learning (CNL)
pembelajaran yang terjadi melalui dialog elektronik antara co-learner, leaner (peserta didik),
dan para pakar yang masing-masing memegang kendali atas dirinya sendiri. Peserta didik
memiliki sebuah tujuan bersama, tergantung pada satu sama lain dan bertanggung jawab
kepada satu sama lain untuk keberhasilan mereka. CNL terjadi dalam kelompok interaktif di
mana peserta secara aktif berkomunikasi dan bernegosiasi makna satu sama lain dalam
kerangka kontekstual, dapat difasilitasi oleh seorang mentor, pelatih online atau pemimpin
kelompok. " Pada 1980-an Charles almarhum Dr A. Findley memimpin proyek Collaborative
Networked Learning di Digital Equipment Corporation di Pantai Timur Amerika Serikat. Pada
proyek Findley, dilakukan analisis kecenderungan dan dikembangkan prototipe dari lingkungan
belajar kolaboratif, yang menjadi dasar untuk mereka lebih lanjut penelitian dan pengembangan
apa yang mereka sebut Collaborative Networked Learning (CNL),
Collaborative Learning in Virtual Worlds adalah Virtual Worlds yang menurut sifatnya
diharapkan memberikan kesempatan yang sangat baik untuk pembelajaran kolaboratif.
Pertama-tama pembelajaran di dunia virtual terbatas pada pertemuan kelas dan kuliah, mirip
dengan rekan-rekan mereka dalam kehidupan nyata. Sekarang pembelajaran kolaboratif
berkembang sebagai perusahaan yang mulai memanfaatkan fitur unik yang ditawarkan oleh
ruang dunia maya - seperti kemampuan untuk merekam dan memetakan aliran ide,
menggunakan model 3D dan virtual worlds mind mapping tool.
Pembelajaran kolaboratif di lingkaran tesisdalam pendidikan tinggi adalah contoh lain dari
orang-orang yang belajar bersama. Dalam lingkaran tesis, sejumlah mahasiswa bekerja sama
dengan setidaknya satu profesor atau dosen, untuk bersama-sama melatih dan mengawasi
pekerjaan individu pada akhir proyek (sarjana atau magister misalnya). Siswa sering beralih
antara peran mereka sebagai co-supervisor dari siswa lain dan tesis mereka sendiri (termasuk
menerima pendapat dari siswa lain).
Collaborative Scripts
Collaborative scripts adalah pembuat struktur dari collaborative learning dengan membuat
peran dan menengahi interaksi demi fleksibilitas dalam dialog dan aktivitas. Collaborative scripts
digunakan pada semua kasus collaborative learning yang beberapa diantaranya lebih cocok
untuk face-to-face collaborative learning (biasanya lebih fleksibel) dan beberapa yang lain
ditujukan untuk computer-supported collaborative learning (biasanya lebih banyak batasannya).
Sebagai tambahan, terdapat dua tipe dari script: macro-script dan micro-script. Macro-script
ditujukan pada pembuatan situasi dimana interaksi yang diharapkan akan terjadi. Micro-script
dititikberatkan pada aktivitas pembelajar individual.
o Tujuan: membantu peserta (peserta didik dan guru) bekerja sama untuk terlibat dalam proses
kolaborasi yang efisien untuk mencapai tujuan tertentu.
o Aktivitas: Identifikasi kegiatan, dan kendala yang mungkin, untuk menyelesaikan kegiatan.
Kegiatan dapat mencakup meringkas, mempertanyakan, memberikan argumen, mengajukan
sebuah klaim, dll
o Sequencing: Menjelaskan harapan dari para peserta dengan menetapkan kegiatan yang harus
dilakukan dan dalam rangka apa.
o Pendistribusian Peran: Memperjelas peran individu diasumsikan akan membuat pada seluruh
aktivitas, peserta terdorong untuk mengadopsi dan mempertimbangkan berbagai perspektif.
o Tipe Representasi: representasi tekstual, grafis, atau instruksi oral secara eksplisit disajikan
kepada para peserta.
Referensi
^ Chiu, M. M. (2000). Group problem solving processes: Social interactions and individual
actions. Journal for the Theory of Social Behavior, 30, 1, 27-50.600-631.
^ Mitnik, R., Recabarren, M., Nussbaum, M., & Soto, A. (2009). Collaborative Robotic Instruction:
A Graph Teaching Experience. Computers & Education, 53(2), 330-342.
^ Chiu, M. M. (2008). Effects of argumentation on group micro-creativity. Contemporary
Educational Psychology, 33, 383 – 402.
^ Chen, G., & Chiu, M. M. (2008). Online discussion processes. Computers and Education, 50,
678 – 692.
^ Chiu, M. M., & Khoo, L. (2005). A new method for analyzing sequential processes: Dynamic
multi-level analysis. Small Group Research, 36, 600-631.
The biggest change for educators is in deciding to share the role that has traditionally been
individual: to share the goals, decisions, classroom instruction, responsibility for students,
assessment of student learning, problem solving, and classroom management. The teachers
must begin to think of it as "our" class. This Digest explores the facets of this new collaboration
between general and special education teachers.
Cooperative teaching was described in the late 1980s as "an educational approach in which
general and special educators work in co-active and coordinated fashion to jointly teach
heterogeneous groups of students in educationally integrated settings....In cooperative teaching
both general and special educators are simultaneously present in the general classroom,
maintaining joint responsibilities for specified education instruction that is to occur within that
setting" (Bauwens, Hourcade, & Friend, 1989, p. 36).
The distinctive feature of cooperative teaching, which differs from earlier approaches, is that it
is direct collaboration with the general education and special education teachers working
together in the same classroom most of the day.
An effective team of teachers will work together as equal partners in interactive relationships,
with both involved in all aspects of planning, teaching, and assessment. Areas for this
collaboration will include curricula and instruction, assessment and evaluation, and classroom
management and behavior. As one team teacher says, "the key to making co-teaching work is
joint planning. You must both know all the curriculum so that you can switch back and forth and
support each others efforts. If you don't know the curriculum you are not a co-teacher, you are
just an assistant" (Crutchfield, M. in press).
"In developing and implementing cooperative teaching, school professionals experience great
changes in the way they go about their daily work. To overcome the inevitable fears and
stresses associated with change, the educators involved must feel that they are responsible for
the change and that its success or failure lies directly with them" (Bauwens & Hourcade, 1995, p.
189).
In a collaborative model the general education and special education teachers each bring their
skills, training, and perspectives to the team. Resources are combined to strengthen teaching
and learning opportunities, methods, and effectiveness. "The one point that clearly developed
from this relationship was that both of us had expertise in many areas, and combining these
skills made both teachers more effective in meeting the needs of all students" (Dieker & Barnett,
1996, p. 7).
Typically the primary responsibility of general education teachers is to use their skills to instruct
students in curricula dictated by the school system. Typically the primary responsibility of special
education teachers is to provide instruction by adapting and developing materials to match the
learning styles, strengths, and special needs of each of their students. In special education
situations, individual learners' needs often dictate the curricula.
General educators bring content specialization, special education teachers bring assessment and
adaptation specializations. Both bring training and experience in teaching techniques and
learning processes. Their collaborative goal is that all students in their class are provided with
appropriate classroom and homework assignments so that each is learning, is challenged, and is
participating in the classroom process.
Collaboration involves commitment by the teachers who will be working together, by their
school administrators, by the school system, and by the community. It involves time, support,
resources, monitoring, and, above all, persistence. However, the biggest issue is time--time for
planning, time for development, and time for evaluating. Planning should take place at the
district and the building levels, as well as at the classroom level.
District planning helps ensure that all resources will be available, including time, money, and
professional assistance. District-level planning will take into consideration the effect change in
one place will have on other settings. Building-level planning will assist the teams in being sure
adequate support is in place to sustain new initiatives. Principals play an extremely important
leadership role in facilitating collaborative efforts by instructional personnel.
Both district- and building-level planning should provide staff development opportunities to
encourage teachers and administrators to participate in classes, workshops, seminars, and/or
professional conferences on cooperative teaching. Motivation is an important ingredient for
success, but additional skills will be needed to realize the goals teachers set for themselves and
their classes.
Planning also is a factor in selecting the students who will be part of the collaborative process. It
is important to keep natural proportions of typical students, students identified as being at risk,
and students who have been found to have disabilities. Achieving a balanced classroom is easier
at the elementary and middle school levels than at the secondary level, where a certain amount
of grouping takes place with course selection.
A major consideration is in arranging planning times for co-teachers. Co-planning must take
place at least once a week, according to studies. "Planning sessions were viewed as priorities by
both teachers; they refused to let other competing responsibilities interfere with their planning
sessions" (Walther-Thomas, Bryant, & Land, 1996, p. 260). The planning must be ongoing to
allow teachers to review progress on a regular basis, make adjustments, evaluate students, and
develop strategies to address problems either in discipline or learning.
Walther-Thomas and her colleagues (1996) found that five planning themes were identified by
co-teachers who considered themselves to be effective co-planners:
*design of learning environments for both the educators and students that require active
involvement;
*creation of learning and teaching environments in which each person's contributions are
valued;
Collaboration should also be part of teacher preparation programs. This begins with the
understanding that all teachers will be working with both typical and special needs students.
Every teacher needs to study teaching techniques, subject area(s), disability, individualization,
accommodation, and skills for collaboration in the classroom.
Time away from the classroom for consultation, professional conferences, and additional
training is vital to the success of any program. Teachers, related service providers, and
administrators will benefit from research findings on collaborative teaching, inclusion, and
related subjects.
RESULTS
Research findings on schools where collaborative teaching has been practiced indicate student
benefits for both special education students and their typical peers. Walther-Thomas and others
conducted a study of inclusion and teaming in 1996 to assess collaboration between general
education and special education staff. Improvements were attributed to more teacher time and
attention, reduced pupil-teacher ratios generally, and more opportunities for individual
assistance.
Students with disabilities developed better self images, became less critical and more motivated,
and recognized their own academic and social strengths. Their social skills improved and positive
peer relationships developed.
Low-achieving students showed academic and social skills improvements. All students gained a
greater understanding of differences and acceptance of others. All developed a stronger sense
of self, a new appreciation of their own skills and accomplishments, and all learned to value
themselves and others as unique individuals.
Staff reported professional growth, personal support, and enhanced teaching motivation.
Collaboration brought complementary professional skills to planning, preparation, and delivery
of classroom instruction.
CONCLUSION
The concepts of individualized instruction, multiple learning styles, team teaching, weekly
evaluation, and detailed planning are all of direct benefit to students. The purpose of the
collaboration is to combine expertise and meet the needs of all learners.
It is important that teachers receive preparation and classroom support. It is also important that
planning time continues to be available throughout the school year. "Most important, all
students win by being challenged by collaborating teachers who believe that they are
responsible for all children in the classroom" (Angle, 1996, p.10).
REFERENCES
References identified with an EJ or ED number have been abstracted and are in the ERIC
database. Journal articles (EJ) should be available at most research libraries; most documents
(ED) are available in microfiche collections at more than 900 locations. Documents can also be
ordered through the ERIC Document Reproduction Service (800-443-ERIC).
Angle, B. (1996). Five steps to collaborative teaching and enrichment remediation. TEACHING
Exceptional Children, 29(1), 8-10. EJ 529 434
Bauwens, J., & Hourcade, J. J. (1995). Cooperative teaching: Rebuilding the schoolhouse for all
students. Austin, TX: Pro-Ed. ED 383 130
Bauwens, J., Hourcade, J. J., & Friend, M. (1989). Cooperative teaching: A model for general and
special education integration. Remedial and Special Education, 10(2), 17-22. EJ 390 640
Crutchfield, M. (in press). Who's teaching our children? NICHCY News Digest.
Dieker, L. A., & Barnett, C. A. (1996). Effective co-teaching. TEACHING Exceptional Children,
29(1), 5-7. EJ 529 433 Friend, M. & Cook, L. (1996). Interactions. White Plains, NY: Longman.
Walther-Thomas, C. S., Bryant, M., & Land, S. (1996). Planning for effective co-teaching: The key
to successful inclusion. Remedial and Special Education, 17(4), 255-264. EJ 527 660
arti kolaborasi di dalam kewirausahaan adalah Kerja sama antara satu usaha dengan
usaha lainya menjadi 1 usaha.
Kolaborasi adalah proses dua atau lebih orang atau organisasi yang bekerja bersama
untuk menyelesaikan tugas atau mencapai tujuan.
Jawaban:
5. Meningkatkan efisiensi Lainnya
https://www.researchgate.net/publication/320878344_Bagaimana_Menginisiasi_Kolaborasi_Penelitian
Salah satu contoh strategi pembelajaran kolaboratif adalah card sort. Strategi ini digunakan
untuk mengajarkan konsep, penggolongan sifat, fakta tentang obyek, atau mengulangi
informasi. Strategi ini menguras banyak energi, sehingga tidak disarankan digunakan ketika
siswa dalam kondisi letih. Prosedurnya adalah sebagai berikut:
Berilah siswa kartu indeks yang memberikan informasi atau contoh yang cocok dengan satu atau
lebih katagori.
Mintalah siswa untuk mencari temannya dan menemukan orang yang memiliki kartu dengan
katagori yang sama.
Biarkan siswa yang kartu katagorinya sama menyajikan sendiri kepada yang lainnya.
Selagi masing-masing katagori dipresentasikan, buatlah point dari pembelajaran tersebut yang
dirasakan penting.
o Referensi:
Ketika seorang individu (baca: guru) menerapkan filosofi ini ke dalam kelas, keluarga
atau komunitas kelompok lainnya untuk kepentingan pembelajaran maka itulah yang
disebut pembelajaran kolaboratif. Jadi, pembelajaran kolaboratif pada dasarnya adalah
sebuah filosofi personal, dan bukan hanya sekedar teknik dalam pembelajaran di kelas
(Ted Panitz , 1996).
o Referensi
https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2013/05/06/pembelajaran-kolaboratif-dan-
pembelajaran-kooperatif/amp/
Referensi Utama
ERIC Digest. Washington DC: ERIC Clearinghouse on teaching And Teacher education.