Anda di halaman 1dari 32

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyajikan Karya Tulis Ilmiah yang
berjudul “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan
Masyarakat Tentang Penyakit Kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Muara
Sabak Timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur2021”.
Dalam Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis banyak mendapatkan
arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali
ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Yth:
1. Bapak Dr. I. Nyoman El, selaku Ketua Yayasan Pelita Nusantara
Adiwangsan , yang telah menyediakan fasilitas-fasilitas pengajaran
sehingga dapat memperlancar proses belajar mengajar di Universitas
Adiwangsa Jambi.
2. Bapak Seno Aji , S.Pd.,M.Eng,pract selaku Rektor Universitas Adiwangsa
Jambi.
3. Ibu Subang Aini Nasution, SKM.,M.Kes selaku ketua Dekan Fakultas
Kesehatan dan Farmasi Universitas Adiwangsa Jambi.
4. Bapak Ns. Oril Ardianto, S.Kep.,M.Kep selaku ketua Program Studi D III
Keperawatan Universitas Adiwangsan Jambi yang telah membantu selama
perkuliahan.
5. Ibu Nurhayati, S.Kep.,M.Kep selaku pembimbing yang telah banyak
memberikan arahan,bimbingan, dan dorongan dalam penyusunan Karya
Tulis Ilmiah ini.
6. Orang tua serta keluarga besar penulis yang sangat penulis cintai, terima
kasih atas do’a dan dorongan semangat, pengorbanan, dan kepercayaan
yang telah diberikan selama ini
7. Teman-teman seperjuangan dalam suka dan duka atas semua dukungan
dan kebersamaannya selama ini.
Dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini penulis menyadari masih
banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
kritikan dan saran yang sifatnya membangun dalam rangka perbaikan Karya Tulis
Ilmiah ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga Karya Tulis
Ilmiah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi perkembangan ilmu keperawatan
dan untuk semua pihak yang memerlukannya.

Jambi, 2021

Nur Oktaviani
DAFTAR ISI
DAFTAR BAGAN
DAFTAR TABEL
DAFTAR ISTILAH
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit lepra merupakan disebabkan dari bakteri Mycobacterium
Leprae, diserang pada area kulit, tepi saraf maupun jaringan tubuh lainnya.
( Abdillah , 2016 ).
Kusta atau lepra telah dikenal hampir 2000 tahun sebelum Masehi. Penyakit ini
merupakan salah satu Neglected Tropical Disease (NTD). Kusta merupakan suatu
penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri; Mycobacterium leprae. Penyakit
ini menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf, kulit, dan mukosa saluran
pernafasan atas ( World Health Organization 2019)
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami peningkatan kasus baru
kusta setiap tahunnya. Hal ini menjadikan Indonesia menduduki peringkat ketiga
di dunia setelah India dan Brazil sebagai negara dengan jumlah kasus kusta
tertinggi. Pravelensi kusta di Indonesia sebesar 0.70 kasus/10.000 penduduk dan
angka penemuan kasus baru (NCDR) sebesar 8.08 kasus/10.000 penduduk pada
tahun 2017. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia 2015-2017 Kementerian
Kesehatan RI, semua provinsi di Sulawesi, Maluku, dan Papua merupakan
provinisi dengan angka penemuan kasus baru yang tinggi(jumlah kasus baru lebih
dari 1.000). Jawa timur sebagai satu-satunya provinsi di wilayah barat Indonesia
yang memiliki jumlah kasus baru yang paling tinggi pad tahun 2015-2016
(Kementerian Kesehatan, 2018)
Berdasarkan data yang di dapatkan dari Dinas Kesehatan Provinsi Jambi,
mengenai hasil yang ditemukan kasus kusta sebanyak 90 orang yang tersebar di
seluruh Kabupaten yang ada di Provinsi Jambi. Kasus kusta yang ditemukan
sebagian besar merupakan kusta jenis MB (Multi Basiler) sebanyak 79 orang dan
sebagian lagi jenis kusta PB (Pausi Basiler) sebanyak 11orang.
Angka prevalensi kusta di Jambi pada tahun 2017 adalah 1,14 per 1.000.000.
penduduk dan meningkat pada tahun 2019 menjadi 4,41 per 1.000.000 penduduk.
Dari 11 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jambi, Jumlah kasus kusta
terbanyak yakni di Kaupaten Tanjung Jabung Timur dengan jumlah kasus yakni
49 orang. Selanjutnya
Berdasarkan data yang di dapatkan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tanjung
Jabung Timur Tahun 2020 diketahui bahwa dari 17 Puskesmas yang ada
diwilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Puskesmas yang terdapat kasus
kusta tertinggi di wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Timur Kabupaten
Tanjung Jabung Timur yakni dengan jumlah 22 kasus.
Berdasarkan permasalah diatas, maka peneliti melakukan
penelitian mengenai “ Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan
Masyarakat tentang Penyakit Kusta di Puskesmas Wilayah Kerja Muara Sabak
Timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur 2021.

1.2 RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yaitu penelitian ini
adalah”Bagaimana Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Tingkat
Pengetahuan Masyarakat di Wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Timur
Kabupaten Tanjung Jabung Timur”?
1.3Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahui Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Tingkat Pengetahuan
Masyarakat Tentang Penyakit Kust di Wilayah kerja Puskesmas Muara
Sabak Timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2021.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahui gambaran Pendidikan Kesehatan Terhadap Tingkat
Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Kusta di Wilayah
kerja Puskesmas Muara Sabak Timur Kabupaten Tanjung Jabung
Timur tahun 2021.
b. Diketahui gambaran Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap
Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Kusta di
Wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Timur Kabupaten
Tanjung Jabung Timur tahun 2021.
c. Diketahui gambaran Pengetahuan Pendidikan Kesehatan
Terhadap Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang penyakit
Kusta di Wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Timur
Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2021.
1.4 Manfaat Penelitian

Sebagai bahan acuan untuk peneliti lebih lanjut dalam pemberian


pendidikan kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat
tentang penyakit kusta.

1. Bagimasyarakat
Memberi masukan kepada masyarakat mengenai informasi tentang
penyakit kusta dilakukan oleh petugas kesehatan sehingga masyarakat
yang berada di Wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Timur Kabupaten
Tanjung Jabung Timur dapat mengetahui tentang penyakit kusta dan agar
dapat mencegah penularan penyakit kusta khususnya di lingkungan
Puskesmas Wilayah kerja.

2. Bagipeneliti
Menambah pengetahuan,wawasan serta dapat membagikan ilmu yang
bermanfaat tentang penyakit kusta.

3. Bagiinstitusi
Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas
pendidikan keperawatan, khususnya dalam pemberian peningkatan
pendidikan kesehatan tentang penyakit kusta.

1.5 Ruang Lingkup Peneltian


Penelitian ini merupakan penelitian pre eksperimen dengan one group design
yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan terhadap
pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta di Puskesmas Wilayah Kerja
Muara Sabak Timur Tahun 2021. Populasi dalam penelitian ini sebanyak
Di Puskesmas Wilayah Kerja Muara Sabak Timur Kabupaten Tanjung Jabung
Timur. Teknik pengambilan sampel yaitu total sampling, Pengumpulan data
dengan kuesioner. Penelitian ini dilakukan . Analisi data yang digunakan adalah
analisi univariat dan bivariate dengan uji t- dependent.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kusta
2.1.1 Pengertian
Berdasarkan World Health Organization/WHO (2019) Kusta atau lepra telah
dikenal hampir 2000 tahun sebelum Masehi. Penyakit ini merupakan salah satu
contoh Neglected Tropical Disease (NTD) Kusta merupakan suatu penyakit
infeksius yang disebabkan oleh bakteri; Mycobacterium leprae. Penyakit ini
menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf, kulit, dan mukosaluran
pernafasan atas.
Penyakit kusta merupakan penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium Leprae) yang menyerang saraf tepi , kulit dan
jaringan tubuh lainnya. Penyakit ini sering kali menimbulkan masalah yang sangat
kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi melua
sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, kemajuan dan ketahanan nasional.
Penyakit kusta bukan penyakit keturunan atau kutukan tuhan. Penatalaksanaan
kasus yang buruk dapat menyebabkan Kusta menjadi progresif, menyebabkan
kerusakan permanen pada kulit, saraf , anggota gerak dan mata
(Profil Kesehatan Provinisi Jambi 2019).
Kusta merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
Leprae. Kusta dikenal dengan “The Great ImitatcDisease” karena penyakit ini
sering sekali tidak disadari karena memiliki gejala yang hampir mirip dengan
penyakit kulit lainnya. Hal ini juga disebabkan oleh bakteri kusta sendiri
mengalami proses pembelahan yang cukup lama yaitu 2-3 minggu dan memiliki
masa inkubasi 2-5 tahun bahkan lebih (Kemenkes RI,2018).
Dari seluruh definisi penyakit kusta yang ditemukan di atas dapat disimpulkan
bahwa penyakit kusta merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium Leprae. Penyakit ini menyerang berbagai bagian tubuh
diantaranya saraf, kulit, mukosa saluran pernafasan atas, anggota gerak dan mata.

2.1.2 Etiologi
Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobacterium leprae dimana untuk pertama kali
ditemukan oleh G.H Armauer Hansen pada tahun 1873.M.Leparae hidup
intraseluler dan mem punyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell) dan
sel dari sistem retikulo endotelial. Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3
minggu.Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari sekret
nassal dapat bertahan sampai 9 hari.Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta
pada tikus adalah pada suhu 27-30٥C. (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
2.1.3 Cara Penluaran
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini dianggap sebagai sumber penularan
walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan pada telapak
kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thimus (Athmic nude mouse).
(Kementerian Kesehatan RI, 2018)
2.1.4 Jenis Klasifikasi
Penyakit kusta diklasifikasikan menjadi beberapa macam diantaranya yaitu
klasifikasi berdasarkan WHO (1998). Klasifikasi Madrid, Klasifikasi Ridley-
Jopling dan klasifikasi New IAL. Klasifikasi ini ditentukan berdasarkan pada
tingkat kekebalan tubuh (seluler), gambaran klinis, hasil pemeriksaan BTA dan
juga berdasarkan jumlah kuman yang masuk. Klasifikasi ini berguna
untukmenentukan regimen pengobatan, prognosis dan komplikasi (Ditjen P2P ,
Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Klasifikasi berdasarkan WHO (1998) mengklasifikasikan kusta ada 2 macam
yaitu kusta tipe Pausibasiler (PB) dan kusta tipe Multibasiler (MB). Kusta tipe
Pausibasiler (PB) atau yang sering juga disebut dengan kusta tipe kering memiliki
ciri-ciri yaitu jumlah bercak kusta 1 hingga 5 tempat, berwarna putih menyerupai
panu, mati rasa , tampak kering dan kasar namun tidak berkeringat, bulu pada
kulit tidak tumbuh, adanya kerusakan saraf di satu tempat dan pengujian BTA
negatif. Kusta tipe ini bersifat tidak menular (Kementerian Kesehatan RI, 2018).

Sedangkan kusta tipe Multibasiler (MB) atau yang biasa disebut dengan kusta
basah ysitu ditandai dengan adanya bercak kusta lebih 5 tempat, pada bercak
terdapat penebalan yang diikuti dengan kerusakan saraf tepi yang banyak, serta
hasil pengujian BTA positif. Tipe kusta multibasiler sangat mudah terjadi
penuluran (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
1. Tipe Tuberculoid leprosy (TT) atau Pausibasiler (PB). Hampir
sama dengan tipe Tuberculoid (T) pada klasifikasi Madrid. Tipe ini
ditandai dengan adanya lesi yang berbatas tegas yang muncul saat
imunitas penjamu masih dalam keadaan baik, Pada tipe ini juga
sudah terjadi penurunan fungsi dari sensitivitas termal dan adanya
rasa nyesi saat disentuh.
2. Tipe Borderline tuberculoid leprosy (BT) ditandai dengan adanya
lesi yang banyak jika dibandingkan dengan tipe Tuberculoid (T).
Lesi berupa infiltrat eritematosa, batas tegas, dan asimentris.
Fungsi saraf juga masih terlihat kurang jelas dan mycobacteria
yang dapat dideteksi hanya sedikit.
3. Tipe Bordeline-borderline leprosy (BB) ditandai dengan adanya
peningkatan jumlah lesi. Lesi tersebar simentros yang
menunjukkan tipe Tuberculoid dan Lepromatosa. Pada tipe ini
banyak bakteri yang dapat terdeteksi.
4. Tipe Borderline lepromatous leprosy (BL) ditandai dengan
banyaknya makula,lesi yang tidak berbatas tegas, hipopigmentasi
dan infiltrasi plak. Lesi pada umumnya menyebar secara simentris
dan adanya keterbatasan saraf perifer yang luas.
5. Tipe Lepromatous (LL) atau Multibasiler(MB), hampir sama
dengan tipe Lepromatous (L) pada klasifikasi Madrid. Tipe ini
sering terjadi pada individu yang memiliki masalah pada imunitas.
Gejala klinis ditandai dengan beberapa infiltrat nodular berwarna
merah kecoklatan. Lesi yang berbentuk seperti bantal yang disebut
dengan “fasies lenine”.

Klasifikasi New IAL.Tipe klasifikasi ini terdiri dari Lepromatous (L), Borderline
(B), Tuberculoid (T), Indeterminate (I) dan Polyneuritic (P).
2.1.5 Tanda-tanda penyakit Kusta
Ada beberapa tanda-tanda pada tersangka (suspek) dan positif penyakit Kusta.
Ada yang tidak nampak jelas, terjadi sangat lambat dan tergantung dari tingkat
atautipe dari penyakit Kusta tersebut yaitu :
Tanda-tanda pada kulit :
1. Adanya bercak tipis berwarna merah atau putih seperti panu pada bagian
tubuh manusia .(hal ini yang kadang dianggap biasa oleh penduduk)
2. Awalnya bercak putih ini hanya sedikit ukuran bercak dan jumlahnya,
tetapi lama-lama bercak tersebut semakin melebar dan banyak
3. Adanya pelebaran / pembesaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris,
madianus, aulicularis magnus serta peroneus, yang biasanya terjadi pada
daerah siki dan lutut.
4. Beberapa kelenjar keringat kurang bekerja secara normal sehingga kulit
tampak tipis dan mengkilap.
5. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit.
6. Kehilangan alis dan bulu mata / mengalami kerontokan atau tidak
berambut,
7. Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat.
8. Lepuh tidak nyeri.
Tanda-tanda pada syaraf :
1. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka.
2. Gangguan gerak pada anggota badan atau bagian muka.
3. Adanya cacar (deformitas)
4. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.

2.1.6 Gejala penyakit Kusta


Gejala Kusta juga tidak nampak jelas dan berjalan sangat lambat.Bahkan, gejala
Kusta baru dirasakan 20 tahun setelah Mycobacterium Leprae berkembang
biak dalam tubuh penderita. Beberapa gejalanya seperti :
1. Merasakan mati rasa, baik sensasi terhadap perubahan suhu, sentuhan,
tekanan ataupun rasa sakit pada bagian bercak berwarna putih.
2. Muncul lesi berwarna pucat dan menebal pada kulit yang bercak.
3. Muncul luka pada bercak putih tetapi tidak terasa sakit.
4. Pembesaran saraf yang biasanya terjadi pada daerah siki dan lutut.
5. Merasakan kelemahan otot hingga kelumpuhan, terutama pada otot kaki
dan tangan.
6. Kehilangan alis dan bulu mata.
7. Mata menjadikering dan jarang mengedip hingga dapat menimbulkan
kebutaan.
8. Hilangnya jari jemari.
9. Kerusakan pada bentuk hidung, yang dapat menimbulkan mimisan, hidung
tersumbat atau kehilangan tulang hidung.
(Siswanto, dkk 2020).

2.1.7 Pemeriksaan Klinis


Pemeriksaan ini dilakukan untuk menerka seseorang yang dicurigai kusta yang
harus dilakukan :
1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik yaitu :
a. Pemeriksaan kulit
b. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya

Untuk diagnosis secara lengkap selain pemeriksaan klinis juga dilakukan


pemeriksaan tambahan bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan,
yaitu :
1. Pemeriksaan bakteriologis
2. Pemeriksaan histopatologis
3. Imunolog
(Siswanto, dkk 2020)

2.1.8 Pencegahan Penyakit Kusta


Upaya pencegahan penyakit kusta dibedakan menjadi tiga
macam apabila ditinjau dari segi epidemiologi (Masriadi, 2017), yaitu :
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer yaitu pencegahan pada tingkat pertama melalui
pengendalian faktor penyebab dan faktor risiko penyakit yang
bertujuan untuk mengurangi jumlah penyakit.Tindakan dilakukan
pada sekelompok orang sehat yang belum terkena kusta namun
memiliki resiko terkena sebab berada di sekitar atau bahkan dekat
dengan orang yang menderita kusta. Adapun pencegahan primer
dapat dilakukan melalui beberapa hal, yaitu :
Promosi Kesehatan. Kegiatan promosi kesehatan dilakukan
melalui kegiatan penyuluhan terkait halyang berkaitan dengan
kusta seperti cara penularan, pencegahan dan pengobatannya.
Penyuluhan dilaksanakan oleh petugas kesehatan yang memiliki
tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, kemauan dan
kemampuan masyarakat agar dapat meningkatkan dan memelihara
kesehatan dari penyakit kusta. Adapun sasaran dalam promosi
kesehatan penyakit kusta yaitu keluarga penderita, tetangga dan
masyarakat tempat edemis kusta (Masriadi, 2017).
Pemberian vaksinasi.Vaksin BCG merupakan suatu vaksin yang
berguna untuk meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit
BCG, tetapi juga menunjukkan adanya perlindungan terhadap-
penyakit kusta. Vaksinasi BCG ini dapat menjadi salah satu cara
untuk memutus rantai penularan kusta.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan melaui early diagnosis
(diagnosis dini) dan prompt treatment(pemberian pengobatan),
yaitu :
a. Early diagnosis (diagnosis dini). Diagnosis dini terhadap
kusta yaitu melalui pemeriksaan kulit dan saraf tepi beserta
fungsinya yang dilakukan oleh petugas kesehatan
(Masriadi,2017).
b. Prompt treatment (pemberian pengobatan). Obat yang
diberikan kepada pasien kusta meliputi DDS
(diaminodifesulfon), rifampisin, klofazimin, prednisone,
sulfat ferrous dan vitamin A. Adapun pengobatan lain yang
dilakukan yaitu berups penggabungan antara rifampicin dan
ofloxacindan minocyclinec yang biasa disebut MDA (Multi
Drug Therapy) yang diberikan sesuai dengan tipe kusta dan
umur penderita. Penderita harus menjalani pengobatan
sescara teratur hingga 6 bulan untuk tipe PB dan 12 biulan
untuk tipe MB (Masriadi,2017).
Pengobatan penderita kusta bertujuan untuk menyembuhkan
penderita, memutuskan rantai penularan dan mencegah
kecacatan bertambah parah. Pemberian pengobatan sangat
diperlukan pada penderita kusta, khususnya kusta tipe
multibasiler, dikarenakantipe ini sangat mudah untuk
menularkan penyakit kusta kepada orang lain (Paramita, D.M.,
2017).
3. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah orang yang telah
menderita kusta mengalami kecacatan dan komplikasi yang
semakin parah. Pencegahan tersier terhadap penyakit kusta terdiri
dari rehabilitasi medik, rehabilitasi nonmedik, rehabilitasi mental,
rehabilitasi karya, dan rehabilitasi sosial, yaitu (Masriadi,2017) :
a. Rehabilitasi medik
Rehabilitasi medik berguna untuk mencegah kecacatan
sejak dini yang diikuti dengan perawatan yang baik dan
benar yang dilakukan sejak diagnosis awal ditegakkan.
Untuk hasil yang optimal, diperlukan rehabilitasi medik
yang terpadu , seperti pengobatan psikoterapi, fisioterapi,
perawatan luka ataupun pemberian akat bantu lainnya.
Rehabilitasi medk dan juga rehabilitasi sosial merupakan
kesatuan rehabilitasi yang harus diberikan kepada penderita
kusta yang disebut dengan rehabilitasi paripurna.
b. Rehabilitasi nonmedik
Penyakit kusta sering digambarkan dengan cacat fisik yang
menimbulkan perasaan takut dan jijik bagi orang yang
melihatnya, sehingga dapat menimbulkan masalah yang
kompleks bagi penderita, keluarga dan masyarakat.
Terkadang masalah psikososial pada penderita lebih besar
daripada masalah medisnya. Pengobatan secara paripurna
diperlukan untuk mencapai kemandirian dalam hidup
bermasyarakat bagi penderita.
c. Rehabilitasi mental
Penyuluhan kesehatan dalam bentuk dukungan mental dan
pemberian informasi terkait kusta harus diusahakan secepat
mungkin dilakukan kepada penderita, keluarga dan
masyarakat sekitarnya.
d. Rehabilitasi karya
Rehablitasi karya berguna agar orang yang telah mengalami
kecacatan dapat bekerja seperti dahulu atau dapat belajar
jenis pekerjaan baru yang sesuai dengan kemampuan
penderita.
e. Rehabilitasi sosial
Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memperbaiki
dukungan sosial penderita kusta. Pencapaian rehabilitasi
sosial tentunya tidak luput dari bantuan dan peranan
keluarga dan masyarakat yang ada disekitarnya.

2.1.9 Pengobatan Penderita Kusta


Pengobatan penderita kusta yaitu dengan menggunakan Multi
Drug Therapy (MDT), MDT yaitu campuran dua atau lebih obat
anti kusta, ada yang bersifat bakteriostatik seperti obat kusta
lainnya. MDT memiliki 4 macam blister yang digolongkan
berdasarkan umur penderita dan tipe kusta, yaitu PB dewasa, PB
anak, MB dewasa dan MB anak (Kementerian Kesehatan RI,
2019).
a. Pengobatan penderita kusta tipe pansibasiler
(PB), Pengobatan kusta untuk tipe PB
ditinjaukan kepada penderita sesuai golongan
umur. Setiap satu blister diminum untuk 28 hari,
sehingga setiap penderita harus meminum 6
blister selama 6 bulan.
b. Pengobatan penderita kusta tipe multibasiler
(MB), Pengobatan kusta untuk tipe MB
ditunjukan kepada penderita sesuai dengan
golongan umur. Setiap satu basiler diminum
untuk 28 hari, sehingga setiap penderita harus
meminum 12 blister selama 12 bulan.

Penderita kusta dapat berhenti minum obat apabila telah


menyelesaikan seluruh pengobatan MDT sesuai dengan peraturan
dan dinyatakan sebagai Release From Treatment (RFT). Artinya
penderita kusta sudah dianggap sembuh dan tidak perlu lagi
minum obat MDT.
Pasien kusta dikatakan Drop Out (DO) jika pasien dengan tipe PB
tidak meminum obat sejumlah 4 dosis yang telah ditetapkam,
sedangkan untuk penderita kusta dengan tipe MB yaitu jika tidak
meminum obat sebanyak 12 dosis dari dosisi yang telah
ditetapkan. Adapun hal yang penting dilihat saat penyusunan obat
MDT yaitu efek samping, efek terapeutik, ketersediaan obat dan
harganya. Diagnosa dini dan pengobatan secarab teratur dengan
MDT dapat mencegah kecacatan pada penderita kusta
(Wewengkang, K., dkk, 2016).
Apabila penderita tidak teratur meminum obat, maka
bisa saja kuman menjadi resisten terhadap obat MDT. Dampak
yang ditimbulkan yaitu gejala akantidak berkurang bahkan bisa
menjadi lebih buruk (Firsdaus, F .. 2019).
Adapun tujuan pengobatan MDT pada kusta tipe PB dan MB
yaitu (Kementerian Kesehatan RI, 2018) :
1. Memutuskan mata rantai penularan penyakit kusta
2. Mencegah penderita terhadap resistensi obat
3. Memperpendek durasi pengobatan
4. Menjadikan penderita lebih teratur berobat
5. Mencegah kecacatan atau kepatuhan penyakit
2.3 Pendidikan Kesehatan
2.3.1 Pengertian
Pendidikan kesehatan adalah pemberdayaan masyarakat sebagai upaya untuk
membangkitkan daya sehingga mampu memelihara serta meningkatkan kesehatan
sendiri. Pendidikan kesehatan berfungsi membangkitkan keinsyafan dalam
masyarakat tentang aspek-aspek kerugian kesehatan lingkungan dan sumber-
sumber sosial penyakit, yang secara ideal diikuti dengan keterlibatan masyarakat
dengan giat. Pendidikan kesehatan membantu orang mengontrol kesehatan mereka
sendiri dengan mempengaruhi, memungkinkan, dan menguatkan keputusan atau
tindakan sesuai dengan nilai dan tujuan mereka sendiri, pendidikan kesehatan
dilandasi oleh motivasi, dengan mengubah tiga faktor penentu perilaku, yaitu
sikap, pengaruh social, dan kemampuan komunikasi.
Notoatmodjo, (2018)
Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok atau masyarakat, sehingga
mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan, yang tersirat
dalam pendidikan adalah: input adalah sasaran pendidikan (individu, kelompok,
masyarakat), pendidik adalah (pelaku pendidikan), proses adalah (upaya yang
direncanakan untuk mempengaruhi oranglain), output adalah (melakukan apa
yang diharapkan atau perilaku)
Notoatmodjo,(2018).
2.3.2 Tujuan Pendidikan Kesehatan
Tujuan pendidikan kesehatan adalah suatu perubahan skap dan tingkah laku
individu, keluarga, kelompok khusus, dan masyarakat dalam membina serta
memelihara perilaku hidup sehat juga berperan aktif dalam mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal. Notoatmodjo, (2018).

2.3.3 Faktor yang mempengaruhi pendidikan kesehatan


Menurut Green dalam Notoatmodjo (2018), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi keberhasilan promosi kesehatan dalam melakukan pendidikan
kesehatan diantarannya yaitu:
1. Promosi kesehatan dalam faktor-faktor presdisposisi
Promosi kesehatan bertujuan untuk mengunggah kesadaran, memberikan
atau meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pemeliharan dan
peningkatan kesehatan bagi dirinya sendiri, keluarganya maupun
masyarakat. Disamping itu, dalam konteks promosi kesehatan juga
menberikan pengertian tentang tradisi kepercayaan dan sebagainnya, baik
yang merugikan maupun menguntungkan kesehatan. Bentuk promosi ini
dilakukan dengan penyuluhan, pameran, iklan layanan kesehatan dan
sebagainya.
2. Promosi kesehatan dalam faktor enabling (prnguat)
Bentuk promosi kesehatan dilakukan agar dapat memberdayakan
masyarakat dan mampu mengadakan sarana dan prasarana kesehatan
dengan cara bantuan teknik, memberikan arahan, dan car-cara mencari
dana untuk pengadaan sarana dan prsarana.
3. Promosi kesehatan dalam faktor reinforcing (pemungkin)
Promosi kesehatan ini ditunjukkan untuk mengadakan pelatihan bagi
tokoh agama, tokoh masyarakat, dan petugas kesehatan sendiri dengan
tujuan agar sikap dan perilaku petugas dapat menjadi teladan, contoh atau
acuan bagi masyarakat tentang hidup sehat.

2.4 Model pendidikan kesehatan


Menurut Notoatmodjo (2018) media pendidikan kesehatan adalah saluran
komunikasi yang dipakai untuk mengirimkan pesan kesehatan. Media terbagi
menjadi dua yaitu :

1. Media cetak yang terdiri dari :


a. Leaflet : penyampaian pesan melalui lembar yang di lipat yang
biasanya berisi gambar atau tulisan.
b. Booklet : untuk menyampaikan pesan dalam bentuk tulisan
maupun gambar, biasanya sasarannya masyarakat yang bias
membaca.
c. Flyer (selebaran) : seperti leaflet tetapi tidak berbentuk lipatan.
d. Flip chart (lembar balik) : informasi yang berbentuk lembar
balik dan berbentuk buku.
e. Poster : berbentuk media cetak berisi pesan-pesan biasanya di
tempel di tembok-tembok tempat umum.
2. Media elektronik yang terdiri dari :
a. Televisi : dalam bentuk ceramah di TV, sinetron, dan forum
diskusi tanya jawab dan lain sebagainya.
b. Radio : bisa dalam bentuk ceramah dan lain sebagainya
c. Slide : sebagai sarana informasi.

2.4 Pengetahuan
2.4.1 Pengertian
Notoatmodjo, (2018) mengatakan pengetahuan merupakan hasil
tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap
obyek tertentu. Pengindraan panca indra manusia yaitu indera
pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga,
yaitu proses melihat dan mendengar. Selain itu proses pengalaman
dan proses belajar dalam pendidikan formal maupun informal.
Seokanto (2017) mengatakan pengetahuan merupakan hasil dari
tahu, merupakan dominan yang penting dalam membentuk
tindakan seseorang (over behavior). Proses kognitif meliputi
ingatan, persepsi, simbol-simbol penalaran dan pemecahan
persoalan. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, pengetahuan
adalah segala sesuatu yang diketahui yang berkenaan dengan
sesuatu hal.
2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut
Notoatmodjo (2018) adalah :
1. Sosial ekonomi
Lingkungan sosial akan mendukung tingginnya pengetahuan
seseorang bila ekonomi baik, tingkat pendidikan maka tingkat
pengetahuan akan tinggi pula
2. Kultur (budaya dan agama)
Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan
seseorang karena informasinya yang baru akan disaring sesuai
atau tidaknya dengan budaya yang ada apapun agama yang
dianut
3. Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan maka akan mudah menerima hal
baru dan akan mudah menyesuaikan dengan hal baru tersebut
4. Pengalaman
Pengalaman disini berkaitan dengan umur, dan pendidikan
individu. Pendidikanyang tinngi, maka pengalaman akan lebih
laus, sedangkan semakin tua umur seseorang maka pengalaman
akan semakin banyak.
2.4.3 Tingkat Pengetahuan
Tingkat pengetahuan adalah tingkat seberapa kedalaman seorang dapat
menghadapi, mendalami, memperdalam perhatian seperti sebagaimana manusia
menyelesaikan masalah tentang konsep-konsep baru dan kemampuan dalam
belajar dalam kelas.
Untuk mengukur tingkat pengetahuan seseorang secara rinci terdiri dari enam
tingkatan :
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu yang dipelajari sebelumnya, Termasuk
kedalaman pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu
spesifik dari sesuatu bahan yang diterima atau pelajari.

2. Memahami (comprehension)
Kemampuan untuk menjelaskan tentang obyek yang diketahui dan
menginterprestasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada suatu konsisi atau situasi nyata.

4. Analisi (analysis)
Kemampuan untuk menjabarkan materi kedalam komponen-komponen, tetapi
masih dalam suatu struktur tersebut danmasih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (synthesis)
Kemampuan melakukan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu
bentuk keseluruhan yang baru. Atau menyusun formulasi baru dari formulasi yang
ada.

6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi/penilaian terhadap
suatu materi/obyek.

2.4.4 Kriteria tingkat pengetahuan


Menurut Notoadmodjo, (2018) pengetahuan seseorang dapat
diketahui dan diinterprestasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu :
1. Baik : hasil presentase 76% - 100%
2. Cukup : hasil presentase 56% - 75%
3. Kurang : hasil presentase >56%

2.5 Kerangka Teori


Kerangka teori dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Bagan 2.1
Kerangka Teori

Faktor Predisposisi :
1. Pengetahuan
2. Kepercayaan
3. Nilai

Faktor Pemungkin :
Penyakit
1. Sarana dan prasarana
kusta
2. Sumber informasi
Faktor penguat :
1. Keluarga
2. Rekan-rekan
3. Guru
4. Majikan atau pimpinan
5. Penyedia layanan
6.

Sumber : Teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo, 2018


Keterangan :
Garis Utuh : Menunjukksn pengaruh langsung
Garis Putus-putus : Menunjukkan pengaruh tidak langsung
Huruf Bold : Variable yang di teliti

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Kerangka Konsep


Kerangka konsep pada penelitian ini mengacu kepada Teori Green dalam
Notoatmodjo (2018), bahwa perilaku memiliki 3 faktor yang terdiri dari faktor
predisposisi, faktor pendukung dan faktor pendorong. Penelitian ini hanya
dibatasi pada faktor predisposisi yaitu pengetahuan. Aspek lain tidak diteliti
karena keterbatasan waktu dan tenaga, maka peneliti hanya ingin fokus pada
pengetahuan saja.
Menurut hidayat (2017), pre test-post test disegn adalah penelitian yang dilakukan
dengan cara memberikan pre test (pengamatan awal) terlebih dahulu sebelum
diberikan intervensi. Setelah itu diberikan intervensi yang kemudian dilakukan
post test (pengamatan akhir). Berdasarkan penjelasan di atas kerangka konsep
untuk penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Bagan 3.1
Kerangka Konsep Penelitian

PRE TEST INTERVENSI POST TEST

Pengetahuan Penyakit kusta Pengetahuan

3.2 Definisi Operasional


Berdasarkan kerangka konsep pada bagan 3.1, maka definisi
operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.1 :
Tabel 3.1
Definisi Operasional

No Variable Definisi Cara Skala


Alat Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur Ukur

1 Pengetahuan Hasil tahu Pengisian Kuesioner Ordinal 1. Kurang baik jika


seseorang kuesioner skor jawaban >56%
terhadap 2. Cukup jika skor
pengetahuan jawaban 56-75%
penyakit kusta 3. Baik jika skor
jawaban 76-100&
(Notoatmodjo,
2018)

2 Pendidikan Penyampaian Leaflet


Kesehatan materi
Penyakit pendidikan
Kusta kesehatan
tentang
penyakit
kusta
dengan metode
leaflet

3.3 Hipotesis
Ha : Ada pengaruh Peningkatan Terhadap Pengetahuan Masyarakat Tentang
Penyakit Kusta di Puskesmas Wilayah Kerja Muara Sabak Timur Kabupaten
Tanjung Jabung Timur Tahun 2021.
3.4 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pre experimental dengan rancangan pre test
post test one group design dimana rancangan ini tanpa menggunakan kelompok
control dilakukan observasi pertama (pretest) yang memungkinkan peneliti dapat
menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen
(Notoatmadjo, 2018). Desain ini dipilih untuk melihat pengaruh pendidikan
kesehatan terhadap pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta di Puskesmas
Wilayah Kerja Muara Sabak Timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun
2021.
3.5 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Wilayah Kerja Muara Sabak Timur
Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan penelitian ini telah dilaksanakan pada
tanggal
3.6 Populasi dan Sampel
3.6.1 Populasi
Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian yang diteliti . Notoatmodjo,
(2018). Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat
3.6.2 Sampel
Sampel adalah yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi. Notoatmodjo, 2018. Pada penelitian ini teknik
pengambilan sampel yaitu dengan metode total sampling yaitu seluruh populasi
dijadikan sampel penelitian yaitu sebanyak 40 orang.

Adapun kriteria sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu :


a. Masyarakat yang berkunjung ke puskesmas wilayah kerja Muara Sabak Timur
b. Bersedia menjadi responden yang hadir pada penelitian
c. Bisa baca dan tulis
d. Dapat diajak berkomunikasi dan kooperatif

3.7 Pengumpulan Data


3.7.1 Jenis data
Jenis data digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data yang
dperoleh dengan menggunakan kuesioner berupa angket yang dibagikan kepada
responden dan diisi oleh responden, sedangkan data sekunder yaitu data yang
dikumpulkan dari literature-literatur yang berhubungan dengan objek peneliti
seperti data masyarakat
3.7.2Metode Pengumpulan Data
Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer. Pengambilan data
primer dengan pengisian kuesioner pada variabel pengetahuan yang akan diisi
langsung oleh responden tersebut. Pengisian kuesioner pengetahuan dilakukan
dua kali yakni sebelum diberikan pendidikan kesehatan (pre test) dan sesudah
diberikan pendidikan kesehatan (post test).

3.8 Instrumen Penelitian


Menurut Notoatmodjo (2018) instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan
digunakan untuk pengumpulan data. Instrumen penelitian dapat berupa:
kuesioner, formulir obervasi, formulir-formulis lain yang berkaitan dengan
pencatatan data dan sebagainya. Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian
Kuesioner yang digunakan adalah pertanyaan untuk mengambil data mengenai
pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan masyarkat tentang penyakit
kusta di Puskemas Wilayah Kerja Muara Sabak Timur Kabupaten Tanjung Jabung
Timur tahun 2021.

3.9 Teknik Pengolahan Data


Data yang dikumpulkan selanjutnya diolah melaui tahapan sebagai berikut :
1. Editing
Memberi kelengkapan yaitu memeriksa pertanyaan yang diajukan
telah lengkap atau tidak ada jawaban yang diberikan
2. Coding
Mengkode data dengan memberikan kode pada masing-masing
jawaban untuk mempermudah pengolahan data. Adapun pengkodean
antara lain:
a. Pengetahuan
Jika kategori kurang diberi kode 1, kategori cukup diberi kode 2
dan kategori baik diberi kode 3
3. Scoring
Scoring dilakukan dengan menetapkan skor (nilai) pada setiap
pertanyaan kuesioner dan pada saat pengkategorian setiap variable.
Adapun pemberian skor pada setiap variable antara lain :
a. Pengetahuan
Jika skor < 56 % diberi kode 1, skor 56-75 diberi kode 2 dan skor
76-100 diberi kode 3.
4. Entry data
Data yang telah diperiksa dan diberi kode dimasukkan kedalam
program computer untuk dianalisis.
5. Cleaning
Dilakukan untuk memastikanbahwa keseluruhan data sudah di entry
dan tidak terdapat kesalahan dalam memasukkan data sehingga siap
dianalisis.

3.10 Analisi Data


1. Analisis Univariat
Analisi data secara univariat, yaitu menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariat
tergantung dari jenis datanya. Pada umumnya dalam analisis ini hanya
menghasilkan distribusi frekuensi dan presentase setiap variabel.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel
yang diduga berhubungan atau memiliki pengaruh dengan menggunakan
uji paired t test yang ditentukan melalui hasil uji normalitas untuk melihat
batas kemaknaan ɑ 0, 05 sehingga bila p value≤0,05 maka hasil statistik
bermakna yang artinya ada pengaruh dan bila p value> 0, 05 maka hasil
stastistik tidak bermakna yang artinya tidak berpengaruh.

Anda mungkin juga menyukai