SISTEM INTEGUMEN
( DERMATITIS ATOPIK )
Oleh :
JAKARTA
2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Pengertian
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis
berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul,vesikel,skuama,likenifikasi) dan
keluhan gatal. Dermatitis cenderung residif dan cenderung kronis. (Djuanda Adhi, 2010).
Dermatitis atau lebih dikenal sebagai eksim merupakan penyakit kulit yang
mengalami peradangan kerena bermacam sebab dan timbul dalam berbagai jenis,
terutama kulit yang kering, umumnya berupa pembengkakan, memerah, dan gatal pada
kulit. (Widhya, 2011)
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang bersifat kronik residif
disertai rasa gatal yang hebat serta eksaserbasi kronik dan remisi, dengan etiologi yang
multifaktorial. (Djuanda Adhi, 2010).
Berdasarkan pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa dermatitis
adalah peradangan pada kulit terhadap faktor eksogen dan endogen yang umumnya
berupa pembengkakan, memerah, dan gatal pada kulit.
B. Etiologi
Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan patogenesisnya sangat komplek
,tetapi terdapat beberapa faktor yang dianggap berperan sebagai faktor pencetus kelainan
ini misalnya faktor genetik,imunologik,lingkungan dan gaya hidup, dan psikologi (Burns
T, 2010)
a) Faktor resiko
Faktor genetik
Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada penderita yang mempunyai
riwayat atopi dalam keluarganya. Kromosom 5q31-33 mengandung
kumpulan familygen sitokin IL-3, IL-4, IL-13, dan GM-CSF, yang
diekspresikan oleh sel TH2. 3 Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan penting
dalam ekspresi dermatitis atopik. Perbedaan genetik aktivitas transkripsi gen
IL-4 mempengaruhi presdiposisi dermatitis atopik.Ada hubungan yang erat
antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mas dengan dermatitis atopik,
tetapi tidak dengan asma bronkial atau rhinitis alergik1,12 . Sejumlah bukti
menunjukkan bahwa kelainan atopik lebih banyak diturunkan dari garis
keturunan ibu daripada garis keturunan ayah. Sejumlah survey berbasis
populasi menunjukkan bahwa resiko anak yang memiliki atopik lebih besar
ketika ibunya memiliki atopik, daripada ayahnya. Darah tali pusat IgE cukup
tinggi pada bayi yang ibunya atopik atau memiliki IgE yang tinggi,
sedangkan atopik paternal atau IgE yang meningkat tidak berhubungan
dengan kenaikan darah tali pusat IgE (Burns T, 2010).
Faktor imunologi
Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik adalah melalui reaksi imunologik,
yang diperantai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang. Beberapa
parameter imunologi dapat diketemukan pada dermatitis atopik, seperti kadar
IgE dalam serum penderita pada 60-80% kasus meningkat, adanya IgE
spesifik terhadap bermacam aerolergen dan eosinofilia darah serta
diketemukannya molekul IgE pada permukaan sel langerhans
epidermal.Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara dermatitis
atopik dan alergi saluran napas, karena 80% anak dengan dermatitis atopik
mengalami asma bronkial atau rhinitis alergik (Kim BS, 2014) .
Faktor lingkungan dan gaya hidup
Berbagai faktor lingkungan dan gaya hidup berpengaruh terhadap pravelensi
dermatitis atopik.Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada status sosial
yang tinggi daripada status sosial yang rendah.Penghasilan meningkat,
pendidikan ibu makin tinggi, migrasi dari desa ke kota dan jumlah keluarga
kecil berpotensi menaikkan jumlah penderita dermatitis atopik (Kim BS,
2014).
Faktor Psikologi
Pada penderita dermatitis atopik sering tipe astenik, egois, frustasi, merasa
tidak aman yang mengakibatkan timbulnya rasa gatal. Namun demikian teori
ini masih belum jelas (Djuanda Adhi, 2010).
b) Penyebab
Riwayat pribadi atau keluara terhadap dermatitis
Reaksi alergi
Mengalami dermtitis kontak
C. Manifestasi Klinik
a) Manifestasi klinik secara umum
Keluhan utama pada dermatitis atopik yaitu rasa gatal dan rasa sakit yang hebat pada
kulit yang diperparah dengan garukan penderitanya. Epidermis kulit yang terabrasi
akibat garukan memudahkan agen infeksi untuk menginfeksi kulit sehingga penyakit
yang timbul dapat lebih berat (Sularsito SA, 2011).
b) Manifestasi klinik khas
Gejala penyakit dermatitis atopik yang paling khas adalah rasa gatal yang sangat berat
(sepanjang hari, terutama pada malam hari) dan adanya reaktivitas dari kulit.
Dermatitis atopik dapat menyebabkan perasaan gatal yang dapat mengganggu
penderitanya dan memperlihatkan kemerahan pada kulit serta terbentuknya vesikel
dan mengeluarkan air (Sularsito SA, 2011).
D. Patofisiologi
Patofisiologi dermatitis atopik (DA) merupakan gabungan dari serangkaian
interaksi rumit antara kerentanan genetik yang menyebabkan sawar epidermis menjadi
tidak sempurna, kelainan sistem imun, dan respon imun yang meningkat terhadap alergen
dan antigen mikroba (Nutten, S, 2011)..
Disfungsi dari sawar epidermis (skin barrier) merupakan faktor patogen utama
terjadinya dermatitis atopik. Pada pasien DA, dapat ditemukan mutasi atau defek dari gen
FLG (filaggrin gene) yang akan menyandi protein (pro)-filaggrin yang berperan penting
pada sawar epidermis. Defek genetik dari FLG akan mengganggu epidermis sehingga
meningkatkan kontak sel imun di dermis dengan antigen dari lingkungan eksternal.
Proses ini menyebabkan rasa gatal yang kuat sehingga pasien menggaruk yang akan
menyebabkan gangguan dan inflamasi pada pembatas kulit epidermal, kondisi ini
dideskripsikan sebagai itchscracth cycle (Nutten, S, 2011).
Kerusakan pembatas kulit menyebabkan migrasi antigen-presenting cells yang
teraktivasi ke dalam kelenjar getah bening, dan migrasi sel T naif menjadi sel T helper 2
(Th2). Peningkatan sitokin Th2 bersamaan dengan Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-
α) dan Interferon Gamma (IFN-γ) menyebabkan kerusakan pembatas kulit lebih lanjut
dengan cara menginduksi apoptosis keratinosit dan merusak fungsi tight junction. Selain
itu, meningkatkan respon Th2 dengan cara meningkatkan ekspresi thymic stromal
lymphopoietin (TSLP) dari sel epithelial (Nutten, S, 2011)..
Selain faktor genetik yang menyebabkan proses di atas, pada DA dapat terjadi
defek respon imun bawaan (innate immunity) yang menyebabkan pasien lebih rentan
terhadap infeksi virus dan bakteri. Pada fase awal, respon sel T didominasi oleh Th2,
tetapi selanjutnya terjadi pergeseran dominasi menjadi respon Th1 yang akan
mengakibatkan pelepasan sitokin dan kemokin proinflamasi, yaitu interleukin 4 (IL 4), IL
5, dan TNF yang merangsang produksi IgE dan respon inflamasi sistemik. Serangkaian
kejadian tersebut akan menimbulkan tanda dan gejala seperti pruritus. Patofisiologi yang
melibatkan IgE ini serupa dengan patofisiologi penyakit atopi lainnya, seperti asma dan
rhinitis alergi (Nutten, S, 2011).
E. Komplikasi
Barier kulit yang rusak, respon imun yang abnormal, penurunan produksi peptida
antimikroba endogen, semua presdiposisi mempengaruhi penderita dermatitis atopik
terkena infeksi sekunder. Infeksi kutan ini dapat menimbulkan lebih resiko yang serius
pada bayi dan pada waktu mendatang akan berpotensi untuk infeksi sistemik. Penderita
dermatitis atopik juga sangat rentan dengan infeksi virus, yang paling berbahaya adalah
herpes simplex dengan penyebaran luas dapat mengakibatkan ekzema hepetikum yang
dapat terjadi pada semua usia (Hussain SH, 2014).
Komplikasi pada mata juga dihubungkan dengan dermatitis kelopak mata dan
blepharitis kronis yang umumnya terkait dengan dermatitis atopik dan dapat
mengakibatkan gangguan penglihatan dari jaringan parut kornea. Kerato konjungvitis
atopik biasanya bilateral dan dapat memiliki symptom seperti rasa gatal dan terbakar
pada mata, mata berair dan mengeluarkan diskret yang mukoid (Hussain SH, 2014).
F. Pathway
CTM
hidrokortison
G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang holistik pada dermatitis atopik yang tertuang dalam 5 pilar
penatalaksanaan dermatitis atopik meliputi
medukasi pasien
pencegahan dan modifikasi faktor pencetus
peningkatan fungsi sawar kulit yang optimal
penatalaksanaan kelainan kulit inflamasi,
kontrol siklus gatal garuk
Namun oleh karena sifat penyakit yang kronis dan residif, secara umum belum
didapatkan pengobatan dermatitis atopik yang memuaskan. Kepatuhan terhadap terapi
biasanya rendah disebabkan lamanya kebutuhan penggunaan obat, baik pada periode
kambuh maupun periode pemeliharaan. Kegagalan terapi atau terapi yang tidak adekuat,
dapat menyebabkan lesi radang yang rekuren, mengganggu kualitas hidup pasien dan
keluarganya, serta menyebabkan gangguan tidur yang persisten (Rubel D, 2013).
Penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien adalah penerapan pelayanan
dokter keluarga yang berbasis bukti, patient centered dan family approach.
Penatalaksanaan terdiri dari medikamentosa serta komunikasi dan edukasi. Tatalaksana
medikamentosa adalah dengan CTM 3 x 1/3 tablet perhari dan salep hidrokortison 1% 2x
perhari dioleskan tipis pada lesi setelah mandi. Pemberian antihistamin bertujuan untuk
mengatasi rasa gatal sehingga mencegah terjadinya garukan yang dapat memperparah
kondisi lesi.14 CTM merupakan antihistamin bersifat sedative ringan, baik digunakan
untuk anak-anak karena rasa kantuk membuat anak-anak mudah tidur sehingga dapat
istirahat lebih banyak untuk memperbaiki daya tahan tubuh. Sediaan CTM tablet adalah 4
mg, dengan dosis untuk anak usia 2-5 tahun adalah 1 mg setiap 4-6 jam, dengan dosis
maksimal 6 mg/hari (Djuanda Adhi, 2010).
Tatalaksanana non medikamentosa berupa komunikasi serta edukasi dilakukan
dengan melakukan kunjungan rumah. Pada kunjungan rumah pertama juga dicari faktor –
faktor yang menyebabkan masalah kesehatan pada pasien berupa DA. Diantaranya,
mengidentifikasi penyebab yang memungkinkan terjadinya kekambuhan DA. Dilakukan
identifikasi kemungkinan adanya pencetus yang mendasari terjadinya kekambuhan,
seperti keringat berlebih yang dapat mencetuskan gatal (Djuanda Adhi, 2010).
H. Pemeriksaan Penunjang
Immunoglobulin
Kadar Ig E biasanya meningkat pada 80 sampai 90% penderita DA. Peningkatan
kadar Ig E erat hubungannya dengan tingkat keparahan penyakit, dan tidak
mengalami fluktuasi baik pada saat eksaserbasi, remisi, ataupun sedang mendapat
pengobatan. Kadar Ig E ini biasanya akan kembali normal 6 sampai 12 bulan
setelah remisi. Beberapa tehnik pemeriksaan terhadap kadar Ig E ini dapat
dilakukan dengan metode ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay), ataupun
RAST (Radio allergosorbent test) (Santosa H, 2010).
Bakteriologi
Pada kulit penderita DA yang aktif biasanya sering dijumpai bakteri patogen
seperti Staphylococcus aureus walaupun tanpa gejala klinis infeksi (Santosa H,
2010).
Uji tusuk
(Skin Prick Test) Merupakan uji kulit yang sering dilakukan pada anak yang
dicurigai menderita DA. Tempat uji adalah pada volar lengan bawah dengan jarak
2 cm dari pergelangaan tangan dan lipat siku.Setelah meletakkan alergen pada
permukaan kulit kemudian kulit ditusuk dengan kedalaman 1 mm dengan
menggunakan lanset.Sebagai kontrol positif digunakan histamin dan untuk
kontrol negatif digunakan larutan gliserin. Reaksi terhadap alergen dibaca 15
menit kemudian dan dikatakan positif bila dijumpai rasa gatal, eritema dan
urtikaria (Celakovska J, 2013).
Uji tempel ( AtopyPatch Test)
Uji ini banyak digunakan untuk mengidentifikasi reaksi alergi terhadap
aeroalergen pada DA. Uji dilakukan selama masa remisi penyakit. Sekitar 25
sampai 150 alergen pada plastik uji ditempelkan pada punggung bagian atas
penderita dengan menggunakan bahan perekat yang hipoalergenik. Sebagai
kontrol positif di gunakan histamin sedangkan sebagai kontrol negatif digunakan
larutan salin. Hasil pembacaan dilakukan pada 48 jam, 72 jam dan 96 jam
kemudian. reaksi dikatakan positif apabila dijumpai eritema, papul, kulit terasa
gatal, dan pada yang ekstrim dapat dijumpai vesikel,reaksi seperti terbakar dan
kulit melepuh (Celakovska J, 2013).
Uji Eliminasi dan Provokasi
Uji ini biasanya dilakukan untuk mengidentifikasi reaksi alergi terhadap makanan
sebagai salah satu pencetus terjadinya DA.Eliminasi makanan dilakukan selama
tiga minggu sebelum dilakukan uji provokasi. Uji provokasi makanan (food
challenge) dimulai dengan makanan yang paling tidak dicurigai akan
menimbulkan reaksi alergi. Bila setelah 1 minggu dijumpai gejala alergi maka
makanan tersebut dicurigai sebagai penyebab alergi dan apabila dalam tiga kali
provokasi di waktu yang berbeda dijumpai reaksi yang sama maka makanan
tersebut dinyatakan definitif penyebab alergi (Suh KY, 2010).
LAPORAN KASUS
A. PENGKAJIAN
Klien masuk dari IGD pada hari Selasa, Tgl 20 Juni 2020, Jam 07:00 WIB, dibawa oleh
keluarga. Saat datang ke IGD, kesadaran compos mentis, penilaian GCS: E: 4, M: 6 V: 5
total 15, Hasil TTV TD: 130/80 mmHg, N: 90 x/menit, RR : 22 x/menit, S : 36 °C. klien
mengatakan keluhan klien mengatakan kulit gatal – gatal dan kemerahan, mengeluh adanya luka
pada area tangan, kepala dan bokong. Klien mengatakan hal itu terjadi karena sering mandi disungai,
keadaan akan membaik jika memberi obat yang di dapat dari apotik yaitu kortikosteroid.
.
1. IDENTITAS DIRI
a. KLIEN
1) Nama : Tn. B
2) Tanggal Lahir : 56 Tahun
3) Jenis Kelamin : Laki - laki
4) Agama : Islam
5) Pendidikan : SMA
6) Pekerjaan : Buruh Tani
7) Alamat : KEC. Mirit, DESA Ngabean
8) Status Perkawinan : Sudah Menikah
9) Sumber Informasi : Keluarga
10) Tanggal pengkajian : 20 Juni 2020
11) Tanggal Masuk : 20 Juni 2020
12) No RM : 00-11-22
13) Diagnosa Medis : Dermatitis
b. PENANGGUNG JAWAB
1) Nama : Ny.S
2) Umur : 55 Tahun
3) Alamat : KEC. Mirit, DESA Ngabean
4) Pekerjaan : IRT
Tn. B Ny.s
An.H
= laki-laki meninggal = garis pernikahan
C. Analisa Data
No. Data Etiologi Masalah
1 DS : Priuritus (gatal) Kerusakan integritas Kulit
Klien ↓
mengatakan kulit
Sensasi menggaruk
gatal – gatal dan
kemerahan, ↓
mengeluh adanya
Timbul lesi
luka pada area
tangan, kepala
dan bokong dan
suka
menggaruknya
saat gatal
menyerang
DO :
Kulit klien
tampak kering
dan bersisik
Klien tampak
sesekali
menggaruk pada
area yang gatal
Terdapat lesi ↓
D. Prioritas Diagnosa
1) Kerusakan Integritas Kulit
2) Nyeri Akut
3) Resiko Infeksi
E. Intervensi Keperawatan
F. Evaluasi Keperawatan
Hari / Tanggal No. Implementasi Keperawatan Evaluasi
Dx
1 1. Menjaga kebersihan kulit agar tetap S : Klien mengatakan gatal-gatal pada badannya sudah membaik dan
bersih dan kering berkurang
Hasil : O:
Respon : Keadaan kulit klien sudah membaik
Waktu : Tidak adanya lesi
2. Memobilisasi pasien (ubah posisi Kelembapan kulit klien membaik
pasien) setiap dua jam sekali A : Tujuan tidak tercapai, masalah teratasi sebagian