Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN JAMUR DAN PARASIT SISTEM

INTEGUMEN TINEA

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah keperawatan medikal bedah III

Dosen: Faridatul Istibsaroh,S. Kep., NS., M. Tr. Kep

Klompok 1

Di Susun Oleh :

1. Achmad Aldiyansyah ( 18001 )


2. Evatun Nisa ( 18005 )
3. Linda Kurniawati ( 18019 )
4. Nuri Amalia ( 18024 )

PRODI DIII KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NAZHATUT THULLAB SAMPANG

2020/2021

1
Lembar Pengesahan

Makalah Asuhan Keperawatan dengan judul “Asuhan Keperawatan


GANGGUAN JAMUR DAN PARASIT SISTEM INTEGUMEN TINEA” oleh
mahasiswa Stikes Nazhatut Thullab Sampang

Telah disetujui dan disahkan pada:

Hari :

Tanggal :

Mengetahui

Penyusun Dosen Pengajar

Evatun Nisa Faridatul Istibsaroh, S.Kep.,Ns.,M.Tr.Kep

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas terselasainya makalah ini.
Makalah yang kami buat ini berisikan materi-materi Sistem Integumen yang membahas tentang
Asuhan keperawatan TINEA.

Kami menyadari teknik menyusun dan materi yang kami sajikan ini masih jauh dari pada
sempurna, masih banyak kekurangan dan perlu perbaikan, untuk itu kami mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari pembaca.

Pada kesempatan ini kami tak lupa mengucapkan terimakasih pada semua pihak yang telah
membantu kami, sehingga selesainya makalah“TINEA.”, semoga Tuhan Yang Maha Esa
memberikan rahmatnya kepada kita semua.

sampang, 21 oktober 2020

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................2
1.1 Latar Belakang Masalah...................................................................................................2
1.2 Rumusan masalah.............................................................................................................3
1.3 Tujuan...............................................................................................................................3
BAB 2 TINJAUAN TEORI.............................................................................................................4
2.1 Pengertian tinea................................................................................................................4
2.2 Macam-macam tinea........................................................................................................4
2.3 Etiologi.............................................................................................................................5
2.4 Patofisiologi......................................................................................................................5
2.5 Pemeriksaan penunjang....................................................................................................6
2.6 Penatalaksanaan................................................................................................................7
BAB 3 Konsep dasar asuhan keperawatan....................................................................................10
3.1 PENGKAJIAN..............................................................................................................10
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN...................................................................................12
3.3 Perencanaan Keperawatan..............................................................................................16
3.4 Implementasi Keperawatan............................................................................................19
3.5 Evaluasi keperawatan.....................................................................................................19
BAB 4 PENUTUP.........................................................................................................................27
5.1 KESIMPULAN..............................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................28

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tinea atau dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial disebabkan oleh invasi jaringan
keratin seperti rambut, kuku dan lapisan kornea dari kulit oleh jamur berfilamen disebut
dermatophytes (Perez, et al,. 2009). Tinea pedis adalah salah satu infeksi jamur yang
menyerang kulit bagian superfisial yang paling umum terjadi pada kulit kaki di seluruh
dunia. Umumnya penyakit kulit ini di derita oleh laki-laki dewasa dan remaja dibandingkan
wanita dan anak-anak. Hal ini lebih umum terjadi pada petani, barak tentara, pesantren, pada
kolam renang, dan pada pemakaian sepatu yang tertutup (Theresia N, et al,. 2015).

Kejadian tinea pedis meningkat pada daerah yang memiliki iklim tropis dan memiliki
kelembapan yang tinggi, memakai sepatu oklusif sehingga menyebabkan pertumbuhan jamur
yang meningkat. Riwayat medis kekebalan tubuh, tekanan, diabetes mellitus, atau penyakit
pembuluh darah perifer juga berisiko tinggi untuk terkena tinea pedis (Havlickova, et al,.
2008).

Berolahraga di fasilitas olahraga umum, terutama di kolam renang masyarakat, di


dapatkan menjadi salah satu faktor risiko untuk tertular tinea pedis, terutama untuk pria di
atas usia 16,17 tahun. Pasien yang hidup bersama dengan individu yang terkena tinea pedis
juga berisiko tinggi untuk tetular tinea pedis. Transmisi dapat terjadi dari kontak dengan
barang penderita, paling sering di kamar mandi (Nenoff P, et al,.2014).

Penyakit jamur ini dapat menular dengan cara kontak langsung dengan kaki penderita.
Kondisi seperti tranplantasi organ, kemoterapi, usia lanjut, obesitas, diabetes melitus, adanya
kekebalan tubuh yang terganggu yakni HIV-AIDS, dapat meningkatkan resiko terjadinya
Tinea pedis (Claire, et al,. 2004).
Namun, ada juga bukti untuk mendukung terjadinya tinea pedis, bahwa tinea pedis lebih
sering terjadi pada pasien dengan kondisi dermatologi tertentu seperti psoriasis atau atopik
infeksi kulit (Leibovici V, et al,. 2014) Jamur Trichophyton Rubrum adalah penyebab yang
paling umum di seluruh dunia. Dengan enzim keratinase di superfisial kulit, jamur
Trichophyton Rubrum menginfeksi keratinase tersebut. Di dinding dermatofit jamur
Trichophyton Rubrum, terdapat manans yang dapat menghambat respon kekebalan tubuh,
sehingga menurunkan proliferasi keratinase dan meningkatkan infeksi kronis.

Tinea pedis dapat menular secara langsung dengan arthroconidia yang di hasilkan oleh
filamen dermatofit. Setelah terpapar langsung, maka jamur ini akan tinggal di hospesnya dan
akan menjadi faktor pembawa. Ada banyak kasus yang tidak terdiagnosis, assimptomatik,
sehingga dapat menularkan ke orang lain tanpa disadari.

1.2 Rumusan masalah

1. Apa definisi dari tinea?

2. Apa macam-macam tinea?

3. Bagaimana etiologi tinea?

4. Bagaimana patofisiologi tinea?

5. Apa saja pemeriksaan penunjang tinea?

6. Bagaimana cara penatalaksanaan medis dan keperawatan tinea?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui definisi dari tinea

2. Memahami macam-macam tinea

3. Mengetahui etiologi tinea

4. Mengetahui patofisiologi

5
5. Memahami cara penatalaksanaan medis dan keperawatan tinea

6. Mengetahui cara pencegahan tinea

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian tinea

Tinea adalah salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur.Jamur yang
berperan dalam penyakit tinea adalah dermatofita.Dermatopita merupakan sekelompok jamur
miselium yang menginfeksi keratin stratum korneum, rambut, dan kuku (Chadrasoma,2006).
Tinea adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya lapisan
teratas pada kulit pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur
dermatofita(jamur yang menyerang kulit) (Adhi Djuanda, 2000).

2.2 Macam-macam tinea

Menurut Robin Graham-Brown (2005), macam-macam tinea terbagi dalam beberapa


macam yaitu:
1. Tinea Vesikolor

Tinea vesikolor infeksi yang sering dijumpai ini disebabkan oleh pityrosporum
orbicularis, yang hanya menginfeksi stratum korneum, rambut, dan kuku jarang

6
terkena.Tinea vesikolor merupakan macula asimtomatik (daerah diskolorasi,
hiperpigmentasi pada ras kulit terang dan hipopigmentasi pada ras kulit gelap).Sering
dijumpai lesi multiple.

2. Tinea Pedis (Athlete’s Food)

Penyakit ini merupakan infeksi dermatofit yang tersering, biasanya terdapat rasa
gatal pada daerah di sela-sela jari kaki yang berskuma, terutama diantara jari ketiga
dengan keempat, dan keempat dengan kelima, atau pada telapak kaki.

3. Tinea Kruris

Penyakit ini lebih sering terjadi pada laki-laki dan jarang terjadi pada
perempuan.Tepi eritematosa yang berskuama pelan-pelan menjalar kebawah paha bagian
dalam dan meluas kearah belakang kedaerah prinium dan bokong.

4. Tinea Korposis

Tinea ini secara khas mempunyai  bagian tepi yang meradang, sedangkan bagian
tengahnya bersih, tetapi penampakan seperti ini relative jarang.

5. Tinea Manum

Gambaran dari tinea ini biasanya pada telapak tangan terdapat lesi eritematoma
dengan sedikit skuama, sedangkan pada punggung tangan gaambaran peradangan lebih
jelas.

7
6. Tinea Unguium

Penyakit ini biasanya menyerang bagian tepi-tepi kuku biasanya dari bagian distal
berupa guratan-guratan kekuningan pada lempengan kuku. Kemudian semakin lama
seluruh kuku menjadi makin tebal, berubah warna, dan rapuh

7. Tinea Kapatis

Tinea kapatis biasanya menyerang pada anak-anak, jarang pada orang dewasa.Hal
ini kemungkinan dikarenakan perubahan kandungan asam lemak dalam sebum pada saat
menjelang pubertas.

2.3 Etiologi

Penyebab tinea adalah jamur dermatofita yang merupakan kelompok jamur


berfilamen, yang terbagi dalam tiga genus yaitu, Trychophyton, Mycrosporum, dan
Epidermophyton.Jamur ini dapat menginfeksi jaringan kreatin manusia maupun binatang
(Mansjoer Arief, 2000).

2.4 Patofisiologi

Infeksi dimulai dari kolonisasi hifa, dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-
cabangnya dalam jaringan keratin yang mati.Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang
berdifusi kedalam jaringan epidermis, dan menimbulkan reaksi peradangan.Pertumbuhan
jamur dengan pola radial didalam stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit,
dengan batas yang jelas dan meninggi yang disebut ring wrom. (Mansjoer Arief, 2000).

8
2.5 Pemeriksaan penunjang

9
Menurut Mansjoer Arief (2000), pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan pada
penderita penyakit tinea, bahan pemeriksaan berupa kerokan kulit, rambut dan kuku. terlebih
dahulu tempat kelainan dibersihkan dengan alkohol 70% kemudian dilakukan :
1. Kulit berambut halus (glabrous skin). Kelainan dikerok dengan pisau tumpul steril. Sisik
kulit dikumpulkan pada gelas obyek.
2. Kulit berambut. Spesimen yang harus diambil adalah skauma, tunggul rambut dan isi
rambut folikel. Sampel rambut diambil dengan forsep dan skauma dikerok dengan skapel
tumpul. Rambut yang diambil adalah rambut yang goyah (mudah dicabut) pada daerah
lesi. Pemeriksaan dengan lampu Wood dilakukan sebelum pengumpulan bahan untuk
melihat kemungkinan adanya flouresensi didaerah lesi pada kasus-kasus tinea kapitis
tertentu.
3. Kuku, bahan diambil dari permukaan kuku yang sakit, dipotong lalu dikerok sedalam
dalamnya hingga mengenai seluruh tebal kuku. bahan dibawah kuku diambil
juga.Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan diatas gelas obyek, kemudian
ditambah 1-2 tetes larutan KOH 20%.Tunggu 15-20 menit untuk melarutkan jaringan.
Pemanasan diatas api kecil mempercepat proses pelarutan. Pada saat mulai keluar uap,
pemanasan cukup. Bila terjadi penguapan, akan terbentuk kristal KOH sehingga
mengganggu pembacaan.

Sedangkan pemeriksaan laboratorium menurut Siregar (2005) diantaranya adalah


sebagai berikut:
1. Kerokan kulit + KOH 10%: hifa positif.

10
Gambar: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia)

2. Biakan agar sabouraud: tumbuh koloni-koloni jamur.

Gambar: Trichophyton rubrum; koloni Downy

3. Sinar wood: fluoresensi positif.

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan tinea menurut Mansjoer Arief (2000).


1. Penatalaksanaan medis
11
a. Diagnosis yang tepat
b. Penentuan obat dilakukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan, daerah
yang terkena yakni lokasi dan luas lesi. Stadium penyakit (akut atau kronis), jamur
penyebab, karena adanya perbedaan kepekaan terhadap obat, serta harga sehingga
dapat ditentukan apakah akan diberikan obat oral, topikal, atau pun kombinasi.
c. Mengefektifkan cara penggunaan obat :

Obat-obat sistemik dan topikal yang digunakan antara lain sistemik, meliputi:
a) Griseofulvin

Bersifat pungistatik dan bekerja hanya terhadap dermatofit.Dosis 0,5 -1


gram untuk orang dewasa dan 0,25 -0,5 gram untuk anak-anak sehari atau 10-25
mg/ kg BB. Dosis tunggal atau terbagi dan absopsi meningkat bila diberikan
bersama makanan berlemak. Sediaan mikrosize500 mg, setara dengan sediaan
ultra mikrosize 333 mg. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyebab, dan
keadaan komunitas.Obat diberikan sampai gejala klinis membaik. Biasanya lebih
kurang 1 bulan. Efeksampingnya ringan,misalnya sakit kepala mual atau diare
dan reakasi fotosensitifitas pada kulit.
b) Golongan asol

Ketonasol efektif untuk dermatofitosis.Pada kasus-kasus  resisten


terhadap griseofulfin, obat tersebut dapat diberikan 200mg /hari selama 3-4
minggu pada pagi hari setelah makan.Ketokonasal merupakan kontra indikasi
untuk pasien kelainan hati. Itrakonazole merupakan derivat triazol yang
berspekterum aktifitas invitro luas dan bersifat fungistatik.Dosis 100 mg perhari
selama 2 minggu atau 200 mg per hari selama 1 minggu, memberi hasil baik pada
tinea. Pada tinea ungulium dengan dosis 400 mg perhari selama seminggu tiap
bulan dalam 2-3 bulan

2. Penatalaksanaan keperawatan
12
a. Menghilangkan atau mencegah fakto predisposisi. Fakttor tersebut antara lain adalah
kelembabapan karena keringat atau lingkungan yang panas, iritasi oleh baju, orang
sakit yang berbaring lama, friksi lipatan kulit pada orang gemuk, imunitas rendah.
b. Manghilangkan sumber penularan baik dari manusia, hewan,tanah maupun benda
disekeliling yang mengandung elemen jamur. Spora dermatofit  dapat bertahan hidup
dalam waktu yang lama.
c. Mengoptimalkan kepatuhan pasien dengan menerangkan perjalan penyakitnya,
pemilihan obat yang tepat dapat diterima oleh pasien, dan bila dianggap perlu
diterangkan juga tentang biaya pengobatan.

13
BAB III

Konsep dasar asuhan keperawatan

  

3.1 PENGKAJIAN

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan. Untuk itu,

diperlukan kecermatan dan ketelitian dalam menangani masalah klien sehingga dapat memberi arah

terhadap

1.    Anamnesis

Anamnesis dilakukan untuk mengetahui :

 Identitas meliputi nama, jenis kelamin, usia,alamat, agama, bahasa yang digunakan,

status perkawainan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomor register,

tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosis medis.

Pada umunya keluhan utama artritis reumatoid adalah nyeri pada daerah sendi

yang mengalami masalah.Untuk mempperoleh pengkajian yang lengkap tentang nyeri

klien, perawat dapat menggunakan metode PQRST.

 Provoking incident : Hal yang menjadi faktor presipitasi nyeri adalah peradangan.

   Quality Of Painn: Nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien bersifat menusuk.

14
 Region,Radition,Relief : Nyeri dapat menjalar atau menyebar , dan nyeri terjadi di sendi

yang mengalami masalah.

 Severity(scale) Of Pain: Nyeri yang dirasakan ada diantara 1-3 pada rentang skala

pengukuran 0-4.

 Time : Berapa lama nyeri berlangsung,kapan,apakah bertambah buruk pada malam hari

atau siang hari.

 Riwayat penyakit sekarang

Pengumpulan data dilakukan sejak muncul keluhan dan secara umum mencakup

awitan gejala dan bagaimana gejala tersebut berkembang.penting di tanyakan berapa

lama pemakaian obat analgesic, allopurinol

 Riwayat penyakit dahulu

Pada pengkajian ini,ditemukan kemungkinan penyebab yang mendukung

terjadinya gout. Masalah lain yang perlu ditanyakan adalah adakah klien pernah dirawqat

dengan masalah yang sama.kaji adanya pemakaian alcohol yang berlebihan dan

penggunaan obat diuretic.

 Riwayat penyakit keluarga

Kaji adakah keluarga dari genarasi terdahulu mempunyai keluhan yang sama

dengan klien karena penyakit gout berhubungan dengan genetik. Ada produksi /sekresi

asam urat yang berlebihan yang tidak di ketahui penyebabnya.

 Riwayat psikososial

Kaji respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan penyakit klien

dalam keluarga dan masyarakat. Respon yang di dapat meliputi adanya kecemasan

individu dengan rentang variasi tingkat kecemasan yang berbeda dan berhubungan erat

15
dengan adanya sensasi nyeri,hambatan mobilitas fisik akibat respon nyeri, dan

ketidaktahuan akan program pengobatan dan prognosis penyakit dan peningkatan asam

urat terhadap sirkulasi. Adanya perubahan peran dalanm keluarga akibat adanya nyri dan

hambatan mobilitas fisik emberikan respon terhadap konsep diri yang maldaptif.

2.      Pengkajian Berdasarkan Pola

a.       Pola Presepsi dan pemeliharaan kesehatan

 Keluhan utama nyeri pada pada sendi

   Pencegahan penyerangan dan bagaimana cara mengatasi atau mengurangi serangan.

   Riwayat penyakit Gout pada keluarga

    Obat utntuk mengatasi adanya gejala

b.      Pola nutrisi dan metabolic

 Peningkatan berat badan

 Peningkatan suhu tubuh

 Diet

c.       Pola aktifitas dan Latihan

 Respon sentuhan pada sendi dan menjaga sendi yang terkena

d.      Pola presepsi dan konsep diri

 Rasa cemas dan takut untuk melakukan pergerakan

16
   Presepsi diri dalam melakukan mobilitas

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1.      Nyeri akut berhubungan dengan Inflamasi .

3.3 Perencanaan Keperawatan

1) Tujuan tindakan : Setelah dilakukan tindakan manajemen nyeri .....x24 jam nyeri

berkurang atau hilang.

2) Ekspektasi

Ekspektasi merupakan penilaian terhadap hasil yang di harapkan tercapai.

Ekspektasi menggambarkan seperti apa kondisi, perilaku, atau persepsi pasien

akan berubah setelah di berikan intervensi keperawatan. Terdapat tiga

kemunginan ekspektasi yang diharapkan perawat yaitu:

Tabel 2.1 Ekspektasi dan Definisi Ekspektasi Luaran Keperawatan

Sumber : Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2019.

N Ekspektasi Definisi
o
1 Meningkat Bertambah dalam ukuran, jumlah, derajat atau
tingkatan
2 Menurun Berkurang dalam ukuran, jumlah, derajat atau
tingkatan
3 Membaik Menimbulkan efek yang lebih baik, adekuat
atau efektif

17
3) Kriteria Hasil

Kontrol Nyeri

Definisi

Tindakan untuk meredakan pengalaman sensorik atau emosional yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan.

Ekspektasi : Meningkat

Tabel 2.2 Kriteria Hasil

Sumber : Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2019.

Kriteria
Hasil Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
menurun Meningkat
Melaporkan 1 2 3 4 5
nyeri
terkontrol
Kemampuan 1 2 3 4 5
mengenali

onset nyeri
Kemampuan
mengenali 1 2 3 4 5
penyebab
nyeri
Kemampuan
menggunaan 1 2 3 4 5
teknik non-
farmakologis
Dukungan
orang 1 2 3 4 5
terdekat
Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun
meningkat menurun

18
Keluhan 1 2 3 4 5
nyeri
Penggunaan 1 2 3 4 5
analgesik

4) Intervensi

Manajemen nyeri

Observasi:

a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.

b) Identifikasi skala nyeri.

c) Identifikasi respons nyeri non verbal.

d) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri.

e) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri.

f) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri.

g) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup.

h) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan.

i) Monitor efek samping penggunaan analgetik.

Terapeutik:

a) Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.

b) Kontrol lingkungan yang memperberat yang memperberat rasa nyeri.

c) Fasilitasi istirahat dan tidur.

d) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan

nyeri.

Edukasi:

19
a) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri.

b) Jelaskan strategi, meredakan nyeri.

c) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.

d) Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri.

Kolaborasi:

Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).

3.4 Implementasi Keperawatan

Menurut (Kozier dkk, 2010) implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana

perawat melaksanakan rencana atau intervensi yang sudah direncanakan sebelumnya.

Berdasarkan terminology nic, implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan

yang merupakan tindakan khusus yang digunakan untuk melaksanakan intervensi (Debora,

2013). Terdapat berbagai tindakan yang bisa dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri.

Implementasi lebih ditujukkan pada upaya perawatan dalam meningkatkan kenyamanan,

upaya pemberian informasi yang akurat, upaya mempertahankan kesejahteraan, upaya

tindakan peredaan nyeri farmakologis dan pemberian terapi non-farmakologis (Andarmoyo,

2013).

3.5 Evaluasi keperawatan

Evaluasi keperawatan menurut (Tarwoto & Wartonah, 2015) merupakan tindakan akhir

dalam proses keperawatan. Menurut (Deswani, 2011) evaluasi dapat berupa evaluasi struktur,

proses dan hasil. Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan

perawat untuk menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil meningkatkan

kondisi pasien (Dinarti, dkk 2013). Evaluasi asuhan keperawatan di dokumentasikan dalam

bentuk SOAP (Subyektif, Obyektif, Assessment, Planing). Evaluasi dapat dibagi menjadi 2

jenis yaitu valuasi sumatif dan formatif. Evaluasi sumatif dikerjakan dalam bentuk pengisian

20
format catatan perkembangan dengan berorientasi kepada masalah yang dialami oleh keluarga.

format yang dipakai adalah format SOAP. Sedangkan valuasi formatif dikerjakan dengan cara

membandingkan antara tujuan yang akan dicapai. Bila terdapat kesenjangan diantara

keduanya, mungkin semua tahap dalam proses keperawatan perlu ditinjau kembali, agar

didapat data-data, masalah atau rencana yang perlu dimodifikasi (Dwi, 2015).

21
BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Tinea pedis atau kaki atlet adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh semacam jamur
yang disebut fungus. Jamur yang menyebabkan tinea pedis menyukai kulit yang lembab dan
hangat di antara jari kaki dan seringkali memburuk dalam cuaca panas.

Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena bersepatu dan berkaos kaki
disertai daerah tropis yang lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur. Efek ini
lebih nyata pada sela jari kaki keempat dan kelima, dan lokasi ini paling sering terkena.
Kenyataaannya, tinea pedis jarang ditemukan pada populasi yang tidak menggunakan sepatu.
Sinonim dari tinea pedis adalah foot ringworm, athlete foot, foot mycosis. Tinea pedis yang
tersering adalah bentuk interdigitalis.

Pemeriksaan mikologik dapat membantu menegakan diagnosa terdiri atas pemeriksaan


langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain misalnya pemeriksaan histopatologik,
percobaan binatang, dan imunologik tidak diperlukan.

Pencegahan Tinea Pedis diantaranya: Memastikan kaki dalam keadaan kering,


menggunakan bedak anti jamur pada kaki yang terinfeksi untuk mencegah infeksi tinea pedis
kembali, menjaga agar kuku kaki selalu pendek atau terpotong rapi. Gunakan kaos kaki yang
terbuat dari bahan yang ringan dan dapat menyerap kelembapan serta rutin mengganti kaos
kaki jika kaki mulai terasa lembap, mengurangi berjalan tanpa alas kaki di fasilitas umum,
gunakan pemutih klorin dalam larutan pembersih kaos kaki atau larutan pembersih lantai, bak
mandi, lantai kamar mandi, dan hindari menggunakan sepatu yang sama atau sepatu bekas
secara bergantian untuk mengurangi sekaligus menghindari risiko penularan infeksi jamur
dari orang yang terinfeksi tinea pedis.

22
DAFTAR PUSTAKA

Chadrasoma, Parakrama. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Djuanda, Adhi. 1993. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran

UI

Graham-Brown, Robin. 2005. Lecture Notes Dermatologi Edisi 8. Jakarta: Erlangga

Masjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius

Nanda Internasional.(2009). Diagnosis Keperawatan NANDA 2009-2011. Jakarta: Buku

Kedokteran EGC.

Siregar, R.S. 2005. Atlas bewarna  saripati penyakit kulit. Jakarta: EGC
Pokja, T. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia; definisi indikator dan diagnostik.
Edisi 1., Jakarta Selatan: Dewan pengurus pusat.

Pokja, T. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia; definisi dan tindakan keperawatan.
Edisi 1., Jakarta Selatan: Dewan pengurus pusat.

Pokja, T. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia; definisi dan kriteria hasil. Edisi 1.,
Jakarta Selatan: Dewan pengurus pusat.

23

Anda mungkin juga menyukai