Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kulit

2.1.1. Anatomi kulit

Kulit terbagi atas beberapa lapisan. Secara garis besar kulit tersusun dari tiga

lapisan utama yaitu lapisan epidermis (kutikel), lapisan dermis (true skin,kutis),

Gambarsubkutis
lapisan 1. Struktur(hypodermis)
kulit. Sumber: Kessel RG, 1998.et al., 2010).
(Djuanda,

Berikut penjelasan tentang lapisan-lapisan kulit :

(Kalangi,
Gambar 2013)
2. Lapisan-lapisan dan apendiks kulit. Diagram lapisan kulit memperlihatkan saling
Gambar
hubung dan lokasi apendiks dermal (folikel rambut,2.1
kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea).
Sumber: Mescher AL, 2010. Anatomi Kulit

5
6

1. Lapisan Epidermis

Epidermis memiliki lapisan yang terdiri atas : stratum korneum, stratum

lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale (Djuanda, et

al., 2010).

a) Stratum Korneum (Lapisan tanduk)

Lapisan tanduk (stratum korneum) merupakan lapisan terluar yang

terdiri dari beberapa lapis sel gepeng mati, tak berinti, dan protoplasma yang

berubah menjadi keratinn (zat tanduk) (Djuanda, et al., 2010).

b) Stratum Lusidum

Stratum lusidum berada dibawah korneum, stratum lusidum adalah

lapisan sel gepeng tak berinti dan protoplasma yang berubah menjadi

protein (eleidin). Lapisan tersebut Nampak jelas pada telapak tangan dan

kaki (Djuanda, et al., 2010).

c) Stratum granulosum (Lapisan keratohialin)

Stratum granulosum adalah lapisan yang terdiri dari 2 atau 3 lapis sel

gepeng dengan sitoplasma kasar dan ada inti disela-selanya. Butir-butir

kasar tersebut terdiri dari keratohialin. Biasanya tidak terdapat mukosa pada

lapisan ini. Lapisan ini nampak jelaas pada telapak tangan dan kaki

(Djuanda, et al., 2010).

d) Stratum Spinosum (Stratum malphigi)

Stratum spinosum (stratum malphigi) atau biasa disebut prickle cell layer

(lapisan akanta) terdiri dari beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal

dengan besar yang berbeda-beda karena adanya proses mitosis.


atas bentuk sel semakin gepeng.
lusidum, dan stratum korneum.
Stratum granulosum (lapis berbutir)7
Stratum basal (lapis basal, lapis benih)
Lapisan ini terdiri atas 2-4 lapis sel
Lapisan ini terletak paling dalam dan
gepeng yang mengandung banyak granula
terdiri atas satu lapis sel yang tersusun
basofilik yang disebut granula kerato-
berderet-deret di atas membran basal dan
Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen, dan inti
hialin, yang dengan mikroskop elektron
melekat pada dermis di bawahnya. Sel- ternyata merupakan partikel amorf tanpa
terletak di tengah-tengah. Semakin dekat dengan permukaan, maka betuk
selnya kuboid atau silindris. Intinya besar,
membran tetapi dikelilingi ribosom. Mikro-
sel jika dibanding
ini akan berubahukuranmenjadiselnya, dan Antar
gepeng. sel-sel spinosum memiliki
filamen melekat pada permukaan granula.
sitoplasmanya basofilik. Pada lapisan ini
jembatan antara sel (intercellular bridges) terdiri dari protoplasma dan
biasanya terlihat gambaran mitotik sel, Stratum lusidum (lapis bening)
keratin. Jembatan-jembatan
proliferasi selnya berfungsi sel akan
untukmengalami perlekatan dan berubah
regenerasi
menjadi epitel.
bentuk Sel-sel
tebal, bulatpada
danlapisan Lapisan
ini disebut
kecil yang ini dibentuk
nodulus Bizzozero.olehAntar
2-3 lapisan
bermigrasi ke arah permukaan untuk sel gepeng yang tembus cahaya, dan agak
sel spinosum terdapat sel Langerhans. Sel-sel pada stratum spinosum
memasok sel-sel pada lapisan yang lebih eosinofilik. Tak ada inti maupun organel
terdapat glikogen yang melimpah (Djuanda, et al., 2010). (Kalangi, 2013)

Gambar 3. Lapisan-lapisan epidermis kulit tebal. Sumber: Mescher AL, 2010.


(Kalangi, 2013)
Gambar 2.2
Histologi Lapisan Kulit
8

e) Stratum Basale

Stratum basale merupakan sel dengan bentuk kubus (kolumnar) yang

tersusun vertikal di antara demo-epidermal berbentuk mirip pagar

(palidase). Stratum basale adalah bagian terbawah epidermis. Sel-sel basale

bermitosis dan berfungsi reproduktif.

Lapisan stratum basale terdiri dua jenis sel yaitu:

a. Sel-sel bentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik, inti besar

lonjong, satu dan lainnya dihubungkan jembatan antar sel.

b. Sel-sel yang membentuk melanin (melanosit) atau biasa disebut clear

cell ialah sel dengan warna muda, dengan sitoplasma berbentuk

basofilik, berinti gelap, serta mengandung butir-butir pigmen

(melanosomes) (Djuanda, et al., 2010).

2. Lapisan Dermis

Lapisan dermis merupakan lapisan di bawah epidermis yang lebih tebal

dibandingkan epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat

dengan folikel rambut dan elemen selular. Lapisan dermis terbagi dalam dua

bagian yaitu, stratum retikulare dan stratum papilare (Djuanda, et al., 2010).

a. Stratum Papilare

Stratum papilare merupakan bagian menonjol menuju epidermis yang

berisi pembuluh darah dan ujung serabut saraf (Djuanda, et al., 2010).

b. Stratum Retikulare

Lapisan retikulare merupakan bagian di bawahnya yang menonjol kearah

subkutan, bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya kolagen,


9

elastin, dan retikuklin. Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas cairan kental

asam hialorunat dan kondroitin sulfat, dibagian ini terdapat pula fibroblas.

Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblas, membentuk ikatan (bundel) yang

mengandung hidrokdipolin dan hodroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur

dengan bertambah umur menjadi kurang larut sehingga makin stabil.

Retikulum mirip kolagen muda. Serabut elastin biasanya bergelombang,

bernbentuk amorf dan mudah mengembang serta lebih elastis (Djuanda, et

al., 2010).

3. Lapisan Subkutis

Lapisan subkutis merupakan kelanjutan bagian dari dermis. Lapisan ini terdiri

atas jaringan ikat longgar yang didalamnya berisi sel-sel lemak. Sel lemak

merupakan sel yang bulat, besar dan inti yang terdesar kepinggir sitoplasma lemak

yang bertambah (Djuanda, et al., 2010).

Sel ini akan membentuk kelompok yang satu dan lainnya dipisahkan oleh

trabekula fibrosa. Lapisan ini disebut panikulus adipose yang memiliki fungsi

sebagai cadangan makanan. Lapisan ini berada di ujung-ujung saraf tepi, getah

bening, dan pembuluh darah. Ketebalan jaringan lemak berbeda-beda bergantung

pada lokasi jaringan tersebut. Pada bagina abdomen, jaringan lemak mencapai

ketebalan 3 cm, sedangkan pada daerah kelopak mata dan penis sangat sedikit.

Lapisan lemak ini juga berfungsi sebagai bantalan (Djuanda, et al., 2010).

Vaskularisasi pada kulit diatur oleh dua pleksus, yaitu pleksus yang terdapat

pada bagian atas dermis (pleksus superfisialis) dan pleksus yang terdapat pada

bagian subkutis (pleksus profunda). Pleksus pada bagian dermis atas mengadakan
10

anastomosis di papil dermis, pleksus di bagian subkutis dan stratum retikulare juga

mengadakan anastomosis, pada bagian ini pembuluh darah berukuran lebih besar.

Pada bagian yang bergandengan dengan pembuluh darah, terdapat salurah getah

bening (Djuanda, et al., 2010).

2.1.2. Fisiologi kulit

Kulit bertugas melindungi tubuhh darii trauma dan berfungsi sebagai

pertahanan tubuh dari infeksi bakteri, jamur dan virus. Kulit juga mengatur regulasi

panas melalui vasodilatasi pembuluh darah kulit dan sekresi dari kelenjar keringat.

Apabila semua bagian kulit hilang, maka cairan dalam tubuh akan menguap dan

elektrolit tubuh menghilang dalam hitungan jam saja, misalnya pada kasus pasien

luka bakar. Aroma yang sedap maupun tidak sedap dari kulit berfungsi sebagai

pertanda bahwa tubuh menerima atau menolak sosial dan seksual. Organ-organ

adneksa kulit seperti rambut dan kuku telah diketahuni memiliki nilai kosmetik.

Kulit juga merupakan tempat sensari suhu, tekan, raba dan nikmat yang terjadi

berkat jalinan ujung-ujung saraf yang saling bertautan (Wilson & Price, 2006).

2.2. Luka Bakar

Luka bakar merupakan rusaknya atau hilangnya jaringan yang dapat disebabkan

oleh kontak antara kulit dengan sumber panas seperti api, bahan kimia, air panas,

listrik maupun radiasi (Moenadjat, 2009).

2.2.1. Patofisiologi

Luka bakar disebabkan karena perpindahan energi dari sumber panas menuju

tubuh. Perpindahan tersebut mungkin terjadi melalui konduksi atau radiasi


11

elektromagnetik. Luka bakar terbagi atas beberapa kategori, yaitu luka bakar

termal, radiasi, atau luka bakar kimiawi (Effendi, 2009).

Kulit yang terkena luka bakar mengalami kerusakan pada bagian epidermis,

dermis atau jaringan subkutan bergantung pada faktor penyebab dan waktu kontak

kulit dengan sumber panas atau penyebabnya. Kedalaman luka bakar akan

memengaruhi kerusakan atau gangguan integritas dari kulit dan kematian sel

(Effendi, 2009).

Luka bakar menyebabkan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah

sehingga menyebabkan klorida, natrium, air dan protein dalam sel tubuh keluar dan

mengakibatkan edema yang dapat berlanjut pada kondisi hipovolumia dan

hemokonsentrasi. Kehilangan cairan tubuh yang terjadi pada pasien luka bakar

disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya suhu benda yang membakarm api, air

panas, minyak panas, listrik, zat kimia, radiasi dan kondisi ruangan yang tertutup

saat terjadinya kebakaran (Effendi, 2009).

2.2.2. Klasifikasi luka bakar

2.2.2.1. Berdasarkan penyebab

Luka bakar terdiri dari beberapa jenis, antara lain luka bakar yang disebabkan

karena api, air panas, bahan kimia (basa kuat atau asam kuat), listrik, petir, radiasi,

maupun akibat dari suhu yang sangat rendah (frost bite) (Moenadjat, 2009).

2.2.2.2. Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan

a) Luka Bakar Derajat I

Luka bakar derajat I ditandai oleh kerusakan yang terbatas pada lapisan

epidermis, kulit kering, eritem, tidak terdapat bullae, nyeri dikarenakan


12

ujung-ujung saraf sensorik mengalami iritasi. Penyembuhan terjadi spontan

dalam 5-10 hari (Moenadjat, 2009).

b) Luka Bakar Derajat II

Luka bakar derajat II merupakan luka yang ditandai oleh rusaknya

jaringan meliputi dermis dan sebagian epidermis berupa reaksi inflamasi

yang disertai proses eksudasi, terdapat bullae, nyeri yang disebabkan oleh

ujung-ujung saraf sensorik yang mengalami iritasi, dasat luka merah atau

pucat, posisinya sering terletak lebih tinggi diatas kulit normal. Luka bakar

derajat II dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu :

a. Derajat II dangkal (superficial)

• Kerusakan terjadi pada bagian superfisial dari dermis.

• Organ kulit lain seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar

sebasea masih utuh.

• Penyembuhan terjadi spontan dalam 10-14 hari.

b. Derajat II dalam (deep)

• Kerusakan hampir mengenai semua bagian dermis

• Organ kulit lain seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar

sebasea sebagian besar masih utuh.

• Proses penyembuhan akan lebih lama, bergantung pada sel epitel yang

tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi lebih dari satu bulan

(Moenadjat, 2009).
13
Initial assessment 126.3

Region Partial thickness (%) Full thickness (%)


A A [NB1]
head
1
1 neck

c)
2
Luka Bakar
2
Derajat
13
2
III 13
2
anterior trunk
posterior trunk
right arm
left arm
11/2
Luka bakar derajat III merupakan
11/2 11/2 kerusakan yang meliputi seluruh
buttocks
11/2

11/2 1 11/2 11/2 21/2 21/2 11/2 genitalia


right leg
lapisan dermis dan Blapisan
B B
B yang lebih
left leg dalam, kerusakan organ-organ
Total burn
NB1: Do not include erythema
kulit
C C (kelenjar keringat,
C Ckelenjar sebasea, folikel rambut), tidak terdapat
Area Age 0 1 5 10 15 Adult
A = half of head 91/2 81/2 61/2 51/2 41/2 31/2
13/4 bullae,
1 / kulit yang1 terbakar
3 4 / 1 / akan berubah 3 4
warna
B = half of one thigh menjadi
2 / 3 / abu-abu
3 4 4 4 / dan
4 / 3 4 1 4 1 2 1 2 43/4
6.1 Lund and Browder chart to C = half of one lower leg 21/2 21/2 23/4 3 31/4 31/2
ody surface area burned.

pucat, letaknya lebih rendah dibanding kulit sekitar, terjadi koagulasi

protein pada
rmining if the patient’s injury is ‘survivable’ or lapisan epidermisformula
Resuscitation dan lapisan dermis yang biasa disebut
in adults or elderly burn patients is usually deter- A central aspect of the clinical response is adequate resuscitation
sum of age (years) plus burn size (%) plus pres- [12–15]. Many formulas have been studied, with all having the
sebagai
ce inhalation injury (±14) being greater eskar, tidak
or equal sameterdapat
goal: rasa nyeri karena ujung saraf-saraf sensorik
1]. In paediatric patients, the philosophy of many
4 mL % TBSA weight (kg) = 24 h fluid requirement, with half
rn centres is that there is no futility in children
rusak atau
y rare instances, for example, a 100% TBSA full‐
mengalami kematian, penyembuhangiven terjadi lebih
over lama8 hkarena
the first and the
n. Once the decision to treat is made, the initial remainder over the following 16 h
and therapeutic goal is preservationtidak adanya
of limbs and proses epitelisasi spontan dari dasar luka (Moenadjat,
organ failure, which begins with well‐established maintenance of organ perfusion during burn shock with restora-
f injury severity, first care protocols and surgical tion of intravascular volume. The most commonly used formula is
[2,4]. 2009) .
the Parkland formula [13].

First degree

PART: 11 EXTERNAL
AGENTS
Second degree
First degree
Epidermis
Superficial second Partial
degree thickness
Dermis Deep second
degree

Third degree: full thickness Third degree


Fat

First‐, second‐ and third‐degree


he skin.

(Griffiths, et al., 2016)


Gambar 2.3
Derajat Kedalaman Luka Bakar
14

2.2.2.3. Berdasarkan luas luka bakar

Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Pada

orang dewasa digunakan “rumus 9”, yaitu luas kepala, leher, dada, punggung,

perut, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan dan kiri, paha kanan dan kiri

masing-masing 9%, sisanya 1% adalah genitalia. Rumus ini membantu penaksiran

luas permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa (De Jong, 2017).

Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala

anak lebih besar. Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil

berbeda, dikenal “rumus 10” untuk bayi dan “rumus 10-15-20” untuk anak (De

Jong, 2017).

(De Jong, 2017)


Gambar 2.4
Derajat Luas Luka Bakar
15

2.3. Proses Penyembuhan Luka

Proses penyembuhan luka terbagi menjadi tiga fase yaitu fase inflamasi, fase

poliferasi, dan fase remodeling (De Jong, 2017).

2.3.1. Fase inflamasi

Fase inflamasi berlangsung sejak luka mulai terjadi sampai pada kurang lebih

hari ke lima. Pembuluh darah yang terputus pada daerah luka akan mengakibatkan

pendarahan, lalu tubuh akan berusaha memberhentikan dengan

memvasokontriksikan pembuluh darah dan memulai reaksi homeostasis.

Homeostasis terjadi akibat trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling

melekat, dan saat bersamaan jala fibrin mulai terbentuk, membekukan darah yang

keluar dari pembuluh darah yang cidera. Trombosit yang melekat akan

bergranulasi, melepaskan kemostraktan yang akan menarik sel radang,

mengaktifasi fibroblas lokal dan sel endotel serta vasokonstriktor. Sementara itu,

terjadilah reaksi inflamasi (De Jong, 2017).

Setelah hemostasis, proses koagulasi akan mengaktifkan kaskade komplemen.

Dari kaskade ini akan menghasilkan pengeluaran bradikinin dan anafilatoksin C3a

dan C5a yang mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular

sehingga eksudasi, keluarnya sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang

menyebabkan edema dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinis yang menyertai

reaksi radang akan nampak jejas, seperti warna kemerahan akibat pelebaran kapiler

(rubor), rasa hangat (kolor), nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor) (De Jong,

2017).
16

Aktivasi selular yang terjadi ialah pergerakan leukosit yang menembus dinding

dari pembuluh darah (diapedesis) menuju tempat terjadinya luka karena adanya

daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu

memfagosit bakteri dan kotoran yang terdapat pada luka. Monosit dan limfosit yang

kemudian muncul, ikut menghancurkan dan memfagosit bakteri dan kotoran pada

luka. Fase ini juga disebut fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru

sedikit, dan luka hanya ditautkan oleh fibrin yang sangat lemah. Monosit yang

berubah menjadi makrofag ini juga menyekresikan berbagai macam sitokin dan

growth factor yang dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka (De Jong, 2017).

Adapun beberapa sitokin pro-inflamasi yang membantu dalam proses inflamasi

beserta fungsinya yaitu:

a. Histamin, berfungsi meningkatkan permeabilitas dan kontraksi otot polos.

b. Prostaglandin, berfungsi sebagai vasodilator dan kemotaksin neutrofil,

monosit, dan eosinofil.

c. IL-1 dan TNFa, berfungsi memicu ekspresi molekul adhesi endotel.

d. INFg, berfungsi sebagai aktifator makrofag.

e. IL-3 dan IL-5, berfungsi sebagai produksi dan aktivasi eosinofil (De Jong,

2017).

2.3.2. Fase poliferasi

Fase poliferasi berlangsung pada akhir fase inflamasi sampai kira-kira pada

akhir minggu ketiga. Fibroblast yang berasal dari sel mesenkim belum

berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam amino glisin, dan prolin


17

yang merupakan bahan dasar dari serat kolagen yang akan mempertautkan tepi luka

(De Jong, 2017).

Pada fase ini, serat kolagen akan dibentuk dan dihancurkan kembali untuk

menyesuaikan dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat tersebut,

serta sifat kontraktil fibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase

ini, kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan normal. Nantinya, dalam

proses remodeling, kekuatan serat kolagen akan bertambah karena ikatan

intramolekul dan antar molekul semakin menguat (De Jong, 2017).

Pada fase poliferasi ini, luka akan dipenuhi oleh sel radang, fibroblas, dan

kolagen, serta pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis), pembentukan

jaringan kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang biasa disebut dengan

jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri atas sel basal terlepas dari dasarnya

dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru

yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya terjadi ke arah yang lebih

rendah atau datar. Proses ini akan berhenti setelah epitel saling menyentuh dan

menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, fase

poliferasi akan terhenti dan dimulailah fase remodeling (De Jong, 2017).

2.3.3. Remodeling

Remodeling merupakan proses pematangan yang terdiri atas penyerapan

kembali jaringan yang berlebihan, pengerutan yang sesuai dengan gaya gravitasi,

dan akhirnya perupaan jaringan yang baru. Fase ini dapat berlangsung berbulan-

bulan dan dinyatakan berakhir apabila tanda radang sudah benar-benar hilang.

Tubuh akan berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal pada
18

proses penyembuhan luka. Edema dan sel radang akan diserap, sel muda akan

menjadi matur, kapiler baru akan menutup dan diserap kembali, kolagen yang

berlebihan akan diserap dan sisanya akan mengerut sesuai dengan besar regangan.

Selama proses ini berlangsung akan dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan

lentur, serta mudah digerakan dari dasar. Terlihat pengerutan yang maksimal pada

luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira-kira

80% dari kemampuan kulit normal. Hal ini kira-kira akan tercapai 3-6 bulan setelah

penyembuhan (De Jong, 2017).

2.4. Faktor-faktor Penyembuhan Luka

Menurut Suriadi, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses

penyembuhan luka diantaranya adalah nutrisi, usia, insufisiensi vascular, suplai

darah, obat-obatan, nekrosis, inflamasi, dan adanya benda asing pada luka (Suriadi,

2004).

1. Nutrisi

Faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka salah satunya adalah

status nutrisi, diperlukan asupan protein untuk mensuplai asam amino, yang

dibutuhkan untuk perbaikan jaringan dan degenerasi. Diet yang baik juga

mempertahankan tubuh terhadap infeksi (Darmawati & Sastra, 2013).

2. Usia

Usia dapat menggaggu proses penyembuhan luka, dikarenakan terdapat

perubahan vaskuler yang dapat mengganggu sirkulasi darah ke daerah luka,

penurunan fungsi hati mengganggu sintesis faktor pembekuan, respon


19

inflamasi yang lambat, pembentukan antibodi dan limfosit yang menurun, dan

berkurangnya kolagen (Nurani, et al., 2015)

3. Infufisiensi vascular

Diabetes melitus merupakan penyakit gangguan metabolit yang ditandai

dengan keadaan hipergligemi. Keadaan ini dapat mengakibatkan kerusakan

sirkulari vaskular perifer yang menyebabkan insufisiensi vaskuler perifer. Hal

tersebut dapat mengakibatkan suplai darah tidak dapat mencapai tempat jejas

dengan maksimal (Silaban, et al., 2014).

4. Suplai darah

Berkurangnya suplai darah ke daerah yang mengalami luka akan

mengakibatkan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk

penyembuhan luka (Ismail, 2009).

5. Obat-obatan

Beberapa obat dapat mempegaruhi proses penyembuhan luka diantaranya

adalah Non-Steroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAIDs) dan Steroid. NSAIDs

terbukti memiliki efek depresan pada penyembuhan luka sekaligus mengurangi

reaksi inflamasi granulasi, sedangkan dampak negatif dari penggunaan steroid

pada proses penyembuhan luka adalah menghambat fase kontriksi dan

memperkuat fase dilatasi (Nurjanah, et al., 2019)

6. Nekrosis

Nekrosis merupakan kematian jaringan/ sel pada tubuh yang hidup, jaringan

yang sudah mengalami nekrosis tidak dapat mengalami proses penyembuhan

(Apriyani, 2015).
20

7. Inflamasi

Proses inflamasi adalah keadaan fisiologis dalam melawan infasi pada

luka, namun jika fase ini mengalami pemanjangan maka akan menimbulkan

efek samping seperti inflamasi kronis dan kematian jaringan (nekrosis).

Pemanjangan fase inflamasi dalam penyembuhan luka juga membuat sintesis

kolagen dan fibroblas pada fase poliferasi tidak maksimal, sehingga

penyusutan luas luka akan berjalan kurang optimal (Gauglitz, et al; 2011).

8. Benda asing pada luka

Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan

terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul

dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan leukosit (sel darah merah), yang

membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (pus) (Ismail,

2009).

2.5. Pacar Air (Impatens balasmina L.)

2.5.1. Taksonomi

(Gbif, 2018)
Gambar 2.5
Impatiens balsamina L.
21

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Genariales

Famili : Balsaminaceae

Genus : Impatens

Spesies : Impatiens balsamina L. (Lestari & Kencana, 2015)

2.5.2. Morfologi

Terdapat ± 850 jenis Impatiens di dunia, jenis-jenis tersebut tersebar di Afrika

dan Asia Tenggara seperti India, Cina dan Malaya, namun tidak terdapat di

Australia, Selandia baru atau seluruh benua Amerika Selatan. Hampir semua daerah

di Indonesia seperti Kalimantan, Papua, Jawa dan Sumatra terdapat marga

Impatiens. Beberapa diantaranya adalah jenis endemik. Indonesia memiliki ± 60

jenis Impatiens dengan angka keanekaragaman yang tertinggi berada di Sumatra

yaitu ± 40 jenis. Tempat-tempat yang lembab, misalkan hutan, pantai dan pinggiran

sungai merupakan tempat yang banyak ditumbuhi Impatiens (Utami, 2014).

Impatiens balsamina L. adalah tumbuhan yang memiliki tinggi pohon berkisar

antara 30-85cm, dengan batang yang tegak. Bagian bawah dauh berhadapan dan

bagian atasnya bersilang, dengan ukuran daun antara 5-16cm x 1-3cm, pinggir daun

bergerigi, bertangkai pendek, basal dan ujung daunnya lancip (acuminate).

Bunganya berukuran 1-2,5cm dan memiliki warna bervariasi seperti merah, ungu,

putih dan kombinasi yang saling bertumpuk 1-3 pada ketiak daun, ukuran taji
22

bervariasi berkisar 2-20mm. buah berbentuk bulat telur hingga lonjong serta

berbulu (Utami, 2014).

Etiologi dan habitat : Dibudidayakan sebagai tanaman hias.

Persebaran : Berasal dari Asia Tenggara dan saat ini telah tersebar luas di Jawa,

Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Status konservasi : Kategori Least Concern, sebab populasinya masih mudah

ditemukan tumbuh liar di alam namun belum begitu diperhatikan (Utami, 2014).

2.5.3. Kandungan kimia bunga pacar air

Pada hasil uji skrining fitokimia penelitian ekstrak etanol bunga pacar air

didapatkan kandungan senyawa alkaloid, senyawa terpenoid, senyawa saponin,

senyawa fenolik, dan senyawa flavonoid (Pramitha, et al., 2018).

Tabel 2.1 Kandungan Fitokimia Bunga Pacar Air


No. Pemeriksaan Pacar Air

Hasil Kesimpulan
1. Alkaloid Terbentuk endapan merah +++

2. Terpenoid Berwarna merah ++

3. Steroid Tidak berubah warna -

4. Saponin Terbentuk busa ++

5. Fenolik Berwarna hijau kebiruan +

6. Flavonoid Berwarna merah ++

(Pramitha, et al., 2018)


2.5.3.1. Alkaloid

Alkaloid memiliki efek antiinflamasi. Cara kerja alkaloid sebagai antiinflamasi

yaitu dengan menekan pelepasan histamin oleh sel mast, mengurangi sekresi IL-1

oleh monosit dan PAF pada platelet (Luliana, et al., 2017).


23

2.5.3.2. Flavonoid

Flavonoid sebagai antiinflamasi bekerja menghambat agen proinflamasi seperti

sitokin. Sitokin sudah terbukti dapat menginduksi produksi prostanoid, seperti

prostaglandin dan sudah terbukti dapat menginduksi aktivasi NF-kB. Dengan

demikian, aktivitas NF-kB dan modulasi sitokin ini mungkin dapat menjelaskan

efek lain dari flavonoid, seperti menghambat sintesis prostaglandin. Selain

menghambat agen proinflamasi, senyawa flavonoid juga dapat menginduksi

ekspresi molekul antiinflamasi, seperti antagonis reseptor IL-1. Hal ini juga

berperan penting dalam proses inflamasi karena kemokin dan sitokin akan

mengawali respon inflamasi. Komponen lain dari inflamasi adalah nyeri. Nyeri

dihasilkan dari proses aktivasi dan sensitisasi nosiseptor (neuron yang bertugas

mentransmisikan stimulus dari rasa sakit). Sitokin memodulasi langsung aktivitas

nosireseptor melalui reseptornya. Jadi, selama inflamasi terjadi, flavonoid memiliki

fungsi ganda yaitu menghambat produksi dari sitokin proinflamasi dan

menginduksi dari sitokin antiinflamasi (Very, et.al., 2012). Selain itu, efek

antiinflamasi flavonoid juga didukung oleh aksinya sebagai antihistamin (Marbun

& Restuatu, 2015).

Anda mungkin juga menyukai