Anda di halaman 1dari 25

BAB II

INJEKSI TRIAMCINOLONE INTRALESI SEBAGAI TERAPI KELOID

DITINJAU DARI SEGI KEDOKTERAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit

Kulit merupakan organ tipis yang luas di tubuh yang tidak hanya berfungsi

sebagai sawar mekanis antara lingkungan eksternal dan jaringan di bawahnya, tetapi

secara dinamis juga terlibat dalam mekanisme pertahanan dan berbagai fungsi lain.

(Sherwood,2010).

Warna kulit berbeda-beda, dari kulit yang berwarna terang (fair skin), pirang

dan hitam, warna merah muda pada telapak kaki dan tangan bayi, serta warna hitam

kecoklatan pada genitalia orang dewasa. Demikian pula kulit bervariasi mengenai

lembut, tipis dan tebalnya; kulit yang elastis dan longgar terdapat pada palpebral,

bibir dan preputium, kulit yang tebal dan tegang terdapat di telapak kaki dan tangan

dewasa. Kulit yang tipis terdapat pada muka, yang lembut pada leher dan badan, dan

yang berambut kasar terdapat pada kepala. (Sridharani, 2010).

Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu:

1. Lapisan epidermis atau kutikel

2. Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin)

3. Lapisan subkutis (hipodermis)

Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis, subkutis ditandai

dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak.

Lapisan epidermis terdiri atas:


a. Stratum korneum (lapisan tanduk) adalah lapisan kulit yang paling luar

dan terdiri atas beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan

protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).

b. Stratum lusidum terdapat langsung di bawah lapisan korneum,

merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang

berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak

lebih jelas di telapak tangan dan kaki.

c. Stratum granulosum (lapisan keratohialin) merupakan 2 atau 3 lapis sel-

sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya.

Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak

mempunyai lapisan ini. Stratum granulosum juga tampak jelas di telapak

tangan dan kaki.

d. Stratum spinosum (stratum Malphigi) atau disebut pula prickle cell layer

(lapisan akanta) terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk polygonal

yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis.

Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen, dan inti

terletak di tengah-tengah. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan makin

gepeng bentuknya. Diantara sel-sel stratum spinosum terdapat jembatan-

jembatan antar sel (intercellular bridges) yang terdiri atas protoplasma dan

tonofibril atau keratin. Perlekatan antar jembatan-jembatan ini membentuk

penebalan bulat kecil yang disebut nodulus Bizzozero. Diantara sel-sel

spinosum terdapat pula sel Langerhans. Sel Langerhans berasal dari

sumsum tulang dan berfungsi sebagai makrofag. Sel ini juga menghasilkan

bahan antigen dan antibodi yang menjaga tubuh melalui mekanisme reaksi

imun terhadap infeksi virus atau pembentukan neoplasma. Penolakan


allograft kulit juga merupakan bentuk reaksi imun sel ini. Sel-sel stratum

spinosum mengandung banyak glikogen.

e. Stratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang

tersusun vertikal pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar

(palisade). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah.

Sel-sel basal ini mengadakan mitosis dan berfungsi reproduktif.

(Juanda,2009).

Gambar 1. Anatomi Kulit

Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell merupakan sel-sel

berwarna muda, dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung

butir pigmen (melanosmes). Sel yang makin tua makin terdorong ke

permukaan, memproduksi granul keratohialin, dan disebut keratinosit.

Keratinosit inilah yang membentuk epidermis. Makin ke permukaan, sel

menipis, berdegenerasi, dan mati menjadi lapis keratin yang dilepas setiap hari

dari permukaan kulit. (Juanda,2009) (Sjamsuhidajat,2010).

Lapisan keratinisasi bersifat kedap udara, cukup kedap air, dan sulit

ditembus oleh sebagian besar bahan. Lapisan ini berfungsi menahan lewatnya
bahan dalam kedua arah antara tubuh dan lingkungan eksternal. Sebagai

contoh, lapisan ini memperkecil kehilangan air dan konstituen vital lain dari

tubuh. Manfaat lapisan keratinisasi protektif dalam menahan cairan tubuh ini

akan jelas tampak pada luka bakar luas. (Juanda,2009) (Sjamsuhidajat,2010).

Di bawah membran basal, terdapat puncak saraf (neural crest) yang di

atasnya terdapat sel bakal (precursor cells) yang akan menjadi melanosit.

Melanosit memproduksi melanin dari tirosin dan sistein serta bermigrasi ke

epidermis. Pigmen melanin dibungkus dalam melanosom dan akhirnya

difagositosis oleh keratinosit. Pigmen akan mengumpul di permukaan nukleus

sel sebagai payung yang melindungi kulit dari efek sinar ultraviolet. Kadar

melanosit konstan untuk tiap individu, tetapi produksinya dipengaruhi oleh

faktor genetik, hormon estrogen, adrenalin, adrenokortikotropik dan radiasi

cahaya matahari. (Juanda,2009) (Sjamsuhidajat,2010).

Lapisan dermis

Lapisan dermis jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini terdiri dari

lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut.

Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yakni:

a. Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut

saraf dan pembuluh darah.

b. Pars retikulare, yaitu bagian di bawahnya yang menonjol ke arah subkutan,

bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin

dan retikulin. Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat

dan kondroitin sulfat, di bagian ini terdapat pula fibroblas. Serabut kolagen

dibentuk oleh fibroblas, membentuk ikatan (bundel) yang mengandung

hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah


umur menjadi kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda.

Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah

mengembang serta lebih elastis.

Bahan dasar dermis adalah glikosaminoglikan (gabungan beberapa macam

polisakarida dan polipeptida) sedangkan jaringan penunjangnya sebagian besar adalah

kolagen. Kolagen terdiri dari rantai asam amino hidroksiprolin, hidroksilisin, dan

glisin yang membentuk serat. Serat ini mempunyai sifat elastis sehingga kulit dapat

diregang dan akan kembali ke keadaan semula.

Fungsi pengaturan suhu tubuh didapat dari adanya dua lapis pleksus pembuluh darah

dermis, satu pada batas antara dermis dan subkutis dan satu di lapisan papiler dermis.

Di antara pleksus ini, tersebar badan Glomus yang mengandung pirau (shunt) arteri

vena; bila pirau terbuka, aliran darah ke kulit membesar dan panas terpancar keluar.

Termoregulasi ini diaktifkan oleh rangsangan saraf otonom yang juga mempersarafi

kelenjar keringat dan otot penegak rambut.

Terdapat juga reseptor saraf sensoris berupa badan Pacini, Meissner dan Rufini yang

masing-masing mendeteksi tekanan, getaran dan sentuhan. Ujung saraf sensoris

berakhir pada sel Merkel di dasar epidermis dan pada folikel rambut; fungsinya

adalah untuk mendeteksi suhu, sentuhan, sensasi nyeri dan gatal.

Sebagai penutup, kulit melindungi tubuh dari trauma mekanis, radiasi, kimiawi dan

dari kuman infeksius. Asam laktat dalam keringat dan asam amino hasil perubahan

keratinisasi mempertahankan pH permukaan kulit antara 4-6 yang akan menghambat

pertumbuhan bakteri. Namun, beberapa jenis streptokokus dan stafilokokus masih

dapat hidup komensal di lapisan keratin, muara rambut, dan kelenjar sebaseus.

Jika terjadi perlukaan, sel epitel pada kelenjar sebaseus, folikel rambut, dan kelenjar

keringat akan bermitosis dan bermigrasi menutupi permukaan luka. Bila tidak ada sel
epitel yang tersisa, luka yang tak begitu luas masih bisa ditutup dengan proses mitosis

dan migrasi benih epitel dari tepi luka dibantu dengan proses kontraksi luka. Migrasi

epitel hanya bisa berlangsung dengan arah mendatar atau menurun tetapi tidak bisa ke

arah yang lebih tinggi, misalnya bila luka sudah tertutup granuloma.

Lapisan subkutis

Lapisan subkutis merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar

berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan

inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah.

Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain oleh

trabekula yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adiposa, berfungsi

sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh

darah dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama bergantung pada

lokalisasinya. Di abdomen dapat mencapai ketebalan 3 cm, di daerah kelopak mata

dan penis sangat sedikit. Lapisan lemak ini juga merupakan bantalan.

Selain lapisan utama kulit, kulit juga memiliki turunan yang disebut sebagai adneksa

kulit. Adneksa kulit terdiri atas kelenjar-kelenjar kulit, rambut dan kuku.

a. Kelenjar kulit

Kelenjar kulit terdapat di lapisan dermis, terdiri atas:

1) Kelenjar keringat (glandula sudorifera)

Ada dua macam kelenjar keringat, yaitu kelenjar ekrin yang kecil-kecil, terletak

dangkal di dermis dengan sekret yang encer, dan kelenjar aprokrin yang lebih besar

terletak lebih dalam dan sekretnya lebih kental.

Kelenjar ekrin telah dibentuk sempurna pada 28 minggu kehamilan dan baru

berfungsi 40 minggu setelah kelahiran. Saluran kelenjar ini berbentuk spiral dan

bermuara langsung di permukaan kulit. Terdapat di seluruh permukaan kulit dan


terbanyak di telapaktangan dan kaki, dahi, dan aksila. Sekresi bergantung pada

beberapa faktor dan dipengaruhi oleh saraf kolinergik, faktor panas dan stress

emosional.

Kelenjar apokrin dipengaruhi oleh saraf adrenergik, terdapat di aksila, areola

mammae, pubis, labia minora, dan saluran telinga luar. Fungsi apokrin pada manusia

belum jelas, pada waktu lahir kecil, tetapi pada pubertas mulai besar dan

mengeluarkan sekret. Keringat mengandung air, elektrolit, asam laktat dan glukosa,

besarnya pH sekitar 4-6,8.

2) Kelenjar palit (glandula sebasea)

Kelenjar palit (glandula sebasea) terletak di seluruh permukaan kulit manusia kecuali

di telapak tangan dan kaki.

Kelenjar palit disebut juga kelenjar holokrin karena tidak berlumen dan sekret

kelenjar ini berasal dari dekomposisi sel-sel kelenjar. Kelenjar palit biasanya terdapat

di samping akar rambut dan muaranya terdapat pada lumen akar rambut (folikel

rambut). Sebum mengandung trigliserida, asam lemak bebas, skualen, wax ester, dan

kolesterol. Sekresi dipengaruhi oleh hormon androgen, pada anak-anak jumlah

kelenjar palit sedikit, pada pubertas menjadi lebih besar dan banyak serta mulai

berfungsi secara aktif.

b. Kuku

Kuku adalah bagian terminal lapisan tanduk (stratum korneum) yang menebal. Bagian

kuku yang terbenam dalam kulit jari disebut akar kuku (nail root), bagian yang

terbuka di atas dasar jaringan lunak kulit pada ujung jari disebut badan kuku (nail

plate), dan yang paling ujung adalah bagian kuku yang bebas. Kuku tumbuh dari akar

kuku keluar dengan kecepatan tumbuh kira-kira 1 mm per minggu.


Sisi kuku agak mencekung membentuk alur kuku (nail groove). Kulit tipis yang

menutupi kuku di bagian proksimal disebut eponikium sedangkan kulit yang ditutupi

bagian kuku bebas disebut hiponikium.

c. Rambut

Rambut terdiri atas bagian yang terbenam dalam kulit (akar rambut) dan bagian yang

berada di luar kulit (batang rambut). Ada dua macam tipe rambut, yaitu lanugo yang

merupakan rambut halus, tidak mengandung pigmen dan terdapat pada bayi, dan

rambut terminal yaitu rambut yang lebih kasar dengan banyak pigmen, mempunyai

medula dan terdapat pada orang dewasa.

Pada manusia dewasa selain rambut di kepala, juga terdapat bulu mata, rambut ketiak,

rambut kemaluan, kumis dan janggut yang pertumbuhannya dipengaruhi hormone

seks (androgen). Rambut halus di dahi dan badan lain disebut rambut velus.

Rambut tumbuh secara siklik, fase anagen (pertumbuhan) berlangsung 2-6 tahun

dengan kecepatan tumbuh kira-kira 0,35 mm per hari. Fase telogen (istirahat)

berlangsung beberapa bulan. Di antara kedua fase tersebut terdapat fase katagen

(involusi temporer). Pada satu saat 85% seluruh rambut mengalami fase anagen dan

15% sisanya dalam fase telogen.

Rambut normal dan sehat berkilat, elastis dan tidak mudah patah, dan

dapat menyerap air. Komposisi rambut terdiri atas karbon 50,60%, hydrogen

6,36%, nitrogen 17,14%, sulfur 5,0% dan oksigen 20,80%. Rambut dapat

mudah dibentuk dengan mempengaruhi gugusan disulfide misalnya dengan

panas atau bahan kimia.

2.2 Keloid
2.2.1 Definisi
Keloid adalah pembentukan jaringan parut berlebihan (pertumbuhan proliferatif)

diatas permukaan kulit yang disebabkan oleh trauma atau luka dan bekas operasi

karena sintesis dan deposisi yang tidak terkontrol dari jaringan kolagen pada dermis.

(Fitzpatrick,T.B.,2008).

Luka pada kulit seperti luka bakar, insisi pembedahan, ulkus dan lain-lain

diperbaiki melalui deposisi dari komponen yang akan membentuk kulit baru.

Komponen tersebut meliputi pembuluh darah, saraf, serat elastin (memberelastisitas

kulit), serat kolagen (memberi ketegangan kulit), dan gliko-saminoglikan yang

membentuk matriks di mana serat-serat struktural, saraf dan pembuluh darah berada.

Pada beberapa orang, jaringan parut yang terbentuk akibat proses

penyembuhan luka tumbuh secara abnormal menghasilkan jaringan parut hipertrofik

atau keloid. Jaringan parut abnormal tersebut dapat menyebabkan gangguan psikis

dan fungsional pada pasien dan penatalaksanaannya relatif sulit.

Gambar 2. Keloid
2.2.2 Epidemiologi

Keloid dapat diturunkan dominan dan resesif autosom. Meskipun dapat terjadi

pada semua kelompok usia, jarang ditemukan pada bayi baru lahir atau orang tua dan

memiliki kejadian tertinggi di individu yang berusia 10-20 tahun. Pada keloid tingkat

kolagen lebih tinggi dibandingkan rata-rata jaringan parut. Keloid terletak di lokasi

yang sebagian besar menjadi perhatian kosmetik, beberapa keloid dapat menyebabkan

kontraktur, yang dapat mengakibatkan hilangnya fungsi jika diatasnya bersama atau
dalam pengrusakan signifikan jika terletak di wajah. Keloid bentuk yang lebih sering

pada orang Polinesia dan Cina daripada orang India dan Malaysia. Sebanyak 16% dari

orang dalam sampling acak dari Afrika hitam dilaporkan memiliki keloid. Orang

putih setidaknya umumnya terkena. Prevalensi ini telah dilaporkan lebih tinggi pada

wanita muda dari pada laki-laki muda. Keloid mempengaruhi kedua jenis kelamin

sama-sama dalam kelompok usia lainnya. Onset terjadi paling sering pada individu

usia 10-30 tahun.

2.2.3 Etiologi

Selain trauma, faktor penyebab yang mungkin untuk terjadinya keloid masih

belum bisa dijelaskan. Keloid biasanya berhubungan dengan faktor penyembuhan

luka yang tidak baik seperti infeksi, luka bakar, inflamasi kronis, penutupan luka yang

tidak adekuat, tegangan yang berlebihan, benda asing dan trauma berulang, namun

dapat muncul pada luka yang bersih.(Steifert,2009). Beberapa faktor lain yang

diketahui berpengaruh adalah herediter dan ras, umur dan faktor endokrin, jenis luka

dan lokasi trauma seperti yang telah dijelaskan diatas.

2.2.4 Pathogenesis

Secara umum, keloid timbul setelah cedera atau inflamasi kulit pada individu

yang beresiko. Keloid dapat terjadi dalam jangka waktu satu bulan sampai satu tahun

setelah trauma atau inflamasi. Trauma kulit pada dermis retikuler atau lapisan kulit

lebih dalam lagi cenderung berpotensi menjadi skar hipertrofik dan keloid. Beberapa

penyebab keloid yang sering dilaporkan adalah: akne, folikulitis, varicella, vaksinasi,

tindik telinga, luka robek dan luka operasi. Luka kecil sekalipun, bahkan bintil bekas

gigitan serangga dapatmenjadi keloid. Injeksi menggunakan jarum ukuran kecil,

seperti injeksi anestesi lokal, biasanya tidak menimbulkan keloid.


Keloid dapat terjadi pada injeksi yang memprovokasi inflamasi, seperti vaksinasi.

Penelitian di Taiwan mendapatkan bahwa 10% remaja mendapat keloid pada tempat

bekas injeksi vaksin Bacil Calmette Guerin (BCG). (Robles& Berg, 2007) Setelah

terjadi trauma/luka, pada lokasi luka terjadi degranulasi platelet, aktifasifaktor

pembekuan dan komplemen, mengakibatkan pembentukan bekuan fibrin

untuk hemostasis. Bekuan ini selanjutnya berperan sebagai rangka untuk

penyembuhan luka. Degranulasi platelet menyebabkan pelepasan dan aktifasi sitokin

poten termasuk transforming growth factor-β (TGF-β), epidermal growth

factor (EGF), insulin like growth factor-1 (IGF-1) dan platelet-derived growth

factor (PDGF). Growth factor berfungsi merekrut dan mengaktifkan sel netrofil,

epitel, endotel makrofag, sel mast dan fibroblas. (Thompson,2001).

Penelitian lain tentang patogenesis keloid mendapatkan bahwa pada keloid

terjadi down-regulation gen yang terkait apoptosis. Selain itu pada biakan fibroblas

keloid didapatkan produksi kolagen dan matriks metalloproteinase lebih besar

dibandingkan fibroblas dermal normal. (Steifert,2009). Berikut beberapa teori yang

sering dianggap sebagai patogenesis keloid:

Aktifitas Fibroblas Abnormal

Fibroblas yang terdapat pada keloid memproduksi type I procollagen

secara berlebihan. Secara in vitro, fibroblas keloid juga mengekspresikan lebih

banyak vascular endothelial growth factor (VEGF), transforming growth factor-

(TGF-)β1/β2, reseptor platelet derived growth factor –α (PDGF-α) dan mengalami

penurunan kebutuhan growth factor . Ladin dkk melaporkan bahwa fibroblas keloid

mengalami penurunan frekuensi apoptosis. (Robles,2007).

Fibroblas keloid (FK) menghasilkan kolagen dalam jumlah banyak. Selain itu

FK juga menghasilkan elastin, fibronektin, dan proteoglikan serta chondroitin 4 sulfat


(C4S)lebih banyak dibanding fibroblas normal. Fibroblas keloid menghasilkan

kolagen tipe I dan memiliki kapasitas untuk berproliferasi 20 kali lebih besar

dibandingkan dengan fibroblasnormal.

Reaksi Imunitas Abnormal

Beberapa teori menyatakan bahwa keloid disebabkan oleh reaksi imun

spesifik. Immunoglobin (Ig) yang meningkat pada keloid, adalah: IgA, IgG dan IgM.

Pelepasan produk sel mast yang dimediasi oleh IgE juga berperan pada pembentukan

keloid.Histamin berhubungan dengan sintesis kolagen karena menghambat enzim lysil

oksidase kolagen yang berperan terhadap cross-linking kolagen, sehingga

mengakibatkan peningkatan jumlah kolagen pada keloid. Aktifitas metabolik sel mast

juga berperan danmendasari terjadinya rasa gatal yang sering menyertai kondisi ini.

(Urioste dkk, 1999).

Peningkatan Produksi Asam Hyaluronat

Asam hyaluronat merupakan glikosaminoglikan yang terikat pada reseptor

di permukaan fibroblas dan memiliki peranan penting dalam mempertahankan sitokin

tetap terlokalisir dalam sel. Salah satu sitokin yang dimaksud adalah TGF-α1.

Produksi asam hyaluronat meningkat pada fibroblas keloid, dan kadarnya kembali

normal setelah pengobatan dengan triamsinolon. Beberapa peneliti tidak setuju

dengan teori ini, berdasarkan temuan kadar asam hyaluronat yang lebih rendah dalam

dermis keloidal dibandingkan dermis normal. (Berman,2005).

Pengaruh Melanin terhadap Reaksi Kolagen-kolagenase

Peningkatan kadar melanin berpengaruh terhadap terjadinya akumulasi

kolagen melalui mekanisme penurunan pH menjadi lebih asam sehingga kemampuan

enzim kolagenase mendegradasi kolagen menjadi berkurang. Penelitian ini juga

menjelaskan kejadian keloid pada kulit berwarna disebabkan karena keberadaan


melanin yang lebih banyak akan mengganggu keseimbangan sintesis dan degradasi

kolagen pada penyembuhan luka. (Sridharani,2010)

Fase Penyembuhan Luka

Luka adalah keadaan di mana kontinuitas jaringan rusak bisa karena akibat trauma, kimiawi,

listrik, radiasi. Proses yang terjadi secara alami bila terjadi luka dibagi dalam tiga fase.

(Sjamsuhidajat,2010).

Gambar 3. Proses Penyembuhan Luka

Tabel 1. Fase Penyembuhan Luka


Fase Proses Tanda dan Gejala
I Inflamasi Reaksi radang Dolor, rubor, kalor, tumor

II Proliferasi Regenerasi/ fibroplasia Jaringan granulasi/kalus tulang


menutup: epitel/endotel/mesotel

III Remodelling Pematangan atau perupaan Jaringan parut/fibrosis


kembali
Gambar 4. Proses Inflamasi

Gambar 5. Akibat dari Proses Inflamasi


Gambar 6. Fase Penyembuhan Luka Secara Histologi
A. Fase inflamasi/ homeostasis. B. Fase inflamasi yang menunjukkan infiltrasi sel
mononuklear dan limfosit. C. Fase proliferasi yang diikuti angiogenesis dan sintesis
kolagen.
2.3.4 Manifestasi klinik

Secara klinis keloid merupakan nodul fibrosa, papul atau plak, keras, elastis,

berkilat, tidak teratur, berbatas tegas, terdapat telangiektasis dan berwarna merah

muda, merah sampai coklat gelap.( Brunicardi,2007). Pasien sering mengeluhkan rasa

gatal dan nyeri. (Butler,2008). Keloid cenderung tumbuh lambat lebih dari beberapa

bulan sampai tahun. Secara histopatologis menunjukkan adanya hialinisasi serabut

kolagen yang tersusun melingkar. Keloid biasanya diagnosis banding dengan skar

hipertrofi, dermatofibroma dan dermatofibrosarkoma protuberans. (Thompson,2001).

Skar hipertrofi sama dengan keloid, namun secara klinis tinggi skarnya tidak tumbuh

melebihi batas dari lukanya. (Robin,2010).

Keloid tidak mengalami resolusi spontan, tetapi dengan pengobatan yang

sesuai progresinya dapat dihambat. Keloid dapat menyebabkan terganggunya pasien

secara fisik maupun psikologis dan menyebabkan dampak negatif pada kualitas

hidupnya. (Brunicardi,2007).

Walaupun prevalensi keloid ini tinggi pada populasi umum, namun masih

menjadi tantangan bagi dermatolog untuk menanganinya karena kekambuhan sering

terjadi setelah penanganan. Penanganan kombinasi sepertinya merupakan stategi yang

optimal. (Juanda,2009). Terdapat beberapa penanganan pada keloid. Namun, tidak

ada penanganan keloid yang dinyatakan 100% efektif. Ada beberapa penanganan

keloid seperti kompresi, kortikosteroid intralesi, penggunaan silikon, vitamin dan

bahan farmakologi secara topikal, pembedahan, bedah beku, laser, radioterapi,

penanganan kombinasi dan beberapa penanganan keloid lainnya.(Berman,2005)

(Juanda,2009) (Sherwood,2010) .
Gambar 7. Keloid
2.3.5 Penatalaksanaan Keloid

Penanganan keloid merupakan tantangan bagi dermatolog. Beberapa metoda

terapi telah digunakan dengan tingkat keberhasilan bervariasi. Berdasarkan

pemahaman tentang patogenesis keloid yang ada saat ini, terdapat tiga pendekatan

terapi yang dapat digunakan:manipulasi terhadap aspek mekanis penyembuhan luka,

koreksi terhadap ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi kolagen, dan

perubahan responimun/inflamasi. (Urioste, 1999). Penanganan keloid merupakan

masalah yang sulit, karena rendahnya respon penyembuhan terhadap berbagai terapi

dan cenderung kambuh. Keloid yang hanya diterapi dengan pembedahan memiliki angka

kekambuhan sampai 80%. Pada algoritma yang terdapat dalam referat ini, ukuran dan

jumlah lesi keloid harus diukur dalam merencanakan penanganan keloid.

Penggolongan ini penting karena lesi yang kecil (dini) dapat diterapi secara radikal

dengan cara pembedahan dan terapi adjuvant. Terapi laser sebagai monoterapi juga

efektif untuk terapi radikal keloid dini. Terapi konservatif non bedah, tidak efektif jika

digunakan sebagai monoterapi.5 Diskusi dengan pasien untuk menentukan tujuan akhir

terapi merupakan hal penting yang harus dilakukan dalam menangani keloid yang

besar dan multipel. Pasien dengan keloid berukuran besar biasanya disertai infeksi

dan nyeri, sehingga pengurangan ukuran massa keloid dan terapi simtomatik dengan

berbagai modalitas terapi harus dipertimbangkan. (Berman,2005).


Penanganan keloid yang paling sering digunakan dan paling sering dilaporkan

efikasinya adalah injeksi kortikosteroid intralesi, bedah eksisi, 5-fluoruorasil,

cryotherapy, laser, radiasi dan silicone gel sheeting.(Hartyng,2008).

A. Konservatif

Kortikosteroid Intralesi

Injeksi kortikosteroid memberikan respons 50-100%, namun

kekambuhannya sekitar 9-50%. Injeksi steroid merupakan cara terbaik untuk

tumor bekas luka yang menebal atau jika seseorang diketahui memiliki riwayat

keloid. Injeksi diulang setelah 3-4 minggu. (Berman,2005).

5-Fluorouracil

5-Fluorouracil (5-FU), merupakan analog pirimidin yang banyak digunakan

dalam pengobatan kanker dan glaukoma. Dalam sel 5-FU dikonversikan menjadi

substrat aktif yang menghambat sintesis DNA dengan cara kompetitif terhadap

penggabungan urasil. Penelitian terbaru mendapatkan bahwa 5-FU memiliki efikasi

yang baik untuk menangani keloid. Kemampuan 5-FU untuk untuk mengganggu

TGF-b signaling merupakan dasar penggunaan 5-FU untuk menghambat

pembentukan keloid. Teknik yang digunakan dalam penelitian efikasi 5-FU terhadap

keloid adalah dengan injeksi intralesi atau menempatkan kain yang sebelumnya

direndam dengan 5-FU selama 5 menit sebelum luka ditutup. Efek samping yang

sering terjadi adalah nyeri di lokasi injeksi, ulserasi dan rasa terbakar. (Robles,2007).

Penelitian Kontochristopoulos dkk menggunakan injeksi 5-FU intralesi

dengan interval 1 pekan, sebanyak 6 kali, mendapatkan hasil yang baik. Perbaikan

secara klinis dibuktikan juga dengan temuan histopatologi berupa; berkurangnya

jumlah hyalinized collagen fibers, berkurangnya prominent vascularity, pendataran

papila dermis tanpa tanda atrofi, pigmentary incontinence, penurunan ekspresi Ki-67
dan penurunan ekspresi TGF-b. Ki-67 adalah petanda proliferasi sel. Fitzpatrick juga

melaporkan perbaikan klinis pada keloid yang diterapi dengan injeksi intralesi 5-FU,

walaupun bukan sebagai terapi tunggal.(Robles,2007) (Agung,2009).

Karena terapi 5-FU sistemik dihubungkan dengan anemia, leukopenia dan

trombositopenia, maka pasien harus dimonitor gambaran darah tepinya secara ketat.

Terapi menggunakan 5-FU juka tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau menyusui

dan pada pasien dengan bone marrow suppression.(Robles,2007).

B. Penggunaan Silikon gel sheeting

Pemberian silikon gel sheeting secara topikal merupakan alternatif lain untuk

penanganan keloid. Silikon ini dapat melembutkan dan menurunkan pruritus, merah

dan nyeri.Penggunaan silikon sedikitnya 12 jam perhari atau dua kali sehari dalam

beberapa bulan agar efektif. Dapat digunakan sebagai terapi tambahan seperti pada

terapi pembedahan, kortikosteroid intralesi dan laser. Silokon gel sheet ini merupakan

campuran dan kombinasi dari beberapa ekstrak herbal dan derivate silicone. Oleh ahli

international merekomendasikan silikon gel ini sebagai profilaksis lini pertama

setelah bedah eksisi. Namun, ada sebuah penelitian lanjutan yang dilakukan oleh

seorang ahli dari Thailand Muangman dkk tahun 2001, tentang pengunaan gel ini

sebagai penanganan keloid.(Urioste,1999).

C. Pembedahan

Ada 50% kemungkinan kambuh dan lesi yang meluas setelah prosedur

pembedahan. Penutupan kulit yang terdiri dari beberapa teknik yaitu v-plasty atau

w-plasty untuk mereduksi kulit yang tegang yang diketahui dapat mengurangi

kekambuhan keloid dengan eksisi. (Brunicardi,2007).

Pembedahan dilakukan dengan mengeksisi jaringan parut, dapat berupa

eksisi total atau eksisi intralesi bertahap. Bila eksisi menimbulkan luka yang luas
atau lebar, luka harus ditutup dengan full thickness skin graft (FTSG) karena

tegangan yang terjadi akibat pemaksaan penutupan luka primer akan memicu

kambuhnya keloid yang lebih parah. (Brunicardi,2007).

Gambar 8. W-plasty

Untuk keloid yang memanjang dapat dieksisi dengan teknik Z-plasty, W-

plasty, atau dengan teknik geometric broken line closure (GBLC). Teknik Z-

plasty berguna untuk memperpanjang parut dengan mengubahnya dari parut yang

melintang atau melawan relaxed skin tension lines (RSTL) menjadi parut yang

paralel dengan garis lipatan kulit. Teknik W-plasty berguna untuk menyamarkan

parut yang panjang dan lurus serta tidak paralel dengan RSTL. Teknik GLBC

juga dapat digunakan untuk parut panjang yang tidak paralel dengan RSTL,

namun memiliki tepi parut yang ireguler. (Brunicardi,2007).

D. Bedah Beku

Bedah beku atau cryotherapy menggunakan refrigerant, sebagai terapi tunggal

atau dikombinasi dengan injeksi KIL telah lama digunakan sebagai terapi keloid.

Metoda aplikasi cryotherapy adalah dengan cara ditempelkan, disemprotkan, dan

disuntikkan intralesi.(Thompson,2001). Kelebihan dari bedah beku ini secara

langsung menyebabkan stasis dan pembentukan trombus sehingga terjadi nekrosis

serta perlunakan dan pendataran keloid. Secara in vitro, cryotherapy mampu


mengubah sintesis kolagen dan differensiasi keloidal collagen menjadi normal.

Kelemahan dari bedah beku cryotherapy adalah nyeri yang ditimbulkan cukup berat

danwaktu penyembuhan yang lama, sehingga pasien sering tidak datang kembali.

Metoda inimemerlukan kombinasi dengan cara pengobatan lain. Pada pasien dengan

warna kulitgelap dapat terjadi efek hipopigmentasi, yang dapat menimbulkan masalah

baru. ( Thompson,2001).

E. Laser

Laser memiliki harapan baik untuk penanganan terhadap keloid. Pulsed-dye

laser (PDL) memberikan angka respon yang baik dan menurunkan kekambuhan.

Mekanisme kerjanya masih belum jelas. Diketahui PDL 585 nm memiliki target

pembuluh darah yang menyebabkan fototermolisis selektif. Sehingga pembuluh darah

yang berlebihan pada keloid dapat dihancurkan, selanjutnya terjadi hipoksia lokal.

Hasilnya peningkatan asam laktat yang menstimulasi kolagenase dan penghancuran

kolagen.(Butler,2008).Dapat dikombinasi dengan injeksi kortikosteroid.

(Robles,2007).

Laser karbondioksida (CO2) merupakan salah satu jenis laser yang pertama

kalidigunakan untuk terapi keloid. Pada tahun 1982 continous wave CO2 laser sukses

dalameksisi keloid. Keuntungan laser adalah bersifat non traumatik dan memiliki efek

antiinflamasi. Namun selanjutnya didapat bahwa eksisi keloid menggunakan continous

wave CO2 laser yang dilanjutkan dengan penyembuhan luka sekunder, gagal

menekan pertumbuhan dan mencegah rekurensi keloid. Saat ini laser CO2 digunakan

untuk debulking keloid berukuran besar, sebelum terapi lain dimulai.(Thompson,2001).

F. Radioterapi

Penanganan keloid hanya menggunakan radioterapi dinyatakan tidak dapat

dipercaya. Hasil yang lebih baik didapati bila dikombinasi dengan pembedahan
dengan tingkat kekambuhan yang lebih rendah dan merupakan salah satu cara yang

efektif. Radiasi dilakukan segera setelah pembedahan. Pada salah satu penelitian,

pasien mendapat radiasi 1500-2000 rad. Hati-hati penggunaan luas dari radiasi ini,

karena ditakutkan efek karsinogenesisnya. Efek samping yang sering terjadi adalah

transient erythema dan hiperpigmentasi. Terapi radiasi memiliki resiko

karsinogenesis, sehingga walaupun resiko ini kemungkinan kecil terjadi pada keloid,

pasien harus tetap diberitahu agar waspada karena secara teori hal itu mungkin terjadi.

(Robles,2007).

Terapi ini sebaiknya dilakukan pada pasien dewasa dan kecacatan yang

bermakna akibat keloid, yang gagal dengan penanganan keloid lain. (Robles,2007).

2.3.6 Pencegahan

Hal yang lebih penting adalah mencegah terjadinya parut yang buruk, yaitu

dengan menerapkan teknik pembedahan yang baik, perawatan luka yang benar, dan

memberikan perhatian khusus bila pasien yang ditangani termasuk dalam kelompok

berisiko tinggi keloid, terutama bila pembedahan dilakukan pada daerah tubuh

predileksi timbulnya parut yang buruk. (Thompson,2001) (Butler,2008).

Faktor yang dapat dikelola untuk mencegah terjadinya keloid adalah daya

mekanik luka, pencegahan infeksi luka dan reaksi benda asing. Beberapa hal yang

penting untuk mencegah keloid adalah:

1. Hindari gerakan berlebihan yang dapat meregangkan luka

2. Gunakan perban dan kain pembalut luka yang tepat

3. Hindarkan luka dari gaya mekanis langsung (misalnya gesekan atau garukan)

4. Gunakan gel sheeting dan plester perekat

5. Untuk pasien dengan luka di telinga, kurangi kontak dengan bantal ketika tidur,

untuk mencegah gesekan


6. Untuk wanita dengan luka di dada, gunakan bra dan pakaian dalam ketat untuk

mencegah regangan kulit yang disebabkan oleh berat payudara

7. Untuk pasien dengan luka di suprapubic, dianjurkan untuk memakai korset

8. Setelah pembedahan dan trauma, luka yang terjadi harus dijaga tetap bersih

dengan menggunakan irigasi dan mengoleskan obat antibakteri atau antijamur

9. Setelah pembedahan dan trauma, hindari kontak antara dermis daerah luka

dengan benda asing.

2.3 Penggunaan Injeksi Triamcinolone Intralesi

Kortikosteroid intralesi telah lama digunakan untuk terapi keloid karena


memiliki respon yang baik, mudah digunakan dan efek samping yang rendah.
Kortikosteroid intralesi menginhibisi pertumbuhan fibroblas dan produksi mediator
inflamasi, mengurangi sintesis kolagen dan mengubah sintesis glykosaminoglikan
sehingga mengurangi jumlah kolagen pada keloid. Secara klinis mengurangi rasa
gatal, melembutkan dan meratakan lesi. (Butler,2008).
Sejak pertengahan 1960-an, suntikan kortikosteroid yang paling umum

digunakan adalah triamcinolone acetonide, triamcinolone telah menjadi pengobatan

yang populer untuk luka patologis, dan terapi ini merupakan tatalaksana utama dalam

pengelolaan keloid (Gupta,2011). Bergantung pada ukuran dan lokasi lesi dan pada

usia pasien, dosisnya bervariasi antara 10 sampai 40 mg / mL, dan interval perawatan

diadministrasikan pada interval 4 sampai 6 minggu selama beberapa bulan atau

sampai bekas luka tersebut diratakan. (Manuskiatti,2002) . Kortikosteroid harus

disuntikkan pada kedalaman yang benar di pertengahan dermis untuk menghindari

atrofi ireversibel epidermis. (Gupta,2011). Suntikan harus diulang setiap 3-4 minggu

sekali tergantung pada sebagian besar keloid dan respon terapeutik. (Mustoe,2002).

Injeksi triamcinolone dapat menekan faktor pertumbuhan endotel vaskular,

menghambat proliferasi fibroblas, dan menginduksi regresi bekas luka, yang mungkin

merupakan mekanisme tindakan yang paling penting (Wu,2006). Efek kortikosteroid


terutama disebabkan oleh efek penekanan pada proses inflamasi pada luka dan

akibatnya sintesis kolagen dan glikosaminoglikan berkurang, penghambatan

pertumbuhan fibroblas, dan peningkatan degenerasi kolagen dan fibroblast

(Boyadjiev,1995). Triamcinolone telah ditemukan untuk menghambat ekspresi

growth growth factor (TGF) -β1 dan untuk menginduksi apoptosis pada

fibroblast.(Wu,2006). Injeksi triamcinolon intraleso biasanya digunakan setelah

pembedahan dikombinasikan dengan eksisi bedah pada bekas luka patologis dan

menurunkan tingkat kekambuhan rata-rata 50%. Tingkat respons terhadap suntikan

kortikosteroid intralesional bervariasi dari 50% sampai 100%. Injeksi triamcinolone

saja juga efektif dalam mengurangi volume lesi pada mayoritas pasien. Literatur

sebelumnya telah melaporkan bahwa volume parut rata-rata berkurang dari 0,73 ±

0,701 mL pada awal menjadi 0,14 ± 0,302 mL setelah suntikan intrasonik

triamcinolone acetonide bulanan. (Gupta,2011).

Efek samping dari terapi ini meliputi rasa sakit pada area suntikan,

penipisan dan atrofi dari kulit dan jaringan subkutan, pertumbuhan dari.Pertumbuhan

jerawat akibat steroid, pelebaran kapiler, perkembangan dari limfogen sekunder dan

hipopigmentasi linier (yang mungkin terjadi permanen), dan tingkat kekambuhan

yang relatif tinggi 9% sampai 50%. (Niessen,1999). Keloid dalam area wajah

memiliki tingkat kekambuhan yang lebih besar dibanding di daerah perioral. Alasan

yang mungkin untuk kekambuhan yang lebih besar ini bisa berupa ketegangan pada

kulit dan ketegangan luka di wilayah perioral yang memiliki banyak pergerakan.

(Park,2012) . Efek samping yang lebih serius meliputi nekrosis kulit lokal,

pembentukan bisul, dan Cushing sindrom. (Shaffer,2002). Komplikasi bisa

dieliminasi dengan menyesuaikan dosis dan menggabungkan suntikan dengan

perawatan lainnya. Pada tahun 2002, para ahli internasional merekomendasikan agar
kortikosteroid dosis 2,5 sampai 40 mg per situs digunakan. (Ogawa,2009). Eksisi

bedah dengan injeksi intraoperatif lokal triamcinolone acetonide diikuti dengan

suntikan berulang pada interval mingguan selama 2 sampai 5 minggu dan selanjutnya

dilanjutkan dengan suntikan bulanan 4 sampai 6 bulan menghasilkan hasil yang baik

dengan tingkat kekambuhan yang sangat rendah dan komplikasi lainnya.

(Atiyeh,2007). Hasil terapi dapat lebih baik dan kekambuhan dari lesi keloid dapat

berkurang bila kortikosteroid digabungkan dengan terapi lain seperti operasi, laser

berdenyut-pewarna, terapi radiasi, 5-FU, dan cryotherapy.(Boutli,2005).

Anda mungkin juga menyukai