Anda di halaman 1dari 44

KONSEP NYERI PADA ANAK

A. Anatomi Fisiologi Sistem Integumen


1. Anatomi Kulit

Seluruh tubuh manusia bagian terluar terbungkus oleh suatu sistem yang disebut
sebagai sistem integumen. Sistem integumen adalah sistem organ yang paling luas.
Sistem ini terdiri atas kulit dan aksesorisnya, termasuk kuku, rambut, kelenjar
(keringat dan sebaseous), dan reseptor saraf khusus (untuk stimuli perubahan internal
atau lingkungan eksternal). Berikut ini adalah bagian-bagian dari sistem integument
(Mutaqqin & Kumala, 2011). :
a. Epidermis
Epidermis sering kita sebut sebagai kulit luar. Epidermis merupakan lapisan teratas
pada kulit manusia dan memiliki tebal yang berbeda-beda : 400-600 μm untuk
kulit tebal (kulit pada telapak tangan dan kaki) dan 75-150 μm untuk kulit tipis
(kulit selain telapak tangan dan kaki, memiliki rambut). Selain sel-sel epitel,
epidermis juga tersusun atas lapisan:
1
• Melanosit, yaitu sel yang menghasilkan melanin melalui proses melanogenesis.
Melanosit (sel pigmen) terdapat di bagian dasar epidermis. Melanosit
menyintesis dan mengeluarkan melanin sebagai respons terhadap rangsangan
hormon hipofisis anterior, hormon perangsang melanosit (melanocyte
stimulating hormone, MSH). Melanosit merupakan sel-sel khusus epidermis
yang terutama terlibat dalam produksi pigmen melanin yang mewarnai kulit dan
rambut, semakin banyak melanin, semakin gelap warnanya. Sebagian besar
orang yang berkulit gelap dan bagian-bagian kulit yang berwarna gelap pada
orang yang berkulit cerah (misal puting susu) mengandung pigmen ini dalam
jumlah yang lebih banyak. Warna kulit yang normal bergantung pada ras dan
bervariasi dari merah muda yang cerah hingga cokelat. Melanin diyakini dapat
menyerap cahaya ultraviolet dan demikian akan melindungi seseorang terhadap
efek pancaran cahaya ultraviolet dalam sinar matahari yang berbahaya.
• Sel Langerhans, yaitu sel yang merupakan makrofag turunan sumsum tulang,
yang merangsang sel Limfosit T, mengikat, mengolah, dan merepresentasikan
antigen kepada sel Limfosit T. Dengan demikian, sel Langerhans berperan
penting dalam imunologi kulit.Sel-sel imun yang disebut sel Langerhans
terdapat di seluruh epidermis. Sel Langerhans mengenali partikel asing atau
mikroorganisme yang masuk ke kulit dan membangkitkan suatu serangan imun.
Sel Langerhans mungkin bertanggungjawab mengenal dan menyingkirkan sel-
sel kulit displastik dan neoplastik. Sel Langerhans secara fisik berhubungan
dengan saraf-sarah simpatis , yang mengisyaratkan adanya hubungan antara
sistem saraf dan kemampuan kulit melawan infeksi atau mencegah kanker kulit.
Stres dapat memengaruhi fungsi sel Langerhans dengan meningkatkan rangsang
simpatis. Radiasi ultraviolet dapat merusak sel Langerhans, mengurangi
kemampuannya mencegah kanker.
• Sel Merkel, yaitu sel yang berfungsi sebagai mekanoreseptor sensoris dan
berhubungan fungsi dengan sistem neuroendokrin difus.
• Keratinosit, yang secara bersusun dari lapisan paling luar hingga paling dalam
sebagai berikut:
- Stratum Korneum, terdiri atas 15-20 lapis sel gepeng, tanpa inti dengan
sitoplasma yang dipenuhi keratin. Lapisan ini merupakan lapisan terluar
dimana eleidin berubah menjadi keratin yang tersusun tidak teratur
2
sedangkan serabut elastis dan retikulernya lebih sedikit sel-sel saling
melekat erat.
- Stratum Lucidum, tidak jelas terlihat dan bila terlihat berupa lapisan tipis
yang homogen, terang jernih, inti dan batas sel tak terlihat. Stratum lucidum
terdiri dari protein eleidin.
- Stratum Granulosum, terdiri atas 2-4 lapis sel poligonal gepeng yang
sitoplasmanya berisikan granul keratohialin. Pada membran sel terdapat
granula lamela yang mengeluarkan materi perekat antar sel, yang bekerja
sebagai penyaring selektif terhadap masuknya materi asing, serta
menyediakan efek pelindung pada kulit.
- Stratum Spinosum,tersusun dari beberapa lapis sel di atas stratum basale.
Sel pada lapisan ini berbentuk polihedris dengan inti bulat/lonjong. Pada
sajian mikroskop tampak mempunyai tonjolan sehingga tampak seperti duri
yang disebut spina dan terlihat saling berhubungan dan di dalamnya
terdapat fibril sebagai intercellular bridge.Sel-sel spinosum saling terikat
dengan filamen; filamen ini memiliki fungsi untuk mempertahankan
kohesivitas (kerekatan) antar sel dan melawan efek abrasi. Dengan
demikian, sel-sel spinosum ini banyak terdapat di daerah yang berpotensi
mengalami gesekan seperti telapak kaki.
- Stratum Basal/Germinativum, merupakan lapisan paling bawah pada
epidermis, tersusun dari selapis sel-sel pigmen basal , berbentuk silindris
dan dalam sitoplasmanya terdapat melanin. Pada lapisan basile ini terdapat
sel-sel mitosis.

b. Dermis
Dermis atau cutan (cutaneus), yaitu lapisan kulit di bawah epidermis.
Penyusun utama dari dermis adalah kolagen. Membentuk bagian terbesar kulit
dengan memberikan kekuatan dan struktur pada kulit, memiliki ketebalan yang
bervariasi bergantung pada daerah tubuh dan mencapai maksimum 4 mm di daerah
punggung.
Dermis terdiri atas dua lapisan dengan batas yang tidak nyata, yaitu stratum
papilare dan stratum reticular.

3
1) Stratum papilare, yang merupakan bagian utama dari papila dermis, terdiri atas
jaringan ikat longgar. Pada stratum ini didapati fibroblast, sel mast, makrofag,
dan leukosit yang keluar dari pembuluh (ekstravasasi). Lapisan papila dermis
berada langsung di bawah epidermis tersusun terutama dari sel-sel fibroblas
yang dapat menghasilkan salah satu bentuk kolagen, yaitu suatu komponen dari
jaringan ikat. Dermis juga tersusun dari pembuluh darah dan limfe, serabut saraf
, kelenjar keringat dan sebasea, serta akar rambut. Suatu bahan mirip gel, asam
hialuronat, disekresikan oleh sel-sel jaringan ikat. Bahan ini mengelilingi
protein dan menyebabkan kulit menjadi elastis dan memiliki turgor (tegangan).
Pada seluruh dermis dijumpai pembuluh darah, saraf sensorik dan simpatis,
pembuluh limfe, folikel rambut, serta kelenjar keringat dan palit.
2) Stratum retikulare, yang lebih tebal dari stratum papilare dan tersusun atas
jaringan ikat padat tak teratur (terutama kolagen tipe I).

c. Hipodermis atau Subkutan


Jaringan Subkutan atau hipodermis merupakan lapisan kulit yang paling dalam.
Lapisan ini terutama berupa jaringan adiposa yang memberikan bantalan antara
lapisan kulit dan struktur internal seperti otot dan tulang. Banyak mengandung
pembuluh darah, pembuluh limfe dan syaraf juga terdapat gulungan kelenjar
keringat dan dasar dari folikel rambut. Jaringan ini memungkinkan mobilitas kulit,
perubahan kontur tubuh dan penyekatan panas tubuh. Lemak atau gajih akan
bertumpuk dan tersebar menurut jenis kelamin seseorang, dan secara parsial
menyebabkan perbedaan bentuk tubuh laki-laki dengan perempuan. Makan yang
berlebihan akan meningkatkan penimbunan lemak di bawah kulit. Jaringan
subkutan dan jumlah lemak yang tertimbun merupakan faktor penting dalam
pengaturan suhu tubuh. Tidak seperti epidermis dan dermis, batas dermis dengan
lapisan ini tidak jelas. Pada bagian yang banyak bergerak jaringan hipodermis
kurang, pada bagian yan melapisi otot atau tulang mengandung anyaman serabut
yang kuat. Pada area tertentu yng berfungsi sebagai bantalan (payudara dan tumit)
terdapat lapisan sel-sel lemak yang tipis. Distribusi lemak pada lapisan ini banyak
berperan dalam pembentukan bentuk tubuh terutama pada wanita.

4
2. Fungsi Sistem Integumen
Kulit memiliki banyak fungsi, yang berguna dalam menjaga homeostasis
tubuh. Fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan menjadi fungsi proteksi, absorpsi,
ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), dan pembentukan
vitamin D.
a. Fungsi proteksi
Kulit menyediakan proteksi terhadap tubuh dalam berbagai cara sebagai yaitu
berikut:
• Keratin melindungi kulit dari mikroba, abrasi (gesekan), panas, dan zat
kimia. Keratin merupakan struktur yang keras, kaku, dan tersusun rapi dan
erat seperti batu bata di permukaan kulit.
• Lipid yang dilepaskan mencegah evaporasi air dari permukaan kulit dan
dehidrasi; selain itu juga mencegah masuknya air dari lingkungan luar tubuh
melalui kulit.
• Sebum yang berminyak dari kelenjar sebasea mencegah kulit dan rambut
dari kekeringan serta mengandung zat bakterisid yang berfungsi membunuh
bakteri di permukaan kulit. Adanya sebum ini, bersamaan dengan ekskresi
keringat, akan menghasilkan mantel asam dengan kadar pH 5-6.5 yang
mampu menghambat pertumbuhan mikroba.
• Pigmen melanin melindungi dari efek dari sinar UV yang berbahaya. Pada
stratum basal, sel-sel melanosit melepaskan pigmen melanin ke sel-sel di
sekitarnya. Pigmen ini bertugas melindungi materi genetik dari sinar
matahari, sehingga materi genetik dapat tersimpan dengan baik. Apabila
terjadi gangguan pada proteksi oleh melanin, maka dapat timbul keganasan.
• Selain itu ada sel-sel yang berperan sebagai sel imun yang protektif. Yang
pertama adalah sel Langerhans, yang merepresentasikan antigen terhadap
mikroba. Kemudian ada sel fagosit yang bertugas memfagositosis mikroba
yang masuk melewati keratin dan sel Langerhans.
b. Fungsi absorpsi
Kulit tidak bisa menyerap air, tapi bisa menyerap material larut-lipid seperti
vitamin A, D, E, dan K, obat-obatan tertentu, oksigen dan karbon dioksida.
Permeabilitas kulit terhadap oksigen, karbondioksida dan uap air

5
memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Selain itu
beberapa material toksik dapat diserap seperti aseton, CCl4, dan merkuri.
Beberapa obat juga dirancang untuk larut lemak, seperti kortison, sehingga
mampu berpenetrasi ke kulit dan melepaskan antihistamin di tempat
peradangan. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit,
hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum. Penyerapan dapat
berlangsung melalui celah antarsel atau melalui muara saluran kelenjar; tetapi
lebih banyak yang melalui sel-sel epidermis daripada yang melalui muara
kelenjar.
c. Fungsi ekskresi
Kulit juga berfungsi dalam ekskresi dengan perantaraan dua kelenjar
eksokrinnya, yaitu kelenjar sebasea dan kelenjar keringat:
- Kelenjar sebasea
Kelenjar sebasea merupakan kelenjar yang melekat pada folikel rambut
dan melepaskan lipid yang dikenal sebagai sebum menuju lumen. Sebum
dikeluarkan ketika muskulus arektor pili berkontraksi menekan kelenjar
sebasea sehingga sebum dikeluarkan ke folikel rambut lalu ke permukaan
kulit. Sebum tersebut merupakan campuran dari trigliserida, kolesterol,
protein, dan elektrolig. Sebum berfungsi menghambat pertumbuhan
bakteri, melumasi dan memproteksi keratin.
- Kelenjar keringat
Walaupun stratum korneum kedap air, namun sekitar 400 mL air dapat
keluar dengan cara menguap melalui kelenjar keringat tiap hari. Seorang
yang bekerja dalam ruangan mengekskresikan 200 mL keringat
tambahan, dan bagi orang yang aktif jumlahnya lebih banyak lagi. Selain
mengeluarkan air dan panas, keringat juga merupakan sarana untuk
mengekskresikan garam, karbondioksida, dan dua molekul organik hasil
pemecahan protein yaitu amoniak dan urea. Terdapat dua jenis kelenjar
keringat, yaitu kelenjar keringat apokrin dan kelenjar keringat merokrin.
 Kelenjar keringat apokrin terdapat di daerah aksila, payudara dan
pubis, serta aktif pada usia pubertas dan menghasilkan sekret yang
kental dan bau yang khas. Kelenjar keringat apokrin bekerja ketika
ada sinyal dari sistem saraf dan hormon sehingga sel-sel mioepitel
6
yang ada di sekeliling kelenjar berkontraksi dan menekan kelenjar
keringat apokrin. Akibatnya kelenjar keringat apokrin melepaskan
sekretnya ke folikel rambut lalu ke permukaan luar.
 Kelenjar keringat merokrin (ekrin) terdapat di daerah telapak tangan
dan kaki. Sekretnya mengandung air, elektrolit, nutrien organik, dan
sampah metabolisme. Kadar pH-nya berkisar 4.0 – 6.8. Fungsi dari
kelenjar keringat merokrin adalah mengatur temperatur permukaan,
mengekskresikan air dan elektrolit serta melindungi dari agen asing
dengan cara mempersulit perlekatan agen asing dan menghasilkan
dermicidin, sebuah peptida kecil dengan sifat antibiotik.
d. Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.
Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan Ruffini di dermis
dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan-badan Krause yang
terletak di dermis, badan taktil Meissner terletak di papila dermis berperan
terhadap rabaan, demikian pula badan Merkel Ranvier yang terletak di
epidermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di
epidermis. Saraf-saraf sensorik tersebut lebih banyak jumlahnya di daerah
yang erotik.
e. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
Kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) melalui
dua cara: pengeluaran keringat dan menyesuaikan aliran darah di pembuluh
kapiler. Pada saat suhu tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat dalam
jumlah banyak serta memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga
panas akan terbawa keluar dari tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu rendah,
tubuh akan mengeluarkan lebih sedikit keringat dan mempersempit pembuluh
darah (vasokonstriksi) sehingga mengurangi pengeluaran panas oleh tubuh.
f. Fungsi pembentukan vitamin D
Sintesis vitamin D dilakukan dengan mengaktivasi prekursor 7 dihidroksi
kolesterol dengan bantuan sinar ultraviolet. Enzim di hati dan ginjal lalu
memodifikasi prekursor dan menghasilkan calcitriol, bentuk vitamin D yang
aktif. Calcitriol adalah hormon yang berperan dalam mengabsorpsi kalsium
makanan dari traktus gastrointestinal ke dalam pembuluh darah.
7
Walaupun tubuh mampu memproduksi vitamin D sendiri, namun belum
memenuhi kebutuhan tubuh secara keseluruhan sehingga pemberian vitamin D
sistemik masih tetap diperlukan. Pada manusia kulit dapat pula
mengekspresikan emosi karena adanya pembuluh darah, kelenjar keringat, dan
otot-otot di bawah kulit.

B. Definisi Nyeri
International Association for Study of Pain (IASP), menyatakan bahwa nyeri
adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait
dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan (James & Ashwill, 2007).
Berman, Snyder, Kozier, dan Erb (2009) menyatakan bahwa nyeri adalah sensasi
yang sangat tidak menyenangkan dan sangat individual yang tidak dapat dibagi dengan
orang lain.

C. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat dijelaskan berdasarkan durasi, lokasi, atau etiologi (Berman, Snyder,
Kozier, &Erb, 2009), sebagai berikut:
1. Berdasarkan Lama/Durasinya
a. Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang dirasakan selama periode penyembuhan yang
diharapkan, baik yang awitannya tiba-tiba atau yang lambat dan tanpa
memerhatikan intensitasnya. Nyeri akut pada anak, contohnya: nyeri tindakan
invasive, nyeri pasca operasi, sakit kepala, sakit perut , dan lainnya.
b. Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung berkepanjangan, biasanya nyeri
berulang atau menetap sampai enam bulan atau lebih, dan mengganggu fungsi
tubuh. Contoh nyeri akut pada anak antara lain nyeri kanker dan nyeri sedasi
perawatan akhir hidup.
2. Berdasarkan Sumbernya
a. Nyeri Kutaneus/ Superfisial, yaitu nyeri yang berasal dari kulit atau jaringan
subkutan, contohnya: luka akibat teriris kertas yang menimbulkan nyeri tajam
dengan sedikit rasa terbakar.
8
b. Nyeri Somatik Dalam, yaitu nyeri yang berasal dari ligament, pembuluh darah,
tulang, tendon dan syaraf. Nyeri menyebar dan cenderung berlangsung lebih
lama dibandingkan nyeri kutaneus, contohnya adalah nyeri pergelangan kaki
yang terkilir.
c. Nyeri Viseral, nyeri yang dihasilkan dari stimulasi reseptor nyeri dalam rongga
abdomen, cranium dan thorak. Nyeri viseral seringkali disebabkan karena
spasme otot, iskemia, atau regangan jaringan. Obstruksi usus akan
mengakibatkan nyeri viseral.
3. Berdasarkan Lokasi/Letak
a. Nyeri Radiasi
Nyeri radiasi adalah nyeri yang menyebar, dirasakan pada tempat sumber nyeri
dan menyebar ke jaringan sekitarnya, contohnya nyeri jantung mungkin tidak
hanya dirasakan di bagian dada namun menyebar ke sepanjang bahu kiri dan
turun ke lengan.
b. Nyeri Alih (Referred Pain)
Nyeri alih adalah nyeri yang dirasakan jauh dari jaringan yang menyebabkan
nyeri. Nyeri alih contohnya yaitu nyeri bagian visera abdomen yang dirasakan
didaerah kulit yang jauh dari organ penyebab nyeri.
c. Nyeri yang Tidak dapat Dilacak (Intractable Pain)
Nyeri yang tidak dapat dilacak adalah nyeri yang sulit diatasi, misalnya nyeri
pada keganasan tingkat lanjut/ kanker maligna.
d. Nyeri Neuropatik
Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan sistem saraf pusat atau tepi. Nyeri
neuropatik berlangsung lama, tidak menyenangkan, dan dapat digambarkan
sebagai rasa terbakar, tumpul, dan gatal; nyeri tajam, seperti ditembak dapat
juga dirasakan.
e. Nyeri Phantom
Nyeri phantom adalah sensasi yang sangat menyakitkan yang dirasa pada
bagian tubuh yang hilang (mis. kaki yang diamputasi) atau yang mengalami
paralisis karena cedera medulla spinalis. Nyeri neuropatik dapat dibedakan dari
sensasi phantom yaitu perasaan bahwa bagian tubuh yang hilang masih tetap
ada.

9
4. Berdasarkan Penyebab/ Etiologi:
a. Nyeri Fisik
Nyeri fisik adalah nyeri yang bisa terjadi karena stimulus fisik (mis. fraktur
femur).
b. Nyeri Psycogenic
Nyeri psycogenic terjadi karena sebab yang kurang jelas/sulit diidentifikasi,
bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari (mis. seseorang yang
marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya).
Nyeri mungkin saja disebabkan oleh perpaduan kedua etiologi.

D. Fisiologi Nyeri
Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Cara yang
paling baik untuk memahami pengalaman nyeri adalah memahami tiga komponen
fisiologis berikut yakni: resepsi, persepsi, dan reaksi. Stimulus penghasil nyeri
mengirimkan implus melalui serabut saraf perifer. Serabut saraf memasuki medulla
spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam
massa berwarna abu-abu di medulla spinalis. Pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-
sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau
ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral. Sekali stimulus mencapai korteks
cerebral, maka otak menginterprelasikan kualilas nyeri dan memproses informasi
tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta asosiasi kebudayaan dalam upaya
mempersepsikan nyeri (Potter dan Perry, 2006).
1. Reseptor Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsangan nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor
nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf
perifer. Berdasarkan letaknya, nosireceptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada
daerah visceral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga
memiliki sensasi yang berbeda. Impuls saraf yang dihasilkan oleh stimulus nyeri

10
menyebar di sepanjang saraf perifer aferen (Potter dan Perry, 2006). Ada dua tipe
serabut saraf perifer yang mengonduksi stimulus nyeri yaitu:
a. Serabut A-delta, merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30
m/det), bermielinasi, dan mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi, dan jelas
melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut ini
menghantarkan cedera akut dengan segera (Potter dan Perry, 2006; Tamsuri,
2007).
b. Serabut C, merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) ,
tidak bermielinasi, berukuran kecil, menyampaikan impuls yang terlokalisasi buruk,
viseral, dan terus-menerus, terdapat pada daerah yang lebih dalam serta nyeri
biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatik
dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf,
otot, dan jaringan penyangga lainnya, karena struktur reseptornya komplek, nyeri
yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri
jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti
jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini
biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap
penekanan, iskemia dan inflamasi (Potter dan Perry, 2006; Tamsuri, 2007).

Ketika serabut C dan serabut A-delta mentransmisikan impuls dari serabut


saraf perifer, maka akan melepaskan mediator biokimia yang mengaktikan atau
membuat peka terhadap respon nyeri, misalnya kalium dan prostaglandin dilepaskan
ketika sel-sel lokal mengalami kerusakan. Transmisi stimulus nyeri berlanjut
disepanjang serabut saraf aferen sampai transmisi tersebut berakhir di bagian kornu
dorsalis, neurotransmitter seperti substansi P dilepaskan, sehingga menyebabkan suatu
transmisi sinapsis dari saraf perifer (sensori) ke saraf traktus spinotalamus. Hal ini
memungkinkan impuls nyeri ditransmisikan lebih jauh ke dalam system saraf pusat
Tubuh mampu menyesuaikan diri atau memvariasikan resepsi nyeri seiring dengan
transmisi stimulus nyeri. Terdapat serabut-serabut saraf di traktus spinotalamus yang
berakhir di otak tengah, menstimulasi daerah tersebut untuk mengirim stimulus
kembali ke bawah kornu dorsalis di medulla spinalis. Serabut ini disebut sistem nyeri
desenden, yang bekerja dengan melepaskan neuroregulator yang menghambat transmisi
stimulus nyeri (Potter dan Perry, 2006).
11
2. Neuroregulator
Neuroregulator atau substansi yang mempengaruhi transmisi stimulus saraf
memegang peranan yang penting dalam suatu pengalaman nyeri. Substansi ini
ditemukan di lokasi nosiseptor, di terminal saraf di dalam kornu dorsalis pada medulla
spinalis. Neuroregulator dibagi menjadi dua kelompok, yakni neurotransmitter dan
neuromodulator. Neutransmitter, misalnya substansi P mengirim impuls fisik melewati
celah sinaps di antara dua serabut. Serabut saraf tersebut adalah serabut eksitator atau
inhibitor. Neuromodulator memodifikasi aktivitas neuron dan menyesuaikan atau
memvariasikan transmisi stimulus nyeri tanpa secara langsung mentransfer tanda saraf
melalui sinaps. Neuromodulator diyakini tidak bekerja secara langsung, yakni dengan
meningkatkan dan menurunkan efek neurotransmitter tertentu. Endorphin merupakan
salah satu contoh neuromodulator. Terapi farmakologis untuk nyeri secara luas
berdasarkan pada pengaruh obat-obat yang dipilih pada neuregulator (Potter & Perry.
2006).
a. Neurotransmitter
1) Substansi P, terdapat di neuron di kornu dorsalis, dibutuhkan untuk
menstransmisi impuls nyeri dari perifer ke pusat otak yang lebih tinggi,
menyebabkan vasodilatasi dan edema.
2) Serotonin, dilepas dari batang otak dan kornu dorsalis untuk menghambat
transmisi nyeri.
3) Prostaglandin, dihasilkan dari pemecahan fosfolipid dalam membran sel dan
diyakini meningkatkan sensitivitas nyeri.
b. Neuromodulator
1) Endorfin dan Dinorfin, merupakan suplai alamiah tubuh yang berupa
substansi seperti morfin; diaktifkan oleh stress dan nyeri; dilokalisasi di dalam
otak, medulla spinalis, dan saluran pencernaan; memberikan efek analgesia
apabila agens ini menyatu dengan reseptor opiat di otak; serta terdapat dalam
kadar yang lebih tinggi pada individu yang tidak terlalu merasa nyeri
dibandingkan yang lain dengan cedera yang sama.
2) Bradikinin, dilepas dari plasma yang keluar dari pembuluh darah di jaringan
sekitar pada lokasi cedera jaringan, terikat pada reseptor pada saraf perifer,
meningkatkan stimulus nyeri, dan terikat pada sel-sel yang menyebabkan reaksi
rantai yang menghasilkan prostaglandin.
12
Sumber: Potts & Mandleco (2012)

E. Teori Nyeri
A. Gate Control Theory (Teori Pengontrolan Nyeri)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa
impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang

13
sistem saraf pusat. Mekanisme pertahanan dapat ditemukan di sel-sel gelatinosa
substansia di dalam kornu dorsalis pada medulla spinalis, thalamus, dan system
limbik. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah
pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya
menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol
desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan
substansi P untuk mentransmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu,
terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang
melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal
dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Mekanisme
penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien
dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila
masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan
membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Apabila
impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak
yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti
endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh.
Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat
pelepasan substansi P. Tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo
merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter & Perry, 2006).

B. The Specificity Theory (Teori pemisahan)


Otak menerima informasi mengenai objek eksternal dan struktur tubuh
melalui saraf sensoris. Saraf sensoris untuk setiap indra peraba bersifat spesifik,
artinya bahwa saraf sensoris dingin hanya dapat dirangsang oleh sensasi dingin,
bukan oleh panas dan begitu pula dengan saraf sensoris lainnya. Ada dua tipe
serabut saraf yang menghantarkan stimulus nyeri yaitu serabut saraf tipe delta A
dan serabut saraf tipe C. Teori ini mengatakan timbulnya sensasi nyeri
berhubungan dengan pengaktifan ujung-ujung saraf bebas oleh perubahan mekanik,
rangsangan kimia, atau temperature yang berlebihan. Persepsi nyeri yang dibawa
oleh serabut saraf nyeri diproyeksikan oleh spinotalamik ke spesifik pusat nyeri
thalamus.
14
C. Teori Transmisi dan Inhibisi
Stimulus pada nociceptor memulai impuls-impuls saraf, sehingga transmisi impuls
nyeri menjadi efektif oleh neurotransmitter yang spesifik. Inhibisi impuls nyeri
menjadi efektif oleh impuls-impuls pada serabut-serabut besar yang memblok
impuls-impuls pada serabut lamban dan endogen opiate sistem supresif.

F. Prinsip Pengkajian Nyeri


Respon anak terhadap nyeri mengikuti pola perkembangan dan dipengaruhi
temparemen, kemampuan koping, dan pajanan terhadap nyeri dan prosedur yang
menyakitkan sebelumnya. Pengkajian nyeri perlu menggunakan berbagai strategi
pengkajian untuk membantu dalam memperoleh hasil pengkajian nyeri yang lebih
akurat. Strategi-strategi ini termasuk menanyakan anak (dengan kata-kata yang sesuai
tingkat perkembangan kognitif dan bahasa) dan orang tua, pengamatan perilaku dan
respon psikologik, serta penggunaan skala nyeri (Kathlellen, 2008).
Pengkajian nyeri pada anak yang menyeluruh dan akurat adalah kunci untuk
menentukan intervensi nyeri yang baik dan efektif (Potts & Mandleco, 2012).
Pengkajian nyeri terdiri dari 2 komponen utama yaitu riwayat nyeri untuk mendapatkan
data klien dan observasi langsung terhadap respons perilaku dan psikologis klien
(Berman, Snyder, Kozier, & Erb, 2009). Hockenberry & Wilson (2009) menyatakan
bahwa terdapat tiga tipe pengukuran nyeri yang telah dikembangkan untuk
mengukur/menilai nyeri pada anak, yaitu behavioral measures, physiologic measures,
and self report measures, yang penerapannya bergantung pada kemampuan kognitif
dan bahasa anak.

1. Wawancara Nyeri dan Riwayat Nyeri


Pengkajian awal nyeri pada anak meliputi riwayat nyeri dan informasi
komprehensif tentang pengalaman nyeri anak pada masa lalu, strategi perawatan,
dan segala sesuatu yang disukai anak. Perawat perlu menanyakan kepada anak dan
pengasuh anak (mis. orangtua) tentang intervensi dan strategi koping yang telah
berhasil membantu di masa lalu. Pengkajian nyeri meliputi PQRST (presence of

15
pain, quality, radiation, severity, timing) yang dilakukan oleh perawat dengan cara
mewawancarai kedua orang tua (atau primary care provider) dan anak (Tabel 1),
dan kemudian anak diberi kesempatan untuk menggambarkan dan menilai rasa
nyerinya dengan menggunakan skala pengukuran nyeri. Pada anak-anak yang
secara perkembangan kognitif belum mampu menggambarkan atau
mengungkapkan nyeri yang dirasakannya, perawat melakukan pengkajian kepada
orangtuanya. Informasi yang diberikan orang tua harus dihargai sebagai jawaban
klien (Tabel 2). Pengkajian nyeri secara sistematis untuk memperoleh riwayat nyeri
akan menunjukkan penilaian yang lebih komprehensif (Potts & Mandleco, 2012).

Tabel 1. Format Pengkajian Nyeri: PQRST


Pengkajian Nyeri: PQRST
P-presence adanya nyeri: "Apakah kamu merasa sakit/nyeri hari ini?"
of pain
Q-quality : kualitas: "Apa kata yang menggambarkan rasa sakit/ nyeri kamu?"
(mis. tajam, membakar, kesemutan, dll)
R-radiation : radiasi atau lokasi: "Dimana rasa sakit/nyeri kamu? Apakah
nyerinya hanya disitu atau menyebar di tempat lain?"
S-severity : keparahan: "Berikan saya nomor antara 0-10 untuk menunjukkan
nyeri kamu."
T-timing: waktu: "? Sudah berapa lama kamu merasakan rasa nyeri ini.
Berapa lama rasa nyeri itu kamu rasakan setiap kali nyeri itu
datang?"
Sumber: Potts & Mandleco, 2012

Tabel 2. Pertanyaan Riwayat Nyeri


Pertanyaan untuk Anak Pertanyaan untuk Orangtua
Ceritakan pada saya apa yang Kata-kata apa yang anak anda gunakan
sakit/nyeri. untuk menggambarkan rasa nyerinya?
Ceritakan pada saya tentang sakit Gambarkan rasa nyeri yang pernah
yang pernah kamu rasakan dialami anak anda.
sebelumnya.
Kepada siapa kamu bercerita ketika Siapa yang anak anda beritahu ketika
kamu sakit? ia merasakan nyeri?
Apa yang kamu lakukan untuk dirimu Bagaimana anda tahu kapan anak anda
ketika sakit? sedang mengalami nyeri?
Apa yang kamu ingin orang lain Bagaimana biasanya anak anda
lakukan untuk kamu ketika sakit? bereaksi ketika dia merasa nyeri?
Apa yang kamu tidak ingin orang lain Apa yang anda lakukan untuk
lakukan untuk kamu ketika sakit? membantu anak anda ketika dia sedang
16
nyeri?
Apa yang paling membantu untuk Apa yang anak anda lakukan untuk
membuat sakit/ nyerimu pergi? membantu dirinya sendiri ketika ia
sedang nyeri?
Apa cara yang terbaik untuk
mengurangi atau menghilangkan rasa
nyeri anak anda?
Apakah ada hal lain yang ingin kamu Apakah ada hal khusus yang anda
ceritakan pada saya tentang sakit yang ingin saya tahu tentang nyeri anak
pernah kamu alami? (Jika ya, Anda? (jika ya, jelaskan)
jelaskan)
Sumber: Potts & Mandleco, 2012

Pengkajian nyeri berdasarkan tingkat perkembangan (James & Ashwill,


2007) yaitu:
a. Neonatus dan bayi
- Biasanya menunjukkan perubahan dalam ekspresi wajah, termasuk
mengerutkan kening, menyeringai, alis berkerut, ekspresi terkejut, dan
wajah berkedip.
- Menunjukkan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung dan penurunan
saturasi oksigen.
- Bersuara tinggi, tegang, menangis keras
- Ekstremitas menunjukkan tremor
- Menemukan lokasi nyeri, memijat daerah tersebut dan menjaga bagiannya.
b. Toddler
- Menunjukkan dengan menangis keras
- Mampu menyampaikan secara verbal untuk menunjukkan
ketidaknyamanan seperti “Aduh”, “Sakit”.
- Mencoba untuk menunda prosedur karena dianggap menyakitkan
- Menunjukkan kegelisahan umum
- Menyentuh area yang sakit
- Lari dari perawat
c. Pra Sekolah
- Sakit dirasakan sebagai hukuman atas sesuatu yang mereka lakukan.
- Cenderung menangis
- Menggambarkan lokasi dan intensitas nyeri
17
- Menunjukkan regresi untuk perilaku sebelumnya, seperti kehilangan kontrol
- Menolak rasa sakit untuk menghindari kemungkinan diinjeksi
d. Sekolah
- Menggambarkan rasa sakit dan mengukur intensitas nyeri
- Menunjukkan postur tubuh kaku
- Menunjukkan penarikan
- Menunda untuk melakukan prosedur
e. Remaja
- Merasakan nyeri pada tingkat fisik, emosi, dan kognitif
- Mengerti sebab dan efeknya
- Menggambarkan rasa sakit dan mengukur intensitas nyeri
- Meningkatkan ketegangan otot
- Menunjukkan penurunan aktivitas motorik
- Menyebutkan kata sakit atau berdebar untuk menjelaskan nyeri

2. Pengukuran Nyeri
Sejumlah cara penilaian nyeri telah dikembangkan untuk mengukur nyeri
pada anak. Pengukuran nyeri dibagi menjadi 2 kategori, yaitu: pengukuran objektif
(objective measures) digunakan untuk mengobservasi skor parameter perilaku
(behavioral measures), atau fisiologis (physiologic measures), dan pengukuran
subjektif (subjective measures) yaitu laporan diri (self report measures) yang
digunakan agar anak dapat mengukur nyerinya (Hockenberry & Wilson, 2009;
Potts & Mandleco, 2012).
a. Pengukuran Objektif (Objective Measures)
1) Behavioral Measures
Pengkajian perilaku sangat berguna untuk mengukur nyeri pada bayi dan
anak preverbal yaitu anak yang belum memiliki kemampuan untuk
mengkomunikasikan nyeri yang dirasakan, atau pada anak dengan gangguan
mental yang memiliki kemampuan yang terbatas dalam menyampaikan
kalimat yang memiliki arti. Pengukuran ini bergantung pada observer
dalam mengamati dan merekam perilaku anak misalnya vokalisasi (suara),
ekspresi wajah, dan gerak tubuh yang menunjukkan ketidaknyamanan.
Pengukuran nyeri melalui pengamatan perilaku seringkali reliabel dalam
18
mengukur nyeri akut, nyeri dari prosedur yang tajam seperti injeksi dan
pungsi lumbar, namun kurang reliabel saat mengukur nyeri yang
berkepanjangan (Hockenberry & Wilson, 2009).
Terdapat beberapa skala pengkajian perilaku nyeri yang sering digunakan,
antara lain (James & Ashwill, 2007; Hockenberry & Wilson, 2009; Potts &
Mandleco, 2012):
a) FLACC Pain Assessment Tool
Skala ini digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri pada anak mulai
usia 2 bulan-7 tahun. Skala ini terdiri dari 5 penilaian dengan skor total
0 untuk tidak ada nyeri dan 10 untuk nyeri hebat. Penilaian tersebut
adalah ekspresi muka (0-2), gerakan kaki (0-2), aktivitas (0-2),
menangis (0-2), kemampuan dihibur (0-2). Hasil skor perilakunya
adalah 0: untuk rileks dan nyaman, 1-3; nyeri ringan/ ketidaknyamanan
ringan, 4-6 nyeri sedang, 7-10 nyeri hebat/ ketidaknayamanan berat.

Sumber: Potts & Mandleco, 2012

19
b) The Children’s Hospital of Eastern Ontario Pain Scale (CHEOPS)
Skala ini digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri pada anak usia 1-5
tahun. Skala ini terdiri dari 6 kategori dengan skor total 4 untuk tidak
ada nyeri dan 13 untuk nyeri hebat.
Item Perilaku Skor
Tangisan Tidak menangis 1 Anak tidak menangis.
Mengerang 2 Anak mengerang atau
menangis tanpa suara.
Merintih 2 Anak menangis, tapi tangisan
lirih dan merengek.
Menjerit 3 Anak menangis dengan
kekuatan penuh, menangis
dengan diikuti keluhan atau
tanpa keluhan.

Wajah Biasa 1 Eksprei wajah netral.


Menyeringai 2 Ekspresi tampak negatif.
Tersenyum 0 Ekspresi tersenyum.

Ungkapan Tak ada 1 Anak tidak bicara.


Verbal Keluhan lain 1 Anak mengeluh, tapi tidak
disebabkan oleh nyeri
(karena ingin bersma ibu,atau
karena haus).
Keluhan nyeri 2 Anak mengeluh tentang
Keluhan nyeri dan nyeri.
yang lainnya 2 Anak mengeluh tentang
nyeri disertai keluhan lain
Baik (ingin bertemu ibu atau yang
lain).
0 Anak mengatakan hal positif
tanpa mengeluh nyeri.

Gerakan Netral 1 Badan tampak istirahat, tidak


aktif.
Bergeser 2 Badan tampak bergerak
bergeser.
Menguat 2 Badan tampak tegang dan
Menggigil kaku.
2 Badan tampak berguncang
Naik tak beraturan.
2 Badan anak berubah posisi
Terbatasi ke atas.
2 Badan anak terbatasi.

20
Sentuhan Tidak tersentuh 1 Anak tidak tersentuh atau
Meraih terkena luka.
Menyentuh 2 Anak meraih tetapi tak
Memegang menyentuh luka..
Terbatas 2 Anak menyentuh area luka.
2 Anak memegang luka
dengan bersemangat.
2 Lengan terbatasi.

Kaki Netral 1 Kaki dalam berbagai posisi


namun relaks, seperti
berenang ataupun gerakan
Menggeliat/ lain.
menendang 2 Definitive uneasy or restless
movements in the legs and/or
Menarik,menegang tampak gerakan yang sulit.
2 Kaki tampak tegang atau
Berdiri menarik kaki mendekati
tubuh .
Terbatasi 2 Berdiri, membungkuk, atau
berlutut.
2 Kaki anak dipegangi.

c) The Toddler-Preschooler Postoperative Pain Scale (TPPPS)


Skala ini digunakan untuk mengobservasi nyeri pasca operasi pada anak
usia 1-5 tahun. Skala ini terdiri dari 3 kategori perilaku nyeri yaitu: (1)
keluhan nyeri secara verbal, (2) ekspresi wajah, (3) ekspresi nyeri tubuh.

d) The Parent’s Postoperative Pain rating Scale (PPPRS)


Skala ini adalah skala yang dapat digunakan orang tua untuk menilai
nyeri yang dirasakan anak mereka dengan mencatat perubahan perilaku
anaknya.

e) Neonatal Infant Pain Scale (NIPS)


Skala ini mengkaji intensitas nyeri pada bayi dengan rata-rata umur
kehamilan 33,5 minggu. Skala terdiri dari 6 variabel penilaian dengan
total skor 0 untuk tidak ada nyeri sedangkan 7 nilai nyeri hebat. Variabel
yang dinilai adalah ekspresi wajah (0-1), menangis (0-2), pola
pernafasan (0-1), tangan (0-1), kaki (0-1), dan kepekaan terhadap
rangsangan (0-1).
21
Sumber: Potts & Mandleco, 2012

f) CRIES (Criying, requiring increased oxygen, Increased vital sign,


Expression, and Sleeplessness)
Skala ini digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri pascabedah
neonatal (0-6 bulan) yang baru. Skala ini terdiri dari 5 penilaian dengan
skor total 0 untuk tidak ada nyeri dan 10 untuk nyeri hebat. Penilaian
tersebut adalah menangis (0-2), peningkatan kebutuhan oksigen
tambahan (0-2), peningkatan tanda vital (0-2), ekspresi (0-2), tidak bisa
tidur (0-2).
0 1 2
Menangis Tidak Nada tinggi Tidak nyaman
Perlu O2 untuk Tidak <30% >30%
saturasi > 95
%
Peningkatan Denyut Denyut Denyut jantung dan
tanda vital jantung dan jantung dan tekanan darah
tekanan darahtekanan darah meningkat >20% dari
= atau < meningkat keadaan praoperasi
praoperasi <20% dari
keadaan
praoperasi
Ekspresi Tidak ada Meringis Meringis/menyeringai
Tidak tidur Tidak Bangun Bangun terus-
dengan menerus
interval
sering
Sumber: Hockenberry & Wilson (2009)

22
g) Skala Nyeri Post Operasi (Post Operative Pain Score/POPS)
Skala ini digunakan untuk mengkaji nyeri pada bayi usia 1-7 bulan.
Skala ini terdiri dari 10 penilaian dengan masing-masing skor 0-2
dengan rentang skor total 0 untuk nyeri hebat dan 20 untuk tidak nyeri.
Variabel yang dinilai adalah tidur (0-2), fleksi jari-jari tangan maupun
kaki (0-2), exoresi wajah (0-2), kemampuan menghisap (0-2), kualitas
menangis (0-2), suara (0-2), gerakan spontan (0-2), rangsangan spontan
(0-2), consolability (kemampuan dihibur) (0-2), keramahan (0-2).

h) Pain Assessment Tool (PAT)


Skala ini digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri pada bayi dengan
umur kehamilan 27 minggu sampai matur. Skala ini terdiri dari 10
variabel penilaian dengan skor total 4 untuk tidak ada nyeri dan 20
untuk nyeri hebat. Variabel tersebut adalah sikap/suara (1-2), pernafasan
(1-2), pola tidur (0-2), frekuensi jantung (1-2), ekspresi (1-2), saturasi
(0-2), warna (0-2), tekanan darah (0-2), menagis (0-2), persepsi perawat
(0-2).

i) Pain Ratting Scale (PRS)


Skala ini digunakan untuk mengakji intensitas nyeri pada bayi umur 1-
36 bulan. Skala ini terdiri dari 6 penilaian dengan skor total 0 untuk
tidak ada nyeri dan 5 untuk nyeri hebat. Penilaian tersebut adalah
tersenyum, tidur tidak ada perubahan ketika digerakkan maupun
disentuh (0), membutuhkan sedikit kata-kata, gelisah bergerak,
menangis (1), perubahan perilaku, tidak mau makan/minum, menangis
dengan periode pendek, mengalihkan perhatian dengan bergoyang atau
dot (2), peka rangsang, tangan dan kaki bergerak-gerak, wajah meringis
(3), menggapai-gapai, meratap dengan nada tinggi, orang tua meminta
obat untuk mengurangi nyeri, tidak dapat mengalihkan perhatian (4),
tidur yang lama terganggu sentakan, menangis terus-menerus,
pernafasan cepat dan dangkal (5).

23
j) Objective Pain Score (OPS)
Skala ini digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri pada anak mulai 4
bulan sampai 18 tahun. Skala ini terdiri dari 5 penilaian dengan skor
total 0 tidak ada nyeri dan 10 untuk nyeri hebat. Adapun penilaian
tersebut adalah tekanan darah (0-2), menangis (0-2), bergerak (0-2),
agitasi (0-2), dan bahasa tubuh (0-2).

k) Nurses Assessment of Pain Inventory (NAPI)


Skala ini digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri pada anak baru
lahir sampai 16 tahun. Skala ini terdiri dari 3 penilaian dengan skor total
0 untuk tidak ada nyeri dan 7 untuk nyeri hebat. Penilaian tersebut
adalah gerak tubuh (0-2), wajah (0-3) dan menyentuh (0-2).

l) Behavioral Pain Score (BPS)


Skala ini digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri pada anak usia 3-36
bulan. Skala ini terdiri dari 3 penilaian dengan skor total 0 tidak ada
nyeri dan 8 untuk nyeri hebat. Penilaian tersebut adalah ekspresi wajah
(0-2), menangis (0-3) dan bergerak (0-3).

m) Modified Behavioral Pain Score (MBPS)


Skala ini digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri pada usia 4-6 bulan.
Skala ini terdri dari 3 penilaian dengan skor total 0 tidak ada nyeri dan
10 untuk nyeri hebat. Penilaian tersebut adalah ekspresi wajah (0-3),
menangis (0-4), dan gerak (0, 2, 3).

n) Riley Infant Scale (RIPS)


Skala ini digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri pada usia lebih dari
36 bulan. Skala ini terdiri daro 3 penilaian dengan skor total 0 untuk
tidak ada nyeri dan 3 untuk nyeri hebat. Penilaian tersebut adalah wajah
netral, tenang, tidur tenang, tidak ada teriakan, consolable, bergerak
dengan mudah (0); mengerutkan kening, gerakan tubuh gelisah, susah
tidur, merintih, meringis, dengan sentuhan (1), gigi terkatup, agitasi
24
moderat, tidur sebentar-sebentar, sulit untuk dihibur, menangis (2), dan
ekspresi menangis penuh, meronta-ronta, tidur waktu yang lama
terganggu oleh sentakan atau tidak tidur, menangis dengan nada tinggi,
tidak dapat dihibur, menjerit ketika disentuh / pindah (3).

2) Physiologic Measures
Pengukuran fisiologis tidak dapat dipisahkan dari respon tubuh terhadap
nyeri dan bentuk stress lainnya pada tubuh. Perubahan fisiologis secara
mendalam/besar seringkali menyertai pengalaman nyeri. Parameter
fisiologis, antara lain denyut nadi, pernapasan, tekanan darah, telapak
tangan berkeringat, level kortison, oksigen transkutaneus, vagal tone, dan
konsentrasi endorphin. Parameter ini tidak menunjukkan lokasi nyeri, tetapi
memberikan informasi yang berguna mengenai tingkat distress (keadaan
bahaya) anak secara umum yang mengalami nyeri. Penilaian nyeri secara
fisiologis berguba pada infant dan anak yang tidak bisa berkomunikasi
secara verbal (Hockenberry & Wilson, 2009).

b. Pengukuran Subjektif (Subjective- Self Report Measures)


Semua jenis rasa nyeri, informasi terpenting dapat diperoleh ketika anak
mengukur rasa nyeri itu sendiri. Beberapa metode membantu anak-anak dalam
mengukur nyeri mereka sendiri. Pemilihan ukuran tertentu harus didasarkan
pada tingkat perkembangan anak dan kesukaan, kebijakan institusi, dan
ketersediaan instrumen. Sebuah ukuran kuantitatif nyeri juga menambah
validitas ketika mendiskusikan pengobatan nyeri dengan anggota tim perawatan
kesehatan karena melaporkan nyeri anak dengan angka atau langkah-langkah
yang lebih kredibel daripada mengatakan "dia bilang dia sakit"( Potts &
Mandleco, 2012). Terdapat beberapa skala pengukuran nyeri pada anak, antara
lain (Hockenberry & Wilson, 2009):

25
1) FACES Pain Rating Scale (Wong and Baker, 1988)
Skala ini digunakan pada anak usia 3 tahun dan usia yang lebih tua.

2) Oucher (Beyer, Denyes, and Villarruel, 1992)


Skala ini digunakan pada anak usia 3-13 tahun.

1 2 3 4
Caucasian African American Hispanic Asian Boy &
5
Girl Oucher

Sumber: www.oucher.org
26
3) Word Graphic Rating Scale (Tesler, Savedra, Holzemer, and Others,
1991)
Skala ini digunakan pada anak usia 4-17 tahun.

Tidak Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri


Nyeri Ringan Sedang Berat Hebat

4) Numeric Scale
Skala ini digunakan pada anak usia 5 tahun dan usia yang lebih tua.

5) Visual Analog Scale (VAS)(Cline, Herman, Shaw, and Others, 1992)


Skala ini digunakan pada anak usia 4,5 tahun dan usia yang lebih tua; pada
umumnya pada anak usia 7 tahun.

Tidak Nyeri
Nyeri Hebat

G. Penatalaksanaan Nyeri
a. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Nyeri dapat mempengaruhi psikologis dan perilaku, intervensi
nonfarmakologis penting dalam mengubah persepsi nyeri/perilaku. Intervensi
ini bertujuan untuk mengurangi rasa takut, penderitaan dan meminimalkan rasa
sakit dan meningkatkan pengendalian rasa nyeri pada anak (Ekwueme, 2009).
Intervensi nonfarmakologis harus cocok untuk anak, dan agar efektif teknik
harus sesuai tahap perkembangan, kepribadian, dan keadaan sekitar anak

27
(James & Ashwill, 2007). Teknik-teknik ini dapat ditetapkan dalam tiga
kategori besar (Ekwueme, 2009), antara lain:
- Metode kognitif yang meliputi pendidikan/persiapan, musik, imagery
guided, distraksi dan hipnosis.
- Metode Perilaku diantaranya adalah teknik relaksasi otot progresif, latihan
biofeedback, kontrol pernapasan, dan hipnosis.
- Metode fisik misalnya kompres hangat atau dingin, pijat dan sentuhan,
transkutan stimulasi saraf listrik (TENS), akupunktur/akupresur, dll.

Penatalaksanaan nyeri secara non farmakologis pada anak antara lain


(James & Ashwill, 2007; Potts & Mandleco, 2012):
a. Distraksi
Anak-anak kurang dari 6 tahun merespon dengan baik untuk teknik
distraksi. Prinsip distraksi adalah mengalihkan fokus anak terhadap nyeri
yang dirasakan kepada hal/kegiatan lain yang disenangi. Teknik distraksi
dapat dilakukan melalui meniup gelembung, mendengarkan musik,
bermain, menoton video, dan lainnya.
b. Breathing Techniques
Pola pernapasan tertentu diatur agar dapat meningkatkan relaksasi anak.
Teknik pola pernapasan membutuhkan konsentrasi dan perhatian anak
sehingga mengambil pikiran dari rasa sakit prosedural. Hal ini mengajarkan
anak untuk mengelola stres. Dua jenis teknik pernapasan dapat digunakan:
pernapasan dada berirama dalam dan berpola pernapasan dangkal.
c. Guided Imagery
Imajinasi dipandu adalah proses relaksasi dan fokus konsentrasi pada
membayangkan gambar. Teknik ini menggunakan suara dan gambaran
dalam imajinasi seseorang untuk menghasilkan rasa kesejahteraan. Guided
imagery berguna untuk kecemasan pra operasi dan manajemen nyeri pasca
operasi. Anak didorong untuk membayangkan berada di tempat favorit dan
kemudian membayangkan pemandangan, suara dan bau di tempat favorit
tersebut.

28
d. Progressive Muscle Relaxation
Anak dapat mencapai relaksasi, mengurangi kecemasan dan nyeri melalui
identifikasi bagian tubuh yang nyeri. Teknik ini mengajarkan anak secara
sistematik progresif, fokus pada tujuan merelaksasi tubuh tahap demi tahap.
Hal ini dirancang untuk membantu anak-anak mengenali dan mengurangi
ketegangan tubuh berhubungan dengan nyeri. Instruksi yang diberikan
kepada kelompok otot yang tegang dan tahan dalam kondisi itu selama 10
detik dan perhatikan cara otot terasa tegang ketika dibandingkan dengan
bagaimana rasanya ketika ketegangan itu santai.
e. Biofeedback
Prinsipnya adalah untuk menerjemahkan keadaan fisik tubuh menjadi sinyal
audio-visual. Teknik ini menggunakan alat, elektroda dipasang secara
eksternal diatas setiap pelipis. Elektroda mengukur ketegangan kulit dalam
microvolt. Anak belajar mencapai relaksasi yang optimal dengan
menggunakan umpan balik dari poligraf sementara ia menurunkan tingkat
ketegangan actual yang sedang dialami. Terapi ini sangat efektif untuk
mengatasi ketegangan otot dan nyeri kepala.
f. Hypnosis
Teknik ini melibatkan perhatian berfokus untuk mencapai tingkat yang lebih
dalam relaksasi. Kecenderungan anak-anak untuk memiliki rentang
perhatian yang pendek memungkinkan teknik hipnosis untuk lebih
menangkap rentang perhatian dan anak tetap fokus jauh dari prosedur yang
menyakitkan. Hipnosis membantu mengubah persepsi nyeri melalui sugesti
positif.
g. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)
TENS adalah metode yang menggunakan stimulasi listrik voltase rendah
secara langsung diarea nyeri yang teridentifikasi, pada titik akupresur,
sepanjang area saraf perifer yang mempersarafi area nyeri tersebut, atau
sepanjang kolom spinal. Penggunaan TENS bermanfaat untuk mengurangi
nyeri kronis dan akut, menurunkan kebutuhan opiat dan kemungkinan depresi
fungsi pernapasan karena penggunaan narkotik, dan memfasilitasi keterlibatan
klien dalam pelaksanaan pengendalian nyeri.
29
b. Penatalaksanaan Farmakologis
1) Nonsteroidal anti-inflamasi (NSAID)

Nonsteroidal anti-inflamasi (NSAID) adalah obat ibuprofen atau aspirin


seperti obat-obatan yang mengurangi rasa sakit dan peradangan. Ibuprofen,
naproxen sodium (Naprosyn, Anaprox), ketorolac (Toradol), dan kolin
magnesium trisalicylate (trilisate) adalah beberapa obat yang paling umum
digunakan dalam kategori ini. Aspirin telah dikaitkan dengan sindrom Reye,
tidak dianjurkan untuk anak-anak. Acetaminophen dapat diklasifikasikan
sebagai NSAID karena memiliki efek anti inflamasi minimal dan tidak
menghambat prostaglandin. Penggunaan jangka pendek dari acetaminophen
aman, bahkan pada neonates, tidak memiliki efek samping lambung, dan
meskipun begitu dapat menyebabkan kerusakan hati, efek ini sering
berhubungan dengan overdosis. Obat pilihan ini untuk mengobati demam
pada anak-anak di negara lain dan merupakan analgesik yang paling sering
digunakan untuk nyeri ringan sampai sedang. Ibuprofen dapat menjadi obat
pilihan untuk kondisi nyeri tulang, cedera tulang, arthitis, atau jenis kanker
tertentu.

a) Ibuprofen

Klasifikasi: NSAID, analgesik.

Aksi: blok sintesis prostaglandin.

Indikasi: kronis, rheumatoid arthritis dan osteoarthritis, bantuan dari


nyeri ringan sampai nyeri sedang.

Dosis dan rute: melalui mulut: 5-10 mg / kg / dosis setiap jam 6-8 untu
anak yang kurang dari 6 bulan. Jangan melebihi 40 mg/kg/24 jam. Untuk
remaja arthritis: 30-50 mg/kg/24 jam. Obat dalam bentuk cair untuk
anak-anak.
Penyerapan: 80% diserap dari saluran pencernaan (GI) saluran,
maksimum dalam 1-2 jam.

30
Ekskresi: diekskresikan terutama di urin, beberapa ekskresi bilier.
Kontraindikasi: contarindicated pada anak-anak di antaranya urtikaria,
rinitis parah, bronkospasme, angioedema, hidung polip yang dipicu oleh
NSAID lainnya, ulkus peptikum aktif, kelainan perdarahan.

Kewaspadaan: hipertensi, riwayat ulserasi GI, hati terganggu atau fungsi


ginjal, gagal ginjal kronis.

Reaksi merugikan: mulas, mual, muntah, ketidaknyamanan perut atau


sakit, ulserasi GI.

Keperawatan: berikan pada jam 1 perut kosong sebelum atau 2 jam


setelah makan. Jika intoleransi GI terjadi, maka dapat diambil dengan
makanan atau susu. Jika anak tidak dapat menelan tablet, mengelola obat
dalam bentuk cair. Ibuprofen dilapisi non enterik dapat dihancurkan dan
dicampur dengan jumlah yang sangat kecil (1 sendok makan) makanan
atau cairan sebelum menelan.

b) Ketorolac

Klasifikasi: NSAID, analgesik.

Aksi: blok sintesis prostaglandin.

Indikasi: manajemen nyeri jangka pendek /sedang.

Dosis dan rute: anak yang lebih tua dari 2 tahun IV: 0,4-1 mg / kg satu
kali, diikuti dengan 0,2-0,5 mg / kg / dosis setiap jam 6, sampai dengan
maksimal 120 mg/24hr.

Penyerapan: diserap dengan cepat, tindakan puncak dalam 1 sampai 2


jam.

Ekskresi: diekskresikan dalam urin, efek terakhir 4-6 jam.


Kontraindikasi: pada pasien yang urtikaria, rinitis parah, bronkospasme,
angioedema, hidung polip dipicu oleh NSAID lainnya, ulkus peptikum
aktif, kelainan perdarahan.

31
Kewaspadaan: penggunaan hati-hati dengan riwayat ulkus GI, hati atau
gangguan fungsi ginjal, gagal ginjal kronis.

Reaksi merugikan: mengantuk, pusing, mual, nyeri GI, perdarahan.


Keperawatan: tidak mengelola lebih dari 5 hari, memantau fungsi hati,
tanda-tanda dan gejala gangguan saluran pencernaan atau perdarahan.

c) Acetaminophen
Klasifikasi: analgesik, antipiretik.

Aksi: tidak diketahui, diperkirakan menghasilkan analgesia dengan


menghalangi generasi impuls nyeri

Indikasi: sakit ringan atau demam.

Dosis dan rute: melalui mulut atau supositoria rektal: 10-15 mg / kg /


dosis setiap 4-6 jam sampai dengan maksimal 5 doses/24 jam.

Penyerapan: penyerapan cepat dan hampir lengkap dari saluran


pencernaan, penyerapan yang kurang lengkap dari dubur suppossitory,
efek puncak dalam 1-1,5 jam.

Ekskresi: 90-100% obat diekskresikan dalam urin sebagai metabolit,


diekskresikan dalam ASI, efek berlangsung 4-6 jam.

Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap acetaminophen atau


phenacetin, administrasi untuk pasien dengan anemia atau penyakit hati,
penggunaan hati-hati dalam kondisi arthitic atau arthritis yang
mempengaruhi anak-anak muda dari 12 tahun; trombocytopenia.

Reaksi merugikan: diabaikan dengan dosis yang dianjurkan; ruam.


Keperawatan: dapat dihancurkan. Tablet kunyah perlu menyeluruh dan
dibasahi sebelum menelan. Dengan dosis tinggi atau terapi jangka
panjang, tes periodik hati, fungsi ginjal, dan hematopoietik disarankan.
Perhatian orang tua tentang memberi obat lain yang mengandung
acetaminophen tanpa medis disarankan. Tidak lebih dari 5 dosis dalam
24 jam harus diberikan kepada anak-anak kecuali diresepkan oleh dokter.

32
Tersedia dalam kekuatan bayi (tetes) pastikan untuk memberitahu orang
tua untuk memeriksa kekuatan sebelum memberikan acetaminophen cair
(tylenol) untuk menghindari averdosis.

2) Analgesic Opioid

Opioid analgesik alami merupakan turunan opium sintetis yang


mengikat sistem saraf pusat (SSP) reseptor opioid dan nyeri kontrol dengan
transmisi impuls nyeri. Opioid dapat digunakan untuk nyeri akut dan kronis
yang parah, termasuk nyeri pasca operasi, nyeri pasca trauma, sabit nyeri sel
krisis vaso oclusive, dan nyeri kanker. Jenis Opioid yang paling sering
digunakan adalah codein, fentanil, hydrocodone, hidromorfon, meperidin,
metadon, morfin, dan oxycodone. Opioid adalah istilah pilihan dalam
manajemen nyeri, yang bertentangan dengan kuno, tetapi istilah yang
mungkin lebih akrab "narkotika". Narkotika adalah istilah yang lebih tua
untuk obat-obat yang menekan SSP untuk menghilangkan rasa sakit dan
menghasilkan tidur.

a) Codeine

Klasifikasi: analgesik opioid.

Aksi: mengikat reseptor opiat di SSP, mengubah persepsi baik dan


respon emosional terhadap rasa sakit.

Indikasi: nyeri ringan sampai sedang

Dosis dan rute: melalui mulut, IM,SC: 0,5-1 mg / kg / dosis setiap jam
4-6, dosis maksimum 60 mg / dosis. dosis yang terdaftar untuk pasien
dengan berat badan <50 kg (110 pon) tidak dapat digunakan sebagai
dosis awal pada bayi <6 bulan, dosis opioid awal harus sekitar ¼ sampai
1/3 dari dosis yang dianjurkan untuk bayi yang lebih tua dan anak-anak .

Penyerapan: mudah diserap dari saluran pencernaan, dengan maksimum


1 - 1,5 jam

33
Distribusi: menyelip ke plasenta, didistribusikan ke dalam ASI.

Ekskresi: efek terakhir sekitar 4-6 jam, diekskresikan dalam urin.


Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap derivatif morfin kodein atau
lainnya, hati atau disfungsi ginjal.

Kewaspadaan: gunakan hati-hati pada anak-anak yang sangat muda.


Reaksi merugikan: terutama dengan gejala SSP: pusing, lightheadness,
mengantuk, depresi pernafasan, Gi: mual, muntah, sembelit,
Genitourinary: retensi urin.

Keperawatan: untuk mengurangi kemungkinan gangguan GI, mengelola


codeine oral dengan susu atau makanan lain. Karena pusing dan ringan
dapat terjadi, pengawasan ambulasi dan tindakan keselamatan lainnya
mungkin diperlukan. Nauseais efek samping yang umum, laporan jika hal
ini disertai dengan muntah. Ubah ke analgesik yang lain mungkin
diperlukan.

b) Morfin
Klasifikasi: analgesik opioid.

Aksi: mengikat reseptor opiat di SSP, mengubah respon fisik dan


emosional terhadap rasa sakit.

Indikasi: nyeri akut dan kronis.

Dosis dan rute: dosis intermiten. Dengan mulut atau dubur: 0,2-0,5 mg /
kg / dosis setiap jam 4-6. IM, IV,SC: 0,1-0,2 mg / kg / dosis setiap jam 2-
4, sampai maksimal 15 mg / dosis. Terus menerus IV infus: 0,01-0,04 mg
/ kg / jam (rata-rata 0,06 mg / kg / jam). Mulailah dengan dosis terendah,
meningkat hingga 2 mg / kg / jam sesuai kebutuhan. Pasien dikontrol:
pemeliharaan: 0,02 mg / kg / jam, meningkat jika anak membutuhkan
lebih dari 2 dosis bolus per jam. Bolus 0,02 mg / kg / dosis pada

interval minimal 10 menit sesuai kebutuhan.

34
Penyerapan: penyerapan variabel dari saluran GI, puncak aksi 60 menit
secara lisan, 20 menit IV.

Ekskresi: diekskresikan terutama di urin, 7-10% diekskresikan dalam


empedu. Efek bertahan hingga 7 jam.

Kontraindikasi: hypersensitivy terhadap opioid, peningkatan tekanan


intrakranial, gangguan kejang, penyakit paru kronis, depresi pernafasan.

Kewaspadaan: penggunaan hati-hati dengan aritmia jantung,


mengurangi volume darah.

Reaksi merugikan: sedasi, pusing, euforia, eksitasi SSP paradoks,


depresi pernafasan, hipotensi, bradikardia, mual, muntah, konstipasi,
retensi urin.
Keperawatan: hati-hati dan sering menilai status pernapasan. Menilai
batuk refleks; asupan monitor dan output yang hati-hati untuk retensi urin
dan sembelit.

c) Fentanil
Klasifikasi: analgesik opioid.

Aksi: agonis narkotika dengan tindakan yang mirip dengan morfin dan
meperidin tetapi tindakan lebih cepat dan lebih lama.

Indikasi: nyeri sedang sampai berat, terutama untuk prosedur singkat


dan ketika anak-anak sakit kritis atau berisiko tinggi. Fentanyl
transdermal adalah untuk nyeri kronis parah saja; pengalaman dengan
anak-anak sangat terbatas

Dosis dan rute: IM dan IV intermiten dosis: 1-2 mikro gr / kg / dosis


setiap menit 30-60. IV pasien dikontrol: pemeliharaan 1 mikrogram / kg /
jam infus kontinu, meningkat jika pasien membutuhkan lebih dari 2 dosis
bolus per jam. Bolus: 0,1-0,4 mikrogram / kg / dosis pada interval
minimal 5 menit. Patch transdermal digunakan hanya pada anak-anak
yang lebih tua dari 12 tahun.

35
Penyerapan: diserap setelah pemberian IV, 6-8 jam transdermally.

Ekskresi: diekskresikan dalam urin. Berlangsung 30-60 menit IV, 72


jam secara transdermal.

Kontraindikasi: pasien yang telah menerima monoamine oxidase


inhibitors dalam waktu 14 hari.

Kewaspadaan: gunakan hati-hati pada anak dengan cedera kepala,


peningkatan tekanan intrakranial, gangguan pernapasan, hati dan
disfungsi ginjal.

Efek samping: sedasi, pusing, euforia, kejang dengan dosis tinggi.


Hipotensi, bradikardia, depresi peredaran darah, depresi pernafasan,
bronkokonstriksi.
Keperawatan: menitor dengan hati-hati untuk tanda-tanda dan gejala
gangguan pernapasan, depresi, memiliki oksigen, peralatan resusitasi,
dan nalokson tersedia.

d) Hidromorfon
Klasifikasi: analgesik opioid.

Aksi: menghambat naiknya jalur nyeri pada SSP, meningkatkan ambang


nyeri, nyeri mengubah persepsi

Indikasi: nyeri sedang sampai berat

Dosis dan rute: melalui mulut, IM, SC, atau IV, 0,03-0,08 mg / kg setiap
jam 4-6 melalui mulut, maksimum 5 mg / dosis, IV dosis 0,015 mg / kg /
dosis
Penyerapan: onset, 15-20 menit, puncak 0,5-1 jam, durasi 4-5 jam
Ekskresi: diekskresikan dalam urin, paruh 3,5-4,5 jam

Kontraindikasi: hipersensitivitas, kecanduan

Kewaspadaan: kepribadian adiktif, peningkatan tekanan intrakranial,


depresi repiratory, penyakit hati, penyakit ginjal. Berhati-hati dalam

36
penggunaan cedera kepala, peningkatan tekanan intrakranial, asma, dan
kondisi pernapasan lainnya, gangguan ginjal atau fungsi hati.

Reaksi merugikan: pusing, ringan, kebingungan, halusinasi, perubahan


mood, sedasi, depresi pernafasan, ketergantungan, meningkatkan output
urin, retensi urin, kejang, jantung berdebar, bradikardia, takikardia,
hipotensi, perubahan lain pada tekanan darah

Keperawatan: menilai status pernapasan dengan hati-hati, menilai


perubahan SSP dan menerapkan langkah keselamatan yang tepat,
memantau asupan dan keluaran dengan hati-hati untuk oliguria atau
menilai untuk retensi urin.

e) Oksikodon
Klasifikasi: analgesik opioid.

Aksi: menghambat naik jalur nyeri pada SSP, meningkatkan ambang


nyeri, nyeri mengubah persepsi

Indikasi: nyeri sedang sampai berat

Dosis dan rute: melalui mulut 0,05-0,15 dosis mg / kg / setiap 4-6 jam,
maksimum 5 mg / dosis

Penyerapan: onset, 10-20 menit, durasi 4-6 jam

Ekskresi: diekskresikan dalam urin, paruh 3,5-4,5 jam

Kontraindikasi: hipersensitivitas, kecanduan

Kewaspadaan: kepribadian adiktif, peningkatan tekanan intrakranial,


depresi repiratory, penyakit hati, penyakit ginjal. Berhati-hati dalam
penggunaan cedera kepala, peningkatan tekanan intrakranial, asma, dan
kondisi pernapasan lainnya. Gangguan ginjal atau fungsi hati.

Reaksi merugikan: pusing, ringan, kebingungan, halusinasi, perubahan


mood, sedasi, depresi pernafasan, ketergantungan.

37
Keperawatan: menilai status pernapasan dengan hati-hati, menilai
perubahan SSP dan menerapkan langkah keselamatan yang tepat.

f) Hydrocodone
Klasifikasi: analgesik opioid.

Aksi: mengikat reseptor opiat di SSP untuk mengurangi rasa sakit.


Indikasi: nyeri ringan

Dosis dan rute: melalui mulut, dosis maksimum 1,25 mg (anak <2
tahun) -5 mg (anak> 2 tahun) setiap 4-6 haours sesuai kebutuhan atau 0,2
mg / kg setiap jam 3-4.

Penyerapan: onset, 10-20 menit, durasi 4-6 jam

Ekskresi: diekskresikan dalam urin, paruh 3,5-4,5 jam

Kontraindikasi: hipersensitivitas, kecanduan

Kewaspadaan: kepribadian adiktif, peningkatan tekanan intrakranial,


depresi repiratory, penyakit hati, penyakit ginjal. Berhati-hati dalam
penggunaan cedera kepala, peningkatan tekanan intrakranial, asma, dan
kondisi pernapasan lainnya. Gangguan ginjal atau fungsi hati.

Reaksi merugikan: pusing, ringan, kebingungan, halusinasi, perubahan


mood, sedasi, depresi pernafasan, ketergantungan.

Keperawatan: menilai status pernapasan dengan hati-hati, menilai


perubahan SSP dan menerapkan langkah keselamatan yang tepat.

g) Metadon
Klasifikasi: analgesik opioid.

Aksi: menekan transmisi impuls nyeri pada tingkat sumsum tulang


belakang melalui interaksi dengan reseptor opioid, sehingga
menghasilkan depresi SSP

Indikasi: nyeri akut dan kronis yang parah, penarikan opioid

38
Dosis dan rute: 0,005-0,1 mg / kg / dosis setiap jam 6-12

Penyerapan: penyerapan variabel dari saluran GI, puncak aksi 60 menit


secara lisan, 20 menit IV

Ekskresi: diekskresikan dalam urin, melintasi plasenta, diekskresikan


dalam ASI, paruh 15-30 jam

Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap obat ini, injeksi


chlorobutanol, kecanduan.

Kewaspadaan: penggunaan hati-hati dengan kepribadian adiktif,


tekanan intrakranial meningkat, depresi pernafasan, hati atau penyakit
ginjal
Reaksi merugikan: sedasi, pusing, kebingungan, euforia, kejang,
depresi pernafasan, hipotensi, bradikardia, palpitasi, mual, muntah,
konstipasi, retensi urin

Keperawatan: hati-hati dan sering menilai status pernapasan. Menilai


batuk refleks; asupan monitor dan output yang hati-hati untuk retensi urin
dan sembelit.

3) Sedasi Sadar

Sedasi sadar adalah keadaan medis yang dikendalikan oleh


kesadaran depresi yang memungkinkan respon yang tepat terhadap
rangsangan fisik atau perintah verbal dan pemeliharaan refleks pelindung.
Anak dapat mempertahankan kemampuan jalan napas yang paten terus
menerus dan mandiri. Hal ini biasanya dicapai dengan menggunakan
amnesic, obat penenang, atau keduanya, administrered IV. Dengan sedasi
sadar, anak-anak biasanya memiliki ingatan sedikit atau tidak ada prosedur
yang telah ia alami.

4) Analgesia Epidural
39
Obat nyeri (biasanya, opioid bius lokal, atau keduanya) dapat
diberikan melalui kateter epidural dimasukkan ke dalam ruang epidural dan
diamankan ke anak kembali dengan oklusif. Karena obat yang diberikan
langsung ke saraf yang mengirimkan rasa sakit, dosis yang lebih kecil yang
diperlukan untuk mengontrol rasa sakit, dengan efek samping yang lebih
sedikit dibandingkan biasanya berhubungan dengan administrasi opioid
sistemik. Disarankan untuk anak-anak yang menjalani prosedur perut, anal,
atau urogenital, operasi jantung terbuka, dan operasi thoracis, atau operasi
ortopedi dari tungkai bawah. Asuhan keperawatan anak dengan chateter
epidural mirip dengan Taht untuk anak menerima terapi PCA. Anak
dipantau dengan monitor jantung dan oksimetri pulsa. Perawat menilai anak
untuk menghilangkan rasa sakit yang memadai dan adanya efek samping
underesired (respirasi khususnya menurun) dan komplikasi yang mungkin
menyertai penempatan kateter. Hal ini penting untuk menghindari tindakan
yang akan menarik atau menempatkan ketegangan pada kateter. Perawat
menilai tingkat dermatom (tingkat blokade sensorik) setiap 4 jam dan sesuai
kebutuhan. Perawat juga memantau situs kateter sering untuk selip,
hilangnya pendarahan, cairan serebrospinal, atau hematoma di situs
penyisipan komplikasi yang jarang namun serius yang perlu segera
dilaporkan. Efek samping lain termasuk sembelit, mual, muntah, retensi
urin, blok motorik, sensorik dan blok.

H. Rencana Asuhan Keperawatan


Masalah Keperawatan:
Nyeri
Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul:
Nyeri akut b.d faktor fisik dan biologi: edema, proses penyakit, infeksi, prosedur
invasif, pembedahan, trauma.
Ditandai dengan: menangis, meringis rewel, gelisah, dan dilihat dari respon verbal
maupun non verbal
Tujuan:
Nyeri berkurang dan respon verbal non verbal kembali normal, dapat beraktifitas
seperti biasa/normal.

40
Kriteria Hasil:
Anak akan:
- Mengalami penurunan nyeri pada tingkat yang memadai, dibuktikan oleh
tingkat rasa sakit berkurang sesuai dengan tahapan perkembangan, penilaian
verbal atau nonverbal, penilaian dengan alat ukur nyeri, postur tubuh santai,
penurunan menangis, meringis rewel, gelisah.
- Kembali ke tingkat aktivitas yang dialami sebelum timbulnya nyeri.
- Mencapai periode tidur tanpa gangguan, setidaknya 90 menit untuk mengalami
siklus REM lengkap (Rapid Eye Movement)
Intervensi
a. Kaji anak dengan menggunakan alat ukur nyeri yang sesuai dengan usia
perkembangan anak. Alat harus menjadi bagian dari grafik anak untuk
kemudahan referensi.
R: Infant dan anak mungkin memiliki kesulitan mengatakan tentang rasa
nyerinya. Alat ukur nyeri membantu mendapatkan informasi yang lebih
konsisten, objektif, dan kuantitatif.
b. Amati dan dokumentasikan tanda-tanda perilaku dan fisiologis nyeri pada anak.
Perhatikan kedua respon verbal dan nonverbal. Nilai tanda-tanda vital.
R: Penilaian nyeri pada anak-anak didasarkan pada laporan anak sakit dan pada
perubahan perilaku serta fisiologis. Anak mungkin mengalami kesulitan
verbalisasi. Perawat harus mengamati perubahan perilaku untuk menilai
bayi dan anak-anak lain yang nonverbal atau tidak mampu berkomunikasi
dengan jelas. Perubahan fisiologis bervariasi dalam respon terhadap rasa
sakit dan harus dievaluasi bersama-sama dengan penilaian perilaku.
c. Tentukan faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi anak: pemisahan,
ketakutan, kecemasan, kehilangan kendali, dan keyakinan spritual atau budaya
tentang nyeri.
R: Persepsi dan reaksi anak terhadap nyeri mungkin dipengaruhi oleh faktor
lainnya.
d. Pantau nyeri berdasarkan tahap perkembangan anak.
R: Bayi dan anak-anak disetiap tingkat perkembangan memiliki cara unik untuk
bereaksi dan mengatasi nyeri.
e. Tanyakan kepada anak tentang onset, durasi, lokasi, dan jenis ukuran nyeri.
41
R: Faktor ini akan menmpengaruhi pemilihan analgesic yang tepat untuk anak.
f. Perhatikan apakah tingkat nyeri anak berbeda saat istirahat, ambulasi, bermain,
atau selama prosedur.
R: Penurunan nyeri dapat segera ditingkatkan melalui pemahaman terhadap
sebab dan akibat
g. Kelola analgesik yang sesuai. Berikan dengan rute oral atau IV. Hindari
suntikan.
R: Nonopioid cocok untuk nyeri ringan sampai sedang. Analgesik opioid harus
diberikan untuk nyeri sedang sampai berat. Anak takut suntikan dan
mungkin menolak nyeri untuk menghindari suntikan.
h. Terapkan strategi pengurangan nyeri non farmakologi, antara lain: distraksi,
teknik relaksasi, stimulasi kulit, seperti pijat, kompres hangat atau dingin,
lingkungan yang tenang, reposisi, dan menurunkan lingkungan suara dan
cahaya, kenyamanan tindakan (sentuhan, dekapan).
R: Analgesik farmakologi dapat ditingkatkan melalui penggunaan strategi
manajemen nyeri non farmakologi sebagai terapi adjuvant/ pembantu.
i. Libatkan orang tua dalam perawatan.
R: Kehadiran orang tua anak dapat mengurangi rasa takut dan kecemasan,
sehingga mengurangi nyeri yang terasa. Orang tua juga tahu yang terbaik
untuk anak mereka, mereka dapat membantu pengkajian nyeri dan
meningkatkan respon anak terhadap intervensi.

j. Catat respon terhadap obat-obatan maupun non-farmakologis mengukur


pengurangan nyeri dengan menggunakan alat penilaian nyeri yang tepat.
R: Dokumentasi membantu dalam menentukan keefektifan tindakan
mengurangi/menghilangkan rasa nyeri dan kesinambungan dalam
pengelolaan nyeri.
k. Observasi efek samping obat.
R: Depresi pernafasan adalah efek samping yang paling serius dari opioid tetapi
jarang terjadi. Efek samping lainnya termasuk sedasi, mual dan muntah, dan
sembelit.

42
DAFTAR PUSTAKA

Berman, A., Snyder, S., Kozier, B., & Erb, G. (2009). Buku ajar praktik keperawatan
klinik kozier dan erb. Jakarta: EGC.

Bowden, V.R., & Greenburg, C.S. (2010). Children and their families. (2nd ed.).
Philadelphia: Wolters Kluwer Health- Lippincott William & Wilkins.

Ekwueme, H. (2009). Non-pharmacological management of pain in children. Diperoleh


tanggal 24 Maret 2013 dari
http://anaesthetics.ukzn.ac.za/Libraries/FMM_R_B_2009/Non-
pharmacological_pain_management_in_children_Dr_H_Ekwueme.sflb.

43
Engel, Joyce. (2008). Seri Pedoman Praktis Pengkajian Edisi 4. Jakarta : EGC
Hockenberry, M.J., &Wilsoin, D. (2009). Wong’s essentials of pediatric nursing.( 8th ed.).
St.Louis: Mosby Elsevier.

James, S.R., & Ashwill, J.W.(2007). Nursing care of children principles & practice. (3rd
ed.). St.Louis: Saunders Elsevier.

Mutaqqin, Arif dan Sari, Kumala. (2011). Asuhan keperawatan gangguan sistem
integumen. Jakarta: Salemba Medika.

Oman, Kathleen S. (2008). Panduan belajar keperawatan emergensi. Jakarta: EGC

Potter, P.A., & Perry, A. G. (2006). Fundamental keperawatan konsep, proses dan praktik.
Jakarta: EGC.

Potts, N.L., & Mandleco, B.L. (2007). Pediatric nursing caring for children and their
families. (2nd ed.). New York: Thomson Delmar Learning.

Potts, N.L., & Mandleco, B.L. (2012). Pediatric nursing caring for children and their
families. (3rd ed.). New York: Delmar Cengage Learning.

Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63

Walker, G., & Arnold, R. (2004). Pediatric pain assessment scales. Fast Facts and
Concepts. June 2004; 117. Diperoleh tanggal 24 Maret 2013 dari
http://www.eperc.mcw.edu/fastfact/ff_117.htm.

44

Anda mungkin juga menyukai