Karena saya mengabdi dibidang kesehatan khususnya kefarmasian, menurut saya korupsi
masih membayangi penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Dampak buruknya merugikan
keuangan negara dan menurunkan kualitas pelayanan kesehatan yang juga secara langsung dapat
mengancam nyawa masyarakat. Korupsi terjadi di pembuat kebijakan hingga unit penyedia
layanan, seperti rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Pada tingkat pusat,
misalnya, sudah dua eks menteri kesehatan yang ditahan: Achmad Suyudi dan Siti Fadilah
Supari.
Pada tingkat daerah, beberapa kepala daerah ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) karena terlibat korupsi proyek dan anggaran kesehatan, antara lain Bupati Jombang Nyono
Suharli Wihandoko, Wali Kota Tegal Siti Mashita, dan mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah.
Begitu pula tingkat penyedia pelayanan, tidak sedikit pemimpin atau pegawai rumah sakit dan
puskesmas yang berurusan akhirnya masuk bui karena korupsi.
Dari banyak celah korupsi, menurut saya pengadaan alat kesehatan dan obat merupakan dua
sektor paling rawan. Banyak factor penyebabnya diantaranya adalah
1. Alokasi anggaran yang besar yang menyebabkan adanya tindakan penyelewengan dana
pembelian
2. Alat kesehatan memiliki banyak substitusi. Satu jenis barang dengan fungsi dan
spesifikasi yang sama bisa diproduksi banyak perusahaan. Kualitas dan harga berbeda-
beda. Sebenarnya hal tersebut sangat lumrah dalam dunia bisnis. Namun, yang jadi
masalah adalah perbedaan harga sering kali dimanfaatkan sebagai peluang untuk korupsi.
Modus yang digunakan dengan mencari keuntungan dari selisih harga. Dalam pengusulan
anggaran, spesifikasi mengacu pada barang yang berkualitas tinggi akan tetapi,
realisasinya, barang yang dibeli berkualitas lebih rendah dengan harga yang jauh lebih
murah.
3. Lemahnya pengawasan. Selain jenisnya banyak, spesifikasi alat kesehatan umumnya lebih
rumit. Tidak semua orang bisa memahami dan membedakan antara alat berkualitas rendah
dan tinggi. Karena cukup rumit, tak banyak yang mau dan mampu mengawasi pengadaan
alat kesehatan. Akibatnya, berbagai manipulasi dan penyelewengan dengan mudah
dilakukan.
Hal serupa terjadi dalam pengadaan obat. Hampir semua aktivitas pelayanan kesehatan
berkaitan dengan obat. Walau sebagian besar harganya tidak semahal alat kesehatan, alokasi
anggaran yang disediakan hampir sama besar, jenisnya pun sangat banyak, dan jarang yang
mengetahui detail teknis atau spesifikasinya.
Langkah penting mempersempit ruang korupsi kesehatan, khususnya terkait alat
kesehatan dan obat, adalah mendorong penggunaan e-katalog dan e-purchasing. Selain
mempermudah, proses pengadaan pun tidak lagi berbelit-belit. Keduanya memberi kepastian
spesifikasi teknis dan acuan harga yang sesuai.
Jadi kita harus meyakini bahwa sebagian besar individu pada dasarnya adalah baik,
karena Allah telah meniupkan sifat-sifat agungnya dalam diri manusia sejak masih didalam
rahim. Didalam surat Qs. 15- al hijr; 29, yang artinya, maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-ku, maka
tunduk kamu kepadanya dengan bersujud. Dapat disimpulkan bahwa pada awalnya manusia
semuanya memiliki sifat yang baik, akan tetapi sebagian orang yang menjadi koruptor itu
tentu karena pengaruh eksternal yang telah mengaburkan sifat-sifat baik tersebut. Yang
paling utama adalah pendidikan, kedua lingkungan dan ketiga media. Tiga hal ini akan
membangun suatu budaya, yakni suatu persepsi kolektif dalam masyarakat, apakah suatu hal itu
akan dianggap normal atau tidak.