Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

HAKEKAT PENGETAHUAN DAN DASAR-DASAR PENGETAHUAN


HAKEKAT ILMU DAN KARAKTERISTIKNYA
ILMU PENGETAHUAN, FILSAFAT, DAN AGAMA
METODE ILMIAH

(Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah Filsafat Dan Teori Administrasi
Pendidikan Yang Dibimbing oleh Ibu Prof. Nurhizrah Gistituati, M.Ed, Ed.D
Dan Ibu Dr. Rifma, M.Pd)

OLEH:
KELOMPOK III

Drs. H. Marjanis, M.Pd NIM. 20324017


H. Hendri Yazid, S.Pd.I, MM NIM. 20324014
Kamarul Zaman, S.Ag, MA NIM. 20324016

JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN (S3)


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI PADANG
TAHUN AJARAN 2020/2021

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul 1
Daftar Isi 2

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan
BAB II : PEMBAHASAN
A. Hakekat Pengetahuan dan Dasar-Dasar Pengetahuan 4
B. Hakekat Ilmu dan Karakteristiknya 10
C. Ilmu Pengetahuan, Filsafat, dan Agama 13
D. Metode Ilmiah 24
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan 29
B. Saran 29

Daftar Pustaka

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sepanjang sejarahnya manusia dalam usahanya memahami dunia sekelliingnya mengenal
dua sarana, yaitu pengetahuan ilmiah dan penjelasan ghaib. Kini disatu pihak manusia memiliki
sekelompok pengetahuan yang sistematis dengan berbagai hipotesis yang telah dibuktikan
kebenaranya secara sah, tetapi dipihak lain sebagian mengenal pula aneka keterangan serba
ghaib yang tidak mungkin diuji sahnya untuk menjelaskan rangkaian peristiwa yang masih
berada diluar jangkauan pemahamanya1. Terdapat dari berbagai macam pengelompokan atau
pembagian dalam ilmu pengetahuan kita dapat mensinyslir bahwa perananan ilmu pengetahuan
terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun social menjadi sangat menentukan, karena
itu implikasi yang timbul adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubunganya dengan cabang
ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis antar ilmu dasar murni atau teoritis dengan ilmu
teraoan atau praktis.
Banyak nya ilmu pengetahuan yang telah kita dapat dan yang berada di sekeliling kita.
Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini sangat pesat, tidak jarang kemajuan ilmu dan teknilogi
serta pengetahuan yang kita dapat yang terus berlangsung sampai saat ini, membuat banyak
manusia khwatir, bingung dan banyak terjadi kesalah pahaman terhadap sebuah ilmu
pengetahuan yang kita peroleh dari berbagai sumber.
B. Rumusan masalah
1. Menjelaskan tentang pengetahuan dan dasar dasar pengetahuan
2. Menjelaskan tentang hakekat ilmu dan karakteristiknya
3. Menjelaskan tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama
4. Menjelaskan tentang metode ilmiah
C. Tujuan
Untuk mengetahui tentang empat sub pokok bahasan yaitu; pengetahuan dan dasar dasar
pengetahuan, hakikat ilmu dan karakteristiknya, ilmu pengetahuan, filsafat dan agama, serta
metode ilmiah, dimana diharapkan mahasiswa dapat memahaminya.

1
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, 2005, hal 2.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. HAKEKAT PENGETAHUAN
Secara biologis manusia memang diklasifikasikan ke dalam Kingdom Animalia,
karena adanya berbagai kesamaan dengan hewan. Namun, manusia dikatakan memiliki
keunggulan terutama pada kecerdasannya. Karena hanya manusialah yang mampu
menafsirkan alam semesta beserta interaksi-interaksi yang ada di dalamnya melalui rasa
ingin tahu.2
Banyak ilmuwan telah berupaya mengidentifikasi tentang kemampuan manusia untuk
“tahu” ini melalui tinjauan otak manusia. Manusia mempunyai otak besar serta kulit otak
yang paling sempurna tumbuhnnya dan paling banyak liku-likunya. Hal ini menyebabkan
manusia menjadi suatu ‘binatang berpikir’, sehingga manusia membuka kemungkinan-
kemungkinan bagi kekuatan berpikir, daya mengangan-angankan, kesadaran dan keinsafan,
kemampuan bicara, daya belajar yang sempurna sekali dan daya menggunakan alat. Oleh
karena itu ilmuwan mencoba memberikan kesimpulan bahwa rasa ingin tahu manusia ada
karena salah satunya didukung oleh fisiologi sel-sel otak manusia. Namun, belum ada ilmu
yang mampu menjelaskan secara rinci mengenai kemampuan dan mekanisme kerja otak
manusia yang dapat berpikir untuk tahu, menganalisis, mengingat, dan berangan-angan.
Walaupun secara biologi telah berupaya menjelaskan otak manusia tersebut, yang dapat
memberikan informasi terkait rasa ingin tahu manusia.
Rasa ingin tahu yang ada pada manusia menjadikan manusia memiliki pengetahuan.
Secara etimologi, pengetahuan berasal dari bahasa inggris yaitu “knowledge”. Sedangkan
secara terminologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan adalah segala sesuatu
yang diketahui yang berkenaan dengan hal mata pelajaran. Sedangkan dalam aksiologi,
pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.3
Melalui pengertian di atas, dapat dipahami secara sederhana bahwa pengetahuan
merupakan segala sesuatu yang manusia ketahui sebagai hasil dari proses mencari tahu.
Pengetahuan menjadi sebuah hal yang luar biasa dalam peradaban manusia, karena melalui

2
Abidin, Zainal, Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000. hal 135.
3
Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengatahuan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010. hal 68.

4
pengetahuanlah aspek-aspek dalam peradaban manusia berkembang yang kemudian
seluruhnya dapat dibedakan berdasarkan ontologi, epistemologi dan aksiologinya.
Manusia berpengetahuan bukan semata-mata untuk mempertahankan
keberlangsungan hidupnya, melainkan memiliki tujuan-tujuan tertentu. Pada masa lalu,
manusia berupaya mencari tahu untuk mengetahui suatu hal, umumnya menggunakan cara-
cara yang sederhana yakni melalui aktivitasnya dengan alam. Sehingga ia akan menemukan
cara hidup yang sesuai dengan alam. Untuk dapat memahami tahapan pengetahuan, secara
umum August Comte (1798-1857) membagi tiga tingkat perkembangan pengetahuan
manusia dalam tahap religius, metafisik dan positif.4
Pada tahap pertama, asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu
merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi. Tahap kedua, orang mulai berspekulasi
tentang metafisika (kebendaan) ujud yang menjadi objek penelaahan yang terbebas dari
dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik
tersebut. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah, (ilmu) di mana asas-asas
yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang objektif. Berdasarkan
tahapan pengetahuan yang telah dikembangkan oleh August Comte, dapatlah dipahami
bahwa pengetahuan manusia pada mulanya didasari dengan suatu sikap pasif.

Dua kategori yang digunakan untuk mengetahui hakekat pengetahuan, yaitu5:


1. Realisme
Teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengatahuan adalah gambaran
yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata.

2. Idealisme
Teori ini menerangkan bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental atau psikologis
yang bersifat subjektif. Pengetahuan merupakan gambaran subjektif tentang sesuatu yang
ada dalam alam menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengalami dan
mengetahuinya.

B. DASAR-DASAR PENGETAHUAN
4
Dardiri, A. Humaniora, Filsafat, dan Logika. Jakarta: CV. Rajawali. 1986. hal 9-10.
5
Suseno Franz Magnis, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal 16.

5
Dasar-dasar pengetahuan diawali oleh pengalaman, ingatan, kesaksian, minat dan rasa
ingin tahu, pikiran dan penalaran, logika, bahasa, serta kebutuhan hidup manusia.6
1. Pengalaman
Hal yang pertama dan paling utama yang mendasarkan pengetahuan adalah pengalaman.
Pengalaman adalah keseluruhan peristiwa yang terjadi dalam diri manusia dalam
interaksinya dengan alam, lingkungan dan kenyataan, termasuk Yang Ilahi. Pengalaman
terbagi menjadi dua:
a. Pengalaman primer, yaitu pengalaman langsung akan persentuhan indrawi dengan
benda-benda konkret di luar manusia dan peristiwa yang disaksikan sendiri;
b. Pengalaman sekunder, yaitu pengalaman tak langsung atau reflektif mengenai
pengalaman primer.

2. Ingatan
Pengetahuan manusia juga didasarkan pada ingatan sebagai kelanjutan dari pengalaman.
Tanpa ingatan, pengalaman indrawi tidak akan bertumbuh menjadi pengetahuan. Ingatan
mengandalkan pengalaman indrawi sebagai sandaran ataupun rujukan. Kita hanya dapat
mengingat apa yang sebelumnya telah kita alami. Kendati ingatan sering kabur dan tidak
tepat, namun kita dalam kehidupan sehari-hari selalu mendasarkan pengetahuan kita pada
ingatan baik secara teoritis dan praktis.

3. Kesaksian
Dimaksudkan untuk penegasan sesuatu sebagai benar oleh seorang saksi kejadian atau
peristiwa, dan diajukan kepada orang lain untuk dipercaya. “Percaya” dimaksudkan untuk
menerima sesuatu sebagai benar yang didasarkan pada keyakinan dan kewenangan atau
jaminan otoritas orang yang memberi kesaksian.

4. Minat dan Rasa Ingin Tahu

6
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Liberti.
2003, cet-3. hal 11.

6
Tidak semua pengalaman dapat dijadikan pengetahuan atau tidak semua pengalaman
berkembang menjadi pengetahuan. Untuk berkembang menjadi pengetahuan subjek yang
mengalami harus memiliki minat dan rasa ingin tahu. Minat mengarahkan perhatian ke
hal-hal yang dialami dan dianggap penting untuk diperhatikan. Ini berarti bahwa dalam
kegiatan mengetahui terdapat unsur penilaian. Orang akan memperhatikan dan
mengetahui apa apa yang ia anggap bernilai. Dan rasa ingin tahu mendorong untuk
bertanya dan menyelidiki apa yang dialaminya dan menarik minatnya.

5. Pikiran dan Penalaran


Kegiatan pokok pikiran dalam mencari kebenaran dalam pengetahuan adalah
penalaran. Nalar dalam kehidupan kita sehari-hari selalu diartikan rasionalitas. Penalaran
adalah proses penarikan kesimpulan dari hal-hal yang telah diketahui sebelumnya.
Setidaknya ada tiga metode dalam proses penalaran. Pertama, induksi yakni penalaran
yang menarik kesimpulan umum (universal) dari kasus-kasus tertentu (partikular).
Kedua, deduksi yakni penalaran untuk merumuskan sebuah hipotesis berupa pernyataan
umum yang kemungkinan pernyataannya masih perlu untuk diuji coba.

Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu7;
a) Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berpikir yang secara luas disebut logika,
dan tiap penalaran mempunyai logika tersendiri. Dapat disimpulkan bahwa kegiatan
penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir logis, dimana berpikir logis di sini harus
diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau logika tertentu.
b) Ciri yang kedua adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan
suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka
berpikir yang digunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang
bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah merupakan kegiatan analisis yang
mempergunakan logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang
mempergunakan logikanya tersendiri. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari
suatu pola berpikir tertentu.
6. Logika

7
Ibid, hal 13.

7
Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan
kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara. Cara penarikan kesimpulan ini disebut
logika, di mana logika secara luas dapat didefenisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir
secara sahih”. Dalam logika, ada tiga rumus yang menjadi dasar-dasar pengetahuan.
a) Silogisme kategoris yakni silogisme yang terdiri dari proposisi-proposisi yang
bersifat kategoris.
b) Silogisme hipotetis yakni silogisme dalam proposisi bersyarat.
c) Silogisme disjungtif adalah silogisme yang sahih hanya dalam salah satu
kemungkinan yang menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan lain.
Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan, namun untuk sesuai
dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran maka hanya difokuskan
kepada dua jenis penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif.

7. Bahasa
Di samping logika penalaran juga mengandaikan bahasa. Tanpa bahasa manusia tidak
dapat mengungkapkan pengetahuannya.

8. Kebutuhan Hidup Manusia


Dalam interaksinya dengan dunia dan lingkungannya manusia membutuhkan
pengetahuan. Maka, kebutuhan manusia juga dapat mendasari dan mendorong manusia
untuk mengembangkan pengetahuannya.

9. Teori Kebenaran
a. Teori koheren.
Teori koherensi, pada kenyataannya kurang diterima secara luas dibandingkan teori
korespondensi. Plato (427-347 S.M.) dan Aristoteles (384-322 S.M.)
mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan.
Teori koherensi ini berkembang dengan baik pada abad 19 dibawah pengaruh Hegel
dan diikuti oleh pengikut mazhab idealisme (misal: F.H Bradley). Pandangan
idealisme adalah bahwa objek pengetahuan tidaklah berwujud terlepas dari kesadaran
tentang objek tersebut (subjektivisme). Bagi penganut teori koherensi, maka suatu

8
pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten
dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.

b. Teori korespondensi.
Menurut teori korespondensi, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada
kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan
objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan demikian,
kebenaran epistemologis adalah kemanunggalan antara subjek dan objek.
Pengetahuan ini dikatakan benar apabila didalam kemanunggalan yang sifatnya
intrinsik, intensional, dan pasif-aktif terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam
objek. Hal itu karena puncak dari proses kognitif manusia terdapat di dalam budi
pikiran subjek itu benar sesuai dengan apa yang ada di dalam.
Suatu proposisi atau pengertian adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang
diselaraskannya, yaitu apabila ia menyatakan apa adanya. Kebenaran itu adalah yang
bersesuaian dengan fakta, yang berselaras dengan realitas, yang serasi dengan situasi
aktual.

c. Teori Pragmatis
Pragmatisme berasal dari bahasa yunani yaitu “pragma”, artinya yang
dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang
dikembangkan oleh Wiliam James di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini benar
tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat.
Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat.
Menurut teori pragmatisme, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur
dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat
yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai
praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, dan oleh akibat-akibat
praktisnya. Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku.

C. HAKEKAT ILMU DAN KARAKTERISTIKNYA

9
1. Pengertian Ilmu
Moh. Nazir, Ph.D (1983:9) mengemukakan bahwa ilmu tidak lain dari suatu
pengetahuan, baik natural atau pun sosial, yang sudah terorganisir serta tersusun secara
sistematik menurut kaidah umum. Sedangkan Ahmad Tafsir (1992:15) memberikan
batasan ilmu sebagai pengetahuan logis dan mempunyai bukti empiris. Sementara itu,
Sikun Pribadi (1972:1-2) merumuskan pengertian ilmu secara lebih rinci (ia menyebutnya
ilmu pengetahuan), bahwa obyek ilmu pengetahuan ialah dunia fenomenal, dan metode
pendekatannya berdasarkan pengalaman (experience) dengan menggunakan berbagai
cara seperti observasi, eksperimen, survey, studi kasus, dan sebagainya. Pengalaman-
pengalaman itu diolah oleh fikiran atas dasar hukum logika yang tertib. Data yang
dikumpulkan diolah dengan cara analitis, induktif, kemudian ditentukan relasi antara
data-data, diantaranya relasi kausalitas. Konsepsi-konsepsi dan relasi-relasi disusun
menurut suatu sistem tertentu yang merupakan suatu keseluruhan yang terintegratif.
Keseluruhan integratif itu kita sebut ilmu pengetahuan. 8 Di lain pihak, Lorens Bagus
(1996:307-308) mengemukakan bahwa ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang
mengacu ke obyek (atau alam obyek) yang sama dan saling keterkaitan secara logis.
Dari beberapa pengertian ilmu di atas dapat diperoleh gambaran bahwa pada
prinsipnya ilmu merupakan suatu usaha untuk mengorganisasikan dan
mensistematisasikan pengetahuan atau fakta yang berasal dari pengalaman dan
pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, dan dilanjutkan dengan pemikiran secara
cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode yang biasa dilakukan dalam
penelitian ilmiah (observasi, eksperimen, survai, studi kasus dan lain-lain).

2. Syarat-Syarat Ilmu
Suatu pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu apabila dapat memenuhi persyaratan-
persyaratan, sebagai berikut;
a. Ilmu mensyaratkan adanya obyek yang diteliti, baik yang berhubungan dengan alam
(kosmologi) maupun tentang manusia (Biopsikososial). Ilmu mensyaratkan adanya
obyek yang diteliti. Lorens Bagus (1996) menjelaskan bahwa dalam teori skolastik
terdapat pembedaan antara obyek material dan obyek formal. Obyek formal

8
Ibid, hal 15.

10
merupakan obyek konkret yang disimak ilmu. Sedang obyek formal merupakan aspek
khusus atau sudut pandang terhadap ilmu. Yang mencirikan setiap ilmu adalah obyek
formalnya. Sementara obyek material yang sama dapat dikaji oleh banyak ilmu lain.

b. Ilmu mensyaratkan adanya metode tertentu, yang di dalamnya berisi pendekatan dan
teknik tertentu. Metode ini dikenal dengan istilah metode ilmiah. Dalam hal ini, Moh.
Nazir, (1983:43) mengungkapkan bahwa metode ilmiah boleh dikatakan merupakan
suatu pengejaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan
logis. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis dari
fakta-fakta, maka metode ilimiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang fakta-
fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Almack (1939)
mengatakan bahwa metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis
terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran. Sedangkan Ostle (1975)
berpendapat bahwa metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk
memperoleh sesutu interrelasi. Selanjutnya pada bagian lain Moh. Nazir
mengemukakan beberapa kriteria metode ilmiah dalam perspektif penelitian
kuantitatif, diantaranya:
1. Berdasarkan fakta,
2. Bebas dari prasangka,
3. Menggunakan prinsip-prinsip analisa,
4. Menggunakan hipotesa,
5. Menggunakan ukuran obyektif dan menggunakan teknik kuantifikasi. Belakangan
ini berkembang pula metode ilmiah dengan pendekatan kualitatif.

Nasution (1996:9-12) mengemukakan ciri-ciri metode ilimiah dalam penelitian


kualitatif, diantaranya9 : (1) Sumber data ialah situasi yang wajar atau natural setting,
(2) Peneliti sebagai instrumen penelitian, (3) Sangat deskriptif, (4) Mementingkan
proses maupun produk, (5) Mencari makna, (6) Mengutamakan data langsung,(7)
Triangulasi, (8) Menonjolkan rincian kontekstual, (9) Subyek yang diteliti dipandang
berkedudukan sama dengan peneliti, (10) Mengutamakan perspektif emic, (11)

9
Ibid, hal 18.

11
Verifikasi, (12) Sampling yang purposif, (13) Menggunakan audit trail, (14)
Partisipatipatif tanpa mengganggu, (15) Mengadakan analisis sejak awal penelitian,
(16) Disain penelitian tampil dalam proses penelitian.

c. Pokok permasalahan (subject matter atau focus of interest). Ilmu mensyaratkan


adanya pokok permasalahan yang akan dikaji. Mengenai focus of interest ini Husein
Al-Kaff dalam Kuliah Filsafat Islam di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad
menjelaskan bahwa ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau
ilmu maka masalah masalah yang sederhana tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-
masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari
sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena
masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu
yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan
perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya
muncul perbedaan ideology.

3. Karakteristik Ilmu
Ilmu memiliki karakteristik atau sifat yang menjadi ciri hakiki ilmu. Randall dan Buchler
mengemukakan beberapa ciri umum ilmu, yaitu:10
a. Hasil ilmu bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama
b. Hasil ilmu kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan, dan
c. Obyektif tidak bergantung pada pemahaman secara pribadi. Pendapat senada diajukan
oleh Ralph Ross dan Enerst Van den Haag bahwa ilmu memiliki sifat-sifat rasional,
empiris, umum, dan akumulatif (Uyoh Sadulloh,1994:44).

Dikemukakan oleh Lorens Bagus (1996:307-308) tentang pengertian ilmu dapat


didentifikasi bahwa salah satu sifat ilmu adalah koheren yakni tidak kontradiksi dengan
kenyataan. Sedangkan berkenan dengan metode pengembangan ilmu, ilmu memiliki ciri-
ciri dan sifat-sifat yang reliable, valid, dan akurat. Artinya, usaha untuk memperoleh dan
mengembangkan ilmu dilakukan melalui pengukuran dengan menggunakan alat ukur

10
Suseno Franz Magnis, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal 20.

12
yang memiliki keterandalan dan keabsahan yang tinggi, serta penarikan kesimpulan yang
memiliki akurasi dengan tingkat siginifikansi yang tinggi pula. Bahkan dapat
memberikan daya prediksi atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal. Sementara itu,
Ismaun (2001) mengetengahkan sifat atau ciri-ciri ilmu sebagai berikut : (1) Obyektif;
ilmu berdasarkan hal-hal yang obyektif, dapat diamati dan tidak berdasarkan pada
emosional subyektif, (2) Koheren; pernyataan/susunan ilmu tidak kontradiksi dengan
kenyataan, (3) Reliable; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat
ukur dengan tingkat keterandalan (reabilitas) tinggi, (4) Valid; produk dan cara-cara
memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keabsahan (validitas) yang
tinggi, baik secara internal maupun eksternal, (5) Memiliki generalisasi; suatu
kesimpulan dalam ilmu dapat berlaku umum, (6) Akurat; penarikan kesimpulan memiliki
keakuratan (akurasi) yang tinggi, (7) Dapat melakukan prediksi; ilmu dapat memberikan
daya prediksi atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal.

D. IlMU PENGETAHUAN, FILSAFAT, DAN AGAMA


1. Ilmu Pengetahuan
a. Definisi ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan ialah suatu proses pembentukan pengetahuan yang terus menerus
sampai menjelaskan fenomena yang bersumber dari wahyu, hati dan semesta
sehingga dapat diperiksa atau dikaji secara kritis dengan tujuan untuk memahami
hakikat, landasan dasar dan asal usulnya, sehingga dapat juga memperoleh hasil yang
logis. 
b. Macam-macam ilmu pengetahuan
Digolongkan menjadi 3 golongan yaitu:
1. Ilmu alamiah (Natural sciences) ialah ilmu yang mengkaji tentang keteraturan-
keteraturan dalam alam semesta dengan menggunakan metode ilmiah. Seperti :
Ilmu fisika, kimia, biologi, dll.
2. Ilmu sosial (social science) ialah ilmu yang mengkaji tentang keteraturan-
ketetaturan dalam hubungan antar manusia satu dengan manusia yang lainnya.
Seperti: Ilmu sosiologi, ekonomi, antroplogi, dll.

13
3. Ilmu budaya (Humanities) ialah ilmu yang mengkaji tentang masalah-masalah
manusia dan budaya yang bersifat manusiawi. Seperti: Ilmu bahasa, agama,
kesenian, dll.
c. Ciri-ciri ilmu pengetahuan.
Ciri cirr tersebut ialah sebagai berikut
1. Empiris ialah berdasarkan proses pengamatan dan percobaan untuk memperoleh
pengetahuan.
2. Sistematis ialah berbagai data pengetahuan yang tersusun utuh dan menyeluruh
mampu menjelaskan objek yg dikajinya.
3. Objektif ialah ilmu pengetahuan yang secara ideal dapat diterima oleh semua
pihak dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadinya.
4. Analitis ialah menguraikan persoalan menjadi bagian-bagian terinci sehingga
dapat berusaha membeda-bedakan pokok persoalan peranan dan bagiannya.
5. Verifikatif ialah ilmu pengetahuan yang dapat dikaji kebenarannya.

2. Fisafat
a. Pengertian
Filsafat merupakan sebuah studi yang membahas segala fenomena yang ada dalam
kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan skeptis dengan mendalami sebab-
sebab terdalam, lalu dijabarkan secara teoritis dan mendasar. 11 Selain pengertian di atas
dalam pengertiannya filsafat dibagi menjadi dua yaitu, secara etimologis dan
terminologis. Secara etimologis, istilah filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafah
atau juga dari bahasa Yunani yaitu philosophia yang terdiri dari kata philien yang berarti
cinta dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Jadi bisa diartikan bahwa filsafat berarti
cinta akan kebijaksanaan atau love of wisdom dalam arti yang mendalam. Sedangkan
secara terminologis terdapat beberapa pengertian dari filsafat itu sendiri yang akan
dijabarkan sebagai berikut:
b. Upaya spekulatif (rasional) untuk menyajikan suatu pandangan sistematik dan
lengkap tentang realitas secara keseluruhan.
c. Upaya untuk melukiskan realitas akhir dan dasar secara nyata

11
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, 2005, hal 7.

14
d. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuannya seperti
sumbernya, hakikatnya, keabsahannya serta nilainya.
e. Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang
diajukan oleh berbagai bidang ilmu pengetahuan
f. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu kita melihat apa yang kita katakan dan
untuk mengatakan apa yang kita lihat.

Selain itu definisi dari filsafat banyak dicetuskan oleh para ahli filsafat atau filsuf
seperti Cicero yang berpendapat bahwa filsafat adalah sebagai "ibu dari semua seni" atau
"the mother of all the art" dan mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae yang berarti seni
kehidupan. Menurut Aristoteles, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi
kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika. Menurut Plato, filsafat merupakan pengetahuan yang
mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang asli. Menurut Descrates,
filsafat merupakan semua pengetahuan di mana Tuhan, alam, manusia menjadi pokok
penyelidikan. Ibnu Sina yang merupakan filsuf islam mengemukakan bahwa filsafat
adalah pengetahuan otonom yang perlu ditimba oleh manusia, sebab manusia telah di
karuniai akal oleh Allah.
Oleh karena itu, orang cenderung mendefinisikan filsafat adalah merupakan ilmu
pengetahuan yang menyangkut atau mengenai segala sesuatu dengan cara memandang
sebab-sebab atau asal-usul terdalam.

b. Ciri ciri filsafat


1. Implikatif
Ilmu filsafat sering memikirkan akibat yang didapatkan dari suatu pemikiran, tujuan hal
tersebut supaya manusia selalu dapat melahirkan berbagai pemikiran baru yang dapat
mengembangkan intelektualitas.
2. Memiliki Sifat yang Universal
Secara umum pemikiran filsafat memang tidak ada sangkut pautnya dengan objek-objek
tertentu, atau cendurung bersifat universal. Contoh dari pemikiran seperti ini seperti
kebebasan, keadilan, dan moral manusia.

15
3. Tidak Faktual
Tidak Faktual dalam konteks ini merupakan sesuatu yang bersifat spekulatif dengan
menciptakan berbagai dugaan yang logis dan masuk akal dalam menangani suatu hal
yang tanpa bukti. Hal ini dikarenakan pemikiran tersebut telah melampaui batas-batas
fakta ilmiah.
4. Berhubungan dengan Nilai
Pengertian filsafat berdasarkan pendapat C. J. Ducasse ialah upaya manusia dalam
mencari pengetahuan. Upaya tersebut berupa fakta yang biasa disebut dengan penilaian.
Yang dimaksud dengan penilaian di sini yaitu antara susila dan asusila, serta yang baik
dengan yang buruk. Sehingga filsafat berperan sebagai penengah yang digunakan untuk
mempertahankan nilai-nilai tersebut.
5. Berhubungan Dengan Arti
Masih berhubungan dengan poin sebelumnya, sesuatu yang dianggap berarti pasti
memiliki sebuah nilai. Oleh karena itulah secara filsuf sering menggunakan bahasa ilmiah
dan berbagai kalimat yang bersifat logis supaya ide-ide di dalamnya memiliki nilai
tersendiri.

c. Kegunaan Filsafat Secara Umum


Keberadaan ilmu filsafat dapat membantu manusia menyelesaikan segala persoalan
dalam kehidupan. Setelah mengetahui arti filsafat beserta ciri-ciri umum yang dimilikinya,
kali ini akan kita akan membahas mengenai tujuan filsafat secara umum yang telah
dijabarkan ke dalam poin-poin berikut ini.
1. Filsafat berguna untuk membuat manusia memiliki sifat yang bijaksana dan bisa
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Filsafat juga bertujuan untuk membuat manusia memiliki perspektif yang luas dalam
melihat sesuatu. Dengan hal ini maka manusia dapat memiliki pandangan yang luas dan
dapat terhindar dari egosentrisme.
3. Dengan menilai berbagai macam hal di sekitarnya secara objektif, maka melalui filsafat
diharapkan manusia akan lebih terdidik dan mampu memiliki pengetahuan yang luas.
4. Filsafat dapat mendorong para ilmuwan untuk mengembangkan dan lebih mendalami
ilmu pengetahuan.

16
5. Dengan mempelajari filsafat maka manusia juga dapat memahami perkembangan,
kemajuan pengetahuan, serta sejarah pertumbuhan dari pengetahuan tersebut.
6. Filsafat membuat manusia agar memiliki kemauan untuk berpendapat sendiri, mandiri
dalam hal rohaniah, berpikir sendiri, serta dapat menunjukkan sifat yang kritis.
7. Dengan mendalami filsafat maka manusia dapat mendalami pokok ilmu sampai ke
cabang-cabangnya. Dengan demikian maka akan lebih mudah dalam memahami hakikat
ilmu beserta sumber dan tujuannya.
8. Filsafat juga sangat berguna bagi dunia pendidikan, karena baik siswa maupun pengajar
punya pedoman yang kuat untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Terutama untuk
membedakan mana persoalan yang bersifat ilmiah dan tidak ilmiah.

c. Fungsi Filsafat
1. Membentuk Sifat Kritis
Seperti yang telah dijelaskan sebelum-sebelumnya, filsafat dapat membentuk pemikiran
yang kritis pada seseorang. Hal tersebut tentunya sangat berguna untuk diterapkan dalam
kehidupan beragama maupun bermasyarakat. Sehingga ketika menghadapi masalah
apapun diharapkan manusia dapat berpikir dengan rasional supaya tidak terjebak oleh
segala sifat fanatisme.

2. Sebagai Pemecahan Masalah


Ilmu filsafat mengajak manusia supaya berpikir secara bijak dalam mengatasi berbagai
persoalan. Dengan menggunakan cara berpikir filsafat maka diharapkan manusia dapat
mengidentifikasi masalah tersebut dan memudahkannya dalam mendapatkan jawaban.
Sehingga masalah dapat dipecahkan tanpa kesulitan.

3. Membantu Kemampuan Analisis


Berpikir secara filsafat tentunya sangat dibutuhkan oleh para pelajar maupun peneliti.
Karena dengan demikian kemampuan dalam menganalisa akan semakin terasah.
Sehingga analisa dapat dilakukan dengan kritis dan komprehensif untuk mengatasi
berbagai permasalahan ilmiah dalam riset. Pada poin berikut filsafat dilakukan pada
konteks pengetahuan yang menomor-satukan kontrol. Maka dari itu dapat dikatakan

17
bahwa nilai pengetahuan ada karena memiliki fungsi, lain halnya dengan fungsi filsafat
yang ada karena nilai yang dimilikinya.

4. Menambah Pengalaman
Melalui ide-ide baru atau dasar hidup, filsafat dapat dapat membentuk pengalaman
kehidupan manusia secara kreatif. Semakin banyak rasa ingin tahu manusia dan
keinginan untuk mencarinya, maka pengalaman akan terus bertambah.

3. Agama
a. Defenisi Agama
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Agama adalah sistem yang mengatur
kepercayaan dan peribadatan Kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia
dengan tatanan kehidupan. Banyak agama memiliki mitologi, simbol, dan sejarah suci
yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup yang menjelaskan asal-usul
kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos dan sifat manusia,
orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut
beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.12
Kata lain untuk menyatakan konsep agama adalah religi yang berasal dari bahasa
latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali".
Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Menurut Filiog
Max Muller akar kata bahasa Inggris "religion", yang dalam bahasa Latin religio, berarti
hanya "takut akan Tuhan atau dewa-dewa, merenungkan hati-hati tentang hal-hal ilahi,
kesalehan" ( kemudian selanjutnya Cicero menurunkan menjadi berarti " ketekunan " ).
Agama kuno menyatakan bahwa saat ini agama disebut sebagai hukum.
Agama merupakan suatu lembaga atau institusi yang mengatur kehidupan rohani
manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik
persamaannya dan titik perbedaannya. Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran
dan pengakuan akan keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar

12
Bakhtiar Amsal, Filsafat Agama, Edisi Revisi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2012. hal 7.

18
biasa di luar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa
juga. Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan
dengan cara menghambakan diri, yaitu:
1) Menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari
Tuhan, dan
2) Menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan.

Dengan demikian, Agama adalah penghambaan manusia kepada Tuhannya.


Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur yaitu; manusia, penghambaan dan Tuhan.
Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut
dapat disebut agama. Lebih luasnya lagi, agama juga bisa diartikan sebagai Jalan Hidup
Yakni bahwa seluruh aktivitas lahir dan batin pemeluknya diatur oleh agama yang
dianutnya. Bagaimana kita makan, bagaimana kita bergaul, bagaimana kita beribadah,
dan sebagainya ditentukan oleh aturan/tata cara agama.

Definisi agama menurut beberapa ahli;


1. Di Indonesia, istilah agama digunakan untuk menyebut enam agama yang diakui
resmi oleh negara, seperti; Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Bhudisme
dan Khonghucu. Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui
secara resmi disebut “religi”.
2. Agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia
dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia
dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya.
3. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan
tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam
menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini
sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran
mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-
petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat
menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari
masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi

19
tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai
dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.

Beberapa ahli mengklasifikasikan agama baik sebagai agama universal yang


mencari penerimaan di seluruh dunia dan secara aktif mencari anggota baru, atau agama
etnis yang diidentifikasi dengan kelompok etnis tertentu dan tidak mencari orang baru
untuk bertobat pada agamanya. Beberapa akademisi mempelajari subjek telah membagi
agama menjadi tiga kategori:
1. Agama-agama dunia, sebuah istilah yang mengacu pada yang transkultural, agama
internasional
2. Agama pribumi, yang mengacu pada yang lebih kecil, budaya-tertentu atau kelompok
agama-negara tertentu, dan
3. Gerakan-gerakan keagamaan baru, yang mengacu pada agama baru ini dikembangkan

b. Cara beragama
1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragama
nenek moyang, leluhur, atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pemeluk cara
agama tradisional pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal
keagamaan yang baru atau pembaharuan, dan tidak berminat bertukar agama.
2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya
atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang
berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam
beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau
masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika
memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya.
3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu
mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan
pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang
beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati
(perasaan) di bawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan

20
menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah).
Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu
agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari
Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan,
mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.

c. Unsur unsur agama


Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok:
1. Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi
2. Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
3. Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan-Nya, dan
hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama
4. Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami
oleh penganut-penganut secara pribadi.
5. Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama

d. Fungsi agama
1. Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok
2. Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan, makhluk hidup, dan serta
hubungan manusia dengan manusia.
3. Merupakan tuntunan tentang prinsip benar atau salah
4. Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan
5. Pedoman perasaan keyakinan
6. Pedoman dalam membentuk nilai-nilai kehidupan
7. Pengungkapan estetika (keindahan)
8. Pedoman rekreasi dan hiburan
9. Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.

Agama merupakan produk kebudayaan atau pegembangan dari aktivitas sebagai


makhluk pencipta kebudayaan. Agama dapat dianggap sebagai suatu sarana kebudayaan
bagi manusia. Dengan sarana yang ada, manusia mampu menyesuaikan diri dengan

21
pengalamannya dalam keseluruhan lingkungan hidupnya termasuk dirinya sendiri,
anggota-anggota kelompok alam, dan lingkungan lain yang di rasakan sebagai sesuatu
yang transendental (tidak terjangkau oleh penalaran manusuia).
Agama ada kaitannya dengan kehidupan. Kehidupan beragama pada dasarnya
merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan ghaib, luar biasa atau
supranatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat bahkan
terhadap gejala alam.
Agama merupakan ajaran tentang philosophy and way life. Pandangan filosofis
adalah gambaran menyeluruh prinsip dasar atau word view tentang kehidupan yang
dijadikan pedoman atau pegangan oleh pribadi dan masyarakat dalam menjalani hidup
dan kehidupan mereka. Pandangan filosofis tersebut mengandung hakikat hidup, fungsi
utama (manusia), dan tujuan hidup, ajaran agama menyangkut ajaran yang ghaib dan
nyata. 13

e. Hubungan antara Agama dan Filsafat


Hubungan filsafat dan agama di dunia Islam memang pernah mengalami keregangan
yang tercermin pada pemikiran al-Ghazali (fase teologis dan fase sufistik), Ibnu Taimiyah
(w. 1326), dan Abdul Wahab (pendiri Wahabiyah, w. 1792) yang cukup mempengaruhi
pemikiran keagamaan di beberapa kawasan selama beberapa kurun waktu tertentu.
Padahal, menurut Fazlur Rahman, dijauhinya filsafat dari agama merupakan tindakan
bunuh diri umat Islam secara intelektual. Namun, di zaman modern hubungan filsafat dan
agama didamaikan kembali oleh Jalaluddin al-Afghani (w.1897), Muhammad Abduh (w.
1905), dan Sir Muhammad Iqbal (w. 1897). Filsafat juga digunakan untuk
mengembangkan pemikiran keagamaan oleh para pemikir Muslim kontemporer seperti
Ali Syariati, Murtadhla Muttahari, al-Thaba’thabai, Syed Hussen Nasr, Muhammad
Arkoun, dan Hassan Hanafi. Dari catatan historis perkembangan pemikiran keagamaan
ini tampak begitu jelas betapa kuatnya keterkaitan antara filsafat dan agama dalam
kancah pemikiran umat Islam. 14

13
Bakhtiar Amsal, Filsafat Agama, Edisi Revisi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2012. hal 13.
14
Hamzah, Relevansi Filsafat Ilmu Terhadap Studi Agama, Yogyakarta : PPS IAIN Sunan Kalijaga, hal 3-4.

22
Menurut Hubungan intelek (al-aql) dan spirit (al-ruh) sebagai perpaduan antara agama
dan filsafat dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu15;
1. Dalam perspektif Islam bahwa intelek dan spirit memiliki hubungan yang sangat erat,
2. Dalam dunia spirit membentuk paguyuban tunggal disertai tarik menarik yang sangat
kuat dalam satu agama.
3. Filsafat Islam merupakan suatu komponen penting pada tradisi intelektual Islam, dan
para Filsuf memiliki spiritual yang sama dengan pengetahuan (gnostik) diantara para
sufi.
4. Filsafat Islam memainkan suatu permainan penting dalam perkembangan ilmu
5. Para filsuf menganggap bahwa panggilan kebenaran menjadi panggilan tertinggi
dalam filsafat

f. Persamaan antara Ilmu, Filsafat, dan Agama


Yang paling pokok persamaan antara ilmu, filsafat, dan agama adalah sama-sama
untuk mencari kebenaran. Ilmu melalui metode ilmiahnya berupaya mencari kebenaran.
Metode ilmiah yang digunakan dengan cara melakukan penyelidikan atau riset untuk
membuktikan atau mencari kebenaran tersebut. Filsafat dengan caranya sendiri berusaha
menempuh hakikatnya baik tentang alam, manusia maupun tentang Tuhan. Agama
dengan karakeristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi perihal
alam, manusia, dan Tuhan. Jadi persamaan antara ilmu, filsafat, dan agama yaitu
tujuannya untuk mencari ketenangan dan kebenaran sehingga manusia dapat hidup
berdampingan dengan alam semesta.

g. Perbedaan Filsafat dan Agama


1. Filsafat berarti memikir, artinya ia dituntut hanya untuk berfikir. Sedangkan agama
berarti mengabdikan diri, jadi yang penting yaitu hidup secara beragama sesuai
dengan aturan-aturan agama itu.
2. Filsafat menuntut pengetahuan untuk memahami, sedangkan agama menuntut
pengetahuan untuk beribadat yang terutama hubungan manusia dengan Tuhan.

15
Bakhtiar Amsal, Filsafat Agama, Edisi Revisi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2012. hal 13.

23
3. Filsafat banyak berhubungan dengan pikiran yang dingin dan tenang, sedangkan
agama banyak berhubungan dengan hati.
4. Filsafat dapat diumpamakan seperti air telaga yang tenang dan jernih dan dapat dilihat
dasarnya. Sedangkan agama dapat diumpamakan sebagai air sungai yang terjun dari
bendungan dengan gemuruhnya.
5. Seorang ahli filsafat jika berhadapan dengan penganut aliran atau paham lain
biasanya bersikap lunak. Sedangkan agama, bagi pemeluk-pemeluknya akan
mempertahankan agamanya dengan habis-habisan, sebab mereka telah terikat dan
mengabdikan diri.
6. Filsafat, walaupun bersifat tenang dalam pekerjaanya, tetapi sering mengeruhkan
pikiran pemeluknya. Sedangkan agama, disamping memenuhi pemeluknya dengan
semangat dan perasaan pengabdian diri, tetapi juga mempunyai efek menenangkan
jiwa pemeluknya.
7. Ahli filsafat ingin mencari kelemahan dalam tiap-tiap pendirian dan argumen
walaupun argumennya sendiri. Sedangkan dalam agama, filsafat sangatlah penting
peranannya dalam mempelajari agama.

D. METODE ILMIAH
1. Defenisi ilmiah
Proses berfikir untuk mendapatkan cara penyelesaian yang mungkin berdasarkan
bukti- bukti. Metode ilmiah adalah cara kerja dari ilmu pengetahuan, bersifat ilmiah serta
merupakan langkah-langkah sistematis yang digunakan dalam ilmu-ilmu tertentu baik
direfleksikan atau diterima begitu saja.16
2. Kriteria metode ilmiah
a. Berdasarkan fakta. Analisis dan pengambilan kesimpulan yang dilakukan harus
didasari pada fakta-fakta yang nyata terjadi, bukan dari opini-opini peneliti saja.
b. Bebas dari prasangka. Saat melakukan eksperimen, peneliti tidak boleh memiliki
prasangka. Peneliti boleh memiliki hipotesis, namun eksperimen harus dijalankan
secara objektif meskipun diperkirakan hasil tidak sesuai hipotesis.

16
Adib, Mohammad, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengatahuan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2010. hal 93

24
c. Menggunakan prinsip-prinsip analisis. Penarikan kesimpulan berdasar metode ilmiah
harus menggunakan prinsip-prinsip analisis. Hal ini mengartikan dibutuhkannya
kejelasan urutan berpikir dan kejadian dalam menjelaskan suatu fenomena fisika.
d. Perumusan Masalah atau pembuatan hipotesis. Metode ilmiah melibatkan suatu
perumusan masalah yang diteliti atau hipotesis penjelasan atas terjadinya suatu
fenomena.
e. Menggunakan ukuran objektif. Hasil eksperimen harus diukur dengan suatu ukuran
yang objektif, bukan subjektif. Hal ini ditujukan agar hasil eksperimen dipahami
dengan mudah oleh setiap orang, dan seminimal mungkin dipengaruhi subjektivitas
peneliti. Contoh ukuran objektif adalah satuan-satuan internasional
seperti meter untuk mengukur panjang, dan kilogram untuk mengukur massa. Contoh
ukuran subjektif adalah ukuran yang relatif terhadap benda yang tidak pasti
ukurannya, seperti sejengkal, semata kaki, dan lain-lain. Menggunakan teknik
kuantitatif, atau ditambahkan kualitatif.

3. Unsur-unsur Metode Ilmiah


a. Karakterisasi. Identifikasi sifat-sifat utama yang relevan milik subjek yang diteliti
dengan pengamatan dan pengukuran.
b. Hipotesis. Dugaan teoritis sementara yang menjelaskan hasil pengukuran
c. Prediksi. Deduksi logis dari hipotesis
d. Eksperimen. Pengujian atas hubungan karakterisasi dengan prediksi dan hipotesis
e. Evaluasi dan pengulangan. Penilaian atas ketepatan hipotesis dan prediksi berdasar
hasil yang didapat saat eksperimen, dan pengulangan pada tahap-tahap tertentu
apabila tidak didapatkan hasil yang sesuai.

4. Tujuan metode ilmiah


a. Mendapatkan pengetahuan ilmiah (yang rasional, yang teruji) sehingga merupakan
pengetahuan yang dapat diandalkan.
b. Merupakan suatu pengejaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-
pertimbangan logis.

25
c. Untuk mencari ilmu pengetahuan yang dimulai dari penentuan masalah, pengumpulan
data yang relevan, analisis data dan interpretasi temuan, diakhiri dengan penarikan
kesimpulan.

5. Karakteristik Metode Ilmiah


a. Bersifat kritis dan analitis. Metode ilmiah berarti peneliti dengan rinci melakukan
observasi dan eksperimen untuk mendapatkan hasil yang relevan dan akurat.
b. Bersifat logis. Metode ilmiah berarti langkah-langkah yang dilakukan peneliti dapat
dijelaskan dengan logis, bukan berdasar firasat atau hal lain yang tidak dapat
dijelaskan dengan logika.
c. Bersifat obyektif. Hasil-hasil yang didapat harus merupakan hasil yang objektif,
artinya hasil itu tidak eksklusif hanya bisa dilakukan oleh peneliti dan bukan
merupakan hasil rekayasa.
d. Bersifat empiris. Hasil didapatkan dari kejadian nyata yang benar-benar terjadi, bukan
karangan atau berbasis hanya dari opini peneliti sendiri atau orang lain.
e. Bersifat konseptual. Berfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan konsep-konsep
suatu fenomena. Penelitian bukan terbatas hanya pada fakta-fakta yang dapat
dirasakan atau dilihat secara nyata, tetapi juga penjelasan konsep bagaimana fakta-
fakta tersebut terjadi dan kaitan diantaranya.

6. Langkah langkah penulisan ilmiah


a. Observasi
Melakukan observasi awal untuk mengumpulkan informasi segala sesuatu yang
berhubungan dengan topik tersebut melalui pengalaman, berbagai sumber ilmu
pengetahuan, berkonsultasi dengan ahli yang sesuai, dengan cara;
1) Gunakan semua referensi: buku, jurnal, majalah, koran, internet, interview, dll.
2) Kumpulkan informasi dari ahli: instruktur, peneliti, insinyur, dll.
3) Lakukan eksplorasi lain yang berhubungan dengan topik.

26
b. Identifikasi masalah
Permasalahan merupakan pertanyaan ilmiah yang harus diselesaikan. Permasalahan
dinyatakan dalam pertanyaan terbuka yaitu pertanyaan dengan jawaban berupa suatu
pernyataan, bukan jawaban ya atau tidak. Identifikasi masalaha dengan;
1) Batasi permasalahan seperlunya agar tidak terlalu luas.
2) Pilih permasalahan yang penting dan menarik untuk diteliti.
3) Pilih permasalahan yang dapat diselesaikan secara eksperimen.

c. Hipotesis
Hipotesis merupakan suatu ide atau dugaan sementara tentang penyelesaian masalah
yang diajukan dalam proyek ilmiah. Hipotesis dirumuskan atau dinyatakan sebelum
penelitian yang seksama atas topik proyek ilmiah dilakukan, karenanya kebenaran
hipotesis ini perlu diuji lebih lanjut melalui penelitian yang seksama, yang perlu
diingat, jika menurut hasil pengujian ternyata hipotesis tidak benar bukan berarti
penelitian yang dilakukan salah.

d. Eksperimen
Percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menganalisis permasalahan yang ingin
diidentifikasi. Eksperimen yang umum dilakukan adalah rekayasa penciptaan ulang
permasalahan, dengan kata lain peneliti meniru proses terjadinya permasalahan yang
diteliti. Pada eksperimen variabel-variabel yang berpengaruh pada proses fisis
dikendalikan sebaik mungkin, sehingga peneliti benar-benar mengetahui faktor apa
saja yang berpengaruh pada hasil eksperimen tersebut.

e. Analisis Hasil
Peneliti melakukan analisis terhadap hasil eksperimen. Analisis ini dikembangkan
dari rumusan hipotesis yang telah dibuat sebelumnya, terutama apakah hipotesis yang
dibuat dapat menjelaskan fenomena permasalahan yang terjadi atau tidak. Jika
terdapat hubungan yang jelas atau kesesuaian antara hasil eksperimen dengan
hipotesis, maka hasil analisis dapat dijadikan sebagai dasar penarikan kesimpulan.

27
Jika tidak, maka dilakukan pengulangan langkah-langkah sebelumnya. Pengulangan
dapat dilakukan dari tahapan perumusan hipotesis atau dari tahap eksperimen.

f. Kesimpulan
Penarikan kesimpulan menjadi penutup dari langkah-langkah penelitian dengan
metode ilmiah. Setelah hasil dianalisis dan dihubungkan dengan hipotesis, peneliti
dapat menarik kesimpulan yang menjelaskan hubungan-hubungan tersebut dengan
singkat. Kesimpulan sejatinya dibuat dengan jelas dan padat, menggambarkan inti
dari eksperimen dan tidak keluar dari eksperimen yang dilakukan. Penarikan
kesimpulan harus mematuhi kaidah-kaidah;
1) Jika hasil eksperimen tidak sesuai dengan hipotesis, jangan ubah hipotesis
2) Jangan abaikan hasil eksperimen
3) Berikan alasan yang masuk akal mengapa tidak sesuai
4) Berikan cara-cara yang mungkin dilakukan selanjutnya untuk menemukan
penyebab ketidaksesuaian
5) Bila cukup waktu lakukan eksperimen sekali lagi atau susun ulang eksperimen.

28
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara umum, hakikat diartikan sebagai sesuatu yang inti, yang sebanarnya, yang sejati,
yang tak dapat berubah pengertiannya tentang sesuatu. Hakikat berasal dari bahasa
Arab haqîqah (jamaknya haqâiq) –dengan k ata dasar haq, yaitu nyata, pasti, tetap- yang
diterjemahkan sebagai kebenaran, kenyataan, keaslian (Kamus Arab-Indonesia Al-
Munawwir, 1997: 283). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hakikat adalah dasar, intisari,
kenyataan yang sebenarnya (Peter S. dan Yenny S., 1991: 500).
Hakekat Pengetahuan terdiri dari, Rasionalisme Aliran ini berpandangan bahwa semua
pengetahuan bersumber pada akal. Akal memperoleh bahan melalui indera untuk kemudian
diolah menjadi pengetahuan. Rasionalisme mandasarkan pada metode deduktif untuk
memperoleh pengetahuan. Yaitu cara memperoleh kepastian melalui berbagai langkah metodis
yang bertolak dari hal-hal yang sifatnya umum untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat
khusus. Empirisme Pendapat aliran ini adalah bahwa semua pengetahuan diperoleh lewat indera.
Indera memperoleh kesan-kesan dari alam nyata untuk kemudian berbagai kesan tersebut
berkumpul menjadi pengalaman dalam diri manusia. Realisme Pernyataannya adalah bahwa
obyek-obyek yang diketahui adalah nyata dalam dirinya sendiri. Berbagai obyek tersebut adanya
tidak tergantung pada yang mengetahui dan yang mencerap, atau dapat dikatakan bahwa adanya
tidak bergantung pada pikiran. Kritisisme Tokohnya yang sangat terkenal dari aliran ini adalah
Immanuel Kant. Ia berusaha menjawab persoalan tentang pengetahuan yang bertentangan antara
aliran rasionalisme dan empirisme dengan mempertemukan keduanya. Hal itu dikarenakan pada
masing-masing dari dua aliran tersebut timpang sebelah.
B. Saran
Demikian penulisan makalah tentang hakekat pengetahuan dan dasar dasar pengetahuan,
hakekat ilmu dan karakteristiknya, ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama, metode ilmiah yang
didalam nya masih banyak materi yang disampaikan, saran serta kritikan kami terima demi
kesempurnaan penulisan makalah yang akan datang, kekhilafan dan kesalahan dalam penulisan
kata kata dalam makalah mohon dimaafkan karena tidak ada yang sempurna kecuali Allah SWT.

29
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal, Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, 2000. hal 135-150.

Adib, Mohammad, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu
Pengatahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010. hal 15 – 112.

Bakhtiar Amsal, Filsafat Agama, Edisi Revisi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2012. hal 7-25.

Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, 2005, hal 2-10.

Dardiri, A. Humaniora, Filsafat, dan Logika. Jakarta: CV. Rajawali. 1986. hal 9-16.

Hamzah, Relevansi Filsafat Ilmu Terhadap Studi Agama, Yogyakarta : PPS IAIN Sunan
Kalijaga. hal 3-4.

Suseno Franz Magnis, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal 16-40.

Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan,
Yogyakarta: Liberti, 2003, cet-3. hal 11-25.

30

Anda mungkin juga menyukai