BAB I
PENDAHULUAN
Ada dua hal yang penting dan saling berkaitan satu sama lain, untuk diperhatikan
dalam kerja hermeneutic Kitab suci Al-Qur’an, yaitu memahami watak dan hakikat kitab
suci Al-Qur’an di satu sisi, dan bagaimana menafsirkannya di sisi lain. Apabila yang
pertama berkaitan dengan pandangan kita terhadap substansi kitab suci, maka yang
kedua berkaitan dengan langkah-langkah metodologis seperti apa yang dianggap tepat
dan sesuai dengan hakikat kitab suci.
Memahami hakikat kitab suci mengandalkan satu hal yang berdimensi ganda.
Disatu sisi ia di dalam pemahaman sosiokultural termasuk sesuatu yang disakralkan,
berasal dari alam yang berbeda, disatu sisi yang lain ia berwujud pada fakta materil,
menggunakan sarana-sarana manusiawi dalam perwujudannya. Kitab suci dalam
konteks Al-Qur’an, merupakan kalam Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril
kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk disampaikan kepada masyarakat pada masanya.
Kalam Allah sampai pada saat diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW tidak
dapat dikenal dan diketahui bagaimana dan seperti apa kalam itu, karena belum
berwujud materi yang dapat ditangkap oles siapa saja yang ada ketika proses
penyampaian tersebut berlangsung. Baru setelah disampaikan oleh Nabi kepada
sahabat, kalam tersebut berwujud, pertama dalam bentuk bahasa lisan, kemudian
dalam bentuk tulisan. Kalam tersebut, sebagaimana yang kita terima pada saat ini, telah
mengalami proses perjalanan transisi yang panjang sebelum kemudian dibakukan pada
zaman Kekhalifahan Utsman bin Affan yang terkenal dengan Rosam Utsmani.
Karena berdimensi dua, Al-Qur’an dapat dilihat menurut kerangka yang berbeda.
Pertama, ia dilihat dari sisi asal usul keberadaannya, yaitu Allah. Kedua, ia dilihat dari
fakta materilnya, yaitu berupa suara tertentu ketika dibaca dan berupa rangkaian huruf-
huruf dalam bentuk tulisannya. Yang pertama bersifat teologis, sementara yang kedua
bersifat linguistic atau bahasa sastra hasil dari budaya.
Perbedaan teologis mengenai Al-Qur’an terjadi pada masa lalu, dan tetap
dominan bahkan mungkin sampai sekarang, disela sela dominasi anggapan teologis
mengenai Al-Qur’an ini muncul menjelang abad ke 20 suara-suara yang lambat laun
2
semakin menguat, suara-suara yang meneriakan aspek materialitas kalam Allah. Suara-
suara inilah yang mulai menarik perhatian generasi sekarang.
B. Rumusan masalah
C. Tujuan penulisan
D. Metode penulisan
E. Sumber data
Data Primer, penulis mengambil buku karangan Nasr Hamid Abu Zayd yang telah
d terjemahkan dalam bahasa Indonesia seperti, Teks Otoritas kebenaran, Hermeneutika
Inklusif, Tekstualitas Al-Qur’an kritik terhadapn Ulumul Qur’an.
Data Sekunder, Penulis mengambil buku-buku dan jurnal terkait tema yang di angkat.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Nasr Hamid Abu Zayd adalah tokoh yang sangat terkenal ini tidak hanya dikenal di
depan para pengkaji pemikir islam kontemporer di Indonesia, akan tetapi juga dimanca
Negara, Eropa dan Amerika. Karena kekritisannya, Abu Zayd bisa dimasukka dalam kategori
pemikir pemberontak. Maksud penulis memberikan makna pemberontak, bukan berarti
pada hal negative, akan tetapi ditujukan untuk menamai sebagian pemikir Islam yang yang
memiliki pemikiran terobosan dan cenderung melakukan reformasi terhadap pemikiran
Islam.
Abu Zayd dilahirkan pada 1 Juli 1943 disebuah desa yang bernama Thantha, Ibu kota
Propinsi Al-Gharbiyah, Mesir. Orang tuanya member nama Nasr dengan harapan agar dia
selalu membawa kemenangan atas lawan-lawannya, mengingat kelahirannya bertepatan
dengan Perang Dunia II. Pada 1952, Mesir dilanda krisis kepemimpinan yang melahirkan
Revolusi Juli, yakni pada 26 Juli 1952, sekaligus peralihan status dari kerajaan menjadi
republic, dari tangan Raja Faruq ke tangan Jamal Abd Nasr. Situasi Perang Duinia II, Revolusi
Juli, dan kehidupan keluarganya telah membentuk kepribadiannya menjadi seorang yang
kritis, penuh tantangan, dan bertanggung jawab. Pada usia empat belas tahun setelah
ayahnya wafat pada oktober 1957, dia menjadi tumpuan harapan orang tuanya, untuk
menjaga seluruh keluarganya.1
dinas perhubungan. Keinginan dia untuk melanjutkan ke sekolah menengah umum masih
menggebu hingga akhirnya lulus ujian akhir persamaan. 2 Pada tahun 1968, dia kemudian
melanjutkan studi ke Fakultas Adab Jurusan Bahasa Arab Universitas Kairo. Tahun 1972 dia
lulus dengan predikat Cumlaude, hingga dia diangkat sebagai dosen tidak tetap di
almamaternya. Sejak saat itulah wataknya beralih dari watak teknisi 1961-1972 menjadi
watak akademisi. Menurut pengakuannya, daya analisis dan kritisnya tumbuh ketika dia
studi di perguruan tinggi.3
Ada Beberapa Kajian tentang Abu Zayd dengan focus penelitiannya pasca tragedy
1995 yang memberikan kesimpulan gegabah, seperti cap murtad, sekuler, ateisme, serta
beragam symbol lain yang ditunjukan kepadanya. Kasus Abu Zayd bermula dari dalam
lingkungan universitas ketika dia mengajukan karya-karya ilmiah untuk kenaikan
pangkatnya sebagai guru besar. Setelah memperhatikan karyanya, salah seorang dari
anggota tim penilai karya Ilmiah Abd Al-Shabur Syahrin yang juga seorang dosen, memvonis
pandangan Abu Zayd tidak sesuai dengan ajaran Islam dan disebut Abu Zayd telah Murtad.
Perdebatan tersebut tidak hanya menghangatkan dalam dunia Universitas, tetapi juga di
luar Universitas. Beberapa pengacara, yang bersimpati kepada kelompok fundamentalis,
membawa gugatan cerai tanpa persetujuan atau keinginan sendiri, baik Abu Zayd maupun
Istri. Mereka menengarai bahwa perkawinan seorang murtad dengan wanita muslim adalah
tidak sah, dan memohon kepada pengadilan untuk menceraikan tali pernikahan nya.
Sampai-sampai terjadi hal yang lebih parah lagi ketika Nasrh Hamid tidak mempunyai
perlindungan Hukum dari Negara, sehingga dia pergi ke Belanda untuk meminta
perlindungan Hukum. Negara kincir angin itu menyetujui asalkan Abu Zayd mengabdi dan
mencurahkan keilmuannya pada bidang Akademisi.
Pada suatu kesempatan, Abu Zayd mengaku dirinya telah merasakan revolusi
pemikiran pada usia yang masih relative muda. Dia sangat tertarik membaca hal-hal
yang bertentangan dengan pelajaran disekolahnya. Pada masa remaja, Abu Zayd lebih
suka membaca Karya-karya sastra Prancis yang banyak diterjemahkan oleh beberapa
tokoh yang bergelut dalam dunia sastra. Sehingga dia mempunyai anggapan bahwa
sastra dapat menjadi gerbang pertama yang mampu mencerahkan pemikiran manusia.
Pencerahan ilmunya semakin meningkat disaat Abu Zayd menginjakan kakinya di
Universitas Kairo Mesir.4
2
3
Ibid..hlm. 10
4
Ibid..hlm. 12
5
Al-Qur’an adalah karya keagamaan, kitab petunjuk, seperti yang dikatakan Abduh.
Tetapi bagaimana kita bisa mencapai petunjuk itu? Bagaimana kita seharusnya
memahami teks, agar petunjuk tersebut bisa diraih?. Kita harus mentafsirkannya. Al-
Qur’an adalah pesan tuhan yang memiliki kode dan saluran, yakni berupa bahasa Arab.
Untuk meretas kode yang digunakan, saya membutuhkan analisis teks yang lebih dari
disiplin filologi. Analisis ini menempatkan Al-Qur’an sebagai teks yang terstruktur. Oleh
karenanya, Al-Qur’an tidak masuk teks puisi, sebaliknya ia tetap sebgai teks keagamaan
yang memiliki banyak fungsi.6
Boleh dikatakan Abu Zayd memiliki perhatian yang sangat mendalam pada bidang
hermeneutic dalam Islam. Hampir semua karyanya diarahkan untuk memberikan
alternative baru bagaimana cara melakukan pembacaan atau penafsiran terhadap teks
teks keislaman. Karena dengan apa yang penulis jelaskan di awal pendahuluan, Al-
Qur’an berdimensi dua, pertama dimensi teologis, dan kedua dimensi linguistic. Makna
yang berdimensi teologis dalam Al-Qur’an akan menghasilkan sifat yang absolute.
Namun Al-Qur’an yang berdimensi linguistic akan bersifat relative, karena makna-makna
yang diperoleh dari fakta linguistic berasal dari hubungan timbal balik antara struktur
fakta tersebut dengan orang yang memaknai struktur tersebut, oleh penafsir dengan
segala latar belakangnya yang menyertainya. Sehingga dalam menghasilkan makna
cenderung mencari kemungkinan-kemungkinan lain sesuai dengan mekanisme
hubungan teks dengan diluar teks. Sehingga dengan memperlakukannya seperti teks, Al-
Qur’an akan selalu berubah sesuai dengan relasinya dengan dunia luar. Oleh karena itu,
Hermeneutika Al-Qur’an menjadi titik sentral perhatian ilmiah Nasr Hamid.
Peran Hermenetika Barat dan Tokohnya dalam pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
Nasr Hamid Abu Zayd sekarang menjadi guru besar untuk studi Islam di Universitas
Leiden, Belanda, dan terakhir lebih aktif menjadi Profesor pada Universitas for
Humanistics di Utrecth, selain juga menjadi pembimbing beberapa mahasiswa yang
sedang menulis desertasi tentang penafsiran dalam Islam pada beberapa Universitas di
5
Ibid..hlm. 13
6
Nasr Hamid Abu Zayd, kitab Isykaliyatul Qira’ah Aliyatul Ta’wil . yang dikutip oleh Dr. Mohammad Nur Kholis
dalam makalah Nasr Hamid Abu Zayd ; beberapa pembacaan terhadap Turats Arab.
6
Eropa, seperti Jerman, Prancis, dll. Dengan kondisi yang jauh dari Mesir pada saat itu,
Abu Zayd meras nyaman berada di Eropa karena pemikirannya terus berkembang.
Sehingga Abu Zayd lebih dekat dalam mengkaji hermeneutika barat. 7
Sebagai salah satu pemikir Islam kontemporer, Abu Zayd tidak silau dengan
kemajuan Erkentnisstheorie (teori pengetahuan) yang berkembang di Barat. Namun Abu
Zayd juga dengan dibekali Sastra dari kairo, dia termasuk sederetan pemikir Arab yang
sadar akan kekayaan Khazanah turats (budaya dari masa lalu yang dampaknya masih
terasa sampai sekarang) yang bisa dijadikan spirit pembaharuan dan pemikiran kritis.
Sangat akrab nya Abu Zayd dengan pemikiran Heidegger denga teori
hermeneutiknya, Hans Gadamer dengan melalui bahasa serta hermeneutika
filosofisnya, Schleiermacher dengan lingkaran hermeneutisnya, serta Emillio Betti
dengan penempatan hermeneutic sebagai metode ilmu Humaniora. Dengan
keakrabannya itu mendorongnya untuk melihat kembali ke khazanah Turatst dengan
maksud melihat elemen-elemen kritis dalam pemikiran filsafat bahasa dan sastra. Maka
dalam pemikiran hermeneutikanya, Dimensi Bahasa, Sastra dan Budaya menjadi
metodologi terhadao konsep hermeneutik Abu Zayd Abu Zayd .
7
Charles Hirsckind, “Heresy or Hermeneutics, the Case of Nasr Hamid Abu Zayd, Sehr. Vol 5. Issu 1.
8
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khithab ad-Diniy. Hlm 93
7
Gadamer. Ricouer dapat membantu dia untuk menegaskan pentingnya metode. Dalam
pengungkapan sistem makna Abu Zayd dia merujuk pada pemikir sistem lain seperti Levi
Strauss. Strauss menjelaskan bahwa makna bukan fenomena mendasar, karena makna
selalu bergeser, beda dengan dengan sistem makna yang bersifat stabil. Kestabilan
makna dari sistem makna atau struktur bahasa atau tanda tersebutlah yang
memungkinkan peneliti, termasuk peneliti dari luar, mampu memahami atau
menafsirkan obyek asing.9
Dalam pemahaman Abu Zayd pemahaman tanda sesuai dengan pemahaman makna
atau dalalah. Makna terdiri dari dua bagian, makna historis dan makna tetap. Makna
historis terkait dengan stimulus teologi masyarakat, kondisi social, politik, ekonomi dan
moralitas. Sedangkan makna tetap terkait dengan struktur dan sistem makna yang
dikandung oleh tanda. Dia berpendapat bahwa teks mempunyai dua makna, yaitu
makna general dan makna spesifik. Makna general yaitu makna dari sesuatu yang dapat
diperbaharui dengan berbagai pembacaan. Makna spesifik yaitu suatu indikasi makna
yang difamahi secara langsung melalui realitas historis dan budaya yang ada disaat
memproduksi teks.
Di bawah pengaruh teori hermeneutika, filsafat dan epistemology Barat, Abu Zayd
meneliti hakikat konsep teks yang menjadi problem mendasar dalam sistem
hermeneutika karena wahyu Allah telah turun dengan medium bahasa manusia, sebab
jika tidak maka tentu tidak akan bisa difahami manusia. Penyebab pertama yang
membuat pemikiran Islam tertinggal dan berhenti dari peredaran sejarah, menurut Abu
Zayd adalah karena terpusat pada masalah teologis. Dia menjelaskan dengan tegas
bahwa Al-Qur’an adalah perkataan Muhammad yang diriwayatkan bahwa dia adalah
Wahyu Illahi.10 Menurutnya firman Allah juga butuh beradaptasi dalam lingkup manusia
(humanisasi), sebab ketika Allah ingin berbicara kepada manusia, maka dia harus
berbicara lewat bahasa manusia. Jika tidak, maka manusia tidak akan mengerti apa yang
Allah kehendaki. Ini berujung pada kesimpulan bahwa Al-Qur’an adalah berbahasa
manusia.
Menurut Nasr Hamid, teks ilahi telah berubah menjadi teks manusiawi sejak dia
pertama kali turun kepada Nabi Muhammad SAW. Hal itu karena teks, menurut dia,
sejak pertama kali turun dna sejak dibaca oleh Nabi SAW. Ketika proses pewahyuan,
9
Nasr Hamid Abu Zayd, Hermeneutika Inklusif. Hlm 61
10
Ibid. hlm 96
8
telah berubah dari teks ilahi menjadi teks manusiawi. Masih menurut Abu Zayd ,
pemahaman Nabi atas Al-Qur’an adalah fase pertama pergerakan teks dalam
interaksinya dengan akal manusia.11 Teks Al-Qur’an terbentuk dalam realitas kultur
dalam waktu lebih dari 20 tahun, dan oleh karena itu Al-Qur’an adalah produk budaya
sebagaimana ia juga produsen budaya, karena ia sebagai teks sentral dan hegemonic
yang menjadi rujukan teks-teks lain. Abu Zayd juga mengasumsikan Al-Qur’an sebagai
teks bahasa karena melihat realitas dan kultur yang lekat dengan bahasa manusia.
Realitas, kultur dan bahasa adalah fenomena historis, dan masing-masing memiliki
kondisinya yang khusus. Karena alasan-alasan itulah, menurutnya, Al-Qur’an juga adalah
teks historis.12 Historisitas teks, realitas, kultur, dan bahasa menunjukan tanpa
sedikitpun keraguan bahwa Al-Qur’an adalah teks manusia.
Abu Zayd telah menyalahkan penafsir para ulama Islam terhadap AL-Qur’an karena
lebih mengedepankan sisi metafisik sehingga mengalhkan sisi ilmiah dan objektif untuk
mengkaji Al-Qur’an. Logika Abu Zayd menyatakan bahwa “keimanan terhadap Wujud
Metafisik Al-Qur’an akan menghalangi sebuah pemahaman ilmiah terhadap fenomena
teks Al-Qur’an.14 Dengan mengganggapnya sebagai teks manusia, seperti teks-teks pada
11
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khithab ad-Diniy. Hlm.93
12
Nasr Hamid Abu Zayd, dalam buku Cosmopolitanism : Identity and authenticity in the middle east. Editor Raul
mayer, surrey. Curzon pers. Hlm 74
13
Komaruddin hidayat, Memahami bahasa agama: sebuah kajian hermeneutik , hlm146
14
Nasr Hmid Abu Zayd, Mafhum An-Nash. Hlm.24
9
umumnya, dia berharap kajian Al-Qur’an dapat dinikmati oleh siapa saja orang Islam,
Kristen, bahkan atheis sekalipun.
Menurut Nasr Hamid, Interpretasi adalah wajah lain dari teks. Teks Al-Qur’an telah
di tundukan pada interpretasi sejak masa pewahyuannya, dan Nabi Muhammad adalah
penafsir pertama. Abu Zayd lebih berarti pada penjelasan dalam klarifikasi. Adapun
bacaan lebih bersifat luar. Abu Zayd menitik beratkan konsep Takwil dari pada Tafsir,
sedangkan pembacaan kemudian sering ia pakai dalam pengertian Ta’wil. Lebih lanjut ia
mengemukakan bahwa dalam ta’wil, peran seorang pembaca dalam memahami dan
menangkap makna teks memang lebih signifikan dibandingkan dengan tafsir. Oleh
karena itu pembaca harus mempunyai kesadaran untuk menghindari diri dari
penundukan teks kepada kecenderungan ideologis-subjektifnya. 15 Interpretasi yang
cenderung kepada ideologis tertentu atau subjektifitas ini disebutnya sebagai talwin
(mewarnai/member warna pada teks). Ta’wil menurut Abu Zayd adalah sebuah
pembacaan produktif yang didasarka atas prinsip epistemologis tentang objektifitas,
sedangkan talwin adalah pembacaan ideologis-subjektif-tendensius atas teks. Namun
Abu Zayd mengakui bahwa tidaklah ada pembacaan yang bersih karena tidak ada
pengetahiuan yang berangkat dari ruang hampa, dan pembaca selalu dibatasi oleh
horizon pembacanya sendiri. Namun, juga tidaklah berarti bahwa pembaca
diperkenalkan dengan bgitu saja untuk memaksakan kepentingan ideologis
pragmatiknya terhadap makna dan signifikansi teks. 16
Makna adalah apa yang di represantikan oleh teks, sedangkan signifikansi adalah
apa yang muncul dalam hubungan antara makna dan pembaca. Adapun makna dalam
bidang keagamaan mempunyai tiga tingkatan: pertama, makna awal yang merupakan
saksi sejarah, yang tidak dapat dicari interpretasi dan signifikansinya; kedua, makna
yang dapat diinterpretasikan menggunakan metaphor; ketiga, makna yang dapat
diperluas atas dasar pencarian signifikansi dan maksudnya. Pencarian signifikansi
membuka pembaca untuk mengungkap konteks sosio-kultural dari proses kreatif
produksi makna sehingga makna teks dapat terus berkembang. 17
Dalam poin ketiga maka haruslah diperoleh secara objektif, sehingga signifikansi
dapat diturunkan darinya secara lebih valid. Namun, signifikansi tidak boleh merusak
makna. Makna berdasarkan atas teks, sementara signifikansi berdasarkan atas pembaca
15
Moch. Nur Ikhwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Quran: Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd. Hlm 85
16
Ibid hlm 86
17
Hilman Latif, Nasr Hamid Abu Zayd: Kritik Teks Keagaman (Yogyakarta: eLSAQ 2003) hlm 79-80
10
dan proses pembacaan. Signifikansi memberikan ruang bagi subjektifitas pembaca yang
diarahkan oleh makna objektif itu. Pembedaan level makna yang oleh Abu Zayd
tersebut, di sisi lain juga berarti bahwa makna suatu pesan tidak selalu menuntut
ditariknya suatu signifikansi, seperti pada poin makna yang pertama misalnya karena ini
hanya merupakan salah satu kemungkinan dari ketiga poin makna di atas. 18
Hermeneutika Humanistik
Setelah Abu Zayd merasa perlu untuk meneruskan lebih lanjut pendekatan
hermeneutic dialektisnya dalam dimensi vertical dimana Al-Qur’an diperlakukan sebagai
tempat terjadinya komunikasi antara Allah dan manusia ke focus dalam dimensi
Horizontal kajian AL-Qur’an sebagai pengalaman penyebaran pesan melalui korpus
tafsir. Abu Zayd memaknai dimensi horizontal sebagai apa yang terkandung di dalam
struktur Al-Qur’an dan yang termanifestasikan selama proses komunikasi antara Al-
Qur’an dan audiensinya berlangsung. Dimensi vertical ini merupakan dimensi
tekstualitas Al-Qur’an, sementara dimensi Horizontal ialah dimensi wacana Al-Qur’an.
Dimensi wacana ini adalah area yang hidup dan yang dinamis, merujuk pada awalnya
proses pewahyuan dikenal sebagai fenomena Al-Qur’an, wacana tertutur. Wacana Al-
Qur’an mewujud dalam konteks kehidupan sehari-hari, sehingga ia tidak hanya bertutur
dengan bahasa Arab dimana wahyu itu diturunkan, tapi juga mempengaruhi pemikiran
dan kebudayaan penerimanya. Sebagaimana Abu Zayd menulis “the Qur’an in everyday
life”. Al-Qur’an begitu berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari umat Islam, dia
melacak pengaruh tersebut dalam implementasi rukun Islam, budaya pilantropi muslim,
perhatian muslim terhadap yatim piatu, tentang makanan dan minuman, dll Abu Zayd
menyimpulkan bahwa : “Pada level bahasa lah, elemen yang membentuk pemikiran dan
masyarakat, apakah melalui media bahasa yang bersifat material, maupun audio visual,
baik melalui bentuk pembacaan ataukah seni kerajinan penulisan.” 19
18
Ibid..hlm 96
19
Nasr Hamid Abu zayd “The Qur’an in Everyday Life” dalam Jane Dammen, Encyclopedia of the Qur’an, Leiden.
Hlm 80
11
dimana Al-quran dianggap sebagai hasil dialog, debat, pengembangan, penerimaan dan
penolakan.20
Dalam penafsiran Humanistik ini Abu Zayd memilih dengan penafsiran Sufistik dan
filosofi. Karena lebih membuka kemungkinan makna Al-quran dan itu sesuai dengan
prinsip Al-Quran sebagi wacana. Dibandingkan dengan pendekatan teologis atau yuridis,
karena abu Zayd melihat dari sejarah yang ada dapat berimplikasi pada penyempitan
makna untuk digali.
Abu Zayd adalah Fitrah dari nama Allah. Dia berdialog dengan manusia sesuai kontkes
pembicaraan. Hal ini tentunya dimaksudkan untuk menguatkan sampainya pesan dan
juga kekuatan menjawab atas persoalan umat manusia.23
Keempat, dalam dekonstruksi Syari’ah. Dalam hal ini sangat sulit mengangkat
signifikansi dan relevansi Al-Quran yang dalam bangunan syariah pada implementasi
empat sumber yakni Fiqih, Al-Quran dan Sunnah, Ijma, Ijtihad. Namun semuanya itu
belum masuk sebagai wacana Al-Quran, tapi masih dalam konteks tekstualitas Al-Quran.
Ketika refleksi hokum sekarang harus sudah mengarah pada penghormatan pada tubuh
manusia dan hak hidup, kesadaran gender atau equalitas, penghargaan atas minoritas
dalam paying hokum yang lebih baik.dengan sendirinya mengikuti wacana Al-quran
diawali dalam pewahyuannya, semangat Al-Quran tentunya akan mengarah pada
perbaikan implementasi hukuman dengan penghormatan-penghormatan tersebut.26
Kelima, tantangan modernitas, dalam hal ini Abu Zayd meng identifikasi bahwa
tantangan modernitas bersifat kompleks dan membingungkan. Tantangan ini memang
harus kita akui berasal dari barat. dimana dia mengklasifikasi pada tiga bagian, pertama
tantangan penemuan ilmiah dan teknologi tinggi, pertanyaan tentang rasionalitas dan
rasionalisme, dan tantangan politik dimana banyak ummat islam dijajah. Namun
23
Ibid..hlm 14
24
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Quran, hlm.22
25
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Quran, hlm.27
26
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Quran, hlm.35
13
mempertanyakan fitrah Al-Quran dalam konteks ini menurut Abu Zayd belum pernah
secara seerius dilakukan oleh para sarjana Islam, padahal kebutuhannya mendesak. 27
Kedelpan, Memikirkan ulang sunah dan kritik hadits sebagai pertanda kemunculan
upaya penafsiran baru. Karena upaya sarjana modern untuk melakukan penafsiran baru
demi mendapatkan jawaban-jawaban yang relevan dengan modernitas.30
27
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Quran, hlm.37
28
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Quran, hlm.42
29
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Quran, hlm.44
30
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Quran, hlm.48
31
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Quran, hlm.53
14
fenomena nya, penafsir dituntut untuk menghadirkan pesan Al-Quran yang paling dekat
dengan fitrah manusia sebagai ciptaan Allah.32
32
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Quran, hlm.62