Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS GUGUS FUNGSI PARASETAMOL DENGAN

SPEKTROFOTOMETRI FTIR

Laporan Praktikum Kimia Analisis Instrumen

Aditya Imam Saputra

11180960000027

Kelompok 2

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH


JAKARTA

2021/1442H
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier atau sering disebut FTIR

adalah salah instrumentasi yang banyak digunakan untuk menganalisis atau

mengidentifikasi suatu senyawa dalam sebuah sampel baik secara kualitatif

maupun kuantitatif. Pada analisis kualitatif instrument ini berfungsi mendeteksi

gugus fungsi yang diinginkan yang terdapat pada sampel yang dianalisis. Pada

analisis kuantitatif instrument ini digunakan untuk mengetahui konsentrasi dari

senyawa yang dianalisis. FTIR banyak digunakan di berbagai macam bidang

seperti bidang farmasi, industry, minyak dan gas, pertambangan, dan yang

berkaitan dengan senyawa organic.

Pada bidang farmasi salah satu contoh obat yang banyak digunakan

adalah paracetamol. Paracetamol adalah salah satu obat yang berfungsi sebagai

pereda rasa sakit atau nyeri atau juga biasa digunakan untuk menurun demam

yang tinggi. Pada beberapa obat yang memilki kandungan paracetamol tidak

serta merta dapat verifikasi keberadaan nya dan harus dilakukan pengujian

terlebih dahulu. Salah satunya adalah dengan menggunakan spektrofotometri

FTIR untuk mengetahui keberadaan senyawa paracetamol tersebut dilihat dari

spectrum yang dihasilkan apakah sesuai dengan spectrum gugus fungsi pada

larutan baku paracetamol atau tidak. Dan dengan menggunakan instrument ini

meminimalisir limbah kimia yg dihasilkan karena penggunaan pelarut yang

relative sedikit dan juga persiapan sampel yang mudah sehingga mempersingkat

juga proses analisisnya.


1.2 Rumusan masalah

a. Bagaimana mahasiswa dapat memahami prinsip identifikasi senyawa

organik melaui teknik analisa FTIR?

b. Bagaimana mahasiswa dapat mengidentifikasi gugus fungsional senyawa

organik dari hasil analisa FTIR?

1.3 Tujuan

a. Mahasiswa memahami prinsip identifikasi senyawa organik melaui

teknik analisa FTIR.

b. Mahasiswa mampu mengidentifikasi gugus fungsional senyawa organik

dari hasil analisa FTIR.

1.4 Manfaat

Mahasiswa mampu mengoprasikan alat spektrofotometer FTIR untuk

proses mengidetifikasi sneyawa organic dan mengidentifikasi gugus fungsi pada

senyawa organic tersebut. Dari praktikum ini diharapkan dapat membantu

mahasiwa pada saat pelaksaan tugas akhir atau pekerjaan yang berkaitan dengan

penggunaan instrument FTIR.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Spektroskopi FTIR

FT-IR merupakan salah satu instrument yang menggunakan prinsip

spektroskopi. Spektroskopi adalah spektroskopi inframerah yang dilengkapi

dengan transformasi fourier untuk deteksi dan analisis hasil spektrumnya.

Spektroskopi inframerah berguna untuk identifikasi senyawa organic karena

spektrumnya yang sangat kompleks yang terdiri dari banyak puncak-puncak.

Selain itu, masing-masing kelompok fungsional menyerap sinar inframerah pada

frekuensi yang unik. Spektrum inframerah tersebut dihasilkan dari

pentrasmisian cahaya yang melewati sampel, pengukuran intensitas cahaya

dengan detektor dan dibandingkan dengan intensitas tanpa sampel sebagai

fungsi panjang gelombang. Spektrum inframerah yang diperoleh kemudian

diplot sebagai intensitas fungsi energi, panjang gelombang (μm) atau bilangan

gelombang (cm-1) (Silviyah et al., 2019).

Spektroskopi penyerapan inframerah adalah metode yang digunakan para

ilmuwan untuk menentukan struktur molekul dengan penyerapan karakteristik

molekul radiasi inframerah. Spektrum inframerah adalah spektrum getaran

molekul. Ketika terkena radiasi inframerah, molekul sampel secara selektif

menyerap radiasi panjang gelombang tertentu yang menyebabkan perubahan

momen dipole molekul sampel. Akibatnya, tingkat energi getaran molekul

sampel transfer dari keadaan tanah ke keadaan bersemangat. Frekuensi puncak

penyerapan ditentukan oleh kesenjangan energi getaran. Jumlah puncak

penyerapan terkait dengan jumlah kebebasan getaran molekul. Intensitas puncak


penyerapan terkait dengan perubahan momen dipole dan kemungkinan transisi

tingkat energy(Shabanian et al., 2020). Prinsip kerja FTIR adalah mengenali

gugus fungsi suatu senyawa dari absorbansi inframerah yang dilakukan terhadap

senyawa tersebut. Pola absorbansi yang diserap oleh tiap-tiap senyawa berbeda-

beda, sehingga senyawa-senyawa dapat dibedakan dan dikuantifikasikan

(Maryam et al., 2019)

Spektroskopi inframerah merupakan suatu metode yang mengamati

interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada daerah

panjang gelombang 0.75 – 1.000 μm atau pada bilangan gelombang 13.000 – 10

cm-1. Metode spektroskopi inframerah merupakan suatu metode yang meliputi

teknik serapan (absorption), teknik emisi (emission), teknik fluoresensi

(fluorescence). Komponen medan listrik yang banyak berperan dalam

spektroskopi umumnya hanya komponen medan listrik seperti dalam fenomena

transmisi, pemantulan, pembiasan, dan penyerapan. Penyerapan gelombang

elektromagnetik dapat menyebabkan terjadinya eksitasi tingkat-tingkat energi

dalam molekul. Dapat berupa eksitasi elektronik, vibrasi, atau rotasi

(Yudhapratama, 2010)

Prinsip kerja spektrofotometer inframerah adalah fotometri. Sinar dari

sumber sinar inframerah merupakan kombinasi dari panjang gelombang yang

berbeda-beda. Sinar yang melalui interferometer akan difokuskan pada tempat

sampel. Sinar yang ditransmisikan oleh sampel difokuskan ke detektor.

Perubahan intensitas sinar menghasilkan suatu gelombang interferens.

Gelombang ini diubah menjadi sinyal oleh detektor, diperkuat oleh penguat, lalu

diubah menjadi sinyal digital. Pada sistem optik FTIR, radiasi laser
diinterferensikan dengan radiasi inframerah agar sinyal radiasi inframerah

diterima oleh detektor secara utuh dan lebih baik.Teknik pengoperasian FTIR

berbeda dengan spektrofotometer infra merah. Pada FTIR digunakan suatu

interferometer Michelson sebagai pengganti monokromator yang terletak di

depan monokromator. Interferometer ini akan memberikan sinyal ke detektor

sesuai dengan intensitas frekuensi vibrasi molekul yang berupa interferogram

(Khopkar, 2006)

2.2 Paracetamol

Parasetamol sekarang mungkin merupakan obat yang paling umum

digunakan di seluruh dunia, tersedia bebas, digunakan di hampir semua usia, dan

membentuk Langkah 1 tangga analgesik WHO. Pengobatan lini pertama untuk

nyeri dan pireksia, memainkan peran penting dalam analgesia multimodal, 1,2

dan dianggap memiliki profil keamanan yang sangat baik secara umum kecuali

pada overdosis yang signifikan, dengan sedikit interaksi obat. Pemberian oral

dan rektal dapat menghasilkan analgesia dalam 40 menit, dengan efek maksimal

pada 1 jam, tetapi variasi yang besar dalam ketersediaan hayati (mulai dari 63

hingga 89% untuk oral, dan 24 hingga 98% untuk sediaan yang diberikan secara

rektal) dapat membuat onset dan durasi tindakan tidak dapat diprediksi.

Pengenalan i.v. formulasi yang diberikan dalam dekade terakhir tidak hanya

mengatasi masalah ketersediaan hayati yang membatasi kecepatan onsetnya,

tetapi kemudahan penggunaan ketika pemberian enteral tidak memungkinkan

juga telah memperkuat posisinya dalam hampir setiap rencana manajemen nyeri

anestesi / peroperatif. Timbulnya analgesia setelah i.v. parasetamol terjadi dalam


5 menit, memuncak pada 40–60 menit, dan berlangsung selama 4–6 jam

(Sharma & Mehta, 2014)

Parasetamol diperkenalkan ke pasar farmakologis pada tahun 1955 oleh

McNeil Laboratories sebagai obat analgesik dan antipiretik yang diresepkan

untuk anak-anak dengan nama dagangnya Tylenol Childrenís Elixir (nama

tylenol berasal dari nama kimianya -N-acetyl-p-aminophenol). Satu tahun

kemudian, tablet parasetamol 500 mg tersedia tanpa resep di Inggris Raya

dengan nama dagang Panadol, yang diproduksi oleh Frederick Stearns & Co,

cabang dari Sterling Drug Inc. Di Polandia, parasetamol tersedia pada tahun

1961 dan sejak itu obat ini menjadi salah satu obat analgesik yang paling sering

dijual. Ada sekitar 100 sediaan dalam penawaran dagang tersebut, yang

mengandung parasetamol saja atau yang dikombinasikan dengan zat aktif

lainnya (Jozwiak-Bebenista & Nowak, 2014).

Tempat parasetamol pada tangga analgesik WHO, yang secara tepat

mendefinisikan aturan untuk penerapan obat analgesik, sangat mengesankan.

Obat ini telah ditempatkan pada ketiga langkah intensitas pengobatan nyeri.

Dalam rasa sakit yang berbeda dengan intensitas sedang, parasetamol sebagai

analgesik lemah bersama dengan obat analgesik nonsteroid atau koanalgesik

(misalnya, kafein) adalah analgesik non opioid dasar (langkah pertama dari

tangga analgesik). Ketika rasa sakit menetap atau meningkat, parasetamol

digunakan sebagai analgesik tambahan dengan opioid lemah (misalnya kafein,

tramadol) atau kuat (misalnya, morfin, phentanyl) dari langkah kedua dan ketiga

tangga analgesik, masing-masing. Parasetamol, jika efisien, adalah analgesik

oral pilihan pertama yang direkomendasikan untuk digunakan dalam waktu


lama, misalnya, dalam pengobatan simptomatik untuk nyeri ringan dan sedang

yang terjadi pada osteoartritis serta pada nyeri otot atau tendon. Selain itu, ini

adalah obat pilihan pada pasien yang aplikasi obat antiinflamasi nonsteroid

(NSAID) dikontraindikasikan, misalnya, dalam kasus tukak lambung,

hipersensitivitas terhadap aspirin, gangguan pembekuan darah, pada wanita

hamil, ibu menyusui dan anak-anak dengan demam yang menyertai suatu

penyakit (Jozwiak-Bebenista & Nowak, 2014).


BAB III

METODELOGI PERCOBAAN

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum kali ini dilaksanakan pada hari kamis, 15 april 2021 secara

online melalui perantara video conference dan Google Classroom.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Pada percobaan kali ini yang digunakan adalah Spektrofotometer FTIR

Spectrum One Perkin Elmer, Lumpang agate dan alu, Sel KBr “sealed

cell” 0,05 mm, dan Handy press.

3.2.2 Bahan

Pada percobaan kali ini bahan yang digunakan adalah Paracetamol,

serbuk kering KBr, dan aseton.


3.3 Prosedur Percobaan

3.3.1 Preparasi Sampel dengan Teknik Cakram KBr

Digerus dan dicampur 0,5 – 1.0 mgram parasetamol dengan 100 –

200 mgram serbuk KBr kering dengan lumping agate atau “vibrating

ball mill” hingga benar-benar homogeny. Dimasukkan campuran

tersebut ke dalam pencetak khusus menggunakan spatula mikro.

Dihubungkan pencetak dengan handy press. Dilepaskan tongkang

handy press lalu keluarkan cakram KBr. Dimasukkan cakram ke

dalam KBr disc holder kemudian rekam spectrum dari parasetamol

pada range frekuensi 4000 – 500 cm-1.

3.3.2 Identifikasi Gugus Fungsi

Dari spektrum IR yang dihasilkan, ditentukan gugus fungsi yang

terdapat pada senyawa parasetamol dengan melihat pola serapan

yang dihasilkan dan membandingkan harga frekuensi yang diperoleh

dengan data yang ada di table. Diinterpretasikan data tersebut secara

hati-hati dan terintegrasi hingga area sidik jari. (Jika perlu, pilih

menu data interpertation yang ada di dalam software untuk

memudahkan interpretasi data).


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan analisis gugus fungsional pada parasetamol

dengan menggunakan spektrofotometer FTIR. Parasetamol adalah salah satu jenis

senyawa yang banyak digunakan pada bidang medis untuk mereda rasa nyeri atau sakit

atau menurunkan demam tinggi. Menurut Maryam et al., (2019) prinsip kerja FTIR

adalah mengenali gugus fungsi suatu senyawa dari absorbansi inframerah yang

dilakukan terhadap senyawa tersebut. Pola absorbansi yang diserap oleh tiap-tiap

senyawa berbeda-beda, sehingga senyawa-senyawa dapat dibedakan dan

dikuantifikasikan. Menurut Dukomalamo et al., (2015) perbedaan spectrum yang

dihasilkan oleh UV-Vis dengan FTIR adalah pada spectrum UV-Vis berbentuk pita

melebar dari UV-VIS disebabkan karena energi yang dimiliki selain menyebabkan

transisi elektronik terjadi pula rotasi dan vibrasi elektron dalam molekul. Sedangkan

pada IR hanya terjadi vibrasi elektron maka spektrum yang dihasilkan berupa garis atau

puncak tajam.

Langkah awal yang dilakukan adalah digerus dan dicampur 0,5 – 1.0 mgram

parasetamol dengan 100 – 200 mgram serbuk KBr kering dengan lumping agate atau

“vibrating ball mill” hingga benar-benar homogeny. Dimasukkan campuran tersebut ke

dalam pencetak khusus menggunakan spatula mikro. Dihubungkan pencetak dengan

handy press. Dilepaskan tongkang handy press lalu keluarkan cakram KBr. Dimasukkan

cakram ke dalam KBr disc holder kemudian rekam spectrum dari parasetamol pada

range frekuensi 4000 – 500 cm-1. Pelet KBr digunakan untuk memperoleh spectra IR

sampel padat dan terutama sesuai untuk sampel-sampel serbuk. KBr merupakan bahan
yang inert, transparan terhadap IR dan dapat bereaksi sebagai pendukung dan pengencer

sampel.

Setelah itu dilakukan pembacaan gugus fungsi parasetamol yang dihasilkan

berdasarkan spectrum yang dihasilkan oleh FTIR. Hasil spectrum yang dihasilkan dapat

dilihat pada Gambar 1. Dari spectrum tersebut dihasilkan gugus fungsi NH amida ulur

pada daerah 3326.72 cm-1, pada daerah 3160.73 cm-1 dan 3572.25 cm-1 terdapat gugus

fungsi OH fenolik ulur, gugus fungsi C=O amida ulur dan C=C aromatic ulur masing-

masing pada daerah 1654.17 cm-1 dan 1610.93 cm-1; 1504.78 cm-1, pada daerah 1563.96

cm-1 terdapat gugus fungsi NH amida tekuk, gugus fungsi CH3 bengkokan pada daerah

1370.13 cm-1, dan pada gugus fungsi CH aromatic tekuk pada daerah 713,50 – 857,05

cm-1. Menurut (Kusumastuti, 2011) daerah sidik jari adalah Yaitu daerah yang terletak

pada 1400–400 cm-1. Pita-pita absorpsi pada daerah ini berhubungan dengan vibrasi

molekul secara keseluruhan. Setiap atom dalam molekul akan saling mempengaruhi

sehingga dihasilkan pita-pita absorpsi yang khas untuk setiap molekul. Pada daerah

sidik jari mengandung sejumlah besar vibrasi yang tidak dapat dimengerti. Dengan

membandingkan spektra infra merah dari dua senyawa yang diperkirakan identik maka

dapat dinyatakan kedua senyawa tersebut identik atau tidak. Akan jauh lebih sulit untuk

membedakan ikatan-ikatan tertentu dalam area sidik jari daripada dalam area yang lebih

‘bersih’ yang berada dalam area dengan bilangan gelombang yang lebih besar. Hal

penting dalam area sidik jari ini adalah setiap senyawa yang berbeda menghasilkan pola

lembah yang berbeda-beda pada spektrum bagian ini.


35.0
462.98

30 625.18

3572.85

25 857.05

1107.75 603.86
518.38
20 968.53 503.50
%T 1171.98 796.32
1014.78
837.11

15 1370.13 808.26
1327.35 713.50
686.23
3326.72 3160.73 1259.75
10 1242.84 1226.43
1654.17 1563.96
1610.93 1504.78
1440.27

5.0
4000.0 3000 2000 1500 1000 450.0
cm-1

Gambar 1. Spektrum Parasetamol

Hasil yang didapatkan dapat juga dibandingkan dengan struktur parasetamol

pada Gambar 2. Dari struktur yang ada pada parasetamol dianalisis gugus fungsinya dan

dihasilkan pembacaan spectrum FTIR nya pada Tabel 1.

Tabel 1. Daerah serapan gugus fungsi parasetamol

No Gugus Fungsi Daerah Serapan (cm-1)


1 NH amida ulur 3326.72
2 OH fenolik 3160.73 dan 3572.25
3 C=O amida ulur 1654.17
4 C=C aromatic ulur 1610.93 dan 1504.78
5 NH amida tekuk 1563.96
6 CH3 bengkokan 1370.13
7 CH aromatic tekuk 713,50 – 857,05
Gambar 2. Struktur Parasetamol
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Analisis gugus fungsi parasetamol dilakukan dengan menggunakan

instrument spektrofotometer FTIR dengan prinsip mengenali gugus fungsi suatu

senyawa dari absorbansi inframerah yang dilakukan terhadap senyawa tersebut.

Hasil yang didapatkan berdasarkan analisis dengan FTIR yang telah dilakukan

adalah dihasilkan gugus NH amida ulur pada daerah 3326.72 cm-1, pada daerah

3160.73 cm-1 dan 3572.25 cm-1 terdapat gugus fungsi OH fenolik ulur, gugus

fungsi C=O amida ulur dan C=C aromatic ulur masing-masing pada daerah

1654.17 cm-1 dan 1610.93 cm-1; 1504.78 cm-1, pada daerah 1563.96 cm-1 terdapat

gugus fungsi NH amida tekuk, gugus fungsi CH 3 bengkokan pada daerah

1370.13 cm-1, dan pada gugus fungsi CH aromatic tekuk pada daerah 713,50 –

857,05 cm-1.

5.2 Saran

Diperlukan pengujian yang lebih berkelanjutan agar didapatkan hasil

yang valid dan akurat. Maka dari itu perlu dilakukan validasi metode dan juga

kalibrasi alat secara berkala agar hasil yang didapatkan bisa maksimal dan juga

menjaga performa dari alat FTIR yang digunakan.


DAFTAR PUSTAKA

Dukomalamo, I., Sangi, M. S., & Rorong, J. A. (2015). Analisis Senyawa Toksik

Tepung Pelepah Batang Aren (Arenga pinnata) dengan Spektroskopi UV-Vis dan

Inframerah. Jurnal MIPA, 4(2), 54. https://doi.org/10.35799/jm.5.1.2016.12287

Jozwiak-Bebenista, M., & Nowak, J. Z. (2014). Paracetamol: Mechanism of action,

applications and safety concern. Acta Poloniae Pharmaceutica - Drug Research,

71(1), 11–23.

Khopkar, S. . (2006). Konsep Dasar Kimia Analitik (UI Press).

Kusumastuti, A. (2011). Pengenalan Pola Gelombang Khas dengan Interpolasi. Cauchy,

2(1), 7. https://doi.org/10.18860/ca.v2i1.1803

Maryam, S., Effendi, N., & Kasmah, K. (2019). Produksi dan Karakterisasi Gelatin dari

Limbah Tulang Ayam dengan Menggunakan Spektrofotometer Ftir (Fourier

Transform Infra Red). Majalah Farmaseutik, 15(2), 96.

https://doi.org/10.22146/farmaseutik.v15i2.47542

Shabanian, M., Hajibeygi, M., & Raeisi, A. (2020). FTIR characterization of layered

double hydroxides and modified layered double hydroxides. In Layered Double

Hydroxide Polymer Nanocomposites. Elsevier Ltd. https://doi.org/10.1016/b978-0-

08-101903-0.00002-7

Sharma, C. V., & Mehta, V. (2014). Paracetamol: Mechanisms and updates. Continuing

Education in Anaesthesia, Critical Care and Pain, 14(4), 153–158.

https://doi.org/10.1093/bjaceaccp/mkt049

Silviyah, S., S, C., & Masruroh. (2019). Penggunaan Metode FT-IR untuk
mengidentifikasi gugus fungsi pada proses pembaluran penderita mioma.

Pharmaceutical Research, 0274, 1–9.

Yudhapratama, E. (2010). Penentuan Keberadaan Zat Aditif pada Plastik Kemasan

MelaluinPerlakuan Pemanasan pada Spektrofotometer IR. UPI Press.

Anda mungkin juga menyukai