Pertimbangan Aspek Hukum Dan Perundangan Pesisir KELOMPOK 3
Pertimbangan Aspek Hukum Dan Perundangan Pesisir KELOMPOK 3
1
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................................................ 2
BAB I ............................................................................................................................................................ 3
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................................... 4
1.3 Tujuan ................................................................................................................................................. 4
BAB II .......................................................................................................................................................... 5
2.1 Perjanjian/Hukum Internasional ......................................................................................................... 5
2.1.1 UNCLOS (United Nations Conventions on the Law of the Sea). .................................................. 5
2.1.2 Deklarasi Juanda .......................................................................................................................... 9
2.1.3 Konvensi RAMSAR ...................................................................................................................... 10
2.1.4 Agenda 21 Chapter 17................................................................................................................ 12
2.1.5 Jakarta Mandate 1995 ............................................................................................................... 13
2.1.6 Hukum Internasional yang mengatur Pelayaran ....................................................................... 14
2.1.7 Studi Kasus Kapal China di Laut Natuna..................................................................................... 15
2.2 Peraturan dan Perundangan ............................................................................................................. 18
2.2.1 PERIODE SEBELUM OTONOMI ................................................................................................... 19
2.2.2 PERIODE SETELAH OTONOMI..................................................................................................... 20
2.2.3 Pengaruh Undang-undang Cipta Kerja Terhadap Penataan Ruang Pesisir dan Laut ................. 29
2.3 Pedoman dan Teknis Reklamasi........................................................................................................ 30
2.3.1 Pengertian Reklamasi................................................................................................................. 30
2.3.2 Pedoman Teknis ......................................................................................................................... 33
2.3.3 Studi Kasus ( Reklamasi Teluk Jakarta )...................................................................................... 42
BAB III....................................................................................................................................................... 47
3.1 Kesimpulan........................................................................................................................................ 47
3.2 Lesson Learned ................................................................................................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 48
2
3
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Soegiarto, definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan
anatara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun
terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan
air asin, sedangkan ke arah wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh
prosesproses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun yang
disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Selain itu,
kawasan pesisir merupakan ekosistem yang sangat rentan. Ekosistem pada pesisir dapat berubah karena
adanya kegiatan manusia baik didarat maupun perairan. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan
pembangunan kawasan pesisir yang sesuai dengan aturan-aturan serta prinsip-prinsip pengelolaan
pesisir yang telah disepakati baik dalam skala internasional dan nasional. Pengetahuan berbagai aturan
dan prinsip dalam pengelolaan kawasan pesisir dapat diperoleh melalui pembahasan perjanjian dan
hukum internasional, peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia serta mengetahui pedoman
dan teknis dari suatu proyek besar kawasan pesisir yaitu reklamasi. Ulasan ketiga hal tersebut menjadi
suatu topik penting yang akan dibahas dalam tulisan kali ini untuk menjadi sumber referensi pengelolaan
sumber daya pesisir.
3
4
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka terumuskanlah tujuan menyusun
laporan, diantaranya:
1. Mengetahui perjanjian dan hukum internasional yang mengatur tentang pengelolaan pesisir
2. Mengetahui peraturan dan perundangan pesisir di Indonesia
3. Mengetahui pedoman dan teknis dalam pembangunan Reklamasi
4. Memberikan studi kasus yang sesuai dengan topik bahasan
4
5
BAB II
PEMBAHASAN
5
6
Dalam pasal 8 ayat (1) UNCLOS 1982 disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan
Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial. Sedangkan dalam
pasal 3 Ayat 4 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan
bahwa, “Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi
darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua
bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7. Perairan Pedalaman Indonesia terdiri atas laut pedalaman dan
perairan darat. Di laut pedalaman ini, pemerintah Indonesia menjamin hak lintas damai
kapal-kapal asing. Sebagaimana kita ketahui, laut pedalaman ini dulunya adalah bagian-
bagian laut lepas atau laut wilayah dan sudah sewajarnya kita berikan hak lintas damai
kepada kapal-kapal asing.
Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters)
Dalam pasal 3 ayat 3 undang-undang perairan Indonesia disebutkan bahwa,
“Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis
pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.”
Karena Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS III) sudah mengakui konsep
negara kepulauan (archipelagic state) maka perairan kepulauan Indonesia juga masuk
kedalam perlindungan hukum laut internasional sebagaimana halnya negara-negara
kepulauan lainnya.
Laut Wilayah (Territorial Sea)
Laut teritorial merupakan garis pangkal dasar yang mempunyai lebar sekitar 12
mil laut dari garis pantai terluar. Untuk negara-negara kepulauan yang mempunyai
karang-karang di sekitarnya, garis pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi karang
ke arah laut. Bagian ini juga membahas tentang perairan kepulauan, mulut sungai, teluk,
instalasi pelabuhan, penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang
pantainya berhadapan atau berdampingan serta lintas damai. Kedaulatan atas wilayah
teritorial ini meliputi atas ruang udara dan dasar laut serta tanah di bawahnya. Ini berarti
bahwa bagi negara yang mempunyai dan menetapkan ketentuan wilayah teritorial seperti
ini, maka dipastikan bahwa kapal laut atau pesawat udara asing dilarang melintasi wilayah
tersebut kecuali dengan hak lalu lintas damai laut. Dalam zona ini, pemerintah memiliki
hak hak untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber
daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya
dan kegiatan kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis di wilayah
territorial tersebut.
Zona Tambahan (Contiguous Zone)
6
7
Zona tambahan didalam pasal 24 Ayat 1 UNCLOS III dinyatakan bahwa suatu
zona dalam laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara pantai tersebut
dapat melaksanakan pengawasannya yang dibutuhkan untuk:
1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang berkenaan
dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal), keimigrasian dan
kesehatan atau saniter.
2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan perundang-
undangannya tersebut di atas.
Di dalam Pasal 24 ayat 2 UNCLOS 1982 ditegaskan tentang lebar maksimum dari
zona tambahan tidak boleh melampaui dari 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal ini
berarti bahwa zona tambahan itu hanya mempunyai arti bagi negara-negara yang
mempunyai lebar laut teritorial kurang dari 12 mil laut (ini menurut konvensi Hukum
Laut Jenewa 1958), dan sudah tidak berlaku lagi setelah adanya ketentuan baru dalam
Konvensi Hukum Laut 1982.
Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dilegalkan dalam UU No. 5 Tahun 1983 yang
berisikan hak katas kekayaan alam pada zona seluas 200 mil dari batas teritorial suatu
negara. Zona ini bebas untuk dilalui baik melalui udara maupun pelayaran. Dalam
pengelolaannya, suatu negara memiliki hak dan kewajiban yang perlu diperhatikan dalam
pengelolaan. Hak yang dimiliki oleh negara dalam mengelola ZEE-nya diantaranya:
Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi, dan
pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun nonhayati, dari perairan
diatas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan
kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut,
seperti produksi energi dari air, arus dan angin;
Yurisdiksi eksklusif atas pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi, dan
bangunan;
Yurisdiksi eksklusif atas riset ilmiah kelautan;
Yurisdiksi eksklusif atas perlindungan dan pelestarian lingkungan laut;
Penetapan zona keselamatan yang pantas (tidak boleh lebih dari 500 m yang diukur
dari setiap titik terluar) di sekeliling pulau buatan, instalasi, dan bangunan untuk
menjamin keselamatan pelayaran maupun keselamatan pulau buatan, instalasi, dan
bangunan
Sedangkan kewajiban yang harus dipenuhi diantaranya:
7
8
Negara yang berada di luar wilayah zona ini memiliki hak-hak sebagai berikut:
alam, landas kontinennya adalah exclusive dan tidak perlu dibagi-bagi dengan negara
lain, kecuali seperti tersebut di bawah, walaupun negara-negara yang bersangkutan
belum memanfaatkannya. Selanjunya dijelaskan, negara pantai harus menyumbangkan
sebagian dan hasil kekayaan alam landas kontinen yang diambilnya di luar batas 20 mil
kepada Badan Otorita Internasional yang akan didirikan. Besarnya sumbangan itu
adalah 1 persen dan produksi mulai tahun ke-6 produksi dan kemudian setiap tahun naik
dengan 1 persen sehingga kontribusi tersebut maksimum menjadi 7 persen mulai tahun
produksi ke-12.
Selain mengatur tentang pengelolaannya, hukum laut yang dihasilkan dari konvensi ini
juga turut bertujuan untuk mencegah dan mengontrol polusi laut, mengkonservasi dan mengelola
sumber daya hidup yang dimiliki laut. Menurut UNCLOS 1982, sumber pencemaran laut berasal
dari:
9
10
ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982
bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13
Desember 1957, menyatakan:
1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah
Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan:
Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan
bulat
Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara Kepulauan
Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan
keselamatan NKRI.
10
11
11
12
12
13
sumberdaya pesisir dan laut dalam penataan ruang dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi
lingkungan strategik, yang terkait dengan lingkungan global, regional dan nasional suatu negara.
Berdasarkan Agenda 21 Chapter 17 Program (a), Pengelolaan wilayah pesisir dan laut
bertumpu pada prinsip-prinsip dalam integrated coastal management, dan dirumuskan dalam
suatu bentuk aturan hukum. Untuk itulah bentuk/formulasi aturan hukum pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut harus berdasarkan pada prinsip Good Ocean Governance.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil (selanjutnya disebut PWP-PK) harus menjadi acuan bagi pembentukan perangkat hukum
pelaksa- naan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang terintegrasi, baik dalam kebijakan,
maupun pengaturan dan kelembagaan. Program integrated coastal management terdiri atas 4
(empat) elemen hierarkhi perencanaan, yaitu rencana strategi, rencana zonasi, rencana
pengelolaan, dan rencana aksi. Negara-negara (57 negara) yang telah menerapkan integrated
coastal management untuk mengatasi situasi-situasi khusus di negaranya terus bertambah. Salah
satu elemen penting dalam program integrated coastal management adalah penyusunan suatu
rencana zonasi yang mengacu pada penetapan daerah administratif. Penetapan daerah
administratif untuk zonasi wilayah pesisir dan laut selain mengacu pada Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2007 tentang PWP-PK juga memperhatikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2004 tentang Penataan
Ruang.
14
15
Dalam Pasal 53 Konvensi Hukum Laut 1982, telah diatur ketentuan ketentuan hak lintas
alur kepulauan yang kemudian diratifikasi menjadi Pasal 19 Undang-undang No. 6 Tahun
1996. Undang-Undang tersebut kemudian dilengkapi oleh Peraturan Pemerintah N0. 37
Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam
Melaksanakan Hak Lintas Alur Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang
Ditetapkan.
Kapal perikanan dan Coast Guard China memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Indonesia di Natuna, Kepulauan Riau. Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menyatakan
kegiatan kapal China menangkap ikan di wilayah ZEE Indonesia sebagai pelanggaran hukum.
Untuk diketahui, Indonesia berpijak pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang
Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Pada 2016,
15
16
pengadilan internasional tentang Laut China Selatan menyatakan klaim 9 Garis Putus-putus
sebagai batas teritorial laut Negeri Tirai Bambu itu tidak mempunyai dasar historis.
Pemerintah Indonesia, berdasarkan pasal 73 ayat 1 UNCLOS, dalam rangka melindungi
hak berdaulatnya atas sumber daya ikan di Laut Natuna Utara berhak untuk mengambil tindakan
yang diperlukan, termasuk melakukan penangkapan kapal-kapal dimaksud dan menindaklanjuti
dengan langkah-langkah penegakan hukum. Penegakan hukum ini didasarkan terhadap pasal-
pasal perjanjian internasional yang telah dilanggar yaitu:
• Pada pasal 56 ayat (1) huruf a Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations
Convention on the Law of the Sea/UNCLOS), secara tegas disebutkan bahwa:
"In the exclusive economic zone, the coastal State has: sovereign rights for the purpose
of exploring and exploiting, conserving and managing the natural resources, whether
living or non-living, of the waters superjacent to the seabed and of the seabed and its
subsoil, and with regard to other activities for the economic exploitation and exploration
of the zone, such as the production of energy from the water, currents and winds;"
• Laut Natuna Utara adalah wilayah laut yang merupakan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) karena masuk dalam rentang jarak 200 nautical miles dari garis dasar
(baseline) sebagaimana dimaksud pada pasal 57 UNCLOS, sehingga Indonesia memiliki
hak berdaulat (sovereign rights) terhadap sumber daya alam di Laut Natuna Utara
sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 56 ayat (1) huruf a di atas.
• Indonesia telah menandatangani UNCLOS pada tanggal 10 Desember 1982 dan
meratifikasinya tanggal 3 Februari 1986. Tiongkok juga telah menandatangani UNCLOS
pada tanggal 10 Desember 1982 dan meratifikasinya pada tanggal 7 Juni 1996. Oleh
karena itu, baik Indonesia dan Tiongkok terikat pada ketentuan UNCLOS yaitu Indonesia
secara mutlak memiliki sovereign rights di Laut Natuna Utara.
• Mengenai klaim 'nine-dash line' oleh pemerintah Tiongkok yang didasarkan pada sejarah
perikanan, the Permanent Court of Arbitration pada sengketa Filipina vs. China telah
menyatakan bahwa, "... China's claims to historic rights, or other sovereign rights or
jurisdiction, with respect to the maritime areas of the South China Sea encompassed by
the relevant part of the 'nine-dash line' are contrary to the Convention and without lawful
effect to the extent that they exceed the geographic and substantive limits of China's
maritime entitlements under the Convention. The Tribunal concludes that the Convention
superseded any historic rights or other sovereign rights or jurisdiction in excess of the
limits imposed therein" (Paragraf 278 PCA Award 12 Juli 2016). Pernyataan tersebut
didasarkan pada berbagai pertimbangan antara lain:
16
17
Klaim historic rights sahih saat hak yang dimaksud adalah hak selain dari yang
diperbolehkan menurut freedom of the high seas. Intensnya kegiatan pelayaran dan
perikanan oleh China di South China Sea dapat terjadi memang karena hak tersebut
adalah hak segala bangsa dibawah konsep freedom of the high seas sehingga tidak dapat
dijadikan dasar untuk mengklaim secara ekslusif historic rights (Paragraf 269 & 270 PCA
Award 2016).
Selain itu, sebuah negara harus dapat mengajukan bukti-bukti yang kuat untuk dapat
mengklaim historic rights. Bukti-butki tersebut harus memenuhi 3 (tiga) unsur: (i) bahwa
hak dimaksud telah dinikmati/dilaksanakan secara lama dan terus menerus; (ii) bahwa
selama pelaksanaan hak oleh negara tersebut, ia juga melarang dan mencegah negara lain
untuk menikmati hak dimaksud; dan (iii) negara lain menerima/setuju dengan larangan
dan cegahan tersebut (Paragraf 270 & 275 PCA Award 2016). Pada faktanya, banyak
negara yang melakukan kegiatan pelayaran dan perikanan di Laut China Selatan dan juga
banyak negara memberikan keberatan atas klaim 'nine-dash line'.
1. Klaim 'nine-dash line' tidak sesuai dengan UNCLOS karena jauh melebihi batas
zona maritime yang telah diatur (Paragraf 261 PCA Award 2016).
2. Dengan meratifikasi UNCLOS, hak-hak negara Tiongkok yang mungkin pernah
mereka miliki di masa lampau dikesampingkan (Paragraf 262 PCA Award 2016).
3. Dengan meratifikasi UNCLOS, Tiongkok melepas freedom of the high seas yang
dulu dapat mereka nikmati (sebelum lahirnya UNCLOS) karena wilayah tersebut
menjadi Zona Ekonomi Eksklusif negara lain (Paragraf 271 PCA Award 2016).
• Berdasarkan poin 1, 2, 3, dan 4 tersebut di atas, hak berdaulat Indonesia di Laut Natuna
Utara yang merupakan ZEEI adalah mutlak dan tidak terbantahkan.
• Di dalam ZEEI, negara lain tetap memiliki hak namun hanya untuk beberapa hal antara
lain hak untuk melintas (freedom of navigation), penerbangan, membentangkan kabel
bawah laut dan pipa serta hak lainnya yang sesuai dengan UNCLOS (Pasal 58 ayat (1) jo.
Pasal 87 UNCLOS). Penting untuk dicatat bahwa negara lain dimaksud dalam
melaksanakan haknya wajib untuk menghormati Indonesia yang memiliki yurisdiksi di
ZEEI (Pasal 58 ayat (3) UNCLOS).
• Khusus mengenai perikanan, berdasarkan UNCLOS akses negara lain terhadap stok ikan
di ZEEI hanya dapat terjadi melalui 2 (dua) hal, yaitu traditional fishing right serta adanya
surplus allowable catch. Mengenai traditional fishing right telah dijelaskan pada poin 1-
5 di atas sehingga tidak akan dijelaskan ulang.
• Berdasarkan Pasal 62 UNCLOS, surplus allowable catch hanya dapat diberikan kepada
negara lain jika memenuhi beberapa syarat, yaitu: (i) Indonesia tidak memiliki kapasitas
17
18
untuk menangkap seluruh allowable catch; (ii) akses terhadap surplus tersebut
dirumuskan dalam sebuah perjanjian; (iii) surplus ditujukan pertama-tama kepada land-
locked States dan/atau geographically disadvantaged States; (iv) sebelum membuat
perjanjian, Indonesia perlu terlebih dahulu mempertimbangkan all relevant factors
termasuk: a) signifikansi stok ikan yang akan dibuka aksesnya tersebut kepada
perekonomian masyarakat dan kepentingan nasional lainnya, serta b) kebutuhan untuk
meminimalkan kesenjangan ekonomi.
• Saat kapal-kapal berbendera Tiongkok melakukan penangkapan ikan di Laut Natuna
Utara, keseluruhan syarat tersebut di atas jelas tidak dipenuhi. Dengan demikian, kegiatan
penangkapan ikan oleh kapal perikanan berbendera Tiongkok di wilayah ZEEI jelas
merupakan pelanggaran hukum.
• Pemerintah Indonesia, berdasarkan pasal 73 ayat 1 UNCLOS, dalam rangka melindungi
hak berdaulatnya atas sumber daya ikan di Laut Natuna Utara berhak untuk mengambil
tindakan yang diperlukan, termasuk melakukan penangkapan kapal-kapal dimaksud dan
menindaklanjuti dengan langkah-langkah penegakan hukum.
Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dulunya belum mendapat perhatian dalam
penyusunan peraturan dan perundangan yang berarti karena pembangunan nasional di waktu
lampau lebih berorientasi ke darat, seperti UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah
18
19
Berikut beberapa Perundangan yang ada di Indonesia yang terbagi menjadi 2 periode,
yakni periode sebelum otonomi dan periode setelah diberlakukannya otonomi.
Undang-undang ini berisi tentang batas laut territorial Indonesia sejauh 12 mil yang
garis luarnya diukur tegak lurus atau garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri
dari garis‐garis lurus yang menghubungkan titik‐titik terluar pada garis air rendah
daripada pulau‐pulau atau bagian pulau‐pulau yang terluar wilayah Indonesia
Undang-undang ini berisi tentang Landas Kontingen Indonesia dimana adalah dasar
laut dan tanah dibawahnya diluar perairan wilayah Republik Indonesia sampai
19
20
kedalaman 200 meter atau lebih dimana Indonesia memiliki hak mengelola sumber
dayanya baik untuk dikelola, eksploitasi, maupun eksplorasi.
4. UU No. 5 Tahun 1990 UU No. 5 Tahun 1990 berisi tentang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistem. RUU Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya alam Hayati dan Ekosistem (Dalam
Pembahasan: Pembicaraan Tingkat I)
Undang-undang ini berisi tentang penataan ruang meliputi ruang daratan, juga
mencakup ruang lautan dan ruang udaradilakukan secara terpadu dan tidak dipisah-
pisahkan diatur secara terpusat dengan undang-undang
20
21
Kepres ini berisikan tentang tujuan untuk menjaga dan mengelola pulau-pulau
terluar dengan tujuan untuk menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta
menciptakan stabilitas kawasan selain itu juga untuk memanfaatkan sumber daya
alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan serta memberdayakan
masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.
2. Perundangan sektoral
21
22
Undang undang ini berisi tentang ketetapan bahwa sumber daya air dikuasai
oleh negara dan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat.
UU ini masih mengadopsi sistem dekonsentrasi karena masih berisikan
tentang otoritas tiap tingkat pemerintah.
22
23
23
24
• UU No. 27 Tahun 2007, tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
24
25
b. antar-Pemerintah Daerah;
c. antarsektor;
a. Persyaratan teknis:
b. Administratif:
c. Operasional:
HP-3 tidak dapat diberikan pada Kawasan Konservasi, suaka perikanan, alur
pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum. Jangka waktu HP-3 adalah
20 (dua puluh) tahun dimana dapat diperpanjang sebanyak 2 (dua) kali melalui
2 (dua) tahap masing – masing tahap perpanjangan berjangka waktu 20 (dua
puluh) tahun. HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang
dengan dibebankan hak tanggungan. Pihak – pihak yang mempunyai
wewenang berdasarkan UU WP3K sebagai berikut :
a. Konservasi.
b. Pendidikan dan pelatihan.
c. Penelitian dan pengembangan.
d. Budidaya laut.
e. Pariwisata.
f. Usaha perikanan kelautan dan industri perikanan secara lestari.
g. Pertanian organik.
h. Peternakan.
Larangan
26
27
28
29
• UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
2.2.3 Pengaruh Undang-undang Cipta Kerja Terhadap Penataan Ruang Pesisir dan Laut
Keberadaan UU Cipta Kerja didesain sebagai Omnibus Law yang dapat
menyeimbangkan antara ketiga tipe umum regulasi yaitu: Pertama, economic regulation,
dimaksudkan untuk memastikan efisiensi pasar, sebagian melalui promosi daya saing
yang memadai di antara para pelaku usaha. Kedua, social regulation, dimaksudkan untuk
mempromosikan internalisasi semua biaya yang relevan oleh aktor. Ketiga,
administrative regulation, yang bertujuan untuk memastikan berfungsinya operasi sektor
publik dan swasta. Dengan mengacu pada Self Regulatings System, pemberian
kewenangan yang tinggi kepada Presiden untuk mengatur regulasi bagi dirinya
sendiri.Secara umum, UU Cipta Kerja sendiri membahas tentang iklim investasi dan
kegiatan berusaha di Indonesia.
29
30
Terdapat poin penting yang dihapus yaitu dibagian penetapan kawasan strategi
provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu juga terdapat penambahan pemberian bantuan dan
pembinaan teknis dokumen rencana dari pemerintah pusat. Selain itu juga terdapat
pergantian isi pasal dengan menghilangkan dekonsentrasi dalam penyelenggaraan ruang
semua beralih ke pemerintah pusat serta hilangnya ketentuan penyebaran informasi
mengenai zonasi dalam rangka pengendalian wilayah nasional. Disini menunjukkan
semakin terbatasnya peran pemerintah daerah dalam perencanaan kawasan. Terjadi
perubahan yaitu penyelenggara penataan ruang berubah dari Menteri menjadi
kewenangan pemerintah pusat. Di UU ini juga menghilangkan wewenang pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang dan harus mengikuti standar pemerintah
pusat.
Dalam hal pentaan tata ruang pesisir dan laut secara umum, penyesuaian yang
dilakukan dalam undang-undang ini adalah merubah istilah Izin Lokasi dan Izin
Pemanfaatan menjadi Perizinan Berusaha. Dengan adanya UU Cipta Kerja akan semakin
memperkuat peran Penataan Ruang, karena Tata Ruang akan membentuk iklim investasi
dan kegiatan berusaha yang ideal, bukan sebaliknya.
30
31
Tujuan utama dari reklamasi pantai adalah untuk menambah luasan daratan untuk
suatu aktivitas di suatu daerah atau yang sering disebut dalam ranah perkotaan adalah
sebagai pemerakaran kota. Sebagai contoh pemanfaatan lahan untuk reklamasi adalah
untuk keperluan: industri, terminal peti kemas,kawasan pariwisata, dan kawasan
permukiman. Selain untuk tujuan diatas kegiatan reklamasi ini juga dapat dimanfaatkan
untuk keperluan konservasi wilayah pantai. Kegiatan ini dilakukan bilamana suatu
wilayah sudah tererosi atau terabrasi cukup parah sehingga perlu dikembalikan seperti
kondisi semula, karena lahan tersebut mempunyai arti penting bagi negara.
Tujuan dari adanya reklamasi menurut Modul Terapan Pedoman Perencanaan Tata
Ruang Kawasan Reklamasi Pantai (2007) yaitu untuk menjadikan kawasan berair yang
rusak atau belum termanfaatkan menjadi suatu kawasan baru yang lebih baik dan
bermanfaat. Kawasan daratan baru tersebut dapat dimanfaatkan untuk kawasan
permukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pelabuhan udara, perkotaan, pertanian,
jalur transportasi alternatif, reservoir air tawar di pinggir pantai, kawasan pengelolaan
31
32
limbah dan lingkungan terpadu, dan sebagai tanggul perlindungan daratan lama dari
ancaman abrasi serta untuk menjadi suatu kawasan wisata terpadu.
Namun menurut Perencanaan Kota (2013), tujuan dari reklamasi pantai merupakan
salah satu langkah pengembangan kota. Reklamasi diamalkan oleh negara atau kota-kota
besar yang laju pertumbuhan dan kebutuhan lahannya meningkat demikian pesat tetapi
mengalami kendala dengan semakin menyempitnya lahan daratan (keterbatasan lahan).
Dengan kondisi tersebut, pemekaran kota ke arah daratan sudah tidak memungkinkan
lagi, sehingga diperlukan daratan baru.
Menurut Max Wagiu (2011), tujuan dari program reklamasi ditinjau dari aspek fisik
dan lingkungan yaitu:
Salah satu reklamasi terlama di indonesia adalah reklamasi teluk jakarta. Reklamasi
ini bukan hal baru di Jakarta. Namun konsep reklamasi 17 pulau di pantai Utara yang
direncanakan oleh PemProv Jakarta tidak jarang menuai kontra. Kontra ini banyak
dikemukakan oleh nelayan dan juga aktivis lingkungan hidup. Maka dapat dilihat masih
ada ketidaksepahaman antara pemerintah Pemprov Jakarta, masyarakat, maupun LSM.
32
33
Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui apa itu reklamasi menurut Peraturan
yang ada. Selain itu juga perlu diketahui urgensi dari reklamasi pantai ini, dan yang tidak
lupa pandangan reklamasi pantai dari sudut pandang lingkungan hidup. Dengan
pengetahuan dan informasi yang jelas diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman.
33
34
1. Daerah reklamasi yang menyatu dengan garis pantai semula Kawasan daratan
lama berhubungan langsung dengan daratan baru dan garis pantai yang baru
akan menjadi lebih jauh menjorok ke laut. Penerapan model ini pada kawasan
yang tidak memiliki kawasan dengan penanganan khusus atau kawasan lindung
seperti :
• kawasan permukiman nelayan
• kawasan hutan mangrove
• kawasan hutan pantai
• kawasan perikanan tangkap
• kawasan terumbu karang, padang lamun, biota laut yang dilindungi
• kawasan larangan ( rawan bencana )
• kawasan taman laut
34
35
35
36
teknik terpisah dengan daratan dan pada bagian yang tidak memiliki potensi
khusus menggunakan teknik menyambung dengan daratan yang lama.
36
37
2. Menteri memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan
Strategis Nasional Tertentu, kegiatan reklamasi lintas provinsi, dan kegiatan
reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh Pemerintah.
3. Pemberian izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan Strategis
Nasional Tertentu dan kegiatan reklamasi lintas provinsi diberikan setelah
mendapat pertimbangan dari bupati/ walikota dan gubernur.
4. Gubernur dan bupati/walikota memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan
reklamasi dalam wilayah sesuai dengan kewenangannya dan kegiatan
reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah daerah.
Modul Terapan Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai (2007)
juga menerapkan syarat – syarat yang harus dimiliki sebelum melaksanakan reklamasi,
yaitu :
1. Telah sesuai dengan ketentuan rencana kota yang dituangkan dalam RTRW
Provinsi atau Kota/Kabupaten (tergantung posisi strategis dari kawasan
reklamasi) dan RDTR Kawasan Reklamasi, serta dituangkan ke dalam Peta
Lokasi Laut yang akan direklamasi.
37
38
38
39
• Tata ruang kawasan reklamasi pantai harus menyediakan kanal kanal dan atau
ruang perairan lain untuk aksesibilitas dan integrasi antara pusat kawasan dan
sub sub wilayah kota
• Harus mudah diakses dan terintegrasi dengan sistem kota dari prasarana dan
sarana di perairan , darat dan udara
• Pola pergerakan dan transportasi darat dan perairan harus memiliki variasi
integrase dan variasi transportasi berdasarkan konsep “ride and park system”
di beberapa tematik kawasan
39
40
2. Struktur ruang kawasan yang melewati di daerah paling tepi dari sekitar batas
bibir pantai dengan daratan harus dipertahankan menjadi wilayah publik yang
dapat dinikmati oleh masyarakat umum dengan mudah dimana wilayah Garis
Sempadan Pantai (GSP) dapat dimanfaatkan seperlunya untuk ruangruang
terbuka;
40
41
1. Keseimbangan antara rencana pemanfaatan lahan untuk fungsi budi daya dan
lahan untuk fungsi lindung dengan memperhatikan kelestarian lingkungan
hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan;
Prasarana dan sarana jalan dan transportasi meliputi jaringan jalan dan
jembatan, terminal, dan pelabuhan/dermaga yang dibutuhkan untuk
menunjang aktivitas kawasan. Termasuk dalam perencanaan tersebut adalah
41
42
Pada mulanya reklamasi Teluk Jakarta dilakukan sebagai upaya mengatasi keterbatasan
lahan Jakarta untuk menampung jumlah penduduk yang terus bertambah. Dasar
hukumnya adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Namun seiring berjalannya proyek
tersebut, tujuan reklamasi bergeser menjadi upaya untuk mengantisipasi banjir Jakarta.
Pergeseran tujuan terjadi seiring dengan pertentangan yang muncul dalam pelaksanaan
proyek reklamasi Teluk Jakarta. Pertentangan reklamasi muncul dengan akar
permasalahan adanya benturan kepentingan antara perlindungan kepentingan lingkungan
hidup dan kehidupan sosial masyarakat jangka panjang melawan kepentingan ekonomi
jangka pendek.
42
43
Tahun 2008 lahir Keppres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Dalam Keppres
43
44
tersebut reklamasi diperluas tidak hanya di pesisir pantai utara tetapi juga di perairan
Teluk Jakarta dalam bentuk pulau-pulau. Keppres tersebut ditindaklanjuti dengan
Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010-2030
yang memasukkan reklamasi 14 pulau di Teluk Jakarta dan Peraturan Gubernur DKI
Jakarta No. 121 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara
Jakarta yang mencantumkan akan ada 17 pulau yang diberi nama pulau A sampai pulau
Q.
Tahun 2015 sampai dengan 2017 Pemerintah DKI Jakarta telah mengeluarkan izin
pelaksanaan reklamasi di beberapa pulau, dan izin tersebut digugat Koalisi Nelayan
Tradisional Indonesia (KNTI). Gugatan dimenangkan oleh KNTI. Di tahun berikutnya
KLHK mengeluarkan beberapa SK dan salah satunya yaitu SK MenLHK No. 354/
Menlhk/Setjen/Kum.9/5/2016,yang menghentikan sementara (moratorium) seluruh
kegiatan reklamasi di beberapa pulau. Namun penghentian sementara ini dicabut oleh
Menko Maritim dengan SK Menko Maritim No. S-78-
001/02/Menko/Maritim/X/2017. Pencabutan moratorium dikhawatirkan akan
menghentikan proses perbaikan lingkungan Teluk Jakarta selama moratorium terjadi.
Kerusakan lingkungan perairan Teluk Jakarta telah berdampak terhadap penghidupan
masyarakat Teluk Jakarta, terutama nelayan, pembudidaya ikan, dan pelaku usaha
wisata dalam skala kecil di daerah tersebut.
44
45
diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan serta
dalam Rencana Zonasi Kawasan Strategis Naisonal Tertentu (RZKSNT)
Terbitnya Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 206 Tahun 2016 tentang
Panduan Rancang Kota Pulau C, Pulau D dan Pulau E Hasil Reklamasi Kawasan
Strategis Pantai Utara Jakarta yang melanggar Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No. 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan. Permen PU mengatur alur untuk dapat terbitnya suatu Peraturan
mengenai panduan rancang kota atau dapat disebut juga dengan Rencana Tata
Bangunan dan Lingkungan (RTBL)
Pembangunan berbagai rumah dan ruko untuk kalangan ekonomi diatas Pulau C
dan Pulau D telah melanggar UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup. Sebagaimana diketahui ada tersebar “Pengumuman
Permohonan Penerbitan Izin Lingkungan Skala Amdal Rencana Kegiatan Reklamasi
45
46
dan Pembangunan diatas Pulau C dan D” padahal pembangunan sudah berjalan. Hal
ini sungguh melanggar Pasal 109 dan Pasal 111 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009
46
47
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengelolaan pesisir di Indonesia terpengaruhi oleh berbagai banyak aturan dan perjanjian baik yang
berskala nasional dan internasional. Pengaruh perjanjian internasional ini dapat dilihat dengan adanya
ratifikasi hukum dan perjanjian Internasional yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam undang-
undang dan peraturan di Indonesia. Dari sekian banyak perjanjian dan hukum internasional, adanya
UNCLOS 1982 sangat membawa banyak perubahan dalam pengelolaan kawasan pesisir Indonesia.
Mulai dari penentuan batas wilayah teritorial sampai adanya hak hak lintas kapal. Agenda penting bagi
dunia maritim Indonesia juga berada pada Deklarasi Djuanda yang menyatakan bahwa Indonesia adalah
Negara Kepulauan. Hal ini sangat menguntungkan bagi Indonesia karena wilayah perairannya
bertambah sebanyak 2,5 kali lipat dari luasan awal.
Dalam peraturan dan perundangan di Indonesia, telah terdapat undang-undang yang khusus
membahas tentang pengelolaan pesisir. Undang-undang ini dapat menjadi suatu pedoman dalam
pelaksanaan perencanaan pesisir. Undang-undang ini juga diperlengkap dengan adanya peraturan-
peraturan lain yang mendukung adanya perencanaan pesisir yang tetap menjaga adanya kelestarian
ekosistem pesisir. Tidak hanya mengatur tentang ekosistem pesisir, Indonesia juga sudah mulai
mengatur dan merancang pedoman bagi adanya pembangunan pulau reklamasi yang masih banyak
mengundang pro dan kontra. Dari studi kasus Reklamasi Teluk Jakarta ini dapat dilihat bagaimana pro
kontra dan undang-undang serta peraturan apa saja yang seharusnya berlaku dalam pembangunan pulau
reklamasi dalam menjaga ekosistem pesisir yang rentan terhadap perubahan baik secara alami maupun
oleh campur tangan manusia.
47
48
DAFTAR PUSTAKA
Kurnia, I., 2016. Penerapan UNCLOS 1982 dalam Ketentuan Perundang-undangan Nasional, Khususnya
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Jurnal Hukum PRIORIS, 2(1), pp.42-49.
Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17/PERMEN-KP/2013 Tentang Perizinan
Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi
Pantai Utara Jakarta
Keppres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi, Puncak, dan Cianjur
Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010-2030
Ramadhiani. 2015. 19 Alasan Reklamasi Harus Dihentikan, diakses dari
https://properti.kompas.com/read/2016/04/07/184318321/19.Alasan.Reklamasi.Harus.Dihentikan.
Ambari. 2016. Ada Potensi Kerugian Rp178,1 M pada Reklamasi Teluk Jakarta, diakses dari
https://www.mongabay.co.id/2016/07/07/ada-potensi-kerugian-rp1781-m-pada-reklamasi-teluk-jakarta/
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan
Indonesia, Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir, Cetakan II, 2005
Syalaby. Achmad. 2016. Lengkap, Kronologi Reklamasi Teluk Jakarta, diakses dari
https://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/16/04/03/o51dj4394-lengkap-
kronologi-reklamasi-teluk-jakarta
Cekaja. 2019. Menakar Sengkarut Reklamasi di Teluk Jakarta, diakses dari
https://www.cekaja.com/info/menakar-sengkarut-reklamasi-di-teluk-jakarta
https://news.detik.com/berita/d-4848075/mengenal-lebih-dalam-zee-natuna-yang-diserobot-china/2
https://news.detik.com/berita/d-4853604/berdasarkan-unclos-ri-dinilai-berhak-tangkap-kapal-china-yang-
masuk-zee/2
http://www.oceansplasticleanup.com/Biodiversity/Conferences_Parties_COPs_United_Nations_Biologic
al_Diversity/COP2_1995_Jakarta_Indonesia_Biological_Diversity_Conferences_Parties_Of_The.htm
https://rsis.ramsar.org/about
49