Anda di halaman 1dari 49

1

1
2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................................ 2
BAB I ............................................................................................................................................................ 3
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................................... 4
1.3 Tujuan ................................................................................................................................................. 4
BAB II .......................................................................................................................................................... 5
2.1 Perjanjian/Hukum Internasional ......................................................................................................... 5
2.1.1 UNCLOS (United Nations Conventions on the Law of the Sea). .................................................. 5
2.1.2 Deklarasi Juanda .......................................................................................................................... 9
2.1.3 Konvensi RAMSAR ...................................................................................................................... 10
2.1.4 Agenda 21 Chapter 17................................................................................................................ 12
2.1.5 Jakarta Mandate 1995 ............................................................................................................... 13
2.1.6 Hukum Internasional yang mengatur Pelayaran ....................................................................... 14
2.1.7 Studi Kasus Kapal China di Laut Natuna..................................................................................... 15
2.2 Peraturan dan Perundangan ............................................................................................................. 18
2.2.1 PERIODE SEBELUM OTONOMI ................................................................................................... 19
2.2.2 PERIODE SETELAH OTONOMI..................................................................................................... 20
2.2.3 Pengaruh Undang-undang Cipta Kerja Terhadap Penataan Ruang Pesisir dan Laut ................. 29
2.3 Pedoman dan Teknis Reklamasi........................................................................................................ 30
2.3.1 Pengertian Reklamasi................................................................................................................. 30
2.3.2 Pedoman Teknis ......................................................................................................................... 33
2.3.3 Studi Kasus ( Reklamasi Teluk Jakarta )...................................................................................... 42
BAB III....................................................................................................................................................... 47
3.1 Kesimpulan........................................................................................................................................ 47
3.2 Lesson Learned ................................................................................................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 48

2
3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai jumlah pulau sangat banyak. Data SLHI
2013 yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup, jumlah Pulau di Indonesia 13.466 pulau dengan
garis pantai sepanjang 80.791 km. Indonesia memiliki peluang sekaligus tantangan yang besar dalam
mengembangkan dan mengelola potensi sumberdaya pesisir dan laut. Wilayah pesisir dan laut Indonesia
memiliki kekayaan alam yang sangat besar serta menyediakan jasa-jasa lingkungan yang beragam,
seperti minyak dan gas, mineral, perikanan, ekosistem terumbu karang dan mangrove, maupun
pariwisata. Pasal 25A UUD 1945 (hasil amandemen kedua UUD 1945), menyebutkan bahwa “NKRI
adalah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak haknya
ditetapkan dengan Undang-undang”. Ini semakin mengukuhkan eksistensi Indonesia sebagai negara
maritim. Apalagi dengan lahirnya UU N0.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, lebih jelas mengakui eksistensi sektor kelautan dan perikanan serta pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai salah satu agenda pembangunan nasional.

Menurut Soegiarto, definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan
anatara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun
terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan
air asin, sedangkan ke arah wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh
prosesproses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun yang
disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Selain itu,
kawasan pesisir merupakan ekosistem yang sangat rentan. Ekosistem pada pesisir dapat berubah karena
adanya kegiatan manusia baik didarat maupun perairan. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan
pembangunan kawasan pesisir yang sesuai dengan aturan-aturan serta prinsip-prinsip pengelolaan
pesisir yang telah disepakati baik dalam skala internasional dan nasional. Pengetahuan berbagai aturan
dan prinsip dalam pengelolaan kawasan pesisir dapat diperoleh melalui pembahasan perjanjian dan
hukum internasional, peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia serta mengetahui pedoman
dan teknis dari suatu proyek besar kawasan pesisir yaitu reklamasi. Ulasan ketiga hal tersebut menjadi
suatu topik penting yang akan dibahas dalam tulisan kali ini untuk menjadi sumber referensi pengelolaan
sumber daya pesisir.

3
4

1.2 Rumusan Masalah


Perencanaan pesisir yang baik dapat diperoleh salah satunya dengan kesesuaian rencana
pembangunan dengan prinsip dan peraturan yang ada. Dalam laporan ini akan dibahas bagaimana
aspek hukum dan perundangan internasional dan nasional dalam mengatur prinsip dan aturan
pengelolaan kawasan pesisir yang baik.

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka terumuskanlah tujuan menyusun
laporan, diantaranya:

1. Mengetahui perjanjian dan hukum internasional yang mengatur tentang pengelolaan pesisir
2. Mengetahui peraturan dan perundangan pesisir di Indonesia
3. Mengetahui pedoman dan teknis dalam pembangunan Reklamasi
4. Memberikan studi kasus yang sesuai dengan topik bahasan

4
5

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perjanjian/Hukum Internasional


2.1.1 UNCLOS (United Nations Conventions on the Law of the Sea).
UNCLOS merupakan salah satu konvensi yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) yang membahas mengenai hukum laut. Konvensi ini berlangsung sejak tahun 1973
sampai dengan tahun 1982. Untuk saat ini tercatat telah ada 158 negara, termasuk Indonesia
sebagai salah satu negara maritim yang besar. Pembuktian Indonesia sebagai salah satu negara
yang menandatangani konvensi ini adalah dengan diratifikasinya Hukum Laut Internasional ini
ke dalam undang undang yaitu melalui Undang — Undang Nomor 17 Tahun 1985.
Secara garis besar, konvensi ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam
penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk pengelolaan sumber daya laut.
Lebih rincinya pembahasan UNCLOS terdiri dari Pengaturan Batas, Navigasi, Zona Ekonomi
Eksklusif, benua Landas, Jauh Dasar Laut Pertambangan, Rezim Eksploitasi, Prospek teknologi,
Pertanyaan Partisipasi Universal dalam Konvensi, Pioneer Investor, Perlindungan Lingkungan
Laut, Penyelesaian Sengketa, Zona dan Batas batas Maritim, Ketentuan Penelitian dan Survei,
Pembajakan, dan Negara Kepulauan.
Untuk menetapkan pedoman pengelolaan sumber daya laut, konvensi ini membagi wilayah
laut setiap negara. Tujuannya agar setiap negara dapat mengelola dengan seefisien mungkin
sumber daya di wilayah masing-masing. Pembagian wilayah laut dari setiap negara terbagi
menjadi beberapa bagian laut yaitu:

 Perairan Pedalaman (Internal Waters)

5
6

Dalam pasal 8 ayat (1) UNCLOS 1982 disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan
Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial. Sedangkan dalam
pasal 3 Ayat 4 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan
bahwa, “Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi
darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua
bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7. Perairan Pedalaman Indonesia terdiri atas laut pedalaman dan
perairan darat. Di laut pedalaman ini, pemerintah Indonesia menjamin hak lintas damai
kapal-kapal asing. Sebagaimana kita ketahui, laut pedalaman ini dulunya adalah bagian-
bagian laut lepas atau laut wilayah dan sudah sewajarnya kita berikan hak lintas damai
kepada kapal-kapal asing.
 Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters)
Dalam pasal 3 ayat 3 undang-undang perairan Indonesia disebutkan bahwa,
“Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis
pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.”
Karena Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS III) sudah mengakui konsep
negara kepulauan (archipelagic state) maka perairan kepulauan Indonesia juga masuk
kedalam perlindungan hukum laut internasional sebagaimana halnya negara-negara
kepulauan lainnya.
 Laut Wilayah (Territorial Sea)
Laut teritorial merupakan garis pangkal dasar yang mempunyai lebar sekitar 12
mil laut dari garis pantai terluar. Untuk negara-negara kepulauan yang mempunyai
karang-karang di sekitarnya, garis pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi karang
ke arah laut. Bagian ini juga membahas tentang perairan kepulauan, mulut sungai, teluk,
instalasi pelabuhan, penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang
pantainya berhadapan atau berdampingan serta lintas damai. Kedaulatan atas wilayah
teritorial ini meliputi atas ruang udara dan dasar laut serta tanah di bawahnya. Ini berarti
bahwa bagi negara yang mempunyai dan menetapkan ketentuan wilayah teritorial seperti
ini, maka dipastikan bahwa kapal laut atau pesawat udara asing dilarang melintasi wilayah
tersebut kecuali dengan hak lalu lintas damai laut. Dalam zona ini, pemerintah memiliki
hak hak untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber
daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya
dan kegiatan kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis di wilayah
territorial tersebut.
 Zona Tambahan (Contiguous Zone)
6
7

Zona tambahan didalam pasal 24 Ayat 1 UNCLOS III dinyatakan bahwa suatu
zona dalam laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara pantai tersebut
dapat melaksanakan pengawasannya yang dibutuhkan untuk:
1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang berkenaan
dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal), keimigrasian dan
kesehatan atau saniter.
2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan perundang-
undangannya tersebut di atas.
Di dalam Pasal 24 ayat 2 UNCLOS 1982 ditegaskan tentang lebar maksimum dari
zona tambahan tidak boleh melampaui dari 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal ini
berarti bahwa zona tambahan itu hanya mempunyai arti bagi negara-negara yang
mempunyai lebar laut teritorial kurang dari 12 mil laut (ini menurut konvensi Hukum
Laut Jenewa 1958), dan sudah tidak berlaku lagi setelah adanya ketentuan baru dalam
Konvensi Hukum Laut 1982.
 Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dilegalkan dalam UU No. 5 Tahun 1983 yang
berisikan hak katas kekayaan alam pada zona seluas 200 mil dari batas teritorial suatu
negara. Zona ini bebas untuk dilalui baik melalui udara maupun pelayaran. Dalam
pengelolaannya, suatu negara memiliki hak dan kewajiban yang perlu diperhatikan dalam
pengelolaan. Hak yang dimiliki oleh negara dalam mengelola ZEE-nya diantaranya:
 Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi, dan
pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun nonhayati, dari perairan
diatas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan
kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut,
seperti produksi energi dari air, arus dan angin;
 Yurisdiksi eksklusif atas pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi, dan
bangunan;
 Yurisdiksi eksklusif atas riset ilmiah kelautan;
 Yurisdiksi eksklusif atas perlindungan dan pelestarian lingkungan laut;
 Penetapan zona keselamatan yang pantas (tidak boleh lebih dari 500 m yang diukur
dari setiap titik terluar) di sekeliling pulau buatan, instalasi, dan bangunan untuk
menjamin keselamatan pelayaran maupun keselamatan pulau buatan, instalasi, dan
bangunan
Sedangkan kewajiban yang harus dipenuhi diantaranya:

7
8

 Pemberitahuan sebagaimana mestinya tentang pembangunan pulau buatan,


instalasi, dan bangunan, serta zona keselamatan yang ditetapkan dengan
pertimbangan tidak mengganggu alur laut untuk pelayaraninternasional;
 Melakukan pemeliharaan dan perawatan pulau buatan, instalasi, dan/atau
bangunan;
 Melakukan pembongkaran instalasi dan bangunan yang sudah tidak terpakai
dengan memperhatikan keselamatan pelayaran, penangkapan ikan, lingkungan
laut, dan hak Negara lain;
 Menentukan jumlah tangkapan sumber daya hayati yang diperbolehkan dalam zona
ekonomi eksklusifnya;
 Bekerja sama dengan organisasi internasional berwenang (subregional, regional
maupun global) yang bertujuan untuk pemeliharaan sumber kekayaan hayati di
zona ekonomi eksklusif.

Negara yang berada di luar wilayah zona ini memiliki hak-hak sebagai berikut:

(1) Kebebasan berlayar dan terbang;


(2) Hak meletakkan kabel dan pipa-pipa, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum laut tentang Landas Kontinen dan ZEE;
(3) Kebebasan-kebebasan laut lepas yang disebut dalam pasal 88 sampai 115, yang
mencakup berbagai bidang yang ada hubungannya dengan kapal dan pelayaran;
(4) Akses terhadap. surplus perikanan yang tidak dimanfaatkan oleh negara pantai.
 Landas Kontinen (Continental Shelf)
Negara pantai termasuk Indonesia berhak mempunyai landas kontinen di luar laut
wilayahnya throughout the natural prolongation of its land territory to the outer edge
of the continental margin atau sampai 200 mil dan garis-garis pantai (Pasal 76 ayat 1).
Negara pantai harus menetapkan batas terluar dan continental marginnya jika
continental margin tersebut berada di luar batas 200 mil.
Batas terluar dan landas kontinen di continental margin yang terletak di luar 200
mil ditetapkan maksimum 350 mil dan garis pangkal atau 100 mill dan kedalaman air
2500 meter. Batas itu harus ditetapkan dengan garis-garis lurus yang masing-masing
panjangnya tidak boleh lebih dari 60 mil. Batas itu dapat diperiksa oleh suatu
Commission on the Limit of the Continental Shelf yang akan didirikan dan harus
diumumkan dan didepositkan pada Sekjen PBB (Pasal 76 ayat 9).
Berlainan dengan hak negara pantai atas ZEE (yang memungkinkan surplus
perikanan diambil oleh negara lain) hak-hak berdaulat negara pantai atas kekayaan
8
9

alam, landas kontinennya adalah exclusive dan tidak perlu dibagi-bagi dengan negara
lain, kecuali seperti tersebut di bawah, walaupun negara-negara yang bersangkutan
belum memanfaatkannya. Selanjunya dijelaskan, negara pantai harus menyumbangkan
sebagian dan hasil kekayaan alam landas kontinen yang diambilnya di luar batas 20 mil
kepada Badan Otorita Internasional yang akan didirikan. Besarnya sumbangan itu
adalah 1 persen dan produksi mulai tahun ke-6 produksi dan kemudian setiap tahun naik
dengan 1 persen sehingga kontribusi tersebut maksimum menjadi 7 persen mulai tahun
produksi ke-12.

Selain mengatur tentang pengelolaannya, hukum laut yang dihasilkan dari konvensi ini
juga turut bertujuan untuk mencegah dan mengontrol polusi laut, mengkonservasi dan mengelola
sumber daya hidup yang dimiliki laut. Menurut UNCLOS 1982, sumber pencemaran laut berasal
dari:

 pollution from land-based sources


 pollution from seabed activities subject to national jurisdiction
 pollution from activities in the area
 pollution by dumping
 pollution from vessels
 pollution from or through the atmosphere

2.1.2 Deklarasi Juanda


Sebelum adanya Deklarasi Djuanda, wilayah laut Indonesia masih mengacu pada
Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Territoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie
(TZMKO). Dalam peraturan tersebut, ditetapkan wilayah laut Indonesia sejauh tiga mil dari garis
pantai yang mengelilingi pulau. Dengan aturan ini, kapal-kapal asing bebas berlayar di Laut Jawa,
Laut Banda, dan Laut Makassar yang berada di dalam wilayah Republik Indonesia (RI). Deklarasi
Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic
State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut
antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi
Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.
Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi
5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tetapi waktu itu
belum diakui secara internasional. Setelah melalui perjuangan yang panjang, deklarasi ini pada
tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun
1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi

9
10

ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982
bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13
Desember 1957, menyatakan:
1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah
Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan:
 Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan
bulat
 Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara Kepulauan
 Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan
keselamatan NKRI.

2.1.3 Konvensi RAMSAR


Pada tahun 1971, masyarakat internasional berhasil menyepakati Konvensi yang
mengangkat kepedulian terhadap lahan basah. Konvensi Lahan Basah ini bernama
Conventions on Wetlands of International Importance, Especially as Waterfowl Habitat atau
biasa disebut sebagai Konvensi Ramsar. Tujuan utama konvensi ini untuk menghentikan
perambahan dan perusakan lahan basah, yang merupakan ekosistem yang rapuh dan sensitif,
serta keberadaannya sangat tergantung pada cara pemanfaatan dan usaha pelestariannya. Pasal 1
ayat (1) Konvensi Ramsar menentukan definisi lahan basah yang meliputi daerah-daerah rawa,
payau, lahan gambut, dan perairan alami atau buatan; tetap atau sementara; dengan air yang
tergenang atau mengalir, tawar, payau atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang
kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu air surut. Selain itu, ekosistem lahan
basah dapat dikelompokkan menjadi lahan basah alami dan buatan, kemudian
dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu lahan basah perairan/laut (marine and coastal
wetlands), lahan basah daratan (inland wetlands), dan lahan basah buatan manusia (human-
made wetlands). Kawasan lahan basah laut (marine): meliputi kelompok lahan basah yang berair
asin, pesisir dan laguna, termasuk pantai berbatu (rocky shores), terumbu karang dan padang
lamun. Menurut konvensi ini, prinsip yang paling dasar dari pengelolaan lahan basah yaitu wise
use, yang berarti pemanfaatan lahan basah secara bijaksana. Pemanfaatan lahan basah secara
bijak didefinisikan sebagai “pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan dengan
mempertimbangkan faktor keseimbangan antara kebutuhan manusia dan alam, dengan tetap
menjaga kelestarian dari sifat alami ekosistem lahan basah”.

10
11

Indonesia meratifikasi Konvensi Ramsar berdasarkan Keputusan Presiden


(Keppres) Nomor 48 Tahun 1991. Pengelolaan lahan basah mengacu pada Strategi
Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah yang disusun berdasarkan lima pilar,
yaitu Konservasi, Rehabilitasi, dan Pemanfaatan yang Bijaksana; Azas Manfaat dan
Prioritas; Berbasis Masyarakat; Pengelolaan Secara Terpadu; dan Tata Laksana yang Baik (Good
Governance). Substansi Konvensi Ramsar telah dicakup dalam beberapa peraturan yang
mendasarkan pada konsep ilmiah yakni konservasi ekosistem alami termasuk lahan basah.46
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan
Ekosistemnya47 serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup48secara kontekstual berbicara keseluruhan ekosistem lahan
basah yang penting untuk dilindungi. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang yang mengelompokkan kawasan lindung menjadi kawasan suaka alam
dan kawasan pelestarian alam, cagar budaya, dan kawasan lindung lainnya, seperti taman
buru, cagar biosfer, kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa, dan
terumbu karang. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Rencana
Tata Ruang Pulau Kalimantan, memberikan pengelompokkan yang sama terhadap kawasan
lindung lainnya, yakni Ramsar, cagar biosfer, taman buru, terumbu karang, dan koridor
ekosistem. Di Indonesia sendiri terdapat 7 situs Ramsar yang tersebar di seluruh pulau di
Indonesia yaitu:
1. Berbak National Park,
2. Sembilang National Park
3. Rambut Island Wildlife Reserve,
4. Sentarum Lake National Park
5. Tanjung Puting National Park,
6. Rawa Aopa Watumohai National Park,
7. Wasur National Park.

11
12

2.1.4 Agenda 21 Chapter 17


Ketentuan mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan laut (integrated coastal
management) dari hasil United Nations Conference on Environment and Development (UNCED)
di Rio de Janeiro tahun 1992, terdapat dalam Agenda 21 Chapter 17. Agenda 21 Chapter 17 ini
berisi 7 program utama yaitu:
(a) Integrated management and sustain- able development of coastal areas, in- cluding
exclusive economic zones;
(b) Marine environmental protection;
(c) Sustainable use and conservation of marine living resources of the high seas;
(d) Sustainable use and conservation of marine living resources under national jurisdiction;
(e) Addressing critical uncertainties for the management of marine environment and climate
change;
(f) Strengthening international, including regional cooperation and coordination;
(g) Sustainable development of small islands.
Kebutuhan akan perlunya pengaturan mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan laut di
Indonesia muncul setelah dituang- kannya Agenda 21 Global dalam Agenda 21 Indonesia Tahun
1996. Disadari bahwa wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki makna yang penting bagi
pembangunan ekonomi, tetapi disisi lain wilayah pesisir dan laut juga menyimpan sejumlah
persoalan yang terkait dengan ekologi, sosial-ekonomi, serta kelembagaan. Pengelolaan

12
13

sumberdaya pesisir dan laut dalam penataan ruang dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi
lingkungan strategik, yang terkait dengan lingkungan global, regional dan nasional suatu negara.
Berdasarkan Agenda 21 Chapter 17 Program (a), Pengelolaan wilayah pesisir dan laut
bertumpu pada prinsip-prinsip dalam integrated coastal management, dan dirumuskan dalam
suatu bentuk aturan hukum. Untuk itulah bentuk/formulasi aturan hukum pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut harus berdasarkan pada prinsip Good Ocean Governance.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil (selanjutnya disebut PWP-PK) harus menjadi acuan bagi pembentukan perangkat hukum
pelaksa- naan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang terintegrasi, baik dalam kebijakan,
maupun pengaturan dan kelembagaan. Program integrated coastal management terdiri atas 4
(empat) elemen hierarkhi perencanaan, yaitu rencana strategi, rencana zonasi, rencana
pengelolaan, dan rencana aksi. Negara-negara (57 negara) yang telah menerapkan integrated
coastal management untuk mengatasi situasi-situasi khusus di negaranya terus bertambah. Salah
satu elemen penting dalam program integrated coastal management adalah penyusunan suatu
rencana zonasi yang mengacu pada penetapan daerah administratif. Penetapan daerah
administratif untuk zonasi wilayah pesisir dan laut selain mengacu pada Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2007 tentang PWP-PK juga memperhatikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2004 tentang Penataan
Ruang.

2.1.5 Jakarta Mandate 1995


Jakarta Mandate adalah konsensus global tentang pentingnya keanekaragaman hayati laut
dan pesisir. Ini adalah bagian dari Ministerial Statement at the COP (The Conference of the
Parties) di Jakarta pada tahun 1995 tentang implementasi Konvensi Keanekaragaman Hayati.
Program kerjanya diadopsi pada pertemuan COP di Bratislava pada tahun 1998. Hasil konsensus
ini dikampanyekan berdasarkan 6 prinsip dasar yaitu:
• The ecosystem approach;
• The precautionary principle;
• The importance of science;
• That full use should be made of the roster of experts;
• The involvement of local and indigenous communities (traditional knowledge); and
• Three levels – national, regional and global – of programme implementation
Dengan prinsip-prinsip tersebut, negara negara yang mengikuti Jakarta Mandate
merumuskan 5 program elemen kunci yaitu:
• Integrated marine and coastal area management (IMCAM);
• Marine and coastal living resources (MCLR);
13
14

• Marine and coastal protected areas (MCPA);


• Mariculture;
• Alien species and genotypes
Hasil Jakarta Mandate 1995 atau biasa dikenal dengan Coastal Biological Diversity telah
diratifikasi Indonesia, yang disahkan dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1994.

2.1.6 Hukum Internasional yang mengatur Pelayaran


Hukum internasional yang mengatur tentang teknis pelaksanaan pelayaran negara diatur
oleh IMO (International Maritime Organization). IMO merupakan badan khusus PBB yang
bertanggungjawab untuk keselamatan dan keamanan aktivitas pelayaran dan pencegahan polusi
di laut oleh kapal. Selain itu, IMO juga memastikan kapal-kapal yang berlayar sesuai dengan
standar sehingga tidak merusak ekosistem laut yang dilewatinya. Dalam Konvensi Hukum Laut
(UNCLOS), lahir pula kebijakan-kebijakan yang mengatur perihal hak-hak berlayar bagi negara-
negara anggotanya. Hak-hak tersebut diantaranya Hak Lintas Damai, Hak Lintas Transit, dan Hak
Lintas Alur Kepulauan.
a. Hak Lintas Damai
Hak lintas damai dimiliki oleh setiap negara yang menandatangani Konvesi Hukum Laut
1982. Hak lintas damai ini berlaku ketika kapan negara asing melintasi wilayah laut
territorial suatu negara dengan ketentuan tidak melakukan tindakan lintas tidak damai.
Hak ini muncul karena adanya kepentingan antar negara dimana dibutuhkannya
perdagangan, perhubungan dan komunikasi. Peraturan mengenai hak lintas damai ini
diratifikasi oleh Indonesia dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 tentang Hak
Dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan
Indonesia
b. Hak Lintas Transit
Pasal 42 konvensi dan Bab III UU 1996 mengenai hak lintas transit memperkenankan
negara-negara tepi untuk membuat peraturan perundangundangan mengenai lintas transit
melalui selat-selat bertalian dengan keselamatan pelayaran, pencegahan polusi,
pengaturan penangkapan ikan dan lain-lainnya. Pada perairan Indonesia hanya dapat
diterapkan pada Selat Malaka-Singapura karena selat ini merupakan satu-satunya selat
yang terketak di perairan Indonesia yang memenuhi kategori. Faktor utama yang
menentukan adalah kedudukan selat sebagai perairan yang menghubungkan satu bagian
dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dengan bagian lain dari laut lepas atau zona
ekonomi eksklusif.
c. Hak Lintas Alur Kepulauan

14
15

Dalam Pasal 53 Konvensi Hukum Laut 1982, telah diatur ketentuan ketentuan hak lintas
alur kepulauan yang kemudian diratifikasi menjadi Pasal 19 Undang-undang No. 6 Tahun
1996. Undang-Undang tersebut kemudian dilengkapi oleh Peraturan Pemerintah N0. 37
Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam
Melaksanakan Hak Lintas Alur Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang
Ditetapkan.

2.1.7 Studi Kasus Kapal China di Laut Natuna

Kapal perikanan dan Coast Guard China memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Indonesia di Natuna, Kepulauan Riau. Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menyatakan
kegiatan kapal China menangkap ikan di wilayah ZEE Indonesia sebagai pelanggaran hukum.
Untuk diketahui, Indonesia berpijak pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang
Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Pada 2016,

15
16

pengadilan internasional tentang Laut China Selatan menyatakan klaim 9 Garis Putus-putus
sebagai batas teritorial laut Negeri Tirai Bambu itu tidak mempunyai dasar historis.
Pemerintah Indonesia, berdasarkan pasal 73 ayat 1 UNCLOS, dalam rangka melindungi
hak berdaulatnya atas sumber daya ikan di Laut Natuna Utara berhak untuk mengambil tindakan
yang diperlukan, termasuk melakukan penangkapan kapal-kapal dimaksud dan menindaklanjuti
dengan langkah-langkah penegakan hukum. Penegakan hukum ini didasarkan terhadap pasal-
pasal perjanjian internasional yang telah dilanggar yaitu:
• Pada pasal 56 ayat (1) huruf a Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations
Convention on the Law of the Sea/UNCLOS), secara tegas disebutkan bahwa:
"In the exclusive economic zone, the coastal State has: sovereign rights for the purpose
of exploring and exploiting, conserving and managing the natural resources, whether
living or non-living, of the waters superjacent to the seabed and of the seabed and its
subsoil, and with regard to other activities for the economic exploitation and exploration
of the zone, such as the production of energy from the water, currents and winds;"
• Laut Natuna Utara adalah wilayah laut yang merupakan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) karena masuk dalam rentang jarak 200 nautical miles dari garis dasar
(baseline) sebagaimana dimaksud pada pasal 57 UNCLOS, sehingga Indonesia memiliki
hak berdaulat (sovereign rights) terhadap sumber daya alam di Laut Natuna Utara
sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 56 ayat (1) huruf a di atas.
• Indonesia telah menandatangani UNCLOS pada tanggal 10 Desember 1982 dan
meratifikasinya tanggal 3 Februari 1986. Tiongkok juga telah menandatangani UNCLOS
pada tanggal 10 Desember 1982 dan meratifikasinya pada tanggal 7 Juni 1996. Oleh
karena itu, baik Indonesia dan Tiongkok terikat pada ketentuan UNCLOS yaitu Indonesia
secara mutlak memiliki sovereign rights di Laut Natuna Utara.
• Mengenai klaim 'nine-dash line' oleh pemerintah Tiongkok yang didasarkan pada sejarah
perikanan, the Permanent Court of Arbitration pada sengketa Filipina vs. China telah
menyatakan bahwa, "... China's claims to historic rights, or other sovereign rights or
jurisdiction, with respect to the maritime areas of the South China Sea encompassed by
the relevant part of the 'nine-dash line' are contrary to the Convention and without lawful
effect to the extent that they exceed the geographic and substantive limits of China's
maritime entitlements under the Convention. The Tribunal concludes that the Convention
superseded any historic rights or other sovereign rights or jurisdiction in excess of the
limits imposed therein" (Paragraf 278 PCA Award 12 Juli 2016). Pernyataan tersebut
didasarkan pada berbagai pertimbangan antara lain:

16
17

 Klaim historic rights sahih saat hak yang dimaksud adalah hak selain dari yang
diperbolehkan menurut freedom of the high seas. Intensnya kegiatan pelayaran dan
perikanan oleh China di South China Sea dapat terjadi memang karena hak tersebut
adalah hak segala bangsa dibawah konsep freedom of the high seas sehingga tidak dapat
dijadikan dasar untuk mengklaim secara ekslusif historic rights (Paragraf 269 & 270 PCA
Award 2016).
 Selain itu, sebuah negara harus dapat mengajukan bukti-bukti yang kuat untuk dapat
mengklaim historic rights. Bukti-butki tersebut harus memenuhi 3 (tiga) unsur: (i) bahwa
hak dimaksud telah dinikmati/dilaksanakan secara lama dan terus menerus; (ii) bahwa
selama pelaksanaan hak oleh negara tersebut, ia juga melarang dan mencegah negara lain
untuk menikmati hak dimaksud; dan (iii) negara lain menerima/setuju dengan larangan
dan cegahan tersebut (Paragraf 270 & 275 PCA Award 2016). Pada faktanya, banyak
negara yang melakukan kegiatan pelayaran dan perikanan di Laut China Selatan dan juga
banyak negara memberikan keberatan atas klaim 'nine-dash line'.
1. Klaim 'nine-dash line' tidak sesuai dengan UNCLOS karena jauh melebihi batas
zona maritime yang telah diatur (Paragraf 261 PCA Award 2016).
2. Dengan meratifikasi UNCLOS, hak-hak negara Tiongkok yang mungkin pernah
mereka miliki di masa lampau dikesampingkan (Paragraf 262 PCA Award 2016).
3. Dengan meratifikasi UNCLOS, Tiongkok melepas freedom of the high seas yang
dulu dapat mereka nikmati (sebelum lahirnya UNCLOS) karena wilayah tersebut
menjadi Zona Ekonomi Eksklusif negara lain (Paragraf 271 PCA Award 2016).
• Berdasarkan poin 1, 2, 3, dan 4 tersebut di atas, hak berdaulat Indonesia di Laut Natuna
Utara yang merupakan ZEEI adalah mutlak dan tidak terbantahkan.
• Di dalam ZEEI, negara lain tetap memiliki hak namun hanya untuk beberapa hal antara
lain hak untuk melintas (freedom of navigation), penerbangan, membentangkan kabel
bawah laut dan pipa serta hak lainnya yang sesuai dengan UNCLOS (Pasal 58 ayat (1) jo.
Pasal 87 UNCLOS). Penting untuk dicatat bahwa negara lain dimaksud dalam
melaksanakan haknya wajib untuk menghormati Indonesia yang memiliki yurisdiksi di
ZEEI (Pasal 58 ayat (3) UNCLOS).
• Khusus mengenai perikanan, berdasarkan UNCLOS akses negara lain terhadap stok ikan
di ZEEI hanya dapat terjadi melalui 2 (dua) hal, yaitu traditional fishing right serta adanya
surplus allowable catch. Mengenai traditional fishing right telah dijelaskan pada poin 1-
5 di atas sehingga tidak akan dijelaskan ulang.
• Berdasarkan Pasal 62 UNCLOS, surplus allowable catch hanya dapat diberikan kepada
negara lain jika memenuhi beberapa syarat, yaitu: (i) Indonesia tidak memiliki kapasitas
17
18

untuk menangkap seluruh allowable catch; (ii) akses terhadap surplus tersebut
dirumuskan dalam sebuah perjanjian; (iii) surplus ditujukan pertama-tama kepada land-
locked States dan/atau geographically disadvantaged States; (iv) sebelum membuat
perjanjian, Indonesia perlu terlebih dahulu mempertimbangkan all relevant factors
termasuk: a) signifikansi stok ikan yang akan dibuka aksesnya tersebut kepada
perekonomian masyarakat dan kepentingan nasional lainnya, serta b) kebutuhan untuk
meminimalkan kesenjangan ekonomi.
• Saat kapal-kapal berbendera Tiongkok melakukan penangkapan ikan di Laut Natuna
Utara, keseluruhan syarat tersebut di atas jelas tidak dipenuhi. Dengan demikian, kegiatan
penangkapan ikan oleh kapal perikanan berbendera Tiongkok di wilayah ZEEI jelas
merupakan pelanggaran hukum.
• Pemerintah Indonesia, berdasarkan pasal 73 ayat 1 UNCLOS, dalam rangka melindungi
hak berdaulatnya atas sumber daya ikan di Laut Natuna Utara berhak untuk mengambil
tindakan yang diperlukan, termasuk melakukan penangkapan kapal-kapal dimaksud dan
menindaklanjuti dengan langkah-langkah penegakan hukum.

2.2 Peraturan dan Perundangan


Wilayah pantai Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
yang sangat penting untuk dikembangkan (ekosistem pantai). Guna menjamin keberlanjutan
dari sumber daya tersebut, pengelolaannya harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta
memberikan manfaat yang besar kepada semua stakeholders terutama masyarakat pesisir.
Ruang lingkup pengaelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K) meliputi daerah
peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut,
ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan arah ke laut sejauh 12 (dua belas)
mil laut diukur dari garis pantai. Ancaman terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di
Indonesia sangat tinggi dengan sebaran wilayah yang sangat luas. Dalam menjawab
kekhawatiran dari berbagai pihak mengenai ancaman yang akan datang baik dari negeri kita
sendiri maupun dari pihak luar maka diperlukan sebuah landasan Hukum dan Perundang-
undangan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan Wilayah Pesisir. Sehingga dengan
adanya sebuah landasan hukum, masyarakat akan mengerti bagaimana cara mengeksplorasi,
eksplotasi dan melakukan kegiatan di wilayah pesisir serta laut dengan bijak.

Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dulunya belum mendapat perhatian dalam
penyusunan peraturan dan perundangan yang berarti karena pembangunan nasional di waktu
lampau lebih berorientasi ke darat, seperti UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah
18
19

tidak mempertimbangkan tentang pengelolaan pesisir, UU No. 9 Tahun 1985 tentang


Perikanan serta UU No. 24 Tahun 1992 yang mana pada akhirnya diamandemen untuk
mengakomodasi kebutuhan tentang pengelolaan wilayah pesisir. Selain itu aspek hukum
pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil kurang memperhatikan keberadaan masyarakat adat
yang mendiami kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil padahal selama ini mereka dengan hak
ulayat laut-nya melakukan penguasaan dan pengelolaan atas kawasan tersebut. Perundangan
tentang kawasan pesisir saat ini sangat dibutuhkan mengingat kawasan pesisir merupakan
salah satu jenis ruang publik, selain itu perundangan juga diperlukan untuk menghindari
terjadinya tragedi kepemilikan bersama atau yang sering dikenal dengan “tragedy of the
common”. Dewasa ini peraturan yang mengatur mengenai WP3K masih menjadi topik hangat
diperbincangkan di seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia. Karena Undang Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah mengamanatkan untuk dibuatnya
peraturan daerah terkait rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K).
Yang selanjutnya pada terbitan draf Undang-undang Cipta Kerja menyebutkan bahwa
RZWP3K menjadi salah satu syarat dalam penyusunan Perizinan Berusaha yang diberikan
oleh pemerintah pusat dalam membangun ekosistem investasi dan pembangunan yang lebih
ideal.

Berikut beberapa Perundangan yang ada di Indonesia yang terbagi menjadi 2 periode,
yakni periode sebelum otonomi dan periode setelah diberlakukannya otonomi.

2.2.1 PERIODE SEBELUM OTONOMI


1. Undang-undang Nomor 4 Prp Tahun 1960, tentang perairan Indonesia

Undang-undang ini berisi tentang batas laut territorial Indonesia sejauh 12 mil yang
garis luarnya diukur tegak lurus atau garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri
dari garis‐garis lurus yang menghubungkan titik‐titik terluar pada garis air rendah
daripada pulau‐pulau atau bagian pulau‐pulau yang terluar wilayah Indonesia

2. UU No. 1 Tahun 1973, tentang landas kontinen Indonesia

Undang-undang ini berisi tentang Landas Kontingen Indonesia dimana adalah dasar
laut dan tanah dibawahnya diluar perairan wilayah Republik Indonesia sampai

19
20

kedalaman 200 meter atau lebih dimana Indonesia memiliki hak mengelola sumber
dayanya baik untuk dikelola, eksploitasi, maupun eksplorasi.

3. UU No. 5 Tahun 1983, tentang zona ekonomi eksklusif

Undang-undang ini berisi tentang penetapan zona ekonomi eksklusif Indonesia


memiliki batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.

4. UU No. 5 Tahun 1990 UU No. 5 Tahun 1990 berisi tentang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistem. RUU Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya alam Hayati dan Ekosistem (Dalam
Pembahasan: Pembicaraan Tingkat I)

5. UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang

Undang-undang ini berisi tentang penataan ruang meliputi ruang daratan, juga
mencakup ruang lautan dan ruang udaradilakukan secara terpadu dan tidak dipisah-
pisahkan diatur secara terpusat dengan undang-undang

Peraturan perundang-undangan periode sebelum otonomi belum teralu terfokus


pada perencanaan wilayah pesisir secara spesifik. Perundangan sebelum otonomi masih
difokuskan oleh Pemerintah Pusat dalam pengembangan sectoral yang tidak
mempertimbangkan aspirasi banyak pihak. Fokus utama pada perundangan sebelum
otonomi masih berorientasi pada penggunaan/pemanfaatan sumber daya yang ada yang
seringkali tidak memperhatikan dampak pada masyarakat lokal.

2.2.2 PERIODE SETELAH OTONOMI


Perundangan mengenai kawasan pesisir di Indonesia setelah otonomi terbagi menjadi
beberapa jenis yaitu:

1. Perundangan berdasarkan otoritas pemerintah lokal

• UU 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang ini mengatur


tentang Provinsi mempunyai wilayah 12 mil diukur dari garis pantai, dan
Kab/Kota adalah 1/3-nya.

• UU No. 23 Tahun 2014, tentang Pemerintah Daerah (Revisi dari UU No. 32


Tahun 2004 yang muncul sebagai revisi dari UU No. 25 Tahun 2000)``

20
21

Terdapat penjelasan mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalam


melakukan Penataan dan pengelolaan perairan di wilayahnya. Selain itu juga
memiliki kewenangan untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut kewenangannya. Berwenang
untuk melakukan konservasi dan pengelolaan plasma nutfah spesifik lokasi serta
suaka perikanan di wilayah laut kewenangannya. Berwenang emberi pelayanan
izin usaha pembudidayaan dan penangkapan ikan pada perairan laut di wilayah
laut kewenangannya serta melakukaknn pengawasan pemanfaatan sumber daya
ikan di wilayah laut kewenangannya. Selain itu juga dalam undang- undang ini
ditentukan wilayah untuk untuk penghitungan bagi hasil kelautan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi yang berada dalam batas
wilayah 4 (empat) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah
perairan kepulauan.

• Keputusan Presiden No. 78 Tahun 2005, tentang pengelolaan pulau-pulau kecil


terluar

Kepres ini berisikan tentang tujuan untuk menjaga dan mengelola pulau-pulau
terluar dengan tujuan untuk menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta
menciptakan stabilitas kawasan selain itu juga untuk memanfaatkan sumber daya
alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan serta memberdayakan
masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.

2. Perundangan sektoral

Peranan yang optimal dari pemerintah dan pemerintah daerah dalam


memakmurkan sektor kelautan dan perikanan sangat dibutuhkan untuk realisasi visi
Indonesia sebagai poros maritim dunia. Pemanfaatan kelautan dan peningkatan
produksi perikanan di daerah pada dasarnya akan sangat tergantung dengan
kebijakan dan program-program yang ditetapkan pula oleh Pemerintah Pusat.
Berikut perundangan sektoral yang mengatur tentang wilayah pesisir.

• Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004, tentang sumber daya air

21
22

Undang undang ini berisi tentang ketetapan bahwa sumber daya air dikuasai
oleh negara dan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat.
UU ini masih mengadopsi sistem dekonsentrasi karena masih berisikan
tentang otoritas tiap tingkat pemerintah.

• Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 2001, tentang kepelabuhan

PP ini mengatur tentang daerah lingkungan kerja dan lingkungan


kepentingan untuk Pelabuhan. Di dalam daerah lingkungan kerja pelabuhan
umum, penyelenggara pelabuhan mempunyai kewajiban :

Di daerah lingkungan kerja daratan pelabuhan :

 memasang tanda batas sesuai dengan batas-batas daerah lingkungan


kerja daratan yang telah ditetapkan;

 memasang papan pengumuman yang memuat informasi mengenai


batas-batas daerah lingkungan kerja daratan pelabuhan;

 melaksanakan pengamanan terhadap asset yang dimiliki;

 menjaga kelestarian lingkungan.

Di daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan:

 memasang tanda batas sesuai dengan batas-batas daerah lingkungan


kerja perairan yang telah ditetapkan;
 menginformasikan mengenai batas-batas daerah lingkungan kerja
perairan pelabuhan kepada pelaku kegiatan kepelabuhanan;
 menyediakan sarana bantu navigasi pelayaran;
 menyediakan dan memelihara kolam pelabuhan dan alur pelayaran;
 memelihara kelestarian lingkungan;
 melaksanakan pengamanan terhadap asset yang dimiliki berupa fasilitas
pelabuhan diperairan.

Di dalam daerah lingkungan kepentingan pelabuhan umum:

22
23

 menyediakan sarana bantu navigasi pelayaran;


 menjamin keamanan dan ketertiban;
 menyediakan dan memelihara alur pelayaran;
 memelihara kelestarian lingkungan;
 melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap penggunaan
daerah pantai.
• Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 16/ Men/2006, tentang
pelabuhan perikanan

Dalam kepmen ini menekankan pada perencanaan, pembangunan,


operasionalisasi, pengelolaan, serta komersialisasi pelabuhan perikanan
dimana Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan
yang dibangun dengan memenuhi syarat.

• PP No. 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau


perusakan laut

PP ini berisikan tentang perlindungan mutu laut meliputi upaya atau


kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut bertujuan
untuk mencegah atau mengurangi turunnya mutu laut dan/atau rusaknya
sumber daya laut yang otoritasnya diberikan kepada Menteri dan bukan
kepada kepala daerah. Dalam hal PP ini setiap orang atau penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau
perusakan laut

• Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 34/ PERMEN-KP/2014

Peraturan Menteri ini berisikan Prinsip perencanaan pengelolaan wilayah


pesisir dan pulau-pulau kecil, jenis-jenis dan tingkatan perencanaan
kawasan pesisir serta menjabarkan pengalokasian ruang yang menjadi
acuan Pedoman Dokumen Perencanaan.

• UU No 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan

23
24

Undang-undang ini berisi tentang pengelolaan ruang laut meliputi


perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian.

• Peraturan Menteru Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor


23/Permen-KP/2016, tentang perencanaan pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil

3. Perundangan habitat mangrove.

• UU No. 27 Tahun 1991, tentang rawa

Undang-undang ini berisikan tentang penyelenggaraan konservasi rawa yang


meliputi perlindungan, pengawetan secara lestari dan pemanfaatan rawa sebagai
ekosistem sumber air. Didalam undang-undang ini dibahas pula mengenai
reklamasi yang dapat dilakukan jika kegiatan tersebut memberikan manfaat yang
luas bagi kawasan lahan basah.
• UU No. 5 Tahun 2000, tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan di Lahan
Basah (AMDAL)

• UU No. 27 Tahun 2007, tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

Undang-undang ini menyebutkan bahwa wilayah pesisir adalah daerah peralihan


antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber
daya non hayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya
hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut
lainnya; sumber daya non hayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber
daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan
perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut
tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi
gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil yang dimaksud dalam undang-undang ini diantaranya meliputi
kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap
interaksi manusia dalam memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau
kecil. Dalam hal undang-undang ini pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau

24
25

kecil yang dimaksud wajib dilakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan


meliputi:

a. antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah;

b. antar-Pemerintah Daerah;

c. antarsektor;

d. antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat;

e. antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan

f. antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.

Undang-undang ini berisi:

 Ruang Lingkup UU WP3K


a. Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut
yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
b. Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2000
km2 beserta kesatuan ekosistem.
c. Ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil
(“WP3K”) meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut
yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat
mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12
(dua belas) mil laut diukur dari garis pantai.
 Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk Hak Pengusahaan
Perairan Pesisir (“HP-3”) meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan
kolom air sampai dengan permukaan dasar laut. HP-3 diberikan kepada pihak
– pihak dalam bentuk sertifikat HP-3, yaitu sebagai berikut:
a. Orang perseorangan warga negara Indonesia.
b. Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia.
c. Masyarakat adat.
Untuk mendapatkan HP-3, para pemohon HP-3 wajib untuk memenuhi 3
(tiga) persyaratan, antara lain:
25
26

a. Persyaratan teknis:
b. Administratif:
c. Operasional:

HP-3 tidak dapat diberikan pada Kawasan Konservasi, suaka perikanan, alur
pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum. Jangka waktu HP-3 adalah
20 (dua puluh) tahun dimana dapat diperpanjang sebanyak 2 (dua) kali melalui
2 (dua) tahap masing – masing tahap perpanjangan berjangka waktu 20 (dua
puluh) tahun. HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang
dengan dibebankan hak tanggungan. Pihak – pihak yang mempunyai
wewenang berdasarkan UU WP3K sebagai berikut :

a. Menteri berwenang memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir lintas


provinsi dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu.
b. Gubernur berwenang memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir
sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut
lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, dan Perairan Pesisir lintas
kabupaten/kota.
c. Bupati/walikota berwenang memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir
1/3 (satu pertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.

Pemanfaatan pulau – pulau kecil dan perairan diprioritaskan untuk kepentingan


sebagai berikut:

a. Konservasi.
b. Pendidikan dan pelatihan.
c. Penelitian dan pengembangan.
d. Budidaya laut.
e. Pariwisata.
f. Usaha perikanan kelautan dan industri perikanan secara lestari.
g. Pertanian organik.
h. Peternakan.
 Larangan

26
27

UU WP3K melarang setiap orang secara langsung atau tidak langsung


melakukan kegiatan yang dapat merusak WP3K seperti menambang terumbu
karang atau mengambilnya dari kawasan konservasi, kegiatan – kegiatan
yang dapat merusak mangrove di WP3K, dan lain – lain.
 Pengawasan dan Penelitian
Pengawasan dan pengendalian WP3 dilakukan oleh pegawai negeri sipil yang
berwenang di bidang pengelolaan WP3K sesuai dengan sifat pekerjaaannya
dan dengan wewenang kepolisian khusus. Pengawasan dengan wewenang
kepolisan khusus adalah pengawasan yang dengan melakukan kegiatan
patroli dan tugas polisional lainnya di luar tugas penyidikan.
 Penelitian dan Pengembangan
Dalam rangka meningkatkan kualitas perencanaan dan implementasi
Pengelolaan WP3K, Pemerintah melakukan penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengembangan sumber daya manusia.
Setiap orang asing yang melakukan penelitian di WP3K wajib terlebih dahulu
memperoleh izin dari Pemerintah dan harus mengikutsertakan peneliti
Indonesia. Kemudian hasil dari penelitian tersebut harus diserahkan kepada
pemerintah.
 Penyelesaian Sengketa
a. Penyelesaian sengketa dalam pengelolaan WP3K dapat dilakukan
melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Terhadap penyelesaian
sengketa di luar pengadilan tidak berlaku untuk tindak pidana
pengelolaan WP3K dimana dalam hal penyelesaiannya dapat
mengunakan pihak ketiga untuk membantu penyelesaian sengketa. Hasil
kesepakatan penyelesaian harus dibuat secara tertulis dan mengikat para
pihak.
b. Terhadap penyelesaian sengketa melalui pengadilan, apabila sudah ada
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, pengadilan
membebankan kewajiban kepada setiap orang dan/atau penanggung
untuk melakukan dan membayar biaya untuk rehabilitasi dan pemulihan
kondisi WP3K. Selain itu, hakim dapat menetapkan sita jaminan dan
uang paksa apabila keterlambatan pembayaran rehabilitasi dan
27
28

pemulihan kondisi WP3K. Masyarakat atau organisasi kemasyarakatan


(“Ormas”) dapat mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan.
 Sanksi Administratif dan Ketentuan Pidana
UU WP3K mengatur sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan
sementara, denda administratif, dan/atau pencabutan HP-3 apabila telah
melanggar mengenai persyaratan HP-3. Pengelolaan WP3K yang tidak sesuai
dengan dokumen perencanaan, maka pemerintah dapat melakukan
pembekuan sementara bantuan melalui akreditasi dan/atau pencabutan tetap
akreditasi program. Selain sanksi administratif, UU WP3K mempunyai
ketentuan pidana berupa pidana penjara dan denda. Ancaman pidana penjara
paling lambat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun, dan pidana
denda paling sedikit Rp 2.000.0000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling
banyak Rp 10.000.0000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) bagi setiap orang
perorangan dan/atau badan hukum (“Orang”) yang dengan sengaja
melakukan:
1. Kegiatan menambang terumbu karang, mengambil terumbu karang di
kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak dan bahan beracun
dan/atau cara lain yang dapat merusak ekosistem terumbu karang.
2. Menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove,
konversi ekosistem mangrove, menebang pohon mangrove untuk
kegiatan perindustrian dan pemukiman dan/atau kegiatan lain yang
dilarang dalam UU WP3K.
3. Mengunakan cara dan metode yang merusak padang lamun.
4. Penambangan minyak dan gas yang dilarang dalam UU WP3K.
5. Penambangan mineral yang dilarang dalam UU WP3K.
6. Pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan dan/atau merugikan
masyarakat.
7. Tidak melaksanakan mitigasi bencana WP3K yang diakibatkan oleh
alam dan/atau Orang sehingga mengakibatkan bencana, atau dengan
sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan kerentanan bencana.

28
29

• UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Perubahan signifikan dari UU 27 Tahun 2007terdapat pada Bab V Bagian Kesatu


yaitu dirubahnya HP-3 yang digunakan untuk pemanfaatan perairan pesisir
dengan menggunakan izin lokasi sehingga semua ketentuan mengenai HP-3 pada
undang-undang ini diganti dengan izin lokasi. Terdapat perubahan mengenai
pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya ditambahkan
pemanfaatan untuk pertahanan dan keamanan negara.Terdapat ketentuan baru
yaitu untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di
sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri,
Untuk perubahan peruntukan dan fungsi zona inti pada kawasan konservasi untuk
eksploitasi mengalami perubahan yaitu ditetapkan oleh Menteri dengan
didasarkan pada hasil penelitian terpadu serta yang berDampak Penting dan
Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis, harus dengan persetujuan DPR.
Terdapat perubahan mengenai hak masyarakat dalam pengelolalaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil. Terjadi perubahan terhadap kewajiban mendorong
kegiatan usaha Masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah. Terdapat tambahan aturan mengenai Kawasan konservasi di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-
undangan sebelum Undang-Undang 1 tahun 2014 berlaku akan menjadi
kewenangan Menteri.

2.2.3 Pengaruh Undang-undang Cipta Kerja Terhadap Penataan Ruang Pesisir dan Laut
Keberadaan UU Cipta Kerja didesain sebagai Omnibus Law yang dapat
menyeimbangkan antara ketiga tipe umum regulasi yaitu: Pertama, economic regulation,
dimaksudkan untuk memastikan efisiensi pasar, sebagian melalui promosi daya saing
yang memadai di antara para pelaku usaha. Kedua, social regulation, dimaksudkan untuk
mempromosikan internalisasi semua biaya yang relevan oleh aktor. Ketiga,
administrative regulation, yang bertujuan untuk memastikan berfungsinya operasi sektor
publik dan swasta. Dengan mengacu pada Self Regulatings System, pemberian
kewenangan yang tinggi kepada Presiden untuk mengatur regulasi bagi dirinya
sendiri.Secara umum, UU Cipta Kerja sendiri membahas tentang iklim investasi dan
kegiatan berusaha di Indonesia.
29
30

Terdapat poin penting yang dihapus yaitu dibagian penetapan kawasan strategi
provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu juga terdapat penambahan pemberian bantuan dan
pembinaan teknis dokumen rencana dari pemerintah pusat. Selain itu juga terdapat
pergantian isi pasal dengan menghilangkan dekonsentrasi dalam penyelenggaraan ruang
semua beralih ke pemerintah pusat serta hilangnya ketentuan penyebaran informasi
mengenai zonasi dalam rangka pengendalian wilayah nasional. Disini menunjukkan
semakin terbatasnya peran pemerintah daerah dalam perencanaan kawasan. Terjadi
perubahan yaitu penyelenggara penataan ruang berubah dari Menteri menjadi
kewenangan pemerintah pusat. Di UU ini juga menghilangkan wewenang pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang dan harus mengikuti standar pemerintah
pusat.

Dalam hal pentaan tata ruang pesisir dan laut secara umum, penyesuaian yang
dilakukan dalam undang-undang ini adalah merubah istilah Izin Lokasi dan Izin
Pemanfaatan menjadi Perizinan Berusaha. Dengan adanya UU Cipta Kerja akan semakin
memperkuat peran Penataan Ruang, karena Tata Ruang akan membentuk iklim investasi
dan kegiatan berusaha yang ideal, bukan sebaliknya.

2.3 Pedoman dan Teknis Reklamasi


2.3.1 Pengertian Reklamasi
Reklamasi berasal dari kosa kata dalam Bahasa Inggris, to reclaim yang artinya
memperbaiki sesuatu yang rusak. Secara spesifik dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia
Departemen Pendidikan Nasional, disebutkan arti reclaim sebagai menjadikan tanah
(from the sea). Masih dalam kamus yang sama, arti kata reclamation diterjemahkan
sebagai pekerjaan memperoleh tanah. Ada beberapa sumber yang mendefinisikan arti dari
reklamasi yaitu sebagai berikut :

1. Menurut Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir (2005), reklamasi adalah kegiatan


yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan
ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan,
pengeringan lahan atau drainase.

30
31

2. Menurut Undang-Undang No.27 Tahun 2007 pada pasal 1 ayat 23 tentang


Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, mendefinisikan reklamasi
adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat
sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara
pengurugan, pengeringan lahan atau drainase
3. Menurut Perencanaan Kota (2013), reklamasi sendiri mempunyai pengertian yaitu
usaha pengembangan daerah yang tidak atau kurang produktif (seperti rawa, baik
rawa pasang surut maupun rawa pasang surut gambut maupun pantai) menjadi
daerah produktif (perkebunan, pertanian, permukiman, perluasan pelabuhan)
dengan jalan menurunkan muka air genangan dengan membuat kanal – kanal,
membuat tanggul/ polder dan memompa air keluar maupun dengan pengurugan.
4. Berdasarkan Modul Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi (2007)
adalah suatu pekerjaan/usaha memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak
berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan berguna dengan cara
dikeringkan. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut,
di tengah sungai yang lebar, ataupun di danau

Tujuan utama dari reklamasi pantai adalah untuk menambah luasan daratan untuk
suatu aktivitas di suatu daerah atau yang sering disebut dalam ranah perkotaan adalah
sebagai pemerakaran kota. Sebagai contoh pemanfaatan lahan untuk reklamasi adalah
untuk keperluan: industri, terminal peti kemas,kawasan pariwisata, dan kawasan
permukiman. Selain untuk tujuan diatas kegiatan reklamasi ini juga dapat dimanfaatkan
untuk keperluan konservasi wilayah pantai. Kegiatan ini dilakukan bilamana suatu
wilayah sudah tererosi atau terabrasi cukup parah sehingga perlu dikembalikan seperti
kondisi semula, karena lahan tersebut mempunyai arti penting bagi negara.

Tujuan dari adanya reklamasi menurut Modul Terapan Pedoman Perencanaan Tata
Ruang Kawasan Reklamasi Pantai (2007) yaitu untuk menjadikan kawasan berair yang
rusak atau belum termanfaatkan menjadi suatu kawasan baru yang lebih baik dan
bermanfaat. Kawasan daratan baru tersebut dapat dimanfaatkan untuk kawasan
permukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pelabuhan udara, perkotaan, pertanian,
jalur transportasi alternatif, reservoir air tawar di pinggir pantai, kawasan pengelolaan

31
32

limbah dan lingkungan terpadu, dan sebagai tanggul perlindungan daratan lama dari
ancaman abrasi serta untuk menjadi suatu kawasan wisata terpadu.

Namun menurut Perencanaan Kota (2013), tujuan dari reklamasi pantai merupakan
salah satu langkah pengembangan kota. Reklamasi diamalkan oleh negara atau kota-kota
besar yang laju pertumbuhan dan kebutuhan lahannya meningkat demikian pesat tetapi
mengalami kendala dengan semakin menyempitnya lahan daratan (keterbatasan lahan).
Dengan kondisi tersebut, pemekaran kota ke arah daratan sudah tidak memungkinkan
lagi, sehingga diperlukan daratan baru.

Menurut Max Wagiu (2011), tujuan dari program reklamasi ditinjau dari aspek fisik
dan lingkungan yaitu:

1. Untuk mendapatkan kembali tanah yang hilang akibat gelombang laut.


2. Untuk memperoleh tanah baru di kawasan depan garis pantai untuk mendirikan
bangunan yang akan difungsikan sebagai benteng perlindungan garis pantai.

Reklamasi pantai akan berdampak terhadap aktivitas sosial, lingkungan, hukum,


ekonomi, dan bahkan akan memacu pembangunan sarana prasarana pendukung lainya.
Dengan adanya reklamasi, diharapkan kebutuhan akan lahan akan terpenuhi, namun disisi
lain dapat menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh
kegiatan reklamasi misalnya adalah: meningkatkan potensi banjir, pencemaran perairan
pantai pada saat pembangunan, permasalahan perpindahan penduduk dan pembebasan
tanah serta tergusurnya permukiman nelayan dari kawasan pantai, perubahan rencana tata
ruang wilayah (RTRW), rencana detail tata ruang (RDTR). Untuk menghindari dampak
negatif tersebut diatas, maka dalam perencanaan pengembangan kawasan reklamasi,
harus diawali dengan tahapantahapan diantaranya adalah kegiatan konsultasi publik, yaitu
kegiatan untuk menjelaskan maksud dan tujuan kegiatan reklamasi keseluruh stakeholder
atau pemakai kawasan pantai.

Salah satu reklamasi terlama di indonesia adalah reklamasi teluk jakarta. Reklamasi
ini bukan hal baru di Jakarta. Namun konsep reklamasi 17 pulau di pantai Utara yang
direncanakan oleh PemProv Jakarta tidak jarang menuai kontra. Kontra ini banyak
dikemukakan oleh nelayan dan juga aktivis lingkungan hidup. Maka dapat dilihat masih
ada ketidaksepahaman antara pemerintah Pemprov Jakarta, masyarakat, maupun LSM.

32
33

Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui apa itu reklamasi menurut Peraturan
yang ada. Selain itu juga perlu diketahui urgensi dari reklamasi pantai ini, dan yang tidak
lupa pandangan reklamasi pantai dari sudut pandang lingkungan hidup. Dengan
pengetahuan dan informasi yang jelas diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman.

2.3.2 Pedoman Teknis


Pedoman dan teknis pada reklamasi merupakan ketentuan – ketentuan dalam pengadaan
serta pembangunan reklamasi yang mana diperuntukkan bagi perencanaan tata ruang
kawasan reklamasi pantai di perkotaan, khusus nya pantai yang sudah di reklamasi.
Tujuan dari pedoman teknis ini yaitu untuk mewujudkan rencana tata ruang di kawasan
reklamasi pantai agar sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

2.3.2.1 Tipologi Kawasan Reklamasi


Menurut Modul Terapan Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi
Pantai (2007), kawasan reklamasi dibedakan menjadi beberapa tipologi berdasarkan
fungsinya yakni :
1. Kawasan Perumahan dan Permukiman.
2. Kawasan Perdagangan dan Jasa.
3. Kawasan Industri.
4. Kawasan Pariwisata.
5. Kawasan Ruang Terbuka (Publik, RTH Lindung, RTH Binaan, Ruang
Terbuka Tata Air).
6. Kawasan Pelabuhan Laut / Penyeberangan.
7. Kawasan Pelabuhan Udara.
8. Kawasan Mixed-Use.
9. Kawasan Pendidikan.
Selain berdasarkan fungsinya, kawasan reklamasi juga dibagi menjadi beberapa
tipologi berdasarkan luasan dan lingkupnya sebagai berikut :
1 Reklamasi Besar yaitu kawasan reklamasi dengan luasan > 500 Ha dan
mempunyai lingkup pemanfaatan ruang yang sangat banyak dan bervariasi.
Contoh : Kawasan reklamasi Jakarta.

33
34

2 Reklamasi Sedang merupakan kawasan reklamasi dengan luasan 100 sampai


dengan 500 Ha dan lingkup pemanfaatan ruang yang tidak terlalu banyak ( ±
3 – 6 jenis ). Contoh : Kawasan Reklamasi Manado.
3 Reklamasi Kecil merupakan kawasan reklamasi dengan luasan kecil
(dibawah 100 Ha) dan hanya memiliki beberapa variasi pemanfaatan ruang (
hanya 1-3 jenis ruang saja ). Contoh : Kawasan Reklamasi Makasar.

2.3.2.2 Daerah Pelaksanaan Reklamasi


Perencanaan Kota (2013) memaparkan pelaksanaan reklamasi pantai dibedakan
menjadi tiga yaitu:

1. Daerah reklamasi yang menyatu dengan garis pantai semula Kawasan daratan
lama berhubungan langsung dengan daratan baru dan garis pantai yang baru
akan menjadi lebih jauh menjorok ke laut. Penerapan model ini pada kawasan
yang tidak memiliki kawasan dengan penanganan khusus atau kawasan lindung
seperti :
• kawasan permukiman nelayan
• kawasan hutan mangrove
• kawasan hutan pantai
• kawasan perikanan tangkap
• kawasan terumbu karang, padang lamun, biota laut yang dilindungi
• kawasan larangan ( rawan bencana )
• kawasan taman laut

Gambar 1.1 Reklamasi yang menyatu dengan garis pantai semula


Sumber : www.perencanaankota.blogspot.com (2013)

34
35

2. Daerah reklamasi yang terpisah dari daratan


Model ini memisahkan (meng-“enclave”) daratan dengan kawasan daratan
baru, tujuannya yaitu :
• Menjaga keseimbangan tata air yang ada
• Menjaga kelestarian kawasan lindung (mangrove, pantai, hutan pantai,
dll)
• Mencegah terjadinya dampak/ konflik sosial
• Menjaga dan menjauhkan kerusakan kawasan potensial (biota laut,
perikanan,minyak )
• Menghindari kawasan rawan bencana

Gambar 1.2 Reklamasi yang terpisah dari daratan


Sumber : mongabay.co.id

3. Daerah reklamasi gabungan dua bentuk fisik (terpisah dan menyambung


dengan daratan)

Suatu kawasan reklamasi yang menggunakan gabungan dua model


reklamasi. Kawasan reklamasi pada kawasan yang potensial menggunakan

35
36

teknik terpisah dengan daratan dan pada bagian yang tidak memiliki potensi
khusus menggunakan teknik menyambung dengan daratan yang lama.

Gambar 1.3 Reklamasi gabungan dua bentuk fisik


Sumber : perencanaankota.blogspot.com

Dalam pelaksanaan reklamasi juga wajib menjaga dan memperhatikan


keberlanjutan kehidupan masyarakat yang sudah dijelaskan pada Peraturan
Presiden Republik Indonesia nomor 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi di
Wilayah Pesisir Dan Pulau-pulau Kecil, yaitu :

a) memberikan akses kepada masyarakat menuju pantai

b) mempertahankan mata pencaharian penduduk sebagai nelayan,


pembudidaya ikan, dan usaha kelautan dan perikanan lainnya

c) memberikan kompensasi/ganti kerugian kepada masyarakat sekitar yang


terkena dampak reklamasi

d) merelokasi permukiman bagi masyarakat yang berada pada lokasi


reklamasi

e) memberdayakan masyarakat sekitar yang terkena dampak reklamasi

2.3.2.3 Perizinan Reklamasi


Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia No 122 Tahun 2012 Tentang
Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil terdapat beberapa syarat dalam
perizinan pembangunan reklamasi,yaitu :

1. Untuk memperoleh izin pelaksanaan reklamasi, setiap orang wajib terlebih


dahulu mengajukan permohonan kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota.

36
37

2. Menteri memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan
Strategis Nasional Tertentu, kegiatan reklamasi lintas provinsi, dan kegiatan
reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh Pemerintah.
3. Pemberian izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan Strategis
Nasional Tertentu dan kegiatan reklamasi lintas provinsi diberikan setelah
mendapat pertimbangan dari bupati/ walikota dan gubernur.
4. Gubernur dan bupati/walikota memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan
reklamasi dalam wilayah sesuai dengan kewenangannya dan kegiatan
reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah daerah.
Modul Terapan Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai (2007)
juga menerapkan syarat – syarat yang harus dimiliki sebelum melaksanakan reklamasi,
yaitu :

1. Telah sesuai dengan ketentuan rencana kota yang dituangkan dalam RTRW
Provinsi atau Kota/Kabupaten (tergantung posisi strategis dari kawasan
reklamasi) dan RDTR Kawasan Reklamasi, serta dituangkan ke dalam Peta
Lokasi Laut yang akan direklamasi.

2. Ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur dan atau Walikota/Bupati


(tergantung posisi strategis dari kawasan reklamasi) yang berdasarkan pada
tatanan RTRW Provinsi atau Kota/Kabupaten serta RDTR Kawasan Reklamasi

3. Bukan merupakan kawasan yang berbatasan atau dijadikan acuan batas


wilayah dengan daerah/negara lain

4. Sudah ada studi kelayakan tentang pengembangan kawasan reklamasi pantai


atau kajian/kelayakan properti (studi investasi), berada di luar kawasan hutan
bakau yang merupakan bagian dari kawasan lindung atau taman nasional, cagar
alam, dan suaka margasatwa

Memenuhi ketentuan pemanfaatan sebagai kawasan dengan ijin bersyarat


yang diperlukan mengingat pemanfaatan tersebut memiliki dampak yang besar
bagi lingkungan sekitarnya. Persyaratan ini antara lain Penyusunan dokumen
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Penyusunan Upaya

37
38

Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL),


Penyusunan Analisis Dampak Lalu Lintas (ANDALIN), dll

2.3.2.4 Penyusunan Rencana Induk Reklamasi


Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 122 Tahun 2012 Tentang
Reklamasi di Wilayah Pesisir Dan Pulau-pulau Kecil menjelaskan bahwa yang harus
diperhatikan dalam penyusunan rencana induk reklamasi adalah :
• Kajian lingkungan hidup strategis
• Kesesuaian dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(RZWP-3-K) Kabupaten/Kota dan/atau Rencana Tata Provinsi, Ruang Wilayah
(RTRW) Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota
• Sarana prasarana fisik di lahan reklamasi dan di sekitar lahan yang di reklamasi
• akses publik
• fasilitas umum
• kondisi ekosistem pesisir
• kepemilikan dan/atau penguasaan lahan
• pranata sosial
• aktivitas ekonomi
• kependudukan
2.3.2.5 Aspek Ketentuan Reklamasi
Modul Terapan Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai
(2007) sudah menjelaskan bahwa terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan
dalam pembangunan reklamasi seperti aspek sosial,budaya,ekonomi,pergerakan,
aksesibilitas, transportasi,kemudahan publik dan ruang publik.

A. Aspek Sosial, Budaya,Ekonomi


Reklamasi pantai memberi dampak peralihan pada pola kegiatan sosial,
budaya dan ekonomi maupun habitat ruang perairan masyarakat sebelum
direklamasi. Perubahan terjadi harus menyesuaikan:

1. Peralihan fungsi kawasan dan pola ruang kawasan;

2. Perubahan di atas berimplikasi pada perubahan ketersediaan jenis lapangan


kerja baru dan bentuk keragaman/ diversifikasi usaha baru yang ditawarkan.

38
39

Aspek sosial, budaya, wisata, dan ekonomi yang diakumulasi dalam


jaringan sosial, budaya, pariwisata, dan ekonomi kawasan reklamasi pantai
memanfaatkan ruang perairan/pantai

B. Aspek Pergerakan, Transportasi, Aksesibilitas


• Pola pergerakan kendaraan di ruas ruas jalan harus terintegrasi terhadap
kerangka utama /coastal road yang melintasi pantai perairan agar publik dapat
menikmati panorama dan kenyamanan pantai

• Tata ruang kawasan reklamasi pantai harus menyediakan kanal kanal dan atau
ruang perairan lain untuk aksesibilitas dan integrasi antara pusat kawasan dan
sub sub wilayah kota

• Harus mudah diakses dan terintegrasi dengan sistem kota dari prasarana dan
sarana di perairan , darat dan udara

• Pola pergerakan dan transportasi darat dan perairan harus memiliki variasi
integrase dan variasi transportasi berdasarkan konsep “ride and park system”
di beberapa tematik kawasan

• Perencanaan manajemen sistem transportasi dan kelengkapan sarana


penunjang transportasi

C. Aspek Kemudahan Publik dan Ruang Publik


• Tata letak bangunan yang figuratif dan garis ketinggian bangunan yang
berhirarki untuk menjaga kemudahan publik dalam menikmati panorama
ruang pantai

• Keberadaan ruang publik yang dapat diakses, dimanfaatkan , dan dinikmati


secara mudah dan bebas oleh publik tanpa batasan ruang , waktu , dan biaya

• Potensi elemen elemen pantai untuk direpresentasikan kembali melalui


kreativitas proses penggalian , perancangan , dan pengemasan potensi alam /
laut pantai perairan yang signifikan agar tercipta kemudahan dan kenyamanan
publik

• Potensi alam/pantai yang perlu dikembangkan sekaligus dikonservasi,


misalnya pasir, hutan, flora dan fauna air, bakau, tebing/bibir pantai, kontur,
peneduh, langit, dan pemandangan/panorama;

• Perwujudan kenyamanan pada elemen pantai dalam bentuk antara lain:


keheningan suasana, keindahan panorama pantai , kealamiahan desa,
kejernihan riak dan gelombang air pantai, kehijauan bukit & lembah,

39
40

kerimbunan hutan pantai, kebersihan pasir, kebiruan langit, keteduhan di


sekitar pantai

Gambar 1.4 Kemudahan dan Ruang Publik


Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 40/PRT/M/2007
2.3.2.6 Ketentuan Teknis Kawasan Reklamasi
Sebagaimana istilah teknis sendiri merupakan standar atau ketetapan yang sudah
ada sebelum nya. Dalam penentuan teknis pelaksanaan reklamasi perlu adanya
penetapan beberapa aspek seperti struktur ruang kawasan, pola ruang kawasan,
pengelolaan lingkungan,dll yang dijelaskan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No 40/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi
Pantai.

A. Struktur Ruang Kawasan Reklamasi


Perencanaan struktur ruang kawasan reklamasi pantai disusun dengan
memperhatikan:
1. Sumbu-sumbu tata ruang kawasan yang memanfaatkan elemen pantai/
kawasan secara visual maupun konseptual;

2. Struktur ruang kawasan yang melewati di daerah paling tepi dari sekitar batas
bibir pantai dengan daratan harus dipertahankan menjadi wilayah publik yang
dapat dinikmati oleh masyarakat umum dengan mudah dimana wilayah Garis
Sempadan Pantai (GSP) dapat dimanfaatkan seperlunya untuk ruangruang
terbuka;

40
41

3. Pola struktur ruang kawasan yang melewati ruang perairan/pantai dibuat


sealamiah mungkin (linier lurus atau linier lengkung) dengan
mempertahankan morfologi dan elemen-elemen ruang pantai yang ada

B. Pola Ruang Kawasan Reklamasi

Pola ruang kawasan reklamasi pantai disusun dengan memperhatikan:

1. Keseimbangan antara rencana pemanfaatan lahan untuk fungsi budi daya dan
lahan untuk fungsi lindung dengan memperhatikan kelestarian lingkungan
hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan;

2. Keseimbangan komposisi lahan pemanfaatan ruang antara ruang di daratan


dengan perairan/tata biru/pantai;

3. Peruntukan kawasan reklamasi pantai harus dimanfaatkan secara efektif,


menghargai signifikasi ruang perairan, ada kesinergisan pola ruang kawasan
budi daya dengan lingkungan alami di sekitarnya;

4. Pola ruang di sepanjang garis pantai yang merupakan wilayah Garis


Sempadan Pantai (GSP) harus diarahkan menjadi ruang publik (jalan tepian
pantai atau ruang terbuka) yang dapat diakses dan dinikmati publik;

5. Pola ruang kawasan diarahkan untuk mengakumulasi beberapa fungsi


kawasan yang menghargai, menyatu dan memanfaatkan potensi pantai

C. Sarana Prasarana Reklamasi

Jaringan dan sistem infrastruktur/prasarana sarana dasar (PSD) dirancang


mengikuti pola struktur ruang kawasan reklamasi. Rencana Induk Sistem (RIS)
kawasan reklamasi pantai tersebut harus terintegrasi dengan sistem kota.

a. Penyediaan jaringan jalan, jembatan, dan transportasi

Prasarana dan sarana jalan dan transportasi meliputi jaringan jalan dan
jembatan, terminal, dan pelabuhan/dermaga yang dibutuhkan untuk
menunjang aktivitas kawasan. Termasuk dalam perencanaan tersebut adalah

41
42

penyediaan sarana angkutan umum untuk penumpang dan barang. Cara


pengaturan jalan dan transportasi yang harus diperhatikan:

1) Kebutuhan transportasi dan pola pergerakan lalu lintas;

2) Jenis moda dan intensitas yang diperlukan

3) Tingkat pelayanan dan fasilitas pelengkap yang dibutuhkan

b. Penyediaan sistem drainase kawasan meliputi: saluran air hujan, saluran


kolektor, bangunan pengendali banjir, polder, dan stasiun pompa
c. Penyediaan jaringan prasarana pengairan (jaringan air bersih, pemadam
kebakaran, air kotor, dan air baku untuk keperluan kawasan)
d. Penyediaan jaringan prasarana energi untuk menunjang kebutuhan tenaga
listrik kawasan
e. Penyediaan jaringan prasarana telekomunikasi untuk meningkatkan
kemudahan aktivitas kawasan
f. Penyediaan jaringan persampahan

2.3.3 Studi Kasus ( Reklamasi Teluk Jakarta )


Teluk Jakarta merupakan salah satu kawasan strategis di Indonesia yang
mencerminkan Ibukota Indonesia. Wilayahnya meliputi kawasan pantai pesisir
Tangerang, Jakarta, dan Bekasi, yang berada di tiga provinsi yaitu Banten, DKI Jakarta,
dan Jawa Barat. Oleh karena itu pengembangan Teluk Jakarta digolongkan sebagai
pengembangan wilayah khusus yang konsepsi pengembangannya bersifat menyeluruh,
menyangkut kegiatan konservasi, preservasi, dan pengembangan.

Pada mulanya reklamasi Teluk Jakarta dilakukan sebagai upaya mengatasi keterbatasan
lahan Jakarta untuk menampung jumlah penduduk yang terus bertambah. Dasar
hukumnya adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Namun seiring berjalannya proyek
tersebut, tujuan reklamasi bergeser menjadi upaya untuk mengantisipasi banjir Jakarta.
Pergeseran tujuan terjadi seiring dengan pertentangan yang muncul dalam pelaksanaan
proyek reklamasi Teluk Jakarta. Pertentangan reklamasi muncul dengan akar
permasalahan adanya benturan kepentingan antara perlindungan kepentingan lingkungan
hidup dan kehidupan sosial masyarakat jangka panjang melawan kepentingan ekonomi
jangka pendek.

42
43

Pertentangan tersebut sempat mereda ketika Menteri Koordinator bidang


Kemaritiman, Rizal Ramli, berdasarkan kajian Komite Gabungan yang terdiri dari
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
menghentikan proyek reklamasi beberapa pulau di proyek reklamasi Teluk Jakarta pada
11 Mei 2016. Namun kembali muncul pertentangan ketika 5 Oktober 2017 Menteri
Koordinator bidang Kemaritiman (Luhut Binsar Panjaitan, pengganti Rizal Ramli)
mencabut moratorium pembangunan proyek reklamasi Teluk Jakarta dan pelantikan
Gubernur DKI Jakarta, Anis Baswedan tanggal 16 Oktober 2017 yang dalam janji
kampanyenya menolak melanjutkan reklamasi.

2.3.3.1 Rekam Jejak Reklamasi Teluk Jakarta


Perjalanan proyek reklamasi Teluk Jakarta cukup panjang. Mengalami proses pro
kontra dalam pelaksanaannya. Proyek reklamasi diawali dari adanya Rencana Umum
Tata Ruang DKI Jakarta 1985-2005 yang menyatakan perlu dilakukan reklamasi
dalam skala kecil di Penjaringan, Pademangan, Ancol, Pluit (pantai mutiara) untuk
memenuhi kebutuhan lahan bagi penduduk Jakarta yang terus bertambah. Tahun 1994
keluar Keppres No. 17 Tahun 1994 yang menyatakan Pantura Jakarta sebagai Kawasan
Andalan. Tahun 1995 terbit Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Reklamasi Pantai Utara Jakarta, yang ditindaklanjuti dengan Perda DKI Jakarta No. 6
Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta.

Tujuan reklamasi bertambah yaitu untuk perdagangan dan jasa internasional,


perumahan bagi masyarakat menengah atas dan pelabuhan wisata. Namun
Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2003 mengeluarkan SK Kementerian
Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan
Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta. Menurut kajian KLH, reklamasi
meningkatkan risiko banjir terutama di kawasan utara, merusak ekosistem laut,
menyebabkan penghasilan nelayan menurun, dan terganggunya PLTU Muara Karang.
Keputusan ini digugat oleh 6 pengembang yang melakukan reklamasi hingga keluar
keputusan MA yang memenangkan gugatan 6 pengembang di tahun 2011.

Tahun 2008 lahir Keppres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Dalam Keppres

43
44

tersebut reklamasi diperluas tidak hanya di pesisir pantai utara tetapi juga di perairan
Teluk Jakarta dalam bentuk pulau-pulau. Keppres tersebut ditindaklanjuti dengan
Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010-2030
yang memasukkan reklamasi 14 pulau di Teluk Jakarta dan Peraturan Gubernur DKI
Jakarta No. 121 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara
Jakarta yang mencantumkan akan ada 17 pulau yang diberi nama pulau A sampai pulau
Q.

Tahun 2013 Pemerintah meluncurkan proyek National Capital Integrated Coastal


Development (NCICD) untuk mengatasi banjir Jakarta. Gubernur DKI Jakarta
memasukkan rencana reklamasi dalam proyek tersebut sehingga proyek reklamasi
tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan lahan tetapi juga untuk mengatasi banjir.

Tahun 2015 sampai dengan 2017 Pemerintah DKI Jakarta telah mengeluarkan izin
pelaksanaan reklamasi di beberapa pulau, dan izin tersebut digugat Koalisi Nelayan
Tradisional Indonesia (KNTI). Gugatan dimenangkan oleh KNTI. Di tahun berikutnya
KLHK mengeluarkan beberapa SK dan salah satunya yaitu SK MenLHK No. 354/
Menlhk/Setjen/Kum.9/5/2016,yang menghentikan sementara (moratorium) seluruh
kegiatan reklamasi di beberapa pulau. Namun penghentian sementara ini dicabut oleh
Menko Maritim dengan SK Menko Maritim No. S-78-
001/02/Menko/Maritim/X/2017. Pencabutan moratorium dikhawatirkan akan
menghentikan proses perbaikan lingkungan Teluk Jakarta selama moratorium terjadi.
Kerusakan lingkungan perairan Teluk Jakarta telah berdampak terhadap penghidupan
masyarakat Teluk Jakarta, terutama nelayan, pembudidaya ikan, dan pelaku usaha
wisata dalam skala kecil di daerah tersebut.

Tahun 2020 Jokowi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun


2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Terbitnya perpres ini dianggap sebagai
legalisasi bagi pembangunan empat pulau reklamasi di Teluk Jakarta, Keempat pulau
tersebut adalah Pulau C, D, G, dan N. Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian
ATR/BPN menegaskan bahwa Perpres 60 Tahun 2020 ini hanya untuk
mengakomodasi pulau-pulau reklamasi yang telah dibentuk. Nantinya pulau reklamasi

44
45

diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan serta
dalam Rencana Zonasi Kawasan Strategis Naisonal Tertentu (RZKSNT)

2.3.3.2 Pelanggaran Reklamasi Teluk Jakarta


Terdapat beberapa undang – undang dan ketentuan yang telah dilanggar oleh
reklamasi teluk jakarta, dimulai dari pelanggaran proses pembangunan yang tidak
sejalan dengan Perda Tata Ruang dengan membangun dua pulau yang tergabung. Hal
tersebut telah melanggar Pasal 69 ayat (1), Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 73 ayat (1) UU
No. 26 Tahun 2007.Ketentuan ini tidak hanya menyasar pemegang izin reklamasi yang
tidak membangun sesuai dengan ketentuan tetapi juga pejabat yang mengeluarkan izin
tidak sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang yang telah dinyatakan dalam
Peraturan Daerah Mengenai Tata Ruang yaitu Perda Provinsi DKI Jakarta No. 1 Tahun
2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030.

Terbitnya Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 206 Tahun 2016 tentang
Panduan Rancang Kota Pulau C, Pulau D dan Pulau E Hasil Reklamasi Kawasan
Strategis Pantai Utara Jakarta yang melanggar Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No. 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan. Permen PU mengatur alur untuk dapat terbitnya suatu Peraturan
mengenai panduan rancang kota atau dapat disebut juga dengan Rencana Tata
Bangunan dan Lingkungan (RTBL)

Menerbitkan perizinan tanpa mendasarkan pada Peraturan mengenai Rencana


Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) sebagai kewajiban UU
No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sebagaimana telah diubah UU No. 1 Tahun 2014. RZWP-3K menjadi arahan
pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pemerintah
provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota yang ditetapkan dalam Peraturan
Daerah. Dalam menerbitkan Izin Pelaksanaan Reklamasi, seharusnya mendasarkan
atas RZWP-3-K yang hingga pelaporan ini diajukan tidak pernah diterbitkan

Pembangunan berbagai rumah dan ruko untuk kalangan ekonomi diatas Pulau C
dan Pulau D telah melanggar UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup. Sebagaimana diketahui ada tersebar “Pengumuman
Permohonan Penerbitan Izin Lingkungan Skala Amdal Rencana Kegiatan Reklamasi
45
46

dan Pembangunan diatas Pulau C dan D” padahal pembangunan sudah berjalan. Hal
ini sungguh melanggar Pasal 109 dan Pasal 111 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009

2.3.3.3 Kerugian dan Dampak Reklamasi Teluk Jakarta


Kerugian dalam pelaksanaan reklamasi teluk jakarta tidak lah sedikit dan cakupan
terhadap dampak nya tidak lah sempit, Proyek reklamasi Teluk Jakarta banyak
menimbulkan dampak negatif, baik terhadap kondisi lingkungan, maupun kondisi
sosial dan ekonomi masyarakat di wilayah pesisir Teluk Jakarta.Berikut beberapa
kerugian dari proyek Reklamasi Teluk Jakarta :

 Hilangnya wilayah kegiatan perikanan di Teluk Jakarta, diperkirakan


menghilangkan lokasi tangkapan ikan (fishing ground) seluas 586,3 hektare.
Kondisi itu bisa berdampak pada kehilangan sumber penghidupan dan upah
perikanan yang mencapai USD1,3 juta atau ekuivalen Rp16,9 milliar per tahun
 Meningkatnya potensi resiko banjir di Teluk Jakarta, diperkirakan akan
menambah kerugian akibat banjir yang ditaksir bisa mencapai USD9,7 juta atau
ekuivalen Rp126,1 milliar per tahun
 Menghilangkan habitat mangrove yang berpotensi bisa menghilangkan jasa-jasa
ekosistem mangrove yang penting, dan itu ditaksir bisa menelan kerugian hingga
USD2,7 juta atau ekuivalen Rp35,1 milliar
 Menurunkan kapasitas pembangkit listrik diperkirakan bisa menelan kerugian
hingga mencapai USD26,78 juta per jam atau ekuivalen Rp126,1 milliar
 Hutan mangrove Teluk Jakarta mengalami degradasi berdasarkan hasil analisis
spasial vegetasi, pengujian kualitas air, dan kerentanan terhadap abrasi,
sedimentasi, dan alih fungsi lahan
 Mutu air laut di kawasan Teluk Jakarta dalam kondisi tercemar berat. Dari 23
titik lokasi sampling yang diambil di perairan Teluk Jakarta, 17 titik
menunjukkan tercemar berat dan 6 titik tercemar sedang
 Berkurangnya atau hilangnya daerah penangkapan ikan (DPI) nelayan di Teluk
Jakarta sehingga nelayan harus berlayar lebih jauh ke arah lautan bebas untuk
menangkap ikan. Sementara peralatan dan kapal yang dimiliki tidak
memungkinkan untuk menangkap ikan di lautan bebas

46
47

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pengelolaan pesisir di Indonesia terpengaruhi oleh berbagai banyak aturan dan perjanjian baik yang
berskala nasional dan internasional. Pengaruh perjanjian internasional ini dapat dilihat dengan adanya
ratifikasi hukum dan perjanjian Internasional yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam undang-
undang dan peraturan di Indonesia. Dari sekian banyak perjanjian dan hukum internasional, adanya
UNCLOS 1982 sangat membawa banyak perubahan dalam pengelolaan kawasan pesisir Indonesia.
Mulai dari penentuan batas wilayah teritorial sampai adanya hak hak lintas kapal. Agenda penting bagi
dunia maritim Indonesia juga berada pada Deklarasi Djuanda yang menyatakan bahwa Indonesia adalah
Negara Kepulauan. Hal ini sangat menguntungkan bagi Indonesia karena wilayah perairannya
bertambah sebanyak 2,5 kali lipat dari luasan awal.

Dalam peraturan dan perundangan di Indonesia, telah terdapat undang-undang yang khusus
membahas tentang pengelolaan pesisir. Undang-undang ini dapat menjadi suatu pedoman dalam
pelaksanaan perencanaan pesisir. Undang-undang ini juga diperlengkap dengan adanya peraturan-
peraturan lain yang mendukung adanya perencanaan pesisir yang tetap menjaga adanya kelestarian
ekosistem pesisir. Tidak hanya mengatur tentang ekosistem pesisir, Indonesia juga sudah mulai
mengatur dan merancang pedoman bagi adanya pembangunan pulau reklamasi yang masih banyak
mengundang pro dan kontra. Dari studi kasus Reklamasi Teluk Jakarta ini dapat dilihat bagaimana pro
kontra dan undang-undang serta peraturan apa saja yang seharusnya berlaku dalam pembangunan pulau
reklamasi dalam menjaga ekosistem pesisir yang rentan terhadap perubahan baik secara alami maupun
oleh campur tangan manusia.

3.2 Lesson Learned


 Peraturan sangat perlu ditaati karena peraturan berfungsi sebagai acuan atau dasaran.
 Penyusunan aturan harus seobjektif mungkin karena ada asas kepentingan umum.
 Perundangan mengenai perencanaan pesisir di Indonesia telah dibuat hampir secara keseluruhan
mulai dari pemerintah pusat, daerah, hingga peraturan sektoralnya.
 Sebagai perencana, dapat menjadi suatu pelajaran dalam perencanaan pesisir yang sesuai dengan
aturan sehingga baik dalam pemanfaatan maupun peruntukannya akan sesuai.
 Perjanjian Internasional banyak mempengaruhi isi dari undang undang pesisir negara Indonesia

47
48

DAFTAR PUSTAKA

Kurnia, I., 2016. Penerapan UNCLOS 1982 dalam Ketentuan Perundang-undangan Nasional, Khususnya
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Jurnal Hukum PRIORIS, 2(1), pp.42-49.

Agusta, A., ANALYSIS OF MARINE LAW IN THE AREA EXCLUSIVE ECONOMIC


ZONE. Jurnal Geografi Gea, 17(2), pp.147-152.
Erlina, E., 2016. Kedaulatan Negara Pantai (Indonesia) Terhadap Konservasi Kelautan Dalam
Wilayah Teritorial Laut (Territorial Sea) Indonesia. Al Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan
Ketatanegaraan, 2(2), pp.215-222.
Anggara, A.S., 2018. Aspek Hukum Pelestarian Lahan Basah pada Situs Ramsar di Indonesia
(Studi Terhadap Implementasi Konvensi Ramsar 1971 di Taman Nasional Tanjung Puting).
Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 30(2), pp.246-261.
Tsauro, M.A., 2017. Arti Deklarasi Djuanda dan Konferensi Hukum Laut PBB bagi
Indonesia. Gema Keadilan, 4(1), pp.180-190.
"Deklarasi Djuanda: Isi, Tujuan, dan Dampaknya",
(https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/18/160000969/deklarasi-djuanda--isi-tujuan-dan-
dampaknya?page=all)
https://bphn.go.id/
jdih.kkp.go.id
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR… TAHUN... TENTANG
CIPTA KERJA
bnpb.go.id
kkp.go.id
DitJend Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP RI, Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir , Jakarta, Cet.II,
2005
DitJend Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP RI, Pedoman Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, Jakarta, 2005
Undang-Undang No.27 Tahun 2007 pada pasal 1 ayat 23 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil
Sidarta, M, 1998, Reklamasi? Tidak Reklamasi? Prosiding Konperensi Nasional I Pengelolaan Sumber
Daya Pesisir Dan Lautan Indonesia. PKSPLIPB-CRC-University of Rhode Island, hlm. 174. Max Wagiu
(2011)
Modul Terapan Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai (2007)
Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir
Dan Pulau-pulau Kecil
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 40/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Perencanaan Tata Ruang
Kawasan Reklamasi Pantai
48
49

Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17/PERMEN-KP/2013 Tentang Perizinan
Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi
Pantai Utara Jakarta
Keppres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi, Puncak, dan Cianjur
Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010-2030
Ramadhiani. 2015. 19 Alasan Reklamasi Harus Dihentikan, diakses dari
https://properti.kompas.com/read/2016/04/07/184318321/19.Alasan.Reklamasi.Harus.Dihentikan.
Ambari. 2016. Ada Potensi Kerugian Rp178,1 M pada Reklamasi Teluk Jakarta, diakses dari
https://www.mongabay.co.id/2016/07/07/ada-potensi-kerugian-rp1781-m-pada-reklamasi-teluk-jakarta/
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan
Indonesia, Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir, Cetakan II, 2005
Syalaby. Achmad. 2016. Lengkap, Kronologi Reklamasi Teluk Jakarta, diakses dari
https://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/16/04/03/o51dj4394-lengkap-
kronologi-reklamasi-teluk-jakarta
Cekaja. 2019. Menakar Sengkarut Reklamasi di Teluk Jakarta, diakses dari
https://www.cekaja.com/info/menakar-sengkarut-reklamasi-di-teluk-jakarta
https://news.detik.com/berita/d-4848075/mengenal-lebih-dalam-zee-natuna-yang-diserobot-china/2
https://news.detik.com/berita/d-4853604/berdasarkan-unclos-ri-dinilai-berhak-tangkap-kapal-china-yang-
masuk-zee/2
http://www.oceansplasticleanup.com/Biodiversity/Conferences_Parties_COPs_United_Nations_Biologic
al_Diversity/COP2_1995_Jakarta_Indonesia_Biological_Diversity_Conferences_Parties_Of_The.htm

https://rsis.ramsar.org/about

49

Anda mungkin juga menyukai