Anda di halaman 1dari 6

Nama : Lintang Sekar Kedaton Barnad

NRP : 08211840000018

Judul Jurnal 1 : Evaluation of a Collaborative Model: A Case Study Analysis of Watershed


Planning in the Intermountain West

Penulis : Gary Bentrup

Judul Jurnal 2 : Collaborative Watershed Planning in Washington State: Implementing the


Watershed Planning Act

Penulis : Clare M Ryan & Jacqueline S Klug

I. Resensi “Evaluation of a Collaborative Model: A Case Study Analysis of Watershed


Planning in the Intermountain West”
Jurnal yang berjudul Evaluation of a Collaborative Model: A Case Study Analysis of
Watershed Planning in the Intermountain West ini merupakan jurnal yang membahas dan
menganalisis model perencanaan kolaborasi yang dilakukan di Intermountain West untuk
merencanakan Daerah Aliran Sungai di Intermountain West. Daerah Aliran Sungai
merupakan persoalan yang sangat cocok diselesaikan dengan Collaborative Planning karena
banyaknya pihak pihak yang tentunya memiliki keterkaitan dengan Daerah Aliran Sungai,
baik secara lokasi maupun terkait kepentingan lainnya. Selain karena banyaknya pihak yang
memiliki kepentingan dalam proses perencanaan ini, collaborative planning diyakini
merupakan alternatif yang patut dicoba setelah kritikus banyak menemukan kekurangan dari
sistem participatory planning. Karakteristik collaboration-based planning dan participatory
planning memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam pelaksanaannya. Collaboration-
based planning menekankan pada kata sepakat atau mufakat ketika memutuskan suatu
keputusan sedangkan participatory planning biasanya menggunakan sistem voting dalam
menentukan keputusannya. Oleh karena itu, stakeholders pada collaboration-based planning
berpartisipasi pada seluruh proses perencanaan dengan tujuan tercapainya output yang
bersifat holistik dari berbagai perspektif. Biasanya, participatory planning hanya
mengandalkan banyak pihak sebagai pemberi input dari proses perencana, sedangkan pada
collaboration-based planning, stakeholders melakukan dialog guna mengumpulkan
informasi dan saling mengedukasi terkait informasi di bidang yang berbeda.
Seiring berjalannya waktu, banyak bentuk kolaborasi yang berkembang dalam proses
perencanaan. Salah satu bentuk sederhana dari collaboration-based planning ini adalah
model yang dirumuskan oleh Selin dan Chavez. Model Selin dan Chavez ini
mengembangkan model konseptual yang mengidentifikasi komponen kunci potensial dalam
perencanaan berbasis kolaborasi. Jurnal ini merangkum studi empiris untuk mengevaluasi
apakah model Selin dan Chavez mencakup berbagai pertimbangan yang penting untuk
pembentukan dan pengoperasian kolaborasi dalam perencanaan DAS dari perspektif
koordinator perencanaan. Model khusus ini dipilih untuk penilaian karena menangani
kolaborasi melalui berbagai aktivitas perencanaan dari inisiasi hingga implementasi, berbeda
dengan model lain yang hanya menangani beberapa aktivitas perencanaan tertentu atau
proses kolaboratif.
Komponen kunci potensial dalam model Selin dan Chavez merupakan tahapan yang
perlu dilalui dalam melakukan collaboration-based planning.

Monitoring &
Antecedents Problem Direction Implementation
Evaluation
Setting Setting
Dimulai dari anteseden atau merupakan proses persiapan dari para stakeholders yang
akan terkait. Kemudian dilanjutkan dengan penetapan masalah yang didalamnya dilakukan
proses identifikasi stakeholders dan kepentingannya masing masing. Pada tahap ini
dilakukan juga penetapan koordinator, dimana koordinator ini perlu membimbing para
pemangku kepentingan dalam merumuskan perencanaan kolaboratif. Setelah melakukan
penetapan masalah, collaboration-based planning ini membutuhkan penetapan arah
perencanaan. Pada tahap ini ditetapkan tujuan, aturan dasar dan membagi subkelompok
untuk membahas masalah dalam berbagai perspektif. Setelah melalui kesepakatan, proses
implementasi berjalan sesuai dengan pembagian sub kelompok. Pengkolektifan data ini
dilakukan oleh organisasi formal yang menangani permaslaahan terkait. Dalam proses
implementasi, semua pemangku kegiatan baik yang berada di luar maupun didalam proses
perencanaan perlu menerima informasi terkait proses perencanaan ini. Pada bagian
monitoring dan evaluation, selama fase ini, model merekomendasikan agar pemangku kepentingan
memantau dan mengevaluasi strategi penerapan mereka untuk menentukan apakah strategi ini
mencapai tujuan kelompok. Hasil monitoring dan evaluasi ini nantinya menjadi input dari
proses perencanaan ke depannya.
Model Selin dan Chavez akan dievaluasi melalui analisis dari tiga studi kasus dari tempat
yang berbeda. Pemilihan studi kasus ini memiliki kriteria sama sama telah menerapkan
elemen kolaboratif dengan stakeholders yang bersifat sukarela dalam partisipasinya. Ketiga
studi kasus juga berada di wilayah Intermountain West dengan kasus terkait DAS. Data dari
ketiga studi kasus ini dianalisis dengan menggunakan metode Content Analysis,
Triangulation dan Pattern Matching. Dari hasil analisis tersebut, pola dari kolaboratif masing
masing kasus akan dicocokkan dengan model Selin dan Chavez.
Tahap persiapan pada kegiatan collaboration-based planning ketiga kasus ini
mengidentifikasi adanya dua kondisi di luar dari perkiraan yaitu kurangnya data dan sanksi
pada regulasi. Kondisi ini akan membuat para pelaku perencanaan melakukan kerja sama
dalam mencapai tujuannya dengan dua kondisi yang tak terprediksi. Pada proses penetapan
masalah, para pemangku kegiatan sepakat untuk menentukan permasalahan dan isu dari
kondisi masing-masing DAS. Pada tahap ini, para pemangku kegiatan saling membagi
informasi dan pengetahuan, baik secara formal maupun informal. Selain melakukan diskusi
secara formal dan informal, para pemangku kepentingan dari tiga kasus ini juga melakukan
validasi ke lapangan dan kepada pemangku kepentingan terkait di luar dari pemangku
kegiatan yang masuk ke dalam bagian perencanaan. Para pemangku kepentingan dari ketiga
kasus sepakat bahwa perencanaan dengan cara lama tidak akan semaksimal collaboration-
based planning yang memungkinkan terjadinya banyak interaksi antar pemangku
kepentingan. Pada tahap penetapan arah, para koordinator menyatakan bahwa mengeksplorasi
opsi dan menetapkan rencana merupakan inti dari fase ini. Setelah rencana dapat terumuskan, para
pemangku kepentingan memastikan bagian kerjanya masing masing dengan tetap bersifat
kolaboratif. Namun pada kasus Little Bear River Group, kendala yang didapati justru menekankan
Little Bear River Group untuk lebih fokus pada pengerjaan proyek lapangan tanpa adanya analisis
mengenai kondisi DAS terlebih dahulu. Setelah arah perencanaan terumuskan, tahap implementasi
dapat berjalan. Pada tahap ini, Animas Group dan Little Bear Group sama sama melakukan
perumusan struktur organisasi. Sedangkan Willow Creek Project membiarkan organisasinya berjalan
secara fleksibel. Pembentukan struktur organisasi ini mempersulit adanya diskusi informal yang
menekankan pada kreatifitas, sehingga situasi kaku sering tercipta pada proses perencanaan Animas
dan Little Bear. Selagi proses implementasi berjalan, tahap monitoring dan evaluasi dapat dimulai.
Semua koordinator percaya bahwa tahap monitoring dan evaluasi adalah tahapan yang paling sulit
untuk ditangani oleh kelompok pemangku kepentingan. Kesulitan ini ditemukan lantaran kurang
baiknya pengamatan pada data dasar awal yang menjadi tolak ukur evaluasi.
Setelah semua proses dianalisis, penulis melakukan pencocokan dengan model Selin dan Chavez.
Pada bagian persiapan, terdapat faktor baru yang muncul yaitu kekurangan data dan aturan regulasi
terkait. Kemudian pemindahan hubungan formal dari tahap implementasi ke tahap penetapan arah
juga dibutuhkan guna mencegah terhambatnya proses dialog. Penetapan basis-basis data juga perlu
ditambahkan dalam tahap penetapan arah agar proses evaluasi dapat berjalan lancar. Kedepannya
penyesuaian bentuk model Selin dan Chavez ini akan terus terjadi seiring berkembangnya masalah
perencanaan dan kreativitas masing-masing pemangku kegiatan.

II. Critical Point


Sistem perencanaan yang dilakukan pada studi yang dilakukan di Intermountain West
tersebut merupakan salah satu bentuk perencanaan komunikatif rasional. Jika ditelaah dari
sistem kerjanya, collaboration-based planning ini dapat dikatakan sebagai bentuk ideal dari
perencanaan yang melibatkan para pemangku kepentingan. Para pemangku kepentingan
tidak hanya bergerak pada saat penjaringan aspirasi dan sosialisasi hasil akhir, namun para
pemangku kepentingan benar benar terjun di dalam proses perencanaannya. Model
collaboration-based planning milik Selin dan Chavez juga merupakan model perencanaan
yang rasional dan mudah untuk diimplementasikan. Model ini berpaku pada
kefleksibilitasan dialog yang terjadi antar pemangku kepentingan dengan harapan akan
timbul kepercayaan satu sama lain sehingga tujuan dapat tercapai dengan lancar. Namun,
pengimplementasian model ini membutuhkan banyak waktu dan pengalaman. Ryan dan
Klug pada studinya yang berjudul “Collaborative Watershed Planning in Washington State:
Implementing the Watershed Planning Act” menyampaikan bahwa setiap pemangku
kepentingan telah memiliki pola pikir dan tujuan masing-masing sehingga waktu yang
dibutuhkan untuk menyamakan pola pikir dan tujuan juga akan membutuhkan waktu yang
cukup lama. Selain itu, para pemangku kepentingan juga perlu mengerti ilmu dari berbagai
bidang agar dapat mengerti pola pikir satu sama lain. Oleh karena itu, dibutuhkan orang-
orang yang memiliki pengalaman yang akan menjadi modal bagi para pemangku
kepentingan ini untuk mengakselerasi proses perencanaan ini.
Proses perencanaan dengan model Selin dan Chavez memiliki 5 tahap dalam
pengaplikasiannya. Tahapan-tahapan inilah yang tidak dijelaskan dalam model model
lainnya seperti yang dijelaskan pada studi kasus Collaborative Watershed Planning in
Washington State: Implementing the Watershed Planning Act. Dalam studi kasusnya, Ryan
dan Klug tidak menjabarkan bagaimana collaborative planning terjadi dalam penyusunan
rencana DAS Washington. Walaupun tahapan ini hanya berupa bentuk tekstual, namun
model yang dilengkapi dengan struktur yang jelas dapat mempermudah proses evaluasi
dalam pengimplementasiannya. Apalagi model Selin dan Chavez ini telah dilengkapi dengan
faktor-faktor dan perincian di tiap tahapannya. Penggunaan model ini akan mempermudah
proses persiapan atau antecedents dalam proses perencanaan. Model Selin dan Chavez juga
dapat menjadi suatu landasan awal proses perencanaan yang melibatkan banyak pemangku
kepentingan. Tantangan-tantangan yang disebutkan Ryan dan Klug dalam studinya
sebenarnya dapat diselesaikan dengan model Selin dan Chavez. Penyatuan pola pikir dapat
dilakukan sebelum proses perencanaan dimulai, yaitu dengan tahap persiapan. Pengalaman
akan informasi satu sama lain juga dapat dilakukan pada tahap penetapan masalah dimana
para pemangku kegiatan duduk bersama membicarakan informasi terkait masalah
perencanaan dari perspektif masing-masing.
Jika dibandingkan dengan model yang dinyatakan oleh Bertaina, walaupun tahapan milik
model Selin dan Chavez ini hanya memiliki 5 tahapan, proses yang dilakukan lebih
diunggulkan karena adanya proses monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi
memang merupakan proses yang belum maksimal diterapkan dalam studi kasus
Intermountain West. Namun, penambahan tahapan monitoring dan evaluasi ini akan
membantu para pemangku kepentingan dalam mengembangkan model model collaboration-
based planning berdasarkan pengalamannya dalam melakukan proses perencanaan jenis ini.
Mulai dari memutuskan waktu kolaborasi, menyusun proses, menentukan partisipan,
mengatur proses dan struktur, membantu peserta bekerja sama, membagi informasi dan
mengimplementasikan kesepakatan, kedelapan tahap tersebut telah tersusun dengan rapi
dalam 5 proses yang dijelaskan oleh Selin dan Chavez.
Dari kedua studi yang dilakukan di Intermountain West dan Washington ini
menunjukkan perlu adanya peran yang memimpin diskusi agar para pemegang kepentingan
dapat mengerti satu sama lain. Sistem collaboration-based planning ini akan berjalan ketika
kesepakatan yang konsensus telah tercipta di antara para pemangku kepentingan. Oleh
karena itu proses negoisasi dan proses diskusi merupakan poin penting dalam realisasi
sistem ini.
III. Sistem Perencanaan Di Indonesia
Dari sistem yang dibawa melalui dua studi kasus tersebut, rasanya banyak sekali program
pembangunan di Indonesia yang perlu mengadaptasi sistem ini. Salah satu indikator yang
dapat dilihat adalah banyaknya ketidakpuasan suatu program pembangunan yang
disampaikan oleh banyak pihak kepada pihak pembangun. Untuk dapat melaksanakan hal
tersebut tentu saja diperlukan partisipasi, kesetaraan diantara para aktor, dan kompetensi
aktor untuk dapat berdialog. Melihat mulai aktifnya masyarakat dalam melakukan kritik
terhadap berbagai kebijakan dan pembangunan dapat menjadi salah satu acuan bahwa
terdapat masyarakat yang menginginkan adanya proses perencanaan yang bersifat
kolaboratif. Namun dalam pengimplementasiannya, pihak-pihak yang terkait harus memiliki
akuntabilitas yang tinggi. Hal ini perlu dijamin, guna tercapainya tujuan dari sistem ini dan
tercapainya output yang diharapkan. Perencanaan dengan sistem kolaboratif seperti ini
memang belum banyak diadaptasi di Indonesia. Perencanaan di Indonesia cenderung masih
terpusat pada satu instansi dalam perumusannya. Pihak-pihak lain terutama masyarakat
hanya merupakan bagian dari penyaluran aspirasi dan evaluasi.
Pengimplementasian sistem ini di Indonesia tidak hanya membuat banyak pihak merasa
bertanggungjawab akan masalah perencanaan, namun juga meningkatkan kepekaan pihak-
pihak terkait dalam melihat sisi lain dari masalah-masalah perencanaan Indonesia.

IV. Daftar Pustaka


Sufianti, E., 2014. Kepemimpinan dan perencanaan kolaboratif pada masyarakat non
kolaboratif. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 25(1), pp.77-95.
Hardiansah, E.C., 2005. Peran Perencana dalam Era Demokratisasi Perencanaan: Kasus
Perencanaan Jalan Dago-Lembang. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 16 (2), pp.41-63.

Anda mungkin juga menyukai