Anda di halaman 1dari 9

Nama : Puput Wahyu Nur Andriyanti

NIM : 071811133027
Ujian Tengah Semester Perencanaan Pembangunan

1. Perhatikanlah teori perencanaan di bawah ini:

Jelaskan masing-masing model perencanaan di atas (technical bureaucratic, social


movement, political influence, dan collaborativeim).
Kemudian analisislah fenomena berikut ini :
Musrenbang adalah bagian dari proses perencanaan yang melibatkan peran serta
masyarakat. Model perencanaan pembangunan yang manakah yang mampu
mengakomodasi konsep Musrenbang tersebut? Jelaskan argumen saudara.

Jawab:

A. Model Perencanaan Pembangunan


Setiap model tidak hanya memiliki konsep yang berbeda tentang
bagaimana perencanaan harus dijalankan dan siapa yang harus terlibat di
dalamnya, tetapi juga pemahaman yang berbeda tentang jenis informasi apa
yang relevan dan apa peran publik atau berbagai kepentingan yang seharusnya.
a. Techinal Bureaucratic
Birokrasi teknis juga dapat disebut dengan perencanaan komprehensif
yang rasional sebagaimana yang dipraktikkan secara de facto di birokrasi,
terutama di birokrasi yang melibatkan informasi teknis yang substansial. Dalam
model ini, perencanaan adalah tentang menilai alternatif mana yang paling
memenuhi tujuan, mengembangkan analisis dan proyeksi komparatif, membuat
rekomendasi kepada pembuat keputusan tentang tindakan mana yang harus
diikuti berdasarkan informasi, dan kemudian menilai dampak kebijakan dan
menyarankan perubahan. Dalam birokrasi teknis, partisipasi publik merupakan
sesuatu yang mungkin diperlukan pada awal proses untuk menentukan tujuan
dan menjelang akhir proses untuk membantu membuat pilihan akhir dari sebuah
rencana atau strategi. Keterlibatan publik dapat mempermudah integritas dan
netralitas analisis mereka. Oleh karena itu diperlukan implementasi yang
berorientasi pada perencanaan sehigga dapat menciptakan perencanaan yang
strategis.
b. Political Influence Model

Perencanaan pengaruh politik biasa disebut dengan model “pemerintah”.


Dalam model ini, perencana - seringkali merupakan kepala agensi atau pejabat
terpilih daripada perencana terlatih. Biasanya dalam model ini sebuah rencana
terdiri dari proyek-proyek, yang masing-masing diinginkan oleh pemain yang
secara politik penting. Perencana kunci dalam perencanaan pengaruh politik
pada dasarnya adalah seorang "pemecah masalah" yang bekerja dengan semua
orang di belakang layar, mengumpulkan kekuasaan dengan memberikan sumber
daya kepada pemain kuat yang berbeda, yang sebagai imbalannya menawarkan
kesetiaan dan mendukung paket yang disatukan oleh perencana politik ini.
Akibatnya, perencana politik ini terus memiliki kekuasaan untuk mendapatkan
lebih banyak sumber daya dan memelihara sistem.

c. Social movement model


Model perencanaan gerakan sosial sering muncul sebagai tanggapan atas
ketidakmampuan beberapa kepentingan atau sejumlah besar warga negara untuk
mendapatkan audiensi atau dimasukkan ke dalam proses perencanaan dan
pengambilan keputusan. Inti dari gerakan sosial adalah bahwa individu dan
kelompok yang tidak berada dalam struktur kekuasaan bergabung bersama untuk
beberapa tujuan bersama karena satu-satunya cara mereka dapat memiliki
pengaruh adalah melalui jumlah mereka. Mereka bukan orang dalam dan tidak
bisa menembus pengaruh politik. Mereka tidak dapat dengan mudah menantang
analisis teknis (meskipun mereka mungkin mendapatkan sumber daya untuk
melakukannya jika mereka membentuk gerakan yang cukup kuat untuk
mengumpulkan dana). Banyak perencana yang menjadi bagian dari gerakan
sosial semacam itu, baik secara formal maupun tidak, dan membawa misi
gerakan ke dalam pekerjaan mereka untuk lembaga nirlaba dan publik, atau
bahkan dalam praktik konsultasi. Namun seringkali “perencana gerakan sosial”
adalah relawan yang bekerja di waktu luang mereka.
d. Collaborative Model

Dalam model kolaboratif, gagasan penting adalah bahwa perencanaan


harus dilakukan melalui dialog tatap muka di antara mereka yang memiliki
kepentingan pada hasil, atau pemangku kepentingan. Agar dialog ini bekerja
paling efektif dan menghasilkan pilihan, inovasi, dan aksi bersama yang layak
dan terinformasi dengan baik, berbagai kondisi harus berlaku: 1) berbagai
kepentingan harus dilibatkan; 2) dialog harus otentik dalam bahwa apa yang
mereka katakan harus akurat dan mereka harus berbicara sebagai perwakilan sah
dari kepentingan stakeholders; 3) harus ada keragaman dan saling
ketergantungan di antara para kolaborator; 4) semua masalah harus ada di meja
untuk didiskusikan dengan tidak ada yang terlarang - status quo tidak bisa
sakral; 5) setiap orang dalam diskusi harus diberi informasi yang sama,
didengarkan secara setara dan dengan demikian diberdayakan sebagai anggota
diskusi kolaboratif. Dalam model ini, peserta bersama-sama mengembangkan
misi dan tujuan, menjabarkan minat mereka (menghindari mengambil posisi)
untuk dipahami semua orang, mengembangkan pemahaman bersama tentang
suatu masalah dan kesepakatan tentang apa yang perlu mereka lakukan, dan
kemudian mengerjakan serangkaian tugas. yang mengarah pada tindakan atau
kesepakatan yang diyakini oleh semua, atau sebagian besar, akan meningkatkan
kemampuan mereka untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri dan, dalam
prosesnya, meningkatkan kesejahteraan kolektif.

B. Model perencanaan dalam Musrenbang


Pada dasarnya Perencanaan Pembangunan berkaitan erat dengan
musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan). Hal ini dikarenakan
partisipasi masyarakat menentukan tepat atau tidaknya perencanaan yang dibuat.
Karena perkembangan perencanaan partisipatif bermula dari kesadaran bahwa
kinerja sebuah prakarsa sangat ditentukan oleh semua pihak yang terkait dengan
prakarsa tersebut. Perencanaan pembangunan merupakan proses pengembangan
kapasitas masyarakat dalam jangka panjang yang memerlukan perencanaan tepat
dan akurat. Perencanaan harus mampu mencakup kapan, dimana, dan bagaimana
pembangunan harus dilakukan agar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi
dan sosial secara berkesinambungan.

Musrenbang telah diatur dalam Permendagri No 86 Tahun 2017


mengenai tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan
rencana pembangunan daerah yang meliputi RPJPD, RPJMD, Renstra OPD,
RKPD, dan Renja OPD menjadi pijakan formal penyusunan dokumen
perencanaan pembangunan daerah. Melalui forum yang dilaksanakan oleh
pemegang kepentingan mulai dari tingkat Desa/Kelurahan, Kabupaten/Kota
hingga provinsi. Sistem perencanaan pembangunan nasional di Indonesia
menggunakan dua pendekatan, top down dan bottom up untuk menjamin
keseimbangan antara prioritas nasional dan aspirasi dari masyarakat daerah.
Pendekatan top down merupakan perencanaan pembangunan dengan segala
keputusan penting dan jenis kegiatannya telah ditentukan oleh pemerintah
sehingga masyarakat bersifat pasif. Sedangkan pendekatan bottom up
merupakan pendekatan yang dibangun atas dasar pengelolaan sumber daya
manusia. Persoalan ataupun aspirasi masyarakat selalu menjadi pertimbangan
dalam setiap kebijakan yang akan diambil. Masyarakat memiliki peranan dalam
setiap pembangunan untuk mengusulkan sesuatu yang sesuai dengan
kebutuhannya. Dengan begitu masyarakat ikut serta di setiap program-program
pembangunan.

Dari pemaparan diatas model perencanaan pembangunan yang mampu


mengakomodasi konsep Musrenbang tersebut ialah model kolaboratif karena
dalam pelaksanaannya, masyarakat terlibat bukan hanya untuk mendukung
kebijakan pemerintah namun juga dalam menentukan arah strategi kebijakan,
menikmati hasil serta manfaat yang diperoleh serta memikul bersama dalam
proses pelaksanaannya. Dalam hal ini partisipasi masyarakat adalah
keikutsertaan masyarakat tersebut dalam proses mengidentifikasi masalah dan
potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang
alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi
masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan
yang terjadi Isbandi (2007) (dalam Habibah et al, 2020).

2. Jelaskan mekanisme perencanaan pusat dan daerah yang ada di Indonesia


berdasarkan sistem perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, Bappenas menyadari rumitnya memadukan antara perencanaan
nasional dan daerah. Keduanya saling berpacu dengan waktu dan besarnya
struktur koordinasi. Inovasi perencanaan apa yang dapat mengatasi masalah
tersebut? Berikan contoh pada argumen saudara.
Jawab:
A. Mekanisme perencanaan pusat dan daerah yang ada di Indonesia
berdasarkan sistem perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004
Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tepatnya pada pasal 8
terdapat tahapan perencanaan pembangunan nasional yang meliputi a)
penyusunan rencana; b) penetapan rencana; c) pengendalian pelaksanaan
rencana; dan e) evaluasi pelaksanaan rencana.
Keempat tahapan diselenggarakan secara berkelanjutan sehingga
secara keseluruhan membentuk satu siklus perencanaan yang utuh. Tahap
penyusunan rencana dilaksanakan untuk menghasilkan rancangan lengkap
suatu rencana yang siap untuk ditetapkan yang terdiri dari 4 (empat) langkah.
Langkah pertama adalah penyiapan rancangan rencana pembangunan yang
bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur. Langkah kedua, masing-
masing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja dengan
berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah disiapkan.
Langkah berikutnya adalah melibatkan masyarakat (stakeholders) dan
menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan masing-masing
jenjang pemerintahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan.
Sedangkan langkah keempat adalah penyusunan rancangan akhir rencan
pembangunan.

Tahap berikutnya adalah penetapan rencana menjadi produk hukum


sehingga mengikat semua pihak untuk melaksanakannya. Menurut Undang-
Undang ini, rencana pembangunan jangka panjang Nasional/Daerah
ditetapkan sebagai Undang-Undang/Peraturan Daerah, rencana
pembangunan jangka menengah Nasional/Daerah ditetapkan sebagai
Peraturan Presiden/Kepala Daerah, dan rencana pembangunan tahunan
Nasional/Daerah ditetapkan sebagai Peraturan Presiden/Kepala Daerah.

Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan dimaksudkan untuk


menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan yang tertuang dalam
rencana melalui kegiatan-kegiatan koreksi dan penyesuaian selama
pelaksanaan rencana tersebut oleh pimpinan Kementerian/Lembaga/Satuan
Kerja Perangkat Daerah. Selanjutnya, Menteri/Kepala Bappeda menghimpun
dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari
masing-masing pimpinan Kementerian/ Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

Evaluasi pelaksanaan rencana adalah bagian dari kegiatan


perencanaan pembangunan yang secara sistematis mengumpulkan dan
menganalisis data dan informasi untuk menilai pencapaian sasaran, tujuan
dan kinerja pembangunan. Evaluasi ini dilaksanakan berdasarkan indikator
dan sasaran kinerja yang tercantum dalam dokumen rencana pembangungan.

B. Inovasi yang diperlukan


Inovasi yang dapat memadukan antara perencanaan nasional dan
daerah yakni perlunya evaluasi yang dilakukan secara rutin agar gap atau
jarak yang terdapat antara pusat dan daerah tidak terlalu jauh. Dalam
evaluasi terdapat indikator dan sasaran kinerja mencakup masukan (input),
keluaran (output), hasil (result), manfaat (benefit) dan dampak (impact).
Oleh karena itu, perlunya evaluasi yang didasarkan pada indicator-indikator
yang telah disebutkan agar antara pusat dan daerah dapat tersinkronisasi.
Karena pada dasarnya, dalam rangka perencanaan pembangunan, setiap
Kementerian/Lembaga, baik Pusat maupun Daerah, berkewajiban untuk
melaksanakan evaluasi kinerja pembangunan yang merupakan dan atau
terkait dengan fungsi dan tanggungjawabnya. Dalam melaksanakan evaluasi
kinerja proyek pembangunan, Kementerian/Lembaga, baik Pusat maupun
Daerah, mengikuti pedoman dan petunjuk pelaksanaan evaluasi kinerja
untuk menjamin keseragaman metode, materi, dan ukuran yang sesuai untuk
masing-masing jangka waktu sebuah rencana.

3. Perencanaan Top-Down biasanya mengandalkan pendekatan teknokratis


(contoh: tata kota pada pemerintahan hindia-belanda) dan sedikit melibatkan
peran masyarakat. Tetapi pendekatan tersebut mampu menjadikan tata kota lebih
teratur dengan penegakan hukum yang kuat. Sebaliknya, pendekatan Bottom-Up
memberikan ruang kepada masyarakat untuk berekspresi namun cenderung
lambat. Proses politik, seperti otonomi daerah, membutuhkan waktu dan biaya
yang tidak sedikit. Jelaskan dan berikan contoh tentang perbedaan perencanaan
Bottom-Up dan Top-Down yang pernah Indonesia jalankan; Belajar dari
keduanya, menurut saudara, konsep apa yang mampu menjembatani dua
permasalahan di atas?
Jawab:
Indonesia menjalankan perencanaan Bottom-Up dan Top-Down dalam
perencanaan pembangunan yang tertuang dalam UU Nomor 25 Tahun 2004
yang disebutkan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Dalam UU
tersebut mencakup lima pendekatan dalam seluruh rangkaian perencanaan,
yaitu: 1) politik; 2) teknokratik; 3) partisipatif; 4) atas-bawah (top-down), dan 5)
bawah-atas (bottom-up). Dalam UU tersebut dijelaskan mengenai perencanaan
dengan pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metode dan
kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional
bertugas untuk itu. Pendekatan top down merupakan perencanaan pembangunan
dengan segala keputusan penting dan jenis kegiatannya telah ditentukan oleh
pemerintah sehingga masyarakat bersifat pasif. Sedangkan pendekatan bottom
up merupakan pendekatan yang dibangun atas dasar pengelolaan sumber daya
manusia. Mengenai pendekatan atas-bawah dan bawah-atas dalam perencanaan
dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah
dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di
tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa. Misalnya,
Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Tingkat RT/RW yang
menggunakan konsep top down dan bottom up dalam perencanaannya.
Dalam menjembatani kedua konsep antara top down dan bottom up,
diperlukan konsep kolaboratif. Adanya konsep kolaboratif dalam perencanaan
pembangunan diharapkan dapat meminimalisir pada permasalahan antara top
down dan bottom up. Dimana kolaborasi menjadi pendorong penting dalam
memberi energi atau mendorong penyelenggaraan yang bersinergi antara
pemerintah dengan masyarakat. Pada dinamika kolaborasi ini terdapat tiga
komponen interaksi dinamika kolaborasi yaitu keterlibatan berprinsip, motivasi
bersama dan kapasitas untuk aksi bersama.
Misalnya, keterkaitannya dengan Musrenbang di tingkat RT/RW,
Keterlibatan berprinsip terjadi dari waktu ke waktu dan dapat mencakup
pemangku kepentingan (Pengurus RW, Pemerintah kelurahan dan warga) yang
memiliki konten berbeda, tujuan relasional dan yuridiksi masing-masing saling
berinteraksi dalam sebuah pertemuan tatap muka (musyarawah) untuk
menyelesaikan konflik atau menciptakan sebuah gagasan baru. Dalam
keterlibatan berprinsip memiliki 4 elemen proses yaitu penemuan, definisi,
musyawarah dan tekad [ CITATION Eme11 \l 1033 ]. Melalui proses berulang ini
akan mengembangkan rasa untuk mencapa tujuan bersama dan membangun
hubungan baik memahami antar orang dalam kelompok mengenai maslaah atau
tantangan yang dihadapi serta skala kegiatan yang disepakati bersama.
Komponen kedua ialah motivasi bersama yang berarti menguatkan diri dalam
hal percaya, pemahaman, legitimasi internal dan komitmen yang dibangun oleh
masyarakat, pemerintah maupun komunitas yang ada, dalam pencapaian
pemerintah yang kolaboratif.
Pada praktik yang terjadi masyarakat memiliki rasa percaya terhadap
pemimpinnya dalam hal ini ketua RT maupun RW dalam mengurusi
lingkungannya, mampu mempertahankan gotong royong di lingkungannya
terbukti dengan adanya kerjasama antar warga dalam setiap kegiatan misal
bersih-bersih daerah lingkungan, diagendakan tiap bulan. Namun yang menjadi
pertanyaan mengapa kemudian masyarakat memiliki partisipasi kurang aktif
dalam setiap pelaksanaan musyawarah. Bisa saja hal ini dikarenakan belum
terbangun pemahaman dalam diri masyarakat sediri untuk berperan aktif dalam
memberikan pendapatnya.
Sehingga diperlukan peran aktif dari pemimpin tokoh-tokoh masyarakat
ataupun antar warga untuk menumbuhkan pemahaman akan pentingnya
partisipasi aktif dalam musrenbang. Interaksi yang berulang dan berkualitas
melalui keterlibatan berprinsip akan membantu menumbuhkan rasa percaya,
saling pengertian dan komitmen bersama sehingga dapat menghasilkan dan
motivasi bersama untuk mencapai perencanaan pembangunan yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan konsep
kolaboratif agar dapat memiminimalisir permasalahan mengenai konsep top
down dan bottom up.

Referensi:
Emerson et al. (2011). An Integrative Framework for Collaboratove Governance.
Journal Of Public Administration Research and Theory.

Habibah et al. (2020). COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM


MUSYAWARAH RENCANA PEMBANGUNAN (MUSRENBANG)
TINGKAT RT/RW (Studi Kasus di RW 2 Kelurahan Tidar Selatan Kota
Magelang. Jurnal Mahasisawa Administrasi Negara (JMAN), 4(1), 1 - 13.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan


Nasional

Anda mungkin juga menyukai