Anda di halaman 1dari 10

A.

Hakikat Pembangunan Dan Perencanaan


1.) Hakikat pembangunan
Pembangunan adalah upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk yang juga
sebagai sumberdaya manusia, pada hakekatnya dilakukan melalui pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan. Di sisi yang lain sumberdaya manusia memiliki
dimensi sebagai subyek dan sasaran pembangunan.. Untuk dapat mengelola
sumberdaya tersebut dituntut memiliki pengetahuan Geografi terutama bagi para
perencana dan pelaku pembangunan sehingga dengan demikian akan memahami
potensi sumberdaya yang ada dan berbagai pemasalahannya.
Pembangunan telah lama dilakukan oleh berbagai bangsa di dunia, namun
disparitas penduduk secara ekonomi, sosial, budaya, politik dan mendapatkan akses
yang proporsional terhadap seluruh penduduk masih tetap membayang-bayangi suatu
bangsa. Saat ini pembangunan mengalami peningkatan kompleksitas baik dari segi
pelaku pembangunan, paradigma/pendekatan hingga dari input yang digunakan baik
itu APBN, donor maupun dana pinjaman.
Pembangunan sejatinya memiliki tujuan mulia yaitu untuk memberikan
kesehjateraan kepada masyarakat namun demikian kesalahan dalam penentuan model
pembangunan yang benar-benar dapat memaksimalkan potensi maupun
meminimalkan masalah yang ada ditengah-tengah masyarakat juga merupakan faktor
utama mengapa tujuan mulia dari suatu pembangunan tidak sesuai dengan yang
diharapkan.
Model pembangunan yang baik adalah model yang seharusnya melibatkan secara
langsung masyarakat dalam prosesnya, dimana masyarakat tidak hanya diposisikan
sebagai objek dari suatu pembangunan namun juga sebagai subjek dari suatu
pembangunan. Saat ini kebanyakan model pembangunan selalu memposisikan
masyarakat hanya sebagai objek dari pembangunan dimana mereka hanya sebagai
penerima program-program pembangunan dari pemerintah tanpa adanya ruang untuk
memberikan aspirasi mengenai apa yang sebenarnya yang menjadi kebutuhan
prioritas maupun permasalahan utama yang ada pada mereka.
Peran masyarakat dalam proses pembangunan masih sering disepelekan, padahal
sejatinya masyarakat sendirilah yang mengetahui dengan pasti apa yang sebenarnya
yang menjadi kebutuhan mereka, namun demikian memposisikan masyarakat hanya
sebagai objek dari pembangunan dan menyerahkan program-program pembangunan
kepada orang lain adalah alasan mengapa pembangunan saat ini seringkali tidak tepat
sasaran.
Pembangunan merupakan perubahan yang terencana unuk mencapai kondisi ideal
tertentu dan untuk mencapai kondisi itu maka proses pembangunan harus bersifat
eklusif (melibatkan semua pihak) agar terjadi sinergi antara stakeholder yang terlibat
baik itu pemerintah, masyarakat maupun lembaga-lembaga yang berkaitan.

2.) Hakikat Perencanaan


Pada hakekatnya perencanaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
suatu proses pembangunan itu sendiri yang mana merupakan suatu rangkaian proses
kegiatan menyiapkan keputusan mengenai apa yang diharapkan terjadi seperti
peristiwa, keadaan, suasana dan sebagainya. Perencanaan bukanlah masalah kira-kira,
manipulasi atau teoritis tanpa fakta atau data yang kongkrit melainkan persiapan
perencanaan harus dinilai. Perencanaan sangat menentukan keberhasilan dari suatu
program.
Menurut Terry (1960) dalam Mardikanto (2010), perencanaan diartikan sebagai
suatu proses pemilihan dan menghubung-hubungkan fakta, serta menggunakannya
untuk menyusun asumsi-asumsi yang diduga bakal terjadi di masa datang, untuk
kemudian merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan demi tercapainya tujuan-
tujuan yang diharapkan.
Perencanaan juga diartikan sebagai suatu proses pengambilan keputusan yang
berdasarkan fakta, mengenai kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan demi
tercapainya tujuan yang diharapkan atau yang dikehendaki.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, maka Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional mencakup lima pendekatan yaitu: (1) politik, (2) teknokratik, (3)
partisipatif, (4) atas-bawah (top-down), (5) bawah-atas (bottom-up).
Ahli-ahli teori perencanaan publik mengemukakan beberapa proses perencanaan
(1) perencanaan teknokrat; (2) perencanaan partisipatif; (3) perencanaan top-down;
(4) perencanaan bottom up.
1. Perencanaan teknokrat
Menurut Suzetta (2007) adalah proses perencanaan yang dirancang berdasarkan
data dan hasil pengamatan kebutuhan masyarakat dari pengamat professional, baik
kelompok masyarakat yang terdidik yang walau tidak mengalami sendiri namun
berbekal pengetahuan yang dimiliki dapat menyimpulkan kebutuhan akan suatu
barang yang tidak dapat disediakan pasar, untuk menghasilkan perspektif akademis
pembangunan. Pengamat ini bisa pejabat pemerintah, bisa non-pemerintah, atau dari
perguruan tinggi.
Menurut penjelasan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, “perencanaan teknokrat dilaksanakan dengan
menggunakan metoda dan kerangka pikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang
secara fungsional bertugas untuk itu”.
2. Perencanaan partisipatif
Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (1996) adalah proses perencanaan yang
diwujudkan dalam musyawarah ini, dimana sebuah rancangan rencana dibahas dan
dikembangkan bersama semua pelaku pembangunan (stakeholders). Pelaku
pembangunan berasal dari semua aparat penyelenggara negara (eksekutif,legislatif,
dan yudikatif), masyarakat, rohaniwan, dunia usaha, kelompok profesional,
organisasi-organisasi non-pemerintah.
Menurut Sumarsono (2010), perencanaan partisipatif adalah metode perencanaan
pembangunan dengan cara melibatkan warga masyarakat yang diposisikan sebagai
subyek pembangunan.
Menurut penjelasan UU. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional: “perencanaan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan
semua pihak yang berkepentingan terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah
untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki”. Dalam UU No. 25
Tahun 2004, dijelaskan pula “partisipasi masyarakat” adalah keikutsertaan untuk
mengakomodasi kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana
pembangunan.
3. Perencanaan top down
Menurut Suzetta (1997) adalah proses perencanaan yang dirancang oleh
lembaga/departemen/daerah menyusun rencana pembangunan sesuai dengan
wewenang dan fungsinya.
4. Perencanaan bottom up
Perencanaan bottom up adalah planning approach starting at the lowest hierarchical
level and working upward (pendekatan perencanaan yang dimulai dari tingkatan
hirarkis paling rendah menuju ke atas).
Selain itu, menurut penjelasan UU 25 Tahun 2004, pendekatan atas-bawah (top
down) dan bawah-atas (bottom up) dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang
pemerintahan. Rencana hasil proses diselaraskan melalui musyawarah yang
dilaksanakan di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa.

B. Pembangunan Partisipatoris
Pembangunan model partisipatoris merupakan sebuah konsep pembangunan yang
merupakan pengembangan dari pembangunan yang berkonsep partisipasi. Konsep
pembangunan partisipatoris saat ini belum terlalu dikenal dan masih sedikit digunakan
dalam merancang suatu konsep model pembangunan. Pembangunan berkonsep
parsipatoris dan pembangunan partisipatif pada intinya merupakan konsep pembangunan
yang menitikberatkan ataupun berorientasi pada adanya keterlibatan masyarakat dalam
proses pembangunan, namun demikian pembangunan partisipatoris dalam orientasi
keterlibatan masyarakat bergerak lebih maju dibandingkan konsep pembangunan
partisipatif yang mana salah satu kelemahan dari konsep pembangunan partisipatif adalah
tidak adanya kejelasan sampai dimana keterlibatan masyarakat dalam suatu proses
pembanguan sehingga seringkali keterlibatan masyarakat dalam konsep pembangunan
partisipatif hanya sekedar diartikan sebagai adanya andil masyarakat dalam merumuskan
program-program pembanguan namun bagaimana program-program tersebut dapat
sepenuhnya difasilitasi dan menciptakan keberdayaan pada masyarakat konsep
pembangunan partisipatif tidak mencakup hal tersebut.
Pembangunan partisipatoris sejatinya hadir sebagai pelengkap dari konsep
pembangunan yang sudah ada yaitu pembangunan partisipatif yang mana orientasi dari
konsep pembangunan ini tidak hanya sebatas adanya keterlibatan masyarakat namun juga
bagaimana keterlibatan masyarakat tersebut dapat dimaksimalkan untuk menciptakan
kemandirian masyarakat atas berbagai potensi yang dimilikinya.
Konsep pembangunan partisipatoris memiliki pandangan bahwa masyarakatlah
yang sebenarnya lebih tahu mengenai apa yang sebanarnya menjadi kebutuhan, potensi
maupun masalah yang dimilikinya, hanya saja terkadang masyarakat tidak memiliki
kemampuan untuk memaksimalkan potensi maupun mengatasi masalah tersebut
disebabkan masalah internal mereka sendiri seperti lemahnya sistem kelembagaan yang
mereka miliki. Oleh karena itu dalam konsep pembangunan partisipatoris menekankan
adanya fasilitasi terhadap masyarakat agar mereka dapat secara kolektif merumuskan
program-program pembangunan yang berdasarkan inisiatif mereka sendiri dan juga
mecoba menciptakan kemandirian masyarakat melalui penguatan kelembagaan mereka
sehingga diharapkan dimasa depan mereka dapat secara mandiri merumuskan ataupun
menyelesaikan permasalahan mereka sendiri.
Dalam konsep pembangunan partisipatoris yang menjadi fokus utama adalah
adanya fasilitasi atau pendampingan kepada masyarakat, karena orientasi dari
pembangunan partisipatoris adalah bagaimana masyarakat dapat berdaya atau mandiri
dalam memaksimalkan potensi ataupun mengatasi masalahnya sendiri. Masyarakat yang
telah berdaya maka dengan sendirinya mereka akan menggali segala potensi dan
berusaha mengatasi masalahnya sendiri.
Siklus pembangunan partisipatoris

1
 Kajian kondisi
fisik/sosial/ekonomi
 Identifikasi masalah
dan kebutuhan
berbasis komunitas

4 2

Evaluasi pencapaian FASILITASI Perumusan visi


berbasis komunitas dan FASILITASI komunitas/lokalitas dan
refleksi pelajaran penting penyusunan rencana-
rencana berbasis
komunitas
3

Pelaksanaan berbasis
komunitas
C. Perencanaan Partisipatoris
Perencanaan partisipatoris merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep
pembangunan parsipatoris, perencanaan partisipatoris menekankan adanya peran serta
aktif dari masyarakat secara kolektif atau komunitas dalam merencanakan pembangunan
mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifikasian masalah sampai penentuan skala
prioritas. Adapun manfaat dari adanya perencanaan adalah sebagai berikut :
1. Sebagai pendorong masyarakat dalam merubah kebutuhan masyarakat dari keinginan
(felt need) menjadi nyata (real need), sehingga Pelaksanaan program lebih terfokus pada
kebutuhan masyarakat.
2. Perencanaan dapat menjadi stimulasi terhadap masyarakat, untuk merumuskan den
menyelesaikan masalahnya sendiri;
3. Program dan pelaksanaannya lebih aplikatif terhadap konteks sosial, ekonomi, dan
budaya serta kearifan lokal, sehingga memenuhi kebutuhan masyarakat;
4. Menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab di antara semua pihak terkait dalam
merencanakan dan melaksanakan program, sehingga dampaknya dan begitu pula program
itu berkesinambungan;
5. Perlunya memberikan peran bagi semua orang untuk terlibat dalam proses, khususnya
dalam pengambilan dan pertanggungjawaban keputusan, sehingga memberdayakan
semua orang yang terlibat (terberdayakan);
6. Kegiatan-kegiatan pelaksanaan menjadi lebih obyektif dan fleksibel berdasarkan
keadaan setempat;
7. Memberikan transparansi akibat terbuka lebarnya informasi dan wewenang;
8. Memberikan kesempatan masyarakat untuk menjadi mitra dalam perencanaan.

Secara garis besar perencanaan partisipatoris mengandung makna adanya


keikutsertaan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, mulai dari melakukan
analisis masalah mereka, memikirkan bagaimana cara mengatasinya, mndapatkan rasa
percaya diri untuk mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri secara kolektif atau
komunitas tentang alternatif pemecahan masalah apa yang ingin mereka atasi.

Dalam merumuskan suatu visi ataupun tujuan pembangunan focus utama dari
konsep perencanaan partisipatoris adalah terletak pada timbulnya kesadaran dan
kepedulian dari masyarakat itu sendiri akan potensi maupun masalah yang dimilikinya.
Hal ini didasarkan bahwa masalah utama yang menyebabkan mengapa seringkali
rencana-rencana pembangunan yang telah dirumuskan tidak berjalan sebagaimana yang
diharapkan adalah karena kurangnya kepedulian masyarakat terhadap pembangunan itu
sendiri. Oleh karena itu dengan memfokuskan pada penguatan kelembagaan ataupun
pengorganisasian komunitas maka diharapkan masyarakat dapat secara aktif dan peduli
terhadap rencana-rencana pembangunan yang dirumuskan nantinya.

Siklus Perencanaan Partisipatoris

Kajian kondisi
modal, fisik,
manusia, social
dan finansial

Perumusan rencana Penyadaran dan analisis


kegiatan berbasis pengorganisasian masalah,potensi dan
komunitas komunitas kebutuhan
komunitas

Perumusan visi dan


misi berbasis
komunitas
D. Hubungan Fasilitasi dan Konsep Pembangunan Partisipatoris

Intisari dari konsep pembangunan partisipatoris adalah fasilitasi. Fasilitasi


seringkali merujuk pada bentuk dukungan tenaga dan metodologi dalam berbagai
program pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Fasilitasi menjadi inti dari kegiatan
pembangunan partisipatoris yang dilakukan oleh tenaga khusus untuk membantu
masyarakat untuk memaksimalkan segala potensi yang dimiliki maupun untuk mengatasi
ataupun meminimalkan masalah yang ada secara kolektis atau bersama. Kegiatan
fasilitasi atau pendampingan dilakukan dalam upaya mendorong partisipasi dan
kemandirian masyarakat. Kegiatan pendampingan menjadi salah satu bagian dalam
proses pemberdayaan masyarakat yang mana adalah tujuan utama dari pembangunan
partisipatoris. Dalam pendampingan dibutuhkan tenaga yang memiliki kemampuan untuk
mentransfer pengetahuan. Sikap dan perilaku tertentu kepada masyarakat. Disamping itu,
perlu dukungan dan sarana pengembangan diri dalam bentuk latihan bagi para
pendamping.

Di Indonesia, kegiatan pendampingan dilakukan melalui:

Pendampingan lokal yang terdiri dari tokoh masyarakat, kader PKK, aparat desa,
pemuda, Kader Pembangunan Desa (KPD) dan pihak lain yang peduli terhadap masalah
kemiskinan, seperti perguruan tinggi, organisasi masyarakat dan lembaga swadaya
masyarakat.

Pendamping teknis yang dipilih dari tenaga penyuluh departemen teknis, diantaranya;
Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian (Penyuluhan Pertanian Lapangan atau
PPL), dan penyuluhan pertanian spesialis atau PPS, Departemen Sosial, Petugas Sosial
Kecamatan atau PSK dan Karang Taruna, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan atau SP3) dan lainnya.

Pendamping khusus disediakan bagi masyarakat miskin di desa tertinggal dengan


pembinaan khusus. Pendamping ini diprogramkan malalui program khusus seperti;
Konsultan Pendamping untuk Proyek P3DT Swakelola dengan koordinasi Bappenas,
Bangda, dan PMD. Penanganan masalah pengungsi, seperti pengadaan tenaga lapangan
atau relawan untuk penanganan konflik, bimbingan khusus pengungsi.

Prinsip-Prinsip Fasilitasi

(a) Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan dipahami sebagai upaya membangun ikatan


atau hubungan yang menekankan pada tiga aspek;
Pertama, partisipasi diarahkan pada fungsi. Kemandirian, termasuk sumber-sumber,
tenaga serta manajemen lokal. Kedua, penekanan pada penyatuan masyarakat sebagai
suatu kesatuan; terlihat dari adanya pembentukan organisasi lokal termasuk di dalamnya
lembaga adat yang bertanggungjawab atas masalah sosial kemasyarakatan. Ketiga,
keyakinan umum mengenai situasi dan arah perubahan sosial serta masalah-masalah yang
ditimbulkannya. Aspek khusus dalam perubahan sosial yang menjadi pemikiran pokok
berbagai program pembangunan masyarakat, yaitu adanya ketimpangan baik di dalam
maupun di antara komunitas tersebut.

Melalui strategi “pengembangan masyarakat” diharapkan pemberdayaan masyarakat adat


dapat berlangsung secara dinamis sesuai dengan kondisi sosio budaya, politik dan
ekonomi masyarakat yang bersangkutan serta hubungan dengan komunitas lainnya.
Pendampingan sosial tidak saja berkaitan dengan terpenuhinya kebutuhan dasar.
Pengembangan sumber daya manusia, atau penguatan kelembagaan tetapi juga berkaitan
dengan pengembangan kapasitas masyarakat untuk melepaskan diri dari belenggu
perbedaan rasial, ketidakseimbangan kelas dan gender, serta menghapuskan penindasan
mayoritas.

(b) Berbasis Nilai dan Moral

Pendampingan tidak hanya dipandang sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dasar hidup
yang bersifat material seperti penyediaan lapangan kerja, pemenuhan pangan,
pendapatan, infrastruktur dan fasilitas sosial lainnya. Pendamping harus dipandang
sebagai upaya meningkatkan kapasitas intelektual, keterampilan dan “sikap” atau nilai
yang dijunjung tinggi. Pendampingan dilakukan melalui pendekatan “manusiawi” dan
beradab untuk mencapai tujuan pembangunan. Artinya, dapat saja sekelompok orang
telah terbangun dalam arti berada pada standar hidup layak, tetapi dengan cara-cara yang
“tak pantas” dilihat dari perspektif peningkatan kapasitas masyarakat. Jadi jelas bahwa
pemberdayaan merupakan cara-cara yang beradab dalam membangun masyarakat.

(c) Penguatan Jejaring Sosial

Dalam konteks pendampingan sosial, aspirasi dan partisipasi masyarakat dapat diperkuat
melalui interaksi dan komunikasi saling menguntungkan dalam bentuk jejaring
(nerworking). Peningkatan kapasitas suatu kelompok sulit berhasil jika tidak melibatkan
komunitas lain yang memiliki kepentingan dan hubungan yang sama. Pengembangan
jejaring perlu dilandasi pada pemahaman terhadap sistem relasi antar pelaku berbasis
komunitas dan lokalitas dengan asumsi bahwa pelaku memiliki pemahaman yang sama
tentang pengembangan jejaring. Dengan kata lain, perlu dibangun pemahaman bersama
antarpelaku seperti LSM, Perguruaan Tinggi, Ormas, Bank, Lembaga Sosial, Pemerintah
dan Lembaga Internasional untuk membangun jejaring sosial.

Proses jejaring membutuhkan implementasi prinsip-prinsip kesetaraan, bersifat informal,


partisipatif, komitmen yang kuat, sinergisitas dan upaya membangun kekuatan untuk
membantu masyarakat memecahkan permasalahan dan menemukan solusi dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan.

Kegiatan usaha produktif berbasis komunitas dan lokalitas diharapkan dapat melibatkan
pelaku atau lembaga lain, seperti organisasi pemerintah. Keberhasilan jejaring sebagai
media untuk perumusan kebijakan menjadi sangat penting tetapi ini semua tergantung
kepada komitmen semua pelaku dalam jejaring tersebut.

Peranan pemerintah lokal lebih bersifat sebagai fasilitator bukan hanya sebagai donatur.
Pemerintah lokal perlu mengalokasikan dana untuk masyarakat lapisan bawah atau
pengusaha kecil di kawasan ini. Dalam hal ini penguatan kelembagaan merupakan hal
penting dalam pemberdayaan masyarakat.

(d) Pemerintah sebagai Fasilitator

Peran dan fungsi pemerintah dalam konsep pendampingan sosial berubah tidak sekedar
sebagai institusi pelayanan masyarakat tetapi dalam masyarakat yang demokratis
memiliki peran pokok sebagai fasilitator. Pemerintah tidak hanya bertugas memberikan
pelayanan umum saja tetapi lebih ditekankan pada upaya mendorong kemampuan
masyarakat untuk memutuskan dan bertindak didasarkan pada pertimbangan lingkungan,
kebutuhan dan tantangan ke depan. Fasilitator tidak sekedar dituntut untuk menguasai
teknik tertentu untuk memfasilitasi tetapi juga harus mampu membangun kemampuan
pelaku lainnya mengenai program secara keseluruhan.

Anda mungkin juga menyukai