Anda di halaman 1dari 116

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam hukum pidana dinyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat

dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah

ada (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa lege Poenali) yang tercantum

dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam

hukum acara pidana setiap perkara pidana harus diajukan di hadapan hakim.

Dalam konsideran menimbang Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa Negara Republik

Indonesia adalah Negara Hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta menjamin segala

warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan

wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada

terkecuali1

Keadilan, kepastian, dan kemanfaatan merupakan tujuan hukum yang

memberikan harapan bagi seseorang dalam mencari keadilan di tengah-tengah

permasalahan yang dihadapi. Untuk mencari keadilan itu, ditempuh melalui

lembaga peradilan yang ada di Indonesia. Akan tetapi dalam pelaksanaannya

sering sekali ditemukan, proses penyelesaian perkara di lembaga pengadilan


1
Indonesia, Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
2

tidak dapat memberikan jaminan akan adanya suatu kepastian, keadilan dan

kemanfaatan yang diterima seseorang dikarenakan adanya suatu ketidakjelasan di

dalam penerapan hukum yang berlaku.

Ketidakjelasan itu terkadang disebabkan oleh hukum yang berlaku

sekarang ini adalah hukum yang dibuat pada waktu yang lampau, sedangkan jika

dibandingkan dengan jaman sekarang sudah jelas sangat berbeda. Hukum tidak

dapat bersifat statis melainkan harus bergerak dinamis mengikuti perkembangan

jaman dan perkembangan pola kehidupan masyarakat yang semakin maju,

karena pada hakekatnya hukum itu selalu berjalan tertatih-tatih di belakang

kenyataan masyarakat. Apabila hukum tidak bergerak mengikutinya, maka hal

seperti ini menjadi salah satu yang mempengaruhi penegakan hukum guna

pencapaian tujuan hukum yang dicita-citakan masyarakat di dalam mengatur

kehidupan bermasyarakat melalui hukum positif yang berlaku di negara kita.

“Bangsa yang beradab adalah bangsa yang menjalankan fungsi hukumnya secara

merdeka dan bermartabat “merdeka dan bermartabat berarti dalam penegakkan

hukum wajib berpihak pada keadilan, yaitu keadilan untuk semua.”2 Oleh karena

itu peranan penegakan hukum sangat penting dan mempunyai korelasi yang

dinamis dengan tujuan hukum itu sendiri bagi seseorang yang berhadapan

dengan hukum.

2
Muhamad Erwin,Filsafat Hukum (Refleksi Kritis Terhadap Hukum),Cet.2, Edisi 1, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2011), hlm.132.
3

Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang mempengaruhi

penegakan hukum yaitu: “(i) faktor hukumannya sendiri, (ii) faktor penegak

hukum, dan (iii) faktor sarana, (iv) faktor masyarakat dan (vi) faktor

kebudayaan.”3 Penegakan hukum selalu melibatkan manusia di dalamnya dan

melibatkan juga tingkah laku manusia. Hukum tidak dapat tegak dengan

sendirinya, artinya hukum tidak mampu mewujudkan janji-janji serta kehendak–

kehendak yang tercantum dalam (Peraturan-peraturan) hukum.4 Faktor penegak

hukum yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penegakan hukum

dapat dirasakan melalui peranan penegak hukum itu sendiri dan juga dapat kita

lihat dari produk-produk hukum yang dihasilkan yang diantara lain hakim pada

lembaga peradilan dengan putusannya. “Berikanlah kepada saya seorang jaksa

yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas,

maka dengan undang-undang yang paling buruk pun saya akan menghasilkan

putusan yang adil.”5

Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum formil

(procedural law) yang memiliki fungsi (publiekrechtelijk instrumentarium)

mengatur ketentuan-kententuan cara mempertahankan hukum materil

(handhaving van het materiele recht) atau yang biasa disebut dengan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan landasan dalam

3
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet. 10, Edisi.
1, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011), hlm.8.
4
Satjipto Raharjo, penegakan Hukum suatu tinjauan sosiologis, Cet 1 (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009), Hlm.7
5
Muhamad Erwin,op.cit.,hlm133
4

mempertahankan apa yang menjadi dasar seseorang untuk tetap dapat

mempertahankan ketentuan dalam pelaksanaan hukum materil (KUHP).

Sama seperti hal itu di dalam perjalanan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sejak

tahun 1981 sampai saat ini belum adanya suatu perubahan yang diatur secara

tegas, sadar dengan hal itu di dalam penerapanya Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

banyak ditemukan ketidaksesuaian lagi dalam ketentuanya, untuk

mempertahankan bagaimana hukum materil dapat dilaksanakan, yang salah

satunya juga memberikan kepastian kepada seseorang untuk mendapatkan

kejelasan dari tindak lanjut keputusan yang diberikan oleh pengadilan, seperti

halnya di dalam Pasal 197 Ayat (1) huruf K Undang-Undang No 8 Tahun 1981

Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi

tujuan penulis dalam melakukan tinjauan terhadap Pasal ini.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 197 Ayat (1) huruf a-l menjelaskan

bahwa dalam membuat surat putusan pemidanaan harus memuat hal-hal yang

tercantum dalam Pasal 197 ayat (1) huruf a-l, dan ayat (2) menjelaskan bahwa

tidak terpenuhinya ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,h,j,k dan l Pasal ini mengakibatkan

putusan “batal demi hukum” (null and void) Menurut pendapat Muhamad Erwin,

“bila keberlakuan hukum positif itu tidak terpenuhi maka tidaklah dapat
5

diberlakukan hukumnya itu, bila keberlakuan hukum positif ini terpenuhi, maka

adalah hukum positif inilah yang diberlakukan.”6

Didalam penerapan Pasal 197 ayat (1) KUHAP, sebelumnya terdapat

suatu peristiwa hukum yang menarik perhatian publik dimana terpidana kasus

tindak pidana korupsi Susno Duadji mantan Kabareskrim Mabes POLRI menolak

untuk dilakukan eksekusi sebab putusan pemidanaan terhadap terpidana, batal

demi hukum karena tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 Ayat 1 huruf k

KUHAP. Hal serupa juga pernah terjadi pada terpidana kasus perambahan hutan

yang bernama H. Parlin Riduansyah yang dimana didalam putusan

pemidanaanya tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 Ayat (1) Huruf K

KUHAP.

Sadar terhadap kenyataan di atas, menjadi ketertarikan penulis dalam

memilih judul ini “Tinjauan Yuridis Pasal 197 Ayat (1) Huruf K Undang-

Undang No 8 Tahun 1981 tentang Surat Perintah Supaya Terdakwa

Ditahan Tetap dalam Tahanan atau Dibebaskan terhadap Eksekusi

Pemidanaan” sebagaimana telah diajukan dalam judul ini, dilatar belakangi oleh

ke ingin tahuan penulis terhadap permasalahan yang ada di dalam ketentuan

Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai salah satu syarat dalam

membuat surat putusan pemidanaan dan kaitannya dengan eksekusi sebagai

pelaksanaan terhadap putusan pengadilan.


6
Ibid.,hlm 121
6

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat ditarik rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Apakah syarat yang harus terpenuhi oleh hakim dalam membuat putusan

pemidanaan?

2. Apakah bisa Putusan Pemidanaan yang tidak mencantumkan Pasal 197

ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dieksekusi ?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan penulis di atas,

maka yang menjadi tujuan penelitian penulis yaitu:

a. Untuk mengetahui syarat-syarat yang harus terpenuhi oleh hakim

dalam membuat surat putusan pemidanaan.

b. Untuk mengetahui apakah bisa putusan pemidanaan yang tidak

mencantumkan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) dieksekusi.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara

teoritis, akademis dan praktis sebagai berikut:


7

a. Manfaat teoritis

Melalui penelitian ini penulis mengharapkan dapat

memberikan kontribusi bagi pembelajaran terhadap perkembangan

ilmu hukum, khususnya bagi perkembangan ilmu hukum pidana

dan perkembangan hukum acara pidana, serta dapat memberikan

informasi, atau wawasan terhadap ilmu pengetahuan dibidang

hukum acara pidana.

b. Manfaat Akademis

Melalui penelitian ini penulis berharap dapat memenuhi

persyaratan dalam mencapai gelar S-1 program study Ilmu Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Mataram dan juga Menambah

referensi atau literatur bagi sesorang yang membutuhkannya serta

berminat untuk mengembangkannya sebagai bahan pembelajaran

atau acuan dalam melakukan penelitian dibidang hukum acara

pidana.

c. Manfaat Praktis

Disamping manfaat teoritis dan manfaat akademis,

penelitian ini diharapkan pula dapat bermanfaat dan berguna bagi

penegak hukum, khususnya hakim agar tetap mempertahankan

tugas dan kewenangannya dalam melakukan penegakan hukum

yang berkeadilan dan mempunyai kepastian hukum yang

bermanfaat bagi semua orang.


8

D. Ruang Lingkup Penelitian

Ditinjau dari permasalahan yang timbul dari Pasal 197 ayat (1) huruf k

Undang-Undang No 8 Tahun 1981 (KUHAP) tentang putusan pemidanaan harus

memuat keterangan yaitu perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam

tahanan atau dibebaskan, maka permasalahan yang akan dibahas di dalam

penelitian ini yaitu tertuju pada syarat putusan pemidanaan dan ketentuan Pasal

197 ayat (1) huruf k Undang-Undang No 8 Tahun 1981 (KUHAP) sebagai salah

satu syarat dalam membuat surat putusan pemidanaan, dimana harus memuat

keterangan supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan

yang kaitannya juga kepada pelaksanan putusan pengadilan yang dilakukan oleh

jaksa yang berupa eksekusi terhadap terpidana.


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum terhadap Putusan Hakim dalam Perkara Pidana

1. Pengertian Putusan Hakim

Produk hukum hakim dalam pemeriksaan perkara di ruang sidang

terdiri dari 3 macam yaitu akta perdamaian, penetapan dan putusan.

Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis

dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil

dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair). Akta perdamaian adalah

akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah antara para pihak

dalam sengketa untuk mengakhiri sengketa serta berlaku sebagai putusan

dan menurut pendapat Laden Marpaung sebagaimana yang dikutip dalam

buku peristilahan hukum dalam praktik yang dikeluarkan Kejaksaan Agung

RI 1985 Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah

dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat

berbentuk tertulis ataupun lisan.7 Pengertian putusan pengadilan menurut

Pasal 1 ayat (11) KUHAP yaitu: Pernyataan hakim yang diucapkan dalam

sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau

lepas dari segala tuntutan hukum, dalam hal serta menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini.8


7
Leden Marpaung,.proses penangan perkara pidana Cet.1, Ed.2,,(Jakarta: Sinar Grafika,2010)
hlm.129
Indonesia. Undang-undang No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
8

Pidana,Pasal.1 ayat (11)


10

Pengertian putusan berdasarkan kamus hukum yang disusun oleh

J.C.T. simorangkir, Rudy T. Erwin, dan J.T. prasetyo ialah hasil dari

pemeriksaan suatu perkara.9 Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo:

Putusan hakim adalah “suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat

yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan

mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para

pihak.10

Berdasarkan kamus Hukum fockema Andrea sebagaimana yang

dikutip Laden Marpaung:

Ada yang mengartikan putusan (vonnis) sebagai vonnis tetap


(definitief). Mengenai kata putusan yang diterjamahkan dari vonis
adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Ada
juga disebut interlocutoire yang diterjemahkan dengan keputusan
antara atau keputusan sela dan preparatoire yang diterjemahkan dengan
putusan pendahuluan/keputusan persiapan serta keputusan
provisionele yang diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara.11

Dari peryataan para ahli hukum di atas dapat kita ketahui bahwa

putusan pengadilan merupakan salah satu produk hukum hakim yang

dikeluarkan berdasarkan hasil pemeriksaan persidangan dan ditambah dengan

keyakinan serta disepakati melalui musyawarah hakim sebagai hasil dari

pemeriksaan perkara yang ditanganinya.

9
J.C.T. simorangkir, Rudy T. Erwin, dan J.T. prasetyo,. Kamus Hukum Cet.9,,(Jakarta: Sinar
Grafika,2005) hlm.136
10
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Jogyakarta:Liberty,1993) hlm.
174.
11
Laden marpaung, Loc,cit.,
11

2. Jenis-Jenis Putusan

Taufik Makarao menyatakan bahwa putusan hakim itu terdiri dari 2

Jenis yaitu: (i) putusan sebelum memeriksa pokok/materi perkara dan (ii)

putusan sesudah memeriksa pokok / materi perkara.12 Putusan sebelum

memeriksa pokok perkara meliputi: Penetapan sengketa mengenai wewenang

mengadili yaitu Putusan yang menyatakan pengadilan berwenang atau tidak

berwenang, dalam praktik lazimnya disebut onbevoegheid van de rechter

ialah berkaitan dengan kompetensi absolut (absolute competentie) yang

merupakan kewenangan pengadilan dalam memeriksa, mengadili, memutus

jenis perkara tertentu dan kompetensi relatif (relative competentie) yang

merupakan kewenangan pengadilan dalam memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara berdasarkan wilayah administratif pengadilan tersebut

berada.

Wirjono prodjodikoro menyatakan ada 2 macam kekuasaan mengadili

yaitu:

Ke-1. Kekuasaan berdasarkan atas peraturan hukum mengenai


pembagian kekuasaan mengadili (distributie van rechts macht) kepada
Pengadilan Negeri, tidak kepada lain macam pengadilan.
Ke-2 kekuasaan berdasarkan atas peraturan hukum mengenai
pembagian kekuasaan mengadili (distributie van rechts macht)
diantara Pengadilan Negeri. 13

12
Mohammad taufik Makarao, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek Cet.1
(Jakarta: Ghalia Indonesi,2004), Hlm.169
13
Wirjono Prodjodikoro, Hukum acara pidana di Indonesia. Cet.10, (Bandung: Sumur
Bandung, 1983), Hlm.61
12

H. Kaharudin menyatakan sebagaimana yang dikutip dari Sjachran

Basah, membagi kompetensi pengadilan menjadi 2 macam, yaitu

(i) Atribusi (absolute competentie atau attribute van rechtsmacht)


adalah yang berkaitan dengan pemberian wewenang yang
bersifat bulat (absolut) mengenai materinya, dan dapat
dibedakan menjadi 2 yaitu: horizontal dan vertikel, horizontal
adalah wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu
jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang
mempunyai kedudukan sederajat / setingkat; sedangkan
vertikel wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari jenis
suatu pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang
secara berjenjang atau hierarchies mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi.
(ii) Distribusi (relatife kompetentie atau distributife van
rechtsmacht) adalah berkaitan dengan pembagian wewenang
yang bersifat terperinci (relatif) diantara badan badan yang
sejenis mengenai wilayah hukum14

Dalam KUHAP penetapan mengenai wewenang mengadili ini harus

dilakukan oleh ketua pengadilan meskipun terdakwa tidak mengajukan

keberatan (eksepsi), yang dapat diajukan pada sidang pertama setelah

penuntut umum membacakan surat dakwaan.

Taufik Makarao menyatakan bahwa setelah menerima surat

pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara

itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya (Pasal 147 KUHAP).15

Putusan yang menyatakan pengadilan tidak berwenang dapat dilihat dari

ketentuan Pasal 84 ayat (1) KUHAP, Undang-Undang telah mengatur

kewenangan pengadilan negeri untuk mengadili segala perkara yang

14
H. Kaharudin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Sengketa Informasi
Publik, Cet.1, (Yogyakarta: Mahkota Kata Yogyakarta,2011)hlm.41-42
15
Taufik makarao, loc, cit.,
13

dilakukan di dalam daerah hukumnya. Apabila hakim yang memeriksa

perkara yang diajukan kepadanya berpendapat bahwa pengadilan tidak

memiliki wewenang untuk mengadili, dalam hal ini hakim harus membuat

surat penetapan yang memuat alasannya dan menyerahkan perkara tersebut

kepada pengadilan yang berwenang mengadilinya sebagaimana yang

ditentukan di dalam ketentuan Pasal 148 KUHAP yang berbunyi:

“Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat bahwa perkara pidana


itu tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, tetapi
termasuk wewenang pengadilan negeri lain, ia menyerahkan surat
pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri lain yang
dianggap berwenang mengadilinya dengan surat penetapan yang
memuat alasanya.”

Sedangkan Putusan sesudah memeriksa pokok atau materi perkara

Wirjono Prodjodikoro menyatakan, ada 3 macam Putusan sesudah memeriksa

pokok atau materi perkara ditinjau dari HIR Pasal- Pasal 313, 314 dan 315,

yaitu: Putusan Yang mengandung Pembebasan terdakwa (Vrijspraak),

Putusan yang mengadung Pelepasan terdakwa dari segala tuntutan (onstlag

van rechtsvervolging), dan putusan yang mengandung suatu penghukuman

terdakwa (verordeling).16

3. Macam-Macam Putusan

Pasal 1 ayat (11) KUHAP menyatakan “putusan merupakan peryataan

hakim dapat berupa pemidanaan, atau bebas atau lepas dari segala tuntutan”

dari pernyataan itu penulis berpendapat sama halnya dengan HIR sebagimana

16
Wirjono Prodjodikoro. Op.Cit., Hlm.111
14

juga dinyatakan P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang menurut sistem

KUHAP yang dimaksud dengan semua putusan pengadilan dalam Pasal 195

KUHAP adalah putusan–putusan seperti yang dimaksud dalam: Pasal 191

ayat (1) KUHAP yakni putusan bebas, Pasal 191 ayat (2) KUHAP yakni

putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dan Pasal 193ayat (1) KUHAP

yakni putusan pemidanaan.17

a. Putusan Bebas

Yahya Harahap berpendapat bahwa: Putusan bebas atau

lepas dari segala tuntutan hukum berarti terdakwa dijatuhi putusan

bebas atau (Vrijspraak). Adapun pengertian terdakwa diputus

bebas, bahwa terdakwa dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya

tedakwa tidak dipidana18.

Dalam ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang

berbunyi:

jika pengadilan berpendapat bahwa hasil dari pemeriksaan


sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara dan
meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

Wirjono prodjodikoro menyatakan bahwa:

Kalau peristiwa-peristiwa yang tersebut dalam tuduhan,


seluruhnya atau sebagian, oleh hakim dianggap tidak
terbukti maka terdakwa harus dibebaskan dari tuduhan

17
P.A.F. Lamintang dan Theo. Lamintang, pembahasan KUHAP menurut Ilmu Pengetahuan
&yurisprudensi.,cet.1, Ed.2 (Jakarta: sinar grafika,2010) Hlm.4444
18
Yahya Harahap, pembahasan dan permasalahan penerapan KUHAP pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding Kasasi dan Peninjauan Kembali .Cet.2, (Jakarta : Sinar Grafika,2006), Hlm.347
15

(vrijgeproken) (Pasal 313 HIR). Ketiadaan terbukti ini ada


dua macam yaitu:
Ke-1. Ketiadaan bukti yang oleh undang-undang
ditetapkan sebagai minimum, yaitu adanya hanya
pengakuan terdakwa saja atau adanya hanya seorang saksi
saja atau adanya suatu penunjukan saja, tidak dikuatkan
oleh lain alat bukti.
Ke-2. Minimum pembuktian yang ditetapkan oleh undang-
undang telah dipenuhi, misalnya sudah ada dua orang
saksi tetapi hakim tidak yakin dengan kesalahan
terdakwa.19

Lilik Mulyadi menyatakan, putusan bebas terjadi

disebabkan beberapa hal antara lain:

Unsur-unsur dari surat dakwaan tidak memenuhi syarat


formil dan syarat materil, yang menyebabkan putusan
bebas juga didasari keyakinan hakim yang memandang
bahwa terdakwa tidak terbukti dan meyakinkan bersalah,
walaupun surat dakwaan telah memenuhi syarat subjektif
dan objektif akan tetapi hakim tidak yakin terdakwa
bersalah maka terdakwa tidak dapat dihukum. Apabila
terdakwa dijatuhi putusan bebas (vrijspraak) atau
(acquittal), terdakwa tidak dipidana atau tidak menjalani
hukuman kerena hasil pemeriksaan di persidangan yang
didakwakan jaksa / penuntut umum dalam surat dakwaan
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut
hukum.20

Dari pengertian putusan bebas di atas dapat diketahui

bahwa putusan bebas yang dinyatakan oleh hakim disebabkan

karena dakwaan / tuduhan yang dibuat pada hakekatnya terjadi

dikarenakan kekurang cermatan jaksa / penuntut umum dalam

membuat surat dakwaan yang harus memenuhi syarat formil dan

19
Prodjodikoro, Loc,cit,.
20
Lilik mulyadi, hukum acara pidana, (PT. Citra Aditya Batti,2007), Hlm.150
16

materil, serta tidak adanya keyakinan hakim bahwa terdakwa

tersebut melakukan kesalahan.

b. Lepas dari Segala Tuntutan Hukum

Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro lepas dari segala

tuntutan adalah: Apabila menurut pendapat hakim peristiwa-

peristiwa yang dalam surat tuduhan yang dituduhkan kepada

terdakwa, adalah terbukti, akan tetapi yang terang terbukti itu

tidak merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran, maka terdakwa

harus dilepaskan dari segala tuntutan.21 Di dalam ketentutuan

Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:

jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang


didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu
tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa
diputus lepas dari segala tuntutan.

Menurut Laden Marpaung sebab-sebab terdakwa

dilepaskan dari segala tuntutan hukum ialah:

- salah satu sebutan hukum pidana yang didakwakan


tidak cocok dengan tindak pidana. Misalnya terdakwa
hanya mengambil barang hanya untuk dipakai bukan
untuk dimiliki.
- Terdapat keadaan istimewa yang menyebabkan
terdakwa tidak dapat dihukum, misalnya karena Pasal
44,48,49,50,51 masing-masing dari KUHP.22

Taufik Makarao menyatakan perbedaan antara putusan

bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah :

21
Prodjodikoro, Op.cit.,Hlm 112
22
Laden marpaung, Op.cit.,Hlm.135
17

(1) Ditinjau dari segi pembuktian, pada putusan pembebasan,


perbuatan tindak pidana yang didakwakan kepada
terdakwa “tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan. jadi,
tidak memenuhi asas pembuktian menurut Undang-
Undang secara negatif serta tidak memenuhi azas batas
minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183
KUHAP sedangkan pada putusan pelepasan dari segala
tuntutan hukum apa yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti secara sah baik dinilai dari segi pembuktian
berdasarkan undang-undang maupun dari segi batas
minimum pembuktian akan tetapi perbuatan tersebut tidak
diatur di dalam undang-undang hukum pidana atau dengan
kata lain tidak merupakan perbuatan pidana, tapi mungkin
termasuk perbuatan diluar ruang lingkup hukum pidana.
(2) Ditinjau dari penuntutan, putusan bebas bila ditinjau dari
perbuatan yang dilakukan atau didakwakan kepada
terdakwa benar-benar perbuatan pidana, Cuma dari segi
pembuktian yang ada tidak cukup mendukung keterbukaan
kesalahan terdakwa, oleh karena itu terdakwa diputus
bebas dan membebaskan dirinya dari ancaman pasal tindak
pidana yang didakwakan kepadanya. Sedangkan dalam
putusan lepas dari segala tuntutan, pada hakekatnya apa
yang didakwakan kepadanya bukan merupakan tindak
pidana, barangkali hanya berupa quasi tindak pidana,
seolah-olah penyidik dan penuntut umum melihatnya
sebagai tindak pidana 23.

c. Penghukuman Terdakwa

Putusan yang dimuat berupa penghukuman terdakwa, oleh

sebagian pakar menyebutnya sebagai putusan pemidanaan 24

Sudarto menyatakan bahwa perkataan pemidanaan  sinonim

dengan istilah penghukuman. Penghukuman itu sendiri berasal

dari kata “hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan

hukum atau memutuskan tentang hukumannya (berechten).

23
Taufik Makarao,Op.Cit.,Hlm.175
24
Ibid., Hlm.138
18

Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya dalam

lapangan hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainnya.

Oleh karena itu istilah tersebut harus disempitkan artinya, yaitu

penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim

dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh

hakim.25

Mulyadi menegaskan, Pada hakekatnya putusan

pemidanaan merupakan putusan hakim yang berisikan suatu

perintah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas

perbuatan yang dilakukanya sesuai dengan amar putusan.26

Wirjono prodjodikoro menyatakaan: Apabila yang dituduhkan

kepada terdakwa, oleh hakim dianggap terbukti dan merupakan

juga suatu kejahatan atau pelanggaran, maka hakim harus

menjatuhkan suatu hukuman pidana.27

Bentuk putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193

KUHAP yang berupa pemidanaan. Pemidanaan berarti terdakwa

dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan

dalam Pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa,

sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) KUHAP penjatuhan putusan

pemidanaan terhadap terdakwa didasari pada penilaian


25
http://luqmanpinturicchio.blogspot.com/2012/06/pengertian-pidana-dan-pemidanaan.html ,
Diakses Hari Minggu 1 Desember 2013
26
Lilik Mulyadi.Op.cit.,Hlm.148
27
Prodjodikoro, Op.cit.,Hlm 136
19

pengadilan. jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa

terbukti bersalah dan melanggar pasal yang didakwakan

kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukum pidana terhadap

terdakwa, atau dengan penjelasan lain apabila menurut pendapat

dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan

meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan

kepadanya sesuai dengan sistem pembuktiaan dan asas batas

minimum pembuktian yang ditentukan Pasal 183 KUHAP yang

berbunyi:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang


kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukanya.28

Yahya Harahap menyatakan, bahwa:

Dalam menentukan kesalahan terdakwa dan


mewujudkannya dalam bentuk putusan didasari pada
sekurang-kurangnya dua alat bukti dan ditambah dengan
keyakinan hakim terdakwalah pelaku tindak pidananya.
Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada
seorang terkdawa tiada lain dari putusan yang berisi
perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan
ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana yang
didakwakan.29

4. Bentuk Putusan dalam Perkara Pidana

28
Indonesia, Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara
Pidana,psl.183
29
Yahya Harahap, pembahasan dan permasalahan penerapan KUHAP …, Op.cit.,Hlm 354
20

Mahakamah Agung berpendapat sebagaimana yang telah dikutip Lilik

Mulyadi dalam praktik peradilan manifesistasi bentuk “keputusan” Pasal 156

ayat (1) KUHAP dapat berupa: Penetapan dan Putusan yang dapat berbentuk:

Putusan sela dan Putusan akhir.30

a) Penetapan

Sebelumnya telah diuraikan di atas bahwa salah satu

bentuk produk hukum hakim adalah: Penetapan yang merupakan

pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan

diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai

hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).

Lilik Mulyadi berpendapat bahwa:

Penetapan dikeluarkan sebelum hakim memeriksa pokok


perkara atau setelah penuntut umum melimpahkan perkara
ke pengadilan negeri. Menurut ketentuan KUHAP atau
praktek peradilan bentuk “penetapan” ini dibuat menyangkut
aspek ketidak wenangan pengadilan mengadili perkara, baik
bersifat kompetensi absolut (absolute competentie) maupun
kompetensi relatif (relative competentie).31

b) Keputusan Sela

Menurut pendapat Ansori Sabuan, Syarifuddin Petanasea

dan Ruben Achmad Putusan sela adalah putusan yang bukan

merupakan putusan akhir melainkan putusan yang berupa:

30
Mulyadi,Op.cit,. hlm 161-162
31
ibid
21

- Putusan yang berisi peryataan tidak berwenangnya


pengadilan untuk memeriksa suatu perkara (onbevoegde
verklaring)
- Putusan yang menyatakan surat dakwaan penuntut
umum batal (nietig verklaring van de acte van
verwejzing)
- Putusan yang berisi pernyataan bahwa dakwaan penuntut
umum tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklard)
- Putusan yang menyatakan penundaan pemeriksaan
perkara oleh karena ada perselisihan pra judisial
(perselisihan kewenangan).32

Menurut pendapat H. Kaharudin ditinjau dari hukum

administrasi negara putusan sela (tussen vonis) adalah:

Putusan yang dikeluarkan oleh hakim sebelum


mengeluarkan putusan akhir dengan maksud
mempermudah pemeriksaan perkara selanjutnya dalam
rangka memberikan putusan akhir, putusan sela dibedakan
atas 2 macam yakni, putusan praeparatoir, misalnya untuk
menggabungkan dua perkara menjadi satu atau putusan
untuk menentukan tenggang waktu dimana para pihak
harus bertindak, dan putusan interlocutoir adalah putusan
berisi perintah kepada salah satu pihak untuk membuktikan
suatu hal.33

Laden Marpaung berpendapat bahwa pemakaian kata

putusan pada Putusan sela merupakan hal yang keliru hal itu

disebabkan bahwa putusan merupakan hasil akhir dari pengadilan

negeri dan keputusan sela syogianya merupakan suatu penetapan

oleh sebab itu yang benar adalah keputusan sela.34

c) Putusan Akhir

32
Ansori Sabuan, Syarifuddin Petanasea dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana. Cet.1,
(Bandung: Angkasa Bandung:1990) Hlm 197
33
H. Kaharudin,. Op.cit,. Hlm 177-178
34
Laden Marpaung, Op.cit Hlm 156
22

Menurut pendapat H. Kaharudin ditinjau dari hukum

administrasi negara putusan akhir (lind vonnis) yaitu:

Putusan yang sifatnya mengakhiri suatu sengketa dalam


tingkat tertentu. Macam-macam sifat putusan akhir yaitu
putusan yang bersifat menghukum (comdemnatoir),
putusan yang bersifat menciptakan (constitutif), dan
putusan yang bersifat menerangkan (deklaratif).35

Ansori Sabuan, Syarifuddin Petanasea dan Ruben Achmad

menyatakan bahwa putusan akhir (eind vonnis) yaitu:

- Putusan yang menyatakan terdakwa dibebaskan dari


dakwaan (vrijspraak) - Pasal 191 ayat (1) KUHAP
- Putusan yang menyatakan terdakwa dilepaskan dari
segala tuntutan hukuman (onslag van alle
rechtsvervolging) - Pasal 191 ayat (2) KUHAP
- Putusan yang berisi suatu pemidanaan (veroordeling) -
Pasal 193 ayat (1) KUHAP.36

5. Syarat-Syarat Putusan dalam Perkara Pidana

Menurut pendapat Taufik Makarao syarat sah putusan Pengadilan:

1. Diucapkan Terbuka untuk Umum


Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan
hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum (Pasal
195 KUHAP).
2. Hadirnya Terdakwa
Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa, kecuali
dalam hal undang-undang menentukan lain. dalam hal ini terdapat
lebih dari satu orang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat
diucapakan dengan hadirnya terdakwa yang ada (Pasal 196 ayat
1dan 2 KUHAP).
3. Wajib Diberitahukan Hak-Hak Terdakwa
Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim
ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang
segala apa yang menjadi haknya, yaitu:

35
ibid
36
Ansori Sabuan, Syarifuddin Petanasea dan Ruben Achmad, Op.cit., Hlm 198
23

a) Hak segera menerima atau segera menolak putusan;


b) Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima
atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang ini;
c) Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam
tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang
untuk mengajukan grasi dalam hal ia menerima putusan
d) Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding
dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam undang-
undang ini, dalam hal ia menolak putusan;
e) Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh
undang-undang ini Pasal (196 ayat 3 KUHAP).37

Selain itu, Yahya Harahap menyatakan bahwa putusan pengadilan

juga harus Memuat:

Segala ketentuan yang ada di dalam Pasal 197 KUHAP. Tanpa


memuat ketentuan-ketentuan yang disebut Pasal 197 KUHAP, bisa
mengakibatkan putusan “batal demi hukum”. Sekalipun ketentuan
Pasal 197 hanya memuat ketentuan pemidanaan, pembebasan dan
pelepasan dari segala tuntutan hukum, pada hakekatnya ketentuan itu
berlaku terhadap jenis putusan lain, terutama terhadap jenis putusan
yang menyatakan dakwaan batal demi hukum, kecuali kepada
keputusan yang bersifat penetapan Pasal 197 tidak merupakan syarat
penetapan.38

Keputusan yang “ batal demi hukum” adalah suatu ketetapan yang

isinya menetapkan adanya akibat suatu perbuatan itu untuk sebagian atau

seluruhnya bagi hukum dianggap tidak ada, tanpa diperlukan keputusan

pengadilan atau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang

menyatakan batalnya ketetapan tersebut, jadi ketetapan itu batal sejak

dikeluarkan, bagi hukum dianggap tidak ada ( dihapus ) tanpa diperlukan

37
Taufik Makarao,Op.cit,.Hlm178-179
38
Yahya Harahap, pembahasan dan permasalahan penerapan KUHAP…, Op.cit,.Hlm 359
24

suatu keputusan hakim atau keputusan suatu badan pemerintah lain yang

berkompeten untuk menyatakan batalnya sebagian atau seluruhnya. Namun

Utrecht sendiri menjelaskan dalam catatan kaki bukunya, bahwa hal ini jarang

sekali terjadi namun ada atau dengan kata-kata “ satu dua hal”. yang

maksudnya bahwa sebetulnya Utrecht mempunyai pendapat secara umum

bahwa batal karena hukum suatu ketetapan tidak secara otomatis artinya

diperlukan suatu tindakan pembatalan dari pengadilan maupun badan atau

pejabat tata usaha negara.39

Hans Kalsen menyatakan di dalam bukunya yang berjudul teori umum

tentang hukum dan Negara bahwa: Hukum juga menetapkan bahwa keputusan

pengadilan yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan harus tetap berlaku

sebelum keputusan tersebut dihapuskan oleh keputusan dari pengadilan lain

menurut prosedur tertentu.40

Laden Marpaung juga menegaskan bahwa syarat-syarat supaya sahnya

putusan yaitu: Memuat hal-hal yang diwajibkan Pasal 197 ayat (1) dan ayat

(2) dan juga harus diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Hal tersebut

harus dinyatakan sebagai syarat mutlak.41

Lilik Mulyadi menyatakan prosedur-prosedur dilakukan hakim dalam

membuat putusan harus melalui tahapan sebagai berikut :

39
Http://Ardianlovenajlalita.Wordpress.Com/2013/05/27/Karakter-Hukum-Keputusan-
Pejabat-Tata-Usaha-Negara/, diakses hari minggu 1 Desember 2013
40
Hans Kelsen, Teori umum tentang Hukum dan Negara,Cet 8,(Bandung, Nusa Media:
2013), Hlm.228
41
Laden Marpaung, Op.cit,. Hlm 148
25

a) Sidang dibuka dan terbuka untuk umum .


b) Terdakwa dipanggil masuk kedepan persidangan dalam keadaan
bebas, kemudian dilanjutkan pemeriksaan identitas terdakwa serta
terdakwa diingatkan untuk memperthatikan segala sesuatu yang
didengar dan dilihatnya di persidangan.
c) Pembacaan surat dakwaan untuk acara biasa atau catatan dakwaan
untuk acara singkat.
d) Terdakwa dinyatakan apakah sudah benar-benar mengerti akan
dakwaan/catatan dakwaan tersebut apabila ternyata tidak
mengerti. maka penuntut umum atas permintaan hakim ketua
sidang wajib memberikan penjelasan yang diberikan.
e) Dapat dilanjutkan dengan putusan sela apabila atas keberatan
tersebut hak berpendapat baru diputus setelah selesai peleriksaan
perkara.
f) Pemeriksaan alat bukti yang berupa: keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa .
g) Peryatan hakim ketua sidang yang menyatakan bahwa
pemeriksaan dinyatakan selesai.
h) Tuntutan (requisitor) yang diajukan penuntut umum berdasarkan
fakta fakta pada proeses pemeriksaan perkara di ruang sidang.
i) Pembelaan (pledoi) terdakwa atau penasehat hukumnya.
j) Pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan musyawarah
hakim untuk menentukan putusan
k) Putusan diucapkan pada sidang terbuka untuk umum (Pasal 195
KUHAP), dan ditandatangani seketika oleh hakim dan panitera
setelah putusan diucapkan (Pasal 200 KUHAP)42

B. Tinjauan Umum tentang Eksekusi Pemidanaan

1. Pengertian Eksekusi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagaimana yang di kutip

oleh Wirjono prodjodikoro:

Arti kata eksekusi adalah pelaksanan putusan pengadilan Putusan


pengadilan baru dapat dijalankan, apabila sudah inkrah dan
mempunyai kekuatan hukum tetap, akan tetapi apabila terdakwa
mengajukan pemohonon untuk melakukan upaya hukum sebelum

42
Lilik Mulyadi,Op.Cit.,Hlm.145
26

sampai batas waktu yang telah ditentukan untuk mengajukan upaya


hukum maka eksekusi belum dapat dijalankan.43

Wirjono Prodjodikoro menyatakan eksekusi itu bukan sebagai

kewajiban atau tugas / kewenangan melainkan sebagai hak yang disebut

executierecht (hak eksekusi).44 Ansori Sabuan, Syarifuddin Petanasea dan

Ruben Achmad menyatakan bahwa Putusan pengadilan yang dapat

dilaksanakan adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

(in kracht van gewijsde) dan adapun yang dimaksud memperoleh kekuatan

hukum tetap adalah :

a. Apabila baik terdakwa maupun penuntut umum telah menerima


putusan.
b. Apabila tenggang waktu mengajukan banding telah lewat tanpa
dipergunakan oleh yang berhak.
c. Apabila ada permohonan grasi yang diajukan disertai permohonan
penangguhan eksekusi.45

Yahya Harahap menyatakan bahwa pengertian eksekusi bila betitik

tolak dari ketentuan bab kesepuluh bagian kelima HIR dan title keempat

bagian keempat RBG, sama dengan tindakan “menjalankan putusan” (ten uit

voer legging van vonnisen). Menjalankan putusan tidak lain melaksanakan isi

putusan pengadilan, yakni melakukan “secara paksa” putusan pengadilan

dengan bantuan hukum apa bila pihak yang kalah tidak mau menjalankan

secara sukarela (vrijwillig, voluntary)46

43
Wirjono Prodjodikoro,Op.cit,. Hlm.126
44
Ladeng Marpaung, Op.Cit,. Hlm.215
45
Ansori Sabuan, Syarifuddin Petanasea dan Ruben Achmad,Op.cit,. Hlm. 223
46
Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Cet.1 , Ed.2
(Jakarta: Sinar Grafika,2005), Hlm.6
27

Dari beberapa pengertian eksekusi yang dipaparkan di atas, hal yang

paling pokok dalam memaknai eksekusi itu adalah dapat dilakukan

pelaksanaannya setelah memperoleh kekuatan hukum tetap, akan tetapi dari

“ketentuan Pasal 180 HIR atau 191 RBG yang mengatur pelaksanaan

putusan secara serta-merta (uitvoerbaar bij voorrad) atau provisionally

enforceable (to have immediate effect), yakni pelaksanaan putusan segera

dapat dijalankan lebih dahulu sekalipun putusan yang bersangkutan belum

memperoleh kekuatan hukum tetap.47 Dari ketentuan tersebut dapat kita

jadikan suatu perbandingan dan suatu kesimpulan bahwa, bukan hanya

putusan yang berkekuatan hukum tetap saja yang dapat dieksekusi,

melainkan juga putusan-putusan yang sifatnya sementara, untuk

mempermudah jalannya proses persidangan, atau dikarenakan hal-hal

tertentu.

2. Proses Eksekusi
Laden Marpaung menyatakan pelaksaan putusan pemidanaan yaitu

apa yang diatur Pasal 10 KUHP yang berupa: 1. Pidana Pokok yang terdiri

atas: pidana mati, pidana penjara, kurungan, dan denda. 2. Pidana Tambahan

yang terdiri atas: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang

tertentu, dan pengumuman terhadap putusan hakim.48 Berdasarkan pendapat

Laden Marpaung yang menyatakan bahwa eksekusi pidana ialah

menyangkut apa yang diatur di dalam Pasal 10 KUHP, dapat kita ambil
47
Ibid.,hlm.4
48
Laden marpaung, Op.cit,. Hlm.216
28

kesimpulan bahwa eksekusi dalam putusan pemidanaan ialah menyangkut

segala apa yang ada di dalam ketentuan Pasal 10 KUHP, dan di dalam

penerapannya haruslah dipaksakan sesuai apa yang menjadi tujuan hukum

pidana itu sendiri. Berdasarkan Pasal 270 KUHAP yang berbunyi:

Pelaksanaan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum


tetap dilakukan oleh jaksa yang untuk itu panitera mengirimkan
salinan putusan kepadanya.

Dari ketentuan Pasal 270 KUHAP dapat dipahami bahwa eksekusi baru dapat

dilakukan jaksa kepada tedakwa setelah adanya putusan hakim, dan panitera

mengirimkan salinan putusan kepada jaksa untuk diproses dan setelah itu

barulah jaksa dapat melakukan eksekusi sesuai dengan amar putusan yang

mengandung eksekusi.

Taufik Makarao menyatakan tata cara pelaksanaan putusan pengadilan

adalah sebagai berikut:

a. Pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh jaksa.


b. Pelaksanaan pidana mati tidak dimuka umum.
c. Pidana dijalankan secara berturut-turut.
d. Jangka waktu pembayaran denda satu bulan dapat diperpanjang.
e. Barang bukti yang dirampas negara dilelang dan hasilnya
dimasukkan ke kas Negara
f. Putusan ganti rugi dilakukan secara perdata
g. Biaya perkara dan ganti rugi ditanggung berimbang oleh para
terpidana
h. Pidana bersyarat diawasi dan dan diamati sungguh-sunguh.49

Agar penerapan ketentuan-ketentuan pelaksanaan eksekusi tepat tanpa

kekeliruan dapat diperhatikan contoh eksekusi sebagai berikut:

49
Taufik Makarao,Op.cit,.Hlm.237-238
29

a) penitera mengirimkan salinan putusan yang telah berkekuatan


hukum tetap kepada kepala kejaksaan (270 KUHAP).
b) kepala kejaksaan negeri menunjuk satu atau beberapa orang jaksa
untuk melaksanakan eksekusi.
c) kepala seksi segera meneliti amar putusan.
d) Setelah meneliti, maka kepala seksi yang bersangkutan
menyiapkan konsep-konsep surat perintah dan surat-surat
panggilan.50

Sebagai bahan perbandingan ditinjau dari hukum acara perdata, Yahya

Harahap menegaskan bahwa pada prinsipnya, hanya putusan yang

berkekuatan hukum tetap yang dapat dilakukan eksekusi (inkracht van

gewesijsde) yang dapat dijalankan, kalau begitu pada asasnya putusan yang

dapat dieksekusi ialah:

(i) Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,


(ii) Terkandung wujud hubungan yang tetap (fixed) dan pasti
antara pihak yang berperkara.
(iii) Disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara
sudah pasti dan tetap, jadi hubungan itu mesti di taati dan
mesti dipenuhi.
(iv) Cara mentaati serta memenuhi hubungan hukum yang
ditetapkan dalam amar putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap yaitu dengan jalan sukarela dan apa
bila tidak bisa dengan jalan sukarela maka harus dilakukan
dengan jalan paksa.51

C. Tinjauan Umum tentang Penahanan

1. Pengertian Penahanan

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (21) KUHAP pengertian

penahanan yaitu: penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu

oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam

50
Laden Marpaung,Op.cit,.Hlm 224
51
Yahya Harahap.,Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi… Op.cit., Hlm.7
30

hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Menurut

pendapat Matiman Prodjohamidjojo, “penahanan adalah tindakan untuk

menghentikan kemerdekaan tersangka atau terdakwa dan menempatkan di

tempat tertentu, biasanya di tempatkan di rumah tahanan negara yang

dulunya disebut lembaga Pemasyarakatan”52

Pada pokoknya penahanan merupakan suatu tindakan yang

melanggar hak asasi manusia dikarenakan adanya pengekangan terhadap

kemerdekaan seseorang, akan tetapi penahan harus tetap dilakukan

sebagaimana yang diungkapkan Wirjono Prodjodikoro bahwa:

seorang terdakwa yang berhati jahat, akan berusaha untuk


menyulitkan pemeriksaan perkara dengan meniadakan kemungkinan-
kemungkinan akan didengar, baik bagi ia sendiri maupun bagi orang
lain dan berusaha untuk sama sekali terhindar dari hukuman pidana
dengan cara melarikan dirinya atau menyembunyikan diri selama-
lamanya dan hal inilah yang menjadi hakekat dalam melakukan
penahanan.53

Jadi dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penahanan

merupakan bentuk pengekangan terhadap kebebasan tersangka atau

terdakwa yang dilakukan oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim

dalam jangka waktu tertentu dengan suatu penetapan karena dikhawatirkan

menyulitkan proses pemeriksaan.

2. Tujuan Penahanan

52
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum09/205712015, diakses Hari sabtu, 30
November 2013
53
Wirjono Prodjodikoro,Op.cit,.Hlm 60-61
31

Berdasarkan Pasal 20 Ayat 1, 2, dan 3, penahanan dilakukan untuk

kepentingan penyidikan atau penyidik atau penyidik pembantu atas perintah

penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan

penahanan, untuk kepentingan penuntut umum yang berwenang dalam

melakukan penahanan lanjutan dan untuk kepentingan pemeriksaan hakim di

sidang pengadilan.

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sebagai alasan untuk

melakukan penangkapan sementara, Pasal 75 HIR menyebutkan adanya

kekhwatiran bahwa, kalau terdakwa tidak ditangkap sementara, ia akan

mengulangi melakukan perbuatan melanggar perbuatan Hukum Pidana yang

bersangkutan.54 Bila ditinjau dari Pasal 21 ayat (1) tujuan dilakukannya

penahanan dikarenakan seorang tersangka atau terdakwa diduga keras

melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup kuat dan

dikhawatirkan bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau

menghilangkan barang bukti dan juga dikhawatirkan akan mengulangi

tindak pidana.

3. Jenis- jenis penahanan

Menurut pendapat Suswondo dalam pemeriksaan pendahuluan dikenal

ada 3 macam penahanan justisil yang berupa:

1. Penahanan tanpa surat perintah penahan. Dasar hukum dari


penahan ini tersebut dalam Pasal 83f ayat 5 jo.83 k ayat 3 HIR.

54
Ibid,Hlm.62
32

2. Penahanan sementara dengan surat perintah penahanan. Dasar


hukumnya tersebut dalam Pasal 62 ayat 1 jo.ayat 2 HIR yaitu
dalam hal tertangkap tangan.
3. Penangkapan dan penahan terus, ada ketentuannya dalam Pasal
83c (1) yang menentukan:
Bila terhadap tersangka ada hal yang sangat memberatkan dan
cukup pasti bahwa perbuatan itu termasuk pada apa yang
diterangkan dalam ayat 2 Pasal 62 dan perkara itu diperkirakan
tidak akan dapat diperiksa pengadilan dalam jangka waktu yang
ditetapkan Pasal 72, maka untuk kepentingan pemeriksaan atau
untuk mencegah supaya tersangka tidak melarikan diri, jaksa
dapat memerintahkan menangkap tersangka, atau kalau itu sudah
ditahan buat sementara, memerintahkan supaya ia tetap ditahan 55.

Klasifikasi jenis tahanan dalam KUHAP merupakan hal baru dalam

kehidupan penegakan hukum di Indonesia. HIR tidak mengenal berbagai jenis

penahanan yang ada hanya penahanan dirumah tahanan Jaksa atau tahanan di

rumah tahanan hakim.56 Sedangkan di dalam perkembangannya KUHAP

membagi jenis-jenis tahanan menjadi 3 jenis ditinjau dari Pasal 22 ayat (1)

KUHAP yaitu: (i) Penahanan Rumah Tahanan Negara, (ii) Penahanan Rumah

dan (iii) Penahanan Kota.

Dari jenis-jenis penahanan di atas banyak orang yang menganggap

bahwa ditahan sama halnya dengan di penjara, dari klasifikasi yang diuraikan

penulis di atas dapat diketahui perbedaan antara ditahan dan di penjara yaitu

seseorang yang ditahan merupakan orang yang diduga keras melakukan suatu

tindak pidana sedangkan dipenjara merupakan hukuman bagi terpidana dari

hasil putusan pemidanaan yang terbukti melakukan tindak pidana.

55
Suswondo, Himpunan Karya Tentang Hukum Pidana, cet.1 (Yogyakarta:Liberty, 1982),
hlm.13-16
56
Yahya Harahap, pembahasan dan permasalahan penerapan KUHAP…, Op.cit,. 169
33

4. Jangka waktu penahanan

Jangka waktu penahanan yang dilakukan untuk kepentingan

penyidikan berdasarkan Pasal 24 KUHAP. Batas waktu penahanan paling

lama 20 (dua puluh hari). Bila masih diperlukan dengan seijin Penuntut

Umum waktu penahanan dapat diperpanjang paling lama 40 (empat puluh)

hari. Jika sebelum 60 hari pemeriksaan telah selesai, Tahanan dapat

dikeluarkan dan jika sampai 60 hari perkara belum juga putus maka demi

hukum, Penyidik harus mengeluarkan Tersangka / Terdakwa dari tahanan.

Jangka waktu penahanan yang dilakukan untuk kepentingan Penuntut

Umum berdasarkan Pasal 25 KUHAP, batas waktunya paling lama 20 (dua

puluh) hari. Dengan seijin Ketua Pengadilan Negeri, waktu dapat

diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari. Jika pemeriksaan telah selesai,

sebelum batas waktu 50 hari,Tersangka / Terdakwa dapat dikeluarkan. Lepas

50 hari, meski perkara belum diputus, tapi demi hukum penuntut umum harus

mengeluarkan Tersangka / Terdakwa dari tahanan.

Jangka waktu penahanan yang dilakukan untuk kepentingan hakim

pada pengadilan negeri berdasarkan Pasal 26 KUHAP batas waktu penahanan

paling lama 30 (tiga puluh) hari. Bila belum selesai, penahanan dapat

diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari dengan seijin ketua pengadilan

negeri. Jika pemeriksaan telah selesai, sebelum batas waktu maksimal,

Tersangka / Terdakwa dapat dikeluarkan dari tahanan. Jika batas waktu


34

maksimal (90 hari) telah habis, meski perkara belum diputus, demi hukum

Tersangka / Terdakwa harus dikeluarkan.

Jangka waktu penahanan yang dilakukan untuk kepentingan Hakim

pada pengadilan tinggi berdasarkan Pasal 27 KUHAP batas waktu penahanan

paling lama 30 (tiga puluh) hari. Dengan seijin Ketua Pengadilan Tinggi,

waktu penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari.

Tersangka / Terdakwa dapat dikeluarkan dari tahanan sebelum batas waktu

maksimal (90 hari), jika pemeriksaan telah selesai. Jika telah 90 (sembilan

puluh) hari perkara belum diputus, maka demi hukum Tersangka / Terdakwa

harus dikeluarkan.

Jangka waktu penahanan yang dilakukan untuk kepentingan Hakim

pada Mahkamah Agung untuk kepentingan pemeriksaan kasasi berdasarkan

Pasal 28 KUHAP batas waktu penahanan paling lama 50 (lima puluh) hari.

Jangka waktu penahanan tersebut dapat diperpanjang dengan batas waktu

paling lama 60 (enam puluh) hari, untuk kepentingan pemeriksaan. Jika

pemeriksaan telah selesai sebelum jangka waktu 110 hari,

Terdakwa/Tersangka dapat dikeluarkan. Meski perkara belum diputus, tetapi

jika Terdakwa/Tersangka telah menjalani tahanan selama seratus sepuluh

(110) hari, maka demi hukum ia harus dikeluarkan.

Berdasarkan Pasal 29 KUHAP, adanya suatu pengecualian yang

diberikan terhadap jangka waktu dari ketentuan-ketentuan yang ada pada

Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 guna kepentingan
35

pemeriksaan, penahanan dapat diperpanjang berdasarkan alasan yaitu:

tersangka menderita ganguan fisik dan memerlukan keterangan dokter dan

perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun

atau lebih, perpanjangan tersebut diberikan paling lama 30 hari dan dapat

diperpanjang selama 30 hari. Apabila selama 60 hari perkara tersebut belum

selesai diperiksa maka demi hukum ia harus dikeluarkan.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Untuk membahas suatu permasalahan yang telah sedikit banyaknya

penulis paparkan sebelumnya, haruslah dengan menggunakan metode

tertentu sesuai dengan materi yang dikehendaki dan tujuan yang akan dicapai

penulis dalam melakukan penelitian. Maka dalam penyusunan penilitian ini

penulis menggunakan Jenis Penelitian Hukum Normatif. Penelitian

Hukum Normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian ini
36

acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan (law in books) atau hukum digambarkan sebagai kaidah

atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap

pantas.57

B. METODE PENDEKATAN

Untuk menjawab permasalahan yang ada di dalam penelitian ini yang

menjadi acuan penulis dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan

beberapa metode pendekatan yaitu :

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)

Pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji peraturan

perundang-undangan yang ada dan berkaitan dengan permasalahan

yang diteliti.

b. Pendekatan Kasus (case approach)

Pendekatan yang bersumber dari adanya suatu kasus yang

terjadi dan berkaitan dengan dengan permasalahan yang diteliti.

c. Pendekatan konseptual (conceptual approach)

Pendekatan yang bersumber dari pendapat ahli, pendapat

para sarjana, maupun pendapat para ahli hukum yang berkaitan

dengan permasalahan yang diteliti yakni mengenai syarat putusan

pemidanaan dan Pasal 197 Ayat (1) huruf k Undang-Undang No 8

57
Amirudin dan Zainal Asikin, penghantar Metode Penelitian Hukum, Cet 6, Ed.1(Jakarta :
PT Rajagrafindo Persada,2012) hlm.118
37

Tahun 1981 (KUHAP) serta kaitannya dengan pelaksanaan

eksekusi.

d. Pendekatan sejarah (history approach)

Pendekatan yang bersumber dari sejarah pembentukan

Undang-Undang yaitu KUHAP atau Peraturan Perundang-Undang

lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

C. SUMBER dan JENIS BAHAN HUKUM

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

bahan hukum yang diperoleh dari study kepustakaan / study dokumen yang

merupakan hasil penelitian seseorang yang telah tersedia antara lain dalam

bentuk buku, literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian dan juga

dokumen-dokumen resmi pemerintah dan putusan-putusan hakim pengadilan

atau dengan kata lain lain penulis mengunakan sumber data sekunder

(secondary data). Dikarenakan jenis penelitian yang digunakan penulis dalam

melakukan penelitian adalah penelitian hukum normatif, oleh sebab itu jenis

bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier yang terdiri dari

a. Bahan Hukum Primer

yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan juga berkaitan

dengan penelitian ini, seperti:

a. Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


38

b. Undang-undang No. 49 tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman

c. Putusan Mahkamah Agung Nomor. 157

PK/PID.SUS/2011 Atas Nama terdakwa H. Parlin

Riduansyah.

d. Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-X/2012

b. Bahan Hukum Sekunder

yaitu bahan-hukum yang erat hubungannya dengan bahan

hukum primer yang dapat membantu penulis dalam melakukan

penelitian, untuk memahami serta menganalisis apa yang menjadi

permasalahan di dalam penelitian dengan menggunakan buku-buku

dan literatur-literatur karangan sarjana hukum dan ahli hukum

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi

tentang bahan hukum primer dan sekunder yang berupa kamus-

kamus serta data-data yang diperoleh dari barbagai situs di internet.

D. TEKNIK PENGUMPULAN BAHAN HUKUM

Karena penelitian ini mengunakan jenis penelitian hukum normatif,

maka dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan teknik

pengumpulan bahan hukum yang berupa Studi Dokumen atau Studi Pustaka

(Liberary Research). Teknik pengumpulan bahan hukum dengan berupa studi

dokumen dilakukan dengan cara mengumpulkan semua bahan hukum yang


39

berhubungan dengan penelitian ini, dengan merujuk pada Undang-Undang

No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

buku-buku tentang hukum yang ada kaitannya dengan penelitian, artikel-

artikel, dan juga putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap baik

putusan yang berasal dari Mahkamag Agung dan lembaga peradilan

dibawahnya ataupun Putusan Mahakamah Konstitusi.

E. ANALISIS BAHAN HUKUM

Setelah bahan hukum yang diperlukan dan digunakan dalam

melakukan penelitian sesuai dengan teknik pengumpulan bahan hukum di

atas, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan yang

kemudian dikumpulkan dan dianalisis dengan metode penafsiran secara

gramatikal atau menurut tata bahasa serta metode penafsiran secara

sistematis, yaitu dilihat dari suatu istilah yang dicantumkan lebih dari satu

kali dalam suatu Pasal atau undang-undang harus mempunyai makna yang

sama. Selanjutnya merangkai bahan hukum yang telah dikumpulkan secara

sistematis sehingga diperoleh suatu gambaran mengenai masalah atau

keadaan yang diteliti dengan menggunakan alur deduktif dalam hal pola pikir

yang mendasar terhadap hal-hal yang bersifat umum kemudian disimpulkan

ke hal-hal yang berisifat khusus dengan menggunakan bahan hukum yang

ada kemudian ditarik kesimpulan dengan permasalahan yang dikaji dan

akhirnya dapat memberikan gambaran, untuk mengetahui apa yang menjadi


40

penyebab dan bagaimana solusi untuk menjawab suatu permasalahan yang

diteliti.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. SYARAT PUTUSAN PEMIDANAAN

Putusan pemidanaan merupakan putusan hakim yang berupa

penghukuman terhadap terdakwa dikarenakan telah terbukti dan meyakinkan

melakukan suatu perbuatan pidana, dengan kata lain apa yang dituduhkan

terhadap terdakwa dalam surat dakwaan dan dalam proses pemeriksaan di

Persidangan membenarkan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa benar

perbuatan pidana, oleh sebab itu terdakwa harus mendapatkan hukuman

(Berechten) untuk mempertanggung jawabkan perbuatan pidana yang


41

dilakukannya. Putusan yang berisi pemidanaan tidak lain dari putusan yang berisi

perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana,

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang menyatakan

bahwa:

“Jika pengadilan berpendapat terdakwa bersalah melakukan tindak pidana


yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.”

Bentuk penghukuman/pidana yang dimaksud tersebut diatur di dalam ketentuan

Pasal 10 KUHP yaitu:

a. Pidana pokok:
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda
5. Pidana tutupan
b. Pidana tambahan :
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim

Sebagian ahli hukum pidana berpandangan bahwa pemidanaan adalah

sebuah persoalan yang murni hukum (purely legal matter) menurut pendapat

J.D.Mabbout sebagaimana yang dikutip oleh Sholehhuddin memandang bahwa

seorang “penjahat” sebagai seorang yang telah melanggar suatu hukum, bukan

orang jahat menurutnya seorang yang “tidak bersalah” adalah seorang yang

belum melanggar suatu hukum, Mabbout berpandangan bahwa “pemidanaan

merupakan akibat yang wajar yang disebabkan bukan dari hukum tetapi dari
42

pelanggaran hukum artinya jahat atau tidak jahatnya bila seorang telah bersalah

melanggar hukum maka orang itu harus dipidana.”58

Dalam menentukan kesalahan terdakwa dan mewujudkannya ke dalam

putusan, hakim juga harus memenuhi syarat-syarat dalam membuat putusan

pemidanaan sebagaimana yang telah diatur di dalam KUHAP itu sendiri. Adapun

uraian mengenai syarat sahnya putusan pemidanan itu antara lain:

1. Diucapkan dalam Sidang Terbuka untuk Umum

Sehubungan dengan pembacaan putusan atau yang biasa

disebut dengan pengumuman putusan tata caranya telah diatur dalam

ketentuan Pasal 195 KUHAP yang menyatakan bahwa:

“Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai


kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk
umum.”

Harus dipahami di sini bahwa kata “SAH” yang dimaksud dalam Pasal

195 KUHAP mempunyai makna bahwa putusan tersebut dapat berlaku

jika telah memenuhi unsur dalam pasal tersebut sebagaimana juga

yang diatur dalam ketentuan Pasal 153 Ayat (3) KUHAP yang

berbunyi:

“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka


sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam
perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”

58
Sholehuddin.System sanksi dalam hukum pidana.,Ed.1,cet.2,.(Jakarta: Pt Raja Gravindo
persada,2004) Hlm.68
43

Yahyah Harahap berpendapat bahwa “perkara kesusilaan dan

perkara yang terdakwanya anak-anak boleh diperiksa dalam sidang

tertutup, namun pengucapan putusannya harus diucapkan dalam

sidang terbuka untuk umum kalau tidak putusan tersebut tidak sah dan

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,”59 yang dimaksud

dengan pengecualian terhadap perkara kesusilaan atau terdakwanya

anak-anak, dari ketentuan Pasal 153 Ayat (3) KUHAP tersebut bahwa

pengecualian di sini bukan pada pengucapan putusanya melainkan

tertutup yang dimaksud adalah proses pemeriksaan yang diperlukan

guna menjaga keadaan jiwa (pisikologis) dari pihak yang berperkara

maka yang dapat mengikuti jalanya persidangan hanya para pihak

yang berperkara. Dasar pemikiran ketentuan Pasal 195 KUHAP pada

hakekatnya serupa rasionya dengan asas yang terkandung pada Pasal

153 ayat (3) KUHAP antara lain:

a. Untuk menjaga perlindungan hak asasi terdakwa dalam


suatu persidangan pengadilan.
b. Untuk menjamin terciptanya peradilan yang jujur atau
fair trial.
c. Untuk menghindari proses dan perlakuan sewenang-
wenang dari aparat penegak hukum .60

Dari pertimbangan tersebut juga dapat dijadikan dasar mengapa

perlunya putusan itu diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum

yaitu untuk meminimalisir terjadinya suatu penyimpangan dalam

59
Yahya Harahap,Pembahasan dan permasalahan …Op.cit Hlm 378
60
Ibid
44

pemeriksaan perkara dan berdasarkan Pasal 153 ayat (4) KUHAP yang

berbunyi:

(1) Pada hari yang ditentukan menurut Pasal 152 pengadilan


bersidang.
(2) a. ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang
pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa
indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi.
b. ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau
diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau
saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.
(3) Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang
membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum
kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau
terdakwanya anak-anak.
(4) Tidak terpenuhinya ketentuan dalam Ayat (2) dan Ayat
(3) mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(5) Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang
belum mencapai umur 17 tahun tidak diperkenankan
menghadiri sidang

Dari ketentuan tersebut sangat jelas dan tegas menyatakan jika dalam

pemeriksaan perkara di pengadilan, sidang tidak dinyatakan terbuka

untuk umum maka akibat hukum yang dapat ditimbulkan adalah

putusan tersebut batal demi hukum atau dianggap tidak berlaku.

Selain dalam ketentuan Pasal 195 dan Pasal 153 KUHAP, ketentuan

yang mengatur bahwa sidang pengadilan harus terbuka untuk umum

ditentukan juga di dalam Pasal 13 Undang-Undang No 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa:

1. Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka


untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
2. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan
hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum
45

3. Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang


dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan
putusan batal demi hukum

Jadi dari penjelasan di atas sangat jelas bagaimana pentingnya dalam

pemeriksaan sidang pengadilan dan putusan pengadilan harus

dinyatakan Terbuka Untuk Umum. Oleh sebab itu pernyataan sidang

Terbuka untuk Umum mutlak harus terpenuhi di dalam proses

pemeriksaan di pengadilan maupun dalam pembacaan putusan

pemidanaan.

2. Diucapkan dengan Hadirnya Terdakwa

Selain ketentuan Pasal 195 KUHAP yang harus terpenuhi,

dalam putusan pemidanaan KUHAP juga mengharuskan putusan

pengadilan diucapkan dalam sidang yang dihadiri oleh terdakwa

sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 196 ayat (1) KUHAP yang

berbunyi:

“Pengadilan memutus dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam


hal ini undang-undang menentukan lain.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 196 ayat (1) KUHAP, adanya suatu

larangan, dalam hal pembacaan putusan terdakwa diwajibkan untuk

hadir sebagaimana yang kita ketahui bahwa KUHAP berdasarkan

ketentuan Pasal 154 KUHAP yang menyatakan bahwa:

(1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa


dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan
dalam keadaan bebas.
46

(2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan


tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim
ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil
secara sah.
(3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang
menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa
dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.
(4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak
datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara
tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang
memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.
(5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan
tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan
terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan.
(6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang
tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah
untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang
pertama berikutnya.
(7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang
pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat
(6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang.
Berdasarkan ketentuan pasal 154 KUHAP tersebut adanya suatu

keharusan dan Pasal 196 Ayat (1) melarang dilakukannya pemeriksaan

tanpa adanya terdakwa atau yang biasa yang dikenal dengan istilah In

absentia dan berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang No 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa :

“Ayat (1) Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus


perkara pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali undang-
undang menentukan lain.
Ayat (2) Dalam hal terdakwa tidak hadir, sedangkan
pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan
tanpa dihadiri terdakwa.”61

61
Indonesia, Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Psl. 12
47

Berdasarkan penjelasan Pasal 12 Undang-Undang No 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa ketentuan pada

ayat (1) hanya berlaku pada tingkat pengadilan negeri, akan tetapi

ketentuan mengenai keharusan dalam menghadirkan terdakwa di

dalam persidangan ini hanya berlaku pada terdakwanya yang seorang

saja dimana KUHAP memberikan pengecualian dalam Pasal 196 Ayat

(2) yang berbunyi:

“Dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa dalam satu


perkara, putusan dapat diucapakan dengan hadirnya terdakwa
yang ada”

Jadi jika suatu perkara terdakwanya lebih dari satu orang maka

pengadilan tidak perlu untuk melakukan penundaan sampai terdakwa

yang lain hadir hal ini juga selaras dengan ketentuan Pasal 154 Ayat

(5) KUHAP yang berbunyi:

“Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa


dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang,
pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat
dilangsungkan”.

Dan berdasarkan penjelasan Pasal 196 ayat (2) yang berbunyi:

“Ketentuan yang diatur dalam ayat (2) tersebut dimaksudkan


untuk melindungi kepentingan terdakwa yang hadir dan
menjamin kepastian hukum secara keseluruhan perkara yang
bersangkutan”.

Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan

Mutlak asas In Absentia hanya pada jika terdakwanya baik satu orang

maupun lebih sama sekali tidak ada yang hadir, akan tetapi asas in
48

absentia ini dapat berlaku pada perkara korupsi, perkara ekonomi dan

perkara yang diperiksa dengan menggunakan acara cepat. Berdasarkan

ketentuan Pasal 154 Ayat (6) KUHAP, upaya yang dapat dilakukan

jaksa penuntut umum adalah dengan melakukan pemanggilan secara

paksa kepada terdakwa yang telah dilakukan pemanggilan secara sah

tetapi menolak untuk hadir dalam persidangan.

3. Wajib Memberitahu Segala Hak dan Kewajiban Terdakwa

Pemberitahuan hak-hak yang dimiliki oleh terdakwa diatur

dalam ketentuan Pasal 196 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa :

Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa


Hakim Ketua Sidang wajib memberitahukan kepada
terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya, yaitu:
a. Hak segera menerima atau segera menolak putusan.
b. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima
atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang
ditentukan undang-undang ini.
c. Hak meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam
tenggang waktu yang ditentukan undang-undang untuk
mengajukan grasi dalam hal ia menerima putusan.
d. Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding
dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-
undang ini dalam hal ia menolak putusan.
e. Hak mencabut peryataan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh
undang-undang ini.

Walaupun dikatakan hakim ketua sidang wajib menyampaikan hak-

hak terdakwa setelah putusan pemidanaan diucapkan, adapun sifat

pemberitahuan merupakan “kewajiban”, namun undang-undang

sendiri tidak mengatur tentang sanksi atau akibat hukum yang


49

ditimbulkan dari kelalain tersebut.62 Untuk menghidari terjadinya hal

demikian dengan memperhatikan hak-hak terdakwa agar apa yang

menjadi hak terdakwa dapat terpenuhi dengan pemberitahuan tersebut,

maka sangatlah diperlukan hakim dalam menyampaikan putusan juga

menyampaikan apa yang menjadi hak terdakwa agar tidak menjadi

permasalahan di kemudian hari dengan alasan tidak tidak adanya

pemberitahuan / pengetahuan mengenai hal tersebut.

4. Surat Putusan Pemidanaan

Setelah ketentuan di atas terpenuhi selanjutnya Putusan

Pemidanaan diwujudkan dalam bentuk Surat Putusan Pemidanaan

sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP dimana

surat putusan pemidanaan harus memuat:

a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “Demi


Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama atau
pekerjaan terdakwa.
c. Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas, mengenai
fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh
dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa
e. Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat
tuntutan
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar hukuman dari
putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang
meringankan terdakwa
62
Ibid., Hlm. 380
50

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim


kecuali perkara diperiksa hakim tunggal
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah
terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana
disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau
tindakan yang dijatuhkan
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebut jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai
barang bukti
j. Keterangan mengenai seluruh surat ternyata palsu atau
keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika surat
autentik dianggap palsu
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam
tahanan atau dibebaskan
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum nama
hakim yang memutus dan nama panitera

dan berdasarkan ketentuan Pasal 197 Ayat (2) KUHAP menyatakan

bahwa:

“Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d,


e, f, h, j, k dan I Pasal ini mengakibatkan putusan batal demi
hukum”.

Adapun uraian mengenai ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP

sebagai syarat dalam membuat surat putusan pemidanaan adalah

sebagai berikut:

a. Kepala Putusan yang Dituliskan Berbunyi: “Demi


Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Dalam ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf a

KUHAP yang menyatakan Kepala putusan yang dituliskan

berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa” sesuai dengan ketentuan yang diatur Pasal 2


51

ayat (1) Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa:

“Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan


Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Dalam penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 48 Tahun 2009

Peradilan yang dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sesuai dengan Pasal 29

UUD 1945 yang berbunyi:

“Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN


BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA" adalah sesuai dengan Pasal 29 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menentukan bahwa negara berdasarkan
atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”.

Makna “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa” ini sangat luas dan penting, karena tidak hanya

berkaitan dengan para pencari keadilan saja, namun juga

erat kaitannya dengan Tuhan Yang Maha Esa sang pencipta

hidup. Tidak saja melingkupi tanggung jawab hakim

kepada pencari keadilan dan masyarakat, namun secara

spritual juga melingkupi tanggung jawab hakim kepada

Tuhan Yang Maha Esa dan berdasarkan buku Pedoman


52

Perilaku Hakim yang dikeluarkan Mahkamah Agung pada

bagian pembuka menyatakan bahwa:

“Putusan Pengadilan yang diucapkan dengan Irah-


Irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, menunjukan kewajiban menegakkan
keadilan yang dipertanggung jawabkan secara
horizontal kepada manusia dan vertikal kepada
Tuhan Yang Maha Esa”.63

Selain ketentuan tersebut yang perlu diperhatikan

adalah Yurispridensi Mahkamah Agung tanggal 28-8-1974

No.104 K/Kr/1973 yang menyatakan:

“Putusan yang tidak didahului Demi Keadilan


Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan tidak
pula memuat alasan-alasan dan dasar dari putusan
adalah merupakan satu kelalaian yang oleh karena
itu adalah batal.”64

Berdasarkan ketentuan tersebut yang berlandaskan

Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya terdiri

dari beberapa agama dan beranjak dari nilai-nilai keluhuran

yang terkandung di dalamnya, bahwa apa yang

dilakukannya saat ini, kelak suatu saat nanti akan

dipertanggung jawabkan di dunia selanjutnya sesuai apa

yang diimani oleh seseorang dalam setiap ajaran agamanya

masing-masing. Berdasarkan ketentuan tersebut menangapi

63
Mahkamah Agung buku Pedoman perilaku hakim, 22 Desember 2006
64
Ladeng marpung, Op.cit, Hlm.150
53

hal itu, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No

10 tahun 1985 yang menyatakan bahwa :

1. Di dalam praktek pernah dijumpai adanya


putusan Pengadilan yang sudah memperoleh
kekuatan hukum tetap, akan tetapi ternyata surat
putusannya tidak memuat kepala putusan yang
dituliskan berbunyi "Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa".
2. Pada waktu putusan tersebut akan dieksekusi
oleh Jaksa terpidana berkeberatan karena
menganggap putusan ini batal demi hukum
berdasarkan Pasal 197 ayat (2) KUHAP.
3. Sehubungan dengan hal tersebut di atas
Mahkamah Agung memberikan petunjuk jalan
ke luarnya sebagai berikut:
a. Dalam hal terpidana mengajukan keberatan
jika putusan tersebut dieksekusi oleh Jaksa,
maka Jaksa supaya mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan Negeri/Pengadilan
Tinggi agar memutus lagi perkara tersebut.
b.Setelah Ketua Pengadilan Negeri Pengadilan
Tinggi menerima permohonan tersebut maka
Majelis Hakim yang bersangkutan membuka
kembali persidangan, kemudian mengucapkan
lagi putusan atas perkara tersebut.
c. Terhadap putusan yang baru diucapkan itu
dibuka kembali kesempatan untuk mengajukan
permohonan banding/kasasi.65

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan mengenai

pentingnya pencantuman irah-irah “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” dapat

disimpulkan bahwa pentingnya pencantuman irah-irah

tersebut pada intinya tidak boleh bertentangan dari


65
Indonesia, Surat Edaran Mahkamah Agung no. 10 Tahun 1985 tentang Putusan
Pengadilan yang Sudah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap yang Tidak Memuat Kata-Kata "Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"
54

kebenaran materil dari perbuatan pidana yang dilakukan

oleh sebab itu jika dalam tuntutan tidak mencantumkan hal

tersebut maka masih dapat diperbaiki asal tidak merubah

subtansi pokok dalam putusan

b. Nama Lengkap, Tempat Lahir, Umur atau Tanggal


Lahir, Jenis Kelamin, Kebangsaan, Tempat Tinggal,
Agama atau Pekerjaan Terdakwa.

Dalam ketentuan Pasal 197 Ayat (1) Huruf b

KUHAP meliputi semua identitas terdakwa. sebagaimana

yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 155 ayat (1)

KUHAP yang menyatakan bahwa:

“Pada permulaan sidang hakim ketua sidang


menanyakan kepada terdakwa tentang nama
Iengkap.tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaannya serta mengingatkan terdakwa supaya
memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan
dilihatnya di sidang.”
Mengenai identitas terdakwa ini juga merupakan

syarat formil yang harus terpenuhi dalam melakukan

pemeriksaan baik di tingkat penyidikan maupun di tingkat

pemeriksaan di pengadilan. Pencantuman identitas tersebut

secara lengkap sangatlah penting terutama untuk

menghindari kekeliruan mengenai orang yang harus diadili.

Ketepatan mengenai pencantuman identitas tersangka oleh

penyidik secara lengkap mempunyai sifat yang menentukan


55

sebagai kepastian dalam pemeriksaan terdakwa oleh

penuntut umum dalam surat dakwaan, sebab dengan

terjadinya sedikit kekeliruan dalam penulisan identitas

terdakwa tersebut akan mempunyai akibat yang besar,66

Jika hakim bependapat bahwa adanya kekeliruan dalam

identitas terdakwa maka hakim dapat menghentikan

pemeriksaan dengan keputusan yang menyatakan dakwaan

tidak dapat diterima. Walaupun ini bersifat formal bukan

sesuatu yang imperatif tidak mengurangi makna pentingnya

pemeriksaan tersebut. Berdasarkan Putusan Mahkamah

Agung tanggal 2-3-1988 No.169 K/Pid/1988 menyatakan

bahwa:

“Pengadilan tinggi salah menerapkan hukum


sebab tidak mencantumkan dengan lengkap dalam
amar putusannya identitas terdakwa.”67
c. Dakwaan Sebagaimana Terdapat dalam Surat
Dakwaan

Surat dakwaan adalah dasar bagi pemeriksaan

perkara selanjutnya, baik pemeriksaan di persidangan

Pengadilan Negeri maupun pada pemeriksaan tingkat

banding dan pemeriksaan tingkat Kasasi serta pemeriksaan

peninjauan kembali (PK), bahkan surat dakwaan

66
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang,. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan
Hukum Pidana & Yurisprudensi,. Cet. 2,.(Jakarta: sinar Grafika, 2010) Hlm.305
67
Op.cit, Hlm.151
56

merupakan pembatasan tuntutan, terdakwa tidak dapat

dituntut atau dinyatakan bersalah dan dihukum untuk

perbuatan yang tidak tercantum dalam surat dakwaan.68

Dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf c KUHAP yang

menyatakan bahwa dakwaan sebagaimana terdapat dalam

surat dakwaan meliputi dakwaan secara keseluruhan yang

diatur di dalam Pasal 143 KUHAP yaitu:

(1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke


pengadilan negeri dengan permintaan agar
segera mengadili perkara tersebut disertai
surat dakwaan.
(2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang
diberi tanggal dan ditanda tangani serta berisi:
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama, dan pekerjaan
tersangka.
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap
mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat
tindak pidana itu dilakukan.
(3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2)
huruf b batal demi hukum
(4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta
surat dakwaan disampaikan kepada tersangka
atau kuasanya atau penasehat hukumnya atau
penyidik, pada saat yang bersamaan dengan
penyampaian surat pelimpahan perkara
tersebut ke pengadilan negeri.

Dari ketentuan tentang dakwaan tersebut terdapat dua

syarat yang harus terpenuhi dalam membuat surat dakwaan


68
Ladeng marpung, Op.cit, Hlm.21
57

yaitu syarat formil yang ditinjau berdasarkan Pasal 143

ayat (2) huruf a yang harus menguraikan secara jelas

identitas dari terdakwa dan syarat materil ditinjau

berdasarkan Pasal 143 Ayat (2) huruf b KUHAP yang

merupakan uraian mengenai delik atau perbuatan yang

dilakukan yang harus dijabarkan secara jelas mulai dari

waktu, tempat dan bagaimana cara perbuatan pidana

tersebut dilakukan serta penjabaran unsur-unsur terhadap

delik yang dakwakan. Masing-masing syarat tersebut

mempunyai akibat hukum yang berbeda jika tidak

terpenuhi yaitu, jikalau surat dakwaan tidak memenuhi

syarat formil maka surat dakwaan tersebut dapat

dimintakan pembatalannya ke pengadilan, sedangkan jika

syarat materil dalam membuat surat dakwaan tidak

terpenuhi maka akibat hukum yang ditimbulkan adalah

surat dakwaan batal demi hukum.

Oleh sebab itu hendaklah penuntut umum dalam

membuat surat dakwaan harus berhati-hati agar tidak

terjadi kelalaian yang menyebabkan surat dakwaan dapat

dibatalkan ataupun batal demi hukum dan berdasarkan

Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang berbunyi:


58

“Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus di


dasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu
yang terbukti di dalam pemeriksaan di
persidangan”.

Hakim dalam membuat suatu pertimbangan didasari pada

surut dakwaan dan proses pembuktian yang terungkap di

dalam persidangan. Berdasarkan apa yang telah

disampaikan di atas sangat jelas bahwa surat dakwaan

memegang peranan yang sangat penting dalam proses

pemeriksaan perkara.

d. Pertimbangan yang Disusun Secara Ringkas, Mengenai


Fakta dan Keadaan Beserta Alat Pembuktian yang
Diperoleh dari Pemeriksaan di Sidang yang Menjadi
Dasar Penentuan Kesalahan Terdakwa

Mengenai ketentuan ini Yahya Harahap

berpendapat bahwa Sebelum putusan sampai pada uraian

Pertimbangan yang menyimpulkan pendapatnya tentang

kesalahan terdakwa, fakta atau keadaan serta alat

pembuktian yang diperoleh dalam pemeriksaan sidang

semestinya dipertimbangkan secara argumentatif sehingga

jelas terbaca jalan pikiran yang logis dan reasoning yang

mantap yang mendukung kesimpulan dan pertimbangan

hakim.69 Dalam penjelasan mengenai ketentuan yang diatur

dalam Pasal197 ayat (1) huruf d KUHAP dimaksud dengan


69
Yahyah harahap,.pembahasan dan permasalahan penerapan … Op.cit.Hlm.361
59

fakta dan keadaan di sini ialah segala apa yang ada dan apa

yang ditemukan di dalam sidang oleh pihak dalam proses

pemeriksaan perkara di persidangan antara lain penuntut

umum, saksi, ahli, terdakwa, penasehat hukum, dan saksi

korban.70 Atau fakta-fakta yang terungkap di persidangan

adalah fakta-fakta yang mendukung unsur-unsur tindak

pidana (delik) yang didakwakan.71

Hakim dalam mempertimbangkan fakta dan keadaan

harus jelas diuraikan sesuai dengan apa yang ditemukan di

dalam pemeriksaan sidang pengadilan, apa lagi mengenai

hal yang meringankan serta memberatkan terdakwa harus

jelas diuraikan dalam pertimbangan putusan karena

landasan yang digunakan sebagai dasar tolak ukur untuk

menentukan berat ringannya hukuman pidana yang akan

ditimpakan kepada terdakwa serta pembuktian yang

diperoleh dari pemeriksaan di sidang pengadilan

merupakan dasar penentuan kesalahan terdakwa.72

Berdasarkan yurisprudensi Putusan Mahkamah

Agung Tanggal 31-5-1982 No. 451K/Kr/181 menyatakan

bahwa:

70
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang,. Op.Cit Hlm.449
71
Laden marpaung., Op.cit. Hlm.124
72
Yahyah harahap., pembahasan dan permasalahan penerapan…Op.cit. Hlm 361
60

“Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri tidak


sempurna dalam pertimbangan-pertimbangannya
mengenai hukuman bagi masing-masing
terdakwa.”73

Serta berdasarkan Yurisprudensi Putusan Mahkamah

Agung Tanggal 5-1-1983 No.552 K/Pid/1982 menyatakan

bahwa:

“Putusan pengadilan negeri dan putusan


pengadilan tinggi harus dibatalkan karena tidak
cukup dipertimbangkan dan menganggap
penjatuhan hukuman tidak bersyarat tersebut tidak
dibenarkan.”74
Berdasarkan apa yang dipaparkan di atas jelas

bahwa pertimbangan hakim dalam persidangan haruslah

sempurna sebab jika hakim salah atau lalai maka akibat

yang ditimbulkan bukan hanya pada putusan saja

melainkan juga dapat mengenyampingkan keadilan yang

sedang dicari di dalam proses pemeriksaan perkara di

pengadilan.

e. Tuntutan Pidana Sebagaimana Terdapat dalam Surat


Tuntutan

Surat Tuntutan atau dalam bahasa lain disebut

dengan Rekuisitor adalah surat yang memuat pembuktian

surat dakwaan berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap

73
Laden marpaung., Loc.cit. Hlm.150
74
ibid
61

di persidangan dan kesimpulan penuntut umum tentang

kesalahan terdakwa disertai dengan tuntutan pidana.75

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (7) KUHAP

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk

melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang

berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa

dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Serta

berdasarkan Pasal 182 Ayat (1) huruf a KUHAP yang

berbunyi:

“Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai penuntut


mengajukan tuntutan pidana”.

Dalam suatu tuntutan pidana biasanya

menyebutkan jenis-jenis dan beratnya pidana atau jenis-

jenis tindakan yang dituntut oleh penuntut umum untuk

dijatuhkan oleh pengadilan kepada terdakwa dengan

menjelaskan karena terbukti telah melakukan tindak pidana

yang mana. Di dalam suatu tuntutan pidana (requsitor)

penuntut umum tidak mutlak harus menuntut kepada

pengadilan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa,

melainkan ia juga dapat menuntut kepada pengadilan agar

75
http://po-box2000.blogspot.com/2011/04/surat-tuntutan-hukum-acara-pidana.html diakses
pada tanggal 10-3-2014
62

pengadilan mengambil sesuatu tindakan (maatregel)

tertentu bagi terdakwa.76 Perlu diperhatikan di dalam surat

tuntutan (requisitor) adalah pembahasan yuridis yang

memuat semua unsur-unsur delik dan bukti-bukti yang

mendukung delik tersebut termasuk persepsi atau kata atau

rumusan pada dakwaan yang berkuasa dengan penerapan

hukumnya,77 penuntut umum wajib mempertimbangkan hal

yang memberatkan maupun yang meringankan tuntutan

sebagaimana yang terdapat dalam Surat Edaran Jaksa

Agung No. SE-009/JA/12/1985 poin VI yang menyatakan

bahwa dalam menentukan berat ringannya tuntutan wajib

mempertimbangkan faktor-faktor berikut:

a. Pelaku yang meliputi umur pendidikan


kedudukan sosial, ekonomi, kultural,
recidivist mental / psychis, motivasi, phisik.
b. Perbuatan yang meliputi cara, sifat, kualitas
perbuatan, kedudukan, peranan, aktor
intelektualis, pelaku, peserta, pembantu.
c. Akibat dari perbuatan dalam hal ini harus
diperhatikan akibat perbuatan yang telah
dilakukan apakah menimbulkan kerugian: (1)
Material terhadap negara, masyarakat,
perorangan jiwa, badan (2) Immaterial (a)
Lingkup ruangnya: lokal, internasional, (b)
lingkup waktunya: Jangka pendek atau jangka
panjang.

76
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang,. Op.Cit Hlm. 401
77
Laden marpaung., Loc.cit 124
63

d. Faktor-faktor lain faktor-faktor lain dalam hal


ini perlu diperhatikan ialah politik hukum,
yang ada kaitannya dengan rasa keadilan
masyarakat, politik pemidanaan, yang ada
kaitannya dengan daya tangkal.78

f. Pasal Peraturan Perundang-Undangan yang Menjadi


Dasar Pemidanaan atau Tindakan dan Pasal
Peraturan Perundang-Undangan yang Menjadi Dasar
Hukuman dari Putusan, Disertai Keadaan yang
Memberatkan dan yang Meringankan Terdakwa

Berdasarkan Asas Legalitas yang terdapat pada

Pasal 1 Ayat 1 KUHP yaitu “tiada suatu perbuatan yang

dapat dipidana (dihukum) sebelum ada undang-undang

yang mengatur tentang suatu perbuatan tersebut (Nullum

delictum noella poena sine praevia lege poenale). Dari

kalimat tersebut dapat diartikan suatu perbuatan baru dapat

dipidana apabila telah ada aturan yang menentukan dapat

dihukum atau tidaknya suatu perbuatan tersebut, hal

tersebut juga bermakna “lex temporis delicti” artinya suatu

perbuatan pidana hanya dapat diadili menurut Undang-

Undang pada saat perbuatan itu dilakukan, yang dimaksud

di sini ialah Undang-Undang yang mengatur bahwa dapat

dipidana atau tidaknya seseorang.79

78
Indonesia, Surat Edaran Jaksa Agung No: Se-009 /Ja/12/1985 tentang Pedoman Tuntutan
Pidana
79
http://wawasanhukum.blogspot.com diunduh pada tanggal 14 januari 2014
64

Berdasarkan ketentuan tersebut hakim Seperti

yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro: Bahwa

tidak mungkin seorang hakim mengambil tindakan pertama

(inisiatif) supaya ada perkara pidana. kewajiban hakim

pada umumnya ialah memutuskan dalam hal-hal yang

ternyata terjadi (condrete gevallen), bagaimana hukum

yang berlaku, harus dilaksanakan. Sifat hakim ialah

menunggu sampai perkara-perkara diajukan di mukanya

oleh pihak lain.80 Oleh sebab itu hakim dalam

menyelesaikan suatu perkara harus didasari pada surat

dakwaan dan juga melakukan pembahasan yuridis terhadap

apa yang didakwakan dan fakta serta keadaan yang

ditemukan dalam pemeriksaan sidang. Sebagaimana yang

ditentukan dalam Pasal 182 Ayat (4) KUHAP dan

berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) undang-undang No 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa:

“Dalam mempertimbangkan berat ringannya


pidana, hakim wajib pula memperhatikan sifat
baik dan jahat dari terdakwa.”
Mengenai hal yang meringankan serta hal yang

memberatkan suatu pidana ini menyangkut pertimbangan

80
Jurnal Suci Rahmadani, Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana
Penjara Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan, Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, 2013
65

putusan tentang penjatuhan hukuman atau sentencing

(straftoemeting)81

Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung

sebagaimana yang telah terjadi berdasarkan Putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor 1036

K/Pid.Sus/2008, tertanggal 31 Juli 2008, atas nama

Terdakwa LE VAN HUY, untuk selalu memuat

pertimbangan keadaan yang memberatkan dan

meringankan terdakwa dalam putusan pemidanaannya.

karena, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

tersebut menggariskan kaidah hukum yaitu:

1. Bahwa berat ringannya pidana yang


merupakan domain judex facti, tidaklah bersifat
mutlak;
2. Mahkamah Agung Republik Indonesia
dapat menilai dan menguji pengenaan pidana,
antara lain alasan kurang cukupnya
pertimbangan hukum judex facti (onvoldoende
gemotiveerd), dalam hal ini kurang cukup
pertimbangan hukum terhadap hal-hal yang
memberatkan;
3. Bila hal tersebut terjadi, maka
Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat
memperberat penjatuhan pidana sebagaimana
pada tahap judex facti.82

81
Yahyah harahap., pembahasan dan permasalahan penerapan…Op.cit Hlm.364
82
https://abdulaffandi.wordpress.com, diunduh 14 januari 2014
66

Kebebasan hakim untuk menentukan berat ringannya

sanksi pidana penjara juga harus berpedoman pada batasan

maksimum dan juga minimum serta kebebasan yang

dimiliki harus berdasarkan rasa keadilan baik terhadap

terdakwa maupun masyarakat dan bertanggung jawab

terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Hakim mempunyai

kebebasan mandiri dalam mempertimbangkan berat

ringannya sanksi pidana penjara terhadap putusan yang

ditanganinya. Kebebasan hakim mutlak dan tidak

dicampuri oleh pihak lain. Hal ini disebabkan untuk

menjamin agar putusan pengadilan benar-benar obyektif.

g. Hari dan Tanggal Diadakannya Musyawarah Majelis


Hakim Kecuali Perkara Diperiksa Hakim Tunggal

Hakim dalam membuat tanggal kapan

diadakannya musyawarah hakim untuk mengetahui kapan

diadakannya musyawarah terakhir yang dilakukan oleh

hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal

sebagaimana yang ditentukan dalam penjelasan Pasal 152

Ayat (3) KUHAP yang berbunyi:

“bahwa yang dimaksud dengan hakim yang


ditunjuk adalah mejelis hakim atau hakim
tunggal”
67

Berdasarkan Pasal 182 ayat (7) dan ayat (8)

KUHAP menyatakan bahwa:

- Ayat (7) Pelaksanaan pengambilan putusan


sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat
dalam buku himpunan putusan yang
disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi
buku tersebut sifatnya rahasia.
- Ayat (8) Putusan pengadilan negeri dapat
dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga
atau pada hari lain yang sebelumnya harus
diberitahukan kepada penuntut umum,
terdakwa atau penasihat hukum.

Urgensi dari pencatatan hari dan tanggal hasil musyawarah

majelis hakim bertujuan untuk menjamin adanya

autentifikasi dan kepastian hasil musyawarah,83 serta untuk

memberikan kepastian bagi terdakwa mendapatkan apa

yang menjadi haknya sebelum jangka waktu untuk

mempertahankan apa yang menjadi haknya saat putusan

pengadilan dibacakan berakhir.

h. Pernyataan Kesalahan Terdakwa, Pernyataan Telah


Terpenuhi Semua Unsur dalam Rumusan Tindak
Pidana Disertai dengan Kualifikasinya dan
Pemidanaan atau Tindakan yang Dijatuhkan

Pernyataan kesalahan terdakwa, merupakan

penegasan telah terpenuhi semua unsur dalam tindak

pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau

hukuman yang dijatuhkan. Biasanya peryataan tersebut


83
Yahyah harahap., pembahasan dan permasalahan penerapan…Op.cit. Hlm 268
68

dicantumkan dalam amar putusan.84 Adapun langkah-

langkah yang dilakukan hakim dalam menentukan

kesimpulan atau amar dalam putusan yaitu bersal dari

musyawarah majelis hakim berdasarkan pertimbangan

hakim yang didapat melalu proses pemeriksaan perkara di

sidang pengadilan dengan melihat fakta dan keadaan yang

ditemui berdasarkan pembuktian yang telah diperoleh

dalam persidangan. Hakim dalam sidang pengadilan harus

selalu berusaha dengan sebaik mungkin untuk menetapkan

suatu hukuman yang dirasakan oleh masyarakat dan oleh

terdakwa sebagai suatu hukuman yang setimpal dan adil

oleh sebab itu dalam mencapainya hakim harus

memperhatikan apa saja yang yang harus diperhatikan

dalam membuat amar putusan :

(1) Sifat pelanggaran pidana (apakah itu


pelanggaran pidana berat atau ringan).
(2) Ancama hukuman terhadap pelanggaran
pidana itu.
(3) Keadaan dan suasana waktu melakukan
pelanggaran pidana itu (yang memberatkan
dan meringankan).
(4) Pribadi terdakwa apakah ia seorang penjahat
tulen atau seorang penjahat yang telah
berulang-ulang dihukum (recidivist) atau
seorang penjahat untuk satu kali ini saja atau
apakah ia seorang yang masih muda ataupun
seorang yang berusia tinggi.
84
Ibid. 364
69

(5) Sebab-sebab untuk melakukan pelanggaran


pidana itu.
(6) Sikap terdakwa dalam pemeriksaan perkara
itu (apakah ia menyesal tentang kesalahannya
atau kah dengan keras menyangkal meskipun
telah ada bukti yang cukup akan kesalahanya).
(7) Kepentingan umum (hukum pidana ada) untuk
melindungi kepentingan umum, yang ada
dalam keadaan tertentu menurut suatu
hukuman berat pelanggara pidana.85

i. Ketentuan Kepada Siapa Biaya Perkara Dibebankan


dengan Menyebut Jumlahnya yang Pasti dan
Ketentuan Mengenai Barang Bukti

Ketentuan yang diatur Pasal 197 Ayat (1) huruf i

KUHAP menyangkut dengan pembebanan biaya perkara

dan mengenai barang bukti. Ketentuan mengenai biaya

perkara diatur dalam Pasal 222 KUHAP ayat (1) dan (2)

yang berbunyi:

(1) Siapa pun yang diputus pidana dibebani


membayar biaya perkara dan dalam hal
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, biaya perkara dibebankan pada
negara.
(2) Dalam hal terdakwa sebelumnya telah
mengajukan permohonan pembebasan dari
pembayaran biaya perkara berdasarkan syarat
tertentu dengan persetujuan pengadilan, biaya
perkara dibebankan pada negara.

Serta berdasarkan Surat Edaran Mahkamah

Agung no 3 tahun 2012 pada Pasal 1 Ayat (1) menyatakan

bahwa :
85
Laden Marpaung., Op.cit., Hlm 139
70

“Biaya Proses Penyelesaian Perkara selanjutnya


disebut biaya proses adalah biaya yang
dipergunakan untuk proses penyelesaian perkara
perdata, perkara tata usaha negara dan hak uji
materil pada Mahkamah Agung dan Badan
Peradilan yang berada di bawahnya yang
dibebankan kepada pihak atau para pihak yang
berperkara”.86
Jadi berdasarkan ketentuan Pasal 222 KUHAP Dan

berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No 3 tahun

2012 pada Pasal 1 Ayat (1) jelas siapa yang dibebankan

dengan biaya perkara akan tetapi KUHAP tidak

menentukan berapa jumlah biaya yang harus dikeluarkan.

Jumlah biya perkara yang dibebankan berdasarkan Surat

Edaran Mahkamah Agung no 17 tahun 1983 menyatakan

bahwa:

Pasal 197 ayat (1) huruf I KUHAP menyebutkan:


"Surat putusan pemidanaan memuat ketentuan
kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebutkan jumlah yang pasti."Mengenai
berapa jumlah biaya perkara yang pasti tersebut
hendaknya Saudara tetap berpegang kepada Surat
Ketua Mahkamah Agung - RI tanggal 19 Oktober
1981 No. KMA/155/X/1981 yang ditujukan
kepada Saudara Ketua Pengadilan Tinggi se
Indonesia, dengan penegasan lebih lanjut bahwa
ketentuan jumlah maksimumRp. 10.000 dan
minimum Rp.5000 biaya perkara yang tersebut
dalam Surat Ketua Mahkamah Agung - RI itu,
tidak boleh dilampaui maupun dikurangi. Agar
biaya perkara tersebut benar-benar dapat dibayar
oleh terpidana/dieksekusi oleh jaksa, hendaknya
86
Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung No 3 Tahun 2012 tentang Biaya Perkara dan
Pengelolaannya Pada Mahkamah Agung dan Badan peradilan yang Berada di Bawahnya
71

dalam menentukan besarnya jumlah biaya perkara


itu Saudara benar-benar memperhatikan
kemampuan terdakwa, dengan pengertian bahwa
apabila terdakwa tidak mampu atau pun tidak
membayar jaksa, pada prinsipnya dapat menyita
sebagian barang-barang milik terpidana untuk
dijual lelang yang kemudian hasilnya akan
dipergunakan untuk melunasi biaya perkara
tersebut”.87

Dan mengenai ketentuan barang bukti yang dimaksud

berdasarkan Pasal 194 KUHAP yang berbunyi:

(1) Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas


atau lepas dari segala tuntutan hukum,
pengadilan menetapkan supaya barang bukti
yang disita diserahkan kepada pihak yang
paling berhak menerima kembali yang
namanya tercantum dalam putusan tersebut
kecuali jika menurut ketentuan undang-
undang barang bukti itu harus dirampas untuk
kepentingan negara atau dimusnahkan atau
dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan
lagi.
(2) Kecuali apabila terdapat alasan yang sah,
pengadilan menetapkan supaya barang bukti
diserahkan segera sesudah sidang selesai.
(3) Perintah penyerahan barang bukti dilakukan
tanpa disertai sesuatu syarat apapun kecuali
dalam hal putusan pengadilan belum
mempunyai kekuatan hukum tetap.

Setiap putusan pengadilan baik pemidanaan

ataupun pembebasan atau lepas dari segala tuntutan hukum

harus menegaskan status barang bukti kecuali dalam

perkara yang bersangkutan tidak ada barang bukti.88

87
Indonesia, Surat Edaran Mahkamah Agung no 17 tahun 1983 tentang biaya perkara pidana
88
Yahya Harahap., pembahasan dan permasalahan penerapan… Op.cit Hlm.366
72

Martiman Prodjohamidjojo menyatakan Dalam sistem

pembuktian hukum acara pidana yang menganut (stelsel

negatief wettelijk), hanya alat-alat bukti yang sah menurut

Undang-Undang yang dapat dipergunakan untuk

pembuktian.89 Dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan

mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:

a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa


yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh
dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari
tindak pidana;

b. Benda yang telah dipergunakan secara


langsung untuk melakukan tindak pidana atau
untuk mempersiapkannya;

c. Benda yang digunakan untuk menghalang-


halangi penyelidikan tindak pidana;

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan


melakukan tindak pidana;

e. Benda lain yang mempunyai hubungan


langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan,

Ratna Nurul Afiah menyatakan bahwa “benda-

benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam

Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang

bukti”.90 Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh

89
Martiman prodjohamidjojo., system pembuktian dan alat bukti.,(Jakarta: ghalia Indonesia,
1983), Hlm.19
90
Ratna Nurul Alfiah., barang Bukti Dalam Proses Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 1989),
Hlm.14
73

Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti.

Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai,

pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan

mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya

mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk

melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang

didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR

menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di

antaranya:

a.Barang-barang yang menjadi sasaran tindak


pidana (corpora delicti)

b. Barang-barang yang terjadi sebagai


hasil dari tindak pidana (corpora delicti)
c.Barang-barang yang dipergunakan untuk
melakukan tindak pidana (instrumenta delict).91

Prof. Andi Hamzah yang mengatakan yang

dimaksud barang bukti dalam perkara pidana adalah barang

bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik)

dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai

untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang

merupakan hasil dari suatu delik.92

91
http://www.hukumonline.com diunduh pada tanggal 15 januari 2014
92
Andi hamzah,. Hukum Acara Pidana Indonesia,.Ed 2 (Jakarta: sinar grafika, 2006), Hlm.
254
74

j. Keterangan Bahwa Suluruh Surat Teryata Palsu atau

Keterangan Dimana Letaknya Kepalsuan, jika

Terdapat Surat Autentik Dianggap Palsu

Dalam Ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf j yang

dimaksud dengan surat outentik sebagaimana yang terdapat

di dalam ketentuan Pasal 187 KUHAP menyatakan bahwa

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c,

dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah,

adalah:

a.Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi


yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang
atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri,
disertai dengan alasan yang jelas dan tegas
tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk
dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi
pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c.Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi dan padanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika
ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain. 93

93
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang,. Op.Cit Hlm. 401
75

Dimaksud dengan pernyataan hakim yang menyatakan

bahwa surat palsu, pada pokoknya jika persidangan

menemukan kepalsuan surat berdasarkan fakta di dalam

persidangan dalam pemeriksaan alat bukti surat yang ada

hubungannya dengan perkara yang bersangkutan maka

berdasarkan Pasal 201 KUHAP yang bebunyi:

(1) Dalam hal terdapat surat palsu atau


dipalsukan, maka panitera melekatkan petikan
putusan yang ditandatanganinya pada surat
tersebut yang memuat keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat
Huruf j dan surat palsu atau yang dipalsukan
tersebut diberi catatan dengan menunjuk pada
petikan putusan itu.
(2) Tidak akan diberikan. Salinan pertama atau
salinan dari surat asli palsu atau yang
dipalsukan kecuali panitera sudah membubuhi
catatan pada catatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) disertai dengan salinan petikan
putusan.
Berdasarkan penjelasan Pasal 201 KUHAP

bertujuan memberikan kepastian hukum untuk membuka

kemungkinan surat palsu atau yang dipalsukan itu dipakai

sebagai barang bukti jika diajukan upaya hukum dan juga

jaminan ketelitian panitera dalam berkas perkara.

k. Perintah Supaya Terdakwa Ditahan atau Tetap dalam


Tahanan atau Dibebaskan
76

Dalam memaknai Pasal 197 ayat (1) huruf k tidak

dapat terlepas dari beberapa ketentuan lain yang ada di

dalam KUHAP itu sendiri sebagaimana halnya dengan apa

yang dimaksud dengan ditahan atau tetap dalam tahanan

atau dibebaskan yang ada di dalam Pasal 197 ayat (1) huruf

k KUHAP, tidak dapat dilihat hanya dari sudut pandang

syarat sahnya surat putusan pemidanaan, melainkan juga

harus ditinjau dari ketentuan-ketentuan yang ada di dalam

KUHAP itu sendiri yang mengatur tentang penahan atau

pembebasan atau dengan kata lain yang mengatur status

tahanan dari seorang terdakwa.

Pengertian penahanan di dalam ketentuan Pasal 1

ayat (21) KUHAP adalah:

penempatan tersangka atau terdakwa di tempat


tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau
hakim dengan penetapannya, dalam hal serta
menurut cara yang diatur di dalam undang-
undang ini.
Menurut Matiman Prodjohamidjojo penahanan

adalah “tindakan untuk menghentikan kemerdekaan

tersangka atau terdakwa dan menempatkan di tempat

tertentu, biasanya di tempat rumah tahanan negara yang

dahulu disebut sebagai lembaga permasyarakatan,”94

94
www.liberary.unpnvj.ac.id, diunduh pada tanggal 24 januari 2014
77

pengertian penahanan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa

sebenarnya penahanan itu bertujuan untuk mempermudah

jalannya proses pemeriksaan perkara pidana baik di tingkat

penyidikan maupun di tingkat penuntutan serta tingkat

pemeriksaan perkara di Pengadilan dengan cara kebebasan

bergerak dan berprilaku dari tersangka atau terdakwa

dikurangi atau dibatasi, akan tetapi dilakukan dengan

sehati-hati mungkin jangan sampai terjadinya penahanan

yang tidak sah oleh sebab itu dalam melakukan penahanan

harus memperhatikan dasar-dasar dalam melakukan

Penahanan yaitu seperti halnya apa yang diatur dalam

ketentuan Pasal 21 KUHAP yang menyatakan bahwa:

1. Perintah penahanan atau penahanan


lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka
atau terdakwa yang dianggap diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan alat bukti
yang cukup kuat, dalam hal adanya
kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa
akan melarikan diri merusak atau
menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana.
2. Penahanan atau penahanan lanjutan
dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum
terhadap tersangka atau terdakwa dengan
memberikan surat perintah penahanan atau
penentapan hakim yang mencantumkan
identitas tersangka atau terdakwa dan menyebut
alasan penahanan serta uraian singkat perkara
kejahatan yang dipersangkakan atau
didakwakan serta tempat ia ditahan
78

3. Tembusan surat perintah penahanan atau


penahanan lanjutan atau penetapan hakim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
diberikan kepada ke luarganya.
4. penahanan tersebut hanya dapat
dikenakan kepada tersangka atau terdakwa yang
melakukan tindak pidana dan atau percobaan
maupun pemberian batuan dalam tindak pidana
tersebut dalam hal:
a) Tindak pidana itu diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau lebih:
b) Tindak Pidana sebagimana dimaksud dalam
Pasal 282 ayat (3), Pasal 296 ayat (1), Pasal
351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372,
Pasal 378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454,
Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, dan Pasal 506
kitab undang-undang Hukum Acara Pidana,
Pasal 25 da Pasal 26 Rechtenordonnantie
(pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan
cukai, terakhir diubah dengan staatsblad tahun
1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal
4 (undang-undang no 8 Drt. Tahun 1955.
Lembaran Negara tahun 1955 Nomor 8), Pasal
36 ayat ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43,
Pasal 47, dan Pasal 48 undang-undang no. 9
tahun 1976 tentang narkotika (lembaran
Negara Tahun 1976 no. 37 (Tambahan
Lembaran Negara no. 3086)95

Dari ketentuan Pasal 21 KUHAP tersebut dapat

kita lihat bahwa ada dua syarat dalam melakukan

penahanan yaitu syarat subjektif yang merupakan syarat

yang mengatur tentang siapa yang dapat dikenakan

panahanan dan siapa yang dapat melakukan penahan,

dalam hal ini yang dapat dikenakan penahanan ialah

95
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.cit,.Hlm.120-121
79

tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan

tindak pidana berdasarkan alat bukti yang cukup dan

dikhawatirkan tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,

merusak barang bukti dan mengulangi tindak pidana dan

yang dapat melakukan penahan dalam hal ini adalah

Penyidik, untuk proses Penyidikan, Penuntut Umum untuk

proses Penuntutan dan Hakim untuk Proses pemeriksaan di

Pengadilan. Sedangkan syarat objektif dalam melakukan

penahanan yaitu merupakan syarat dimana seseorang yang

menjadi tersangka atau terdakwa yang dapat dilakukan

Penahanan ialah jika tersangka atau terdakwa tersebut

melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun

pemberian bantuan dalam hal tindak pidana itu diancam

dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau lebih

dan tindak pidana yang diatur di dalam ketentuan Pasal 21

ayat (4) huruf b KUHAP.

Menurut pendapat Laden Marpaung yang

menyatakan bahwa ditahan atau tidaknya terdakwa, Pasal

21 KUHAP tetap merupakan dasar bagi penahanan, jadi

jika perbuatan yang didakwakan diluar Pasal 21 KUHAP

maka amar putusan terdakwa tidak ditahan tetap jika


80

termasuk Pasal 21 KUHAP maka tetap tergantung pada

penilaian pengadilan.96 Akan tetapi kita juga harus

memperhatikan apa yang menjadi dasar perlunya dilakukan

yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 20 KUHAP penahanan

dilakukan untuk kepentingan penyidikan atau penyidik

atau penyidik pembantu atas perintah penyidik, untuk

kepentingan penuntut umum yang berwenang dalam

melakukan penahanan lanjutan untuk proses penuntutan

dan hakim dengan penetapannya untuk kepentingan

pemeriksaan di pengadilan .

Dalam melakukan penahanan tidak serta merta

penyidik, penuntut umum atau hakim bebas dalam

melakukan penahanan walaupun kewenangan tersebut

diberikan oleh undang-undang, tentunya hal tersebut juga

dibatasi oleh batas waktu untuk dapat melakukan

penahanan terhadap tersangka atau terdakwa, yang dimana

hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 24 sampai dengan

Pasal 29 KUHAP yaitu dimana kewenangan yang

diberikan untuk melakukan penahanan guna kepentingan

penyidikan yaitu 20 hari dan dapat diperpanjang selama

40 hari, kewenangan untuk melakukan penahanan guna


96
Laden marpaung, Op.cit,.Hlm 151
81

kepentingan penuntutan oleh penuntut umum yaitu paling

lama 20 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari,

kewenangan untuk melakukan penahanan guna

pemeriksaan sidang pengadilan negeri oleh hakim paling

lama 30 hari dan dapat diperpanjang selama 60 hari,

kewenangan untuk melakukan penahanan guna

pemeriksaan hakim pada tingkat banding batas waktu

penahanannya paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang

selama 60 hari dan kewenangan untuk melakukan

penahanan guna kepentingan hakim pada tingkat kasasi

batas waktu untuk melakukan penahanan paling lama 50

hari dan dapat diperpanjang 60 hari. Berdasarkan ketentuan

Pasal 29 KUHAP dikecualikan dari ketentuan Pasal 24, 25,

26, 27 dan Pasal 28 KUHAP penahanan terhadap tersangka

atau terdakwa dapat dilakukan penahanan lanjutan dalam

jagka waktu 30 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari,

jika penyidik, penuntut umum ataupun hakim mempunyai

alasan yang kuat untuk yaitu diantara lain:

1. Tersangka atau terdakwa menderita


ganguan fisik atau mental yang berat yang
dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
2. Perkara yang sedang diperiksa diancam
dengan pidana penjara sembilan tahun atau
lebih.
82

Jika ketentuan yang telah ditetapkan di dalam Pasal

24,25,26,27,28,dan 29 telah terpenuhi ataupun sampai

dengan ditetapkannya batas waktu untuk melakukan

penahanan perkara belum selesai maka demi hukum

tersangka atau terdakwa harus segera dikeluarkan. dan di

dalam ketentuan Pasal 30 KUHAP jika tenggang waktu

untuk melakukan penahanan tidak sah maka tersangka

ataupun terdakwa dapat meminta ganti rugi sebagaimana

yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 95 dan Pasal 96

KUHAP yang menyatakan :

Pasal 95 KUHAP
(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak
menuntut ganti kerugian karena ditangkap,
ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan
tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan.
(2) Ganti kerugian oleh tersangka atau ahli
warisnya atas penangkapan atau penahanan
serta tindakan lain tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan negeri, diputus di sidang
praperadilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77.
(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh
tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli
83

warisnya kepada pengadilan yang berwenang


mengadili perkara yang bersangkutan.
(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara
tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1)
ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk
hakim yang sama yang telah mengadili
perkara pidana yang bersangkutan.
(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian
sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti
acara praperadilan.
Pasal 96 KUHAP:
(1) Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk
penetapan.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
memuat dengan lengkap semua hal yang
dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan
tersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang

48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan

bahwa:

1. Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut


atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-
undang atau kerena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkannya
berhak menuntut ganti kerugian dan
rehabilitasi.
2. Pejabat yang dengan sengaja melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dipidana sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3. Ketentuan mengenai tata cara penuntutan,
ganti kerugian dan rehabilitasi dan
pembebanan ganti kerugian diatur dalam
undang-undang.
84

Klasifikasi jenis penahanan merupakan hal yang

baru di dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia.

HIR tidak mengenal berbagai jenis penahan melainkan

hanya mengenal jenis tahanan rumah tahanan negara dan

jenis tahanan rumah tahanan hakim sedangkan pada saat ini

di dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1. 2 dan 3) KUHAP

Indonesia mengenal dan memakai beberapa jenis

penahanan yaitu:

(1) Jenis penahanan dapat berupa:


a. Penahanan rumah tahanan negara
b. Penahanan rumah
c. Penahanan kota
(2) Penahanan rumah dilaksanakan di rumah
tinggal atau rumah kediaman tersangka atau
terdakwa dengan mengadakan pengawasan
terhadapnya untuk menghindarkan segala
sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan
dalam penyidikan, penuntutan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan.
(3) Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat
tinggal atau tempat kediaman tersangka atau
terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka
atau terdakwa untuk melaporkan diri pada
waktu yang ditentukan.

Banyak orang beranggapan bahwa ditahan sama

halnya dengan di penjara atau dalam proses pemidanaan

akan tetapi jika kita tinjau kembali apa itu penahanan dan

tujuan dari penahanan itu sendiri jelas sungguh sangat

berbeda, hal yang seperti inilah yang harus kita ketahui,


85

pada dasarnya dimana penahanan hanya bertujuan untuk

mempermudah pemeriksaan dikarenakan dikhawatirkan

akan melakukan perbuatan dalam hal ini mengulangi tindak

pidana atau menghilangkan barang bukti sedangkan

pemidanaan merupakan bentuk hukuman yang diberikan

kepada terpidana dikarenakan telah terbukti melakukan

tindak pidana walaupun sering kita jumpai di dalam

prakteknya terdakwa yang menjalani masa penahanan

berada satu tempat dengan terpidana yang sedang

menjalani masa hukuman, bila kita lihat kembali di dalam

surat putusan pemidanaan Pasal 197 huruf k KUHAP selain

menyebutkan penahanan, di sana disebutkan juga kata

dibebaskan lalu timbul suatu pertanyaan apakah yang

dimaksud dibebaskan di sini, menurut hemat penulis sudah

jelas bahwa dibebaskan di sini ialah tersangka atau

terdakwa yang ditahan baik berada di dalam tahanan rumah

tahanan negara, tahanan rumah atau tahanan kota

dikeluarkan dari tahanan atau dibebaskan. Dalam

memahami kata “dibebaskan” di sini kita harus

memperhatikannya dengan sangat cermat bahwa yang

dimaksud dengan dibebaskan di sini berbeda dengan

penangguhan penahanan .
86

Menurut pendapat Yahyah Harahap perbedaan

antara pembebasan penahanan dan penangguhan penahahan

memerlukan beberapa syarat antara:

 Penangguhan dilakukan hakim/ pengadilan


karena ada permintaan dari terdakwa atau
penasehat hukumnya
 Penangguhan penahanan membebankan kepada
terdakwa wajib lapor dan tidak boleh ke luar
kota atau ke luar rumah
 Perlu atau tidaknya penanguhan penahanan itu
dengan jaminan uang atau jaminan orang, dan
berdasarkan PP no 27 tahun 1983 Pasal 35 dan
Pasal 36, uang jaminan disimpan di
kepaniteraan pengadilan negeri apabila
terdakwa melarikan diri dan sudah lewat 3
bulan terdakwa tidak ditemukan, penjamin
diwajibkan membayar uang yang jumlanya
ditetapkan oleh pengadilan. sedangkan perintah
pembebasan terdakwa pada dasarnya “tanpa
syarat” yang harus dipikulkan kepada terdakwa,
karena jika pembebasan dibarengi dengan syarat
perintah pembebasan itu bukan lagi pembebasan
atau dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Perintah pembebasan dilakukan hakim/
pengadilan negeri secara ex officio atau
dasar penahahan yang dilakukan terhadap
terdakwa tidak sah
- Perintah pembebasan dilakukan tanpa
permintaan terdakwa
- Perintah pembebasan dilakukan tanpa
syarat97
Berdasarkan ketentuan Pasal 191 KUHAP

menyatakan bahwa:

97
Yahya harahap,.pembahasan permasalahan penerapan… Op.cit., Hlm249-250
87

1. Jika pengadilan berpendapat bahwa dari


hasil pemeriksaan di sidang pengadilan,
kesalahan atas perbuatan terdakwa yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas.
2. Jika pengadilan berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan
suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus
lepas dari segala tuntutan hukum.
3. Dalam hal sebagaimana yang dimaksud
ayat (1) dan ayat (2) terdakwa yang ada dalam
status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan
seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain
yang sah.

Berdasarkan uraian dari ketentuan Pasal 191

KUHAP tersebut kata “Dibebaskan” tersebut mengarah

kepada putusan yang berupa putusan bebas atau putusan

lepas dari segala tuntutan hukum, berpandangan dengan hal

itu penulis menambahkan dan berpendapat bahwa yang

dimaksud dengan “dibebaskan” di sini ialah apa yang

menjadi ketentuan bahwa status tahanan tersangka atau

terdakwa tersebut tidak berlaku dimana dalam hal ini dapat

berupa jangka waktu penahanan yang terdapat di dalam

ketentuan Pasal 24, 25, 26, 27, 28, 29 atau pemeriksaan

telah selesai dan sah atau tidaknya suatu penahanan serta

akibat hukum yang ditimbulkan dari ketentuan Pasal 191


88

ayat (1) dan (3) dimana salah satunya tersangka atau

terdakwa kembali seperti keadaan semula bahkan berhak

untuk mendapatkan ganti kerugian dan rehabilitasi dan

yang harus diingat dan dipahami bahwa kata “ditahan atau

dibebaskan” dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k

KUHAP merupakan keterangan mengenai status tahanan

dari terdakwa terdakwa bukan proses pemidanaan. Dari

uraian yang telah disampaikan di atas dapatlah ditarik suatu

kesimpulan bahwa penahanan ini merupakan bentuk dari

proses pemeriksaan yang diuraikan lagi dalam surat

putusan pemidanaan. Jadi dengan kata lain uraian tersebut

hanya bersifat formal tidak mutlak harus ada dalam putusan

pemidanan.

l. Hari dan Tanggal Putusan, Nama Penuntut Umum,


Nama Hakim yang Memutus dan Nama Panitera

Ketentuan Pasal 197 ayat (1) Huruf l merupakan

bagian penutup dalam membuat surat putusan pemidanaan

yang dimana sifat surat putusan tersebut bersifat akta

otentik yang tujuannya sebagai keabsahan putusan yang

dinyatakan sah oleh pejabat yang berwenang untuk itu

yaitu antara lain penuntut umum, hakim dan panitera serta


89

diberi tanggal hari dan tanggal putusan dibacakan

sebagaimana pihak-pihak yang disebutkan tersebut

merupakan pihak yang bertugas dalam menangani suatu

perkara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang sedikit

banyaknya telah penulis paparkan sebagaimana kita ketahui dalam

ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa:

Jika pengadilan dalam membuat surat putusan pemidanaan


tidak mencantumkan ketentuan yang ada pada Pasal 197 ayat
(1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k,dan huruf l maka putusan itu
akan berakibat batal demi hukum.
Menurut pendapat Dr. Ali.Mudzakir, Kedudukan Hukum Pasal 197

Ayat (1) KUHAP sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam

membuat surat putusan pemidanaan berlaku untuk semua putusan

pemidanaan baik dari tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi

maupun tingkat pengadilan Mahkamah Agung menanggapi ketentuan

Pasal 197 Ayat (2) KUHAP Beliau menyatakan bahwa:

1.Mengandung ketidakjelasan dan multitafsir


2.Kewenangan jaksa selaku eksekutor menjadi gamang dalam
mengeksekusi putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum yang tetap karena jelas putusan pemidanaan
tersebut batal demi hukum (Pasal 197 ayat (2) KUHAP)
3.Ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP bersifat imperatif dan
mandatori berlaku untuk semua putusan pada semua
tingkatan pengadilan;
4.Wewenang menahan Tersangka / Terdakwa oleh penyidik,
penuntut umum, dan hakim dengan diktum mengenai status
terdakwa/terpidana adalah berbeda. dalam perkara pidana
90

dibedakan menjadi dua jenis putusan, yaitu putusan yang


berisi pemidanaan (pembuatannya diatur dalam Pasal 197
ayat (1) KUHAP) dan putusan yang berisi bukan pemidanaan
(pembuatannya diatur dalam Pasal 199 KUHAP).98

Dari peryataan tersebut mengenai putusan batal demi hukum

yang dikemukakan di atas dapat diketahui pernyataan tersebut

menekankan bahwa, Putusan Batal Demi Hukum yang terdapat di

dalam Pasal 197 ayat (2) mengenai syarat surat putusan pemidanaan

pada Pasal 197 ayat (1) mutlak harus terpenuhi dikarenakan hal

tersebut merupakan kehendak undang-undang sendiri yang

menyatakan tidak tepenuhinya maka mengakibatkan batal demi hukum

dan kebatalannya bersifat mutlak atau hakekat dan bersifat imperatif

dan mandatory serta berlaku kepada seluruh tingkat pengadilan dan

salah satu yang menjadi dasarnya yaitu Ketentuan hukum acara

pidana sendiri pada hakekatnya harus jelas dan tidak boleh multitafsir

(lex certa) serta ketentuan hukum acara pidana harus ditafsirkan secara

ketat (lex stricta). Jadi dengan kata lain ketentuan yang ada di dalam

hukum acara pidana itu harus jelas adanya dan tidak dapat ditafsirkan

lain,

Yahya Harahap berpendapat bahwa kealapaan yang dapat

ditolerir atas ketentuan Pasal 197 ayat (1) yaitu hanya pada huruf g

dan I, yang tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum, akan

98
Indonesia, putusan makakamah konstitusi no register 69/PU-X/2012 Hlm 117
91

tetapi jika putusan pemidanaan tidak memuat ketentuan selain huruf g

dan i dengan sendirinya mengakibatkan putusan batal demi hukum. 99

Yahya Harahap membagi Pasal-Pasal yang terdapat di dalam

ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP tersebut menjadi dua kategori

yaitu:

1. huruf b, c, d, j, k, dan l terhadap ketentuan yang ada di


dalam huruf ini jika tidak mencantumkan ketentuan yang
ada di dalam huruf b, c, d, j, k, dan l di dalam Pasal ini 197
ayat (2) KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum,
dan kekeliruan penulisan atau pengetikan terhadap
ketentuan-ketentuan huruf b, c, d, j, k, dan l menurut Yahyah
Harahap tidak batal demi hukum tetapi kekeliruan,kesalahan
atau kelalaian dalam mengetik terhadap Pasal ini dapat
diperbaiki.
2. huruf a, e, f, dan h terhadap ketentuan yang di dalam
huruf ini jika tidak mencantum ketentuan yang di dalam
huruf a, e, f, dan h mengakibatkan putusan batal demi
hukum dan kekeliruan dalam membuat atau mengetik
ketentuan yang ada di dalam huruf a, e, f, dan h
mengakibatkan putusan batal demi hukum100
Dari peryataan Yahya Harahap di atas dapat diambil

kesimpulan bahwa menurutnya yang mutlak batal demi hukum hanya

pada huruf a, e, f, dan h, jika tidak dicantumkan dan adanya kekeliruan

dalam pengetikan, sedangkan di dalam ketentuan huruf b, c, d, j, k,

dan l jika tidak dicantumkan mengakibatkan putusan batal demi

hukum dan jika terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam pengetikan

dapat diperbaiki, sedangkan bila kita lihat dari penjelasan KUHAP

mengenai Pasal 197 ayat (2) menyatakan bahwa:


99
Yahya harahap,. Op.cit pembahasan permasalahan penerapan…, hlm.371
100
Op.cit., Hlm 384
92

“Kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f, dan h, apabila


terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka
dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak
menyebabkan batalnya putusan demi hukum”.

Dari penjelasan Pasal 197 (2) KUHAP tersebut dapat kita

simpulkan hanya pada kekeliruan dalam pengetikan atau penulisan

yang tidak menyebabkan batal demi hukum, bagaimana jika ketentuan

yang dimaksud di dalam penjelasan Pasal 197 ayat (2) tersebut tidak

dicantumkan sama sekali hal seperti inilah yang kita pahami sampai

dimana batas kekhilafan dan kekeliruan yang dimaksud. berdasarkan

penjelasan tersebut dapat dikatakan mutlak batal demi hukum hanya

pada ketentuan huruf a, e, f, dan h. sedangkan huruf b, c, d, j, k, dan l

walaupun terjadi kelalaian dalam pengetikan atau tidak dicantumkan

sama sekali tidak akan mengakibatkan suatu putusan batal demi

hukum melainkan dapat diperbaiki.

Undang-undang tidak memberikan dengan jelas definisi dari

Kelalaian (culpa) hanya memori penjelasan (memorie van toelichting)

mengatakan bahwa kelalaian (Culpa) terletak antara sengaja dan

kebetulan. Dalam memori jawaban pemerintah (MvA) sebagaimana

yang dikutip oleh Andi Hamzah meyatakan bahwa, siapa yang

melakukakan suatu perbuatan dengan sengaja berarti mempergunakan

salah kemampuannya sedangkan siapa karena salah (culpa) melakukan

perbuatan berarti tidak mempergunakan kemampuanya yang ia harus


93

mempergunakan,101 jadi dapat disimpulkan bahwa kelalaian yang

dimaksud di dalam penjelasan Pasal 197 ayat (2) KUHAP adalah suatu

perbuatan yang dilakukan dengan ketidaksengajaan dikarenakan

hakim dalam menjalankan tugasnya tidak mempergunakan dengan

baik kemampuaan yang seharusnya ia pergunakan.

Kata “batal: dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang

dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memiliki arti

yaitu: tidak berhasil, tidak sah, tidak berlaku, tidak dipakai sia-sia,

gagal, tidak jadi dilangsungkan atau dikerjakan. Kata batal demi

hukum sinonim dengan nulliteit (nietigheid) yang batal dengan

senidirnya, tidak sah berdasarkan (berdasarkan peraturan perundang-

undangan) sedangkan dapat dibatalkan (vernietigbaarheid)

mengandung makna dapat batal (harus dimintakan pembatalannya).102

Batal Demi Hukum (Nulliteit) dari pendapat di atas dapat

disimpulkan bahwa putsan batal demi hukum merupakan putusan

yang tidak dapat berlaku, atau tidak dapat dipakai, karena putusan

tersebut Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan penulis

beranggapan bahwa, bukan merupakan suatu yang keliru jika putusan

tersebut tidak dieksekusi. Akan tetapi dalam menerapkannya harus

dimintakan pembatalannya.

101
Andi Hamza,. Asas Asas Hukum pidana cet. 4.,(Jakarta: Reinaka Cipta,2010) Hlm.133
102
Laden marpaing, Op.cit,. Hlm 146
94

Yahyah Harahap berpendapat bahwa jika ditinjau dari segi

hukum, pengertian putusan batal demi hukum, berakibat putusan yang

dijatuhkan :

1. dianggap “tidak pernah ada” atau (never existed) sejak


semula,
2. putusan yang batal demi hukum tidak mempunyai
kekuatan dan akibat hukum.
3. dengan demikian putusan yang batal demi hukum, sejak
semula putusan itu dijatuhkan sama sekali tidak
mempunyai daya eksekusi atau tidak dapat dilaksanakan.
103

Hukum Pidana mengenal adanya Asas Res judicata proveri tate

habetur dimana setiap putusan hakim/pengadilan adalah sah kecuali

dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi, dan Hans Kalsen

menyatakan hukum juga menetapkan keputusan pengadilan yang

tidak sesuai dangan ketentuan harus tetap berlaku sebelum ketentuan

tersebut dihapuskan oleh keputusan pengadilan lain menurut prosedur

tertentu104. Jadi dengan kata lain dapat kita ambil suatu kesimpulan

dari asas hukum pidana dan peryataan Hans Kalsen bahwa seberapa

buruknya putusan yang dibuat jika belum dibatalkan oleh pengadilan

yang lebih tinggi akan tetap berlaku dan sah, serta memiliki kekuatan

mengikat karena hanya pengadilan yang lebih tinggilah yang dapat

membatalkan putusan sebelumnya.

103
Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 385
104
Hans kelsen, Loc,cit,.
95

Berdasarkan ketentuan dari Pasal 197 Ayat (2) KUHAP

tersebut, Yahya Harahap berpendapat apakah yang dimaksud putusan

batal demi hukum ini meliputi semua pemeriksaan perkara yang

mengakibatkan juga semua pemeriksaan yang dijalani dianggap tidak

pernah ada ( never existed). Jika demikian mengakibatkan semua

berita acara di dalam persidangan tidak memiliki daya kekuatan

hukum mengikat (krachteloos) dan semuanya dianggap tidak berharga

(on gelding) dan segala sesuatunya kembali kepada keadaan semula

(ex tune)105. Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya bahwa

ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 197 ayat (1) masing-masing

mempunyai materi muatan yang berbeda-beda oleh sebab itu di dalam

memaknainya harus ditafsirkan secara ketat.

Dari pernyataan di atas jika kita amati lebih seksama dari

pengertian Pasal 197 ayat 2 KUHAP yang dimaksud dengan batal

demi hukum (nul and void) hanya terbatas pada surat putusan

pemidanaan yang didasari oleh kekeliruan atau kelalaian hakim dalam

membuat surat putusan pemidanaan jadi dapat kita ambil suatu

kesimpulan dimana dalam ketentuan Pasal 197 ayat 2 KUHAP yang

dimaksud dengan putusan batal demi hukum hanya pada putusannya

saja, tidak termasuk dengan keadaan sebelum putusan tersebut dibuat

jadi dengan kata lain proses-proses pemeriksaan di dalam berita acara


105
Yahyah harahap, pembahasaan dan permasalahan,,,,Op.Cit Hlm
96

pemeriksaan tetap sah dan berlaku serta memiliki daya kekuatan

hukum mengingkat.

Mengenai ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP yang mutlak

harus terpenuhi berdasarkan pendapat hukum yang dibuat oleh Prof

Dr Yusril Ihza Mahendra berkenaan dengan kasus yang terjadi pada

terdakwa Parlin Riduansyah tentang putusan yang dikeluarkan

Mahkamah Agung yang tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat

(1) huruf k, yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa:

1. Pasal 197 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa surat


putusan pemidanaan memuat antara lain  huruf k “perintah
supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan”. Jadi, jika seorang terdakwa diadili dan
diputus bersalah dan dijatuhi hukuman penjara, kalau
terdakwa tidak ditahan, maka putusan harus memuat
perintah supaya terdakwa ditahan. Kalau terdakwa sedang
ditahan, maka putusan harus memuat perintah supaya
terdakwa  tetap berada dalam tahanan. Kalau putusan
membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala
tuntutan hukum dan terdakwa ditahan, maka putusan harus
memuat perintah agar terdakwa dibebaskan. Perintah
tersebut, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dalam
Pasal 197 ayat (1) huruf k, maksudnya adalah jelas
sebagaimana diatur dalam Pasal 270 KUHAP, yakni
ditujukan kepada Jaksa sebagai aparatur pelaksana
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap;
2. Pasal 197 ayat (2) menyatakan tidak dipenuhinya
ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut
“mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Putusan
pengadilan dikatakan “batal demi hukum” (venrechtswege
nietig atau ab initio legally null and void) artinya putusan
tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never
existed). Karena tidak pernah ada, maka putusan demikian
97

itu tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa


akibat hukum,  sehingga dengan demikian, putusan
tersebut  dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau
dilaksanakan oleh Jaksa sebagai eksekutor putusan
pengadilan. Mengingat pengertian “putusan batal demi
hukum” adalah demikian menurut ilmu hukum, maka
mencantumkan “perintah supaya terdakwa ditahan atau
tetap dalam tahanan atau dibebaskan” sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP adalah
keharusan hukum yang bersifat memaksa (mandatory law
atau dwingend recht), sehingga tidak boleh diabaikan oleh
majelis hakim dalam memutus perkara pidana pada setiap
tingkatan peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
dan Mahkamah Agung);
3. Mahkamah Agung dalam Putusan No 169 K/Pid/1988
tanggal 17 Maret 1988 telah menegaskan bahwa
“Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum sebab tidak
mencantumkan status Terdakwa sebagaimana dimaksud
pada Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Oleh karena itu
sesuai dengan Pasal 197 ayat (2) KUHAP putusan
Pengadilan Tinggi tersebut harus dinyatakan batal demi
hukum”. Dengan putusan ini, maka tidak perlu lagi Jaksa
meminta fatwa kepada Mahkamah Agung mengenai
putusan yang batal demi hukum karena tidak memenuhi
ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Norma Pasal 197
ayat (1) dan (2) KUHAP adalah norma yang terang, jelas
dan tegas maknanya, sehingga pada norma yang demikian
itu tidak diperlukan adanya penafsiran atau fatwa dari
pihak manapun juga. KUHAP menganut prinsip yang
tegas bahwa “Peradilan dilakukan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini” (Pasal 3 KUHAP).
Norma-norma hukum acara pidana haruslah bersifat tegas
dan tidak boleh ditafsir-tafsirkan demi memelihara
kepastian hukum, mengingat norma hukum acara pidana
berkaitan langsung dengan hak asasi manusia yang harus
dilindungi dan dihormati oleh siapapun juga;
4. KUHAP secara keseluruhannya telah mengatur batas-
batas kewenangan aparatur penegak hukum, mulai dari
penyidik, penuntut umum, hakim, jaksa sebagai pelaksana
putusan pengadilan pidana dan petugas lembaga
pemasyarakatan. Tugas hakim adalah memeriksa,
mengadili dan memutus perkara. Apabila hakim telah
memutus perkara dan mempunyai kekuatan hukum tetap,
98

maka tugas hakim berhenti atau berakhir  sampai di batas


itu. Tugas selanjutnya ada pada Jaksa, yakni untuk
mengeksekusi putusan, dan petugas Lembaga
Pemasyarakatan untuk membina narapidana. Pasal 270
KUHAP mengatakan “Pelaksanaan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan
oleh Jaksa, yang untuk itu Panitera mengirimkan salinan
surat putusan kepadanya”. Dengan demikian, terhadap
putusan yang batal demi hukum karena tidak memenuhi
ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k, maka hakim tidak
mempunyai kewenangan apapun untuk memperbaiki
putusan tersebut, mengingat sifat hakim yang pasif, yakni
menyidangkan perkara yang diajukan kepadanya oleh
penuntut umum, atau memeriksa banding dan kasasi
apabila dimohon oleh penuntut umum atau terdakwa:
5. Oleh karena putusan yang batal demi hukum dalam
perkara Parlin Riduansyah adalah putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dan diputuskan oleh
Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat Peninjauan
Kembali (PK), maka tidak ada upaya hukum apapun, baik
upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa,
karena PK hanya dapat dilakukan satu kali saja
sebagaimana diatur dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP.
Oleh karena itu putusan perkara tersebut telah bersifat
final. Namun mengingat bahwa putusan tersebut adalah
batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal
197 ayat (1) huruf k KUHAP, maka Jaksa tidak dapat
melaksanakan atau mengeksekusi putusan tersebut. Jika
Jaksa memaksakan pelaksanaan putusan yang batal demi
hukum tersebut, maka Jaksa telah melakukan tindakan
inkonstitusional dan melanggar hak asasi manusia, yakni
melanggar Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 yang menyatakan “setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
6. Demi kepastian hukum, putusan yang batal demi hukum
adalah putusan yang sejak semula tidak pernah ada, tidak
membawa akibat hukum dan tidak dapat dieksekusi.
Karena itu, jika Jaksa memaksakan eksekusi putusan yang
batal demi hukum dapat digolongkan sebagai tindakan
sewenang-wenang yang bertentangan dengan asas negara
hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu cirinya
99

adalah  mewajibkan setiap penyelenggara negara untuk


menjunjung tinggi asas legalitas. Tindakan Jaksa yang
memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum
juga melanggar Pasal 17 Undang-Undang No 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia yang antara lain
menyatakan bahwa setiap orang tanpa diskriminasi berhak
untuk memperoleh keadilan sesuai dengan hukum acara
yang menjamin pemeriksaan yang obyektif”;
7. Jika Jaksa memaksakan eksekusi putusan yang batal demi
hukum, maka  korban eksekusi itu berhak untuk
melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia, karena Jaksa tersebut telah melanggar Pasal
333 ayat (1) KUHP  yang  bunyinya “Barangsiapa dengan
sengaja melawan hukum merampas kemerdekaan
seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan
yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling
lama delapan tahun”. Jaksa tersebut juga dapat dituntut
berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang No 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:  (1) Setiap
orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa
alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya,
berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi”
(2)Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”;
8. Untuk menghindari Jaksa mengeksekusi putusan yang
batal demi hukum, yang nyata-nyata merupakan tindak
pidana penyalahgunaan jabatan merampas kemerdekaan
seseorang, maka Jaksa Agung sebagai pimpinan dan
penanggungjawab tertinggi kejaksaan  yang memimpin,
mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang
kejaksaaan” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia,  berkewajiban untuk memerintahkan
kepada semua Jaksa agar tidak melaksanakan putusan
yang batal demi hukum. Jika Jaksa Agung tidak
melakukannya, dan sebaliknya membenarkannya serta
membiarkan Jaksa  melakukan eksekusi atas putusan yang
batal demi hukum, maka Jaksa Agung dapat dituntut
berdasarkan delik penyertaan sebagaimana diatur dalam
Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, atau delik perbantuan
100

sebagaimana diatur dalam yakni menyuruh melakukan,


turut serta melakukan atau bersama-sama para Jaksa
tersebut melakukan tindak pidana, atau melakukan delik
perbantuan, yakni sengaja memberi bantuan pada waktu
kejahatan dilakukan, atau sengaja memberi kesempatan,
sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) dan (2)
KUHP;
9. Dewan Perwakilan Rakyat yang menurut Pasal  20A  ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai hak
pengawasan atas jalannya  pemerintahan negara,
berkewajiban untuk mengawasi Jaksa Agung dan seluruh
jajarannya, agar sungguh-sungguh melaksanakan undang-
undang selurus-lurusnya dan seadil-adilnya, dalam hal ini,
khususnya terkait dengan pelaksanaan ketentuan Pasal 197
ayat (1) KUHAP.  Jika Jaksa Agung tidak mengindahkan
hal ini, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat
menggunakan hak interplasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 20A ayat (2) guna mempertanyakan kebijakan
Pemerintah sehubungan dengan pelaksanaan eksekusi
putusan batal demi hukum yang terjadi di berbagai daerah,
yang nyata-nyata telah melanggar hak asasi
warganegara.106

Yusril Ihza Mahendra dalam pendapat hukum (legal

Opinion), memandang apa yang yang menjadi syarat dalam membuat

suatu surat putusan pemidanaan yang ada di dalam ketentuan Pasal

197 Ayat (1) huruf k KUHAP mutlak harus terpenuhi sebagaimana

diamanatkan oleh KUHAP sebagai hukum formil.

Jika kita lihat kembali Pasal 197 ayat (1) hal yang memuat

proses pemeriksaan perkara ada pada ketentuan huruf c, e, f h dimana

pada ketentuan tersebut meliputi dakwaan, tuntutan, pasal peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan dan pernyataan


106
http://yusril.ihza mahendra.com diakses hari jumat 20 desember 2013
101

telah memenuhinya semua unsur, jika ketentuan seperti ini dinyatakan

batal karena sesuatu diluar ketentuan ini tentu hal ini juga akan sangat

merugikan dimana jika kita berpandangan seperti ini hanya kebenaran

procedural/formil yang akan terjadi atau terwujud dan akan

mengenyampingkan kebanaran materil, seperti halnya ketentuan Pasal

197 ayat (1) huruf k, KUHAP dan menyebabkan tidak terwujudnya

suatu keadilan subtantif yang memiliki makna dimana keadilan yang

diberikan sesuai dengan aturan hukum subtantif, dengan tanpa melihat

kesalahan-kesalahan procedural ini berarti bahwa apa yang secara

formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materil dan

subtansinya melanggar keadilan107, serta KUHAP sendiri yang

bertujuan untuk bagaimana caranya ketentuan kitab Undang-Undang

Hukum Pidana dapat dipertahankan akan menjadi kabur dan

menyebabkan tidak adanya suatu kepastian hukum dan bahkan hal-hal

seperti ini akan menyebabkan suatu penyimpangan yang dilakukan

oleh seseorang yang telah terbukti melakukan suatu tindak pidana

dengan cara menjadikan alasan pembenaran terhadap ketentuan yang

ada di dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP .

Dalam hal ini yang dimasud dengan mutlak menurut

pendapat Chainur Arrasjid adalah Setiap kekuasaan yang diberikan

http://www.situshukum.com/kolom/keadilan-substantif-dan-problematika-
107

penegakannya. diakses tanggal 19 Februari 2014


102

hukum kepada subjek hukum untuk membuat sesuatu atau bertindak

dalam memperhatikan kepentingannya hak itu berlaku mutlak untuk

subjek hukum lain dan setiap subjek hukum lain berkewajiban

menghormati hak tersebut.108

Akan tetapi ketentuan tersebut sudah berubah seiring dengan

dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan hasil uji

materil Pasal 197 ayat (1) huruf k Kuhap dengan frasa Batal Demi

Hukum yang memutuskan bahwa:

1.Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor 8


Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, apabila diartikan surat
putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal
197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan
putusan batal demi hukum;
2.Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, apabila
diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat
ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a
quo mengakibatkan putusan batal demi hukum;
3.Pasal 197 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209) selengkapnya
menjadi, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1)

108
Chainur Arrasjid, Dasar Dasar Ilmu Hukum,.Ed. 1,Cet.5 (Jakarta:Sinar Grafika,2008)
Hlm.115
103

huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l Pasal ini mengakibatkan


putusan batal demi hukum”109

Sependapat dengan putusan Mahkamah Konstitusi, Putusan

Mahkamah Konstitusi terhadap uji materil Pasal 197 ayat (1) dan frasa

batal demi hukum yang terdapat di dalam Pasal 197 ayat (2) bersifat

final dan mengikat dan berdasarkan Pasal 57 Peraturan Mahkamah

Konstitusi (PMK) No 06/Pmk/2005 tentang Pedoman Beracara (PB)

dalam Pengujian Undang-Undang menyatakan bahwa dalam ayat (1)

putusan mahkamah konstitusi yang dalam amar putusannya

menyatakan bahwa:

“Meteri muatan ayat, pasal dan atau bagian Undang-Undang


bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan Pasal ayat
dan atau bagian dari Undang-Undang tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat”110.

Dari semua uraian yang telah disampaikan di atas dapat

disimpulkan bahwa syarat mutlak dalam memaknai Pasal 197 ayat (2)

yaitu hanya pada huruf a, b,c,d e, f, h, I, j dan l sedangkan diluar dari

ketentuan tersebut sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 197

Ayat (2) tidak mutlak batal demi hukum, dikarenakan bahwa semua

unsur di dalam ketentuan Pasal 197 Ayat (1) masing-masing memiliki

materi muatan yang berbeda-beda dan hal yang paling penting

109
Indonesia, Putusan Mahakamah Konstitusi No. 69/PU-X/2012
110
Indonesia, Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
dalam Pengujian Undang-Undang Psl.57
104

memaknainya bahwa dalam menentukan pidana kepada terdakwa

harus didasari pada kebenaran materil yaitu kebenaran dimana didasari

pada keadaan yang sebenarnya agar tercapainya keadilan subtantif.

B. EKSEKUSI PEMIDANAAN

Dalam memaknai eksekusi pemidanaan terlebih dahulu kita harus

memahami batasan dan ruang lingkup eksekusi pemidanaan (Vonnis).

Pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi harus dibedakan dengan

pelaksanaan penetapan pengadilan, pelaksanaan putusan pengadilan ini di

dalam KUHAP diatur dari Pasal 270 sampai Pasal 270 KUHAP. Pelaksanaan

putusan pengadilan atau eksekusi merupakan putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap artinya tidak ada upaya lagi untuk

mengubah putusan itu sedangkan pelaksanaan penetapan hakim (beschikking)

yang dimaksud ialah berdasarkan ketentuan Pasal 148 ayat (1)KUHAP

adalah:

“jika perkara tersebut tidak termasuk dalam wewenang mengadili

pengadilan yang dipimpin maka ia harus menyerahkan kepada

pengadilan yang berwenang untuk mengadili”111

berdasarkan penjelasan ruanglingkup tersebut maka jelas sudah

mana yang dimaksud pelaksananan putusan pengadilan dan mana yang

dimaksud pelaksanaan penentapan pengadilan .Disamping pembedaan antara

111
Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana Jilid II, (Semarang : Badan Penerbit UNDIP,
2008), hlm 128.
105

pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi dan pelaksanaan penetapan

hakim, pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi juga harus dibedakan

dengan pelaksanaan pidana meskipun keduanya merupakan materi di dalam

eksekusi pemidanaan. Putusan pengadilan yang dapat dieksekusi adalah

putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( in kracht van

gewijsde)

Suatu putusan pengadilan dikatakan mempunyai kekuatan hukum

tetap apabila:

1. Terdakwa maupun penuntut umum telah menerima putusan yang


bersangkutan di tingkat pemeriksaan sidang pengadilan negeri, di
pemeriksaan tingkat banding di pengadilan tinggi atau di tingkat
kasasi di Mahkamah Agung
2. Tenggang waktu untuk mengajukan verzet terhadap verstek
banding atau kasasi telah lewat tanpa digunakan oleh pihak yang
bersangkutan
3. Permohonan verzet terhadap verstek telah diajukan kemudian
pemohon tidak hadir pada saat hari sidang yang telah ditetapkan
4. Permohonan banding atau kasasi telah diajukan, kemudian
pemohan mencabut kembali permohonannya
5. Terdapat permohonan grasi yang diajukan tanpa disertai
permohoanan penangguhan eksekusi.112

Lembaga yang berwenang untuk melaksanakan eksekusi putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap adalah jaksa sebagaimana yang

telah ditentukan di dalam Pasal 270 KUHAP yang menyatakan: “pelaksanaan

putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa,

112
Bambang Dwi Baskoro, Bunga Rampai Penegakan Hukum Pidana, (Semarang : Badan
Penerbit Universitas Diponegoro), hlm 115.
106

yang untuk itu panitera mengirimkan salainan surat putusan kepadanya”

sebagaimana kita ketahui bahwa eksekusi merupakan pelaksanaan putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan ketentuan Pasal

10 KUHP yang dimaksud pidana yang merupakan hukuman terhadap

tersangka atau terdakwa yang terbukti bersalah ialah berupa:

a. Pidana pokok
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda
5. Pidana tutupan
b. Pidana tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu,
2. Perampasan barang-barang tertentu, dan
3. Pengumuman terhadap putusan hakim

Dari bentuk pidana tersebut, pelaksanaan putusan pengadilan

berdasarkan ketentuan Pasal 271- Pasal 276 KUHAP menyatakan bahwa:

1. Pasal 271
Dalam hal pidana mati pelaksanaannya dilakukan tidak di muka
umum dan menurut ketentuan undang-undang.
2. Pasal 272
Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian
dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang
dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut
dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu.
3. Pasal 273
(1) Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada
terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk
membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara
pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana
tersebut pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama
satu bulan.
(3) Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang
bukti dirampas untuk negara, selain pengecualian
107

sebagaimana tersebut pada Pasal 46, jaksa menguasakan


benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu
tiga bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya dimasukkan ke
kas negara untuk dan atas nama jaksa
(4) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (3) dapat
diperpanjang untuk paling lama satu bulan.
4. Pasal 274
Dalam hal pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, maka pelaksanaannya
dilakukan menurut tata cara putusan perdata.
5. Pasal 275
Apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka
biaya perkara dan atau ganti kerugian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 274 dibebankan kepada mereka bersama-sama
secara berimbang.
6. Pasal 276
Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, maka
pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan
yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan undang-undang.

Yahya Harahap menyatakan bahwa eksekusi sama halnya dengan

menjalankan putusan (ten uit voer legging van vonnisen) dan melaksanakan

putusan yang dimasud di sini yaitu melaksanakan secara paksa apa bila

pihak yang telah kalah tidak mau menjalankan secara sukarela (vrijwilling,

Voluntary).113 Oleh sebab itu terdakwa dalam menjalankan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap wajib

dilaksanakan, jika terdakwa menolak untuk dilakukan eksekusi sebagaimana

yang terjadi pada terdakwa mantan Kabareskrim Mabes POLRI Susno

Duadji pelaksanaanya dapat dipaksakan.

Berkaitan dengan topik permasalahan yang diangkat di dalam

penelitian ini yaitu menyangkut apakah bisa putusan pemidanaan yang tidak
113
Yahyah Hararhap, Ruang lingkup permasalahan eksekusi….,Loc Cit Hlm.6
108

mecantumkan ketentuan Pasal 197 ayat 1 Huruf k KUHAP ? sebelumnya

telah dijabarkan bahwa surat putusan pemidanaan yang terdapat di dalam

ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP merupakan syarat dalam membuat

putusan pemidanaan dan berdasarkan Pasal 197 ayat (2) jika salah satu

syarat yang diwajibkan di dalam ketentuan tersebut tidak terpenuhi akan

mengakibatkan putusan batal demi hukum, setelah dipaparkan sebelumnya

yang menjadi syarat mutlak harus terpenuhinya di dalam ketentuan Pasal

197 ayat (1) KUHAP sebagaimana juga telah dilakukan uji materil terhadap

ketentuan tersebut, yang menjadi syarat mutlak dalam memandang

ketentuan Pasal 197 ayat (1) dan berkaitan dengan frasa batal demi hukum

sebagaimana yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 197 ayat (2) yaitu

ketentuan pada huruf a, b, c, d, e, f,h.j.dan l yang mutlak harus terpenuhi dan

harus diperhatikan juga bahwa masing-masing mempunyai materi muatan

yang berbeda satu sama lain oleh karena itu penulis menambahkan bahwa

di dalam memahaminya haruslah berdasarkan kebenaran materil yang

mengutamakan pada keadaan yang sebenarnya bukan procedur yang

dijalani, jadi berkaitan dengan apakah bisa ketentuan Pasal 197 ayat (1)

huruf k KUHAP jika tidak dimuat dalam surat putusan pemidanaan?

Berdasarkan apa yang telah penulis paparkan, putusan yang tidak

mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf K KUHAP Bisa

dilaksanakan. Karena Pasal 197 ayat (1) huruf k bukan merupakan syarat

mutlak yang harus terpenuhi dalam surat putusan pemidanaan dan berkaitan
109

dengan putusan batal demi hukum jelaslah bahwa putusan yang batal demi

hukum tidak dapat dieksekusi karena putusan tersebut tidak mempunyai

kekuatan hukum yang merupakan syarat untuk dapat dilakukan eksekusi,

dimana putusan batal demi hukum mengandung makna bahwa keadaan

tersangka atau terdakwa kembali seperti semula atau dianggap tidak pernah

ada oleh karena itu tidak dapat dieksekusi akan tetapi kita juga tidak boleh

membiarkan seseorang yang telah terbukti atau bersalah lolos begitu juga

karena alasan putusan batal demi hukum, oleh karena itu di sinilah juga

dibutuhkan peran penegak hukum serta masyarakat untuk bersama-sama

menegakkan keadilan subtantif dan diharapkan juga para pembuat Undang-

Undang untuk lebih memperhatikan tujuan hukum agar tercipta

keseimbangan hukum antara keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Jika

putusan yang dieksekusi merupakan putusan yang batal demi hukum yang

tidak memenuhi syarat mutlak maka jaksa sebagai lembaga eksekutorial

jelas tidak dapat melakukan eksekusi dan jika hal itu dipaksakan maka

dalam hal ini jaksa akan melanggar hukum. Serta harus ditegaskan kembali

bahwa putusan akan tetap dikatakan sah sebelum dinyatakan oleh

pengadilan yang lebih tinggi.


110

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan penelitian di atas, maka dapat disimpulkan

beberapa hal dari penelitian yang telah penulis lakukan mengenai syarat

putusan pemidanaan, bahwa yaitu:

1. Hakim dalam membaca putusan harus dinyatakan dalam Sidang

terbuka untuk umum. Kecuali perkara kesusilaan dan terdakwanya

anak anak, putusan wajib dibacakan dengan hadirnya terdakwa,

kecuali jika terdakwanya lebih dari satu orang maka putusan dapat

langsung dibacakan dengan hadirnya salah satu terdakwa serta

disampaikan apa yang menjadi hak terdakwa, dan surat putusan

pemidanaan harus memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP

jika surat putusan pemidanaan tidak memuat ketentuan Pasal 197

ayat (2) huruf a,b,c,d,e,f,h,j,l akibat yang akan ditimbulkan

putusan akan batal demi hukum.


111

2. Ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP bukan merupakan

syarat mutlak yang harus ada dalam membuat putusan oleh sebab

itu terhadap putusan yang tidak mencantumkan ketentuan Pasal

197 ayat (1) huruf k KUHAP dapat dilakukan eksekusi.

B. SARAN

Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka penulis memberikan beberapa

saran sebagai berikut:

1. Penulis menyarankan agar hakim dalam menjatuhkan putusan harus

benar-benar berpedoman pada kebenaran materil agar tercapainya suatu

keadilan subtantif, yaitu keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-

aturan hukum subtantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan

procedural yang tidak berpengaruh pada permasalah subtantif

2. Hendaknya pemerintah dalam hal ini khusunya terhadap lembaga legislatif

yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan perubahan terhadap

KUHAP yang disadari sudah sangat tidak relevan pada perkembangan

zaman
112

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Alfiah Ratna Nurul., barang Bukti Dalam Proses Pidana, Sinar Grafika,

Jakarta,1989

Ansori Sabuan, Syarifuddin Petanasea dan Ruben Achmad, Hukum Acara

Pidana. Cet.1.,Angkasa Bandung:,Bandung 1990

Amirudin, dan Asikin, Zainal. Penghantar Metode Penelitian Hukum, Cet. Ke

6, Edisi Pertama., PT. Rajagrafindo PERSADA, Jakarta, 2012.

Arrasjid Chainur, Dasar Dasar Ilmu Hukum,Ed. 1,Cet.5 Sinar Grafika, Jakarta,

2008

Baskoro Dwi Bambang, Bunga Rampai Penegakan Hukum Pidana, Badan

Penerbit Universitas Diponegoro ,Semarang,

Erwin, Muhamad. Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Cet. Ke 2,

Edisi Pertama., PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011

Hans Kelsen, Teori umum tentang Hukum dan Negara, Cet ke 8, Nusa Media,

Bandung,2013

Hamzah Hadi, Hukum Acara Pidana Indonesia,.Ed 2, Sinar Grafika Jakarta,

2006

----- . Asas Asas Hukum pidana, Cet. 4, Reinaka Cipta,Jakarta, 2010

Kaharudin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Sengketa

Informasi Publik, Cet.1, Mahkota Kata Yogyakarta, Yogyakarta, 2011


113

Harahap, Yahya. pembahasan dan permasalahan penerapan KUHAP

pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi dan Peninjauan

Kembali .Cet. Ke 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

-------. Ruang lingkup permasalahan eksekusi di bidang perdata, Cet.Ke

7,Edisi. Kedua sinar Grafika Jakarta, 2005.

Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

Cet. Ke 10, Edisi. Pertama., PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011

Suswondo, Himpunan Karya Tentang Hukum Pidana, Cet. Ke 1

Liberty,Yogyakarta, 1982

Makarao, Mohammad Taufik. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan

Praktek, Cet. Ke 1, Ghalia Indonesia. Jakarta.2004

Marpaung, Leden. Proses Penangan Perkara Pidana, Cet. Ke 1, Edisi. Kedua,.

Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Mertokusumo, Prof. Dr. Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,

Jogyakarta, 1993.

Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2007.

Prodjodikoro. Wirjono. Hukum acara pidana Indonesia. Cet. Ke 1, Sumur

Bandung, Bandung, 1983.

prodjohamidjojo Martiman. system pembuktian dan alat bukti, ghalia

Indonesia, Jakarta, 1983

Raharjo, Satjipto. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Cet. Ke 1,

Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.


114

Sholehuddin. System sanksi dalam hukum pidana.,Ed.1, Cet. Ke 2,. PT Raja

Gravindo persada, Jakarta, 2004

Suswondo, Himpunan Karya Tentang Hukum Pidana, cet. Ke 1, Liberty

Yogyakarta, 1982.

Sutarto Suryono, Hukum Acara Pidana Jilid II, Badan Penerbit UNDIP,

Semarang, 2008

Theo Lamintang P.A.F. Lamintang dan,Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu

Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, Cet. 2.: sinar Grafika,

Jakarta 2010

Tjtrosoedibyo R dan Subekti, Kamus Hukum, Pradnya paramita, Jakarta 1983

B. Peraturan-peraturan

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Indonesia, Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang

Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang

Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi No Register 69/PU-X/2012

Indonesia, Surat Edaran Jaksa Agung No: Se-009 /Ja/12/1985 tentang

Pedoman Tuntutan Pidana


115

Indonesia, Surat Edaran Mahkamah Agung no. 10 Tahun 1985 tentang

Putusan Pengadilan yang Sudah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap

yang Tidak Memuat Kata-Kata "Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa".

Indonesia, Surat Edaran Mahkamah Agung no 17 Tahun 1983 tentang Biaya

Perkara Pidana.

Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung No 3 Tahun 2012 tentang Biaya

Perkara dan Pengelolaannya Pada Mahkamah Agung dan Badan

peradilan yang Berada di Bawahnya

C. Kamus Hukum

Simorangkir. J.C.T; Erwin, Rudy T; dan Prasetyo J.T. Kamus Hukum Cet. Ke

9, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

D. Website

http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum09/205712015, diakses Hari sabtu,

30 November 2013

http://ardianlovenajlalita.wordpress.com/2013/05/27/karakter-hukum-

keputusan-pejabat-tata-usaha-negara/, diakses hari minggu 1 Desember

2013

http://luqmanpinturicchio.blogspot.com/2012/06/pengertian-pidana-dan-

pemidanaan.html, Diakses Hari Minggu 1 Desember 2013

http://yusril.ihza mahendra.com diakses hari jumat 20 desember 2013

http://wawasanhukum.blogspot.com diakses pada tanggal 14 januari 2014


116

https://abdulaffandi.wordpress.com, diakses 14 januari 2014

http://www.hukumonline.com diakses pada tanggal 15 januari 2014

http: //www.liberary.unpnvj.ac.id, diakses pada tanggal 24 januari 2014

http://www.situshukum.com/kolom/keadilan-substantif-dan-problematika

penegakannya. diakses tanggal 19 Februari 2014

Anda mungkin juga menyukai