Anda di halaman 1dari 215

© Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Diterbitkan oleh Unit Penerbitan PKN STAN, Tangerang Selatan 2020

Dilarang memperbanyak isi buku ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin
tertulis dari penerbit (Sesuai Pasal 2 ayat 1 UU No. 19 Tahun 2002)

Sanksi Pelanggaran
Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan
atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
PERPAJAKAN II

Asqolani

Politeknik Keuangan Negara STAN


PERPAJAKAN II

Hak Cipta © Penulis

Editor
Marsono

Penulis
Asqolani

Penata Letak
Raditya Widya P

Desain Sampul
Irawan

Diterbitkan oleh
Politeknik Keuangan Negara STAN
Jl. Bintaro Utama Sektor V, Bintaro Jaya
Tangerang Selatan, Banten, Indonesia 15222
Telp. 021 7361654-58 Ext.113 Fax. 021 7361653

Cetakan Perdana: Juli 2020

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)


PERPAJAKAN II
Tangerang Selatan: Politeknik Keuangan Negara STAN, 2020
ISBN: 978-623-93618-8-4

Isi di luar tanggung jawab percetakan

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya untuk Allah Yang Maha Esa yang telah memberikan
banyak kenikmatan kepada kita sehingga bahan ajar pendidikan dapat
diselesaikan oleh Tim Penyusun di lingkungan Politeknik Keuangan Negara STAN.
Bahan ajar pendidikan ini merupakan salah satu media yang dapat
digunakan oleh mahasiswa dan dosen dalam kegiatan perkuliahan. Selain itu,
bahan ajar ini merupakan hasil kerja keras dari Tim Penyusun yang terdiri atas
dosen, praktisi, dan pegawai PKN STAN yang telah memberikan ilmu dan
waktunya sehingga tersusunlah sumber belajar yang sangat kaya.
Dengan demikian, saya mengimbau kepada seluruh sivitas akademika
Politeknik Keuangan Negara STAN, khususnya mahasiswa, untuk memanfaatkan
bahan ajar pendidikan ini sebaik mungkin. Selain sebagai sumber belajar yang
dapat meningkatkan pengetahuan, inovasi, dan keterampilan yang diperlukan
untuk menyelesaikan studi di PKN STAN, bahan ajar ini juga menjadi bekal untuk
mendukung kinerja pada saat Kalian memasuki lingkungan kerja.
Ucapan terima kasih sekali lagi saya sampaikan kepada seluruh Tim
Penyusun dan semua pihak yang membantu sehingga bahan ajar pendidikan ini
dapat terealisasi penerbitannya. Semoga Allah selalu memberikan nikmat dan
karunia-Nya kepada kita agar kita dapat memberikan hal-hal yang positif dalam
meningkatkan pengetahuan terkait pengelolaan keuangan negara.

Tangerang Selatan, Mei 2020


Direktur,

Rahmadi Murwanto
SEKAPUR SIRIH

Assalamu alaikum wr wb.

Bahan ajar perpajakan II ini mencakup Pajak Penghasilan Orang Pribadi


dan Badan. Selain berisi teori dasar perpajakan, bahan ajar ini juga dilengkapi
dengan latihan, soal, dan hyperlink pada peraturan perpajakan yang digunakan
dalam bit.ly dan video KLC sehingga memudahkan dalam memahami dan dapat
digunakan untuk belajar mandiri.

Terima kasih kepada Bapak Marsono selaku koordinator mata kuliah


Perpajakan II dan editor bahan ajar ini, serta Bapak Raharjo Sugeng Utomo dan
rekan-rekan pengajar Perpajakan II yang atas masukannya.

Semoga bahan ajar ini dapat membantu dalam proses kegiatan


pembelajaran baik untuk mahasiswa maupun pengajar. Maaf jika terjadi
kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja, tidak ada gading yang tidak
retak. Terima kasih.

Wassalamu alaikum wr wb.

Jakarta, Mei 2020

(Asqolani)
Penulis

iv
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii


BAB I SUBJEK PAJAK DAN SUBJEK PAJAK ORANG PRIBADI ..................... 1
A. Definisi Subjek Pajak .............................................................................. 1
B. Subjek PPh ............................................................................................. 3
C. Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri ............................................. 3
D. Subjek Pajak Orang Pribadi Luar Negeri................................................. 6
E. Status Subjek Pajak bagi WNI yang di luar negeri .................................. 8
F. Timbul & Berakhirnya Kewajiban Pajak Subjektif .................................. 10
G. Non Subjek Pajak Orang Pribadi........................................................... 11
H. Perbedaan Pemajakan bagi SPDN dan SPLN ...................................... 14
BAB II OBJEK PAJAK...................................................................................... 18
A. Objek Pajak (terutang pada akhir tahun) ............................................... 19
B. Objek Pajak Final.................................................................................. 23
C. Bukan Objek Pajak ............................................................................... 25
BAB III PENGHASILAN NETO, PTKP, TARIF, DAN KREDIT PAJAK ............... 32
A. Penghasilan Neto ................................................................................. 33
B. PTKP .................................................................................................... 38
C. Tarif ...................................................................................................... 39
D. Kredit Pajak (Selain Kredit Pajak Luar Negeri) ...................................... 40
E. Perhitungan Pajak untuk WP OP secara Umum ................................... 42
F. Status Kewajiban Suami Istri: KK, HB, PH, dan MT .............................. 45
BAB IV PAJAK PENGHASILAN DARI PEKERJAAN (S.D. RP 60 JUTA)........... 54
A. Jenis Formulir SPT Tahunan PPh OP................................................... 55
B. Menghitung PPh Akhir Tahun WP OP Karyawan dengan penghasilan
bruto ≤ Rp60 juta ........................................................................................... 56
C. WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami-istri PH atau MT... 57
D. Mengisi SPT Tahunan dengan Formulir 1770 SS ................................. 57
BAB V PAJAK PENGHASILAN DARI PEKERJAAN (LEBIH DARI RP 60 JUTA)
..........................................................................................................................64
A. Menghitung PPh Akhir Tahun WP OP Karyawan dengan penghasilan
bruto > Rp60 juta ........................................................................................... 65
B. WP OP karyawan dengan penghasilan lainnya..................................... 68
C. WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami-istri PH atau MT... 68
D. Mengisi SPT Tahunan dengan Formulir 1770 S.................................... 68
BAB VI PPH BAGI OP YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA...................... 79
A. Norma Penghitungan Penghasilan Neto ............................................... 80
B. Menghitung PPh Akhir Tahun WP OP Nonpembukuan yang
menjalankan Kegiatan Usaha ........................................................................ 81
C. WP OP dengan Penghasilan Lainnya dan PP 23 tahun 2018 ............... 82
D. Menghitung Angsuran PPh Pasal 25 tahun berikutnya ......................... 86
E. WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami-istri PH atau MT... 88
F. Mengisi SPT Tahunan dengan Formulir 1770 ....................................... 89
BAB VII PPH BAGI OP YANG MENJALANKAN PEKERJAAN BEBAS
(NONPEMBUKUAN) ........................................................................................ 102
A. Menghitung PPh Akhir Tahun WP OP Nonpembukuan yang
Menjalankan Pekerjaan Bebas..................................................................... 103
B. WP OP dengan Penghasilan Lainnya ................................................. 103
C. Menghitung Angsuran PPh Pasal 25 Tahun Berikutnya ...................... 104
D. WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami-istri PH atau MT. 104
E. Mengisi SPT Tahunan dengan Formulir 1770 ..................................... 104
BAB VIII SUBJEK PAJAK PENGHASILAN BADAN ......................................... 116
A. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri ..................................................... 116
B. Pengenalan Bentuk Usaha Tetap ....................................................... 117
C. Timbul & Berakhirnya Kewajiban Pajak Subjektif ................................ 118
D. Non Subjek Pajak Badan (badan pemerintah dan badan internasional
119
BAB IX OBJEK PAJAK PENGHASILAN BADAN ............................................. 122
A. Objek Pajak (terutang pada akhir tahun) ............................................. 122
B. Objek Pajak Final................................................................................ 126
C. Bukan Objek Pajak ............................................................................. 127
BAB X KOMPONEN PERHITUNGAN PPH BADAN ........................................ 133
A. Kompensasi Kerugian ......................................................................... 133
B. Tarif .................................................................................................... 135
C. Kredit Pajak (dalam dan luar negeri) ................................................... 137
D. Perhitungan PPh Kurang (Lebih) Bayar .............................................. 140
BAB XI DEDUCTIBLE EXPENSE .................................................................... 145
A. Deductible Expense ............................................................................ 146
B. Penyusutan ......................................................................................... 148
C. Amortisasi ........................................................................................... 149
D. Koreksi fiskal positif/negatif ................................................................. 151
BAB XII NON-DEDUCTIBLE EXPENSE .......................................................... 158
A. Defnisi dan jenisnya ............................................................................ 158
BAB XIII PENGHITUNGAN PPH BADAN ........................................................ 161
A. Rekonsiliasi Fiskal .............................................................................. 161
B. Penghitungan PPh Badan ................................................................... 162
C. Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 tahun berikutnya .................... 163
BAB XIV SPT PPH BADAN (1771) .................................................................. 168
A. Lampiran............................................................................................. 169
B. Induk................................................................................................... 180
GLOSSARIUM ................................................................................................ 192
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 193
LAMPIRAN ..................................................................................................... 196
BIODATA PENULIS ......................................................................................... 202

vi
DAFTAR TABEL

TABEL I.1 DAFTAR LAMPIRAN SPT 1770 SS ....... ERROR! BOOKMARK NOT
DEFINED.
TABEL II.2 DAFTAR LAMPIRAN SPT 1770 S .................................................. 69
TABEL III.3 DAFTAR LAMPIRAN SPT 1770...................................................... 90
TABEL IV.4 TABEL TARIF PENYUSUTAN...................................................... 149
TABEL V.5 TABEL TARIF AMORTISASI ......................................................... 150
TABEL VI.6 DAFTAR LAMPIRAN SPT 1771 ................................................... 176
DAFTAR GAMBAR

GAMBAR I.1 PEMBAGIAN SUBJEK PAJAK ..................................................... 1


GAMBAR II.2 SKEMA PEMBAGIAN TKI .......................................................... 10
GAMBAR III.3 PEMBAGIAN PENGHASILAN ORANG PRIBADI ....................... 18
GAMBAR IV.4 SKEMA SPT 1770 SS ................................................................ 54
GAMBAR V.5 SKEMA SPT 1770 S ................................................................... 64
GAMBAR VI.6 SKEMA SPT 1770 USAHA......................................................... 79
GAMBAR VII.7 SKEMA SPT 1770 PEKERJAAN BEBAS ................................ 102
GAMBAR VIII.8 PEMBAGIAN SUBJEK PAJAK BADAN .................................. 116
GAMBAR VIII.8 PEMBAGIAN OBJEK PAJAK ................................................. 122
GAMBAR IX.9 SKEMA PEMBAGIAN BIAYA ................................................... 145

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I RPS PERPAJAKAN II


SUBJEK PAJAK DAN SUBJEK PAJAK
ORANG PRIBADI

Tujuan Pembelajaran:
Pada bab ini mahasiswa mampu:
1. menjelaskan tentang subjek pajak penghasilan orang pribadi
2. menjelaskan tentang pembagian subjek pajak penghasilan
3. menjelaskan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif
4. menjelaskan pihak yang tidak termasuk subjek pajak penghasilan
5. menjelaskan perbedaan pemajakan bagi SPDN dan SPLN BAB

Subjek Pajak

Orang Pribadi Warisan Badan BUT


u

Dalam Negeri Luar Negeri

GAMBAR I.1 PEMBAGIAN SUBJEK PAJAK

A. Definisi Subjek Pajak


Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek Pajak tersebut dikenakan pajak
apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek Pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan, dalam Undang-undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak
dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun
pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak,
apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.

1
Prof. Gunadi mengaitkan Subjek Pajak dan Penghasilan Pajak berikut:
1) Untuk mengenakan Pajak Penghasilan harus ditentukan terlebih dulu subjek
pajaknya, baru ditentukan objek pajaknya.
2) Subjek pajak tersebut baru dikenakan Pajak Penghasilan apabila menerima atau
memperoleh penghasilan.
Dalam hukum pajak, dipenuhinya syarat sebagai subjek pajak dikenal dengan
memiliki kewajiban pajak subjektif, sedangkan jika sudah menerima atau
memperoleh penghasilan (bagi orang pribadi dalam negeri besarnya melebihi
Penghasilan Tidak Kena Pajak/PTKP) disebut memiliki kewajiban pajak objektif.
Agar dapat dikenakan Pajak Penghasilan harus dipenuhi dua syarat, yaitu adanya
kewajiban pajak subjektif dan kewajiban pajak objektif. Subjek pajak yang memiliki
kewajiban pajak objektif disebut wajib pajak.
3) Yang dimaksud dengan tahun pajak adalah tahun kalender, tetapi Wajib Pajak
dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender,
sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan.

Karakteristik dari Pajak Penghasilan dari beberapa literatur, disebutkan


sebagai berikut:
1. Pajak Penghasilan sebagai Pajak Subjektif
Sebagai pajak subjektif, pengenaan pajak penghasilan dititikberatkan pada
keadaan dan kondisi subjek pajak. Subjek sendiri berarti pihak yang terhadapnya
dikenakan kewajiban atau kepadanya beroleh hak yang diatur dengan ketentuan
hukum. Dengan demikian subjek pajak adalah pihak-pihak yang secara hukum pajak
mempunyai kewajiban melaksanakan kewajiban perpajakan dan memiliki hak-hak
dibidang perpajakan yang dijamin oleh undang-undang perpajakan. Kondisi subjek
pajak yang menjadi pertimbangan adalah kemampuan dalam menjalankan kewajiban
perpajakan yang dikenakan atas dirinya. Hal ini sesuai konsep teori daya pikul.
2. Pajak Penghasilan sebagai Pajak Langsung
Sebagai Pajak langsung, Pajak Penghasilan dibebankan secara langsung
kepada Subjek Pajak. Pajak langsung berarti pajak tersebut dibayarkan langsung oleh
penanggung pajak kepada Pemerintah dengan tidak menggeser beban pajak tersebut
kepada pihak lain.
Dengan demikian terdapat tiga kriteria yang harus dipenuhi apakah jenis pajak
termasuk jenis pajak langsung atau tidak langsung yaitu :
1. Penanggung pajak secara yuridis formal, yaitu pihak yang ditunjuk untuk
memenuhi kewajiban perpajakan
2. Penanggung pajak secara ekonomis, yaitu pihak yang secara ekonomis
menanggung beban pembayaran pajak
3. Destinataris pajak atau tujuan akhir pengenaan pajak, yaitu pemikul beban pajak
terakhir.
Jika ketiga kriteria di atas terletak pada satu pihak yang menanggung, maka
dapat dikatakan bahwa pajak tersebut adalah pajak langsung, akan tetapi jika satu
kriteria saja dapat dilakukan penggeseran kewajiban kepada pihak lain, maka pajak
tersebut termasuk jenis pajak tidak langsung.
3. Penetapan Objek PPh secara luas (broad-based taxation)
Dalam penentuan objek pajak, Undang-undang pajak penghasilan tidak
menetapkan secara definitif objek-objek yang dikenakan pajak, baik dari segi bentuk,
nama, sumber dan asal-usul penghasilan, serta tujuan penggunaan penghasilan
tersebut.

2
4. Periode pemajakan
Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya
selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam
bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam
tahun pajak.
5. Pajak Penghasilan sebagai Pajak Pusat atau Pajak Negara
Dilihat dari otoritas yang berwenang mengadministrasikan pemungutan pajak,
maka pajak Penghasilan dikategorikan sebagai pajak pusat atau pajak negara karena
Pajak Penghasilan diadministrasikan sebagai penerimaan APBN dan wewenang
pemungutan dan pengelolaan Pajak Penghasilan terletak pada Pemerintah Pusat.

B. Subjek PPh
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur tentang siapa
saja yang menjadi subjek Pajak Penghasilan sebagai berikut:
1. a. orang pribadi
b. warisan belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
2. badan, dan
3. bentuk usaha tetap
dalam bab ini akan dibahas mengenai Subjek Pajak Orang Pribadi.

C. Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri


Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak
Penghasilan, orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada
di Indonesia ataupun di luar Indonesia.
Pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, subjek pajak
dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek
pajak dalam negeri pada pasal 3 disebutkan sebagai:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia,
b. orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
c. orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai
niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Penentuan tempat tinggal sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor Per-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor
Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak,
ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya, yakni:
a. tempat tinggal tetap orang pribadi beserta keluarganya;
b. tempat pusat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan, dalam hal orang pribadi
tersebut mempunyai tempat tinggal tetap (dua) tempat atau lebih; atau tidak
mempunyai tempat tinggal tetap; atau
c. tempat orang pribadi lebih lama tinggal dalam kurun waktu 1 (satu) tahun kalender
terakhir, dalam hal tempat pusat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan
sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak dapat ditentukan.
Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia diatur dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-43/PJ/2011 adalah orang pribadi yang:
a. mempunyai tempat tinggal (place of residence) di Indonesia yang digunakan oleh
orang pribadi sebagai tempat untuk:

3
1) berdiam (permanent dwelling place), yang tidak bersifat sementara dan tidak
sebagai tempat persinggahan, Orang pribadi dianggap mempunyai tempat
berdiam (permanent dwelling place) di Indonesia dalam hal orang pribadi
mempunyai tempat di Indonesia yang dipakai untuk kediaman, yang bersifat
tidak sementara dan bukan sebagai persinggahan.
2) melakukan kegiatan sehari-hari atau menjalankan kebiasaannya (ordinary
course of life), Orang pribadi dianggap mempunyai tempat melakukan kegiatan
sehari-hari atau menjalankan kebiasaannya (ordinary course of life) di
Indonesia dalam hal orang pribadi mempunyai tempat di Indonesia yang
digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari terkait dengan urusan
ekonomi, keuangan atau sosial pribadinya, antara lain turut serta dalam
kegiatan-kegiatan di masyarakat, turut serta dalam kegiatan, keanggotaan,
atau kepengurusan suatu organisasi, kelompok atau perkumpulan di
Indonesia.
3) tempat menjalankan kebiasaan (place of habitual abode), Orang pribadi
dianggap mempunyai tempat menjalankan kebiasaan (place of habitual abode)
di Indonesia dalam hal orang pribadi mempunyai tempat di Indonesia yang
digunakan untuk melakukan kebiasaan atau kegiatan, baik yang bersifat rutin,
sering ataupun tidak, antara lain melakukan aktivitas yang menjadi kegemaran
atau hobi, atau
b. mempunyai tempat domisili (place of domicile) di Indonesia, yaitu orang pribadi
yang dilahirkan di Indonesia yang masih berada di Indonesia.
Tempat tinggal orang pribadi meliputi:
1) dapat ditempati sendiri oleh orang pribadi atau bersama-sama dengan
keluarganya, yang dapat dimiliki, disewa, atau tersedia untuk digunakannya;
dan
2) berdasarkan pada keadaan yang sebenarnya.
Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia yang kemudian pergi keluar
negeri tetap dianggap bertempat tinggal di Indonesia, apabila keberadaannya di luar
negeri berpindah-pindah dan berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
Orang pribadi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri dianggap
tidak bertempat tinggal di Indonesia apabila bertempat tinggal tetap di luar negeri yang
dibuktikan dengan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku
sebagai penduduk di luar negeri, yaitu:
a. green card,
b. identity card,
c. student card,
d. pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh Kantor Perwakilan Republik
Indonesia diluar negeri,
e. surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan
Republik Indonesia di luar negeri, atau
f. tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat.

Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah
orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam
pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

4
Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia
ditimbang menurut keadaan. Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh
jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan sejak kedatangannya di Indonesia. Jangka waktu 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari ditentukan dengan menghitung lamanya Subjek Pajak orang pribadi berada
di Indonesia, yang keberadaannya di Indonesia dapat secara terus menerus atau
terputus-putus, dan bagian dari hari dihitung penuh 1 (satu) hari.
Subjek Pajak orang pribadi dianggap mempunyai niat untuk bertempat tinggal
di Indonesia dalam hal:
a. Subjek Pajak orang pribadi menunjukkan niatnya secara tegas untuk bertempat
tinggal di Indonesia, yang dapat dibuktikan dengan dokumen berupa:
1) Visa bekerja, atau
2) Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS), lebih dari 183 hari (seratus delapan puluh
tiga) hari atau kontrak/perjanjian untuk melakukan pekerjaan, usaha, atau
kegiatan yang dilakukan di Indonesia selama lebih 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari.
b. Subjek Pajak orang pribadi melakukan tindakan yang menunjukkan bahwa dirinya
akan bertempat tinggal di Indonesia atau bersiap untuk bertempat tinggal di
Indonesia, seperti menyewa atau mengontrak tempat, termasuk menyewa tempat
tinggal di Indonesia, memindahkan anggota keluarga atau memperoleh tempat
yang disediakan oleh pihak lain.

Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah
menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP). Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi yang
telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak orang pribadi yang menerima
penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak
pengganti, menggantikan mereka yang berhak, yaitu ahli waris. Penunjukan warisan
yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan
pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek pajak
dalam negeri dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri mengikuti status pewaris.
Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut
menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah
dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.
Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi juga wajib mendaftarkan diri pada KPP
atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi
yang meninggalkan warisan.
Tempat tinggal ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya, yakni:
a. tempat tinggal tetap Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan beserta
keluarganya sebelum meningggal dunia; atau
b. tempat pusat kepentingan ekonomi harta warisan berada, dalam hal Wajib Pajak
orang pribadi yang meninggalkan warisan tersebut:
1) mempunyai tempat tinggal tetap sebagaimana dimaksud pada huruf a di 2
(dua) tempat atau lebih; atau

5
2) tidak mempunyai tempat tinggal tetap sebagaimana dimaksud pada huruf a.

D. Subjek Pajak Orang Pribadi Luar Negeri


Pada Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, subjek pajak luar
negeri disebutkan sebagai:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau
bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri. Dalam hal
penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka
pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut.
Subjek pajak orang pribadi luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak karena
menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau
menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
Tempat tinggal orang pribadi ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut
keadaan yang sebenarnya. Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat
kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang
mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan tersebut. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat
kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi
lebih didasarkan pada kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam
menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara
lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan
usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan
pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai
subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai subjek pajak
pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.

Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri – Bentuk Usaha Tetap

Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha
(place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk
juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau

6
peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui
internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau
badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak dapat dianggap
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi dalam
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen,
broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau
perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka
menjalankan perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan
bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap
di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi
asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau
agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa
yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan
adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat
kedudukan di Indonesia.
Bagi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal dan berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia
melalui suatu bentuk usaha tetap, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat
bentuk usaha tetap tersebut berada di Indonesia dan berakhir pada saat bentuk
usaha tetap tersebut tidak lagi berada di Indonesia.
Pemenuhan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap dipersamakan dengan
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri.

Subjek Pajak Luar Negeri – Non Bentuk Usaha Tetap

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia, adalah Subjek Pajak luar negeri sepanjang orang pribadi
atau badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia. Hubungan
ekonomis dengan Indonesia dianggap ada apabila orang pribadi atau badan
tersebut menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari sumber
penghasilan di Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan tersebut dimulai pada saat
orang pribadi atau badan mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu
menerima atau memperoleh penghasilan dari sumber-sumber di Indonesia dan
berakhir pada saat orang pribadi atau badan tersebut tidak lagi mempunyai
hubungan ekonomis dengan Indonesia.

Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT)

7
Selain kewajiban mendaftarkan diri ditempat tinggalnya, Wajib Pajak juga wajib
mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat
kegiatan usaha dilakukan untuk memperoleh NPWP Cabang.
Tempat kegiatan usaha terserbut dapat berupa lokasi usaha, kantor cabang
perusahaan, kantor perwakilan, gudang, unit pemasaran, atau tempat kegiatan
usaha sejenis, yang digunakan untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, atau
manajemen.
Wajib Pajak yang memiliki 2 (dua) atau lebih tempat kegiatan usaha yang
berada pada wilayah kerja KPP yang sama, namun tempat kegiatan usaha tersebut
berada pada wilayah kerja KPP yang berbeda dengan tempat tinggal atau tempat
kedudukannya, dapat memilih salah satu tempat kegiatan usaha untuk didaftarkan
dan diberikan 1 (satu) NPWP Cabang.

E. Status Subjek Pajak bagi WNI yang di luar negeri


Banyak WNI yang bekerja di luar negeri dengan berbagai profesi seperti
perawat, asisten rumah tangga, dan anak buah kapal. Lama tinggal di luar negeri
tersebut dapat melebihi 183 hari dalam setahun dan memperoleh penghasilan dari
negara tersebut. Perlakuan pajaknya telah diatur dalam Per-2/PJ/2009.
Pasal 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Nomor PER-2/PJ/2009
mendefinisikan Pekerja Indonesia di Luar Negeri adalah orang pribadi Warga Negara
Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Pekerja Indonesia di Luar Negeri tersebut
adalah Subjek Pajak Luar Negeri.
Orang pribadi tersebut tetap merupakan subjek pajak dalam negeri apabila
tidak memiliki atau tidak dapat menunjukkan salah satu dokumen tanda pengenal
resmi yang masih berlaku sebagai penduduk di luar negeri yaitu:
a. green card,
b. identity card,
c. student card,
d. pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh Kantor Perwakilan Republik
Indonesia diluar negeri,
e. surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan
Republik Indonesia di luar negeri, atau
f. tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat.
Sedangkan untuk WNI yang bekerja di luar negeri tetapi tidak lebih dari 183
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan tidak termasuk dalam definisi Pekerja
Indonesia di Luar Negeri sehingga tidak memenuhi definisi subjek pajak luar negeri
tersebut.
Subjek Pajak Dalam Negeri dalam Pasal 2 UU PPh disebutkan sebagai:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, atau
b. orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai
niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Sedangkan Subjek Pajak Luar Negeri adalah:


a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat

8
kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia.
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi subjek pajak luar
negeri sehubungan dengan pekerjaannya di luar Indonesia dan penghasilannya
bersumber dari luar Indonesia, tidak dikenai Pajak Penghasilan di Indonesia.
Dalam hal orang pribadi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan
yang bersumber dari Indonesia, penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan
sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku yaitu Pasal
26 UU PPh.
Contoh kasus:
1) Amir adalah Warga Negara Indonesia. Dia bekerja di Jepang lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan. Penghasilannya hanya bersumber dari
pekerjaannya di Jepang saja. Dari penghasilannya di Jepang, Amir juga sudah
dikenakan dan dipotong pajak di sana.
Dari kasus tersebut, Amir sudah bukan lagi termasuk Subjek Pajak Dalam Negeri,
dengan begitu Amir sudah tidak dikenakan pajak penghasilan lagi di Indonesia dan
tidak lagi perlu melaporkan SPT Tahunannya
2) Temon adalah Warga Negara Indonesia. Dia bekerja di Turki lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan. Dari penghasilannya di Turki, Temon juga sudah
dikenakan dan dipotong pajak di sana. Sedangkan di Indonesia Temon juga
memperoleh penghasilan dari ruko yang dia sewakan.
Dari kasus tersebut, Temon dikategorikan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri.
Temon tidak memiliki kewajiban melaporkan SPT Tahunan PPh. Namun, atas
penghasilan sewa ruko tersebut, penyewa harus memotong PPh Pasal 26 sebesar
20% dari penghasilan sewa.
3) Budi adalah Warga Negara Indonesia. Dia bekerja di Jerman selama tidak lebih
dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Selain penghasilan di Jerman, Budi
juga masih mendapatkan penghasilan di Indonesia.
Dari kasus di atas, Budi harus tetap membayarkan pajaknya di Indonesia, cara
membayarnya sama dengan wajib pajak dalam negeri pada umumnya, namun
perpajakan dia di luar negeri bisa sebagai pengurang bagi pajak Budi di Indonesia
(kredit pajak luar negeri sesuai dengan Pasal 24 UU PPh). Budi harus melaporkan
SPT Tahunannya di Indonesia, dan di dalamnya Budi juga harus melaporkan
penghasilan yang didapatnya di luar negeri.

9
GAMBAR II.2 SKEMA PEMBAGIAN TKI
(Dikutip dari https://www.pajak.go.id/id/tenaga-kerja-indonesia-di-luar-negeri)

F. Timbul dan Berakhirnya Kewajiban Pajak


Orang pribadi yang merupakan subjek pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak
dalam negeri, apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia dan besarnya penghasilan melebihi
Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya
melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut
dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Wajib Pajak
adalah orang pribadi yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Kewajiban
pajak subjektif orang pribadi dalam negeri dimulai pada saat orang pribadi tersebut
dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Subjek pajak
orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau
memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Untuk orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, kewajiban pajak subjektifnya dimulai sejak hari pertama ia berada di
Indonesia. Subjek pajak luar negeri orang pribadi sekaligus menjadi Wajib Pajak
karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia
atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi dalam negeri berakhir pada saat ia
meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Pengertian
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya harus dikaitkan dengan hal-hal yang
nyata pada saat orang pribadi tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila pada saat ia
meninggalkan Indonesia terdapat bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi
menjadi SPDN.
Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat
timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut, yaitu pada saat meninggalnya

10
pewaris. Sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada warisan
tersebut. Kewajiban pajak subjektif warisan berakhir pada saat warisan tersebut dibagi
kepada para ahli waris. Sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya beralih
kepada para ahli waris.
Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau
yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian
tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak. Dapat terjadi orang pribadi menjadi
Subjek Pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi
yang mulai menjadi Subjek Pajak pada pertengahan tahun pajak, atau yang
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun pajak.
Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun
pajak yang menggantikan tahun pajak.

G. Non Subjek Pajak Orang Pribadi


Yang tidak termasuk subjek pajak Orang Pribadi adalah:
1. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat
a. bukan warga negara Indonesia dan
b. di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan
timbal balik;
2. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional organisasi-organisasi
internasional dengan syarat: Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal
dari iuran para anggota; dengan syarat
a. bukan warga negara Indonesia dan
b. tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
Organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat-pejabat Perwakilan
Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.010/2015.
Organisasi Internasional yang tidak termasuk sebagai Subjek Pajak
Penghasilan:
1. IBRD (International Bank for Reconstruction and Development)
2. IMF (International Monetary Fund)
3. UNDP (United Nations Development Programme), meliputi:
a. IAEA (International Atomic Energy Agency)
b. ICAO (International Civil Aviation Organization)
c. ITU (International Telecommunication Union)
d. UNIDO (United Nations Industrial Development Organizations)
e. UPU (Universal Postal Union)
f. WMO (World Meteorological Organization)
g. UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development)
h. UNEP (United Nations Environment Programme)
i. UNCHS (United Nations Centre for Human Settlement)
j. ESCAP (Economic and Social Commission for Asia and The Pacific)
k. UNFPA (United Nations Funds for Population Activities)

11
l. WFP (World Food Programme)
m. IMO (International Maritime Organization)
n. WIPO (World Intellectual Property Organization)
o. IFAD (International Fund for Agricultural Development)
p. WTO (World Trade Organization)
q. WTO (World Tourism Organization)
4. FAO (Food and Agricultural Organization)
5. ILO (International Labour Organization)
6. UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees)
7. UNIC (United Nations Information Centre)
8. UNICEF (United Nations Children's Fund)
9. UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization)
10. WHO (World Health Organization)
11. World Bank
12. Asean Secretariat
13. SEAMEO (South East Asian Minister of Education Organization)
14. ACE (The ASEAN Centre for Energy)
15. NORAD (The Norwegian Agency for International Development)
16. Plan International Inc
17. PCI (Project Concern International)
18. IDRC (The International Development Research Centre)
19. NLRA (The Netherlands Leprosy Relief Association)
20. The Commission of The European Communities
21. OISCA INT. (The Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement
International)
22. World Relief Cooperation
23. APCU (The Asean Heads of Population Coordination Unit)
24. SIL (The Summer Institute of Linguistics, Inc.)
25. IPC (The International Pepper Community)
26. APCC (Asian Pacific Coconut Community)
27. INTELSAT (International Telecommunication Satellite Organization)
28. People Hope of Japan (PHJ) dan Project Hope
29. CIP (The International Potato Centre)
30. ICRC (The International Committee of Red Cross)
31. Terre Des Hommes Netherlands
32. Wetlands International
33. HKI (Helen Keller International, Inc.)
34. Taipei Economic and Trade Office
35. Vredeseilanden Country Office (VECO) Belgia
36. KAS (Konrad Adenauer Stiftung)
37. Program for Appropriate Technology in Health, USA-PATH
38. Save the Children-US dan Save the Children-UK
39. CIFOR (The Center for International Forestry Research)
40. Kyoto University-Jepang
41. ICRAF (the International Centre for Research in Agroforestry)
42. Swisscontact-Swiss Foundation for Technical Cooperation
43. Winrock International
44. Stichting Tropenbos
45. The Moslem World League (Rabithah)

12
46. NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development Organization)
47. HSF (Hans Seidel Foundation)
48. DAAD (Deutscher Achademischer Austauschdienst)
49. WCS (The Wildlife Conservation Society)
50. BORDA (The Bremen Overseas Research and Development Association)
51. ASEAN Foundation
52. SOCSEA (Sub Regional Office of CIRDAP in Southeast Asia)
53. IMC (International Medical Corps)
54. KNCV (Koninklijke Nederlands Centrale Vereniging tot Bestrijding der
Tuberculosis)
55. Asia Foundation
56. The British Council
57. CARE (Cooperative for American Relief Everywhere Incorporation)
58. CCF (Christian Children's Fund)
59. CWS (Church World Service)
60. The Ford Foundation
61. FES (Friedrich Ebert Stiftung)
62. FNS (Friedrich Neumann Stiftung)
63. IRRI (International Rice Research Institute)
64. Leprosy Mission
65. OXFAM (Oxford Committee for Famine Relief)
66. WE (World Education, Incorporated, USA)
67. KOICA (Korea International Cooperation Agency)
68. ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia)
69. JETRO (Japan External Trade Organization)
70. IFRC (International Federation of Red Cross and Red Cresent Societies)

Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing beserta


pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya,
dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat mereka mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku
apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka
adalah Warga Negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh
penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia
termasuk subjek pajak yang dapat dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut.

H. Perbedaan Pemajakan bagi SPDN dan SPLN


Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar
negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
1. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar
negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber
penghasilan di Indonesia;
2. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif
umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan
bruto dengan tarif pajak sepadan; dan
3. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam

13
suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya
dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak
orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

RINGKASAN

1) Kewajiban pajak subjektif badan dalam negeri dimulai pada saat badan tersebut
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat
dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia. Sementara
kewajiban pajak subjektif badan luar negeri dimulai pada saat badan tersebut
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat
tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

Subjek Pajak Mulai Berakhir

Saat dilahirkan, berada, Pada saat meninggal


Subjek Pajak
atau niat untuk atau meninggalkan
Dalam Negeri
bertempat tinggal di Indonesia untuk
(SPDN)
Indonesia selama-lamanya.

Warisan yang Saat meninggalnya Sejak warisan dibagi


belum terbagi pewaris kepada ahli waris

Subjek Pajak
Pada saat Orang Saat tidak lagi
Luar Negeri
Pribadi menjalankan menjalankan usaha
(SPLN) melalui
usaha atau melakukan atau melakukan
Bentuk Usaha
kegiatan melalui BUT kegiatan melalui BUT
Tetap (BUT)

Subjek Pajak
Saat Orang Pribadi
Luar Negeri Saat tidak menerima
tersebut menerima atau
(SPLN) tidak atau memperoleh
memperoleh
Melalui Bentuk penghasilan dari
penghasilan dari
Usaha Tetap Indonesia
Indonesia
(BUT)

2) Berikut perbedaan WPDN dan WPLN.

14
Sumber
Status Subjek
Penghasilan Sumber Penghasilan
Pajak Orang
dari Luar dari Indonesia
Pribadi WNI
Indonesia

Subjek Pajak Tidak dikenakan Dikenakan pajak


Luar Negeri pajak penghasilan penghasilan sesuai Pasal
(SPLN) di Indonesia 26

Dikenakan pajak
Dikenakan pajak
Subjek Pajak penghasilan sesuai
penghasilan sesuai
Dalam Negeri ketentuan perundang-
Pasal 24 atau Tax
(SPDN) undangan di bidang
Treaty
perpajakan yang berlaku

LATIHAN/PENUGASAN

Latihan

1) Mr. John, WNA, selain bekerja sebagai pegawai perwakilan ASEAN di


Indonesia, juga sebagai pengajar kursus bahasa asing di Jakarta. Yang benar
mengenai status perpajakan Mr. John adalah ….
a. subjek pajak b. bukan subjek pajak
c. bentuk usaha tetap d. semua salah

2) Ibu Wati, WNI, hanya bekerja sebagai pegawai perwakilan ASEAN di Indonesia
dengan penghasilan setahun Rp 1 M. Yang benar Ibu Wati adalah ….
a. subjek pajak b. bukan subjek pajak
c. bentuk usaha tetap d. bukan objek pajak

3) Subjek Pajak Dalam Negeri memenuhi kriteria sebagai berikut, kecuali ....
a. bertempat tinggal di Indonesia
b. berada di Indonesia lebih dari 183 hari berturut-turut dalam setahun
c. berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan
d. berada di Indonesia dan berniat tinggal di Indonesia

4) Warga asing yang berdomisili di Amerika Serikat akan menjadi Subjek Pajak
Luar Negeri di Indonesia jika ….
a. berwisata ke Indonesia
b. merencanakan menikah dengan penduduk Indonesia
c. memberikan kuliah umum dan mendapatkan honor di Indonesia
d. berencana membeli apartemen di Indonesia

5) Mr. Sing Sa Bar adalah seorang konsulat Singapura yang sedang bertugas di
Kantor Konsulat Singapura di Jakarta lebih dari 183 hari, dan tidak melakukan
kegiatan usaha di Indonesia. Mr. Sing Sa Bar merupakan ….

15
a. subjek pajak dalam negeri
b. subjek pajak luar negeri
c. bukan subjek pajak
d. bentuk usaha tetap

6) Saat berikut ini yang bukan merupakan saat timbulnya kewajiban pajak subjektif
ialah ….
a. saat mendaftarkan diri di KPP untuk memperoleh NPWP
b. saat berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia
c. saat hari pertama berada di Indonesia
d. saat menerima/memperoleh penghasilan dari Indonesia

7) Saat menyanyi di Bintaro, Bruno Mars (asal California) mendapatkan


penghasilan dari pengundangnya (event organizer di Bintaro). Pada saat Bruno
Mars kembali ke California karena kontraknya selesai maka ….
a. kewajiban pajak subjektif Bruno Mars mulai timbul
b. Bruno Mars wajib mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP
c. kewajiban pajak subjektif Bruno Mars berakhir
d. Bruno Mars wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh OP

8) Dari pernyataan berikut yang menggambarkan bahwa pajak penghasilan


merupakan pajak subjektif adalah ….
a. kondisi subjek pajak tidak diperhatikan dalam mengenakan besarnya pajak
b. objek pajak adalah penghasilan yang berasal dari Indonesia dan luar
Indonesia
c. pengenaan pajak dimulai dengan menetapkan subjeknya dulu, baru dicari
objeknya
d. beban ekonomis pajak penghasilan bisa dialihkan kepada subjek pajak yang
lain

9) Salah satu karakteristik pajak penghasilan adalah pajak langsung. Pernyataan


berikut yang menggambarkan karakteristik tersebut adalah ….
a. beban pajak tidak dapat dialihkan kepada pihak lain
b. pihak yang dituju Undang-Undang untuk dikenakan pajak adalah pembayar
penghasilan
c. dalam pengenaan pajak penghasilan sangat memperhatikan kondisi subjek
pajaknya
d. pengenaan pajak penghasilan dimulai dari menentukan subjek pajaknya,
baru dicari objeknya

10) Berakhirnya kewajiban pajak subjektif bagi warisan yang belum terbagi adalah
….
a. saat pewaris telah memiliki akte kematian
b. saat masa berkabung telah usai
c. saat warisan selesai dibagikan
d. saat warisan tidak mengalirkan penghasilan lagi

16
Video tutorial materi ini dapat dilihat di KLC dengan link sebagai berikut:
https://klc.kemenkeu.go.id/pknstan-pengantar-pajak-penghasilan-orang-pribadi/

---Q---

17
OBJEK PAJAK

Tujuan Pembelajaran:
Pada bab ini mahasiswa mampu:
1. menjelaskan penghasilan dan jenis-jenis penghasilan
2. menjelaskan penghasilan yang merupakan objek pajak (akhir tahun)
3. menjelaskan penghasilan yang merupakan objek pajak bersifat final
4. menjelaskan penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak
BAB

GAMBAR III.3 PEMBAGIAN PENGHASILAN ORANG PRIBADI

Penghasilan

Bukan Objek Objek Pajak

Final/Bersifat Penghasilan Pekerjaan Usaha Pekerjaan Bebas


final Neto lain

< 4,8 M 4,8 M atau lebih

Pencatatan/ Norma Pembukuan

Penghasilan Neto dihitung pada akhir tahun

18
UU PPh menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang
luas, yaitu bahwa Pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan
untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber
tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran
terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama
memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak,
penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
a. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti
gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya;
b. penghasilan dari usaha dan kegiatan;
c. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha; dan
d. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat
pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena konsep PPh ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka
semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak
digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila
dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian
tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal),
kecuali kerugian yang diderita di luar negeri.
Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif
yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak
boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum.

A. Objek Pajak (terutang pada akhir tahun)


Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apa pun. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh disebutkan contoh penghasilan yang
sebagian besar merupakan objek pajak yang terutang pada akhir tahun, yaitu:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang PPh;
b. hadiah dari pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; Yang dimaksud dengan
penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan
tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-
benda purbakala. Untuk hadiah undian termasuk dalam penghasilan yang bersifat
final.
c. laba usaha;

19
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta. Apabila Wajib Pajak
menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi
dari harga atau nilai perolehan, selisih harga tersebut merupakan keuntungan.
Keuntungan antara lain bersumber dari:
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; Dalam hal
terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal,
keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dan
nilai bukunya merupakan penghasilan.
2) keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; Dalam
hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dan pemegang
sahamnya, harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan
keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar. Misalnya, PT S
memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai
sisa buku sebesar Rp 40.000.000. Mobil tersebut dijual dengan harga Rp
60.000.000. Dengan demikian, keuntungan PT S yang diperoleh karena
penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000. Apabila mobil tersebut dijual
kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 55.000.000,
nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp
60.000.000. Selisih sebesar Rp20.000.000 merupakan keuntungan bagi PT S
dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp
5.000.000 merupakan penghasilan.
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun. Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari
penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dan
nilai sisa buku harta tersebut, merupakan objek pajak. Demikian juga selisih
lebih antara harga pasar dan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan
penghasilan.
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan. Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai
perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan
atau sumbangan merupakan penghasilan bagi pihak yang mengalihkan
kecuali harta tersebut dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat. Demikian juga, keuntungan berupa selisih antara
harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta
berupa bantuan atau sumbangan dan hibah kepada badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan bukan merupakan penghasilan,

20
sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan,
atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan; Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan
mengalihkan sebagian atau seluruh hak tersebut kepada Wajib Pajak lain,
keuntungan yang diperoleh merupakan objek pajak.
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak. Pengembalian pajak yang telah
dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak
merupakan objek pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah
dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan,
maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang. Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila
misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi
apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut
merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan
penghasilan bagi yang membeli obligasi.
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi. Sebagai catatan, dividen yang diterima Wajib Pajak Orang Pribadi
adalah bersifat final. Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang
saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi
yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama
dan dalam bentuk apapun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang
disetor;
3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham
bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4) pembagian laba dalam bentuk saham;
5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh
pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan
yang bersangkutan;
7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan,
jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika
pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter)
yang dilakukan secara sah;
8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima
sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan.

21
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara
terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh
modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan
bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih
lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar,
diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai
dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang
bersangkutan.
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak. Royalti adalah suatu jumlah yang
dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan
secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:
1) penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan,
kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau
proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial
atau hak serupa lainnya;
2) penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial,
komersial, atau ilmiah;
3) pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial,
atau komersial;
4) pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan
penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1,
penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada
angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3,
berupa:
a) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat
optik, atau teknologi yang serupa;
b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara
atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan
melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
c) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio
komunikasi;
5) penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films),
film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
6) pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan
penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak
lainnya sebagaimana tersebut di atas.
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Dalam
pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak
gerak. Untuk penghasilan dari sewa tanah dan/atau bangunan bersifat final.
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. Penerimaan berupa
pembayaran berkala, misalnya “alimentasi” atau tunjangan seumur hidup yang
dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pembebasan utang oleh pihak
yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang,
sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun,
dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur

22
kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani
(KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana,
serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai
objek pajak.
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing. Keuntungan yang diperoleh karena
fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut
dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku di Indonesia.
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; (sesuai ketentuan terbaru, hal ini
masuk ke dalam penghasilan yang bersifat final).
n. premi asuransi; Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak; Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi
penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta
yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto
yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan Pajak dan yang bukan
Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah; Kegiatan usaha berbasis syariah
memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat
konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan
usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak.
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.

B. Objek Pajak Final


Objek pajak final diatur dalam Pasal 4 ayat 2 UU PPh, dengan pertimbangan-
pertimbangan antara lain:
- perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan
masyarakat;
- kesederhanaan dalam pemungutan pajak;
- berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat
Jenderal Pajak;
- pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
- memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter,
atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam
pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis
penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan
pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Karakteristik PPh final adalah:


a) Penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak perlu digabungkan dengan
penghasilan lain (yang non final) dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada
SPT Tahunan.
b) Jumlah PPh Final yang telah dibayar sendiri atau dipotong pihak lain sehubungan
dengan penghasilan tersebut tidak dapat dikreditkan.

23
c) Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat final tidak dapat dikurangkan.

Penghasilan di bawah ini sesuai Pasal 4 ayat (2) dapat dikenai pajak bersifat
final:
a) penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi;
b) penghasilan berupa hadiah undian;
c) penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan
modal ventura;
d) penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau
bangunan; dan
e) penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
Selain itu ada juga jenis penghasilan yang bersifat final yang dilakukan
pemotongan dan atau pemungutan dengan PPh Pasal 15, 21, dan 22.

Berikut adalah daftar objek penghasilan yang dikenakan PPh Final:


a) Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia, Surat Berharga Negara.
b) Penghasilan Berupa Bunga / Diskonto Obligasi.
c) Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham yang Diperdagangakan di Bursa
Efek.
d) Hadiah Undian.
e) Pesangon, Tunjangan Hari Tua dan Tebusan Pensiun yang Dibayar Sekaligus
f) Honorarium atas Beban APBN/APBD
g) Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
h) Bangunan yang Diterima dalam Rangka Bangun Guna Serah
i) Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.
j) Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
k) Penyalur/Dealer/Agen Produk BBM
l) Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi
Orang Pribadi.
m) Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
n) Penghasilan istri dari satu pemberi kerja
o) Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu (sampai dengan Rp4,8 miliar)
p) Penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya
q) Selisih lebih revaluasi aktiva tetap.
r) Penghasilan perusahaan pelayaran dalam negeri;
s) Penghasilan perusahan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri;
t) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang
mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan barang di
Indonesia;

24
u) Penghasilan bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha jasa maklon
(contract manufacturing) internasional di bidang produksi mainan anak-anak (ada
hubungan istimewa dengan pengguna jasa).
v) Penghasilan WP KKKS berupa uplift atau Imbalan lain yang sejenis;
w) Penghasilan WP KKKS dari pengalihan interest

Perincian dan perhitungan PPh Final telah dibahas pada mata kuliah Perpajakan I.

C. Bukan Objek Pajak


Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a. 1) bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham
atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
UU PPh. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan
berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan
dalam bentuk natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam
bentuk kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan
bukan merupakan objek pajak.
Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan
Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit), imbalan dalam bentuk natura atau
kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau
memperolehnya.
Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan
diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati
rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-
kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan
bagi pegawai tersebut sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan
merupakan Wajib Pajak.

25
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa. Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi
dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan
merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi
untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan
Penghasilan Kena Pajak.
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha
milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2) bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
modal yang disetor;
Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba setelah
dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, dan badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya
25% (dua puluh lima persen), tidak termasuk objek pajak. Yang dimaksud
dengan “badan usaha milik negara” dan “badan usaha milik daerah” pada ayat
ini, antara lain, adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah, dan
bank pembangunan daerah.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah
Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam
negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi
sejenis dan sebagainya, penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut
tetap merupakan objek pajak.
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi
dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri
Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari
peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja.
Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana
milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada
waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para
peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek
Pajak.
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun
dimaksudkan untuk pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran
kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal
tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau

26
yang berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif. Untuk
kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam
ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai
satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba
yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek
pajak.
j. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1) merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan
2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Yang dimaksud dengan “perusahaan modal ventura” adalah suatu perusahaan
yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha)
dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu.
Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari
perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai objek pajak, dengan
syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro,
kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan
saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan
dividen huruf f diatas, dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal
ventura bukan merupakan objek pajak.
Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-
sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan,
misalnya untuk meningkatkan ekspor nonmigas, usaha atau kegiatan dari
perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.
Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternative pembiayaan
dalam bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan oleh
perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang
belum mempunyai akses ke bursa efek.
k. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
l. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang
telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali
dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya
manusia melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan
sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan

27
fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang
diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam
bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud.
Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam
jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau
badan yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan
serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka
kepada siapa saja dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang
membidanginya.
m. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Bantuan atau santunan yang
diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak
tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau
anggota masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam
atau tertimpa musibah.

Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek
pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha,
hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak
serta sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya
yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang
berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud
dengan “zakat” adalah zakat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai zakat.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi,
misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya
diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada
PT A, sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan objek pajak.
Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak apabila
diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh
badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil termasuk koperasi yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka
hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

28
RINGKASAN

1) Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan. UU PPh menganut definisi yang


luas terhadap penghasilan, yaitu tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat
dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
2) Sumber penghasilan dapat berasal dari:
- penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas
- penghasilan dari usaha dan kegiatan;
- penghasilan dari modal, dan
- penghasilan lain-lain
3) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Orang Pribadi dapat digolongkan
sebagai:
- penghasilan yang bukan objek pajak;
- penghasilan yang merupakan objek pajak, yaitu:
i. penghasilan yang terkena PPh Final, dan
ii. penghasilan yang tidak terkena PPh Final (diperhitungkan pada akhir
tahun)

LATIHAN/PENUGASAN

1) Ibu Wati, WNI, hanya bekerja sebagai pegawai perwakilan ASEAN di Indonesia,
penghasilan berupa gaji setahun Rp 1 M dan fasilitas hotel jika dinilai sebesar
Rp 200 juta. Yang menjadi objek pajak adalah:
a. gaji
b. fasilitas hotel
c. gaji dan fasilitas hotel
d. semua salah

Untuk soal No. 2 s.d. 4, Tn Abdi bekerja di sebuah perusahaan konstruksi pada
suatu tahun pajak memperoleh penghasilan sebagai berikut:

2) Penghasilan berupa parsel lebaran berupa sembako, nilai dalam rupiah setara
dengan Rp800.000,00 per karyawan, termasuk:
a. bukan objek pajak
b. objek pajak final
c. objek pajak yang diperhitungkan pada akhir tahun
d. semua salah

3) Menerima imbalan berupa gaji sejumlah Rp80.000.000, tunjangan transportasi


sejumlah Rp10.000.000, dan beras sejumlah 10 kg. Pernyataan berikut yang
benar adalah….
a. tunjangan transportasi terkena PPh final
b. gaji bukan merupakan objek pajak
c. perusahaan tidak memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan ybs
d. beras merupakan objek pajak

29
4) Laptop senilai Rp18.000.000,00 kepada karyawan sebagai hasil undian saat
acara ulang tahun perusahaan termasuk…
a. bukan objek pajak
b. objek pajak final
c. objek pajak yang diperhitungkan pada akhir tahun
d. semua salah

5) Tn Budi Mendapatkan pembayaran uang pesangon dari tempat kerja yang lama
sebesar Rp300.000.000, termasuk...
a. bukan objek pajak
b. objek pajak final
c. objek pajak yang diperhitungkan pada akhir tahun
d. semua salah

6) Suntoro mendapatkan bagian laba dari Persekutuan Samson, yang diambil


secara bulanan (tiap akhir bulan), yaitu Rp30.000.000,00 setiap bulan,
termasuk…
a. bukan objek pajak
b. objek pajak final
c. objek pajak yang diperhitungkan pada akhir tahun
d. semua salah

7) Ibu Wati mendapatkan penghargaan sebagai juara III Karate Tingkat dunia di
China dan mendapatkan piala terbuat dari emas senilai Rp50.000.000,00,
termasuk…
a. bukan objek pajak
b. objek pajak final
c. objek pajak yang diperhitungkan pada akhir tahun
d. semua salah

8) Pak Ali menerima pembayaran sewa penggunaan villa di Puncak selama


sebulan dari salah satu kandidat doktor untuk keperluan penyusunan
disertasinya, sejumlah Rp15.000.000,00.
a. bukan objek pajak
b. objek pajak final
c. objek pajak yang diperhitungkan pada akhir tahun
d. semua salah

9) Risma mendapatkan tanah seluas 500 m2 dari ayahnya yang sedang


membagikan aset tetap kepada anak-anaknya saat ulang tahun ke-70. Nilai
pasar tanah tersebut adalah Rp1,5 miliar, penghasilan berupa tanah tersebut…
a. bukan objek pajak
b. objek pajak final
c. objek pajak yang diperhitungkan pada akhir tahun
d. Semua salah

10) Ida menjual 10.000 lembar saham TLKM di bursa efek, seharga Rp3.830,00 per
lembar. Dulu saat membeli saham tersebut masih berada di harga Rp2.750,00.
Atas hasil penjualan saham tersebut termasuk…

30
a. bukan objek pajak
b. objek pajak final
c. objek pajak yang diperhitungkan pada akhir tahun
d. Semua salah

Video tutorial materi ini dapat dilihat di KLC dengan link sebagai berikut:
https://klc.kemenkeu.go.id/pknstan-penghasilan-yang-bukan-objek-pajak/

---Q---

31
UNSUR-UNSUR PENGHITUNGAN
PAJAK PENGHASILAN

Tujuan Pembelajaran:
Pada bab ini mahasiswa mampu:
1. memahami unsur-unsur dalam penghitungan Pajak Penghasilan Orang
Pribadi
2. menghitung penghasilan neto, PTKP, tarif, PPh terutang, kredit pajak dan
PPh Kurang (Lebih) Bayar
BAB

Penghasilan

Bukan Objek Objek Pajak

Final/Bersifat Penghasilan Pekerjaan Usaha Pekerjaan Bebas


final Neto lain

< 4,8 M 4,8 M atau lebih

Pencatatan/ Norma Pembukuan

Penghasilan Neto dihitung pada akhir tahun

32
A. Penghasilan Neto
Penghasilan neto adalah penghasilan yang akan dihitung pajaknya pada akhir
tahun, misalnya penghasilan dari gaji, sewa kendaraan, capital gain saham nonbursa,
dan bunga pinjaman pada pihak nonbank. Jadi dalam pengertian penghasilan neto ini
tidak termasuk penghasilan final, yang bersifat final, dan bukan objek pajak, misalnya
penghasilan dari pesangon, sewa tanah dan bangunan, saham di bursa, dan warisan.
Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara
biasa dan penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan. Bagi Wajib
Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena
Pajaknya dihitung dengan menggunakan cara penghitungan biasa. Untuk menghitung
besarnya penghasilan neto dari pembukuan harus menggunakan standar akuntansi
yang berlaku berupa penghasilan neto komersial yang nantinya dilakukan
penyesuaian berupa koreksi fiskal positif, lalu dikurangi koreksi fiskal negatif sesuai
ketentuan perpajakan yang berlaku.
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan
pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto. Pada bab ini akan dipelajari mekanisme perhitungan
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagaimana diatur dalam PER-17/PJ/2015 sebagai berikut:
1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun sebesar Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) atau lebih wajib menyelenggarakan
pembukuan. Ini berarti penentuan penghasilan neto dihitung berdasarkan
pembukuan.
2) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) wajib menyelenggarakan pencatatan,
kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih menyelenggarakan pembukuan.
Ini berarti WPOP yang menyelenggarakan pencatatan boleh menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

Berikut format dalam menghitung penghasilan neto dari pembukuan:


Peredaran Usaha XXX .
Harga Pokok Penjualan XXX -
Laba/Rugi Bruto Usaha XXX .
Biaya Usaha XXX -
Penghasilan Neto (komersial) XXX .
Penyesuaian Fiskal Positif XXX+
Penyesuaian Fiskal Negatif XXX -
Penghasilan Neto Dalam Negeri (fiskal) XXX .

Dalam pembahasan selanjutnya akan diperdalam perhitungan penghasilan neto


dengan dasar pencatatan (nonpembukuan).
Dalam perhitungan pajak penghasilannya, penghasilan WP Orang Pribadi
yang menjadi objek PPh dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu:
• Penghasilan yang dikenakan PPh Final

33
Dalam menghitung pajak penghasilan final dan/atau yang bersifat final ini dengan
menggunakan tarif tertentu pada penghasilan brutonya sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Penghasilan final ini telah dibahas pada Bab II Objek Pajak Final.
• Penghasilan nonfinal
Besarnya penghasilan neto yang nantinya dikenakan pajak ditentukan
berdasarkan pencatatan, baik dengan mengurangkan penghasilan bruto dengan
biaya ataupun dengan menggunakan prosentase penghasilan neto.

Perhitungan penghasilan neto untuk PPh Orang Pribadi ditentukan


berdasarkan jenis pekerjaan, jenis penghasilan, dan metode
pencatatan/pembukuannya. Berdasarkan klasifikasi dalam SPT Tahunan Orang
Pribadi, terdapat 5 jenis penghasilan yang diperoleh Orang Pribadi, yaitu:
1. Penghasilan neto dalam negeri dari usaha
2. Penghasilan neto dalam negeri dari pekerjaan bebas
3. Penghasilan neto dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan
4. Penghasilan neto dalam negeri lainnya (nonfinal)
5. Penghasilan neto luar negeri

Berikut penjelasan perhitungan penghasilan neto:

1. Penghasilan Neto Dalam Negeri dari Usaha


Secara umum ada 3 jenis penghasilan bruto WP OP dari usaha yang meliputi:
a. Dagang: Peredaran usaha perdagangan ialah jumlah hasil penjualan bruto
setelah dikurangi dengan pengembalian barang, potongan tunai, dan rabat
dalam Tahun Pajak yang bersangkutan. Contoh perdagangan eceran sembako
dan pedagangan besar pakaian jadi.
b. Industri: Peredaran usaha industri ialah jumlah hasil penjualan bruto setelah
dikurangi dengan pengembalian barang, potongan tunai, dan rabat dalam
Tahun Pajak yang bersangkutan. Contoh industri tempe.
c. Jasa: Peredaran usaha jasa ialah penerimaan bruto usaha jasa dalam Tahun
Pajak yang bersangkutan. Contoh sewa kendaraan.
Untuk menghitung besarnya penghasilan neto wajib pajak orang pribadi dalam
negeri yang melakukan kegiatan usaha yang peredaran brutonya dalam 1 (satu)
tahun kurang dari Rp4.800.000.000, boleh menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Materi ini akan lebih
dalam dibahas di Bab VI yaitu PPh bagi OP yang melakukan Kegiatan Usaha.
Selain itu WP tersebut dapat juga menggunakan PPh Final sesuai PP 23 tahun
2018. Jika omset telah mencapai Rp4.800.000.000 atau lebih, tidak dapat
menggunakan pencatatan, jadi perhitungan penghasilan neto dihitung dengan
pembukuan.

2. Penghasilan Neto Dalam Negeri Dari Pekerjaan Bebas


Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas yang peredaran
brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000, boleh menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
Jenis pekerjaan bebas ini diatur dalam PP 23 tahun 2018 yaitu:

34
a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, PPAT, penilai, dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati,
pemain drama, dan penari;
c. olahragawan;
d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f. agen iklan;
g. pengawas atau pengelola proyek;
h. perantara;
i. petugas penjaja barang dagangan;
j. agen asuransi;
k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan
kegiatan sejenis lainnya.

Perhitungan bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang memperoleh
penghasilan dari pekerjaan bebas akan dibahas pada Bab VII PPh bagi OP yang
Menjalankan Pekerjaan Bebas (Nonpembukuan).
Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya
penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan
terus-menerus. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan
dalam hal-hal:
• tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang
lengkap, atau
• pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan
secara tidak benar.
Norma Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian
atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran. Norma Penghitungan akan
sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan
untuk menghitung penghasilan neto.
Wajib Pajak yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib menyelenggarakan pencatatan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk
memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.
Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan,
termasuk Wajib Pajak, yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. misalnya dokter, pengacara,
notaris, akuntan, konsultan, penilai, aktuaris, arsitek. Pembahasan lebih lengkap akan
dibahas pada Bab VII.

35
3. Penghasilan Neto Dalam Negeri Sehubungan Dengan Pekerjaan
Adalah penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21, yaitu orang pribadi
dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh
penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan
oleh ketentuan, dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan, termasuk penerima pensiun.
Penghasilan neto diperoleh dengan mengurangi penghasilan bruto dari pekerjaan
misalnya gaji dan tunjangan dengan pengurang penghasilan bruto seperti biaya
jabatan dan iuran pensiun. Beberapa contoh tersebut adalah:
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa
Penghasilan yang Bersifat Teratur maupun Tidak Teratur;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa
uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c. penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati
jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pegawai berhenti bekerja;
d. penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, berupa upah harian,
upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara
bulanan;
e. penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain
yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
f. penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang
masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan oleh:
1) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
2) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit).

Untuk penghasilan neto tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Penghasilan bruto:
* Gaji, Tunjangan, Honor, Bonus, dll XXX .
Pengurang Penghasilan Bruto:
* Biaya Jabatan, Iuran pensiun/THT/JHT XXX -
Penghasilan Neto XXX .

Pembahasan lebih lengkap akan dibahas pada Bab IV dan V.

4. Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya (nonfinal)


WP OP dapat memperoleh penghasilan lainnya yang meliputi besarnya
penghasilan neto dalam negeri lainnya yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
sendiri dan anggota keluarganya dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, tidak
termasuk penghasilan yang telah dikenakan PPh final dan/atau PPh bersifat final serta
penghasilan yang tidak termasuk objek pajak. Jumlah penghasilan neto untuk
penghasilan ini biasanya sama dengan jumlah penghasilan brutonya. Penghasilan ini
meliputi:

36
a. Bunga, dalam pengertian bunga termasuk premium, diskonto, bagi usaha berbasis
syariah dan imbalan lain sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, baik
yang dijanjikan maupun tidak, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri
dan anggota keluarganya. (Ingat, bedakan dengan bunga yang terkena PPh Final)
b. Royalti, yang dimaksud dengan royalti adalah setiap imbalan dengan nama
apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan anggota keluarganya
sehubungan dengan penyerahan penggunaan hak kepada pihak lain, berupa:
1) hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang,
formula, atau rahasia perusahaan;
2) hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan
ilmu pengetahuan;
3) informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun
mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau
bidang usaha lainnya.
c. Sewa, yang dimaksud dengan sewa adalah setiap imbalan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak sendiri dan anggota keluarganya sehubungan dengan
penggunaan harta selain sewa tanah dan/atau bangunan oleh pihak lain, harta
gerak misalnya sewa pemakaian mobil, sewa alat-alat berat.
d. Penghargaan dan hadiah yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan
anggota keluarganya merupakan penghasilan. Jenis hadiah dan penghargaan
untuk tujuan pemajakan dapat dibedakan:
1) Hadiah dan penghargaan perlombaan, yang diberikan melalui suatu
perlombaan atau adu ketangkasan, misalnya dari:
- perlombaan olah raga;
- kontes kecantikan/busana, kontes lainnya;
- kuis di televisi/radio;
- kegiatan perlombaan atau adu ketangkasan lainnya.
2) Penghargaan atas suatu prestasi tertentu, misalnya penghargaan atas
penemuan benda purbakala, penghargaan dalam menjualkan suatu produk.
3) Hadiah sehubungan dengan pekerjaan pemberian jasa dan kegiatan lainnya
yang pemberiannya tidak melalui cara undian atau perlombaan.
e. Keuntungan dari penjualan/pengalihan harta dan penghasilan lainnya, ialah
penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak sendiri dan anggota
keluarganya sehubungan dengan penjualan/pengalihan harta, termasuk:
1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
2) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan
sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
3) Keuntungan karena penjualan harta pribadi, misalnya saham yang tidak
diperdagangkan di bursa efek.
f. Penghasilan Lainnya, misalnya:
1) penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
2) keuntungan karena pembebasan utang;
3) penerimaan dari piutang yang telah dihapuskan;

37
4) keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
5) tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak.

5. Penghasilan Neto Luar Negeri


Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh
penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.
Penghasilan neto dari luar negeri dapat diperoleh dalam berbagai macam kegiatan,
antara lain dari:
a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti
gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya
b. penghasilan dari usaha dan kegiatan
c. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha, dan
d. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah
WPDN harus melaporkan penghasilan yang didapatnya di luar negeri tersebut
dalam SPT Tahunannya. Untuk menghitung pajak atas keseluruhan penghasilan
yang diperoleh dari luar negeri tersebut, pajak yang dipotong di luar negeri dapat
menjadi pengurang atau kredit pajak dengan penghitungan sesuai dengan
ketentuan pada Pasal 24 UU PPh.

B. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)


Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan
Tidak Kena Pajak. Di samping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin
diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:
1. Rp 54.000.000, untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
2. Rp 4.500.000, tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
3. Rp 54.000.000, tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami; dan
4. Rp 4.500.000, tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi
tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Penerapan ketentuan tersebut ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau
awal bagian tahun pajak.
Bagi Wajib Pajak yang istrinya menerima atau memperoleh penghasilan yang
digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan
Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang istri paling sedikit sebesar Rp
54.000.000.
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam
garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua,
mertua, anak kandung, atau anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak
Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan “anggota
keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya” adalah anggota keluarga yang tidak
mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.

38
Yang dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah anak yang belum
berumur 18 tahun dan belum pernah menikah.

Berikut tabel lengkap PTKP:


Status Setahun Sebulan
TK/0 54,000,000 4,500,000
TK/1 58,500,000 4,875,000
TK/2 63,000,000 5,250,000
TK/3 67,500,000 5,625,000
K/0 58,500,000 4,875,000
K/1 63,000,000 5,250,000
K/2 67,500,000 5,625,000
K/3 72,000,000 6,000,000
K/I/0 112,500,000 9,375,000
K/I/1 117,000,000 9,750,000
K/I/2 121,500,000 10,125,000
K/I/3 126,000,000 10,500,000

Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai seorang istri dengan tanggungan 4 (empat) orang
anak. Apabila istrinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya
dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya Penghasilan Tidak
Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A hanya diperkenankan 3 orang
tanggungan (K/3) adalah sebesar Rp 72.000.000, {Rp 54.000.000, + Rp 4.500.000, +
(3 x Rp 4.500.000,00)}, sedangkan untuk istrinya, pada saat pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagai TK/0 sebesar Rp 54.000.000,00.
Dalam kondisi lain, misalnya si istri bukanlah karyawati, melainkan memiliki
pekerjaan bebas, maka penghasilan istri harus digabung dengan penghasilan suami,
dan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A
adalah sebesar Rp126.000.000, (Rp72.000.000 + Rp 54.000.000) atau statusnya
K/I/3.
Perlu diingat bahwa penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal
bagian tahun pajak. Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2020 Wajib Pajak B berstatus
kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah
tanggal 1 Januari 2020, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan
kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2020 tetap dihitung berdasarkan status kawin
dengan 1 (satu) anak.

C. Tarif
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp 50.000.000 5%

39
di atas Rp 50.000.000, s.d. Rp 15%
250.000.000
di atas Rp250.000.000, s.d. Rp 25%
500.000.000
di atas Rp 500.000.000 30%

Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 600.000.600.
untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 600.000.000,
Pajak Penghasilan yang terutang:
5% x Rp50.000.000, = Rp 2.500.000,
15% x Rp200.000.000, = Rp 30.000.000,
25% x Rp250.000.000, = Rp 62.500.000,
30% x Rp100.000.000, = Rp 30.000.000, (+)
Rp 600.000.000, Rp 125.000.000,

D. Kredit Pajak (Selain Kredit Pajak Luar Negeri)


Agar pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan mendekati jumlah pajak
yang akan terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, maka atas penghasilan
terutang diakhir tahun tersebut akan dikurangi dengan kredit pajak melalui:
1. Pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib
Pajak dari:
a. Pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Contoh adanya bukti 1721 A1 atas
pemotongan PPh Pasal 21 gaji dan THR yang dapat dikreditkan pada akhir
tahun.
b. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan
usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. Contoh pada
waktu melakukan impor, ada pemungutan PPh Pasal 22 Impor yang dapat
dikreditkan pada akhir tahun.
c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa,
hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23. Misalnya atas penghasilan sewa kendaraan, telah dilakukan
pemotongan PPh Pasal 23 dari pengguna sehingga dapat dikreditkan pada
akhir tahun.

2. Pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan
STP PPh Pasal 25 (hanya pokok pajak)
Pasal 25 merupakan jumlah PPh yang telah dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
selama Tahun Pajak yang bersangkutan berupa PPh Pasal 25 Tahun Pajak yang
bersangkutan termasuk jumlah pelunasan PPh yang terutang berdasarkan
penghitungan sementara dalam hal Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan
permohonan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan.
Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan
yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
pajak yang lalu dikurangi dengan:

40
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Kredit pajak ini juga termasuk jumlah PPh yang tercantum dalam Surat
Tagihan Pajak (STP) untuk Tahun Pajak yang bersangkutan termasuk Surat Tagihan
Pajak (STP) PPh Pasal 25 ayat (7) dari Pengusaha Tertentu yang menerima atau
memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan PPh yang bersifat final, tidak
termasuk sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
Contoh :
Pada STP tercantum hal-hal sebagai berikut :
Angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar = Rp 2.000.000
Telah dibayar = Rp 1.500.000 -/-
Kurang dibayar = Rp 500.000
Sanksi administrasi berupa bunga = Rp 20.000
Sanksi administrasi berupa denda = Rp 100.000 +/+
Jumlah yang harus dibayar = Rp 620.000
Yang dimasukkan sebagai kredit pajak adalah Rp 500.000 (hanya pokok pajak).
Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan merupakan angsuran
pembayaran pajak yang nantinya boleh diperhitungkan dengan cara mengkreditkan
terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan
pajak yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya, maka dapat diatur pelunasan pajak
dalam tahun berjalan yang bersifat final atas jenis-jenis penghasilan tertentu seperti
dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23. Pajak Penghasilan yang bersifat
final tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang,
misalnya ada pemotongan PPh atas penghasilan bunga deposito, sewa tanah dan/
bangunan, atau sebagai agen penyalur BBM. Daftar lengkap PPh final telah dibahas
pada bagian sebelumnya.
Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak ataupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan
terhadap pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.
Contoh:
Pajak Penghasilan yang terutang Rp 80.000.000,
Kredit pajak:
 Pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp 5.000.000,
 Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,
 Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp 20.000.000,
 Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000, (+)
Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp 45.000.000, (-)
Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar Rp 35.000.000,

Penjelasan detail tentang kredit pajak dari PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan
Pasal 26 telah dibahas pada mata kuliah Perpajakan I. Untuk pembahasan kredit
pajak luar negeri (PPh Pasal 24) dilakukan pada materi PPh Badan.

41
E. Perhitungan Pajak untuk WP OP secara Umum
Sistem pengenaan pajak orang pribadi menempatkan keluarga sebagai satu
kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga
digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban
pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Sehingga penghasilan anak yang belum
dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya.
Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber penghasilannya
dan apa pun sifat pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang tuanya dalam
tahun pajak yang sama. Yang dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah
anak yang belum berumur 18 tahun dan belum pernah menikah. Apabila seorang anak
belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah, menerima atau memperoleh
penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah atau
ibunya berdasarkan keadaan sebenarnya.
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun
pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian
suaminya dan dikenai Pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak
dilakukan dalam hal penghasilan istri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang
telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
• penghasilan istri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
• penghasilan istri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya
dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh:
Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp
100.000.000, mempunyai seorang istri yang menjadi pegawai dengan penghasilan
neto sebesar Rp 70.000.000. Apabila penghasilan istri tersebut diperoleh dari satu
pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut
tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya,
penghasilan neto sebesar Rp 70.000.000, tidak digabung dengan penghasilan A dan
pengenaan pajak atas penghasilan istri tersebut bersifat final.
Apabila selain menjadi pegawai, istri A juga menjalankan usaha, misalnya
salon kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp 80.000.000, seluruh
penghasilan istri sebesar Rp 150.000.000, (Rp 70.000.000, + Rp 80.000.000,)
digabungkan dengan penghasilan A. Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak
atas penghasilan neto sebesar Rp 250.000.000, (Rp100.000.000, + Rp 70.000.000, +
Rp 80.000.000,). Potongan pajak atas penghasilan istri tidak bersifat final, artinya
dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp
250.000.000, tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.
Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal
tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal
dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan dalam 5 tahun
sebelumnya dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali
penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja
yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut
tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota
keluarga lainnya.
Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan
besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada
dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak,

42
yaitu penghitungan dengan cara biasa dan penghitungan dengan menggunakan
Norma Penghitungan.

1. Cara Biasa
Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan,
Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan cara penghitungan biasa
dengan contoh sebagai berikut.
Jenis Jumlah
Peredaran bruto 6,000,000,000
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan 5,400,000,000
Laba usaha (penghasilan neto usaha) 600,000,000
Penghasilan lainnya 50,000,000
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan lainnya 30,000,000
Jumlah seluruh penghasilan neto 620,000,000
Kompensasi kerugian 10,000,000
Penghasilan Kena Pajak 610,000,000
PTKP K/2 (WP OP dengan status menikah dan 2 anak) 72,000,000
Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak orang pribadi) 538,000,000

2. Norma Penghitungan
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan
pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dengan contoh sebagai berikut.
Jenis Jumlah
Peredaran bruto 4,000,000,000
Penghasilan neto (menurut Norma Penghitungan) misalnya 20% 800,000,000
Penghasilan neto lainnya 5,000,000
Jumlah seluruh penghasilan neto 805,000,000
PTKP Wajib Pajak orang pribadi (istri + 2 anak) 72,000,000
Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak orang pribadi) 733,000,000

Mekanisme dan teori penggunaan norma diatur pada Bab VII PPh bagi OP
yang Menjalankan Pekerjaan Bebas (Nonpembukuan).

Sesuai Pasal 28 UU PPh, bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang
bersangkutan, berupa:
a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
b. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan
usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;
c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah
dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;

43
d. pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
e. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25;
f. pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(5).
Terhadap sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi
pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan pajak
yang terutang.
Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak ataupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan
terhadap pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.

Contoh 1:
Pajak Penghasilan yang terutang Rp 80.000.000,
Kredit pajak:
 Pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp 5.000.000,
 Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,
 Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp 5.000.000,
 Kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp 15.000.000,
 Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000, (+)
Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp 45.000.000, (-)
Pajak Penghasilan yang kurang (lebih) dibayar Rp 35.000.000,

Jika hasil dari perhitungan pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak
ternyata lebih besar daripada kredit pajak seperti contoh diatas, kekurangan
pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan. Sesuai Pasal 29 UU PPh, jangka waktu
untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang tersebut harus dibayar
sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan dan paling
lambat pada batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan. Apabila tahun
buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi paling
lambat tanggal 31 Maret bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 30 April bagi Wajib Pajak
badan setelah tahun Pajak berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama
dengan tahun kalender, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni,
kekurangan pajak wajib dilunasi paling lambat tanggal 30 September bagi Wajib Pajak
orang pribadi atau 31 Oktober bagi Wajib Pajak badan.

Contoh 2:
Pajak Penghasilan yang terutang Rp 80.000.000,
Kredit pajak:
 Pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp 20.000.000,
 Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 20.000.000,
 Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp 20.000.000,
 Kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp 20.000.000,
 Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000, (+)
Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp 90.000.000, (-)
Pajak Penghasilan yang kurang (lebih) dibayar (Rp 10.000.000)

44
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari
jumlah kredit pajak (ditandai dengan hasil negatif), maka sesuai Pasal 28A setelah
dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah
diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya.
Dalam penjelasan Pasal 28A disebutkan bahwa yang harus menjadi
pertimbangan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak
adalah:
a. kebenaran materiil tentang besarnya pajak penghasilan yang terutang;
b. keabsahan bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti potongan pajak serta bukti
pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama dan untuk tahun pajak yang
bersangkutan.
Oleh karena itu, untuk kepentingan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak atau
pejabat lain yang ditunjuk diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan atas
laporan keuangan, buku-buku, dan catatan lainnya serta pemeriksaan lain yang
berkaitan dengan penentuan besarnya pajak penghasilan yang terutang, kebenaran
jumlah pajak dan jumlah pajak yang telah dikreditkan dan untuk menentukan besarnya
kelebihan pembayaran pajak yang harus dikembalikan. Maksud pemeriksaan ini untuk
memastikan bahwa uang yang akan dibayar kembali kepada Wajib Pajak sebagai
restitusi itu adalah benar merupakan hak Wajib Pajak.
Terhadap status SPT yang menunjukkan lebih bayar, ada 2 mekanisme
pengajuan pengembalian melalui permohonan namun permohonan ini tidak berlaku
apabila kelebihan pembayaran berasal dari PPh yang ditanggung Pemerintah.

F. Status Kewajiban Suami Istri: KK, HB, PH, dan MT


Status kewajiban suami istri ditentukan sebagai berikut:
1. KK yaitu suami-istri yang tidak menghendaki untuk melaksanakan hak dan
memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah. Istri dalam melaksanakan hak
dan memenuhi kewajiban perpajakannya menggunakan NPWP suami atau kepala
keluarga.
2. HB yaitu penghasilan suami-istri dikenai pajak secara terpisah karena suami-istri
telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim.
3. PH yaitu penghasilan suami-istri dikenai pajak secara terpisah karena dikehendaki
secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan.
4. MT yaitu penghasilan suami-istri dikenai pajak secara terpisah karena dikehendaki
oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
sendiri.

Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan adalah penghasilan dari seluruh


anggota keluarga Wajib Pajak yang digabungkan sebagai satu kesatuan dan
pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh Wajib Pajak sebagai kepala keluarga.
Ini dikenal dengan isitilah kepala keluarga (KK). NPWP yang digunakan untuk
pelaporan dan pembayaran pajak hanya satu NPWP, termasuk untuk pemotongan
pajak istri dan anak.
Penghasilan suami-istri akan dikenai pajak secara terpisah apabila:
1. suami-istri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim (HB);
2. dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan
harta dan penghasilan (PH); atau

45
3. dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri (MT).
Atas ketiga keadaan tersebut, pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan
masing-masing oleh suami dan istri secara terpisah. Dalam hal ini, istri memiliki
kewajiban mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP sehingga menjadi Wajib Pajak
Orang Pribadi tersendiri.
Dalam hal suami-istri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim (HB),
PTKP bagi suami dan istri yang telah hidup berpisah diperlakukan seperti Wajib Pajak
tidak kawin (TK), sedangkan tanggungan sesuai dengan kenyataan sebenarnya yang
diperkenankan.
Besarnya Pajak Penghasilan yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-
istri dengan status perpajakan PH atau MT adalah Pajak Penghasilan berdasarkan
penggabungan penghasilan neto suami-istri yang kemudian dihitung secara
proporsional sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.
Apabila suami-istri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan
secara tertulis atau jika istri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan
penghasilan neto suami-istri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding
dengan besarnya penghasilan neto.
Apabila seorang anak yang belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah,
menerima atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan
penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan yang sebenarnya.
Khusus untuk penghasilan istri dari satu pemberi kerja sebagaimana diatur
dalam Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 21 Undang-Undang PPh, yaitu berupa gaji,
tunjangan dan imbalan lainnya yang diterima atau diperoleh istri sebagai karyawati
dari satu pemberi kerja yang telah dipotong PPh Pasal 21 perlakuan perpajakannya
bersifat final, sehingga penghasilan dan PPh Pasal 21 yang bersangkutan tidak
digabung dengan suami, namun dilaporkan dalam SPT suami dalam lampiran yang
final atau bersifat final.
Mekanisme dan syaratnya adalah sebagai berikut:
1. Istri melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya menggunakan
NPWP suami atau kepala keluarga (status perpajakan suami-istri adalah KK).
2. Semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah
dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga
lainnya.
Jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka perlakuan pajaknya digabung
dengan suami.

1. Contoh perhitungan Status Perkawinan KK:


Wajib Pajak A (K/3) memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar
Rp150.000.000, mempunyai seorang istri dari pekerjaan bebas dengan penghasilan
neto sebesar Rp100.000.000. NPWP hanya dimiliki oleh A. Jika status perkawinan
adalah KK, maka perhitungan pajaknya dilakukan sebagai berikut:
Penghitungan PPh terutang bagi suami-istri :
Penghasilan Neto suami 150,000,000
Penghasilan Neto istri 100,000,000
Jumlah penghasilan neto 250,000,000

46
PTKP (K/I/3) 126,000,000
Penghasilan Kena Pajak 124,000,000
PPh terutang:
5 % x Rp 50.000.000 2,500,000
15% x Rp74.000.000 11,100,000
Jumlah 13,600,000

2. Contoh perhitungan Status Perkawinan HB:


Wajib Pajak A memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp150.000.000,
mempunyai seorang istri dari pekerjaan bebas dengan penghasilan neto sebesar
Rp100.000.000. NPWP dimiliki oleh A yang berbeda dengan istri. Jika status
perkawinan Wajib Pajak berstatus hidup berpisah berdasarkan putusan hakim (HB)
dengan 3 orang anak yang semuanya ditanggung suami, maka perhitungan pajaknya
dilakukan sebagai berikut:
a. Penghitungan PPh terutang bagi suami :
Penghasilan Neto suami 150,000,000
PTKP (TK/3) 67,500,000
Penghasilan Kena Pajak 82,500,000
PPh terutang suami:
5 % x Rp 28.000.000 4,125,000
15% x Rp 32.500.000 4,875,000
Jumlah 9,000,000
b. Penghitungan PPh terutang bagi istri :
Penghasilan Neto istri 100,000,000
PTKP (TK/0) 54,000,000
Penghasilan Kena Pajak 46,000,000
PPh terutang istri :
5% x Rp46.000.000 2,500,000
Jumlah 2,500,000

3. Contoh perhitungan Status Perkawinan PH atau MT:


Wajib Pajak A (K/3) memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp
150.000.000, mempunyai seorang istri dari pekerjaan bebas dengan penghasilan neto
sebesar Rp 100.000.000. NPWP dimiliki oleh A yang berbeda dengan istri. WP A
mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis (PH) dengan
3 orang anak yang semuanya ditanggung suami, maka perhitungan pajaknya
dilakukan sebagai berikut:

Penghitungan PPh terutang : Suami Istri


Penghasilan Neto suami 150,000,000
Penghasilan Neto istri 100,000,000
Jumlah penghasilan neto 150,000,000 100,000,000

Jumlah penghasilan neto suami+istri 250,000,000


PTKP (K/I/3) 126,000,000

47
Penghasilan Kena Pajak 124,000,000
PPh terutang:
5 % x Rp 50.000.000 2,500,000
15% x Rp74.000.000 11,100,000
Jumlah 13,600,000

PPh Terutang ditanggung suami 8,160,000


(150.000.000/250.000.000)*13.600.000
PPh Terutang ditanggung istri 5,440,000
(100.000.000/250.000.000)*13.600.000

Penghasilan Sebagian Tahun Pajak

Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau
yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian
tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak.
Dapat terjadi orang pribadi menjadi Subjek Pajak tidak untuk jangka waktu satu
tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi Subjek Pajak pada
pertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-
lamanya pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun
pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang
terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak dihitung berdasarkan penghasilan
neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.
Contoh:
Orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai subjek
pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan dan dalam jangka waktu tersebut
memperoleh penghasilan sebesar Rp 159.540.000, maka penghitungan
Penghasilan Kena Pajaknya adalah sebagai berikut.
Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp 159.540.000,00
Penghasilan setahun sebesar:
(360 : (3x30)) x Rp159.540.000,00 = Rp 638.160.000,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp 54.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 584.160.000,00
Pajak Penghasilan setahun:
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 200.000.000,00 = Rp 30.000.000,00
25% x Rp250.000.000,00 = Rp 62.500.000,00
30%x Rp 84.160.000,00 = Rp 25.248.000,00 (+)
Rp 120.248.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun Pajak (3 bulan)
((3 x 30) : 360) x Rp 120.248.000,00 = Rp 30.062.000,00

Zakat dan Sumbangan Keagamaan yang Bersifat Wajib

Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang

48
diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah termasuk yang dikecualikan dari objek
pajak PPh.
Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto dengan syarat dibayarkan melalui badan/lembaga penerima
zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah. Jumlah zakat/ sumbangan keagamaan yang bersifat
wajib atas penghasilan yang menjadi objek pajak yang nyata-nyata dibayarkan oleh
Wajib Pajak Orang Pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sesuai dengan
bukti setoran yang sah (Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat
atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2010 tentang
Tata Cara Pembebanan Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib
yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-6/PJ/2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti
Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang
Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto serta Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan
oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan
Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-05/PJ/2019).

Contoh:

- Zakat atas penghasilan yang diperoleh dari gaji dan usaha:


Sdr. Ahmad adalah seorang pegawai dengan gaji Rp1.000.000/bulan. Disamping
itu dia mempunyai usaha dengan peredaran bruto setahun sebesar Rp7.000.000
(peredaran bruto tahun sebelumnya sebesar Rp5.000.000) dengan mempekerjakan
dua orang pegawai, dan digaji masing-masing Rp250.000/bulan dan membayar biaya
listrik sebesar Rp25.000/bulan.

Penghitungan zakat atas Sebagai Sebagai Jumlah


penghasilan Pegawai Pengusaha
Penghasilan Bruto 12.000.000 7.000.000 19.000.000
Biaya Jabatan/ Biaya Usaha 600.000 6.300.000 *) 6.900.000
Penghasilan Neto 11.400.000 700.000 12.100.000
Zakat atas Penghasilan 285.000 17.500 302.500

Catatan:
1. Zakat yang dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan adalah sebesar
Rp285.000.
2. Zakat sebesar Rp17.500 tidak dapat dijadikan pengurang penghasilan karena atas
penghasilan dari usaha dikenai pajak yang bersifat final berdasarkan Peraturan

49
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu.
*) Biaya Usaha sebesar Rp6.300.000 terdiri dari :
Gaji Pegawai Rp6.000.000 (12 x 2 x Rp250.000) dan
Biaya listrik Rp300.000 (12 x Rp25.000)

- Zakat atas penghasilan yang tidak teratur (hadiah, honor, dll).


Sdr. Muhammad menerima hadiah senilai Rp5.000.000 dan tidak ada
hubungannya dengan pekerjaan yang dilakukan.
Perhitungan zakat atas penghasilan :
Penghasilan yang tidak teratur = Rp 5.000.000
Zakat atas penghasilan 2,5 % x Rp5.000.000 = Rp 125.000
Catatan : Penghasilan dari hadiah tersebut tidak termasuk yang dikenakan PPh Final.

RINGKASAN

1) Ringkasan Perhitungan Penghasilan Neto (Tidak termasuk Penghasilan Final


atau bersifat Final)

No. Sumber Batas Pembukuan/ Perhitungan


Penghasilan Pencatatan Penghasilan
Neto
1. Usaha peredaran brutonya Pencatatan Norma
(Dagang, dalam satu tahun kurang Penghitungan
Industri, Jasa, dari Rp 4.800.000.000 Penghasilan
Usaha Lainnya) Neto
2. Usaha peredaran brutonya Pembukuan Penghasilan
(Dagang, dalam satu tahun Rp dikurangi
Industri, Jasa, 4.800.000.000 atau Beban fiskal
Usaha Lainnya) lebih
3. Pekerjaan bebas peredaran brutonya Pencatatan Norma
dalam satu tahun kurang Penghitungan
dari Rp 4.800.000.000 Penghasilan
Neto
4. Pekerjaan bebas peredaran brutonya Pembukuan Penghasilan
dalam satu tahun Rp dikurangi
4.800.000.000 atau Beban fiskal
lebih
5. Pekerjaan Pencatatan Penghasilan
dikurangi
pengurang
(Biaya
Jabatan, iuran
pensiun)
6. Dalam Negeri Contoh: bunga, royalti, Penghasilan
Lainnya Sewa, penghargaan/ neto
(nonfinal) hadiah, capital gain, Ph.
lainnya.

50
7. Penghasilan Penghasilan
Neto Luar Negeri neto

2) Cara Perhitungan PPh Kurang (Lebih) Bayar untuk Orang Pribadi:

1. Penghasilan Neto xxx


2. Zakat/Sumbangan Keagamaan Wajib xxx -
3. Ph. neto setelah zakat/sumbangan keagamaan xxx
4. Kompensasi kerugian xxx -
5. Ph. neto setelah kompensasi kerugian xxx
6. PTKP (K/0) xxx -
7. Penghasilan Kena Pajak (PhKP) xxx
8. PPh Terutang (tarif x PhKP) xxx
9. Kredit Pajak : a. dipotong/pungut pihak lain xxx -
PPh yang harus dibayar sendiri (lebih dipotong) xxx
b. PPh yang dibayar sendiri (PPh Pasal 25) xxx -
10. PPh Kurang (Lebih) Bayar xxx

LATIHAN/PENUGASAN

Latihan

1) Tn A duda dengan anak 1 menikah lagi pada tanggal 20 Desember 2019.


Istrinya tidak bekerja. Anak kedua lahir tanggal 2 Januari 2020. Pernyataan yang
benar tentang besarnya PTKP tahun pajak 2019 adalah....
a. TK/1
b. TK/2
c. K/1
d. K/2

2) Yang dapat menjadi tanggungan dalam Penghasilan Tidak Kena Pajak


adalah....
a. mertua tidak berpenghasilan
b. adik kandung yang cacat mental
c. anak angkat yang dibiayai sebagian
d. anak yang sudah menikah dan berpenghasilan

3) Yang bisa menjadi kredit pajak bagi orang pribadi adalah ....
a. pemotongan PPh atas honorarium yang dibayarkan pemerintah kepada
PNS
b. pembayaran pokok STP PPh Pasal 25
c. pemotongan PPh Pasal 22 atas usaha SPBU Pertamina
d. pembayaran PPh sebesar 0,5% dari omzet

51
4) Wanita kawin yang memilih menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
secara terpisah dari suaminya....
a. dalam menghitung PPh terutang istri, tidak memperhitungkan penghasilan
neto suami
b. kredit pajak suami diperhitungkan untuk menghitung PPh Kurang (Lebih)
Bayar istri
c. tidak boleh mengurangkan zakat/sumbangan keagamaan yang bersifat wajib
d. cara perhitungan pajaknya sama dengan keluarga yang melakukan perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis

5) Pak Ahmad adalah seorang aktuaris yang membuka kantor di Tebet. Istrinya
merupakan pegawai pada kantor tersebut dan atas gajinya dipotong PPh Pasal
21 oleh suaminya. Pernyataan yang benar atas hal tersebut adalah ….
a. Gaji Bu Ahmad bersifat final terhadap penghasilan keluarga Pak Ahmad
b. PPh Pasal 21 Bu Ahmad tidak bisa menjadi kredit pajak keluarga Pak Ahmad
c. Gaji Bu Ahmad digabungkan dengan penghasilan Pak Ahmad dan
dikenakan pajak akhir tahun
d. Gaji Bu Ahmad digabungkan dengan penghasilan Pak Ahmad dan
dikenakan pajak akhir tahun, tetapi PPh Pasal 21 Bu Ahmad tidak bisa
menjadi kredit pajak

6) Dalam hal terdapat seorang istri yang bekerja lebih dari satu pemberi kerja
maka dalam SPT Tahunan PPh OP keluarga tersebut, penghasilan tersebut
dikelompokkan dalam bagian ….
a. Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final dan/atau Bersifat Final
b. Penghasilan Neto Dalam Negeri Sehubungan dengan Pekerjaan
c. Penghasilan Neto Dalam Negeri dari Usaha dan/atau Pekerjaan Bebas
d. Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya

7) Mertua dapat menjadi tanggungan dalam penghasilan tidak kena pajak (PTKP),
karena….
a. hubungan sedarah ke samping
b. hubungan sedarah garis lurus
c. hubungan semenda ke samping
d. hubungan semenda garis lurus

8) Jika wajib pajak memiliki penghasilan kena pajak sejumlah Rp600.000.000,00


maka besarnya PPh terutang menurut tarif pasal 17 UU PPh adalah ….
a. Rp100.000.000,00
b. Rp105.000.000,00
c. Rp125.000.000,00
e. Rp130.000.000,00

9) Tuan Badu adalah seorang karyawan swasta, bekerja pada perusahaan


telekomunikasi di Jakarta. Istrinya adalah karyawati UNICEF di Jakarta. Istri
Tuan Badu memperoleh penghasilan berupa gaji dan tunjangan-tunjangan
berwujud kas (benefit-in-cash) dan berupa kenikmatan/natura (benefit-in-kind).
Bila status kewajiban perpajakan suami-istri tersebut adalah KK, maka
pernyataan yang benar adalah ….

52
a. penghasilan istri tidak digabungkan dengan penghasilan suami, sebab istri
memperoleh penghasilan hanya dari satu pemberi kerja
b. hanya penghasilan istri berupa benefit-in-kind yang digabung dengan
penghasilan suami
c. hanya penghasilan istri berupa benefit-in-cash yang digabung dengan
penghasilan suami
d. seluruh penghasilan istri baik berupa benefit-in-cash maupun benefit-in-kind
(yang dapat dinilai dengan uang), digabung dengan penghasilan suami

10) Status kewajiban perpajakan yang mewajibkan masing-masing suami/istri


memiliki NPWP sendiri-sendiri yang berbeda adalah ….
a. kepala keluarga
b. pisah harta dan penghasilan
c. hidup berpisah karena tugas
d. istri meninggal

Video tutorial materi ini dapat dilihat di KLC dengan link sebagai berikut:

https://klc.kemenkeu.go.id/pknstan-jenis-penghasilan-dalam-perhitungan-pph-
orang-pribadi/

https://klc.kemenkeu.go.id/pknstan-penghitungan-angsuran-pph-pasal-25-orang-
pribadi/

https://klc.kemenkeu.go.id/pknstan-perhitungan-pph-orang-pribadi/

---Q---

53
PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI
PENGHASILAN DARI PEKERJAAN (KARYAWAN)
S.D. Rp 60 JUTA DAN SPT 1770 SS

Tujuan Pembelajaran:
Pada bab ini mahasiswa mampu:
1. membedakan jenis formulir SPT Tahunan untuk Orang Pribadi
2. menghitung Pajak Penghasilan Akhir Tahun bagi WP OP dengan penghasilan
dari pekerjaan dengan penghasilan bruto tidak melebihi Rp60 juta
3. mengisi SPT Tahunan PPh OP (Formulir 1770 SS)
4. menghitung PPh jika status kewajiban perpajakan PH/MT BAB

Penghasilan

Bukan Objek Objek Pajak

Final/Bersifat Penghasilan Pekerjaan Usaha


final Neto DN lain

s.d. 60 juta > 60 juta Pekerjaan


Bebas

GAMBAR IV.4 SKEMA SPT 1770 SS

54
A. Jenis Formulir SPT Tahunan PPh OP
Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disingkat SPT adalah surat yang oleh
Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak,
objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. SPT Tahunan
adalah SPT untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut SPT Tahunan PPh adalah SPT
PPh untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak, yang meliputi SPT Tahunan
Orang Pribadi dan SPT Tahunan Badan.
SPT Tahunan PPh Orang Pribadi berbentuk:
1. dokumen elektronik; atau
2. formulir kertas (hardcopy).
Wajib Pajak orang pribadi wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun
Pajak.
Berikut jenis formulir SPT Tahunan Orang Pribadi:

Jenis Persyaratan
1770 Dari usaha/pekerjaan bebas;
Dari satu atau lebih pemberi kerja;
Yang dikenakan PPh Final dan/atau bersifat final; dan/atau
Dalam negeri lainnya/luar negeri;
1770 S . dari satu atau lebih pemberi kerja;
. dalam negeri lainnya; dan/atau
. yang dikenakan Pajak Penghasilan final dan/atau bersifat final
1770 SS mempunyai penghasilan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas;
jumlah penghasilan bruto tidak lebih dari Rp60.000.000; setahun

Dalam bab ini akan digunakan Formulir 1770 SS untuk pajak penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan dengan jumlah penghasilan bruto tidak lebih dari
Rp60.000.000 (enam puluh juta rupiah) setahun, Batasan penghasilan bruto tersebut
meliputi keseluruhan penghasilan selain penghasilan dari usaha dan/atau pekerjaan
bebas. Penghasilan dari pekerjaan dapat bersumber dari satu atau lebih pemberi
kerja.
SPT diisi dengan lengkap dan sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau
dokumen yang dipersyaratkan sebagai berikut:

TABEL I.1 DAFTAR LAMPIRAN SPT 1770 SS

No. Jenis Lampiran Formulir 1770 SS Keterangan


1 Bukti pembayaran PPh Pasal 29 dan/atau Bukti terdapat kurang bayar
Pemindahbukuan, Surat Setoran Pajak, atau
sarana administrasi lain.
2 Surat Kuasa Khusus (Konsultan Pajak) dilampiri SPT ditandatangani oleh
dengan: kuasa yang merupakan
Fotokopi kartu izin praktik konsultan pajak; konsultan pajak
Surat pernyataan sebagai konsultan pajak;
Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak
konsultan pajak;

55
Fotokopi Tanda terima SPT tahunan konsultan
pajak.
3 Surat Kuasa Khusus (Karyawan WP) dilampiri SPT ditandatangani oleh
dengan: kuasa yang merupakan
Sertifikat brevet/ijazah pendidikan formal karyawan Wajib Pajak
perpajakan/sertifikat konsultan pajak;
Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak
Karyawan WP;
Fotokopi tanda terima SPT Tahunan Karyawan
WP;
Fotokopi daftar karyawan tetap di SPT Masa PPh
Pasal 21.

Kewajiban penyampaian keterangan dan/atau dokumen dikecualikan bagi


SPT Tahunan 1770 S dan SPT Tahunan 1770 SS dengan status Nihil atau Kurang
Bayar yang disampaikan melalui e-Filing.

B. Menghitung PPh Akhir Tahun WP OP Karyawan dengan penghasilan


bruto ≤ Rp 60 juta
Dalam menghitung PPh akhir tahun WP OP karyawan, penghasilan dari
pekerjaan dapat bersumber dari satu atau lebih pemberi kerja. Batasan penghasilan
bruto tersebut meliputi keseluruhan penghasilan selain penghasilan dari usaha
dan/atau pekerjaan bebas. Penghasilan neto dalam negeri lainnya di antaranya
meliputi royalti, sewa selain sewa tanah dan/atau bangunan, hadiah perlombaan.
Penghasilan neto ini tidak mencakup PPh Final dan yang bukan Objek Pajak.
Dalam hal Wajib Pajak telah kawin, penghasilan dimaksud adalah penghasilan
dari seluruh anggota keluarga Wajib Pajak, tetapi tidak termasuk penghasilan istri
yang semata-mata diterima atau diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah dipotong
PPh Pasal 21, apabila pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh Wajib Pajak
sebagai kepala keluarga (KK).
Susunan penghitungannya adalah sebagai berikut:
Penghasilan Bruto dalam Negeri Sehubungan dengan Pekerjaan dan (1)
Penghasilan Netto dalam Negeri Lainnya
Pengurangan (Diisi jumlah pengurangan dari Formulir 1721-A1 atau 1721- (2)
A2)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (3)
Penghasilan Kena Pajak ( 1 - 2 - 3 ) (4)
Pajak Penghasilan Terutang (5)
Pajak Penghasilan yang telah Dipotong oleh Pihak Lain (6)
Pajak Penghasilan yang harus Dibayar Sendiri * (7a)
Pajak Penghasilan yang Lebih Dipotong (7b)

Jumlah penghasilan bruto dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan dapat


diisi dengan jumlah penghasilan bruto yang tercantum pada bukti pemotongan PPh
1721-A1 angka 8 atau 1721-A2 angka 11 atau bukti pemotongan PPh Pasal 21 (tidak
final). Apabila Wajib Pajak memperoleh penghasilan lebih dari satu pemberi kerja
maka dilakukan penjumlahan dari keseluruhan penghasilan bruto yang tercantum
pada setiap bukti pemotongan PPh Pasal 21 yang diterimanya. (1)

56
Selanjutnya dilakukan pengurangan atas penghasilan bruto dalam negeri
sehubungan dengan pekerjaan yang meliputi biaya jabatan, biaya pensiun serta iuran
pensiun dan iuran THT yang dibayarkannya oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Dapat diisi dengan jumlah pengurangan yang tercantum pada bukti pemotongan PPh
1721-A1 atau 1721-A2. (2)
Setelah itu dilakukan pengurangan sesuai PTKP yang tercantum pada bukti
pemotongan PPh 1721-A1 atau 1721-A2. Khusus untuk PTKP bagi masing-masing
suami-istri yang telah hidup berpisah (HB) untuk diri masing-masing Wajib Pajak
diperlakukan seperti Wajib Pajak Tidak Kawin sedangkan tanggungan sesuai dengan
kenyataan sebenarnya yang diperkenankan. (3)
Hasil penghitungan akan menghasilkan penghasilan kena pajak. Untuk
keperluan penghitungan tarif pajak, jumlah penghasilan kena pajak dibulatkan ke
bawah dalam ribuan rupiah penuh. (4)
Selanjutnya adalah menghitung Pajak Penghasilan Terutang (PPh Terutang)
dengan penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas Penghasilan Kena
Pajak. (5)
Setelah itu dilakukan penyandingan dengan jumlah Pajak Penghasilan yang
sudah dipotong yang tercantum pada bukti pemotongan PPh 1721-A1 angka 20,
1721-A2 angka 23 dan/atau bukti pemotongan PPh Pasal 21 (yang tidak bersifat final).
(6)
Hasilnya adalah:
• Nihil jika Pajak Penghasilan Terutang (PPh Terutang) = jumlah Pajak Penghasilan
yang sudah dipotong.
• Kurang Bayar (Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri) jika Pajak
Penghasilan Terutang (PPh Terutang) > jumlah Pajak Penghasilan yang sudah
dipotong. (7a)
• Lebih Bayar (Pajak Penghasilan yang lebih dipotong) jika Pajak Penghasilan
Terutang (PPh Terutang) < jumlah Pajak Penghasilan yang sudah dipotong. (7b)

C. WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami-istri PH atau MT


Dalam hal Wajib Pajak telah kawin, namun:
1. dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan
harta dan penghasilan (PH); atau
2. dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri (MT).
pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan masing-masing oleh suami dan istri secara
terpisah. Dalam hal ini, istri memiliki kewajiban mendaftarkan diri untuk diberikan
NPWP sehingga menjadi Wajib Pajak Orang Pribadi tersendiri.
Suami-istri yang mempunyai penghasilan selain dari usaha dan/atau pekerjaan
bebas dengan jumlah penghasilan bruto tidak lebih dari Rp60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah) setahun, namun memiliki status perpajakan PH atau MT wajib
melaporkan penghasilan dan penghitungan Pajak Penghasilan dengan menggunakan
Fomulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 1770 S, bukan menggunakan Formulir SPT
Tahunan PPh Orang Pribadi 1770 SS ini.

D. Mengisi SPT Tahunan dengan Formulir 1770 SS


Berikut contoh pengisian SPT Tahunan dengan Formulir 1770 SS:

57
Budi bekerja sebagai pegawai tetap di PT. ABC memperoleh penghasilan
bruto sebesar Rp 58.000.000; status TK/0 mulai bekerja sejak awal tahun. Berikut
bukti pemotongan PPh Pasal 21 A1 dari perusahaan. Selain itu Budi juga memiliki
sebuah sepeda motor yang diperoleh secara kredit pada awal tahun 2018 seharga Rp
15.000.000; saldo kredit pada akhir tahun 2018 adalah sebesar Rp 10.000.000;
Diminta: Isikan dalam formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Fomulir 1770 SS.

Penghasilan Bruto dalam Negeri Sehubungan dengan Pekerjaan dan 58.000.000


Penghasilan Netto dalam Negeri Lainnya
Pengurangan (Diisi jumlah pengurangan dari Formulir 1721-A1 atau 2.900.000
1721-A2)
Penghasilan Tidak Kena Pajak 54.000.000
Penghasilan Kena Pajak ( 1 - 2 - 3 ) 1.100.000
Pajak Penghasilan Terutang 55.000
Pajak Penghasilan yang telah Dipotong oleh Pihak Lain 55.000
Pajak Penghasilan yang harus Dibayar Sendiri * 0
Pajak Penghasilan yang Lebih Dipotong 0

58
area staples

BUKTI PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21


BAGI PEGAWAI TETAP ATAU PENERIMA PENSIUN ATAU FORMULIR 1721 - A1
TUNJANGAN HARI TUA/ JAMINAN HARI TUA BERKALA Lembar 1 : Untuk Penerima Penghasilan
Lembar 2 : Untung Pemotong

KEMENTERIAN KEUANGAN RI MASA PEROLEHAN PENGHASILAN


[mm - mm]
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
NOMOR : H.01 1. 1- 12 - 1 8 - 0000001 H.02 01 - 12

NPWP
- -
PEMOTONG : H.03 01 . 234 . 567 . 8 701 000
NAMA
PEMOTONG : H.04 PT. ABC

A. IDENTITAS PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG


1 NPWP : A.01 0 1 . 000 . 000 . 8 - 123 . 000 6 STATUS / JUMLAH TANGGUNGAN KELUARGA UNTUK PTKP
2 NIK/NO : 1234567891012 K/ - A.07 TK/ 0 A.08 HB/ - A.09
PASPOR A.02
3 NAMA : A.03 BUDI 7 NAMA JABATAN :
A.10
SATPAM
4 ALAMAT :
A.04 BANDUNG 8 KARYAWAN ASING : A.11 - TIDAK
9 KODE NEGARA DOMISILI :
A.12
5 JENIS KELAMIN : A.05 X LAKI-LAKI A.06 PEREMPUAN

B. RINCIAN PENGHASILAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 21


URAIAN JUMLAH (Rp)
KODE OBJEK PAJAK : X 21-100-01 21-100-02

PENGHASILAN BRUTO

1. GAJI/PENSIUAN ATAU THT/JHT 51,000,000


2. TUNJANGAN PPh -
3. TUNJANGAN LAINNYA. UANG LEMBUR DAN SEBAGAINYA 4,000,000
4. HONORARIUM DAN IMBALAN LAIN SEJENISNYA 500,000
5. PREMI ASURANSI YANG DIBAYARKAN PEMBERI KERJA 500,000
6. PENERIMAAN DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN LAINNYA YANG DIKENAKAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 -
7. TANTIEM, BONUS, GRATIFIKASI, JASA PRODUKSI DAN THR 2,000,000
8. JUMLAH PENGHASILAN BRUTO (1 S.D. 7) 58,000,000
PENGURANGAN

9. BIAYA JABATAN/BIAYA PENSIUN 2,900,000


10. IURAN PENSIAUN ATAU IURAN THT/JHT -
11. JUMLAH PENGURANGAN ( 9 S.D. 10) 2,900,000
PENGHITUNGAN PPh PASAL 21

12. JUMLAH PENGHASILAN NETTO (8 - 11) 55,100,000


13. PENGHASILAN NETO MASA PAJAK SEBELUMNYA -
14. JUMLAH PENGHASILAN NETO UNTUK PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 (SETAHUN/DISETAHUNKAN) 55,100,000
15. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP) 54,000,000
16. PENGHASILAN KENA PAJAK SETAHUN/DISETAHUNKAN (14 - 15) 1,100,000
17. PPh PASAL 21 ATAS PENGJASILAN KENA PAJAK SETAHUN/DISETAHUNKAN 55,000
18. PPh PASAL 21 YANG TELAH DIPOTONG MASA PAJAK SEBELUMNYA -
19. PPh PASAL 21 TERUTANG 55,000
20. PPh PASAL 21 DAN PPh PASAL 26 YANG TELAH DIPOTONG DAN DILUNAS 55,000

C. IDENTITAS PEMOTONG

1. NPWP : C.01 01 . 000 . 000 . 8 - 999 - 000 3. TANGGAL & TANDA TANGAN

2. NAMA : C.02 LULEBAY 3 1 0 1 2 0 1 9


L ulebay
[dd - mm - yyyy]

59
1770 SS
KEMENTERIAN KEUANGAN RI TAHUN PAJAK
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK H.03 2 0 1 8
PERHATIAN :
SPT TAHUNAN
PAJAK PENGHASILAN DIISI OLEH PETUGAS KPP
▪ SEBELUM MENGISI BACA DAHULU PETUNJUK PENGISIAN
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI BARCODE DITEMPEL DISINI
▪ ISI DENGAN HURUF CETAK/DIKETIK DENGAN TINTA HITAM

▪ BERI TANDA 'X' PADA (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI H.01 SPT PEMBETULAN KE H.02 - ….
WAJIB PAJAK
IDENTITAS

NPWP I.01 : 010000008 - 123 - 000

NAMA WAJIB PAJAK I.02 :


BUDI

Pengisian kolom-kolom yang berisi nilai rupiah harus tanpa nilai desimal
A. PAJAK PENGHASILAN

1 Penghasilan Bruto dalam Negeri Sehubungan dengan Pekerjaan dan Penghasilan Netto dalam Negeri Lainnya 1 A.01 58,000,000

2 Pengurangan
2 A.02 2,900,000
(Diisi jumlah pengurangan dari Formulir 1721-A1 angka 13 atau 1721-A2 angka 13)

TK/ K/ K/I/
3 Penghasilan Tidak Kena Pajak A.03
0 A.04
- A.05
- 3 A.06 54,000,000
(Diisi jumlah PTKP dari Formulir 1721-A1 angka 17 atau 1721-A2 angka 16)

4 Penghasilan Kena Pajak ( 1 - 2 - 3 ) 4 A.07 1,100,000

5 Pajak Penghasilan Terutang 5 A.08 55,000

6 Pajak Penghasilan yang telah Dipotong oleh Pihak Lain 6 A.09 55,000

7 a. A.10 Pajak Penghasilan yang harus Dibayar Sendiri *


(5-6) 7 A.12 -
b. A.11
Pajak Penghasilan yang Lebih Dipotong

B PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK

8 Dasar Pengenaan Pajak/Penghasilan Bruto Pajak Penghasilan Final 8 B.01 -

9 Pajak Penghasilan Final Terutang 9 B.02 -

10 Penghasilan yang Dikecualikan dari Objek Pajak 10 B.03

C DAFTAR HARTA DAN KEWAJIBAN

11 Jumlah Keseluruhan Harta yang Dimiliki pada Akhir Tahun Pajak 11 C.01 15,000,000

12 Jumlah Keseluruhan Kewajiban/Utang pada Akhir Tahun Pajak 12 C.02 10,000,000

PERNYATAAN

Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Saya menyatakan bahwa apa yang telah saya beritahukan di atas adalah benar, lengkap, jelas.

P.01 02
dd
- 01
mm
- 2019
yyyy
B udi
TANDA TANGAN

RINGKASAN

1) SPT 1770 SS ini adalah formulir untuk WP yang mempunyai penghasilan selain
dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dengan jumlah penghasilan bruto tidak
lebih dari Rp60.000.000 setahun.

60
2) Yang dimaksud penghasilan bruto di atas adalah penghasilan selain yang final
dan selain bukan objek pajak. Pada SPT 1770 SS adalah pada angka A1.
3) Apabila Wajib Pajak Karyawan mempunyai status PH atau MT, mereka tidak
boleh menggunakan Formulir 1770 SS, melainkan menggunakan formulir 1770
S.
4) Ringkasan pemberlakuan formulir dan petunjuk pengisian SPT Tahunan
Jenis Formulir Dasar Hukum
Formulir 1770 SS Lampiran V: PER - 36/PJ/2015
Formulir 1770 S Lampiran III: PER - 19/PJ/2014
Petunjuk Pengisian 1770 S Lampiran IV: PER - 36/PJ/2015
Formulir 1770 Lampiran I: PER - 19/PJ/2014
Petunjuk Pengisian 1770 Lampiran II: PER - 36/PJ/2015
Formulir 1771 Rp Lampiran VI: PER - 19/PJ/2014
Formulir 1771 $ Lampiran VII: PER - 19/PJ/2014
Petunjuk Pengisian 1771 Lampiran VIII: PER - 19/PJ/2014

LATIHAN/PENUGASAN

Latihan

Informasi ini berlaku untuk dua soal di bawah ini (Soal 1 dan 2).
Sebuah pasangan (suami-istri) mendapatkan penghasilan sebagai
karyawan/karyawati dengan penghasilan setahun masing-masing sebesar
Rp40.000.000,00.
1) Pernyataan yang benar terkait kasus di atas jika keluarga tersebut berstatus
kewajiban perpajakan KK adalah ….
a. SPT 1770SS boleh digunakan untuk keluarga tersebut
b. Hanya SPT 1770S yang dapat digunakan untuk keluarga tersebut
c. SPT yang tepat adalah 1770
d. SPT 1770S tidak boleh digunakan

2) Jika status kewajiban perpajakan pada kasus di atas adalah PH, pernyataan
yang benar adalah ….
a. SPT 1770S tidak dapat digunakan
b. SPT 1770S atau 1770 SS dapat digunakan
c. SPT 1770SS dan 1770 dapat digunakan
d. SPT 1770SS tidak dapat digunakan

3) Keluarga dengan total penghasilannya setahun sejumlah Rp55.000.000;


dengan status MT maka SPT yang dipakai….
a. tidak boleh menggunakan 1770 SS
b. harus menggunakan 1770 SS
c. harus menggunakan 1770
d. tidak boleh menggunakan 1770 S

4) Tn Abdi bekerja sebagai PNS dengan penghasilan setahun 30.000.000; istri


juga PNS dengan penghasilan 25.000.000; Jika status kewajiban

61
perpajakannya adalah MT dan memiliki NPWP terpisah, pernyataan yang
benar adalah….
a. SPT 1770S tidak dapat digunakan
b. SPT 1770S atau 1770 SS dapat digunakan
c. SPT 1770SS dan 1770 dapat digunakan
d. SPT 1770SS tidak dapat digunakan

5) Yang tidak ada dalam formulir SPT 1770 SS adalah….


a. Penghasilan Bruto
b. Pengurang Penghasilan Bruto
c. Zakat
d. PTKP

Tugas

Aisyah bekerja sebagai pegawai tidak tetap di PT. ABC memperoleh


penghasilan bruto sebesar Rp 59.500.000; status TK/0 mulai bekerja sejak awal
tahun. Berikut bukti pemotongan PPh Pasal 21 A1 dari perusahaan. Selain itu
Aisyah juga memiliki tanah warisan yang disewakan. Nilai tanah tersebut sebesar
Rp 100.000.000; selama tahun 2018 tanah tersebut disewakan dengan penghasilan
bruto sebesar Rp 20.000.000; dengan pajak final Pasal 4(2) yang telah dipotong
sebesar 10%.
1) Isi tabel berikut ini:
Penghasilan Bruto dalam Negeri Sehubungan dengan ……………..
Pekerjaan dan Penghasilan Netto dalam Negeri Lainnya
Pengurangan (Diisi jumlah pengurangan dari Formulir 1721- ……………..
A1 atau 1721-A2)
Penghasilan Tidak Kena Pajak ……………..
Penghasilan Kena Pajak ( 1 - 2 - 3 ) ……………..
Pajak Penghasilan Terutang ……………..
Pajak Penghasilan yang telah Dipotong oleh Pihak Lain ……………..
Pajak Penghasilan yang harus Dibayar Sendiri * ……………..
Pajak Penghasilan yang Lebih Dipotong ……………..

2) Diminta: Isikan dalam formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Fomulir 1770
SS.

Video tutorial pengisian SPT ini dapat dilihat di KLC dengan link sebagai
berikut:
https://klc.kemenkeu.go.id/pknstan-pengisian-spt-tahunan-pph-orang-pribadi-
latihan-contoh-kasus/

62
area staples

BUKTI PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21


BAGI PEGAWAI TETAP ATAU PENERIMA PENSIUN ATAU FORMULIR 1721 - A1
TUNJANGAN HARI TUA/ JAMINAN HARI TUA BERKALA Lembar 1 : Untuk Penerima Penghasilan
Lembar 2 : Untung Pemotong

KEMENTERIAN KEUANGAN RI MASA PEROLEHAN PENGHASILAN


[mm - mm]
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
NOMOR : H.01 1. 1- 12 - 1 8 - 0000002 H.02 01 - 12

NPWP
- -
PEMOTONG : H.03 01 . 234 . 567 . 8 701 000
NAMA
PEMOTONG : H.04 PT. ABC

A. IDENTITAS PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG


1 NPWP : A.01 0 5 . 000 . 000 . 8 - 123 . 000 6 STATUS / JUMLAH TANGGUNGAN KELUARGA UNTUK PTKP
2 NIK/NO : 3214544547 K/ - A.07
TK/ 0 A.08 HB/ - A.09
PASPOR A.02
3 NAMA : A.03 AISYAH 7 NAMA JABATAN :
A.10
PENGAWAS TAMPUNGAN
4 ALAMAT :
A.04 JAKARTA 8 KARYAWAN ASING : A.11 - TIDAK
9 KODE NEGARA DOMISILI :
A.12
5 JENIS KELAMIN : A.05 LAKI-LAKI A.06 PEREMPUAN
X

B. RINCIAN PENGHASILAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 21


URAIAN JUMLAH (Rp)
KODE OBJEK PAJAK : X 21-100-01 21-100-02
PENGHASILAN BRUTO

1. GAJI/PENSIUAN ATAU THT/JHT 40,000,000


2. TUNJANGAN PPh -
3. TUNJANGAN LAINNYA. UANG LEMBUR DAN SEBAGAINYA 10,000,000
4. HONORARIUM DAN IMBALAN LAIN SEJENISNYA 6,000,000
5. PREMI ASURANSI YANG DIBAYARKAN PEMBERI KERJA -
6. PENERIMAAN DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN LAINNYA YANG DIKENAKAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 -
7. TANTIEM, BONUS, GRATIFIKASI, JASA PRODUKSI DAN THR 3,500,000
8. JUMLAH PENGHASILAN BRUTO (1 S.D. 7) 59,500,000
PENGURANGAN

9. BIAYA JABATAN/BIAYA PENSIUN -


10. IURAN PENSIAUN ATAU IURAN THT/JHT -
11. JUMLAH PENGURANGAN ( 9 S.D. 10) -
PENGHITUNGAN PPh PASAL 21

12. JUMLAH PENGHASILAN NETTO (8 - 11) 59,500,000


13. PENGHASILAN NETO MASA PAJAK SEBELUMNYA -
14. JUMLAH PENGHASILAN NETO UNTUK PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 (SETAHUN/DISETAHUNKAN) 59,500,000
15. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP) 54,000,000
16. PENGHASILAN KENA PAJAK SETAHUN/DISETAHUNKAN (14 - 15) 5,500,000
17. PPh PASAL 21 ATAS PENGJASILAN KENA PAJAK SETAHUN/DISETAHUNKAN 275,000
18. PPh PASAL 21 YANG TELAH DIPOTONG MASA PAJAK SEBELUMNYA -
19. PPh PASAL 21 TERUTANG 275,000
20. PPh PASAL 21 DAN PPh PASAL 26 YANG TELAH DIPOTONG DAN DILUNAS 275,000

C. IDENTITAS PEMOTONG

1. NPWP : C.01
01 . 000 . 000 . 8 - 999 - 000 3. TANGGAL & TANDA TANGAN

2. NAMA : C.02 LULEBAY 3 1 0 1 2 0 1 9


L ulebay
[dd - mm - yyyy]

---Q---

63
PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI
PENGHASILAN DARI PEKERJAAN (KARYAWAN)
LEBIH DARI Rp 60 JUTA DAN SPT 1770 S

Tujuan Pembelajaran:
Pada bab ini mahasiswa mampu:
1. menghitung Pajak Penghasilan Akhir Tahun bagi WP OP dengan penghasilan
dari pekerjaan dengan penghasilan bruto lebih dari Rp60 juta
2. mengisi SPT Tahunan PPh OP (Formulir 1770 S)
3. menghitung PPh jika status kewajiban perpajakan PH/MT
BAB

Penghasilan

Bukan Objek Objek Pajak

Penghasilan
Final/Bersifat Pekerjaan Usaha
Neto lain

Pekerjaan
s.d. 60 juta > 60 juta Bebas

GAMBAR V.5 SKEMA SPT 1770 S

64
A. Menghitung PPh Akhir Tahun WP OP Karyawan dengan penghasilan bruto
lebih dari Rp60 juta
Pada akhir tahun, WP OP menghitung seluruh penghasilan serta rincian
angsuran PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri dan
anggota keluarganya berupa pemotongan/pemungutan oleh pihak lain dan PPh yang
ditanggung Pemerintah yang diperhitungkan sebagai kredit pajak.
Jenis penghasilan neto yang dihitung pada akhir tahun meliputi:
No. Jenis Pajak Keterangan
1. Penghasilan Neto dalam Jumlah akumulasi jumlah penghasilan neto pada
Negeri Sehubungan setiap Formulir 1721-A1 dan/atau 1721-A2 PPh
dengan Pekerjaan Pasal 21 atau Bukti Potong Lain.
2. Penghasilan Neto dalam Jumlah akumulasi besarnya penghasilan neto
Negeri Lainnya dalam negeri lainnya seperti bunga, royalti, sewa,
penghargaan dan hadiah, keuntungan dari
penjualan/pengalihan harta dan penghasilan
lainnya yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
sendiri dan anggota keluarganya dalam Tahun
Pajak yang bersangkutan (tidak termasuk PPh
final dan bukan objek)
3. Penghasilan Neto Luar Jumlah yang diterima/diperoleh di luar negeri
Negeri berasal dari beberapa negara.

Jenis penghasilan neto dan bukti pemotongan/pemungutan sebagai berikut:


No. Jenis Pajak Jenis Penghasilan
1. PPh Pasal 21 PPh yang telah dipotong oleh pemotong PPh Pasal 21
dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, baik terhadap
Wajib Pajak sendiri maupun terhadap istri Wajib Pajak yang
bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja, dan anak/anak
angkat yang belum dewasa dikutip dari Formulir 1721-A1
Angka 21 dan/atau dari Formulir 1721-A2 dan/atau Bukti
Pemotongan PPh Pasal 21, tidak termasuk PPh Pasal 21
yang bersifat final.
2. PPh Pasal 22 Pajak Penghasilan yang telah dipungut dalam Tahun Pajak
yang bersangkutan oleh Bank Devisa dan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai atas impor barang dan ekspor
komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral
bukan logam yang dilakukan oleh eksportir, kecuali yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian
kerjasama pengusahaan pertambangan dan Kontrak
Karya;
3. PPh Pasal 23 PPh Pasal 23 meliputi Pajak Penghasilan yang telah
dipotong dalam Tahun Pajak yang bersangkutan oleh
pemotong PPh Pasal 23 atas penghasilan berupa dividen,
bunga, royalti, hadiah dan penghargaan, bonus, sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
yang ditentukan oleh Peraturan Menteri Keuangan, kecuali
pemotongan PPh yang bersifat final.
4. PPh Pasal 24 PPh Pasal 24 adalah pajak yang dibayar/dipotong/terutang
di luar negeri atas penghasilan yang diterima atau

65
diperoleh di luar negeri dalam tahun yang bersangkutan,
sebesar PPh yang dibayar/dipotong/terutang di luar negeri
tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang
terutang berdasarkan Undang-Undang PPh. Penghitungan
“batas maksimum kredit pajak luar negeri yang dapat
dikreditkan” tersebut harus dilakukan untuk masing-masing
negara.
5. PPh Pasal 26 Pemotongan pajak atas Wajib Pajak Luar Negeri adalah
bersifat final namun atas penghasilan Wajib Pajak orang
pribadi luar negeri yang berubah status menjadi Wajib
Pajak dalam negeri, pemotongan pajaknya tidak bersifat
final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan
dalam SPT Tahunan PPh. Tidak termasuk PPh Pasal 26
yang telah dikreditkan pada lembar formulir 1721 - A1.

Susunan penghitungan PPh adalah sebagai berikut:


Penghasilan Neto dalam Negeri Sehubungan dengan Pekerjaan
Penghasilan Neto dalam Negeri Lainnya
Penghasilan Neto Luar Negeri
Jumlah Penghasilan Neto (1)
Zakat/sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib (2)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (3)
Penghasilan Kena Pajak ( 1 - 2 - 3 ) (4)
Pajak Penghasilan Terutang (5)
Pengembalian/pengurangan PPh Pasal 24 yang Telah Dikreditkan (6)
Pajak Penghasilan yang telah Dipotong oleh Pihak Lain (7)
Pajak Penghasilan yang telah Dibayar Sendiri (8)
Pajak Penghasilan yang Nihil/Kurang/Lebih Dipotong (9)

Seluruh penghasilan neto dalam negeri baik yang sehubungan dengan


pekerjaan maupun lainnya, dan penghasilan dari luar negeri dijumlahkan. (1)
Selanjutnya dikurangkan dengan zakat/sumbangan keagamaan yang bersifat
wajib atas penghasilan yang menjadi objek pajak yang nyata-nyata dibayarkan oleh
Wajib Pajak Orang Pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sesuai dengan bukti
setoran yang sah. (2)
Setelah itu dilakukan pengurangan sesuai PTKP yang tercantum pada bukti
pemotongan PPh 1721-A1 atau 1721-A2. Khusus untuk PTKP bagi masing-masing
suami-istri yang telah hidup berpisah (HB) untuk diri masing-masing Wajib Pajak
diperlakukan seperti Wajib Pajak Tidak Kawin sedangkan tanggungan sesuai dengan
kenyataan sebenarnya yang diperkenankan. (3)
Hasil penghitungan akan menghasilkan penghasilan kena pajak. Untuk
keperluan penghitungan tarif pajak, jumlah penghasilan kena pajak dibulatkan ke
bawah dalam ribuan rupiah penuh. (4)
Selanjutnya adalah menghitung Pajak Penghasilan Terutang (PPh Terutang)
dengan penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas Penghasilan Kena
Pajak. (5)

66
Jika ada selisih antara besarnya pajak yang telah dikreditkan dengan besarnya
pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia setelah adanya pengembalian/pengurangan
Pajak Penghasilan yang dibayar/dipotong/terutang di luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang PPh, yang diterima dalam Tahun
Pajak yang bersangkutan sepanjang pengembalian/pengurangan bukan disebabkan
oleh adanya perubahan penghasilan. Oleh karena PPh yang dibayar/ dipotong/
terutang di luar negeri tersebut semula telah dikreditkan dari Pajak Penghasilan yang
terutang dalam SPT Tahunan PPh, maka dengan pengurangan/restitusi atas Pajak
Penghasilan yang dibayar/dipotong/terutang di luar negeri tersebut menyebabkan
pengkreditan tersebut menjadi lebih besar dari yang seharusnya. Selisih tersebut
harus dibayar kembali dengan menambahkan pada Pajak Penghasilan terutang dalam
tahun ini. (6)
Setelah itu dilakukan penyandingan dengan jumlah Pajak Penghasilan yang
sudah dipotong yang tercantum pada bukti pemotongan PPh oleh phak
lain/ditanggung pemerintah dan/atau kredit pajak luar negeri/terutang di luar negeri
(yang tidak bersifat final). (7)
Terakhir adalah menyandingkan dengan jumlah pajak yang telah dibayar
sendiri berupa PPh Pasal 25 Tahun Pajak yang bersangkutan termasuk jumlah
pelunasan PPh yang terutang berdasarkan penghitungan sementara dalam hal Wajib
Pajak mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT
Tahunan termasuk juga dengan jumlah Pajak Penghasilan yang tercantum dalam
Surat Tagihan Pajak (STP) untuk Tahun Pajak yang bersangkutan termasuk STP
Pajak Penghasilan Pasal 25 ayat (7) dari Pengusaha Tertentu yang menerima atau
memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final, tidak termasuk sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. (8)
Hasilnya akhir laporan SPT Tahunan tersebut adalah:
• Nihil jika Pajak Penghasilan Terutang (PPh Terutang) = jumlah Pajak Penghasilan
yang sudah dipotong.
• Kurang Bayar (Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri) jika Pajak
Penghasilan Terutang (PPh Terutang) > jumlah Pajak Penghasilan yang sudah
dipotong.
• Lebih Bayar (Pajak Penghasilan yang lebih dipotong) jika Pajak Penghasilan
Terutang (PPh Terutang) < jumlah Pajak Penghasilan yang sudah dipotong. (9)

Pengecualian Penghasilan Istri dari Satu Pemberi Kerja

Dalam hal istri dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban


perpajakannya menggunakan NPWP suami atau kepala keluarga (status
perpajakan suami-istri adalah KK), maka pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
atas penghasilan yang semata-mata diterima atau diperoleh istri dari satu pemberi
kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan
bebas suami atau anggota keluarga lainnya, merupakan pemotongan pajak yang
bersifat final.
Pelaporannya dilakukan terpisah pada Lampiran - II (Formulir 1770 S - II)
Bagian A: Penghasilan yang Dikenakan PPh Final dan/atau Bersifat Final.

67
B. WP OP karyawan dengan penghasilan lainnya
WP OP dapat memperoleh penghasilan lainnya yang meliputi besarnya
penghasilan neto dalam negeri lainnya yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
sendiri dan anggota keluarganya dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, tidak
termasuk penghasilan yang telah dikenakan PPh final dan/atau PPh bersifat final serta
penghasilan yang tidak termasuk objek pajak. Penghasilan ini telah diuraikan pada
Bab II.
Jika WP OP karyawan selain mendapatkan penghasilan dari pekerjaan lebih
dari Rp60.000.000 setahun, juga mendapatkan penghasilan dalam negeri lainnya
maka dia masih bisa menggunakan formulir 1770 S. Akan tetapi, jika WP OP karyawan
tersebut mendapatkan penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas maka sudah
tidak bisa menggunakan formulir 1770 S lagi. Dia harus menggunakan formulir 1770.

C. WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami-istri PH atau MT


Prinsip penghitungan PPh dalam kondisi PH atau MT bagi WP OP karyawan
dengan penghasilan lebih dari Rp60.000.000 setahun sama dengan ketika
menghitung PPh dalam kondisi PH/MT penghasilan dari pekerjaan tidak lebih dari
Rp60.000.000 setahun yang telah dibahas pada bab sebelumnya.
Atas penghasilan dari pekerjaan suami-istri akan dikenai pajak secara terpisah
apabila:
1. dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan
harta dan penghasilan (PH); atau
2. dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri (MT).
Pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan masing-masing oleh suami dan istri
secara terpisah. Dalam hal ini, istri memiliki kewajiban mendaftarkan diri untuk
diberikan NPWP sehingga menjadi Wajib Pajak Orang Pribadi tersendiri. Besarnya
Pajak Penghasilan yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-istri dengan status
perpajakan PH atau MT adalah Pajak Penghasilan berdasarkan penggabungan
penghasilan neto suami-istri yang kemudian dihitung secara proporsional sesuai
dengan perbandingan penghasilan neto mereka.
Sedangkan untuk penghasilan neto dalam negeri lainnya seperti bunga, royalti,
sewa, penghargaan dan hadiah, keuntungan dari penjualan/pengalihan harta dan
penghasilan lainnya yang diterima atau diperoleh istri, dilaporkan secara terpisah
dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi istri sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi
tersendiri.

D. Mengisi SPT Tahunan dengan Formulir 1770 S


Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak Orang Pribadi Sederhana (Formulir 1770 S dan Lampiran-Lampirannya) bagi
Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan:
1. dari satu atau lebih pemberi kerja;
2. dalam negeri lainnya; dan/atau
3. yang dikenakan Pajak Penghasilan final dan/atau bersifat final

68
TABEL II.2 DAFTAR LAMPIRAN SPT 1770 S

No. Jenis Lampiran Keterangan


1 Bukti pembayaran PPh Pasal 29 dan/atau Bukti terdapat kurang
Pemindahbukuan, Surat Setoran Pajak, atau sarana bayar
administrasi lain.
2 Fotokopi formulir 1721 A1 dan/atau 1721 A2 dan/atau Wajib Pajak
bukti pemotongan PPh Pasal 21 lainnya mencantumkan kredit
pajak PPh Pasal 21.
3 Surat Kuasa Khusus (Konsultan Pajak) dilampiri SPT ditandatangani
dengan: oleh kuasa yang
Fotokopi kartu izin praktik konsultan pajak; merupakan konsultan
Surat pernyataan sebagai konsultan pajak; pajak
Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak konsultan
pajak;
Fotokopi Tanda terima SPT tahunan konsultan pajak.
4 Surat Keterangan Kematian SPT ditandatangani
oleh ahli waris
5 Penghitungan PPh Terutang bagi Wajib Pajak Status perpajakan
dengan Status Perpajakan PH atau MT Wajib Pajak Pisah
Harta atau Memilih
Terpisah
6 Bukti Pemotongan Zakat atau sumbangan SPT
keagamaan yang sifatnya wajib memperhitungkan
zakat atau
sumbangan
keagamaan yang
sifatnya wajib

SPT diisi dengan lengkap dan sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau


dokumen yang dipersyaratkan. Kewajiban penyampaian keterangan dan/atau
dokumen dikecualikan bagi SPT Tahunan 1770S dan SPT Tahunan 1770SS dengan
status Nihil atau Kurang Bayar yang disampaikan melalui e-Filing.

Contoh Pengisian SPT Tahunan 1770 S:


Nama : Iwan
NPWP : 08.296.172.2-007.000
Pekerjaan : Direktur PT ABC
Status : Kawin (MT)
Tanggungan : 1 orang anak (PTKP K/1)

Data penghasilan selama tahun 2018


1. Gaji bersih sebagai direktur di PT ABC sebesar Rp544.400.000
2. Keuntungan dari penjualan perhiasan emas sebesar Rp38.000.000 (Iwan membeli
perhiasan emas seharga Rp40.000.000 dan kemudian dijual seharga Rp78.000.000)

Data tambahan:

69
Bahwa Iwan memiliki istri bernama Nova dan mempunyai NPWP 07.890.123.4-
567.000 (NPWP sendiri yang terpisah dengan suami) dan menerima penghasilan
neto selama tahun 2018 total sebesar Rp141.000.000 yang berasal dari :
1. Penghasilan sebagai karyawan sebesar Rp129.000.000.
2. Penghasilan dari keuntungan selisih kurs sebesar Rp12.000.000.
Dari data di atas perhitungan PPh bagi Iwan dan istrinya Nova yang masing-masing
memiliki NPWP tersendiri dibuatkan lembar perhitungan sendiri di bawah ini.

Jenis Asset Tahun Pembelian Nilai Perolehan


Deposito 2000 1.000.000.000
Uang tunai 2000 900.000.000
Mobil 2000 700.000.000
Tanah dan/ bangunan 2000 5.000.000.000

70
71
72
73
SPT TAHUNAN
1770 S 2 0 1 8

TAHUN PAJAK
FORMULIR

PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI


BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMPUNYAI PENGHASILAN :
KEMENTERIAN KEUANGAN RI • DARI SATU ATAU LEBIH PEMBERI KERJA; SPT PEMBETULAN KE - …
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • DALAM NEGERI LAINNYA; DAN/ATAU
• YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL.
PERHATIAN • SEBELUM MENGISI BACA DAHULU PETUNJUK PENGISIAN • ISI DENGAN HURUF CETAK /DIKETIK DENGAN TINTA HITAM • BERI TANDA "X" PADA (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 8 2 9 6 1 7 2 2 0 0 7 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : I W A N

PEKERJAAN : P E G A W A I S W A S T A KLU :
IDENTITAS

NO. TELEPON : 0 8 1 2 - 1 0 0 0 0 NO. FAKS : -

STATUS KEWAJIBAN : KK HB PH X MT
PERPAJAKAN SUAMI-ISTERI

NPWP ISTERI / SUAMI : 0 7 8 9 0 1 2 3 4 5 6 7 0 0 0

Permohonan perubahan data disampaikan terpisah dari pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini, dengan menggunakan
Formulir Perubahan Data Wajib Pajak dan dilengkapi dokumen yang disyaratkan.
*) Pengisian kolom-kolom yang berisi nilai rupiah harus tanpa nilai desimal (contoh penulisan lihat petunjuk pengisian halaman 3) RUPIAH *)
1 PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN ………………………………………… 1 538.400.000
[Diisi akumulasi jumlah penghasilan neto pada setiap Formulir 1721-A1 dan/atau 1721-A2 angka 14 yang dilampirkan atau Bukti Potong Lain]

2 PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA …………………………………………………………………………… 2 38.000.000


A. PENGHASILAN NETO

[Diisi sesuai dengan Formulir 1770 S-I Jumlah Bagian A ]

3 PENGHASILAN NETO LUAR NEGERI …………………………………………………………………………………………… 3


[Apabila memiliki penghasilan dari luar negeri agar diisi dari Lampiran Tersendiri, lihat petunjuk pengisian]

4 JUMLAH PENGHASILAN NETO (1+2+3) ……………………………………………………………………………………… 4 576.400.000

5 ZAKAT/SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB …………………………………………………………… 5

6 JUMLAH PENGHASILAN NETO SETELAH PENGURANGAN ZAKAT /SUMBANGAN KEAGAMAAN …………………… 6 576.400.000
YANG SIFATNYA WAJIB (4-5)
B.PENGHASILAN
KENA PAJAK

7 PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK TK / K/ 1 K / I/ 7 -

8 PENGHASILAN KENA PAJAK (6-7) …………………………………………………………………………………………… 8 -

9 PPh TERUTANG (TARIF PASAL 17 UU PPh x ANGKA 8) …………………………………………………………………


C. PPh TERUTANG

[Bagi Wajib Pajak dengan status PH atau MT diisi dari Lampiran Perhitungan PPh Terutang sebagaimana dimaksud dalam bagian G: 9 99.917.976
Lampiran huruf d]

10 PENGEMBALIAN / PENGURANGAN PPh PASAL 24 YANG TELAH DIKREDITKAN ……………………………………10

11 JUMLAH PPh TERUTANG (9+10) …………………………………………………………………………………………… 11 99.917.976

12 PPh YANG DIPOTONG/DIPUNGUT PIHAK LAIN/DITANGGUNG PEMERINTAH DAN/ATAU KREDIT PAJAK LUAR 12 88.850.000
NEGERI DAN/ATAU TERUTANG DI LUAR NEGERI [Diisi dari Formulir 1770 S-I Jumlah Bagian C Kolom (7)]

13 a. PPh YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI


D. KREDIT PAJAK

(11-12) …………………………………………………….. 13 11.067.976


b. PPh YANG LEBIH DIPOTONG/DIPUNGUT

14 PPh YANG DIBAYAR SENDIRI a. PPh PASAL 25 ……………………………………………………………………… 14a

b. STP PPh Pasal 25 (Hanya Pokok Pajak) …………………………………………


14b

15 JUMLAH KREDIT PAJAK (14a + 14b) ……………………………………………………………………………………15 -

TGL LUNAS
E. PPh KURANG/LEBIH BAYAR

16 X a. PPh YANG KURANG DIBAYAR (PPh PASAL 29) 3 0 0 3 1 9


(13-15) 16 11.067.976
TGL BLN THN
b. PPh YANG LEBIH DIBAYAR (PPh PASAL 28 A)

17 PERMOHONAN : PPh Lebih Bayar pada 16b mohon :


a. DIRESTITUSIKAN c. DIKEMBALIKAN DENGAN SKPPKP PASAL 17C (WP dengan Kriteria Tertentu)

b. DIPERHITUNGKAN DENGAN d. DIKEMBALIKAN DENGAN SKKPP PASAL 17D (WP yang Memenuhi Persyaratan Tertentu)
UTANG PAJAK
PAJAK BERIKUTNYA
F. ANGSURAN PPh
PASAL 25 TAHUN

18 ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN PAJAK BERIKUTNYA SEBESAR …………………………………………………… 18


DIHITUNG BERDASARKAN :
a. 1/12 x JUMLAH PADA ANGKA 13
b. PENGHITUNGAN DALAM LAMPIRAN TERSENDIRI

a. X Fotokopi Formulir 1721-A1 atau 1721-A2 atau Bukti Potong PPh Pasal 21 d. X Perhitungan PPh Terutang bagi Wajib Pajak dengan status perpajakan PH atau MT
G. LAMPIRAN

b. X Surat Setoran Pajak Lembar Ke-3 PPh Pasal 29 e. …………………………………………………………..

c. Surat Kuasa Khusus (Bila dikuasakan)

PERNYATAAN
Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan TANDA TANGAN
perundang-undangan yang berlaku, saya menyatakan bahwa yang telah beritahukan diatas beserta lampiran-

I wan
lampirannya adalah benar, lengkap dan jelas.

X WAJIB PAJAK KUASA TANGGAL 3 0 0 3 2 0 1 9


TGL BLN THN

NAMA LENGKAP : I W A N

NPWP : 0 8 2 9 6 1 7 2 2 0 0 7 0 0 0

74
LAMPIRAN - I
1770 S - I

TAHUN PAJAK
FORMULIR SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

KEMENTERIAN KEUANGAN RI


PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA
PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK
2 0 1 8
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
• DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN DAN PPh YANG DITANGGUNG PEMERINTAH

NPWP : 0 8 2 9 6 1 7 2 2 0 0 7 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : I W A N

BAGIAN A : PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA


(TIDAK TERMASUK PENGHASILAN DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL)

JUMLAH PENGHASILAN
NO. JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
(1) (2) (3)

1. BUNGA

2. ROYALTI

3. SEWA

4. PENGHARGAAN DAN HADIAH

5. KEUNTUNGAN DARI PENJUALAN/PENGALIHAN HARTA 38,000,000

6. PENGHASILAN LAINNYA -

JUMLAH BAGIAN A JBA 38,000,000


Pindahkan Jumlah Bagian A ke Formulir Induk 1770 S Bagian A
angka (2)
BAGIAN B : PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

JUMLAH PENGHASILAN
NO. JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
(1) (2) (3)

1. BANTUAN/SUMBANGAN/HIBAH

2. WARISAN

3. BAGIAN LABA ANGGOTA PERSEROAN KOMANDITER TIDAK ATAS SAHAM,


PERSEKUTUAN, PERKUMPULAN, FIRMA, KONGSI

4. KLAIM ASURANSI KESEHATAN, KECELAKAAN, JIWA, DWIGUNA, BEASISWA

5. BEASISWA

6. PENGHASILAN LAINNYA YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

JUMLAH BAGIAN B JBB 0

BAGIAN C : DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN DAN PPh YANG DITANGGUNG PEMERINTAH

NAMA PEMOTONG/ NPWP PEMOTONG/ BUKTI PEMOTONGAN/ JENIS PAJAK : JUMLAH PPh YANG
NO PEMUNGUTAN PPh PASAL 21/
PEMUNGUT PAJAK PEMUNGUT PAJAK DIPOTONG / DIPUNGUT
NOMOR TANGGAL 22/23/24/26/DTP*
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. PT. ABC 012345678701000 1.1-12-18- 31/01/2019 PPh PASAL 21 88,850,000


0000003

2.

3.

4.

5.
dst

JUMLAH BAGIAN C JBC 88,850,000

Pindahkan Jumlah Bagian C ke Formulir


Catatan : Induk 1770 S Bagian D angka 12
*) - DTP : Ditanggung Pemerintah
- Kolom (6) diisi dengan pilihan PPh Pasal 21/22/23/24/26/DTP (Contoh : ditulis 21, 22, 23, 24, 26, DTP)
- Jika terdapat kredit pajak PPh Pasal 24, maka jumlah yang diisi adalah maksimum yang dapat dikreditkan sesuai lampiran tersendiri
(lihat petunjuk pengisian tentang Lampiran I Bagian C dan Induk SPT angka 3)

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke- dari halaman Lampiran-I

75
LAMPIRAN - II

TAHUN PAJAK
FORMULIR
1770 S - II SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
2 0 1 8
• PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL
KEMENTERIAN KEUANGAN RI • HARTA PADA AKHIR TAHUN
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • KEWAJIBAN/UTANG PADA AKHIR TAHUN
• DAFTAR SUSUNAN ANGGOTA KELUARGA

NPWP : 0 8 2 9 6 1 7 2 2 0 0 7 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : I W A N

BAGIAN A : PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL


DASAR PENGENAAN PAJAK/
NO. SUMBER/JENIS PENGHASILAN PPh TERUTANG
PENGHASILAN BRUTO
(Rupiah) (Rupiah)
(1) (2) (3) (4)
BUNGA DEPOSITO, TABUNGAN, DISKONTO SBI, SURAT
1.
BERHARGA NEGARA

2. BUNGA/DISKONTO OBLIGASI

3. PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK

4. HADIAH UNDIAN

PESANGON, TUNJANGAN HARI TUA DAN TEBUSAN PENSIUN


5.
YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS

6. HONORARIUM ATAS BEBAN APBN/APBD

7. PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

8. SEWA ATAS TANAH DAN/ATAU BANGGUNAN

BANGUNAN YANG DITERIMA DALAM RANGKA BANGUN GUNA


9.
SERAH
BUNGA SIMPANAN YANG DIBAYARKAN OLEH KOPERASI
10.
KEPADA ANGGOTA KOPERASI

11. PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF

12. DIVIDEN

13. PENGHASILAN ISTERI DARI SATU PEMBERI KERJA

PENGHASILAN LAIN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL


14.
DAN/ATAU BERSIFAT FINAL
JUMLAH BAGIAN A JBA 0

BAGIAN B : HARTA PADA AKHIR TAHUN


KODE TAHUN HARGA PEROLEHAN
NO. NAMA HARTA KETERANGAN
HARTA PEROLEHAN (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. DEPOSITO
014 2000 1,000,000,000 No. 90009 Bank BCA
2. UANG TUNAI
011 2000 900,000,000

3. MOBIL
043 2000 700,000,000 B 1111 STAN
TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
4. 061 TEMPAT TINGGAL 5,000,000,000
2000 PONDOK INDAH NO. 1
5.
dst -

JUMLAH BAGIAN B JBB 7,600,000,000

BAGIAN C : KEWAJIBAN/UTANG PADA AKHIR TAHUN


KODE ALAMAT TAHUN
NO. NAMA PEMBERI PINJAMAN JUMLAH
UTANG PEMBERI PINJAMAN PEMINJAMAN
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 -

2 -

3 -

4 -
5
dst -

JUMLAH BAGIAN C JBC 0

BAGIAN D : DAFTAR SUSUNAN ANGGOTA KELUARGA


NO. NAMA NIK HUBUNGAN KELUARGA PEKERJAAN

(1) (2) (3) (4) (5)


1 NOVA PEGAWAI SWASTA
ISTRI
2 DUDUNG ANAK SEKOLAH

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke- dari halaman Lampiran-II

76
RINGKASAN

1) SPT 1770 S digunakan untuk WP yang mempunyai penghasilan dari satu atau
lebih pemberi kerja; dalam negeri lainnya; dan/atau yang dikenakan Pajak
Penghasilan final dan/atau bersifat final.
2) WP OP karyawan yang berstatus PH atau MT menggunakan formulir 1770 S,
dan tidak dapat menggunakan formulir 1770 SS.
3) Penghitungan PPh OP akhir tahun untuk PH atau MT pada prinsipnya adalah
sama, baik untuk WP OP karyawan yang berpenghasilan bruto sampai dengan
Rp60.000.000 atau lebih dari Rp60.000.000 setahun.
4) Apabila ada WP OP karyawan mendapatkan penghasilan dari usaha dan/atau
pekerjaan bebas maka harus menggunakan SPT 1770

LATIHAN/PENUGASAN

Latihan

1) Lampiran SPT 1770S adalah ….


a. tidak memiliki lampiran
b. lampiran I dan II
c. lampiran I, II, dan III
d. lampiran I, II, III dan IV

Soal No 2 sd 5: Tn Iwan dan istrinya menghendaki melakukan hak dan kewajiban


perpajakannya sendiri. Tn Iwan mempunyai 2 orang anak yang menjadi
tanggungannya. Penghasilan istri yang diperoleh atau diterima semata-mata dari
satu pemberi kerja yang sudah dipotong PPh Pasal 21.

2) PTKP untuk Tn Iwan adalah….


a. K/I/2
b. K/2
c. TK/2
d. Semua salah

3) Pernyataan yang tepat terhadap pelaporan penghasilan istrinya adalah….


a. dilaporkan di bagian PPh Final SPT Tahunan PPh Tn Iwan
b. digabungkan penghasilannya dalam SPT Tahunan PPh Tn Iwan
c. dilaporkan tersendiri dalam SPT Tahunan PPh istri Tn Iwan
d. semua salah

4) PTKP untuk istri Tn Iwan adalah….


a. K/I/2
b. K/2

77
c. TK/2
d. semua salah

5) Profesi yang mungkin dilakukan oleh Tn Iwan bila menggunakan SPT 1770 S
adalah….
a. dokter
b. pedagang besar sembako
c. PNS Kemenkeu
d. atlet bulutangkis internasional

Tugas

1) Isilah SPT Tahunan PPh Orang Pribadi atas nama Ibu Nova sesuai informasi
diatas, dengan tambahan asset berupa harga berupa 1 unit sepeda motor
Honda Scopy No. Pol. B 4 GUS, beli kredit tahun 2018 seharga Rp 17.000.000,
saldo kredit per 31 Desember 2018 sebesar Rp 10.000.000;

Video tutorial pengisian SPT ini dapat dilihat di KLC dengan link sebagai
berikut:
https://klc.kemenkeu.go.id/pknstan-pengisian-spt-tahunan-pph-orang-pribadi-1770-
s-latihan-contoh-kasus/

---Q---

78
PPh BAGI ORANG PRIBADI YANG MELAKUKAN
KEGIATAN USAHA

Tujuan Pembelajaran:
Pada bab ini mahasiswa mampu:
1. menjelaskan dan menerapkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
2. menghitung Pajak Penghasilan Akhir Tahun bagi WP OP (tidak pembukuan)
yang menjalankan kegiatan usaha
3. mengisi SPT Tahunan PPh OP (Formulir 1770)
BAB

Penghasilan

Bukan Objek Objek

Final/Bersifat Penghasilan Pekerjaan Usaha Pekerjaan


final Neto lain Bebas

GAMBAR VI.6 SKEMA SPT 1770 USAHA

79
A. Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya
penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan
terus-menerus.
Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam
hal-hal:
1. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang
lengkap, atau
2. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan
secara tidak benar.
Norma Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian
atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran. Norma Penghitungan akan
sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan
untuk menghitung penghasilan neto.
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha yang peredaran
brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan.
Wajib Pajak yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib menyelenggarakan pencatatan.
Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam
menghitung penghasilan neto.
Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.Wajib Pajak
yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan,
atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:
1. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau
pembukuan; atau
2. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan sehingga mengakibatkan
peredaran bruto dan penghasilan neto yang sebenarnya tidak diketahui maka
peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan dihitung dengan cara lain yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan penghasilan
netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Jadi, WP OP yang melakukan kegiatan usaha yang peredaran brutonya dalam
1 tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan (Pasal
14 ayat (2) UU PPh).
WP OP yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. (Pasal 14 ayat
(4) UU PPh dan Pasal 2 ayat (3) PER-17/PJ/2015)
Besarnya norma yang digunakan tergantung dari jenis usaha dan wilayah
diperolehnya penghasilan. Ada 3 kelompok wilayah yang tertuang dalam Pasal 4 PER-

80
17/PJ/2015 yang berisi Daftar Persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto
dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut:
1. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;
2. ibukota propinsi lainnya;
3. daerah lainnya
Perlu diperhatikan ada 3 lampiran PER-17/PJ/2015 yaitu:
1. Lampiran I : Daftar persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto untuk WP
OP yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto.
2. Lampiran II : Daftar persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto untuk WP
OP yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan
atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya.
3. Lampiran III : Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk
Wajib Pajak badan yang tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau bukti-bukti
pendukungnya.
Untuk menghitung besarnya norma penghasilan neto gunakan presentase
dalam Lampiran I PER-17/PJ/2015 tersebut. Penghitungan penghasilan neto Wajib
Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan
terhadap masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas dengan memperhatikan
pengelompokan wilayah pengenaan norma. (Pasal 5 ayat (1) PER-17/PJ/2015)
Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha
atau pekerjaan bebas adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-masing jenis
usaha atau pekerjaan bebas yang dihitung. (Pasal 5 ayat (2) PER-17/PJ/2015)
Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan
angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto
atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1 (satu)
Tahun Pajak. (Pasal 6 ayat (1) PER-17/PJ/2015)
Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang oleh WP OP,
sebelum dilakukan penerapan tarif umum Pajak Penghasilan, terlebih dahulu dihitung
Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dari
penghasilan neto tersebut. (Pasal 6 ayat (2) PER-17/PJ/2015)

WP OP yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk


menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. (Pasal 14
ayat (4) UU PPh dan Pasal 2 ayat (3) PER-17/PJ/2015)

B. Menghitung PPh Akhir Tahun WP OP Nonpembukuan yang Menjalankan


Kegiatan Usaha
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan
pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto kemudian dikurangi dengan zakat dan penghasilan
tidak kena pajak (PTKP) dengan contoh sebagai berikut.

81
Jenis Jumlah
Peredaran bruto 4,000,000,000
Penghasilan neto (menurut Norma Penghitungan) misalnya 20% 800,000,000
Penghasilan neto lainnya 5,000,000
Jumlah seluruh penghasilan neto 805,000,000
Zakat 20,125,000
Penghasilan neto setelah dikurangi zakat 784,875,000
PTKP Wajib Pajak orang pribadi (isteri + 2 anak) 72,000,000
Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak orang pribadi) 712,875,000
PPh Pasal 17
5 % x Rp 50.000.000,- 2,500,000
15 % x Rp 200.000.000,- 30,000,000
25 % x Rp 250.000.000,- 62,500,000
30 % x ( Rp 712.875.000 – Rp 500.000.000 ) 63,862,500
Total Pajak Terhutang 158,862,500
Kredit pajak (100,000,000)
PPh Kurang Bayar 58,862,500

Cara menghitung penghasilan neto bagi WP OP yang menjalankan usaha


(nonpembukuan) akan sama dengan WP OP yang memiliki pekerjaan bebas
(nonpembukuan) pada bab selanjutnya. Cara perhitungan PPh terutang dan PPh
Kurang (Lebih) Bayar juga sama, yaitu mengikuti urutan perhitungan PPh OP pada
bab-bab sebelumnya.

C. WP OP Usaha dengan Sumber Penghasilan Lain dan PP 23 tahun 2018


1. Sumber Penghasilan selain Usaha
WP OP yang menjalankan kegiatan usaha dapat juga memperoleh
penghasilan dengan sumber dari selain usaha. Dalam kondisi tertentu, sangat
dimungkinkan jika ada WP OP yang memiliki seluruh sumber penghasilan (pekerjaan,
pekerjaan bebas, usaha, dalam negeri lainnya, dan luar negeri), dan juga penghasilan
bukan objek pajak dan final. SPT 1770 dapat menampung semua jenis penghasilan
tersebut. Penghasilan neto dari berbagai sumber tersebut (selain bukan objek pajak
dan final) akan dijumlahkan dalam perhitungan PPh akhir tahun WP OP. Cara
menghitung penghasilan neto dari tiap-tiap sumber penghasilan tersebut adalah
seperti pembahasan pada bab-bab sebelumnya.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 Tentang


Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

a. Subjek
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam
negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final dalam jangka waktu tertentu.
Tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final sebagai berikut:

82
1) penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas;
2) penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang
atau telah dibayar di luar negeri;
3) penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
4) penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana huruf a meliputi:
a) tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, PPAT, penilai, dan aktuaris;
b) pemain 83ook83, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati,
pemain drama, dan penari;
c) olahragawan;
d) penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e) pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f) agen iklan;
g) pengawas atau pengelola proyek;
h) perantara;
i) petugas penjaja barang dagangan;
j) agen asuransi;
k) distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan
kegiatan sejenis lainnya.
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai Pajak
Penghasilan final merupakan:
1) Wajib Pajak orang pribadi; dan
2) Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau
perseroan terbatas,
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak
melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1
(satu) Tahun Pajak.
Tidak termasuk Wajib Pajak diatas dalam hal:
a) Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal
17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak
Penghasilan;
b) Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang
dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian
khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan
bebas;
c) Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan:
o Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
o Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun
Berjalan beserta perubahan atau penggantinya; dan
d) Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap.
Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal
17, wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak dan untuk
Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

83
b. Objek
Besarnya peredaran bruto tertentu merupakan jumlah peredaran bruto dalam
1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan, yang
ditentukan berdasarkan keseluruhan peredaran bruto dari usaha, termasuk peredaran
bruto dari cabang.
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi merupakan suami-isteri yang:
• menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis; atau
• isterinya menghendaki memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri, besarnya peredaran bruto ditentukan berdasarkan
penggabungan peredaran bruto usaha dari suami dan isteri.
Jumlah peredaran bruto atas penghasilan dari usaha setiap bulan merupakan
dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang
bersifat final.
Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak merupakan imbalan
atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari
usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan
sejenis.

c. Tarif
Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 0,5% (nol koma lima
persen).

d. Mekanisme
Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif dikalikan dengan dasar
pengenaan pajak. Wajib Pajak yang peredaran brutonya pada Tahun Pajak berjalan
telah melebihi Rp 4.800.000.000, atas penghasilan dari usaha tetap dikenai tarif Pajak
Penghasilan sampai dengan akhir Tahun Pajak bersangkutan.
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh pada Tahun Pajak-
Tahun Pajak berikutnya oleh Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif
Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final ini
yaitu paling lama:
1) 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
2) 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan
komanditer, atau firma; dan
3) 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
Jangka waktu terhitung sejak:
1. Tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar, bagi Wajib Pajak yang terdaftar sejak
berlakunya Peraturan Pemerintah ini, atau
2. Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, bagi Wajib Pajak yang telah
terdaftar sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pajak Penghasilan terutang dilunasi dengan cara:
1) disetor sendiri oleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu; atau
2) dipotong atau dipungut oleh Pemotong atau Pemungut Pajak dalam hal Wajib
Pajak bersangkutan melakukan transaksi dengan pihak yang ditunjuk sebagai
Pemotong atau Pemungut Pajak. Penyetoran sendiri Pajak Penghasilan terutang
wajib dilakukan setiap bulan.

84
Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terutang huruf b wajib
dilakukan oleh Pemotong atau Pemungut Pajak untuk setiap transaksi dengan Wajib
Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini.
Dalam hal Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini bertransaksi dengan Pemotong atau Pemungut Pajak, Wajib Pajak
harus mengajukan permohonan surat keterangan kepada Direktur Jenderal Pajak.
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan bahwa Wajib Pajak
bersangkutan dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini,
berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
Contoh:
1. Tuan S seorang dokter dan memiliki usaha apotek. Pada Tahun Pajak 2020, Tuan
S memperoleh peredaran bruto dari memberikan jasa dokter atas nama diri sendiri
sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan dari usaha apotek
memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Meskipun jumlah peredaran bruto Tuan S sebesar
Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), penentuan 85ook85ga peredaran bruto
hanya berdasarkan peredaran bruto dari usaha apotek.
Karena 85ook85ga peredaran bruto yang diterima oleh Tuan S dari usaha apotek tidak
melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka
penghasilan dari usaha apotek dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan ketentuan
Peraturan Pemerintah ini.
Pajak Penghasilan yang bersifat final yang disetor sendiri atas usaha apotek:
= 0,5% x Rp 3.000.000.000,
= Rp 15.000.000,00
Sedangkan penghasilan dari jasa dokter dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif
Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.

2. Tuan X merupakan pedagang tekstil yang memiliki tempat kegiatan usaha di


beberapa pasar di wilayah yang berbeda. Berdasarkan pencatatan yang dilakukan
diketahui rincian peredaran usaha di tahun 2019 adalah sebagai berikut:
a. Pasar A sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
b. Pasar B sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
c. Pasar C sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
Dengan demikian, Tuan X pada tahun 2020 tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan
final, karena peredaran bruto usaha Tuan X dari seluruh tempat usaha pada tahun
2019 melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

3. Tuan G dan Nyonya H adalah sepasang suami isteri yang menghendaki perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis. Pada Tahun Pajak 2019, Tuan
G memiliki usaha 85ook kelontong dengan peredaran bruto Rp 4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah) dan Nyonya H memiliki usaha salon dengan peredaran bruto
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Meskipun peredaran bruto masing-
masing kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah),
akan tetapi karena jumlah peredaran bruto dari usaha Tuan G ditambah peredaran
bruto dari usaha Nyonya H pada Tahun Pajak 2019 adalah Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah), maka atas penghasilan dari usaha Tuan G dan Nyonya H tidak
dapat dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan ketentuan Peraturan
Pemerintah ini.

85
4. Tuan R memiliki usaha 86ook elektronik dan memenuhi ketentuan untuk dapat
dikenakan Pajak Penghasilan final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah
ini. Pada bulan September 2019, Tuan R memperoleh penghasilan dari usaha
penjualan alat elektronik dengan peredaran bruto sebesar Rp 80.000.000,00
(delapan puluh juta rupiah). Dari jumlah tersebut, penjualan dengan peredaran
bruto sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dilakukan pada tanggal
17 September 2019 kepada Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta yang
merupakan Pemotong atau Pemungut Pajak, sisanya sebesar Rp20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah) diperoleh dari penjualan kepada pembeli orang pribadi
yang langsung datang ke 86ook miliknya. Tuan R memiliki surat keterangan Wajib
Pajak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan
Peraturan Pemerintah ini.
Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang untuk bulan September 2019
dihitung sebagai berikut:
a. Pajak Penghasilan yang bersifat final yang dipotong oleh Dinas Perhubungan DKI
Jakarta:
= 0,5% x Rp 60.000.000,00
= Rp 300.000,00
b. Pajak Penghasilan yang bersifat final yang disetor sendiri:
= 0,5% x Rp 20.000.000,00
= Rp 100.000,00

D. Menghitung Angsuran PPh Pasal 25 tahun berikutnya


Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan
dalam Tahun Pajak berjalan untuk suatu bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang PPh. Angsuran ini
hanya diperuntukkan bagi WP Orang Pribadi yang menghitung pajaknya berdasarkan
pasal 17 atau pembukuan. Jadi tidak berlaku bagi telah dikenakan PPh Final atau
bersifat final.
Menghitung Angsuran PPh Pasal 25 tahun berikutnya dapat dihitung sebagai
berikut:
1. Dilakukan dengan jumlah angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya
yang dihitung 1/12 dari jumlah PPh yang harus dibayar sendiri. Angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Tahun Pajak yang
lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 Undang-Undang PPh dan Pasal 23 Undang-Undang PPh serta
Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
Undang-Undang PPh dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian
Tahun Pajak.
2. Perhitungan Khusus bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT).
a. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, tidak
termasuk jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, pada 1 (satu) atau lebih
tempat kegiatan usaha yang berbeda dengan tempat tinggal Wajib Pajak. Ini
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2018 tentang
Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak
Berjalan yang harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak baru, Bank, Sewa Guna

86
Usaha dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa dan Wajib Pajak lainnya yang Berdasarkan
Ketentuan Diharuskan membuat laporan Keuangan Berkala Termasuk Wajib
Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.
b. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima
persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat
usaha yang berbeda dengan tempat tinggal Wajib Pajak. Pembayaran
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing-masing tempat usaha
merupakan kredit pajak atas Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun
Pajak yang bersangkutan.
3. Penghitungan dalam lampiran tersendiri apabila:
a. Terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya yang dikompensasikan
Apabila jumlah sisa kerugian habis dikompensasi dengan penghasilan neto
Tahun Pajak yang bersangkutan atau Tahun Pajak yang bersangkutan
merupakan Tahun Pajak terakhir untuk dapat melakukan kompensasi
kerugian, maka angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya
dihitung atas dasar penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan dan
tanpa memperhitungkan kompensasi kerugian.
b. Terdapat penghasilan tidak teratur
Penghasilan tidak teratur (tidak termasuk dalam penghasilan teratur) misalnya
dari keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing dan
keuntungan dari pengalihan harta sepanjang bukan merupakan penghasilan
dari kegiatan usaha pokok serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil.
c. Terdapat Pembayaran Zakat atas Penghasilan
Dalam hal terdapat zakat atas penghasilan yang nyata-nyata di bayarkan oleh
Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau
87ook87ga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, terdapat
hal-hal tertentu (terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya yang
dikompensasikan atau terdapat penghasilan tidak teratur), maka penghitungan
angsuran PPh pasal 25 mengikuti pola penghitungan sebagaimana contoh
penghitungan angsuran PPh Pasal 25 sebelumnya dengan memperhitungkan
zakat atas penghasilan yang telah dibayarkan.

Contoh 1:
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2009 Rp 50.000.000,
dikurangi:
a. PPh yang dipotong pemberi Kerja (Pasal 21) Rp 15.000.000,00
b. PPh yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,00
c. PPh yang dipotong oleh pihak lain (Pasal 23) Rp 2.500.000,00
d. Kredit PPh luar negeri (Pasal 24) Rp 7.500.000,00 (+)
Jumlah kredit pajak Rp 35.000.000, (-)
Selisih Rp 15.000.000,
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun
2010 adalah sebesar Rp 1.250.000,00 (Rp 15.000.000,00 dibagi 12).

87
Contoh 2:
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh
Wajib Pajak orang pribadi pada bulan Februari 2010, besarnya angsuran pajak yang
harus dibayar Wajib Pajak tersebut untuk bulan Januari 2010 adalah sebesar
angsuran pajak bulan Desember 2009, misalnya sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
Apabila dalam bulan September 2009 diterbitkan keputusan pengurangan
angsuran pajak menjadi nihil sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai
dengan Desember 2009 menjadi nihil, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar
Wajib Pajak untuk bulan Januari 2010 tetap sama dengan angsuran bulan Desember
2009, yaitu nihil.

Contoh 3:
Dalam tahun 2009, penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang
Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan penghasilan tidak teratur
sebesar Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Penghasilan yang dipakai
sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada
tahun 2010 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut.

E. WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami-istri PH atau MT


WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami istri dalam hal:
1. Suami dan istri melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara
tertulis (PH);
2. istri memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri (MT);
penghasilan neto dalam negeri dari usaha dan/atau pekerjaan bebas yang diterima
atau diperoleh istri, dilaporkan secara terpisah dalam SPT Tahunan PPh Orang
Pribadi istri sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi tersendiri. Berarti baik penghasilan dan
kerugiannya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan masing-masing pihak.
Suami dan istri wajib membuat dan melampirkan penghitungan Pajak
Penghasilan yang terutang berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami dan
istri. Suami dan istri yang memiliki penghasilan tersebut wajib menggunakan Formulir
1770 atau Formulir 1770 S beserta Lampiran-Lampirannya.

Contoh Perhitungan:
Wajib Pajak A (K/3) memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp
150.000.000, mempunyai seorang istri dari pekerjaan bebas dengan penghasilan neto
sebesar Rp 100.000.000. NPWP dimiliki oleh A yang berbeda dengan istri. WP A
mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulis (PH) dengan 3 orang
anak yang semuanya ditanggung suami, Jika keduanya menggunakan perhitungan
pajak dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto, maka
perhitungan pajaknya dilakukan sebagai berikut:

Penghitungan PPh terutang : Suami Istri


Penghasilan Neto suami 150,000,000
Penghasilan Neto istri 100,000,000
Jumlah penghasilan neto 150,000,000 100,000,000

Jumlah penghasilan neto suami+istri 250,000,000

88
PTKP (K/I/3) 126,000,000
Penghasilan Kena Pajak 124,000,000
PPh terutang:
5 % x Rp 50.000.000 2,500,000
15% x Rp74.000.000 11,100,000
Jumlah 13,600,000

PPh Terutang ditanggung suami 8,160,000


(150.000.000/250.000.000*13.600.000
PPh Terutang ditanggung istri 5,440,000
(100.000.000/250.000.000*13.600.000

F. Mengisi SPT Tahunan dengan Formulir 1770


Formulir 1770 SPT Tahunan PPh Orang Pribadi diatur dalam PER-36/PJ/2015.
SPT tersebut diperuntukkan bagi WP OP yang mempunyai penghasilan sebagai
berikut:
1. Dari usaha/pekerjaan bebas;
2. Dari satu atau lebih pemberi kerja;
3. Yang dikenakan PPh Final dan/atau bersifat final; dan/atau
4. Dalam negeri lainnya/luar negeri;
Formulir Baku SPT 1770 terdiri dari:
1. 1770 (Induk SPT)
2. 1770-I hal. 1:
• Penghitungan Penghasilan Neto Dalam Negeri Dari Usaha dan/atau
• Pekerjaan Bebas Bagi Wajib Pajak yang Menyelenggarakan Pembukuan
3. 1770-I hal. 2:
• Penghitungan Penghasilan Neto Dalam Negeri Dari Usaha dan/atau Pekerjaan
Bebas Bagi Wajib Pajak yang Menyelenggarakan Pencatatan,
• Penghitungan Penghasilan Neto Dalam Negeri Sehubungan Dengan
Pekerjaan,
• Penghitungan Penghasilan Dalam Negeri Lainnya
4. 1770-II:
• Daftar Pemotongan/Pemungutan PPh oleh Pihak Lain,
• PPh yang Dibayar/Dipotong Di Luar Negeri dan PPh Ditanggung Pemerintah
5. 1770-III:
• Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final dan/atau Bersifat Final,
• Penghasilan yang Tidak Termasuk Objek Pajak,
• Penghasilan Istri/Suami yang Dikenakan Pajak Secara Terpisah
6. 1770-IV:
• Harta Pada Akhir Tahun,
• Kewajiban/Utang pada Akhir Tahun,
• Daftar Susunan Anggota Keluarga

Keterangan dan atau dokumen lain yang harus dilampirkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang
menggunakan formulir 1770:

89
TABEL III.3 DAFTAR LAMPIRAN SPT 1770

No. Jenis Lampiran Keterangan


1 Bukti pembayaran PPh Pasal 29 dan/atau Terdapat kurang bayar
Bukti Pemindahbukuan, Surat Setoran Pajak,
atau sarana administrasi lain.
2 Neraca dan Laporan Rugi Laba serta Wajib Pajak menggunakan
keterangan lain. pembukuan
3 Laporan Keuangan yang telah diaudit Ada Laporan Keuangan yang
sudah diaudit oleh KAP
4 Rekapitulasi peredaran bruto dan/atau Wajib Pajak menggunakan
penghasilan lain dan biaya Norma penghitungan
penghasilan neto
5 Perhitungan Peredaran Bruto dan Pembayaran Wajib Pajak merupakan Orang
PPh Pasal 25 OPPT Pribadi Pengusaha Tertentu
6 Fotokopi formulir 1721 A1 dan/atau 1721 A2 Wajib Pajak mencantumkan
dan/atau bukti pemotongan PPh Pasal 21 kredit pajak PPh Pasal 21.
lainnya
7 Surat Kuasa Khusus (Konsultan Pajak) SPT ditandatangani oleh kuasa
dilampiri dengan: yang merupakan konsultan
Fotokopi kartu izin praktik konsultan pajak; pajak
Surat pernyataan sebagai konsultan pajak;
Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak
konsultan pajak;
Fotokopi Tanda terima SPT tahunan konsultan
pajak.
8 Surat Kuasa Khusus (Karyawan WP) dilampiri SPT ditandatangani oleh kuasa
dengan: yang merupakan karyawan
Sertifikat brevet/ijazah 90ook90ga9090n Wajib Pajak
formal perpajakan/sertifikat konsultan pajak;
Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak
Karyawan WP;
Fotokopi tanda terima SPT Tahunan Karyawan
WP;
Fotokopi daftar karyawan tetap di SPT Masa
PPh Pasal 21.
9 Surat Keterangan Kematian SPT ditandatangani oleh ahli
waris
10 Penghitungan Kompensasi Kerugian SPT memperhitungkan
kompensasi kerugian
11 Penghitungan PPh Terutang bagi Wajib Pajak Status perpajakan Wajib Pajak
dengan Status Perpajakan PH atau MT Pisah Harta atau Memilih
Terpisah
12 Penghitungan Peredaran Bruto & Pembayaran Wajib Pajak menggunakan
Final PP 46 Tahun 2013 & PP 23 Tahun 2018 penghitungan sesuai PP46
tahun 2013 dan/atau PP23
tahun 2018

90
13 Bukti Pemotongan Zakat atau sumbangan SPT memperhitungkan zakat
keagamaan yang sifatnya wajib atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib
14 Penyusutan dan Amortisasi Fiskal Ada biaya penyusutan dan
amortisasi dalam laporan
keuangan Wajib Pajak yang
menggunakan pembukuan

Berikut contoh kasus dan isian Formulir 1770 SPT Tahunan PPh Orang Pribadi
yang menyelenggarakan pencatatan:
Tuan David adalah wajib pajak dalam negeri Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
(OPPT) dengan status PTKP K/2 dan telah memenuhi persyaratan untuk melakukan
pencatatan. Kegiatan usahanya adalah pedagang eceran ikan hias laut (KLU 47215).
Menurut SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2019, David melaporkan
penghasilan sebesar Rp 1.000.000.000 di Tangerang dan Rp 500.000.000 di Bogor.
PPh Pasal 25 yang dibayar selama tahun 2019 yaitu 0.75% dari omset.
Dalam SPT Tuan David tahun 2019, terdapat penghasilan berikut ini:
a. Sewa ruko oleh PT Ceger Seger Selaras (PT CSS) sejumlah Rp40.000.000,00.
Atas jumlah tersebut PT CSS memotong PPh sejumlah Rp4.000.000,00.
b. Laba penjualan cincin chrysocolla chalcedony sebesar Rp12.500.000,00.
Penghasilan ini bersifat insidental.
c. Penghasilan lain berupa sewa alat-alat fotografi sebesar Rp50.000.000,00.
Penghasilan ini merupakan penghasilan tidak teratur. Pihak penyewa, PT ABC,
telah memotong PPh sebesar Rp 1.000.000.
d. Penjualan seluruh saham yang dimiliki di bursa efek sebesar Rp30.000.000,00.
Bursa efek telah memotong PPh sebesar Rp30.000,00.
e. Data aset sebagai berikut:
Jenis Asset Tahun Pembelian Nilai Perolehan No. Identitas
Mobil Asemka 2018 200,000,000 B 1234 STA
Rumah di Pondok 2019 1.000.000.000 No. Sertifikat
Safari 01
Ruko 2000 1.000.000.000 No. Sertifikat 2
Alat Fotografi 2000 1.000.000.000

Daftar susunan keluarga sebagai berikut:


Nama NIK Hubungan Keluarga Pekerjaan
DWI 01010101 ISTRI -
ITA 02020202 ANAK -
SRI 03030303 ANAK -

91
92
LAMPIRAN - I
FORMULIR HALAMAN 1
2 0 1 9

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
1770 - I PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA 0 1 1 9 s.d 1 2 1 9
KEMENTERIAN KEUANGAN RI DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS BAGI WAJIB PAJAK YANG
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN PEMBUKUAN x PENCATATAN

PERHATIAN:
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 5 5 5 5 5 5 5 5 0 5 5 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : D A V I D

BAGIAN A: PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS
(BAGI WAJIB PAJAK YANG MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN)

PEMBUKUAN / LAPORAN KEUANGAN : DIAUDIT OPINI AKUNTAN : TIDAK DIAUDIT

NAMA AKUNTAN PUBLIK :

:
NPWP AKUNTAN PUBLIK

NAMA KANTOR AKUNTAN PUBLIK :

:
NPWP KANTOR AKUNTAN PUBLIK
:
NAMA KONSULTAN PAJAK
:
NPWP KONSULTAN PAJAK
:
NAMA KANTOR KONSULTAN PAJAK
:
NPWP KANTOR KONSULTAN PAJAK

RUPIAH
1. PENGHASILAN DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS BERDASARKAN
LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL :
a. PEREDARAN USAHA 1a

b. HARGA POKOK PENJUALAN 1b

c. LABA/RUGI BRUTO USAHA (1a - 1b) 1c

d. BIAYA USAHA 1d

e. PENGHASILAN NETO (1c - 1d) 1e

2. PENYESUAIAN FISKAL POSITIF


a. BIAYA YANG DIBEBANKAN/DIKELUARKAN UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI WAJIB PAJAK ATAU
2a
ORANG YANG MENJADI TANGGUNGANNYA
b. PREMI ASURANSI KESEHATAN, ASURANSI KECELAKAAN, ASURANSI JIWA, ASURANSI DWIGUNA,
2b
DAN ASURANSI BEASISWA YANG DIBAYAR OLEH WAJIB PAJAK
c. PENGGANTIAN ATAU IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN ATAU JASA YANG
2c
DIBERIKAN DALAM BENTUK NATURA ATAU KENIKMATAN
d. JUMLAH YANG MELEBIHI KEWAJARAN YANG DIBAYARKAN KEPADA PIHAK YANG MEMPUNYAI
HUBUNGAN ISTIMEWA SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN YANG DILAKUKAN 2d

e. HARTA YANG DIHIBAHKAN, BANTUAN ATAU SUMBANGAN 2e

f. PAJAK PENGHASILAN 2f

g. GAJI YANG DIBAYARKAN KEPADA PEMILIK / ORANG YANG MENJADI TANGGUNGANNYA 2g

h. SANKSI ADMINISTRASI 2h

i. SELISIH PENYUSUTAN/AMORTISASI KOMERSIAL DIATAS PENYUSUTAN/ AMORTISASI


2i
FISKAL
j. BIAYA UNTUK MENDAPATKAN, MENAGIH DAN MEMELIHARA PENGHASILAN YANG DIKENAKAN
2j
PPh FINAL DAN PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

k. PENYESUAIAN FISKAL POSITIF LAINNYA 2k

l. JUMLAH (2a s.d. 2k) 2l

3. PENYESUAIAN FISKAL NEGATIF:


a. PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK 3a
OBJEK PAJAK TETAPI TERMASUK DALAM PEREDARAN USAHA
b. SELISIH PENYUSUTAN / AMORTISASI KOMERSIAL DI BAWAH PENYUSUTAN AMORTISASI FISKAL
3b

c. PENYESUAIAN FISKAL NEGATIF LAINNYA 3c

d. JUMLAH (3a s.d. 3c) 3d

4 JUMLAH BAGIAN A (1e + 2l - 3d) 4

Pindahkan Jumlah Bagian A (angka 4) ke Formulir 1770 Angka 1

93
FORMULIR HALAMAN 2 LAMPIRAN - I
2 0 1 9
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

TAHUN PAJAK
1770 - I • PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN
BEBAS BAGI WAJIB PAJAK YANG MENYELENGGARAKAN PENCATATAN
0 1 1 9 s.d 1 2 1 9

KEMENTERIAN KEUANGAN RI • PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN BL TH BL TH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK


• PENGHITUNGAN PENGHASILAN DALAM NEGERI LAINNYA PEMBUKUAN X PENCATATAN

PERHATIAN :
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• •
ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 5 5 5 5 5 5 5 5 0 5 5 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : D A V I D

BAGIAN B: PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS
(BAGI WAJIB PAJAK YANG MENYELENGGARAKAN PENCATATAN)

PEREDARAN USAHA NORMA PENGHASILAN NETO


NO. JENIS USAHA
(Rupiah) (%) (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5)

1 DAGANG 1,500,000,000 15% 225,000,000

2 INDUSTRI

3 JASA

4 PEKERJAAN BEBAS

5 USAHA LAINNYA

JUMLAH BAGIAN B 1,500,000,000 JBB 225,000,000

Pindahkan Jumlah Bagian B Kolom (5) ke Formulir 1770 Angka 1

BAGIAN C : PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN


(TIDAK TERMASUK PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh BERSIFAT FINAL)
PENGURANGAN PENGHASILAN
NAMA DAN NPWP PENGHASILAN BRUTO PENGHASILAN NETO
NO. BRUTO/BIAYA
PEMBERI KERJA
(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5)

1 - - -

JUMLAH BAGIAN C JBC -


Pindahkan Jumlah Bagian C Kolom (5) ke Formulir 1770 Angka 2

BAGIAN D : PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA


(TIDAK TERMASUK PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh BERSIFAT FINAL)

JUMLAH PENGHASILAN NETO


NO. JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
(1) (2) (3)

1 BUNGA
-
2 ROYALTI

3 SEWA
50,000,000
4 PENGHARGAAN DAN HADIAH

5 KEUNTUNGAN DARI PENJUALAN/PENGALIHAN HARTA


12,500,000
6 PENGHASILAN LAINNYA

JUMLAH BAGIAN D JBD 62,500,000


Pindahkan Jumlah Bagian D ke Formulir 1770 Angka 3

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke - dari halaman Lampiran -II

94
FORMULIR
LAMPIRAN - II
2 0 1 9
1770 - II

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN, 0 1 1 9 s.d 1 2 1 9
KEMENTERIAN KEUANGAN RI
PPh YANG DIBAYAR/DIPOTONG DI LUAR NEGERI DAN BL TH BL TH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK


PPh DITANGGUNG PEMERINTAH PEMBUKUAN X PENCATATAN

PERHATIAN :
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 5 5 5 5 5 5 5 5 0 5 5 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : D A V I D

BAGIAN A : DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN, PPh YANG DIBAYAR / DIPOTONG DI LUAR NEGERI DAN PPh
DITANGGUNG PEMERINTAH

NAMA NPWP BUKTI JUMLAH PPh YANG DIPOTONG /


JENIS PAJAK : PPh PASAL
NO PEMOTONG/PEMUNGUT PEMOTONG/PEMUNGUT PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN DIPUNGUT
21/ 22/23/24/26/DTP *)
PAJAK PAJAK (Rupiah)
NOMOR TANGGAL
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1 PT. ABC 01.111.111.1-011.000 1 1/4/2019 PPh Pasal 23 1,000,000

10

11

12

13

14

15
dst

JUMLAH BAGIAN A JBA 1,000,000

Pindahkan Jumlah Bagian A Kolom 7 ke Formulir 1770 Angka 15

*) - DTP = PPh Ditanggung Pemerintah


- Kolom (6) diisi dengan pilihan sebagai berikut : 21 / 22 / 23 / 24 /26/ DTP (Contoh : ditulis 21, 22, 23, 24, 26, DTP)
- Jika terdapat kredit pajak PPh Pasal 24, maka jumlah yang diisi adalah maksimum yang dapat dikreditkan sesuai lampiran tersendiri
(lihat petunjuk pengisian tentang Lampiran II Bagian A dan Induk SPT angka 4)

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke - dari halaman Lampiran-II

95
LAMPIRAN - III
2 0 1 9
1770 - III
FORMULIR

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

• PENGHASILAN YANG
BERSIFAT FINAL
DIKENAKAN PAJAK FINAL DAN/ATAU
0 1 1 9 s.d 1 2 1 9

KEMENTERIAN KEUANGAN RI • PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK BL TH BL TH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PENGHASILAN ISTERI/SUAMI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA


• TERPISAH
PEMBUKUAN x PENCATATAN

PERHATIAN :
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 5 5 5 5 5 5 5 5 0 5 5 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : D A V I D

BAGIAN A : PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL

DASAR PENGENAAN PPh TERUTANG


NO JENIS PENGHASILAN
PAJAK/PENGHASILAN BRUTO (Rupiah)
(1) (2) (3) (4)

BUNGA DEPOSITO, TABUNGAN, DISKONTO SBI, SURAT BERHARGA


1.
NEGARA

2. BUNGA/DISKONTO OBLIGASI

30,000,000 30,000
3. PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK

4. HADIAH UNDIAN

PESANGON, TUNJANGAN HARI TUA DAN TEBUSAN


5.
PENSIUN YANG DIBAYAR SEKALIGUS

6. HONORARIUM ATAS BEBAN APBN / APBD

7. PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

BANGUNAN YANG DITERIMA DALAM RANGKA BANGUNAN GUNA


8.
SERAH

40,000,000 4,000,000
9. SEWA ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

10. USAHA JASA KONSTRUKSI

11. PENYALUR/DEALER/AGEN PRODUK BBM

BUNGA SIMPANAN YANG DIBAYARKAN OLEH KOPERASI KEPADA


12.
ANGGOTA KOPERASI

13. PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF

14. DIVIDEN

15. PENGHASILAN ISTERI DARI SATU PEMBERI KERJA

PENGHASILAN LAIN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL


16.
DAN/ATAU BERSIFAT FINAL

17. JUMLAH (1 s.d. 16) 4,030,000

BAGIAN B : PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK


PENGHASILAN BRUTO
NO SUMBER/JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
(1) (2) (3)

1. BANTUAN / SUMBANGAN / HIBAH

2. WARISAN -

BAGIAN LABA ANGGOTA PERSEROAN KOMANDITER TIDAK ATAS SAHAM, PERSEKUTUAN,


3.
PERKUMPULAN, FIRMA, KONGSI

4. KLAIM ASURANSI KESEHATAN, KECELAKAAN, JIWA, DWIGUNA, BEASISWA

5. BEASISWA

6. PENGHASILAN LAIN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

JUMLAH BAGIAN B JBB -

BAGIAN C : PENGHASILAN ISTERI/SUAMI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA TERPISAH


(Rupiah)

PENGHASILAN NETO ISTERI/SUAMI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA TERPISAH

96
FORMULIR 1770 - IV
LAMPIRAN - IV
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI 2 0 1 9

TAHUN PAJAK
• HARTA PADA AKHIR TAHUN 0 1 1 9 s.d 1 2 1 9
KEMENTERIAN KEUANGAN RI
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • KEWAJIBAN/UTANG PADA AKHIR TAHUN BL TH BL TH

• DAFTAR SUSUNAN ANGGOTA KELUARGA PEMBUKUAN x PENCATATAN

PERHATIAN
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 5 5 5 5 5 5 5 5 0 5 5 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : D A V I D

BAGIAN A : HARTA PADA AKHIR TAHUN

KODE HARGA PEROLEHAN


NO. NAMA HARTA TAHUN PEROLEHAN KETERANGAN
HARTA (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1 043 Mobil Asemka 2018 200,000,000 B 1234 STA

2 061 Rumah di Pondok Safari 2019 1,000,000,000 NO. SERTIFIKAT 01

3 062 Ruko 2000 1,000,000,000 NO. SERTIFIKAT 02

4 055 Alat Fotografi 2000 1,000,000,000

10 dst

JUMLAH BAGIAN A JBA 3,200,000,000

BAGIAN B : KEWAJIBAN/UTANG PADA AKHIR TAHUN

KODE JUMLAH
NO. NAMA PEMBERI PINJAMAN ALAMAT PEMBERI PINJAMAN TAHUN PEMINJAMAN
UTANG (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

10 dst

JUMLAH BAGIAN B JBB


-

BAGIAN C : DAFTAR SUSUNAN ANGGOTA KELUARGA

NO. NAMA ANGGOTA KELUARGA NIK HUBUNGAN KELUARGA PEKERJAAN

(1) (2) (3) (4) (5)

1 DWI 01010101 ISTRI -

2 ITA 02020202 ANAK -

3 SRI 03030303 ANAK -

4
5
dst

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke- dari halaman Lampiran-IV

97
98
RINGKASAN

1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto digunakan oleh Wajib Pajak Orang


Pribadi yang berhak menggunakan pencatatan dan sekaligus melakukan
pencatatan (tidak pembukuan)
2) WP OP yang mendapatkan penghasilan dari usaha harus menggunakan
formulir 1770 dalam melaporkan kewajiban perpajakannya
3) SPT 1770 digunakan oleh WP yang dari usaha/pekerjaan bebas; dari satu atau
lebih pemberi kerja; yang dikenakan PPh Final dan/atau bersifat final; dan/atau
alam negeri lainnya/luar negeri;
4) Angsuran PPh Pasal 25 tahun pajak berikutnya dihitung dalam SPT Tahunan
tahun sebelumnya

LATIHAN/PENUGASAN

Latihan

Informasi berikut berlaku untuk soal nomor 1 s.d. 3.


Pak Setya tinggal di Surabaya dan memiliki usaha penjualan buku di Jogjakarta
dengan hasil penjualan sebesar Rp2.860.000.000,00 pada tahun 2019. Pada akhir
tahun 2018 Pak Setya telah menyampaikan pemberitahuan kepada KPP bahwa dia
memilih dikenakan tarif umum PPh Pasal 17 untuk tahun 2019. Pak Setya tidak
menyelenggarakan pembukuan dan telah memenuhi persyaratan formal untuk
menggunakan pencatatan.

1) Yang benar terkait kewajiban pajak Pak Setya tahun 2019 adalah ….
a. penghasilan neto tahun 2019 dihitung dengan mengunakan norma
penghitungan penghasilan neto
b. tahun pajak 2019 Pak Setya dikenakan PP 23/2018
c. penghasilan neto tahun 2019 adalah nol jika tidak terdapat penghasilan
lainnya
d. penghasilan dari penjualan buku dikaterogikan sebagai penghasilan dalam
negeri lainnya

2) Angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun pajak 2020 adalah ….


a. 1/12 dari pajak yang harus dibayar sendiri tahun 2019
b. 0,75% dari omzet per bulan di tahun 2020
c. dihitung dengan mengeluarkan penghasilan neto tidak teratur
d. nol

3) Berdasarkan soal di atas, penghasilan dari usaha tersebut dicantumkan di SPT


pada bagian….
a. Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final dan/atau Bersifat Final
b. Penghasilan Neto Dalam Negeri Sehubungan dengan Pekerjaan
c. Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya
d. Penghasilan Neto Dalam Negeri dari Usaha dan/atau Pekerjaan Bebas

99
4) Jika Tn Satya tidak memilih untuk dikenakan tarif umum PPh Pasal 17,
penghasilan dari usaha tersebut dicantumkan di SPT pada bagian….
a. Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final dan/atau Bersifat Final
b. Penghasilan Neto Dalam Negeri Sehubungan dengan Pekerjaan
c. Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya
d. Penghasilan Neto Dalam Negeri dari Usaha dan/atau Pekerjaan Bebas

5) Pengenaan pajak 0,5% berdasarkan PP 23/2018 dilaporkan dalam SPT


Tahunan PPh OP 1770 pada bagian ….
a. Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final dan/atau Bersifat Final
b. Penghasilan Neto Dalam Negeri Sehubungan dengan Pekerjaan
c. Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya
d. Penghasilan Neto Dalam Negeri dari Usaha dan/atau Pekerjaan Bebas

6) Penjualan kebun dengan mendapatkan kerugian, dalam SPT 1770 dilaporkan


dalam bagian ….
a. Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainya, bagian “Keuntungan dari
Penjualan/Pengalihan Harta”
b. Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final, bagian “Pengalihan
100ook100ga100 Tanah dan Bangunan”
c. Penghasilan yang Tidak Termasuk Objek Pajak, bagian “Penghasilan Lain”
d. tidak dilaporkan

7) Pernyataan berikut yang benar mengenai pemindahan informasi jumlah


pengurang penghasilan bruto dari formulir 1721-A1/A2 ke dalam SPT Tahunan
adalah ….
1. bisa dipindahkan ke lampiran SPT 1770
2. bisa dipindahkan ke lampiran SPT 1770 S
3. bisa dipindahkan ke induk SPT 1770
4. bisa dipindahkan ke lampiran SPT 1770 SS

8) Yang termasuk pekerjaan bebas adalah ….


a. Firma ABC memberikan jasa audit pada PT DEF
b. Ifa, S. Tr. Ak., C.A., akuntan berstatus PNS Kementerian Keuangan bertugas
mengawasi 100ook100ga profesi akuntansi dan perpajakan
c. Rini, S.H., lulusan spesialisasi penasihat hukum menjadi pegawai tetap di
Kantor Pengacara PQR
d. Heliya, Ak., mantan PNS, menjadi motivator

9) Ibu Suci merupakan pedagang batik. Ia memiliki tiga buah 100ook batik Solo
yang berlokasi di Pasar Tanah Abang, ITC Mangga Dua, dan Depok. Pada tahun
pajak 2018 lalu, omset keseluruhan tokonya Rp6.750.000.000,00. (tahun 2017
menggunakan perhitungan sesuai PP 46) Ibu Suci tidak memiliki penghasilan
lain selain dari 100ook batiknya tersebut. Pada tahun pajak 2019 pelaksanaan
kewajiban perpajakan Ibu Suci adalah ….
a. angsuran PPh Pasal 25 tiap bulan adalah 0,75% x peredaran bruto per bulan,
karena Ibu Suci merupakan WP orang pribadi pengusaha tertentu (OPPT)

100
b. angsuran PPh Pasal 25 adalah berdasarkan perhitungan pada SPT Tahunan
PPh OP tahun pajak 2017
c. awal tahun 2018 ini Ibu Suci menyampaikan pemberitahuan penggunaan
norma penghitungan penghasilan neto untuk tahun pajak 2018, maka
penghitungan angsuran PPh Pasal 25-nya menggunakan norma
d. tiap bulan Ibu Suci menyetor PPh Pasal 4 ayat (2) Final sebesar 0,5% x
Penghasilan Bruto.

10) Sehubungan dengan nomor di atas, perhitungan PPh selama tahun 2018
tersebut…
a. angsuran PPh Pasal 25 tiap bulan adalah 0,75% x peredaran bruto per bulan,
karena Ibu Suci merupakan WP orang pribadi pengusaha tertentu (OPPT)
b. angsuran PPh Pasal 25 adalah berdasarkan perhitungan pada SPT Tahunan
PPh OP tahun pajak 2017 dibagi 12.
c. Penghitungan angsuran PPh Pasal 25-nya menggunakan norma
d. tiap bulan Ibu Suci menyetor PPh Pasal 4 ayat (2) Final dari jumlah bruto.

Perhitungan Angsuran Bagi WP OPPT

Wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu (OPPT) dengan omzet hingga
Rp4,8 miliar setahun (UMKM) dapat memilih memanfaatkan skema khusus pajak
final 0,5 persen (skema pajak final) atau memilih skema pajak umum (non-final).
OPPT UMKM yang memilih skema pajak final, maka cukup membayar PPh final 0,5
persen dari omzet sehingga tidak perlu membayar angsuran PPh pasal 25 sebesar
0,75 persen.
OPPT UMKM yang memilih skema umum atau nonfinal, maka berlaku
pembayaran angsuran PPh pasal 25 sebesar 0,75 persen.
Bagi wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan omzet lebih dari
Rp4,8 miliar setahun (non-UMKM), tidak dapat menggunakan skema PPh final
sehingga wajib membayar angsuran PPh pasal 25 sebesar 0,75 persen.
Yang dimaksud dengan wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu adalah
wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa,
tidak termasuk jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, pada satu atau lebih
tempat kegiatan usaha yang berbeda dengan tempat tinggal wajib pajak.

Video tutorial pengisian SPT ini dapat dilihat di KLC dengan link sebagai
berikut:
https://klc.kemenkeu.go.id/pknstan-pengisian-spt-tahunan-pph-orang-pribadi-
1770-latihan-contoh-kasus/

---Q---

101
PPh BAGI ORANG PRIBADI YANG MENJALANKAN
PEKERJAAN BEBAS (NONPEMBUKUAN)

Tujuan Pembelajaran:
Pada bab ini mahasiswa mampu:
1. menghitung Pajak Penghasilan Akhir Tahun bagi WP OP (tidak pembukuan)
yang menjalankan pekerjaan bebas
2. mengisi SPT Tahunan PPh OP (Formulir 1770)

BAB

Penghasilan

Bukan Objek Objek

Final/Bersifat Penghasilan Pekerjaan Usaha Pekerjaan


final Neto lain Bebas

GAMBAR VII.7 SKEMA SPT 1770 PEKERJAAN BEBAS

102
A. Menghitung PPh Akhir Tahun WP OP Nonpembukuan yang Menjalankan
Pekerjaan Bebas
WP Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan bebas yang peredaran brutonya
dalam 1 tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000, boleh menghitung penghasilan neto
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan (Pasal 14 ayat (2) UU PPh). WP OP
tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan
memilih menyelenggarakan pembukuan.
Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang
disampaikan dalam jangka waktu tersebut dianggap disetujui kecuali berdasarkan
hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Jenis pekerjaan bebas yaitu:
1) tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, PPAT, penilai, dan aktuaris;
2) pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain
drama, dan penari;
3) olahragawan;
4) penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5) pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6) agen iklan;
7) pengawas atau pengelola proyek;
8) perantara;
9) petugas penjaja barang dagangan;
10) agen asuransi;
11) distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan
kegiatan sejenis lainnya.
Setelah diketahui jenis pekerjaannya, perhitungan berikutnya dengan melihat
presentase penghasilan neto sesuai dalam PER-17/PJ/2015 sebagaimana telah
dibahas pada bab sebelumnya. Cara menghitung penghasilan neto bagi WP OP yang
memiliki pekerjaan bebas (nonpembukuan) akan sama dengan WP OP yang
menjalankan usaha (nonpembukuan) pada bab sebelumnya. Cara perhitungan PPh
terutang dan PPh Kurang (Lebih) Bayar juga sama, yaitu mengikuti urutan perhitungan
PPh OP pada bab-bab sebelumnya.

B. WP OP Pekerjaan Bebas dengan Sumber Penghasilan yang lain


WP OP yang memiliki pekerjaan bebas dapat juga memperoleh penghasilan
dengan sumber dari selain pekerjaan bebas. Dalam kondisi tertentu, sangat
dimungkinkan jika ada WP OP yang memiliki seluruh sumber penghasilan (pekerjaan,
pekerjaan bebas, usaha, dalam negeri lainnya, dan luar negeri), dan juga penghasilan
bukan objek pajak dan final. SPT 1770 dapat menampung semua jenis penghasilan
tersebut. Penghasilan neto dari berbagai sumber tersebut (selain bukan objek pajak
dan final) akan dijumlahkan dalam perhitungan PPh akhir tahun WP OP. Cara
menghitung penghasilan neto dari tiap-tiap sumber penghasilan tersebut adalah
seperti pembahasan pada bab-bab sebelumnya.

103
C. Menghitung Angsuran PPh Pasal 25 tahun berikutnya
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan
dalam Tahun Pajak berjalan untuk suatu bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang PPh. Angsuran ini
hanya diperuntukkan bagi WP Orang Pribadi yang menghitung pajaknya berdasarkan
pasal 17. Jadi, tidak berlaku bagi WP OP dengan penghasilan yang telah dikenakan
PPh Final atau bersifat final.
Penghitungan angsuran telah dibahas pada bab sebelumnya.

D. WP OP dengan status kewajiban perpajakan suami-istri PH atau MT


Pembahasan perhitungan dalam kondisi PH atau MT dapat merujuk pada
pembahasan pada bab sebelumnya.

E. Mengisi SPT Tahunan dengan Formulir 1770


Contoh Penghitungan:
Nona Aurelia menjalankan usaha kantor akuntan publik di Jakarta. Sepanjang
tahun 2018, Nona Aurelia memiliki peredaran usaha dari jasa kantor akuntan publik
sebesar Rp1 miliar. Nona Aurelia telah menyampaikan pemberitahuan mengenai
penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak 3 bulan sejak awal
Tahun Pajak 2018. Karena penghasilan yang diperoleh Nona Aurelia pada tahun 2018
dari usaha jasa kantor akuntan publik tidak melebihi Rp4,8 miliar, maka Nona Aurelia
boleh menghitung penghasilan neto atas penghasilan yang diperoleh dari jasa kantor
akuntan publik dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Penghitungan Pajak Penghasilan Nona Aurelia yang terutang pada Tahun Pajak 2018
adalah sebagai berikut:
Persentase penghasilan neto jasa kantor akuntan publik di kota Jakarta adalah
sesuai dengan norma KLU 69200 untuk 10 ibukota provinsi yaitu sebesar 50%.

Penghasilan Neto dari jasa kantor akuntan publik: 50% x 500.000.000


Rp1.000.000.000 =
Penghasilan Tidak Kena Pajak setahun untuk diri Wajib Pajak 54.000.000
sendiri =
Penghasilan Kena Pajak 446,000,000
Pajak Penghasilan terutang:
5% x Rp 50.000.000 2.500.000

104
15% x Rp200.000.000 30.000.000
25% x Rp196.000.000 49,000,000
Jumlah 81,500,000

Informasi lainnya:
- Tgl 1 Juni menjual tanah sebesar Rp 200.000.000; kepada Tn Budi.
- Memperoleh hadiah undian Rp 1 M dari Bank Mandiri.
- Memperoleh deviden dari saham pada PT. XYZ Rp 10.000.000;
- Data asset sebagai berikut:

NAMA HARTA TAHUN HARGA KETERANGAN


PEROLEHAN PEROLEHAN
(Rupiah)
Mobil Jaguar 2016 700,000,000 B 1009 ELU

Rumah di Pondok Indah 2000 4,000,000,000 No Sertifikat 01

Tabungan 2000 5,000,000,000 No. rek.


110.0000.000
Saham PT. XYZ 2000 1,000,000,000 No. saham 1001

105
FORMULIR 1770 SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI 2 0 1 8

TAHUN PAJAK
BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMPUNYAI PENGHASILAN :
0 1 1 8 1 2 1 8

s.d
DARI USAHA/PEKERJAAN BEBAS;
KEMENTERIAN KEUANGAN RI • DARI SATU ATAU LEBIH PEMBERI KERJA; BL TH BL TH
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
• YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL; DAN/ATAU PEMBUKUAN X PENCATATAN
• DALAM NEGERI LAINNYA/LUAR NEGERI.
SPT PEMBETULAN KE - …….
PERHATIAN
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 7 7 7 7 7 7 7 7 0 7 7 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : A U R E L I A

JENIS USAHA/PEKERJAAN BEBAS : A K U N T A N KLU : 6 9 2 0 0


IDENTITAS

NO. TELEPON/FAKSIMILI : 0 2 1 1 1 1 / 0 8 0 9 1 0 0 0 0
STATUS KEWAJIBAN PERPAJAKAN : X KK HB PH MT
SUAMI-ISTERI
NPWP ISTERI/SUAMI :

Permohonan perubahan data disampaikan terpisah dari pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini, dengan menggunakan Formulir
Perubahan Data Wajib Pajak dan dilengkapi dokumen yang disyaratkan.
*) Pengisian kolom-kolom yang berisi nilai rupiah harus tanpa nilai desimal (contoh penulisan lihat petunjuk pengisian halaman 3) RUPIAH *)
1. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 1 Jumlah Bagian A atau Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian B Kolom 5]
1 500,000,000

2.
A. PENGHASILAN NETO

PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN


2 -
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian C Kolom 5]
3. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA
3 -
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian D Kolom 3]
4. PENGHASILAN NETO LUAR NEGERI
4 -
[Apabila memiliki penghasilan dari luar negeri agar diisi dari Lampiran Tersendiri, lihat petunjuk pengisian]
5. JUMLAH PENGHASILAN NETO (1 + 2 + 3 + 4)
5 500,000,000

6. ZAKAT / SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG BERSIFAT WAJIB


6 -

7. JUMLAH PENGHASILAN NETO SETELAH PENGURANGAN ZAKAT /SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG


7 500,000,000
SIFATNYA WAJIB ( 5- 6)

8. KOMPENSASI KERUGIAN
8 -
B. PENGHASILAN
KENA PAJAK

9. JUMLAH PENGHASILAN NETO SETELAH KOMPENSASI KERUGIAN (7 - 8)


9 500,000,000

10. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK


TK / 0 K/ K / I/ 10 54,000,000
11. PENGHASILAN KENA PAJAK (9 -10)
11 446,000,000

PPh TERUTANG (TARIF PASAL 17 UU PPh X ANGKA 11)


12. [Bagi Wajib Pajak dengan status PH / MT diisi dari Lampiran Perhitungan PPh Terutang sebagaimana dimaksud dalam bagian G: Lampiran huruf i] 12 81,500,000
TERUTANG
C. PPh

13. PENGEMBALIAN/PENGURANGAN PPh PASAL 24 YANG TELAH DIKREDITKAN


13 -

14. JUMLAH PPh TERUTANG ( 12 + 13)


14 81,500,000

15. PPh YANG DIPOTONG / DIPUNGUT OLEH PIHAK LAIN, PPh YANG DIBAYAR / DIPOTONG DI LUAR NEGERI
15 -
DAN PPh DITANGGUNG PEMERINTAH [Diisi dari formulir 1770 -II Jumlah Bagian A Kolom 7]
D. KREDIT PAJAK

16. X a. PPh YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI


(14-15) 16 81,500,000
b. PPh YANG LEBIH DIPOTONG/DIPUNGUT

17. PPh YANG DIBAYAR SENDIRI a. PPh PASAL 25 BULANAN


17a -

b. STP PPh PASAL 25 (HANYA POKOK PAJAK)


17b -

18. JUMLAH KREDIT PAJAK (17a+17b)


18 -
E. PPh KURANG/ LEBIH

19. a. X PPh YANG KURANG DIBAYAR (PPh PASAL 29) TGL 3 0 0 3 1 9


(16-18) LUNAS 19 81,500,000
b. PPh YANG LEBIH DIBAYAR (PPh PASAL 28 A) tgl bln thn
BAYAR

20. PERMOHONAN : PPh Lebih Bayar pada 19.b mohon DIKEMBALIKAN DENGAN SKPPKP PASAL 17C (WP
a. DIRESTITUSIKAN c. dengan Kriteria Tertentu)
DIPERHITUNGKAN DENGAN DIKEMBALIKAN DENGAN SKPPKP PASAL 17D (WP yang
b. UTANG PAJAK
d. Memenuhi Persyaratan Tertentu)

21. ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN PAJAK BERIKUTNYA DIHITUNG SEBESAR


PAJAK BERIKUTNYA

21
F. ANGSURAN PPh

-
PASAL 25 TAHUN

DIHITUNG BERDASARKAN :

a. X 1/12 X JUMLAH PADA ANGKA 16 c. PERHITUNGAN DALAM LAMPIRAN TERSENDIRI

b. PERHITUNGAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU

SELAIN FORMULIR 1770 - I SAMPAI DENGAN 1770 - IV (BAIK YANG DIISI MAUPUN YANG TIDAK DIISI) HARUS DILAMPIRKAN PULA :

a. SURAT KUASA KHUSUS (BILA DIKUASAKAN) g. PERHITUNGAN ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN PAJAK BERIKUTNYA
G. LAMPIRAN

b.
SSP LEMBAR KE-3 PPh PASAL 29 h. ............................................................................................................................

NERACA DAN LAP. LABA RUGI / REKAPITULASI BULANAN PEREDARAN BRUTO DAN/ATAU PENGHASILAN PERHITUNGAN PPh TERUTANG BAGI WAJIB PAJAK DENGAN STATUS PERPAJAKAN
c. LAIN DAN BIAYA i. PH ATAU MT
DAFTAR JUMLAH PENGHASILAN DAN PEMBAYARAN PPh PASAL 25 (KHUSUS UNTUK
d. PERHITUNGAN KOMPENSASI KERUGIAN FISKAL j. ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU)
BUKTI PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN OLEH PIHAK LAIN/DITANGGUNG PEMERINTAH DAN YANG DAFTAR JUMLAH PENGHASILAN BRUTO DAN PEMBAYARAN PPh FINAL
e. DIBAYAR/DIPOTONG DI LUAR NEGERI k. BERDASARKAN PP 46 TAHUN 2013 PER MASA PAJAK DAN PER TEMPAT USAHA

f.
FOTOKOPI FORMULIR 1721-A1 DAN/ATAU 1721-A2 (............LEMBAR) l. ............................................................................................................................

PERNYATAAN
Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya TANDA TANGAN
menyatakan bahwa apa yang telah saya beritahukan di atas beserta lampiran-lampirannya adalah benar, lengkap dan jelas.

x WAJIB PAJAK KUASA TANGGAL: 3 1 0 3 2 0 1 7

NAMA LENGKAP : A U R E L I A Aurel


NPWP : 0 7 7 7 7 7 7 7 7 0 7 7 0 0 0
106
F.1.1.32.16
LAMPIRAN - I
FORMULIR HALAMAN 1
2 0 1 8

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
1770 - I PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA 0 1 1 8 s.d 1 2 1 8
KEMENTERIAN KEUANGAN RI DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS BAGI WAJIB PAJAK YANG BL TH BL TH
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN PEMBUKUAN x PENCATATAN

PERHATIAN:
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 7 7 7 7 7 7 7 7 0 7 7 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : A U R E L I A

BAGIAN A: PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS
(BAGI WAJIB PAJAK YANG MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN)

PEMBUKUAN / LAPORAN KEUANGAN : DIAUDIT OPINI AKUNTAN : TIDAK DIAUDIT

NAMA AKUNTAN PUBLIK :

:
NPWP AKUNTAN PUBLIK

NAMA KANTOR AKUNTAN PUBLIK :

:
NPWP KANTOR AKUNTAN PUBLIK
:
NAMA KONSULTAN PAJAK
:
NPWP KONSULTAN PAJAK
:
NAMA KANTOR KONSULTAN PAJAK
:
NPWP KANTOR KONSULTAN PAJAK

RUPIAH
1. PENGHASILAN DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS BERDASARKAN
LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL :
a. PEREDARAN USAHA 1a

b. HARGA POKOK PENJUALAN 1b

c. LABA/RUGI BRUTO USAHA (1a - 1b) 1c

d. BIAYA USAHA 1d

e. PENGHASILAN NETO (1c - 1d) 1e

2. PENYESUAIAN FISKAL POSITIF


a. BIAYA YANG DIBEBANKAN/DIKELUARKAN UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI WAJIB PAJAK ATAU
2a
ORANG YANG MENJADI TANGGUNGANNYA
b. PREMI ASURANSI KESEHATAN, ASURANSI KECELAKAAN, ASURANSI JIWA, ASURANSI DWIGUNA,
2b
DAN ASURANSI BEASISWA YANG DIBAYAR OLEH WAJIB PAJAK
c. PENGGANTIAN ATAU IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN ATAU JASA YANG
2c
DIBERIKAN DALAM BENTUK NATURA ATAU KENIKMATAN
d. JUMLAH YANG MELEBIHI KEWAJARAN YANG DIBAYARKAN KEPADA PIHAK YANG MEMPUNYAI
HUBUNGAN ISTIMEWA SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN YANG DILAKUKAN 2d

e. HARTA YANG DIHIBAHKAN, BANTUAN ATAU SUMBANGAN 2e

f. PAJAK PENGHASILAN 2f

g. GAJI YANG DIBAYARKAN KEPADA PEMILIK / ORANG YANG MENJADI TANGGUNGANNYA 2g

h. SANKSI ADMINISTRASI 2h

i. SELISIH PENYUSUTAN/AMORTISASI KOMERSIAL DIATAS PENYUSUTAN/ AMORTISASI


2i
FISKAL
j. BIAYA UNTUK MENDAPATKAN, MENAGIH DAN MEMELIHARA PENGHASILAN YANG DIKENAKAN
2j
PPh FINAL DAN PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

k. PENYESUAIAN FISKAL POSITIF LAINNYA 2k

l. JUMLAH (2a s.d. 2k) 2l

3. PENYESUAIAN FISKAL NEGATIF:


a. PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK
3a
OBJEK PAJAK TETAPI TERMASUK DALAM PEREDARAN USAHA
b. SELISIH PENYUSUTAN / AMORTISASI KOMERSIAL DI BAWAH PENYUSUTAN AMORTISASI FISKAL
3b

c. PENYESUAIAN FISKAL NEGATIF LAINNYA 3c

d. JUMLAH (3a s.d. 3c) 3d

4 JUMLAH BAGIAN A (1e + 2l - 3d) 4

Pindahkan Jumlah Bagian A (angka 4) ke Formulir 1770 Angka 1

107
FORMULIR HALAMAN 2 LAMPIRAN - I
2 0 1 8
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

TAHUN PAJAK
1770 - I • PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN
BEBAS BAGI WAJIB PAJAK YANG MENYELENGGARAKAN PENCATATAN 0 1 1 8 s.d 1 2 1 8

KEMENTERIAN KEUANGAN RI • PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN BL TH BL TH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • PENGHITUNGAN PENGHASILAN DALAM NEGERI LAINNYA PEMBUKUAN X PENCATATAN

PERHATIAN :
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• •
ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 7 7 7 7 7 7 7 7 0 7 7 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : A U R E L I A

BAGIAN B: PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS
(BAGI WAJIB PAJAK YANG MENYELENGGARAKAN PENCATATAN)

PEREDARAN USAHA NORMA PENGHASILAN NETO


NO. JENIS USAHA
(Rupiah) (%) (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5)

1 DAGANG

2 INDUSTRI

3 JASA

4 PEKERJAAN BEBAS 1,000,000,000 50 500,000,000

5 USAHA LAINNYA

JUMLAH BAGIAN B 1,000,000,000 JBB 500,000,000

Pindahkan Jumlah Bagian B Kolom (5) ke Formulir 1770 Angka 1

BAGIAN C : PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN


(TIDAK TERMASUK PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh BERSIFAT FINAL)
PENGURANGAN PENGHASILAN
NAMA DAN NPWP PENGHASILAN BRUTO PENGHASILAN NETO
NO. BRUTO/BIAYA
PEMBERI KERJA
(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5)

1 - - -

JUMLAH BAGIAN C JBC -


Pindahkan Jumlah Bagian C Kolom (5) ke Formulir 1770 Angka 2

BAGIAN D : PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA


(TIDAK TERMASUK PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh BERSIFAT FINAL)

JUMLAH PENGHASILAN NETO


NO. JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
(1) (2) (3)

1 BUNGA

2 ROYALTI

3 SEWA
-
4 PENGHARGAAN DAN HADIAH

5 KEUNTUNGAN DARI PENJUALAN/PENGALIHAN HARTA

6 PENGHASILAN LAINNYA

JUMLAH BAGIAN D JBD -


Pindahkan Jumlah Bagian D ke Formulir 1770 Angka 3

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke - dari halaman Lampiran -II

108
FORMULIR
LAMPIRAN - II
2 0 1 8
1770 - II

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN, 0 1 1 8 s.d 1 2 1 8

KEMENTERIAN KEUANGAN RI
PPh YANG DIBAYAR/DIPOTONG DI LUAR NEGERI DAN BL TH BL TH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK


PPh DITANGGUNG PEMERINTAH PEMBUKUAN X PENCATATAN

PERHATIAN :
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 7 7 7 7 7 7 7 7 0 7 7 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : A U R E L I A

BAGIAN A : DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN, PPh YANG DIBAYAR / DIPOTONG DI LUAR NEGERI DAN PPh
DITANGGUNG PEMERINTAH

NAMA NPWP BUKTI JUMLAH PPh YANG DIPOTONG /


JENIS PAJAK : PPh PASAL
NO PEMOTONG/PEMUNGUT PEMOTONG/PEMUNGUT PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN DIPUNGUT
21/ 22/23/24/26/DTP *)
PAJAK PAJAK (Rupiah)
NOMOR TANGGAL
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

10

11

12

13

14

15
dst

JUMLAH BAGIAN A JBA -

Pindahkan Jumlah Bagian A Kolom 7 ke Formulir 1770 Angka 15

*) - DTP = PPh Ditanggung Pemerintah


- Kolom (6) diisi dengan pilihan sebagai berikut : 21 / 22 / 23 / 24 /26/ DTP (Contoh : ditulis 21, 22, 23, 24, 26, DTP)
- Jika terdapat kredit pajak PPh Pasal 24, maka jumlah yang diisi adalah maksimum yang dapat dikreditkan sesuai lampiran tersendiri
(lihat petunjuk pengisian tentang Lampiran II Bagian A dan Induk SPT angka 4)

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke - dari halaman Lampiran-II

109
LAMPIRAN - III
2 0 1 8
1770 - III
FORMULIR

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI


PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL DAN/ATAU
0 1 1 8 s.d 1 2 1 8
BERSIFAT FINAL
KEMENTERIAN KEUANGAN RI • PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK BL TH BL TH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PENGHASILAN ISTERI/SUAMI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA


• TERPISAH
PEMBUKUAN
x
PENCATATAN

PERHATIAN :
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 7 7 7 7 7 7 7 7 0 7 7 0 0 0
NAMA WAJIB PAJAK : A U R E L I A

BAGIAN A : PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL

DASAR PENGENAAN PPh TERUTANG


NO JENIS PENGHASILAN
PAJAK/PENGHASILAN BRUTO (Rupiah)
(1) (2) (3) (4)

BUNGA DEPOSITO, TABUNGAN, DISKONTO SBI, SURAT BERHARGA


1.
NEGARA

2. BUNGA/DISKONTO OBLIGASI

3. PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK

1,000,000,000 250,000,000
4. HADIAH UNDIAN

PESANGON, TUNJANGAN HARI TUA DAN TEBUSAN


5.
PENSIUN YANG DIBAYAR SEKALIGUS

6. HONORARIUM ATAS BEBAN APBN / APBD

200,000,000 5,000,000
7. PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

BANGUNAN YANG DITERIMA DALAM RANGKA BANGUNAN GUNA


8.
SERAH

9. SEWA ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

10. USAHA JASA KONSTRUKSI

11. PENYALUR/DEALER/AGEN PRODUK BBM

BUNGA SIMPANAN YANG DIBAYARKAN OLEH KOPERASI KEPADA


12.
ANGGOTA KOPERASI

13. PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF

14. DIVIDEN 10,000,000 1,000,000

15. PENGHASILAN ISTERI DARI SATU PEMBERI KERJA

PENGHASILAN LAIN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL


16.
DAN/ATAU BERSIFAT FINAL

17. JUMLAH (1 s.d. 16) 256,000,000

BAGIAN B : PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK


PENGHASILAN BRUTO
NO SUMBER/JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
(1) (2) (3)

1. BANTUAN / SUMBANGAN / HIBAH

2. WARISAN

BAGIAN LABA ANGGOTA PERSEROAN KOMANDITER TIDAK ATAS SAHAM, PERSEKUTUAN,


3.
PERKUMPULAN, FIRMA, KONGSI

4. KLAIM ASURANSI KESEHATAN, KECELAKAAN, JIWA, DWIGUNA, BEASISWA

5. BEASISWA

6. PENGHASILAN LAIN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

JUMLAH BAGIAN B JBB

BAGIAN C : PENGHASILAN ISTERI/SUAMI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA TERPISAH


(Rupiah)

PENGHASILAN NETO ISTERI/SUAMI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA TERPISAH

110
FORMULIR 1770 - IV SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
LAMPIRAN - IV
2 0 1 8

TAHUN PAJAK
• HARTA PADA AKHIR TAHUN 0 1 1 8 s.d 1 2 1 8
KEMENTERIAN KEUANGAN RI
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • KEWAJIBAN/UTANG PADA AKHIR TAHUN BL TH BL TH

• DAFTAR SUSUNAN ANGGOTA KELUARGA PEMBUKUAN x PENCATATAN

PERHATIAN
• SEBELUM MENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 7 7 7 7 7 7 7 7 0 7 7 0 0 0
NAMA WAJIB PAJAK : A U R E L I A

BAGIAN A : HARTA PADA AKHIR TAHUN

KODE HARGA PEROLEHAN


NO. NAMA HARTA TAHUN PEROLEHAN KETERANGAN
HARTA (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1 043 Mobil Jaguar 2016 700,000,000 B 1009 ELU

2 061 Rumah di Pondok Indah 2000 4,000,000,000 No Sertifikat 01

3 012 Tabungan 2000 5,000,000,000 No. rek. 110.0000.000

4 032 Saham PT. XYZ 2000 1,000,000,000 No. saham 1001

10 dst

JUMLAH BAGIAN A JBA 10,700,000,000

BAGIAN B : KEWAJIBAN/UTANG PADA AKHIR TAHUN

KODE JUMLAH
NO. NAMA PEMBERI PINJAMAN ALAMAT PEMBERI PINJAMAN TAHUN PEMINJAMAN
UTANG (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

10 dst

JUMLAH BAGIAN B JBB


-

BAGIAN C : DAFTAR SUSUNAN ANGGOTA KELUARGA

NO. NAMA ANGGOTA KELUARGA NIK HUBUNGAN KELUARGA PEKERJAAN

(1) (2) (3) (4) (5)

1 - - - -

4
5
dst

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke- dari halaman Lampiran-IV

111
RINGKASAN

1) Jenis pekerjaan bebas dapat dilihat di PP 23 Tahun 2018


2) WP OP yang mendapatkan penghasilan dari pekerjaan bebas, menggunakan
SPT 1770, seperti halnya WP OP yang mendapatkan penghasilan dari usaha
3) Sangat dimungkinkan bahwa WP OP memiliki penghasilan dari seluruh jenis
sumber penghasilan, yaitu dari usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, dalam
negeri lainnya, dan luar negeri.
4) Penghitungan PPh terutang untuk WP OP dengan pekerjaan bebas sama
dengan perhitungan WP OP yang mendapatkan penghasilan dari sumber lain.
Perbedaan hanya pada penghitungan penghasilan neto.

LATIHAN/PENUGASAN

Latihan

1) SPT yang sesuai untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang berprofesi sebagai
tukang ojek adalah ….
a. 1770SS
b. 1770S
c. 1770
d. 1770 S atau 1770 SS

2) Orang Pribadi yang menunaikan zakat/sumbangan keagamaan yang bersifat


wajib dapat menjadikan hal tersebut sebagai pengurang jika menggunakan SPT
….
a. 1770 SS
b. 1770 S dan 1770 SS
c. 1770 dan 1770 S
d. 1770 SS dan 1770

3) Jenis penghasilan yang terdapat pada SPT 1770, Bagian Penghasilan Neto
Dalam Negeri Lainnya adalah ….
a. bunga
b. dividen
c. hadiah undian
d. sewa tanah dan bangunan

4) PPh terutang dikurangi dengan PPh yang dipotong/dipungut pihak lain disebut
….
a. angsuran PPh Pasal 25 tahun berikutnya
b. PPh yang harus dibayar sendiri/lebih dipotong
c. PPh yang kurang/lebih dibayar
d. PPh yang dibayar sendiri

5) Anto Hud sangat mungkin terkena PP 23 Tahun 2018 apabila memilih ….


a. menjalankan usaha sewa apartemen dengan total nilai sewa empat milyar
setahun

112
b. menjadi sopir ojek online
c. menjadi stand up comedian
d. menjadi developer perumahan

Untuk soal No 6 s.d. 10: Tn.Iwan bekerja sebagai pembawa acara “Aneka Tik Tok”
di TV 3 di Jakarta dengan penghasilan selama tahun 2019 sebesar Rp
500.000.000; Istri bekerja sebagai pemain film striping di Tangerang Selatan
dengan penghasilan Rp 400.000.000; Status perpajakan adalah PH. WP tidak
menyelenggarakan pembukuan dan telah memenuhi semua ketentuan untuk
menggunakan pencatatan dan norma penghitungan penghasilan neto.
Anak ditanggung sepenuhnya oleh Pak Iwan, selama tahun 2019 memperoleh
penghasilan sebagai berikut:
1. Anak pertama, berusia 19 tahun, menerima penghasilan sebagai pemain
sinetron di televisi lokal di Denpasar. Jumlah penghasilan adalah
Rp200.000.000.
2. Anak kedua, adalah seorang pemain film yang memperoleh penghasilan dari PT
MD Media sebesar Rp 100.000.000; Semua kegiatan shooting film dan tempat
kedudukan perusahaan adalah di Serang Banten.
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Sepuluh Ibukota
No. Usaha/Profesi Daerah
Ibukota Provinsi
Lainnya
Provinsi Lainnya
a. Pemain film 35% 32% 30%
b. Pembawa 46% 44% 42%
acara

6. PTKP Tn Iwan adalah ….


7. Penghasilan neto Tn Iwan dari pekerjaannya adalah ….
8. Penghasilan neto anak Tn Iwan yang akan dilaporkan di SPT Tahunan PPh Tn
Iwan adalah ….
9. PPh terutang untuk Tn Iwan adalah ….
10. PPh terutang untuk Ibu Siti adalah ….

Tugas

Tuan Budi (NPWP: 07.777.777.7-077.000) adalah seorang notaris, bertempat


tinggal dan menjalankan kegiatan di Kota Bogor. Istrinya, Wati, adalah seorang
dokter anak. Wajib pajak mempunyai dua orang anak yang tertua usia 7 tahun dan
yang lahir tanggal 2 Januari 2019. Tinggal bersama mereka adalah ibu mertua yang
sepenuhnya menjadi tanggungan (tidak punya penghasilan) serta adik kandung
Budi yang sedang kuliah di Kota Bogor. WP tidak menyelenggarakan pembukuan
dan telah memenuhi semua ketentuan untuk menggunakan pencatatan dan norma
penghitungan penghasilan neto. Status perpajakan KK.

Penghasilan Tuan Budi selama tahun 2019 adalah sebagai berikut:


Penghasilan sebagai notaris (wilayah kerja Kota Bogor) adalah Rp 450.000.000;
dan memiliki bukti potong PPh dari PT. XYZ (NPWP: 01.111.111.1-011.000)
sebesar Rp 10.000.000;

113
Penghasilan bunga obligasi dari PT Obligor sebesar Rp10.000.000,00. Atas jumlah
tersebut dipotong PPh oleh PT Obligor sejumlah Rp1.500.000,00. Tahun perolehan
tahun 2000.
Penghasilan bunga pinjaman dari PT Peminjam (NPWP: 02.222.222.2-022.000),
setelah dipotong PPh dengan tarif 15%, Tuan Budi menerima sebesar
Rp17.000.000,00. Nilai pinjaman Rp 2.000.000.000. Tahun perolehan tahun 2000.

Penghasilan Wati selama tahun 2019 adalah sebagai berikut:


Penghasilan dari praktik dokter di Bandung adalah sebesar Rp400.000.000.
Memperoleh warisan Rumah di Podok Safari dari kakek buyutnya sebesar
Rp100.000.000.
Atas tanah di Depok yang dibeli pada tahun 2012 dengan harga Rp100.000.000,00,
dijual oleh Budini pada Agustus 2019 dengan mendapatkan uang sejumlah
Rp292.500.000,00 (net, setelah pembayaran PPh sebesar 2,5%).

Keterangan lain:
Total PPh Pasal 25 yang telah disetor adalah:
melalui suami = Rp 16.000.000,00.
melalui istri = Rp 4.250.000,00.
Semua penghasilan telah dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh pihak-pihak terkait
sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Daftar Harta: Selain harta diatas, ada kendaraan berupa Mobil Asemka dibeli tahun
2018 sebesar Rp 200.000.000;
Norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) adalah sebagai berikut: (hanya
ilustrasi untuk menyelesaikan soal ini, bukan keadaan yang sebenarnya)
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Sepuluh Ibukota
No. Usaha/Profesi Daerah
Ibukota Provinsi
Lainnya
Provinsi Lainnya
a. Notaris 50% 48% 45%
b. Dokter 48% 45% 42%
c. Pemain film 35% 32% 30%
d. Pembawa acara 46% 44% 42%
e. Lain-lain 20% 18% 16%

Perintah:
1. Isi formulir SPT Tahunan PPh Tn Budi tahun 2019.
2. Isi sesuai tabel penghasilan WP sesuai contoh dibawah ini:

No Uraian Ph Ph Jenis Ph Pot/Put Psl Ph Ph


. Bruto Neto Neto 21/22/23 FINAL BOP
Jenis Nilai
A Pengh
Suami
1 Pemain film - 1.000 350 Pekerjaan Psl 75 - -
Contoh Bebas 21
2
3
B Pengh Istri

114
1 Undian - 2.000 - - - - 2.000 -
Contoh
2
3
Jumlah

*) BOP = Bukan Objek Pajak


**) Kredit pajak bukan merupakan pengurang Ph Bruto.

Perpanjangan Penyampaian SPT Tahunan


Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan
untuk paling lama 2 (dua) bulan sejak batas waktu penyampaian SPT Tahunan
dengan cara menyampaikan pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan.
Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan disampaikan dalam bentuk formulir
kertas (hardcopy) atau dalam bentuk dokumen elektronik.
Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan disampaikan ke Kantor Pelayanan
Pajak sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan berakhir, dengan dilampiri:
penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang batas
waktu penyampaiannya diperpanjang;
laporan keuangan sementara; dan
Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan
dengan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran
pajak yang terutang, dalam hal terdapat kekurangan pembayaran pajak.
Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan disampaikan:
secara langsung;
melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
dengan cara lain melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti
pengiriman surat; atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.
Wajib Pajak yang menyampaikan pemberitahuan perpanjangan penyampaian
SPT Tahunan wajib menyampaikan SPT Tahunan dalam batas waktu perpanjangan
sebagaimana tertera dalam pemberitahuan tersebut. Dalam hal SPT Tahunan
menunjukkan nilai PPh kurang bayar yang lebih kecil dari nilai pajak yang telah
disetor dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang
kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak, atas kelebihan
pembayaran tersebut dapat:
diajukan permohonan pemindahbukuan; atau
diminta kembali melalui permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
yang seharusnya tidak terutang.

---Q---

115
SUBJEK PAJAK PENGHASILAN BADAN

Tujuan Pembelajaran:
Pada bab ini mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan tentang Subjek Pajak Penghasilan Badan
2. Menjelaskan tentang Bentuk Usaha Tetap
3. Menjelaskan saat timbul dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif badan dan
BUT
4. Menjelaskan tentang bukan subjek pajak badan BAB

Subjek Pajak

Orang Pribadi Warisan Badan BUT

Dalam Negeri Luar Negeri

GAMBAR VIII.8 PEMBAGIAN SUBJEK PAJAK BADAN

A. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri


Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek
pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari
badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh

116
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak.
Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan,
perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
Subjek pajak dalam negeri dalam Pasal 2 ayat 3 UU PPh adalah:
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari
badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara;

B. Pengenalan Bentuk Usaha Tetap


Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang
dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.

Dalam penjelasan pasal 2 ayat 5 UU PPh mengenai definisi BUT disebutkan


adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah
dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen
elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha

117
melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan
selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama
orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat
kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker
atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara
tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan
perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat
kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia
apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di
Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang
mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah
bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di
Indonesia.
Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap maka
terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui bentuk usaha tetap.
Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri.
Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau
badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di
Indonesia.
Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi
Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber
dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber
dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban
perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib
Pajak badan dalam negeri.

C. Timbul & Berakhirnya Kewajiban Pajak Subjektif


Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak
luar negeri. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan,
atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak
lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
Bagi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal dan berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap, kewajiban pajak subjektifnya
dimulai pada saat bentuk usaha tetap tersebut berada di Indonesia dan berakhir pada
saat bentuk usaha tetap tersebut tidak lagi berada di Indonesia atau pada saat tidak
lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.
Bagi Subjek Pajak luar negeri yaitu badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan

118
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, kewajiban pajak subjektifnya dimulai
pada saat badan mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu menerima
atau memperoleh penghasilan dari sumber-sumber di Indonesia dan berakhir pada
saat badan tersebut tidak lagi mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia.

D. Non Subjek Pajak Badan (badan pemerintah dan badan internasional)


Yang tidak termasuk subjek pajak diatur dalam Pasal 3 ayat 1 UU PPh yaitu:
a. kantor perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga
negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan
di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan
memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya
berasal dari iuran para anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada
huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan
usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing
beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya,
dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat mereka mewakili negaranya. Organisasi-
organisasi Internasional dan Pejabat-pejabat Perwakilan Organisasi Internasional
yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 156/PMK.010/2015. Perincian organisasi internasional dapat dilihat
pada Bab I.
Selain itu, unit tertentu dari badan pemerintah yang mememenuhi kriteria
dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang PPh dikecualikan dari subjek Pajak
Penghasilan. Kriteria tersebut adalah unit tertentu dari badan pemerintah yang:
a. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
b. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan
c. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional.

RINGKASAN

1) Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau
bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak
lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
2) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat

119
kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia.
3) Unit tertentu dari badan pemerintah yang mememenuhi kriteria dalam Pasal 2
ayat (3) Undang-Undang PPh dikecualikan dari subjek Pajak Penghasilan

LATIHAN/PENUGASAN

Latihan

1) Yang merupakan subjek pajak badan adalah ….


a. TVRI
b. RRI
c. Bank Indonesia
d. SMP Negeri 1 Bukateja

2) Rabobank adalah penyedia jasa keuangan dari Belanda. Salah satu


perusahaan di Indonesia yang termasuk dalam grup tersebut adalah PT Bank
Rabobank Indonesia. PT Bank Rabobank Indonesia berstatus ….
a. subjek pajak badan
b. BUT
c. bukan subjek pajak di Indonesia
d. subjek pajak luar negeri

3) PT JCO Donut & Coffe yang beroperasi di luar negeri berstatus ….


a. subjek pajak badan dalam negeri
b. BUT
c. bukan subjek pajak di Indonesia
d. subjek pajak luar negeri

4) Berakhirnya kewajiban pajak subjektif bagi subjek pajak badan adalah saat
badan tersebut ….
a. tidak mendapatkan penghasilan
b. tidak dapat membayar utangnya
c. berhenti beroperasi
d. dibubarkan

5) Universitas Indonesia dan Politeknik Keuangan Negara STAN adalah


perguruan tinggi favorit di Indonesia. Identifikasi status subjek pajak dari kedua
perguruan tinggi tersebut dan jelaskan alasannya!

6) TVRI mempunyai sejarah yang panjang sejak pendiriannya pertama kali pada
24 Agustus 1962. Dalam perkembangannya, status kelembagaan/badan
hukum TVRI berubah berkali-kali. Pada tahun 1976 TVRI pernah menjadi Unit
Pelaksana Teknis di bawah Departemen Penerangan. Pada tahun 2000
berubah menjadi Perusahaan Jawatan sesuai dengan PP 36 Tahun 2000 dan
pada tahun 2002 menjadi Perseroan Terbatas. Akhirnya, pada tahun 2005,
berdasarkan PP 13 Tahun 2005, TVRI berubah menjadi Lembaga Penyiaran
Publik TVRI yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

120
Kondisi tersebut berlangsung hingga saat ini, sehingga saat ini pendanaan
TVRI berasal dari penerimaan negara bukan pajak yang dierima dari pemberian
layanan dan dari APBN. Upaya perbaikan terus dilakukan oleh TVRI hingga
akhirnya dapat meraih opini wajar tanpa pengecualian dari BPK untuk tahun
2018. (Sumber: diolah dari tvri.go.id). Dengan melihat informasi di atas,
tentukan status subjek pajak dari TVRI saat ini, berdasarkan ketentuan
perpajakan yang berlaku! Jelaskan!

---Q---

121
OBJEK PAJAK PENGHASILAN BADAN

Tujuan Pembelajaran:
Pada bab ini mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan penghasilan WP Badan yang merupakan objek pajak akhir tahun
2. Menjelaskan penghasilan WP Badan yang merupakan objek pajak final
3. Menjelaskan penghasilan WP Badan yang merupakan bukan objek pajak

BAB

Penghasilan

Bukan Objek Objek Pajak

Final/Bersifat Penghasilan Neto


final Akhir th

A. Objek Pajak (terutang pada akhir tahun)

Objek PPh Badan mengacu kepada ketentuan yang telah disebutkan pada
Bab II. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan dengan Orang Pribadi, kecuali karena
karakter dari penghasilan tersebut yang memang ada yang khusus diterima oleh
Orang Pribadi atau Badan. Berikut akan diberikan perincian yang telah dibahas pada
Bab II.
Dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh disebutkan contoh penghasilan yang sebagian
besar merupakan objek pajak yang terutang pada akhir tahun, yaitu:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,

122
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang PPh;
b. hadiah dari pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; Yang dimaksud dengan
penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan
tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-
benda purbakala. Untuk hadiah undian termasuk dalam penghasilan yang bersifat
final.
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta. Apabila Wajib Pajak
menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi
dari harga atau nilai perolehan, selisih harga tersebut merupakan keuntungan.
Keuntungan antara lain bersumber dari:
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; Dalam hal
terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal,
keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dan
nilai bukunya merupakan penghasilan.
2) keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; Dalam
hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dan pemegang
sahamnya, harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan
keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar. Misalnya, PT S
memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai
sisa buku sebesar Rp 40.000.000. Mobil tersebut dijual dengan harga Rp
60.000.000. Dengan demikian, keuntungan PT S yang diperoleh karena
penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000. Apabila mobil tersebut dijual
kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 55.000.000,
nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp
60.000.000. Selisih sebesar Rp20.000.000 merupakan keuntungan bagi PT S
dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp
5.000.000 merupakan penghasilan.
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun. Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari
penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dan
nilai sisa buku harta tersebut, merupakan objek pajak. Demikian juga selisih
lebih antara harga pasar dan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan
penghasilan.
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan. Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai
perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan
atau sumbangan merupakan penghasilan bagi pihak yang mengalihkan

123
kecuali harta tersebut dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat. Demikian juga, keuntungan berupa selisih antara
harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta
berupa bantuan atau sumbangan dan hibah kepada badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan bukan merupakan penghasilan,
sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan,
atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan; Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan
mengalihkan sebagian atau seluruh hak tersebut kepada Wajib Pajak lain,
keuntungan yang diperoleh merupakan objek pajak.
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak. Pengembalian pajak yang telah
dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak
merupakan objek pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah
dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan,
maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang. Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila
misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi
apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut
merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan
penghasilan bagi yang membeli obligasi.
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi. Sebagai catatan, dividen yang diterima Wajib Pajak Orang Pribadi
adalah bersifat final. Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang
saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi
yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama
dan dalam bentuk apapun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang
disetor;
3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham
bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4) pembagian laba dalam bentuk saham;
5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh
pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan
yang bersangkutan;
7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan,
jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika
pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter)
yang dilakukan secara sah;

124
8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima
sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara
terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh
modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan
bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih
lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar,
diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai
dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang
bersangkutan.
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak. Royalti adalah suatu jumlah yang
dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan
secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:
1) penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan,
kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau
proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial
atau hak serupa lainnya;
2) penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial,
komersial, atau ilmiah;
3) pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial,
atau komersial;
4) pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan
penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1,
penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada
angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3,
berupa:
i. penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat
optik, atau teknologi yang serupa;
ii. penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara
atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan
melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
iii. penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio
komunikasi;
b. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture
films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran
radio; dan
c. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan
penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-
hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Dalam
pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak
gerak. Untuk penghasilan dari sewa tanah dan/atau bangunan bersifat final.

125
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. Penerimaan berupa
pembayaran berkala, misalnya “alimentasi” atau tunjangan seumur hidup yang
dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pembebasan utang oleh pihak
yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang,
sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun,
dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur
kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani
(KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana,
serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai
objek pajak.
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing. Keuntungan yang diperoleh karena
fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut
dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku di Indonesia.
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; (sesuai ketentuan terbaru, hal ini
masuk ke dalam penghasilan yang bersifat final).
n. premi asuransi; Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak; Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi
penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta
yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto
yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan Pajak dan yang bukan
Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah; Kegiatan usaha berbasis syariah
memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat
konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan
usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak.
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.

B. Objek Pajak Final


Berikut adalah daftar objek penghasilan yang dikenakan PPh Final
sebagaimana telah dibahas pada Bab II:
1. Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia, Surat Berharga Negara.
2. Penghasilan Berupa Bunga / Diskonto Obligasi.
3. Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham yang Diperdagangakan di Bursa
Efek.
4. Hadiah Undian.
5. Pesangon, Tunjangan Hari Tua dan Tebusan Pensiun yang Dibayar Sekaligus
6. Honorarium atas Beban APBN/APBD
7. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
8. Bangunan yang Diterima dalam Rangka Bangun Guna Serah

126
9. Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.
10. Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
11. Penyalur/Dealer/Agen Produk BBM
12. Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi
Orang Pribadi.
13. Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
14. Penghasilan istri dari satu pemberi kerja
15. Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu (sampai dengan Rp4,8 miliar)
16. Penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya
17. Selisih lebih revaluasi aktiva tetap.
18. Penghasilan perusahaan pelayaran dalam negeri;
19. Penghasilan perusahan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri;
20. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang
mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan barang di
Indonesia;
21. Penghasilan bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha jasa maklon
(contract manufacturing) internasional di bidang produksi mainan anak-anak (ada
hubungan istimewa dengan pengguna jasa).
22. Penghasilan WP KKKS berupa uplift atau Imbalan lain yang sejenis;
23. Penghasilan WP KKKS dari pengalihan interest

C. Bukan Objek Pajak


Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham
atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
UU PPh. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan
berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan

127
dalam bentuk natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam
bentuk kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan
bukan merupakan objek pajak.
Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan
Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit), imbalan dalam bentuk natura atau
kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau
memperolehnya.
Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan
diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati
rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-
kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan
bagi pegawai tersebut sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan
merupakan Wajib Pajak.
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa. Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi
dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan
merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi
untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan
Penghasilan Kena Pajak.
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha
milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2) bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
modal yang disetor;
Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba setelah
dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, dan badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya
25% (dua puluh lima persen), tidak termasuk objek pajak. Yang dimaksud
dengan “badan usaha milik negara” dan “badan usaha milik daerah” pada ayat
ini, antara lain, adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah, dan
bank pembangunan daerah.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah
Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam
negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi
sejenis dan sebagainya, penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut
tetap merupakan objek pajak.
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.

128
Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi
dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri
Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari
peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja.
Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana
milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada
waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para
peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek
Pajak.
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun
dimaksudkan untuk pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran
kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal
tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau
yang berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif. Untuk
kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam
ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai
satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba
yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek
pajak.
j. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Yang dimaksud dengan “perusahaan modal ventura” adalah suatu perusahaan
yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha)
dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu.
Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari
perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai objek pajak, dengan
syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro,
kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan
saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan dividen
huruf f diatas, dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
bukan merupakan objek pajak.
Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor
kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya
untuk meningkatkan ekspor nonmigas, usaha atau kegiatan dari perusahaan
pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.

129
Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternative pembiayaan dalam
bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan oleh
perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum
mempunyai akses ke bursa efek.
k. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
l. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang
telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali
dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya
manusia melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan
sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan
fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang
diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam
bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud.
Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam
jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau
badan yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan
serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka
kepada siapa saja dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang
membidanginya.
m. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Bantuan atau santunan yang
diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak
tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau
anggota masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam
atau tertimpa musibah.

RINGKASAN

1) Penghasilan bagi WP Badan dibedakan menjadi objek pajak akhir tahun, objek
pajak final dan bukan objek pajak.
2) Jenis penghasilan tersebut di atas pada dasarnya sama dengan penghasilan
yang diterima atau diperoleh WP Orang Pribadi

LATIHAN/PENUGASAN

Latihan

1) Pada tahun 2015 PT ABC membagikan deviden sebesar Rp1 miliar kepada PT
Sukses (pemegang saham 70% PT ABC) dari laba setelah pajak penghasilan.
Perlakuan atas pembagian dividen tersebut adalah ….

130
a. bagi PT Sukses merupakan objek PPh
b. bagi PT Sukses, 70% dari dividen tersebut adalah objek pajak
c. bagi PT Sukses bukan merupakan objek PPh
d. secara fiskal, PT ABC dapat membiayakan dividen yang dibagikan tersebut

2) PT X memiliki dua jenis usaha, yaitu konstruksi dan perdagangan alat berat.
Omset kedua jenis usaha tersebut masing-masing mencapai Rp60 miliar pada
tahun lalu. Karena kesalahan perhitungan, usaha konstruksi tahun ini
mengalami kerugian, sedangkan usaha perdagangan alat berat mendapatkan
keuntungan. Pernyataan berikut yang benar terkait penghitungan PPh Badan
dari PT X pada tahun ini adalah ….
a. dihitung dari keuntungan usaha perdagangan setelah dikurangi kerugian
usaha konstruksi
b. dihitung dari nilai keuntungan usaha perdagangan dan penjualan konstruksi
(tanpa dikurangi biaya konstruksi)
c. dihitung dari keuntungan usaha perdagangan saja
d. tidak ada PPh Badan yang terutang

3) PT Lancar Persada memiliki dua jenis usaha, yaitu minimarket dan penjualan
BBM melalui SPBU. Omset kedua jenis usaha tersebut masing-masing
mencapai lebih dari Rp5 miliar pada tahun lalu. Usaha SPBU tahun ini
mengalami kerugian karena adanya kebakaran, sedangkan usaha minimarket
mendapatkan keuntungan. Pernyataan berikut yang benar terkait penghitungan
PPh Badan dari PT Lancar Persada pada tahun ini adalah ….
a. dihitung dari keuntungan usaha minimarket setelah dikurangi kerugian usaha
SPBU
b. dihitung dari nilai keuntungan usaha minimarket dan penjualan BBM (tanpa
dikurangi biaya SPBU)
c. dihitung dari keuntungan usaha minimarket saja
d. tidak ada PPh Badan yang terutang

4) Dalam ketentuan perpajakan, penghasilan dapat digolongkan sebagai


penghasilan yang merupakan objek pajak (tidak final), bukan objek pajak dan
objek pajak final. Penghasilan berupa hadiah yang diterima oleh wajib pajak
badan dapat digolongkan dalam berbagai jenis penghasilan tersebut. Jelaskan
jenis penghasilan bagi penghasilan hadiah yang diterima oleh wajib pajak badan
dan berikan contohnya!

5) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akhir-akhir ini sedang gencar berkampanye


tentang “Pajak UMKM 0,5%”, seiring diberlakukannya Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 23 Tahun 2018 yang menggantikan PP Nomor 46 Tahun 2013.
Sebutkan beberapa persamaan dan perbedaan yang diatur dalam kedua PP
tersebut!

131
Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap

Khusus untuk BUT, ada beberapa jenis objek tertentu yang berbeda dengan subjek
pajak badan lainnya yaitu:
Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta
yang dimiliki atau dikuasai;
Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang
dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia; Berdasarkan ketentuan ini
penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang
dan pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap
dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap, karena pada hakekatnya usaha
atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan dan
dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap.
Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha
tetap, misalnya terjadi apabila sebuah bank di luar Indonesia yang mempunyai
bentuk usaha tetap di Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa
melalui bentuk usaha tetapnya kepada perusahaan di Indonesia.
Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk usaha tetap,
misalnya kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di
Indonesia menjual produk yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha
tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada
pembeli di Indonesia.
Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh
bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di luar Indonesia
memberikan konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan bentuk usaha
tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien
di Indonesia.
penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh
kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap
dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
Penghasilan seperti dimaksud dalam Penjelasan Pasal 26 yang diterima
atau diperoleh kantor pusat dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di
Indonesia, apabila terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang
memberikan penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut.
Misalnya, X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT Y untuk mempergunakan
merek dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan
berupa royalti dari PT Y. Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga
memberikan jasa manajemen kepada PT Y melalui suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT Y yang mempergunakan merek
dagang tersebut. Dalam hal demikian, penggunaan merek dagang oleh PT Y
mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh
karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai
penghasilan bentuk usaha tetap.

---Q---

132
KOMPONEN PERHITUNGAN PPh BADAN

Tujuan Pembelajaran:
Pada bab ini mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan unsur-unsur dalam perhitungan PPh Badan
2. Mengaplikasikan unsur-unsur tersebut dalam perhitungan PPh Badan

BAB

A. Kompensasi Kerugian
Pada Pasal 6 ayat 2 UU PPh disebutkan bahwa apabila penghasilan bruto
setelah pengurangan ternyata masih didapat kerugian, kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut
sampai dengan 5 tahun.
Contoh :
PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp
1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya
laba rugi fiskal PT A sebagai berikut :
2010 : laba fiskal Rp 200.000.000,00
2011 : rugi fiskal (Rp 300.000.000,00)
2012 : laba fiskal Rp N I H I L
2013 : laba fiskal Rp 100.000.000,00
2014 : laba fiskal Rp 800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 2009 (Rp 1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2010 Rp 200.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 2011 (Rp 300.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2012 Rp N I H I L (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2013 Rp 100.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2014 Rp 800.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 100.000.000,00)

Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang
masih tersi]]a pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba
fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan

133
tahun 2016, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir
pada akhir tahun 2016.
Kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun dapat diberikan kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal
dibidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat
prioritas tinggi dalam skala nasional dalam bentuk pemberian fasilitas perpajakan.
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, WPDN wajib melakukan
penggabungan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di
luar negeri dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan
di Indonesia dan tidak dapat memperhitungkan kerugian usaha dari cabang atau
perwakilan di luar negeri, termasuk kerugian usaha dari cabang atau perwakilan di
luar negeri yang diperoleh setelah memperhitungkan kerugian yang diperoleh dari
harta atau kegiatan yang memiliki hubungan efektif dengan cabang atau perwakilan
WPDN di luar negeri dan kerugian lain yang diderita di luar negeri sesuai Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2018.
Dalam SPT PPh Badan 1771 perhitungan kompensasi kerugian fiskal untuk
masing-masing tahun setelah tahun terjadinya kerugian fiskal dilaporkan dalam
lampiran khusus 2A/2B.
Contoh berikutnya: PT ABC berdiri pada tahun 2006. Pada Tahun Pajak 2014
Wajib Pajak memperoleh laba fiskal sebesar Rp50.000.000,-. Adapun
keuntungan/kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya adalah sebagai berikut :

Tahun Pajak Laba/Rugi Jumlah


2006 rugi fiskal Rp. 20.000.000
2007 rugi fiskal Rp. 5.000.000
2008 rugi fiskal Rp. 1.000.000
2009 rugi fiskal Rp. 100.000.000
2010 rugi fiskal Rp. 20.000.000
2011 laba fiskal Rp. 30.000.000
2012 laba fiskal Rp. 10.000.000
2013 rugi fiskal Rp. 5.000.000

134
B. Tarif
Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang PPh tarif yang
diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, yaitu
sebesar 28%. Namun demikian berdasarkan Pasal 17 ayat (2a) Undang-Undang PPh
tarif tersebut sejak Tahun Pajak 2010 menjadi 25 %. PPh terutang dihitung dengan
cara mengalikan tarif dengan Penghasilan Kena Pajak.

Contoh:
Jumlah peredaran bruto dalam Tahun Pajak 2010 Rp 54.000.000.000,00
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam Tahun Pajak 2010 Rp 4.000.000.000,00
PPh yang terutang = 25 % x Rp 4.000.000.000,00 = Rp 1.000.000.000,00

Pengenaan tarif ini berlaku untuk Wajib Pajak badan dalam negeri yang mempunyai
peredaran bruto lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenai atas Penghasilan Kena
Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 31 huruf E UU PPh.
Penghitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi
dua yaitu:
1) Jika peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00, maka penghitungan
PPh terutang sebagai berikut:
PPh terutang = 50% X 25% X seluruh Penghasilan Kena Pajak

135
2) Jika peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000,00 sampai dengan
Rp50.000.000.000,00, maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut:

• Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang


memperoleh fasilitas yaitu:
Rp4.800.000.000,00 x Penghasilan Kena Pajak
Peredaran Bruto
• Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas yaitu total Penghasilan Kena Pajak dikurangi Penghasilan
Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas.

Contoh:
Peredaran bruto PT Y dalam Tahun Pajak 2010 sebesar Rp4.500.000.000,00
dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp500.000.000,00. Penghitungan pajak
yang terutang yaitu seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran
bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% dari tarif PPh badan yang berlaku karena
jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00.
PPh yang terutang= 50% x 25% x Rp 500.000.000,00- = Rp 62.500.000,00

Peredaran bruto PT X dalam Tahun Pajak 2010 sebesar Rp


30.000.000.000,00 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00.
Penghitungan PPh yang terutang:
 Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasilitas
= (Rp4.800.000.000,00 : Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00
= Rp480.000.000,00
 Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas
= Rp3.000.000.000,00 – Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00
 PPh yang terutang
= (50%x 25% x Rp480.000.000,00) + (25% x Rp2.520.000.000,00)
= Rp60.000.000,00 + Rp630.000.000,00
= Rp690.000.000,00

Bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang
paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu
lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif
sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a). Persyaratan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 56 tahun 2015 adalah:
a. paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang
disetor dicatat untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;

136
b. saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus dimiliki oleh paling sedikit 300
(tiga ratus) Pihak;
c. masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b hanya boleh memiliki
saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan
dan disetor penuh; dan
d. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c harus
dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender
dalam jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
PPh terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan Penghasilan Kena Pajak.
Contoh: Jumlah Penghasilan Kena Pajak pada 2010 Rp 1.250.000.000,00
PPh yang terutang = (25% - 5%) x Rp1.250.000.000,00 Rp 250.000.000,00.

C. Kredit Pajak (dalam dan luar negeri)


Pada pasal 28 ayat 1 UU PPh, bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak
yang bersangkutan, berupa:
1. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan
usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;
2. pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah
dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
3. pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
4. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25;
Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib
Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh
pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.
Perincian tentang pemotongan/pemungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 22 telah
dibahasa pada mata kuliah Perpajakan I. Pada bab ini akan dijelaskan tentang kredit
pajak luar negeri (PPh Pasal 24 dan PPh Pasal 25)

1. PPh Pasal 24
Pemotongan pajak PPh Pasal 24 dikenakan terhadap WPDN yang
memperoleh penghasilan dari luar negeri. Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri
terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi
karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri,
perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib
Pajak dalam negeri. Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan
dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh
dikreditkan terhadap pajak yang terutang dalam tahun pajak yang sama. Besarnya
kredit pajak adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan PPh.
(192/PMK.03/2018)
Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber
penghasilan ditentukan sebagai berikut:

137
1. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan
saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan
saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan;
2. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan
harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga,
royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
3. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak
adalah negara tempat harta tersebut terletak;
4. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut
bertempat kedudukan atau berada;
5. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
6. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan
adalah negara tempat lokasi penambangan berada;
7. keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap
berada; dan
8. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk
usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
Penentuan PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan ditentukan berdasarkan
jumlah yang paling sedikit di antara:
1. Jumlah PPh Luar Negeri dengan memperhatikan ketentuan P3B
2. Jumlah PPh Luar Negeri
3. Jumlah tertentu:

PPh 24 yang dapat dikreditkan= Penghasilan neto Negara A X PPh Terutang


Penghasilan Kena Pajak

Contoh:
WPDN, PT Indologo Enam dalam Tahun Pajak 2018 menerima dan memperoleh
penghasilan neto sebagai berikut:
1. di negara X, PT Indologo Enam memperoleh penghasilan usaha sebesar
Rp1.000.000.000,00 dan dikenai PPh Luar Negeri sebesar Rp300.000.000,00;
2. di negara Y, PT Indologo Enam memperoleh penghasilan usaha sebesar
Rp3.000.000.000,00 dan dikenai PPh Luar Negeri sebesar Rp900.000.000,00;
3. di negara Z, PT Indologo Enam menderita kerugian usaha sebesar
Rp250.000.000,00; dan
4. kerugian usaha yang diderita di dalam negeri sebesar Rp1.000.000.000,00.
Tidak ada P3B antara Indonesia dengan negara X, negara Y, dan negara Z.
Besarnya Pajak Penghasilan terutang atas seluruh penghasilan dihitung sebagai
berikut:
a. Penghasilan neto luar negeri:
1) negara X (penghasilan usaha) Rp 1.000.000.000,00
2) negara Y (penghasilan usaha) Rp 3.000.000.000,00
3) negara Z (kerugian usaha) Rp 0,00+
Jumlah penghasilan neto luar negeri Rp 4.000.000.000,00
b. kerugian yang diderita di dalam negeri (Rp 1.000.000.000,00)-
c. Jumlah penghasilan neto fiskal Rp 3.000.000.000,00

138
d. Penghasilan Kena Pajak Rp 3.000.000.000,00
e. PPh Terutang (Tarif Pasal 17) Rp 750.000.000,00

Besarnya PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan per jenis penghasilan untuk
tiap negara atau yurisdiksi dilakukan sebagai berikut:
a. Penghasilan usaha dari negara X:
i. PPh Luar Negeri atas penghasilan usaha dari negara X sebesar
Rp300.000.000,00;
ii. Jumlah tertentu: = Rp 1.000.000.000,00 x Rp 750.000.000,00
Rp 3.000.000.000,00
= Rp 250.000.000,00
Dikarenakan jumlah tertentu sebesar Rp250.000.000,00, lebih kecil dibandingkan
dengan PPh Luar Negeri atas penghasilan usaha dari negara X, maka batasan jumlah
PPh Luar Negeri atas penghasilan usaha dari negara X yang dapat dikreditkan dengan
Pajak Penghasilan terutang di dalam negeri hanya sebesar jumlah tertentu, yaitu
sebesar Rp250.000.000,00.

b. Penghasilan usaha dari negara Y:


i. PPh Luar Negeri atas penghasilan bunga dari negara Y sebesar
Rp900.000.000,00;
ii. Jumlah tertentu: = Rp 3.000.000.000,00 x Rp 750.000.000,00
Rp 3.000.000.000,00
= Rp 750.000.000,00
Dikarenakan jumlah tertentu sebesar Rp750.000.000,00 lebih kecil dibanding PPh
Luar Negeri atas penghasilan usaha dari negara Y, maka jumlah PPh Luar Negeri atas
penghasilan usaha dari negara Y yang dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan
terutang di dalam negeri hanya sebesar jumlah tertentu, yaitu sebesar
Rp750.000.000,00.
Penghitungan jumlah PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan oleh PT
Indologo Enam terhadap Pajak Penghasilan yang terutang di dalam negeri
berdasarkan penghitungan di atas adalah sebesar Rp1.000.000.000,00
(Rp250.000.000,00 + Rp750.000.000,00). Kerugian dari negara Z tidak dapat
digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak.
Dikarenakan besarnya PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan pada
penghitungan di atas lebih besar dibandingkan dengan Pajak Penghasilan yang
terutang atas Penghasilan Kena Pajak, maka PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan
oleh PT Indologo Enam ditentukan paling tinggi sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang atas Penghasilan Kena Pajak, yaitu sebesar Rp750.000.000,00.

Penghitungan besarnya PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan per jenis
penghasilan untuk tiap negara atau yurisdiksi ditentukan secara proporsional
berdasarkan besarnya penghasilan neto dari luar negeri per jenis penghasilan untuk
tiap negara atau yurisdiksi dibandingkan dengan seluruh penghasilan neto dari luar
negeri dikali dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas Penghasilan
Kena Pajak, yang dihitung sebagai berikut:

a. Penghasilan usaha dari negara X:


Besarnya penghasilan Pajak Penghasilan
= usaha dari negara X x yang terutang atas

139
Jumlah penghasilan Penghasilan Kena Pajak
neto luar negeri
= Rp 1.000.000.000,00 x Rp 750.000.000,00
Rp 4.000.000.000,00
= Rp 187.500.000,00

b. Penghasilan usaha dari negara Y:


Besarnya penghasilan Pajak Penghasilan
= usaha dari negara Y x yang terutang atas
Jumlah penghasilan Penghasilan Kena Pajak
neto luar negeri
= Rp 3.000.000.000,00 x Rp 750.000.000,00
Rp 4.000.000.000,00
= Rp 562.500.000,00

2. PPh Pasal 25
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan
dalam Tahun Pajak berjalan untuk suatu bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang PPh.
Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang
lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 serta
Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya
bulan dalam bagian tahun pajak.
Kredit pajak pasal 25 juga meliputi STP atas PPh Pasal 25 (hanya pokok pajak).
Silakan merujuk pada pembahasan Bab III.

D. Perhitungan PPh Kurang (Lebih) Bayar


Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara
biasa dan penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan. Norma
Penghitungan digunakan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (badan tidak boleh
menggunakan norma penghitungan penhasilan neto). Di samping itu terdapat cara
penghitungan dengan mempergunakan Norma Penghitungan Khusus, yang
diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Cara perhitungan Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak badan dalam
negeri termasuk bentuk usaha tetap adalah dengan cara biasa. Berarti berkewajiban
untuk menyelenggarakan pembukuan. Untuk menghitung besarnya penghasilan neto
dari pembukuan harus menggunakan standar akuntansi yang berlaku berupa
penghasilan neto komersial yang nantinya dilakukan penyesuaian berupa koreksi
fiskal positif, lalu dikurangi koreksi fiskal negatif sesuai ketentuan perpajakan yang
berlaku.

140
Sesuai pasal 28 UU KUP, Wajib Pajak badan di Indonesia wajib
menyelenggarakan pembukuan. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang
dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang
meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga
perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan
keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
Berikut format dalam menghitung penghasilan neto dari pembukuan:
Peredaran Usaha XXX
Harga Pokok Penjualan (XXX)
Laba/Rugi Bruto Usaha XXX
Biaya Usaha (XXX)
Penghasilan Neto dari Usaha XXX
Penghasilan dari Luar Usaha XXX
Biaya dari Luar Usaha (XXX)
Penghasilan Neto Dalam Negeri Komersial XXX
Penghasilan Neto Luar Negeri Komersial XXX
Penghasilan Neto Komersial XXX
Penyesuaian Fiskal Positif XXX
Penyesuaian Fiskal Negatif (XXX)
Penghasilan Neto Fiskal XXX
Kompensasi Kerugian (XXX)
Penghasilan Kena Pajak XXX
Pajak Penghasilan Terutang XXX
Pengembalian/pengurangan PPh Pasal 24 yang Telah Dikreditkan XXX
Kredit Pajak Dalam Negeri
Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) (XXX)
Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) (XXX)
Kredit Pajak Luar Negeri (Pasal 24) (XXX)
Pajak Penghasilan yang harus Dibayar Sendiri XXX
Pajak Penghasilan yang telah Dibayar Sendiri (Pasal 25) (XXX)
Pajak Penghasilan yang Nihil/Kurang/Lebih Dipotong XXX

Contoh:
Pajak Penghasilan yang terutang Rp 80.000.000,
Kredit pajak:
Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,00
Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp 10.000.000,00
Kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp 15.000.000,00
Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000,00 (+)
Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp 45.000.000, (-)
Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar Rp 35.000.000,

RINGKASAN

1) Kompensasi kerugian diatur di Pasal 6 ayat (2) UU PPh.


2) Tarif yang dikenakan untuk PPh Badan adalah sesaui Pasal 17 UU PPh. Sejak
tahun pajak 2010, tarif PPh Badan adalah 25%

141
3) Sesuai Pasal 31 E UU PPh, terdapat fasilitas pengurangan tarif sebesar 50%
dari tarif di atas.
4) Kredit pajak yang digunakan dalam perhitungan PPh Badan meliputi PPh Pasal
22, 23,24, dan 25.

LATIHAN/PENUGASAN

Latihan

1) Besarnya tarif PPh Badan tahun 2017 adalah ….


a. 27% bagi wajib pajak dalam negeri dengan peredaran usaha selama satu
tahun lebih dari Rp50 miliar
b. 0,5% bagi wajib pajak UMKM dan bersifat final
c. tarif efektif 25% bagi wajib pajak dengan peredaran usaha selama satu tahun
sebesar Rp25 miliar
d. tidak ada jawaban yang benar

2) Fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% sesuai pasal 31E UU PPh dapat
didapatkan oleh ….
a. BUT
b. PT
c. orang pribadi
d. warisan yang belum terbagi

3) Pernyataan yang benar terkait syarat wajib pajak yang berhak mendapatkan
pengurangan tarif 5% lebih rendah dari tarif normal (sesuai Pasal 17 ayat (2b)
UU PPh) adalah ….
a. bisa didapatkan oleh seluruh jenis/bentuk wajib pajak badan
b. paling sedikit 30% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat untuk
diperdagangkan di BEI
c. saham dimiliki paling sedikit oleh 300 pihak
d. masing-masing pihak yang memiliki saham dapat memiliki saham wajib
pajak tersebut sebesar 6%

4) PT ABC berkedudukan di Bintaro. Pada tahun 2017 mendapatkan kerugian di


dalam negeri sebesar Rp6 miliar dan keuntungan di Suriname sebesar Rp30
miliar. PPh terutang PT ABC sebesar Rp Rp6 miliar. Pemotongan pajak di
Suriname sebesar Rp10 miliar. Kredit pajak luar negeri yang diakui adalah ….
a. Rp6 miliar
b. Rp7,5 miliar
c. Rp24 miliar
d. Rp30 miliar

5) Persekutuan Samson Suntoro adalah sebuah Kantor Akuntan Publik yang


berdiri pada tanggal 4 Januari 2019. Penghitungan PPh untuk KAP tersebut
pada tahun pajak 2019 adalah ….

142
a. Tarif PPh Pasal 17 dikalikan Penghasilan Kena Pajak (yang dihitung dengan
norma penghitungan penghasilan neto)
b. terkena PPh Final 0,5% dari omzet tiap bulan
c. terkena tarif PPh Badan dari Penghasilan Kena Pajak yang dihitung dari
pembukuan
d. terkena tarif PPh Badan dengan pengurangan sebesar 5%

6) Pemotongan/pemungutan pajak penghasilan yang tidak dapat dikreditkan


dalam SPT Tahunan PPh Badan oleh wajib pajak yang dipotong/dipungut
adalah ….
a. pemungutan PPh oleh bendahara karena WP melakukan penjualan kepada
instansi pemerintah
b. pemotongan PPh atas jasa katering
c. pemotongan PPh karena menyewakan lahan
d. pemungutan PPh karena impor dari luar negeri

7) CV Cinta Negeriku, perusahaan yang usahanya menjual bendera, berdiri pada


24 Juni 2019. Pada saat mendaftarkan diri, Wajib Pajak tidak memilih untuk
dikenakan tarif umum PPh. Dalam tahun pajak 2019, aspek Pajak Penghasilan
bagi CV Cinta Negeriku adalah ….
a. terkena PPh Final 0,5% dari omzet tiap bulan
b. terkena PPh Final 1% dari omzet tiap bulan
c. terkena PPh Final 0,5% dari keuntungan tiap bulan
d. terkena PPh dengan tarif 12,5% dari keuntungan satu tahun

8) Pada tahun 2017, PT Liburan Sebentar Lagi melaporkan peredaran usaha


(omzet) sebesar Rp30.125.567.000,00 dan besarnya penghasilan kena pajak
sebesar Rp4.800.000.000,00. Berapakah PPh Terutang menurut Pasal 31E UU
PPh?

9) Pada tahun pajak 2019, PT Bhineka Tunggal Ika, distributor komputer,


melaporkan penghasilannya sebagai berikut:
Penjualan komputer : 50.020.000.000,00
- Retur Penjualan : 1.520.000.000,00
- Potongan Penjualan : 600.000.000,00

Penghasilan neto dari luar negeri : 80.000.000,00


Penghasilan dari sewa gedung : 20.000.000,00
Besarnya penghasilan kena pajak sebesar Rp12.500.000.000,00.
Berapakah PPh Terutang PT Bhineka Tunggal Ika pada tahun 2019?

10) PT Nusantara Satu dalam Tahun Pajak 2019 menerima dan memperoleh
penghasilan neto sebagai berikut:
a. di negara X, PT Nusantara Satu memperoleh penghasilan usaha sebesar
Rp1.000.000.000,00 dan dikenai PPh Luar Negeri sebesar Rp300.000.000,00;
b. di negara Y, PT Nusantara Satu menerima penghasilan berupa bunga sebesar
Rp3.000.000.000,00 . Terdapat P3B antara Indonesia dengan negara Y (P3B
Indonesia - negara Y) yang telah berlaku efektif. P3B Indonesia-negara Y
mengatur mengenai pemajakan atas penghasilan bunga di negara sumber

143
paling tinggi sebesar 10% dari jumlah bruto. Namun, atas penghasilan berupa
bunga tersebut, PT Nusantara Satu dikenai PPh Luar Negeri berdasarkan
ketentuan domestik di negara Y sebesar Rp450.000.000,00.
c. di negara Z, PT Nusantara Satu menderita kerugian dari penjualan harta
sebesar Rp250.000.000,00; dan
e. penghasilan neto dalam negeri sebesar Rp4.000.000.000,00.
Besarnya Pajak Penghasilan terutang atas seluruh penghasilan sebagai
berikut:
Penghasilan neto luar negeri:
1) negara X (penghasilan usaha) Rp 1.000.000.000,00
2) negara Y (penghasilan bunga) Rp 3.000.000.000,00
3) negara Z (kerugian penjualan harta) Rp 0,00
Jumlah penghasilan neto luar negeri Rp 4.000.000.000,00
Penghasilan neto dalam negeri Rp 4.000.000.000,00
Jumlah penghasilan neto fiskal Rp 8.000.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp 8.000.000.000,00
PPh Terutang (Tarif Pasal 17 UU PPh) Rp 2.000.000.000,00

Hitung Kredit Pajak Luar Negeri yang dapat dikreditkan pada tahun pajak
2019!

Norma Penghitungan Khusus

Pada Pasal 15 UU PPh diatur mengenai Norma Penghitungan Khusus untuk


menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung
berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) UUP Ph, ditetapkan Menteri
Keuangan. Berikut WP tertentu tersebut:
Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri (417/KMK.04/1996)
Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (416/KMK.04/1996)
Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri (475/KMK.04/1996)
Jasa Maklon (Contract Manufacturing) Internasional di Bidang Produksi Mainan
Anak-anak (543/KMK.03/2002)
Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia
(634/KMK.04/1994)
Bentuk Perjanjian Kerjasama dalam Bentuk Bangun Guna Serah (built operate and
transfer) (248/KMK.04/1995)

Video materi ini dapat dilihat di KLC dengan link sebagai berikut:

a. https://klc.kemenkeu.go.id/pknstan-penghitungan-pph-badan-terutang/
b. https://klc.kemenkeu.go.id/pknstan-pelaksanaan-pengkreditan-pajak-atas-
penghasilan-dari-luar-negeri-untuk-wajib-pajak-badan/

---Q---

144
DEDUCTIBLE EXPENSE

Tujuan Pembelajaran:
Pada bab ini mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan deductible expense
2. Menjelaskan penyusutan dan amortisasi dalam ketentuan perpajakan
3. Menjelaskan tentang koreksi fiskal positif dan negatif
4. Mengaplikasikan deductible expense dalam perhitungan PPh Badan
BAB

Biaya

Deductible Non Deductible

Manfaat sd 1 th Manfaat > 1 th

Amortisasi Depresiasi

GAMBAR IX.9 SKEMA PEMBAGIAN BIAYA


Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi
dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak
lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya
pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya
rutin pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan pengeluaran yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui
penyusutan atau melalui amortisasi.

145
A. Deductible Expense
Deductible Expense adalah besarnya biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan bruto
bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, yaitu:
1. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, yang lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun
pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran
tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan
kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang merupakan objek pajak. Dengan demikian, pengeluaran-
pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Jenis biaya
ini antara lain:
a. biaya pembelian bahan;
b. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
c. bunga, sewa, dan royalti;
d. biaya perjalanan;
e. biaya pengolahan limbah;
f. premi asuransi;
g. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan; Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan
antara biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang
pada hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan
untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Dalam Peraturan
Menteri Keuangan nomor 02/PMK.03/2010 merinci biaya promosi sebagai
berikut:
• biaya periklanan di media elektronik, media cetak, dan/atau media lainnya;
• biaya pameran produk;
• biaya pengenalan produk baru;dan/atau
• biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk.
h. biaya administrasi; dan
i. pajak kecuali Pajak Penghasilan; Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan
dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat
dibebankan sebagai biaya.
2. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun;
3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
4. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan;
5. kerugian selisih kurs mata uang asing; Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang
asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara
taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
6. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
Yang dimaksud biaya litbang adalah terdiri dari biaya-biaya untuk pengembangan

146
produk (product development) baik jenis maupun mutu, serta biaya untuk
meningkatkan efisiensi perusahaan, termasuk teknologi untuk pengembangan
proses (process technology). ketentuan ini diatur dalam 769/KMK.04/1990 dan SE
- 22/PJ.31/1990.
7. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
8. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
a. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
c. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur
dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan
umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
d. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan
piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf k;
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan yaitu PMK nomor 207/PMK.010/2015
9. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah yaitu PP Nomor 93 TAHUN 2010.
Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang merupakan
sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung
melalui badan penanggulangan bencana atau disampaikan secara tidak langsung
melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang
berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana;
10. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah yaitu PP
Nomor 93 TAHUN 2010. Sumbangan dalam rangka penelitian dan
pengembangan, yang merupakan sumbangan untuk penelitian dan
pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan
melalui lembaga penelitian dan pengembangan;
11. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah yaitu PP Nomor 93 TAHUN 2010. Biaya pembangunan
infrastruktur sosial merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan
membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba;
12. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah yaitu PP Nomor 93 TAHUN 2010; Sumbangan fasilitas pendidikan,
yang merupakan sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang disampaikan
melalui lembaga pendidikan; dan
13. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah yaitu PP Nomor 93 Tahun 2010. Sumbangan dalam rangka
pembinaan olahraga, yang merupakan sumbangan untuk membina,
mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi
cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan melalui lembaga pembinaan
olah raga.

147
B. Penyusutan
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan
melalui penyusutan. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 11
beserta penjelasannya.
Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini dilakukan:
1. dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan
bagi harta tersebut (metode garis lurus atau straight-line method); atau
2. dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan
atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau declining balance method).
Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan,
perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik,
hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar
selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut. Khusus untuk tanah,
yang bisa disusutkan apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau
dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang
karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah
dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu
bata.
Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud selain bangunan, dapat juga
dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung
dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa
manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat
asas.
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta
yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya
pengerjaan harta tersebut. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak
diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta
yang bersangkutan mulai menghasilkan. Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian
kembali aktiva, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan
penilaian kembali aktiva tersebut.
Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta, maka jumlah nilai sisa buku
harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian
asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun
terjadinya penarikan harta tersebut. Namun, apabila terjadi pengalihan harta yang
memenuhi syarat sebagai sumbangan, hibah, atau warisan, yang berupa harta
berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
Ketentuan tentang jenis-jenis harta yang termasuk dalam kelompok harta
berwujud bukan bangunan untuk keperluan penyusutan ini diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor: 96/PMK.03/2009. Khusus untuk alat-alat kecil (small tools)
yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan, sesuai dengan
pembukuan Wajib Pajak.

148
TABEL IV.4 TABEL TARIF PENYUSUTAN

Contoh penggunaan metode garis lurus:


Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah
sebesar Rp 50.000.000,00 (Rp 1.000.000.000,00 : 20).

Contoh penggunaan metode saldo menurun:


Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009 dengan harga
perolehan sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Masa manfaat dari mesin
tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50%
(lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.
Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan Rp 100.000.000,00
2009 ½ x 50% 25.000.000,00 75.000.000,00
2010 50% 37.500.000,00 37.500.000,00
2011 50% 18.750.000.00 18.750.000.00
2012 50% 9.375.000,00 9.375.000,00
2013 Disusutkan sekaligus 9.375.000,00 0

C. Amortisasi
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud serta
pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
pembebanannya dilakukan melalui amortisasi. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 9
ayat (2) dan Pasal 11A beserta penjelasannya.
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan
pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna
usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari
1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-
bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan

149
tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir
masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.

TABEL V.5 TABEL TARIF AMORTISASI

Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada
kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat
yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya
6 (enam) tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8
(delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka
harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa
manfaat 4 (empat) tahun.
Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi,
misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk
biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik
dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini
tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan
minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain bidang
penambangan minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan
sumber alam serta hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan
metode satuan produksi setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.
Contoh:
Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai
potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang
direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam 1 (satu) tahun pajak
ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga
puluh persen) dari potensi yang tersedia, walaupun jumlah produksi pada tahun
tersebut mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia,
besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto
pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

150
D. Koreksi fiskal positif/negatif
Sesuai Pasal 28 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP),
Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. Pembukuan
harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia,
misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-
undangan perpajakan menentukan lain. Laporan keuangan yang disusun sesuai
dengan Standar Akuntansi Keuangan dikenal sebagai laporan keuangan komersil.
Untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak perlu dilakukan penyesuaian dengan
ketentuan fiskal yaitu sesuai Undang-Undang PPh beserta peraturan
pelaksanaannya. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penyesuaian fiskal atau koreksi fiskal
agar laporan keuangan komersial dapat digunakan untuk pengisian SPT Tahunan
PPh Badan.
Yang dimaksud dengan penyesuaian fiskal positif adalah penyesuaian
terhadap penghasilan neto komersial (di luar unsur penghasilan yang dikenai PPh final
dan yang tidak termasuk Objek Pajak) dalam rangka menghitung Penghasilan Kena
Pajak berdasarkan Undang-Undang PPh beserta peraturan pelaksanaannya, yang
bersifat menambah penghasilan dan/atau mengurangi biaya-biaya komersial.
Berikut daftar koreksi fiskal positif yang terdapat dalam SPT Tahunan PPh
Badan 1771:
a. Biaya yang dibebankan/dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham, sekutu,
atau anggota;
Penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf b Undang-Undang PPh,
pengeluaran perusahaan untuk pembelian/perbaikan rumah atau kendaraan
pribadi, biaya perjalanan pribadi/keluarga, biaya premi asuransi pribadi/keluarga,
dan pengeluaran lainnya untuk kepentingan pemegang saham, sekutu, atau
anggota, tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan.
b. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan;
Penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPh,
pembentukan atau pemupukan dana cadangan secara fiskal tidak dapat
dibebankan sebagai biaya perusahaan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.011/2012. Namun, untuk jenis- jenis usaha
tertentu yang secara ekonomis memang diperlukan adanya cadangan untuk
menutup beban atau kerugian yang akan terjadi di kemudian hari, secara fiskal
diperkenankan, yang terbatas pada:
1) cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2) cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3) cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4) cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5) cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6) cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industri untuk usaha pengolahan limbah industri.
c. Penggantian atau imbalan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan
kenikmatan;
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf d Undang-Undang PPh, penggantian atau
imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan (benefit in-kind) bukan merupakan penghasilan bagi

151
pegawai yang bersangkutan. Oleh karena itu sesuai dengan prinsip taxability and
deductibility, penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang
PPh, bagi Wajib Pajak pemberi kerja tidak dapat dibebankan sebagai biaya
perusahaan. Namun, pemberian natura berupa penyediaan makanan/minuman di
tempat kerja bagi seluruh pegawai, demikian pula pemberian natura dan
kenikmatan di daerah terpencil yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan (167/PMK.03/2018), serta pemberian natura atau kenikmatan yang
merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana
keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya
(seperti: pakaian dan peralatan khusus untuk keselamatan kerja, pakaian seragam
petugas keamanan, antar-jemput pegawai, serta akomodasi untuk awak kapal),
dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan.
d. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham /
pihak yang mempunyai hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaan;
Penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf f Undang-Undang PPh,
pembayaran gaji, honorarium, dan imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan
atau jasa yang diberikan kepada pemegang saham atau pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-
Undang PPh, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sepanjang jumlahnya
tidak melebihi kewajaran. Kewajaran diukur berdasarkan standar yang berlaku
umum untuk pekerjaan dengan kualifikasi yang sama yang dilakukan oleh pihak-
pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Atas selisih yang melebihi
kewajaran tersebut dapat dikategorikan sebagai pembagian laba.
e. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan;
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang PPh, bantuan atau
sumbangan dan harta hibahan yang diterima oleh badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial, atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, bukan merupakan penghasilan sepanjang
tidak terdapat hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
pihak- pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu sesuai dengan prinsip taxability
and deductibility, penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-
Undang PPh, bagi Wajib Pajak pemberi bantuan atau sumbangan dan harta
hibahan tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan.
(245/PMK.03/2008)
f. Pajak penghasilan
Penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh, PPh
badan serta kredit pajak bukan merupakan biaya perusahaan.
g. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau cv yang modalnya
tidak terbagi atas saham;
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf i Undang-Undang PPh, bagian laba yang
diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi bukan
merupakan penghasilan. Oleh karena itu sesuai dengan prinsip taxability and
deductibility, penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf j Undang-Undang
PPh, bagi perseroan komanditer tersebut pembayaran gaji kepada para
anggotanya tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan.
h. Sanksi administrasi;
Penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf k Undang-Undang PPh, sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, serta sanksi pidana berupa

152
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang
perpajakan bukan merupakan biaya perusahaan.
i. Selisih penyusutan komersial di atas penyusutan fiskal.
j. Selisih amortisasi komersial di atas amortisasi fiskal.
k. Biaya yang ditangguhkan pengakuannya;
Penyesuaian berdasarkan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010
sebagaimana diubah dengan PP Nomor 45 Tahun 2019, dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak dapat ditetapkan saat pengakuan biaya dalam hal-hal
tertentu dan bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah.
Misalnya Pengakuan Penghasilan Atas Penghasilan Bank Berupa Bunga Kredit
Non Performing yang diatur dalam KEP-184/PJ./2002
l. Penyesuaian Fiskal Positif Lainnya;
Penyesuaian berdasarkan ketentuan Pasal 4 (objek pajak) dan Pasal 6
(pengurang penghasilan bruto) Undang-Undang PPh beserta peraturan
pelaksanaannya, dalam hal:
 terdapat penghasilan yang tidak diakui secara komersial akan tetapi termasuk
Objek Pajak yang dikenai PPh tidak bersifat final, misalnya pemberian imbalan
bunga (SE-04/PJ.42/2002)
 terdapat biaya-biaya perusahaan lainnya atau kerugian yang diakui secara
komersial akan tetapi tidak dapat diakui secara fiskal;
 Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
dikenakan PPh Final dan/ atau penghasilan yang tidak termasuk objek.

Yang dimaksud dengan penyesuaian fiskal negatif adalah penyesuaian terhadap


penghasilan neto komersial (di luar unsur penghasilan yang dikenai PPh final dan
yang tidak termasuk Objek Pajak) dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak
berdasarkan Undang-Undang PPh beserta peraturan pelaksanaannya, yang bersifat
mengurangi penghasilan dan/atau menambah biaya-biaya komersial.
Berikut daftar koreksi fiskal negatif yang terdapat dalam SPT Tahunan PPh
Badan 1771:
a. Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan penghasilan yang tidak termasuk
objek pajak tetapi termasuk dalam peredaran usaha.
b. Selisih penyusutan komersial di bawah penyusutan fiskal
c. Selisih amortisasi komersial di bawah amortisasi fiskal.
d. Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya.
Penyesuaian berdasarkan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010,
sebagaimana diubah dengan PP Nomor 45 Tahun 2019, dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak dapat ditetapkan saat pengakuan biaya dalam hal-hal
tertentu dan bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah.
Misalnya Pengakuan Penghasilan Atas Penghasilan Bank Berupa Bunga Kredit
Non Performing yang diatur dalam KEP-184/PJ./2002
e. Penyesuaian fiskal negatif lainnya.
Penyesuaian berdasarkan ketentuan umum Pasal 6 (pengurang penghasilan
bruto) Undang-Undang PPh beserta peraturan pelaksanaannya, dalam hal
terdapat biaya-biaya perusahaan lainnya atau kerugian yang tidak diakui secara
komersial akan tetapi dapat diakui secara fiskal.

153
RINGKASAN

1) Deductible expense adalah beban-beban yang dapat dikurangkan dari


penghasilan bruto.
2) Terhadap pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan
melalui penyusutan. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal
11 beserta penjelasannya.
3) Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud serta
pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
pembebanannya dilakukan melalui amortisasi. Hal ini diatur dalam ketentuan
Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 11A beserta penjelasannya.
4) Penyesuaian fiskal positif adalah penyesuaian terhadap penghasilan neto
komersial (di luar unsur penghasilan yang dikenai PPh final dan yang tidak
termasuk Objek Pajak) dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak
berdasarkan Undang-Undang PPh beserta peraturan pelaksanaannya, yang
bersifat menambah penghasilan dan/atau mengurangi biaya-biaya komersial.
5) Penyesuaian fiskal negatif adalah penyesuaian terhadap penghasilan neto
komersial (di luar unsur penghasilan yang dikenai PPh final dan yang tidak
termasuk Objek Pajak) dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak
berdasarkan Undang-Undang PPh beserta peraturan pelaksanaannya, yang
bersifat mengurangi penghasilan dan/atau menambah biaya-biaya komersial.

LATIHAN/PENUGASAN

Latihan

1) Pemotongan/pemungutan pajak yang dapat dikreditkan bagi wajib pajak badan


adalah ….
a. pemotongan PPh karena menyewakan ruko
b. pemotongan PPh atas penghasilan bunga deposito
c. pemotongan PPh Pasal 22 penyalur BBM
d. pemotongan pajak penghasilan di luar negeri

2) PT Rumah Masa Depan menyewa sebuah bangunan dengan biaya sewa


sebesar Rp50.000.000,00 per tahun. Bagunan tersebut dipergunakan untuk
memamerkan miniatur apartemen dan sekaligus merupakan kantor jasa
konsultasi. Dalam menghitung penghasilan neto fiskal, biaya sewa tersebut ....
a. dapat dikurangkan seluruhnya
b. tidak dapat dikurangkan seluruhnya
c. dapat dikurangkan sebesar 50%
d. dapat dikurangkan berdasarkan alokasi proporsional

3) Yang benar terkait biaya promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto adalah ….
a. berupa biaya pameran hunian mewah
b. berupa biaya iklan persewaan apartemen di koran
c. harus dibuatkan dan disampaikan daftar nominatif ke DJP

154
d. dalam hal promosi dilakukan dengan pemberian sampel produk, besarnya
biaya yang dapat dikurangkan adalah sebesar harga jual sampel produk
yang diberikan, sepanjang belum dibebankan dalam perhitungan harga
pokok penjualan

4) PT Tukar Bahagia (PT TB) adalah perusahaan (bukan Pengusaha Kena


Pajak) yang usahanya sebagai money changer. PT TB menyewa ruangan di
salah satu pusat perbelanjaan di Depok, sebagai tempat usahanya. PPN
(Pajak masukan) yang dipungut oleh pemilik gedung kepada PT TB ….
a. tidak dapat dikurangkan terhadap penghasilan bruto
b. dapat dikurangkan terhadap penghasilan bruto
c. dapat dikurangkan melalui penyusutan
d. dapat dikurangkan melalui amortisasi

5) Yang dapat dikurangkan terhadap penghasilan bruto dalam rangka pengalihan


harta ….
a. kerugian penjualan lahan perkebunan
b. kerugian penjualan mesin pabrik
c. kerugian penjualan gedung pabrik
d. kerugian penjualan bangunan toko

6) Sebuah aset tetap disusutkan secara fiskal menggunakan metode saldo


menurun tiap tahunnya sebesar 10%. Aset tetap tersebut merupakan aset ….
a. bangunan permanen
b. bangunan nonpermanen
c. nonbangunan kelompok 3
d. nonbangunan kelompok 4

7) PT Bangun Kokoh Menjulang, sebuah perusahaan properti, membeli eskavator


untuk menyelesaikan proyek pembangunan perumahan. Pengeluaran untuk
membeli eskavator tersebut dalam ketentuan perpajakan ....
a. dapat dibebankan sekaligus dalam tahun pengeluaran
b. dapat dikurangkan melalui penyusutan
c. disusutkan sesuai masa manfaat kelompok II
d. tidak dapat dikurangkan atau disusutkan

8) Yang benar tentang penyusutan dalam ketentuan perpajakan adalah ….


a. hanya metode garis lurus yang diperkenanan
b. dalam penyusutan dengan metode garis lurus, terdapat nilai sisa aset di
akhir masa manfaat
c. bangunan disusutkan dengan metode saldo menurun
d. masa manfaat aset bukan bangunan kelompok IV adalah 20 tahun

9) Biaya yang dapat dibebankan seluruhnya untuk menghitung penghasilan neto


fiskal adalah ….
a. fasilitas kesehatan di daerah terpencil
b. pemberian seragam untuk pegawai di front office
c. perbaikan kendaraan dinas direktur pemasaran
d. pemberian parsel kepada seluruh pegawai

155
10) Berikanlah penjelasan secara terperinci perbedaan perlakuan biaya
penyusutan menurut akuntansi dan perpajakan!

11) Sebuah perusahaan menggunakan metode penyusutan dan amortisasi garis


lurus dalam kebijakan akuntansinya. Untuk keperluan perpajakan, perusahaan
menggunakan metode saldo menurun untuk kelompok bukan bangunan,
sedangkan untuk bangunan, perusahaan mengunakan metode yang sesuai
dengan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
a. Mesin produksi
Mesin dibeli pada 25 Januari 2018 seharga Rp400.000.000,00 dengan
perkiraan masa manfaat 3 tahun. Dalam ketentuan perpajakan, mesin masuk
ke dalam kelompok I.
b. Bagunan permanen
Bangunan dibangun mulai 14 April 2018 dan selesai pada tanggal 25 Juli 2018,
dengan nilai perolehan sebesar Rp800.000.000,00. Perkiraan masa manfaat
bangunan tersebut adalah 25 tahun.
c. Software rancang bangun robot (software khusus) yang diperoleh pada 2
Januari 2018 dengan harga Rp500.000.000,00 diamortisasi dengan masa
manfaat empat tahun.
Berapa koreksi fiskal atas beban penyusutan pada SPT Tahunan PPh Badan
tahun 2019?

Deductible Expense untuk Bentuk Usaha Tetap

Komponen pengurang penghasilan bruto suatu bentuk usaha tetap adalah:


biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya
yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; Biaya-biaya administrasi yang dikeluarkan
oleh kantor pusat sepanjang digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan
bentuk usaha tetap di Indonesia, boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha
tetap tersebut. Jenis serta besarnya biaya yang boleh dikurangkan tersebut
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai
biaya adalah:
royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau
hak-hak lainnya;
imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan;
Pada dasarnya bentuk usaha tetap merupakan satu kesatuan dengan kantor
pusatnya, sehingga pembayaran oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya,
seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan perputaran dana
dalam satu perusahaan. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini pembayaran
bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga
tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap. Namun apabila kantor
pusat dan bentuk usaha tetapnya bergerak dalam bidang usaha perbankan, maka
pembayaran berupa bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya. Sebagai
konsekuensi dari perlakuan tersebut, pembayaran-pembayaran yang sejenis yang

156
diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya tidak dianggap sebagai Objek
Pajak, kecuali bunga yang diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya
yang berkenaan dengan usaha perbankan.
pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b yang diterima atau diperoleh dari
kantor pusat tidak dianggap sebagai Objek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan
dengan usaha perbankan.

Video tutorial materi ini dapat dilihat di KLC dengan link sebagai berikut:
https://klc.kemenkeu.go.id/akuntansi-perpajakan-aktiva-tetap-pengantar/

https://klc.kemenkeu.go.id/akuntansi-perpajakan-pembelian-aktiva-tetap/

---Q---

157
NON-DEDUCTIBLE EXPENSE

Tujuan Pembelajaran:
Pada bab ini mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan Non-Deductible Expense
2. Mengaplikasikan non-deductible expense dalam perhitungan PPh Badan

BAB

Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara


pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pada
prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang
mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek
pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama
masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto atau Non-Deductible Expense meliputi pengeluaran yang
sifatnya pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran. Dalam
perhitungan PPh Badan, non-deductible expense akan mengakibatkan adanya
koreksi/penyesuaian fiskal positif. Berikut ulasan Non-Deductible Expense:

A. Defnisi dan jenisnya


Non-Deductible Expense adalah biaya yang tidak dapat dikurangkan dalam
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap. Sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PPh berikut daftarnya:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu, atau anggota; seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan,
biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi
para pemegang saham atau keluarganya.
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1) cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2) cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3) cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4) cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5) cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan

158
6) cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-
syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna,
dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika
dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi
Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan
minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk
natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
1) penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang
diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut dalam
rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di
daerah terpencil;
2) pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam
pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat
pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan untuk
keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), antar
jemput karyawan, serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya;
dan
3) pemberian atau penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh
pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. (167/PMK.03/2018)
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan; Misalnya, seorang tenaga ahli yang merupakan
pemegang saham dari suatu badan memberikan jasa kepada badan tersebut
dengan memperoleh imbalan sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara
hanya dibayar sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), jumlah sebesar
Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp
30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen.
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan, kecuali
sumbangan serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima
oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak
atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan.

159
l. Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk
dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.

RINGKASAN

1) Non-Deductible Expense adalah biaya yang tidak dapat dikurangkan dalam


menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri
dan bentuk usaha tetap, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PPh.
2) Dengan adanya non-deductible expense akan mengakibatkan adanya koreksi
fiskal positif.

LATIHAN/PENUGASAN

Latihan

1. PT Kerja Untuk Ibadah (PT KUI) memiliki penghasilan neto fiskal sebesar Rp5
miliar pada tahun 2016, dan Rp5,8 miliar pada tahun 2017. PT KUI
menyumbang untuk penanggulangan bencana nasional sebesar
Rp300.000.000,00 pada tahun 2017. Pernyataan yang benar untuk sumbangan
pada tahun pajak 2017 adalah ….
a. tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto
b. dapat menjadi pengurang penghasilan bruto hanya sebesar
Rp250.000.000,00
c. dapat menjadi pengurang penghasilan bruto hanya sebesar
Rp290.000.000,00
d. dapat menjadi pengurang penghasilan bruto seluruhnya

2. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan tidak boleh menjadi pengurang


penghasilan bruto dalam hal ….
a. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan
b. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan
c. cadangan untuk usaha asuransi
d. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha manufaktur

3. Biaya yang dapat dibebankan seluruhnya untuk menghitung penghasilan neto


fiskal adalah ….
a. perbaikan sedan dinas direktur
b. perbaikan bus antar jemput karyawan
c. perbaikan telepon seluler manajer pemasaran
d. pengisian pulsa untuk telepon seluler direktur

---Q---

160
PERHITUNGAN PPh BADAN

Tujuan Pembelajaran:
Pada bab ini mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan tentang rekonsiliasi fiskal
2. Melakukan perhitungan PPh Badan

BAB

A. Rekonsiliasi Fiskal
Rekonsiliasi fiskal digunakan untuk mencatat jumlah penyesuaian yang
terdapat dalam laporan keuangan komersial yang disusun berdasarkan sistem
keuangan akuntansi dengan laporan keuangan fiskal yang disusun berdasarkan
ketentuan perpajakan. Biasanya Wajib Pajak menggunakan daftar berisi akun dalam
laporan keuangan dan penyesuaian antara laba rugi komersial sebelum pajak dengan
laba rugi berdasarkan ketentuan perpajakan. Rekonsiliasi ini juga dilakukan kepada
seluruh unsur penyusunan laporan laba rugi yang meliputi pengeluaran (beban) dan
pendapatan.
Koreksi fiskal positif akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah
sehingga terjadi penambahan PPh terutang. Koreksi positif ini dapat terjadi misalnya
adanya penambahan pendapatan atau pengurangan jumlah biaya-biaya komersial.
Sebaliknya, koreksi negatif akan menyebabkan laba kena pajak berkurang
sehingga PPh terutang menjadi lebih kecil. Hal ini dapat diakibatkan pendapatan
komersil yang lebih tinggi daripada pendapatan fiskal dan biaya-biaya komersil yang
lebih kecil daripada biaya-biaya fiskal.
Contoh format rekonsiliasi fiskal:

PT. ARTA KATAH BERKAH


LAPORAN LABA / RUGI
Untuk Tahun yang Berakhir 31 Desember 2019
KOREKSI FISKAL
URAIAN KOMERSIAL FISKAL
POSITIF NEGATIF
PENJUALAN
Penjualan Usaha 50,000,000 10.000.000 60.000.000
Harga Pokok Penjualan
Persediaan awal 4,500,000 4.500.000
Pembelian 35,500,000 5.000.000 40.500.000
Persediaan akhir 10,000,000 10.000.000

161
B. Penghitungan PPh Badan
Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak
dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari
penghasilan bruto dengan pengurangan penghasilan bruto. Selanjutnya atas
Penghasilan Kena Pajak tersebut dikenakan tarif pajak sesuai Pasal 17 UU PPh.
Berikut format dalam penghitungan PPh Badan:
Peredaran Usaha XXX
Harga Pokok Penjualan (XXX)-
Laba/Rugi Bruto Usaha XXX
Biaya Usaha (XXX)-
Penghasilan Neto dari Usaha XXX
Penghasilan dari Luar Usaha XXX
Biaya dari Luar Usaha (XXX)-
Penghasilan Neto Dalam Negeri Komersial *) XXX
Penghasilan Neto Komersial Luar Negeri XXX+
Penghasilan Neto Komersial XXX
Penghasilan yang Dikenakan PPh Final dan yang tidak termasuk Objek
Pajak (XXX)
Penyesuaian Fiskal Positif XXX
Penyesuaian Fiskal Negatif (XXX)
Fasilitas Penanaman Modal Berupa Pengurangan Penghasilan Neto (XXX)+
Penghasilan Neto Fiskal XXX
Kompensasi Kerugian (XXX)-
Penghasilan Kena Pajak XXX
Pajak Penghasilan Terutang XXX
Pengembalian/pengurangan PPh Pasal 24 yang Telah Dikreditkan XXX+
Jumlah PPh Terutang XXX
PPh Ditanggung Pemerintah (Proyek Bantuan Luar Negeri) (XXX)
Kredit Pajak Dalam Negeri
Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) (XXX)
Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) (XXX)
Kredit Pajak Luar Negeri (Pasal 24) (XXX)-
Pajak Penghasilan yang harus Dibayar Sendiri XXX
Pajak Penghasilan yang telah Dibayar Sendiri (Pasal 25) (XXX)-
Pajak Penghasilan yang Nihil/Kurang/Lebih Dipotong XXX

Berikut penjelasannya:
*) Yang dimaksud dengan penghasilan neto komersial dalam negeri adalah
penghasilan neto menurut prinsip akuntansi komersial Indonesia, yakni semua
penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar
kegiatan usaha di Indonesia, termasuk penghasilan yang dikenai PPh final dan
yang tidak termasuk Objek Pajak, dikurangi dengan pengeluaran/biaya-biaya
sesuai dengan sistem dan metode akuntansi komersial Indonesia yang dianut
secara taat azas, sebelum dilakukan penyesuaian-penyesuaian fiskal berdasarkan
Undang-Undang PPh dan peraturan pelaksanaannya.

162
C. Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 tahun berikutnya
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan
dalam Tahun Pajak berjalan untuk suatu bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang PPh.
Penghitungan besarnya angsuran bulanan PPh Pasal 25 tahun berjalan untuk
semua Wajib Pajak, atas penghasilan yang dikenai PPh yang tidak bersifat final adalah
sebagai berikut:
a. Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan angsuran XXX
b. Kompensasi Kerugian Fiskal (XXX)-
c. Penghasilan Kena Pajak XXX
d. PPh yang Terutang XXX
e. Kredit Pajak Tahun Pajak yang lalu atas penghasilan yang
termasuk dalam huruf a yang telah dipotong/dipungut oleh pihak
lain (PPh Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24). (XXX)-
f. PPh yang harus Dibayar Sendiri XXX
g. PPh Pasal 25 (1/12 X f) XXX

Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan angsuran adalah sebagai


berikut:
• Wajib Pajak pada umumnya, adalah berdasarkan penghasilan teratur menurut
SPT Tahunan Tahun Pajak yang lalu;
• Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi adalah sebesar PPh
yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut
laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi PPh Pasal 24
yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk Tahun Pajak yang lalu, dibagi 12
(dua belas)
• Wajib Pajak BUMN dan BUMD, adalah sebesar PPh yang dihitung berdasarkan
penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran
Pendapatan (RKAP) Tahun Pajak bersangkutan yang telah disahkan RUPS
dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 23 serta
PPh Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri Tahun Pajak yang lalu,
dibagi 12 (dua belas). Apabila RKAP belum disahkan, maka besarnya angsuran
PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum bulan pengesahan adalah sama dengan
angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir Tahun Pajak sebelumnya.
• Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan
diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah sebesar PPh yang
dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan
keuangan berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan
pemungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pasal 24 yang dibayar atau terutang
di luar negeri untuk Tahun Pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menghitung angsuran Pasal 25:
1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak pada umumnya untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:

163
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir
tahun pajak yang lalu.

Contoh:
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2009 Rp 50.000.000,
dikurangi:
a. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,
b. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (Pasal 23) Rp 17.500.000,
c. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri (Pasal 24) Rp 7.500.000, (+)
Jumlah kredit pajak Rp 35.000.000, (-)
Selisih Rp 15.000.000,
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2010
adalah sebesar Rp 1.250.000,00 (Rp 15.000.000,00 dibagi 12).

RINGKASAN

1) Rekonsiliasi fiskal digunakan untuk mencatat jumlah penyesuaian yang terdapat


dalam laporan keuangan komersial yang disusun berdasarkan sistem keuangan
akuntansi dengan laporan keuangan fiskal yang disusun berdasarkan ketentuan
perpajakan.
2) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam
negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari
penghasilan bruto dengan pengurangan penghasilan bruto.
3) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan
dalam Tahun Pajak berjalan untuk suatu bulan yang harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang PPh

LATIHAN/PENUGASAN

Latihan

Berlaku untuk nomor 1 dan 2. PT Jalanan Bintaro, mempunyai rangkuman


peredaran usaha, PPh terutang dan kredit pajak sebagai berikut:

Tahun Pajak 2015


Peredaran Usaha: Rp81.000.000.000,00
PPh terutang: Rp 3.000.000.000,00

164
Kredit Pajak (PPh Pasal 23 dan PPh 22) Rp 1.400.000.000,00
PPh Pasal 25 Rp 1.200.000.000,00
Wajib Pajak membayar PPh Pasal 29 tahun 2015 pada tanggal 25 April 2016
dengan melaporkan SPT Tahunan PPh Badan 2015 pada tanggal 26 April 2016.

Tahun Pajak 2016


Peredaran Usaha: Rp83.000.000.000,00
PPh Terutang: Rp 4.500.000.000,00
Kredit Pajak (PPh Pasal 23 dan PPh 22) Rp 1.600.000.000,00
Jumlah angsuran PPh Pasal 25 Januari s.d. Maret 2016 Rp 300.000.000,00

1) Apabila dari penghasilan kena pajak tahun 2015 terdapat penghasilan neto
yang tidak teratur sebesar Rp400.000.000,00, angsuran PPh Pasal 25 tahun
2016 yang harus dibayar oleh PT Jalanan Bintaro tiap bulan adalah ….
a. Nihil
b. Rp125.000.000,00
c. Rp133.333.333,00
d. Rp937.500.000,00

2) PPh Pasal 29 tahun 2016 yang harus dibayar oleh PT Jalanan Bintaro adalah
….
a. Rp875.000.000,00
b. Rp2.600.000.000,00
c. Rp1.475.000.000,00
d. Rp2.900.000.000,00

3) PT Jurangmangu Timur berdiri tahun 2010. Sejak berdiri, PT Jurangmangu


Timur melakukan pembukuan secara komersial dengan periode pembukuan
April s.d. Maret. Berdasarkan hal tersebut, batas waktu pelaporan SPT
Tahunan PPh tahun 2016 adalah ….
a. 31 Maret 2017
b. 31 Juli 2017
c. 30 April 2017
d. 31 Desember 2017

4) Dalam hal WP Badan dalam suatu tahun pajak mendapatkan penghasilan neto
yang teratur saja (tidak ada penghasilan tidak teratur) maka angsuran PPh
Pasal 25 tahun pajak berikutnya dihitung dengan ….
a. lampiran tersendiri
b. 1 /12 dari PPh kurang bayar
c. 1 /12 dari PPh yang harus dibayar sendiri
d. 1 /12 dari PPh terutang

5) Mengapa dalam menghitung besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun


berikutnya, penghasilan yang bersifat tidak teratur tahun sebelumnya harus
dikeluarkan dari komponen penghasilan yang menjadi dasar penghitungan
angsuran tersebut? Jelaskan!

165
6) Dalam Formulir SPT Tahunan PPh Badan lampiran I, tertulis isian sebagai
berikut:
a. Penghasilan Neto Komersial
b. Penghasilan yang Dikenakan PPh Final dan yang Tidak Termasuk Objek Pajak
c. Koreksi Fiskal Positif
d. Koreksi Fiskal Negatif
e. Fasilitas Penanaman Modal Berupa Pengurangan Penghasilan Neto
f. Penghasilan Neto Fiskal
Jika sebuah perusahaan memiliki usaha persewaan apartemen, dengan omzet
Rp3 miliar dan biaya Rp2 miliar, dan usaha jasa konsultasi investasi dengan
omzet Rp6 miliar dan biaya Rp2 miliar, berapakah yang diisikan di huruf a dan
b? Mengapa? Jelaskan juga apa yang dimaksud dengan koreksi fiskal positif
dan negatif!

7) PT Kalimongso Selalu Berseri adalah perusahaan manufaktur yang berdiri


sejak tahun 2010 dan terdaftar di KPP Pratama Pondok Aren. Pada tahun 2017,
perusahaan melaporkan SPT Tahunan PPh Badan (SPT) dengan data sebagai
berikut:
a. Jumlah peredaran usaha Rp58.000.000.000,00.
b. Penghasilan Neto Fiskal = Penghasilan Kena Pajak, sebesar
Rp10.000.000.000,00.
c. Kredit pajak:
PPh Pasal 22 = Rp300.000.000,00
PPh Pasal 23 = Rp250.000.000,00
PPh Pasal 25 = Rp550.000.000,00 (termasuk Surat Tagihan Pajak/STP PPh
Pasal 25: pokok Rp50.000.000,00 dan sanksi administrasi perpajakan
Rp1.000.000,00)
Dalam peredaran usaha pada huruf a di atas, terdapat transaksi sebagai berikut:
1) Laba penjualan mesin pabrik sebesar Rp600.000.000,00.
2) Penghasilan tidak teratur berupa sewa mobil sebesar Rp70.000.000,00 (diluar
PPh Pasal 23 yang telah dipotong pihak penyewa). PPh Pasal 23 ini telah
dilaporkan dalam SPT.
3) Penghasilan tidak teratur berupa penyerahan kepada Bendahara Kementerian
Keuangan sebesar Rp250.000.000,00 yang telah dilakukan pembayarannya
pada tahun 2017 dengan pungutan PPh Pasal 22 sebesar Rp3.750.000,00.
Pungutan PPh ini telah dilaporkan dalam SPT.
Berdasarkan data tersebut, berapakah angsuran PPh Pasal 25 Tahun 2018
yang disampaikan dalam SPT tersebut?

8) PT Makmur Negeri menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2019
dengan beberapa informasi sebagai berikut:
1. Peredaran usaha pada tahun 2019 sejumlah Rp54.688.540.000,00
2. Status SPT PPh Badan tahun 2019 adalah Lebih Bayar sebesar
Rp76.000.000,00, karena hal berikut:
a. terdapat kompensasi kerugian fiskal dari tahun pajak 2014 sebesar
Rp800.000.000,00 dan dari tahun 2015 sebesar Rp414.000.000,00, dan
b. terdapat Pemotongan PPh Pasal 23 sebesar Rp51.000.000,00 dan
Pemungutan PPh Pasal 22 sebesar Rp25.000.000,00.

166
3. Setelah kompensasi kerugian tersebut, sisa kerugian fiskal yang belum
dikompensasikan adalah sebagai berikut:
a. dari rugi fiskal 2014= 0
b. dari rugi fiskal 2015= Rp136.000.000,00
c. dari rugi fiskal 2016= Rp400.000.000,00
4. Pada SPT Tahunan PPh 2019 tersebut terdapat beberapa penghasilan lain,
yaitu:
a. Bunga sebesar Rp50.000.000,00, berasal dari piutang kepada PT Abigail.
Pada tahun 2019 ini piutang dari PT Abigail telah dilunasi sepenuhnya.
Bunga tersebut dipotong PPh sebesar Rp7.500.000,00
b. Laba penjualan aset tetap berupa kendaraan kantor, sebesar
Rp150.000.000,00
Hitunglah Angsuran PPh Pasal 25 per bulan untuk tahun pajak 2020!

Beda Tetap dan Beda Sementara

Beda Tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya


antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya
permanen. Artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan
laba kena pajak tahun pajak berikutnya. Ketika tahun atau periode sekarang suatu
penghasilan/biaya tidak dapat diakui sebagai penghasilan/biaya menurut undang-
undang. Maka pada tahun atau periode yang akan datang juga tidak dapat diakui
sebagai penghasilan/biaya di dalam laporan laba/rugi. Biasanya dalam hal
pengakuan biaya / beban koreksi karena beda tetap terjadi karena menurut
akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-undang PPh
bukan merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto, sebagaimana
diatur dalam Pasal 4 ayat 3 dan Pasal 9 UU PPh.
Contoh: Penghasilan dan biaya yang dikenakan PPh Final

Beda Sementara merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun


biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan. Undang-undang PPh yang
sifatnya sementara artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan
dengan laba kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya. Jadi ketika suatu
penghasilan atau biaya pada periode tahun/periode sekarang tidak dapat diakui di
dalam laporan laba/rugi, namun kemungkinan akan dapat diakui pada periode
tahun/periode yang akan datang. Sebagian besar disebabkan karena asumsi atau
metode yang digunakan di dalam akuntansi komersial, Contoh:
Beda waktu dan kelompok penyusutan serta jenis metode yang digunakan,
Perbedaan metode penilaian persediaan, menurut ketentuan perpajakan metode
penilaian persediaan yang diperbolehkan hanya metode rata-rata dan FIFO.
Metode pencatatan akrual dan kas.
Penyisihan piutang tak tertagih, hanya boleh untuk wajib pajak kriteria tertentu.

---Q---

167
SPT TAHUNAN PPh BADAN (1771)

Tujuan Pembelajaran:
Pada bab ini mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan SPT yang digunakan oleh Wajib Pajak Badan
2. Mengisi SPT Tahunan PPh Badan (Formulir 1771) Bagian Induk dan
Lampiran I

BAB

Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu


Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. Batas waktu pelaporan untuk Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4
(empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Kekurangan pembayaran pajak yang
terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus
dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.
Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan
cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada
Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu atau
batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan, dapat diterbitkan
Surat Teguran. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka
waktunya atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan, dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan.
Atas pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh
tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, dikenai sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya
batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib
menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa
neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak. Dalam hal laporan keuangan tersebut diaudit oleh
Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, Surat
Pemberitahuan dianggap tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga Surat
Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan.
Laporan Keuangan meliputi masing-masing Wajib Pajak. Yang dimaksud
dengan Laporan Keuangan masing-masing Wajib Pajak adalah laporan keuangan
hasil kegiatan usaha masing-masing Wajib Pajak.

168
Contoh:
PT A memiliki saham pada PT B dan PT C. Dalam contoh tersebut, PT A
mempunyai kewajiban melampirkan laporan keuangan konsolidasi PT A dan anak
perusahaan, juga melampirkan laporan keuangan atas usaha PT A (sebelum
dikonsolidasi), sedangkan PT B dan PT C wajib melampirkan laporan keuangan
masing-masing, bukan laporan keuangan konsolidasi.
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan
yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang
kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir
sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.
Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan
persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang
termasuk kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan meskipun tanggal jatuh
tempo pembayaran telah ditentukan. Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati
untuk paling lama 12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-
benar sedang mengalami kesulitan likuiditas.

Formulir SPT Tahunan PPh Badan menggunakan dasar hukum sebagai


berikut:
Jenis Formulir Dasar Hukum
Formulir 1771 Rp Lampiran VI: PER - 19/PJ/2014
Formulir 1771 $ Lampiran VII: PER - 19/PJ/2014
Petunjuk Pengisian 1771 Lampiran VIII: PER - 19/PJ/2014

1. Lampiran
Formulir SPT Tahunan PPh Badan 1771 ini terdiri atas enam lampiran yaitu
lampiran I-VI dengan rincian sebagai berikut:

I. Lampiran 1771 – I : PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO FISKAL


LAMPIRAN ini merupakan formulir isian untuk memberitahukan laporan keuangan
komersial dan penghitungan penghasilan neto fiskal. Informasi yang harus diisi pada
lampiran ini diantaranya penghasilan neto komersial dalam dan luar negeri, PPh yang
dikenakan pajak final, penghasilan yang tidak termasuk objek pajak, serta
penyesuaian fiskal. Terdiri dari 8 bagian yaitu:

Angka 1: PENGHASILAN NETO KOMERSIAL DALAM NEGERI


Yang dimaksud dengan penghasilan neto komersial dalam negeri adalah penghasilan
neto menurut prinsip akuntansi komersial Indonesia, yakni semua penghasilan yang
diterima dan/atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha di
Indonesia, termasuk penghasilan yang dikenai PPh final dan yang tidak termasuk
Objek Pajak, dikurangi dengan pengeluaran/biaya-biaya sesuai dengan sistem dan
metode akuntansi komersial Indonesia yang dianut secara taat azas, sebelum
dilakukan penyesuaian-penyesuaian fiskal berdasarkan Undang-Undang PPh dan
peraturan pelaksanaannya.

169
Angka 2: PENGHASILAN NETO KOMERSIAL LUAR NEGERI
Berisi penghasilan neto yang diterima atau diperoleh di luar negeri, sesuai dengan
lampiran khusus 7A/7B kolom (5) “Jumlah Neto‟.

Angka 3: JUMLAH PENGHASILAN NETO KOMERSIAL (1h+2)


Merupakan jumlah penghasilan neto komersial Dalam Negeri dan Luar Negeri

Angka 4: PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN YANG TIDAK


TERMASUK OBJEK PAJAK
Untuk menghitung penghasilan neto fiskal yang dikenai PPh berdasarkan ketentuan
umum, penghasilan dari sumber di Indonesia yang dikenai PPh final dan yang tidak
termasuk sebagai Objek Pajak harus dikeluarkan kembali, sehingga dengan
pengurangan penghasilan tersebut pada jumlah penghasilan neto fiskalnya (angka 8)
akan menjadi nihil/netral. Diisi dengan jumlah penghasilan neto komersial atas
penghasilan yang dikenai PPh final dan penghasilan neto komersial atas penghasilan
yang tidak termasuk objek pajak yang telah dimasukkan dalam angka 1 formulir 1771
- I dan dalam hal mengalami kerugian komersial, diisi sesuai dengan jumlah kerugian
komersialnya.

Angka 5: PENYESUAIAN FISKAL POSITIF


Yang dimaksud dengan penyesuaian fiskal positif adalah penyesuaian terhadap
penghasilan neto komersial (di luar unsur penghasilan yang dikenai PPh final dan
yang tidak termasuk Objek Pajak) dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak
berdasarkan Undang-Undang PPh beserta peraturan pelaksanaannya, yang bersifat
menambah penghasilan dan/atau mengurangi biaya-biaya komersial tersebut pada
angka 1.

Angka 6: PENYESUAIAN FISKAL NEGATIF


Yang dimaksud dengan penyesuaian fiskal negatif adalah penyesuaian terhadap
penghasilan neto komersial (di luar unsur penghasilan yang dikenai PPh final dan
yang tidak termasuk Objek Pajak) dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak
berdasarkan Undang-Undang PPh beserta peraturan pelaksanaannya, yang bersifat
mengurangi penghasilan dan/atau menambah biaya-biaya komersial tersebut pada
angka 1.

Angka 7: FASILITAS PENANAMAN MODAL BERUPA PENGURANGAN


PENGHASILAN NETO
Angka 7a diisi tahun keberapa fasilitas tersebut telah digunakan.
Angka 7b diisi dengan jumlah fasilitas penanaman modal berupa pengurangan
penghasilan neto yang telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana
terdapat dalam daftar fasilitas penanaman modal angka 5b (lampiran khusus 4A/4B).

Angka 8: PENGHASILAN NETO FISKAL


Diisi dengan hasil perhitungan angka 3 dikurangi angka 4 ditambah angka 5m
dikurangi angka 6e dikurangi angka 7b.

170
LAMPIRAN - I
1771 - I

TAHUN PAJAK
FORMULIR

KEMENTERIAN KEUANGAN RI
SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
2 0 A A

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO FISKAL

NPWP :
IDENTITAS

NAMA WAJIB PAJAK :

PERIODE PEMBUKUAN : s.d.

NO URAIAN RUPIAH
(1) (2) (3)
1. PENGHASILAN NETO KOMERSIAL DALAM NEGERI :
1a
a. PEREDARAN USAHA …………..……………………………...…………...………… Ø

1b
b. HARGA POKOK PENJUALAN …………...…………...…………...…………...……… Ø
1c
c. BIAYA USAHA LAINNYA .…………...…………....…………...…………....………… Ø

1d
d. PENGHASILAN NETO DARI USAHA ( 1a - 1b - 1c ) ..…………...………….....…… Ø
1e
e. PENGHASILAN DARI LUAR USAHA .…………...…………....…………...………… Ø

1f
f. BIAYA DARI LUAR USAHA .…………...…………....…………...…………....……… Ø

1g
g. PENGHASILAN NETO DARI LUAR USAHA ( 1e - 1f )..…….………….....………… Ø
1h
h. JUMLAH ( 1d + 1g ) : .…………...…………....…………...…………....……… Ø
2. PENGHASILAN NETO KOMERSIAL LUAR NEGERI
2
(Diisi dari Lampiran Khusus 7A Kolom 5) .…………...…………....…………...…………. Ø

3
3. JUMLAH PENGHASILAN NETO KOMERSIAL (1h + 2) …………………...………… Ø

4. PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL


4
DAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK ..…………...………….....…………. Ø

5. PENYESUAIAN FISKAL POSITIF :


a. BIAYA YANG DIBEBANKAN / DIKELUARKAN UNTUK KEPENTINGAN
5a
PEMEGANG SAHAM, SEKUTU, ATAU ANGGOTA. ..…………...………….....…… Ø
5b
b. PEMBENTUKAN ATAU PEMUPUKAN DANA CADANGAN ..…………...………… Ø
c. PENGGANTIAN ATAU IMBALAN PEKERJAAN ATAU
5c
JASA DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN ..…………...…………..

d. JUMLAH YANG MELEBIHI KEWAJARAN YANG DIBAYARKAN KEPADA


PEMEGANG SAHAM / PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA
5d
SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN ..…………...………….....…………...…… Ø
5e
e. HARTA YANG DIHIBAHKAN, BANTUAN ATAU SUMBANGAN ..…………...……… Ø
5f
f. PAJAK PENGHASILAN ..…………...………….....…………...………….....………… Ø
g. GAJI YANG DIBAYARKAN KEPADA ANGGOTA PERSEKUTUAN, FIRMA
5g
ATAU CV YANG MODALNYA TIDAK TERBAGI ATAS SAHAM ..…………...…… Ø
5h
h. SANKSI ADMINISTRASI ..…………...………….....…………...………….....………… Ø
5i
i. SELISIH PENYUSUTAN KOMERSIAL DI ATAS PENYUSUTAN FISKAL ..……… Ø
5j
j. SELISIH AMORTISASI KOMERSIAL DI ATAS AMORTISASI FISKAL ..………….. Ø

5k
k. BIAYA YANG DITANGGUHKAN PENGAKUANNYA ..…………...………….....…… Ø
5l
l. PENYESUAIAN FISKAL POSITIF LAINNYA ..…………...………….....…………...… Ø
5m
m. JUMLAH 5a s.d. 5l : ..…………...………….....…………...…………............ Ø

6. PENYESUAIAN FISKAL NEGATIF :


6a
a. SELISIH PENYUSUTAN KOMERSIAL DI BAWAH PENYUSUTAN FISKAL ..…… Ø
6b
b. SELISIH AMORTISASI KOMERSIAL DI BAWAH AMORTISASI FISKAL ..……… Ø

6c
c. PENGHASILAN YANG DITANGGUHKAN PENGAKUANNYA ..……………… Ø

6d
d. PENYESUAIAN FISKAL NEGATIF LAINNYA ..…………...………….....………….. Ø

6e
e. JUMLAH 6a s.d. 6d ..…………...………….....…………...………….....………… Ø

7. FASILITAS PENANAMAN MODAL BERUPA PENGURANGAN PENGHASILAN NETO:


7b
TAHUN KE - 7a (Diisi dari Lampiran Khusus 4A Angka 5b) ..…………. Ø

8. PENGHASILAN NETO FISKAL (3 - 4 + 5m - 6e - 7b) ..…………...………….....… 8

171
II. Lampiran 1771 – II: PERINCIAN HARGA POKOK PENJUALAN, BIAYA USAHA
LAINNYA DAN BIAYA DARI LUAR USAHA SECARA KOMERSIAL
Lampiran ini merupakan formulir yang diisi untuk memberitahukan perincian
harga pokok penjualan (HPP), biaya usaha secara komersial, dan biaya dari luar
usaha.

LAMPIRAN - II
1771 - II

TAHUN PAJAK
FORMULIR

KEMENTERIAN KEUANGAN RI
SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
20 A A

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERINCIAN HARGA POKOK PENJUALAN, BIAYA USAHA LAINNYA DAN BIAYA DARI LUAR USAHA SECARA KOMERSIAL
IDENTITAS

NPW P : NAMA WAJIB PAJAK :

PERIODE PEMBUKUAN : s.d.


HARGA POKOK PENJUALAN BIAYA USAHA LAINNYA BIAYA DARI LUAR USAHA JUMLAH
NO. PERINCIAN
(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah) (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) = (3) + (4) + (5)

1. PEMBELIAN BAHAN/BARANG DAGANGAN

2. GAJI, UPAH, BONUS, GRATIFIKASI,


HONORARIUM, THR, DSB

3. BIAYA TRANSPORTASI

4. BIAYA PENYUSUTAN DAN AMORTISASI

5. BIAYA SEWA

6. BIAYA BUNGA PINJAMAN

7. BIAYA SEHUBUNGAN DENGAN JASA

8. BIAYA PIUTANG TAK TERTAGIH

9. BIAYA ROYALTI

10. BIAYA PEMASARAN/PROMOSI

11. BIAYA LAINNYA

12. PERSEDIAAN AWAL

13. PERSEDIAAN AKHIR (-/-)

14 JUMLAH 1 S.D. 12 DIKURANGI 13

III. Lampiran 1771 – III: KREDIT PAJAK DALAM NEGERI


Lampiran ini diisi dengan rincian bukti pungut PPh Pasal 22 dan bukti potong
PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang telah dibayar melalui pemungutan/pemotongan
pajak oleh pihak lain dan/atau yang pembayarannya dilakukan sendiri, atas
penghasilan yang dikenai PPh tidak bersifat final yang diterima/diperoleh dan
dilaporkan dalam SPT Tahunan Tahun Pajak ini.
LAMPIRAN - III
1771 - III
TAHUN PAJAK

2 0
FORMULIR

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN


KEMENTERIAN KEUANGAN RI

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KREDIT PAJAK DALAM NEGERI


IDENTITAS

NPWP : NAMA WAJIB PAJAK :

PERIODE PEMBUKUAN : s.d.

PEMOTONG/ PRMUNGUT PAJAK OBJEK PEMOTONGAN / PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN BUKTI PEMOTONGAN / PEMUNGUTAN/SSP/SSPCP
NO. JENIS PENGHASILAN / YANG DIPOTONG / DIPUNGUT
NAMA NPWP (Rupiah) NOMOR TANGGAL
TRANSAKSI (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

JUMLAH JML

172
IV. Lampiran 1771 – IV: PPh FINAL DAN PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK
OBJEK PAJAK
Lampiran ini diisi dengan penghasilan-penghasilan tertentu yang dikenai PPh
final baik melalui pemotongan oleh pihak lain atau dengan menyetor sendiri, termasuk
penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tertentu yang dikenai PPh Final
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 beserta penghasilan-
penghasilan tertentu yang tidak termasuk sebagai objek pajak yang diterima atau
diperoleh dalam Tahun Pajak ini, sesuai dengan jumlah bruto atau nilai transaksinya.
Wajib Pajak wajib memperlihatkan serta membuat daftar rincian bukti-bukti
pemotongan/pembayaran pajaknya apabila diminta untuk keperluan pemeriksaan
kewajiban pajak.

LAMPIRAN - IV
1771 - IV

TAHUN PAJAK
FORMULIR

KEMENTERIAN KEUANGAN RI
SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
2 0 A A

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PPh FINAL DAN PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

NPWP :
IDENTITAS

NAMA WAJIB PAJAK :

PERIODE PEMBUKUAN : s.d.

BAGIAN A : PPh FINAL


DASAR PENGENAAN PAJAK TARIF PPh TERUTANG
NO. JENIS PENGHASILAN
(Rupiah) (%) (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5)

1. BUNGA DEPOSITO / TABUNGAN,


DAN DISKONTO SBI / SBN

2. BUNGA / DISKONTO OBLIGASI

3. PENGHASILAN PENJUALAN SAHAM


YANG DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK

4. PENGHASILAN PENJUALAN SAHAM


MILIK PERUSAHAAN MODAL VENTURA

5. PENGHASILAN USAHA PENYALUR / DEALER /


AGEN PRODUK BBM

6. PENGHASILAN PENGALIHAN HAK ATAS


TANAH / BANGUNAN

7. PENGHASILAN PERSEWAAN ATAS


TANAH / BANGUNAN
IMBALAN JASA KONSTRUKSI :
a. PELAKSANA KONSTRUKSI

8. b. PERENCANA KONSTRUKSI

c. PENGAWAS KONSTRUKSI

9. PERWAKILAN DAGANG ASING

10. PELAYARAN / PENERBANGAN ASING

11. PELAYARAN DALAM NEGERI

12. PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP

13. TRANSAKSI DERIVATIF YANG DIPERDAGANGKAN


DI BURSA

14.
……………………………………………………………

JUMLAH BAGIAN A JBA

173
BAGIAN B : PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK
PENGHASILAN BRUTO
NO JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
(1) (2) (3)

1. BANTUAN / SUMBANGAN

2. HIBAH

3. DIVIDEN / BAGIAN LABA DARI PENYERTAAN MODAL


PADA BADAN USAHA DI INDONESIA (Pasal 4 Ayat (3) Huruf f UU PPh)

4. IURAN DAN PENGHASILAN TERTENTU YANG DITERIMA DANA PENSIUN

BAGIAN LABA YANG DITERIMA PERUSAHAAN MODAL VENTURA


5.
DARI BADAN PASANGAN USAHA

SISA LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA


NIRLABA YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU
BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, YANG TELAH TERDAFTAR
6.
PADA INSTANSI YANG MEMBIDANGINYA, YANG DITANAMKAN KEMBALI
DALAM BENTUK SARANA DAN PRASARANA KEGIATAN PENDIDIKAN DAN/
ATAU PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN (Pasal 4 Ayat (3) Huruf m UU PPh)

7.
…………………………………………………….…………

JUMLAH BAGIAN B JBB

V. Lampiran 1771 – V: DAFTAR PEMEGANG SAHAM/PEMILIK MODAL DAN


JUMLAH DIVIDEN YANG DIBAGIKAN dan DAFTAR SUSUNAN PENGURUS
DAN KOMISARIS
Lampiran ini merupakan formulir yang digunakan untuk melaporkan daftar
pemegang saham/pemilik modal dan jumlah dividen yang dibagikan serta daftar
susunan pengurus dan komisaris. Melalui formulir ini wajib pajak dapat memerinci
nama, alamat, NPWP, besaran modal yang disetor serta jumlah dividen yang
diberikan.

Bagian A : DAFTAR PEMEGANG SAHAM/PEMILIK MODAL DAN JUMLAH DIVIDEN


YANG DIBAGIKAN

LAMPIRAN - V
1771 - V
FORMULIR

TAHUN PAJAK

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN


2 0
A A
KEMENTERIAN KEUANGAN RI • DAFTAR PEMEGANG SAHAM/PEMILIK MODAL DAN JUMLAH DIVIDEN YANG DIBAGIKAN
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • DAFTAR SUSUNAN PENGURUS DAN KOMISARIS

NPWP :
IDENTITAS

NAMA WAJIB PAJAK :

PERIODE PEMBUKUAN : s.d.

BAGIAN A : DAFTAR PEMEGANG SAHAM / PEMILIK MODAL DAN JUMLAH DIVIDEN YANG DIBAGIKAN
JUMLAH MODAL DISETOR DIVIDEN
NO NAMA ALAMAT NPWP
(Rupiah) % (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1.

2.

3.

174
Bagian B : DAFTAR SUSUNAN PENGURUS DAN KOMISARIS
BAGIAN B : DAFTAR SUSUNAN PENGURUS DAN KOMISARIS

NO NAMA ALAMAT NPWP JABATAN

(1) (2) (3) (4) (5)

1.

2.

3.

VI. Lampiran 1771 – VI: DAFTAR PENYERTAAN MODAL PADA PERUSAHAAN


AFILIASI, DAFTAR UTANG DARI PEMEGANG SAHAM DAN/ATAU
PERUSAHAAN AFILIASI, DAN DAFTAR PIUTANG KEPADA PEMEGANG
SAHAM DAN/ATAU PERUSAHAAN AFILIASI
Lampiran ini merupakan formulir yang digunakan untuk melaporkan daftar
penyertaan modal pada perusahaan afiliasi, daftar utang dari pemegang saham
dan/atau perusahaan afiliasi, daftar piutang kepada pemegang saham dan/atau
perusahaan afiliasi.
Ketiga daftar diisi dengan angka saldo akhir tahun berdasarkan transkrip
kutipan elemen-elemen dari laporan keuangan komersial yang dilampirkan pada SPT
Tahunan.
Penyertaan modal yang dicantumkan adalah penyertaan modal yang
memenuhi kriteria hubungan istimewa baik langsung maupun tidak langsung.
Utang/Piutang yang dicantumkan adalah utang dari/piutang kepada pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa baik langsung maupun tidak langsung.
Wajib Pajak yang tidak mempunyai penyertaan modal atau penyertaan
modalnya tidak memenuhi kriteria hubungan istimewa, serta Wajib Pajak yang tidak
mempunyai utang/piutang pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, cukup
mengisi daftar dengan pernyataan : “Tidak Ada”, pada kolom (2).

LAMPIRAN - VI
1771 - VI
TAHUN PAJAK

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN


FORMULIR

KEMENTERIAN KEUANGAN RI • DAFTAR PENYERTAAN MODAL PADA PERUSAHAAN AFILIASI 2 0 A

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • DAFTAR UTANG DARI PEMEGANG SAHAM DAN/ATAU PERUSAHAAN AFILIASI
• DAFTAR PIUTANG KEPADA PEMEGANG SAHAM DAN/ATAU PERUSAHAAN AFILIASI

NPWP :
IDENTITAS

NAMA WAJIB PAJAK :

PERIODE PEMBUKUAN : s.d.

BAGIAN A : DAFTAR PENYERTAAN MODAL PADA PERUSAHAAN AFILIASI


JUMLAH PENYERTAAN MODAL
NO NAMA ALAMAT NPWP
(Rupiah) %
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1.

2.

3.

4.

5.

JUMLAH BAGIAN A JBA

175
BAGIAN B : DAFTAR UTANG DARI PEMEGANG SAHAM DAN/ATAU PERUSAHAAN AFILIASI
JUMLAH PINJAMAN BUNGA/TH
NO NAMA NPWP TAHUN
(Rupiah) %
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1.

2.

3.

BAGIAN C : DAFTAR PIUTANG KEPADA PEMEGANG SAHAM DAN/ATAU PERUSAHAAN AFILIASI


JUMLAH PINJAMAN BUNGA/TH
NO NAMA NPWP TAHUN
(Rupiah) %
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1.

2.

3.

VII. Lampiran Khusus dan Dokumen Lain


Selain lampiran pokok yang menjadi satu kesatuan dalam formulir 1771,
terdapat pula formulir lampiran khusus 1A hingga 8A yang perlu diisi oleh wajib pajak.
Lampiran khusus tersebut berisi informasi diantaranya daftar penyusutan dan
amortisasi, serta daftar cabang utama perusahaan.

TABEL VI.6 DAFTAR LAMPIRAN SPT 1771


No. Jenis Lampiran Keterangan
1 Surat Setoran Pajak atau sarana Harus disampaikan apabila pada huruf D angka
administrasi lain yang 11.a. dari SPT Induk (Formulir 1771 atau 1771/$)
dipersamakan dengan SSP atas menunjukkan ada PPh yang kurang dibayar.
PPh Pasal 29
2 Surat Setoran Pajak atau sarana Harus disampaikan apabila terdapat setoran PPh 26
administrasi lain yang ayat (4) oleh Bentuk Usaha Tetap.
dipersamakan dengan SSP atas
PPh Pasal 26 ayat (4)
3 Laporan Keuangan atau Laporan Harus disampaikan.
Keuangan yang telah diaudit oleh
akuntan publik
4. Laporan Keuangan dari Badan Harus disampaikan oleh Wajib Pajak yang memiliki
Usaha di Luar Negeri yang penyertaan modal, atau secara bersama-sama
Kepemilikan Sahamnya Mulai dari dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya, memiliki
50% penyertaan modal paling rendah 50% dari jumlah
saham yang disetor pada badan usaha luar negeri.
5. Laporan Keuangan Konsolidasi Laporan Keuangan tersebut adalah laporan yang
atau Kombinasi Kantor Pusat BUT telah diaudit oleh akuntan publik dan
mengungkapkan rincian peredaran usaha atau
kegiatan perusahaan serta jenis dan besarnya
biaya administrasi yang dibebankan kepada
masing-masing bentuk usaha tetap di negara
tempat perusahaan yang bersangkutan melakukan
usaha atau kegiatan.
6. Daftar Nominatif atas Pengeluaran Harus disampaikan apabila terdapat pengeluaran
Biaya Promosi biaya promosi yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto.

176
7. Daftar Nominatif terkait Biaya Harus disampaikan oleh Wajib Pajak yang
Entertainment mengurangkan biaya entertainment, jamuan
makan, representasi dan sejenisnya.
Daftar Nominatif berisi:
- nomor urut;
- tanggal acara/kegiatan;
- nama dan alamat lokasi acara/kegiatan;
- jenis acara/kegiatan entertainment;
- nominal;
- identitas pihak/relasi penerima entertainment.
8. Pemberitahuan Bentuk Harus disampaikan oleh BUT yang melakukan
Penanaman Modal dan Realisasi penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena
Penanaman Kembali (khusus BUT) Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis
atas:
• bentuk penanaman modal yang dilakukan;
• realisasi penanaman kembali yang telah
dilakukan.
Pemberitahuan tersebut paling sedikit meliputi:
• jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah
dikurangi Pajak Penghasilan dari Bentuk Usaha
Tetap dan Tahun Pajak yang bersangkutan;
• bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi
penanaman kembali, dan Tahun Pajak dilakukan
realisasi penanaman kembali.
SPT Tahunan dan pemberitahuan disampaikan ke
KPP Terdaftar.
9. Laporan Tahunan Penerimaan Harus disampaikan oleh Kontraktor yang bertindak
Negara dari Kegiatan Hulu Minyak sebagai Operator maupun Partner dalam suatu
dan/atau Gas Bumi Wilayah Kerja, dalam melaksanakan Kontrak Kerja
Sama. SPT Tahunan beserta Laporan wajib
disampaikan ke KPP Terdaftar.
10. Laporan dan Surat Pernyataan Harus disampaikan oleh Badan atau lembaga
atas Sisa Lebih Anggaran Badan nirlaba yang menggunakan sisa lebih untuk
atau Lembaga Nirlaba untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan
Pembangunan Sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
Prasarana Kegiatan Pendidikan, pengembangan. Lampiran terdiri dari:
Penelitian, atau Pengembangan Surat Pernyataan;
Laporan Penyediaan dan Penggunaan Sisa Lebih pada
saat melaporkan SPT Tahunan dan wajib
disampaikan ke KPP Terdaftar.
11 Surat Kuasa Khusus (Konsultan SPT ditandatangani oleh kuasa yang merupakan
Pajak) dilampiri dengan: konsultan pajak.
a. Fotokopi kartu izin praktik konsultan
pajak;
b. Surat pernyataan sebagai konsultan
pajak;
c. Fotokopi kartu Nomor Pokok
Wajib Pajak konsultan pajak;
d. Fotokopi Tanda terima SPT
tahunan konsultan pajak.

177
Surat Kuasa Khusus (Karyawan SPT ditandatangani oleh kuasa yang merupakan
WP) dilampiri dengan: karyawan wajib pajak.
a. Sertifikat brevet/ijazah
pendidikan formal
perpajakan/sertifikat konsultan
pajak;
b. Fotokopi kartu Nomor Pokok
Wajib Pajak Karyawan WP;
c. Fotokopi tanda terima SPT
Tahunan Karyawan WP;
d. Fotokopi daftar karyawan tetap di
SPT Masa PPh Pasal 21.
12 Penghitungan Peredaran Bruto & Harus disampaikan apabila Wajib Pajak
Pembayaran Final PP 46 Tahun menggunakan penghitungan sesuai PP46 tahun
2013 & PP 23 Tahun 2018 2013 dan/atau PP23 tahun 2018
13. a. FQR untuk Tahun Pajak yang Harus disampaikan oleh Wajib Pajak di bidang
bersangkutan; dan usaha hulu minyak dan/gas bumi.
b. Bukti penyetoran Pajak
Penghasilan;
Lampiran khusus penghitungan
PPh:
a. Lampiran Khusus
Penghitungan Pajak Penghasilan
Badan bagi Kontraktor Kontrak
Kerja Sama Migas;
b. Lampiran Khusus Penghitungan
Branch Profit Tax/Pajak atas
Dividen bagi Kontraktor Kontrak
Kerja Sama Migas;
c. Lampiran Khusus Rincian Biaya
pada Tahapan Eksplorasi dalam
rangka Kontrak Kerja Sama Migas
atau Lampiran Khusus Rincian
Biaya pada Tahapan Eksploitasi
dalam rangka Kontrak Kerja Sama
Migas;
d. Lampiran Khusus Daftar
Penyusutan dalam Rangka
Kontrak Kerja Sama Migas;
e. Lampiran Khusus Rincian FTP
Share Bagian Kontraktor; dan
. Lampiran Khusus Laporan
Perubahan Participating Interest;
14. Dokumen Penentuan Harga Berupa ikhtisar dokumen induk dan dokumen lokal; dan
Transfer tanda terima penyampaian Notifikasi atau
penyampaian Laporan per Negara
15. a. Laporan penghitungan besarnya Harus disampaikan dalam hal : (a) Wajib Pajak
Perbandingan Antara Utang dan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Modal; dan/atau Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-
b. Laporan Utang Swasta luar negeri saham yang memiliki utang dan mengurangkan biaya
pinjaman dalam penghitungan penghasilan kena pajak
dan/atau (b) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam huruf (a) memiliki utang swasta luar negeri.

178
16. Daftar Debitur Kredit Non Harus disampaikan dalam hal bank memiliki debitur
Performing yang kreditnya digolongkan kurang lancar,
diragukan dan macet. Daftar debitur sebagaimana
dimaksud memuat nomor urut, nama debitur,
alamat, NPWP, jumlah kredit non-performing yang
digolongkan kurang lancar, diragukan, dan macet,
serta jumlah bunga yang terutang (accrual basis)
yang belum diakui sebagai penghasilan pada
tanggal laporan keuangan.
17. Daftar piutang yang nyata-nyata Harus disampaikan dalam hal piutang yang
tidak dapat ditagih dan nyata-nyata tidak dapat ditagih timbul di bidang
bukti/dokumen sebagaimana usaha bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang
dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) dan jasa lainnya yang memenuhi persyaratan
dan ayat (2) PMK sebagaimana dimaksud dalam PMK tersebut.
105/PMK.03/2009
18. a. Daftar sarana dan fasilitas Harus disampaikan dalam hal pemberi kerja
sebagaimana dimaksud dalam memberikan natura dan kenikmatan yang dapat
Pasal 4 ayat (1) PMK dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja
167/PMK.03/2018 beserta dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai
penyusutannya yang menerimanya berupa penggantian atau
b. Daftar penggantian atau imbalan imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan
dalam bentuk natura atau yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan
kenikmatan yang diberikan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang
berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan
pekerjaan di daerah tertentu di daerah tersebut.
19. Lembar Penghitungan fasilitas Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran
pengurangan tarif Pajak bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00
Penghasilan bagi Wajib Pajak mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar
badan dalam negeri 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas
Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
sampai dengan Rp4.800.000.000,00.

20. a. Laporan keuangan; Wajib Pajak dalam negeri dapat mengkreditkan pajak
b. Fotokopi surat pemberitahuan penghasilan yang telah dibayar atau dipotong atas
tahunan pajak penghasilan, dalam dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali
hal terdapat kewajiban untuk langsung.
menyampaikan surat
pemberitahuan tahunan pajak
penghasilan;
c. Perhitungan atau rincian laba
setelah pajak dalam 5 (lima) tahun
terakhir; dan
d. Bukti pembayaran pajak
penghasilan atau bukti pemotongan
pajak penghasilan atas dividen
yang diterima, dari BULN Non bursa
terkendali langsung.
21. Bukti pembayaran zakat atau Harus disampaikan oleh WP yang melakukan
sumbangan keagamaan yang pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan
sifatnya wajib yang sifatnya wajib dari penghasilan bruto.
22. Surat keterangan dari Biro Harus disampaikan bagi WP badan dalam negeri
Administrasi Efek yang berbentuk PT yang dapat memperoleh
penurunan tarif 5% sebagaimana diatur dalam PP
77 Tahun 2013 s.t.d.t.d. PP 56 Tahun 2015.

179
23. Pembukuan secara terpisah atas Harus disampaikan bagi Wajib Pajak yang
penghasilan yang mendapatkan mendapatkan pengurangan Pajak Penghasilan badan
pengurangan Pajak Penghasilan dan penghasilan lainnya yang tidak mendapatkan
badan dan penghasilan lainnya pengurangan Pajak Penghasilan badan.
yang tidak mendapatkan
pengurangan Pajak Penghasilan
badan

2. Induk
Merujuk Peraturan Dirjen Pajak No.PER-19/PJ/2014, formulir Induk SPT
Tahunan PPh badan 1771 yang terdiri atas 2 halaman. Formulir ini wajib diisi untuk
melaporkan perhitungan PPh terutang. Bagian paling atas berisi identitas wajib pajak.
SPT TAHUNAN
1771
TAHUN PAJAK
FORMULIR

PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN


PERHATIAN : • SEBELUM MENGISI, BACA DAHULU BUKU PETUNJUK PENGISIAN
2 0
KEMENTERIAN KEUANGAN RI • ISI DENGAN HURUF CETAK/DIKETIK DENGAN TINTA HITAM SPT PEMBETULAN
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • BERI TANDA "X" PADA (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI KE-…

NPWP :

NAMA WAJIB PAJAK :


IDENTITAS

JENIS USAHA : KLU :

NO. TELEPON : - NO. FAKS : -

PERIODE PEMBUKUAN : s.d.

NEGARA DOMISILI KANTOR PUSAT (khusus BUT) :

PEMBUKUAN / LAPORAN KEUANGAN : DIAUDIT OPINI AKUNTAN TIDAK DIAUDIT

NAMA KANTOR AKUNTAN PUBLIK :

NPWP KANTOR AKUNTAN PUBLIK :

NAMA AKUNTAN PUBLIK :

N P W P AKUNTAN PUBLIK :

NAMA KANTOR KONSULTAN PAJAK :

N P W P KANTOR KONSULTAN PAJAK :

NAMA KONSULTAN PAJAK :

NPWP KONSULTAN PAJAK :

Huruf A. PENGHASILAN KENA PAJAK


Bagian ini berisi penghasilan neto fiskal dari formulir 1771-I Nomor 8 Kolom
(3), kemudian dikurangi kompensasi kerugian fiskal dari Tahun Pajak-Tahun Pajak
yang lalu atau karena memperoleh fasilitas penanaman modal berupa kompensasi
kerugian fiskal yang lebih lama dan selisihnya merupakan Penghasilan Kena Pajak.
*) Pengisian kolom-kolom yang berisi nilai rupiah harus tanpa nilai desimal (contoh penulisan lihat buku petunjuk hal. 3) RUPIAH *)
(1) (2) (3)
1. PENGHASILAN NETO FISKAL
A. PENGHASILAN

1
(Diisi dari Formulir 1771-I Nomor 8 Kolom 3) …………………………………
KENA PAJAK

2. KOMPENSASI KERUGIAN FISKAL


2
(Diisi dari Lampiran Khusus 2A Jumlah Kolom 8) ………………………

3
3. PENGHASILAN KENA PAJAK (1-2) ……...…..…………………………………

Huruf B. PAJAK PENGHASILAN TERUTANG


Diisi dengan salah satu tarif penghitungan PPh terutang sesuai dengan kondisi
Wajib Pajak yaitu:
a. Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf b, yaitu sebesar 25%.

180
b. Tarif PPh Pasal 17 ayat (2b), bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk
perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah
keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan
memenuhi persyaratan tertentu lainnya. Wajib Pajak tersebut dapat memperoleh
tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif 25%.
c. Tarif PPh Pasal 31E, bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran
bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat
fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenai
atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Dalam hal memperoleh pengurangan atau pengembalian pajak atas
penghasilan yang terutang/dibayar di luar negeri (PPh Pasal 24), yang sebelumnya
telah diperhitungkan sebagai kredit PPh yang terutang pada Tahun Pajak yang lalu,
diisi sebesar jumlah pengurangan atau pengembalian pajak tersebut.

4. PPh TERUTANG (Pilih salah satu sesuai dengan dengan kriteria Wajib Pajak. Untuk lebih jelasnya, lihat Buku Petunjuk Pengisian SPT)

a. Tarif PPh Ps. 17 ayat (1) Huruf b X Angka 3 ………….


B. PPh TERUTANG

b. Tarif PPh Ps. 17 ayat (2b) X Angka 3 ……………………. 4


c. Tarif PPh Ps. 31E ayat (1)
(Lihat Buku Petunjuk)

5. PENGEMBALIAN / PENGURANGAN KREDIT PAJAK LUAR NEGERI


5
(PPh Ps. 24) YANG TELAH DIPERHITUNGKAN TAHUN LALU ……………

6
6. JUMLAH PPh TERUTANG (4 + 5) …..………………………………….……

Huruf C. KREDIT PAJAK


• Dalam hal memperoleh fasilitas PPh Ditanggung Pemerintah atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh Kontraktor, Konsultan, dan Pemasok (supplier) Utama
dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek
Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri,
diisi sebesar jumlah PPh yang tidak bersifat final.
• Kredit Pajak Dalam Negeri & Kredit Pajak Luar Negeri, diisi dengan jumlah kredit
pajak dalam negeri dari formulir 1771-III kolom (6)/ formulir 1771-III/$ kolom (6) dan
kolom (7). Huruf b : Diisi dengan jumlah kredit pajak luar negeri sesuai dengan
perhitungan kredit pajak luar negeri pada Lampiran Khusus 7A/7B.
• PPh yang Dibayar Sendiri, diisi dengan jumlah PPh Pasal 25 yang dibayar sendiri
dan Surat Tagihan Pajak PPh Pasal 25 (Hanya Pokok Pajak).

181
7
7. PPh DITANGGUNG PEMERINTAH (Proyek Bantuan Luar Negeri) ……..…

8. a. KREDIT PAJAK DALAM NEGERI


8a
(Diisi dari Formulir 1771-III Jumlah Kolom 6) ……….……………..…....…

b. KREDIT PAJAK LUAR NEGERI


8b
(Diisi dari Lampiran Khusus 7A Jumlah Kolom 8) ……….………………

8c
C. KREDIT PAJAK

c. JUMLAH ( 8a + 8b ) ……...……………..….………………………………

9. a. PPh YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI


(6 – 7 – 8c)…. 9
b. PPh YANG LEBIH DIPOTONG / DIPUNGUT

10. PPh YANG DIBAYAR SENDIRI


10a
a. PPh Ps. 25 BULANAN ….……..………………..……………………………

10b
b. STP PPh Ps. 25 (Hanya Pokok Pajak) …….….…..……….………………

10c
c. JUMLAH (10a + 10b) …….……………………...………………

Huruf D. PPh KURANG/LEBIH BAYAR


• Jika ada kekurangan bayar, diisi sesuai jumlah dan tanggal penyetoran PPh Pasal
29
• Jika lebih bayar ada pilihan pengembalian sesuai kondisi wajib pajak yaitu:
1) Pengembalian dengan cara biasa.
2) Pengembalian Pendahuluan dengan Permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C Undang-Undang
KUP dilakukan oleh Wajib Pajak dengan kriteria tertentu.
3) Pengembalian Pendahuluan dengan Permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D Undang-Undang
KUP dilakukan oleh Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu.
D. PPh KURANG/ LEBIH BAYAR

11. a. PPh YANG KURANG DIBAYAR (PPh Ps. 29)


(9 – 10c)….. 11
b. PPh YANG LEBIH DIBAYAR (PPh Ps. 28A)

12. PPh YANG KURANG DIBAYAR PADA ANGKA 11.a DISETOR TANGGAL ………

13. PPh YANG LEBIH DIBAYAR PADA ANGKA 11.b MOHON : TGL BLN THN

a. DIRESTITUSIKAN b. DIPERHITUNGKAN DENGAN UTANG PAJAK


Khusus Restitusi untuk Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu atau Wajib Pajak
Pengembalian Pendahuluan (Pasal 17C atau Pasal 17D UU KUP)
yang Memenuhi Persyaratan Tertentu:

Huruf E. ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN BERJALAN


Penghitungan besarnya angsuran bulanan PPh Pasal 25 tahun berjalan untuk
semua Wajib Pajak, atas penghasilan yang dikenai PPh yang tidak bersifat final.

182
Formulir 1771 Halaman 2
RUPIAH
(1) (2) (3)

14. a. PENGHASILAN YANG MENJADI DASAR


14a
PENGHITUNGAN ANGSURAN ………..………………………
E. ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN BERJALAN

b. KOMPENSASI KERUGIAN FISKAL:


14b
(Diisi dari Lampiran Khusus 2A Jumlah Kolom 9) .………...

14c
c. PENGHASILAN KENA PAJAK (14a – 14b) …..………………

d. PPh YANG TERUTANG


14d
(Tarif PPh dari Bagian B Nomor 4 X 14c)

e. KREDIT PAJAK TAHUN PAJAK YANG LALU ATAS


PENGHASILAN YANG TERMASUK DALAM ANGKA 14a
14e
YANG DIPOTONG / DIPUNGUT OLEH PIHAK LAIN …..……

14f
f. PPh YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI (14d – 14e) ………

14g
g. PPh PASAL 25 : (1/12 X 14f) ………..…….……………………

Huruf F : PPh FINAL DAN PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK
Diisi dengan jumlah PPh terutang atas penghasilan yang dikenai PPh Final
dan jumlah penghasilan bruto yang tidak termasuk objek pajak.
PENGHASILAN BUKAN
F. PPh FINAL DAN

15 a. PPh FINAL :
OBJEK PAJAK

15a
(Diisi dari Formulir 1771-IV Jumlah Bagian A Kolom 5) …..……..…

b. PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK :


PENGHASILAN BRUTO
15b
(Diisi dari Formulir 1771-IV Jumlah Bagian B Kolom 3) …..……..…..

Huruf G : PERNYATAAN TRANSAKSI DALAM HUBUNGAN ISTIMEWA


• Wajib Pajak wajib mengisi, menandatangani dan melampirkan Lampiran Khusus
3A, 3A-1 dan 3A-2, atau 3B, 3B-1 dan 3B-2 jika terdapat transaksi dalam
hubungan istimewa dan/atau transaksi dengan pihak yang merupakan penduduk
negara tax haven country.
• Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan
atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena:
a. kepemilikan atau penyertaan modal
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan
yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau
lebih secara langsung ataupun tidak langsung.
b. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena
penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, walaupun tidak
terdapat hubungan kepemilikan. Hubungan istimewa dianggap ada apabila
satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama.
Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang berada dalam
penguasaan yang sama tersebut.
• Kriteria tax heaven country yaitu:
a. Negara yang mengenakan tarif pajak rendah atau negara yang tidak
mengenakan PPh; atau
b. Negara yang menerapkan kebijakan kerahasiaan bank dan tidak melakukan
pertukaran informasi.

183
16 a.
HUBUNGAN ISTIMEWA
Ada Transaksi Dalam Hubungan Istimewa dan/atau Transaksi dengan Pihak yang Merupakan Penduduk Negara Tax Haven Country.
TRANSAKSI DALAM
G. PERNYATAAN

(Wajib melampirkan Lampiran Khusus 3A, 3A-1, dan 3A-2 Buku Petunjuk Pengisian SPT )*
b. Tidak Ada Transaksi Dalam Hubungan Istimewa dan/atau Transaksi dengan Pihak yang Merupakan Penduduk Negara Tax Haven
Country

Huruf H. LAMPIRAN
a. Surat Setoran Pajak lembar ke-3 PPh Pasal 29
b. Laporan Keuangan: Wajib dilampirkan oleh semua Wajib Pajak. Dalam hal
pembukuan/laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik, maka lampirkan
laporan keuangan yang telah diaudit. Bagi Wajib Pajak yang mempunyai anak
perusahaan di Indonesia atau di luar negeri, dan/atau mempunyai cabang usaha
di luar negeri baik melalui bentuk usaha tetap (BUT) ataupun bukan BUT, wajib
melampirkan Laporan Keuangan Konsolidasi dan Laporan Keuangan Wajib Pajak
tersebut secara tersendiri;
c. Transkrip Kutipan Elemen-Elemen dari Laporan Keuangan
d. Daftar Penyusutan dan Amortisasi Fiskal, wajib dilampirkan oleh semua Wajib
Pajak sesuai bentuk formulir Lampiran Khusus 1A/1B, kecuali apabila Wajib Pajak
tidak memiliki dan mempergunakan harta berwujud dan/atau harta tak berwujud/
pengeluaran lainnya sebagai aktiva tetap yang pembebanannya harus dilakukan
melalui penyusutan/amortisasi.
e. Perhitungan Kompensasi Kerugian Fiskal
f. Daftar Fasilitas Penanaman Modal
g. Daftar Cabang Utama Perusahaan
h. Surat Setoran Pajak lembar ke 3 PPh Pasal 26 Ayat (4).
i. Perhitungan PPh Pasal 26 Ayat (4): Wajib dilampirkan oleh semua Wajib Pajak
BUT (meskipun pajak tidak terutang).
j. Kredit Pajak Luar Negeri
k. Surat Kuasa Khusus
l. Rincian Jumlah Penghasilan dan Pembayaran PPh Final PP 46/2013 Per Masa
Pajak dari Masing Masing Tempat Usaha
m. Lampiran-lampiran Lainnya
• Daftar piutang yang tidak dapat ditagih.
• Daftar debitur yang kreditnya digolongkan kurang lancar, diragukan, dan
macet.
• Fotokopi Tanda Bukti Pembayaran Fiskal Luar Negeri (TBPFLN) dan
Rekapitulasi pembayaran Fiskal Luar Negeri tersebut.
• Khusus untuk Kontraktor Production Sharing (Migas).
• Lampiran-lampiran lainnya berupa bukti pendukung atau untuk menjelaskan
penghitungan besarnya penghasilan yang dibuat sendiri oleh Wajib Pajak.
• Daftar Nominatif atas pengeluaran biaya promosi.
• Komponen laporan keuangan usaha berbasis syariah yang meliputi Laporan
Sumber dan Penggunaan Zakat serta Laporan Sumber dan Penggunaan Dana
Kebajikan.

184
17 SELAIN LAMPIRAN-LAMPIRAN 1771-I, 1771-II, 1771-III, 1771-IV, 1771-V, DAN 1771-VI
BERSAMA INI DILAMPIRKAN PULA :
a. SURAT SETORAN PAJAK LEMBAR KE-3 PPh PASAL 29
b. LAPORAN KEUANGAN
c. TRANSKRIP KUTIPAN ELEMEN-ELEMEN DARI LAPORAN KEUANGAN (Lampiran Khusus 8A-1 / 8A-2 / 8A-3 / 8A-4 / 8A-5 / 8A-6/ 8A-7/ 8A-8)*
d. DAFTAR PENYUSUTAN DAN AMORTISASI FISKAL (Lampiran Khusus 1A Buku Petunjuk Pengisian SPT)*
e. PERHITUNGAN KOMPENSASI KERUGIAN FISKAL (Lampiran Khusus 2A Buku Petunjuk Pengisian SPT)*
f. DAFTAR FASILITAS PENANAMAN MODAL (Lampiran Khusus 4A Buku Petunjuk Pengisian SPT)*
H. LAMPIRAN

g. DAFTAR CABANG UTAMA PERUSAHAAN (Lampiran Khusus 5A Buku Petunjuk Pengisian SPT)*
h. SURAT SETORAN PAJAK LEMBAR KE-3 PPh PASAL 26 AYAT (4) (Khusus bagi BUT)
i. PERHITUNGAN PPh PASAL 26 AYAT (4) (Khusus BUT) (Lampiran Khusus 6A Buku Petunjuk Pengisian SPT)*
j. KREDIT PAJAK LUAR NEGERI (Lampiran Khusus 7A Buku Petunjuk Pengisian SPT)*
k. SURAT KUASA KHUSUS (Bila dikuasakan)
l. RINCIAN JUMLAH PENGHASILAN DAN PEMBAYARAN PPh FINAL PP 46/2013 PER MASA PAJAK DARI MASING-MASING TEMPAT USAHA
m.
n.
* Wajib Pajak dapat langsung mengunduh dari situs Direktorat Jenderal Pajak dengan alamat http://www.pajak.go.id. atau mengambil di KPP/KP2KP
terdekat.

PERNYATAAN:
PERNYATAAN

Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
saya menyatakan bahwa apa yang telah saya beritahukan di atas beserta lampiran-lampirannya adalah benar, lengkap dan jelas.

a. WAJIB PAJAK b. KUASA c. …………………………………, d.


(Tempat) tgl bln thn

TANDA TANGAN DAN CAP PERUSAHAAN :

NAMA LENGKAP
PENGURUS / KUASA : e.

NPWP : f.

RINGKASAN

1) Wajib Pajak Badan menggunakan formulir 1771 dalam pelaporan SPT


Tahunan PPh Badan
2) SPT Tahunan PPh Badan (Formulir 1771) terdiri dari Induk dan Lampirannya
sebagaimana diatur dalam PER - 19/PJ/2014.

LATIHAN/PENUGASAN

1. PT Liburan Telah Tiba (PT LTT) adalah perusahaan pabrik kertas yang berada di
Serang, Banten dengan NPWP: 01.234.567.8-412.000 dan telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP). Perusahaan beralamat di Jl. Merpati 8, Serang,
Banten. Perusahaan memiliki kerugian fiskal yang masih dapat dikompensasi sebesar
Rp8.500.000.000,00 yang berasal dari rugi fiskal tahun 2012 sebesar
Rp7.000.000.000,00 dan rugi fiskal tahun 2013 sebesar Rp1.500.000.000,00.
PT LTT dan pihak-pihak yang bertransaksi dengan PT LTT telah menjalankan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemotongan dan/atau
penyetoran pajak ke kas negara selama tahun 2017 yang dilakukan PT LTT adalah:

185
a. PPh Pasal 25, nihil.
b. PPh Pasal 23 sebesar Rp436.700.000,00.
c. PPh Pasal 22 sebesar Rp24.650.000,00 berasal dari penjualan kertas kepada
distributornya.
d. PPh Pasal 21 sebesar Rp860.000.000,00.

Pada tahun 2017 data pembukuan PT LTT menunjukkan data sebagai berikut
(dalam rupiah penuh):
A. Penjualan 49.650.000.000
Dalam penjualan ini termasuk di dalamnya penjualan tunai kepada BUMN PT Garuda
Indonesia Tbk atas penjualan kertas senilai Rp300.000.000,00. PT LTT dipotong PPh
sebesar 1,5% oleh PT Garuda Indonesia.

B. Harga pokok penjualan


Persediaan bahan baku, awal 350.000.000,00
Pembelian bahan baku 34.567.890.000
Persediaan bahan baku, akhir 425.000.000
Tenaga kerja langsung 3.245.000.000
Overhead pabrik 3.547.890.000
Persediaan barang dalam proses, awal 500.000.000
Persediaan barang dalam proses, akhir 750.000.000
Persediaan barang jadi, awal 3.540.000.000
Persediaan barang jadi, akhir 3.200.000.000

Dalam pembelian bahan baku termasuk di dalamnya pembelian impor, dengan nilai
impor sebesar Rp2.450.000.000,00. Atas impor ini perusahaan dipungut PPh sebesar
Rp61.250.000,00.

C. Beban Operasi, terdiri dari:


1. Beban Pegawai 3.021.885.000
Terdiri dari:
Gaji dan THR 1.890.000.000
Pembelian safety-shoes buruh 19.400.000
Seragam ulang tahun perusahaan 247.050.000
Jamsostek (JKK dan JKM) 240.000.000
Jamsostek (JHT dan JP) 123.675.000
Asuransi kesehatan karyawan 76.000.000
Tunjangan sewa rumah dinas direksi 100.000.000
PPh 21 dibayar perusahaan 325.760.000

2. Beban penyusutan 432.325.600


Metode penyusutan menurut akuntansi sama dengan ketentuan perpajakan yaitu
garis lurus. Untuk memudahkan pembukuan, perusahaan membuat kebijakan bahwa
usia ekonomis aset tetap menurut akuntansi sama dengan masa manfaat menurut
Pasal 11 UU PPh. Aset tetap menurut akuntansi juga dicatat dan mulai disusutkan
pada bulan perolehannya.
Perbedaan antara akuntansi dan perpajakan hanya terdapat pada aset berikut ini:
a. Mesin CNC, perolehan 4 April 2014 senilai Rp600.500.400,00, usia ekonomis 10
tahun tanpa nilai residu. Termasuk Harta Berwujud Bukan Bangunan Kelompok 2.

186
b. Peralatan kalibrasi, perolehan 27 Oktober 2016, senilai Rp70.000.000,00, usia
ekonomis 3 tahun tanpa nilai residu. Termasuk Harta Berwujud Bukan Bangunan
Kelompok 1.

3. Beban kantor 313.150.000


Terdiri dari:
Alat Tulis Kantor 35.000.000
Meterei 500.000
Langganan listrik kantor 1.200.000
Langganan air rumah Direksi 2.500.000
Isi ulang pulsa handphone 7.450.000
Pemeliharaan gedung 65.000.000
Makan dan minum para manajer 48.500.000
Suku cadang bus karyawan 23.000.000
Perpanjangan STNK mobil sedan direksi 30.000.000
Pembelian software anti-virus, 1 Mei 2017
(perusahaan mengganti piranti lunak ini
setiap 3 tahun) – software umum 28.320.000
Pembelian software aplikasi pabrik kertas,
4 Agustus 2017 (perusahaan mengganti
piranti lunak ini setiap 5 tahun) – software khusus 71.680.000

4. Beban Perpajakan 74.356.000


Terdiri dari:
Pajak Pertambahan Nilai, pembelian suku cadang mesin pabrik 24.356.000
Sisanya adalah: 20% sanksi perpajakan (PPh dan PPN), 50% pembayaran Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) Kantor, 10% pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor
sedan direksi, 15% PBB rumah dinas para manajer, dan 5% sanksi keterlambatan
membayar retribusi daerah atas pemanfaatan air bawah tanah.

5. Beban Cadangan Penghapusan Piutang Usaha 120.400.000


Atas beban ini senilai Rp75.000.000 telah dilaporkan kepada Direktorat Jenderal
Pajak atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. Dari yang dilaporkan ini,
telah diserahkan penagihannya kepada Pengadilan Negeri sebesar Rp 40.000.000,
telah dibuatkan perjanjian tertulis penghapusan piutang antara debitur-kreditur
sebesar Rp 15.000.000, dan adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan sebesar Rp 12.500.000.

D. Penghasilan dan Beban di Luar Usaha, terdiri dari:


1. Penghasilan sewa alat berat (penghasilan tidak teratur),
setelah pajak 196.000.000
2. Dividen dari PT Ceger Kerja Nyata (kepemilikan 26%) 123.450.000
3. Bunga dari CV Kalmong Bersatu, sebelum pajak 36.000.000
4. Penghasilan sewa tanah, sebelum pajak 300.400.000
5. Bunga deposito dari Bank BNI Cabang Kuala Lumpur,
sebelum pajak, tarif 20% 22.500.000
6. Rugi usaha di Kamboja, sebelum pajak, tarif 12% (95.600.000)
7. Rugi penjualan cottage di Anyer (120.000.000)

187
Pertanyaan:
1. Berdasarkan data dan penjelasan di atas, hitunglah besarnya Laba Komersial
(Penghasilan Neto Komersial) dengan mengisi formulir dan urutan pengisian
sebagaimana Lampiran-I SPT Tahunan PPh Badan. Kerjakan di kertas kerja pada
lembar jawaban yang telah tersedia.

2. Berdasarkan data dan penjelasan di atas, lakukanlah penyesuaian fiskal


(rekonsiliasi fiskal), dan tentukanlah berapa besarnya Laba Fiskal (Penghasilan
Neto Fiskal) Tahun 2017! Kerjakan di kertas kerja pada lembar jawaban yang telah
tersedia.

3. Hitunglah:
a. Penghasilan Kena Pajak tahun 2017.
b. Besarnya PPh Terutang tahun 2017.

4. Hitunglah:
a. Lakukan identifikasi jenis pajak dan besarnya pajak tersebut yang dapat
dijadikan sebagai kredit pajak oleh PT LTT pada saat menyampaikan SPT
Tahunan PPh Badan tahun 2017!
b. Hitung kurang/lebih bayar tahun 2017!

5. Hitunglah besarnya angsuran PPh Pasal 25 tahun 2018!

2. PT Arta Katah Berkah (PT AKB) adalah perusahaan money changer yang usahanya
hanya melakukan penjualan/pembelian (penukaran) valuta asing. Kantor dan kegiatan
usaha PT AKB berada di sebuah ruko di Pondok Aren. NPWP PT AKB adalah
01.222.333.4-453.000. Pada tahun 2019 data pembukuan PT AKB menunjukkan data
sebagai berikut (dalam rupiah penuh):
A. Penjualan 50.000.000.000
Dalam penjualan ini termasuk di dalamnya penjualan valuta asing kepada PT
Karya Teknik Buana, sebuah perusahaan konstruksi, sebesar Rp2.000.000,00
dan kepada Kementerian Agama sebesar Rp1.500.000.000,00.
B. Harga pokok penjualan
Persediaan awal 4.500.000.000
Pembelian 35.500.000.000
Persediaan akhir 10.000.000.000
Dalam pembelian valuta asing ini terdapat pembelian dollar senilai Rp500.000.000,00
kepada UMKM yang berhasil mendapatkan dollar dari ekspor ke Namibia. Metode
pencatatan persediaan sudah sesuai dengan ketentuan perpajakan.

C. Biaya Umum, Administrasi dan Penjualan, terdiri dari:


1. Gaji, THR, Bonus 2.000.000.000
2. Premi Asuransi 400.000.000
3. Perjalanan dinas 200.000.000
4. Alat kantor 40.000.000
5. Listrik 50.000.000
6. Telepon/Fax 300.000.000
7. Penghapusan piutang 350.000.000

188
8. Bunga pinjaman 48.000.000
9. Jasa profesional 300.000.000
10. Penyusutan 200.000.000
11. Lain-lain 61.000.000
Keterangan:
1. Dari gaji, THR, bonus terdapat tunjangan PPh Pasal 21, sebesar
Rp400.000.000,00
2. Komposisi premi asuransi terdiri dari, 80% untuk pegawai dengan masa kerja di
atas tiga tahun, dan 20% untuk pegawai kontrak.
3. Dalam perjalanan dinas termasuk perjalanan rapat direktur di Federal Reserve
terkait kebijakan valuta asing, senilai Rp50.000.000,00 dan tiket liburan istri
direktur sebesar Rp20.000.000,00
4. Alat kantor termasuk pemberian seragam untuk bagian front office sebesar
Rp8.000.000,00
5. Biaya listrik terdiri dari 90% untuk kantor dan 10% untuk rumah dinas direksi.
6. Biaya telepon perinciannya adalah:
a. 80% biaya sambungan telepon tetap di kantor
b. 20% biaya pulsa untuk HP para manajer/pegawai yang terkait pekerjaannya
7. Penghapusan Piutang Tak Tertagih merupakan piutang usaha Rp350.000.000,00.
Wajib pajak tidak menyerahkan dan melaporkan daftar piutang tak tertagih yang
dihapuskan kepada KPP.
8. Bunga merupakan bunga 12% atas pokok utang sebesar Rp400.000.000,00 yang
baru didapatkan awal Januari 2019. Tahun 2019 perusahaan belum mencicil
pokok utang, hanya melakukan pembayaran bunga saja.
9. Penyusutan termasuk aset berupa mesin penghitung uang yang dibeli 4 Januari
2019 sebesar Rp100.000.000,00. Secara akuntansi disusutkan selama 4 tahun,
sedangkan dalam ketentuan pajak masuk kelompok I. Metode yang digunakan
dalam akuntansi dan pajak adalah garis lurus.
10. Biaya lain-lain, terdiri dari hal berikut:
a. Jamuan tamu yang tidak ada daftar nominatif 10.000.000
b. Sumbangan hari kemerdekaan RI 5.000.000
c. Bunga dalam Surat Tagihan PPh Pasal 25 2.250.000
d. PBB kantor 10.750.000
e. PPN atas sewa 10.000.000
f. Pajak Kendaraan Bermotor kendaraan operasional 8.000.000
g. Pajak Kendaraan Bermotor mobil dinas direksi 10.000.000
h. PPh Pasal 21 tenaga ahli yang ditanggung perusahaan 5.000.000

D. Pendapatan (Beban) di Luar Usaha, terdiri dari:


1. Dividen dari PT Ulin (penyertaan saham 20%) 85.000.000
2. Dividen dari PT Wadi (penyertaan saham 25%) 50.000.000
3. Bunga deposito 75.000.000
4. Penghasilan sewa dari PT Barito 50.000.000
5. Keuntungan penjualan gudang usang 38.750.000
6. Rugi Selisih Kurs -150.250.000
7. Keuntungan penjualan aset di Brunei 100.000.000
8. Rugi cabang di Singapura -40.000.000
Keterangan:
1. Penghasilan sewa dari PT Barito berupa sewa mesin penghitung uang

189
2. Rugi selisih kurs terjadi akibat utang pembelian peralatan dalam mata uang
dollar
3. Bunga deposito diperoleh atas pokok deposito sebesar Rp500.000.000,00
yang ditanamkan sejak akhir Desember 2018. Deposito ini bertenor dua tahun.
Tingkat bunga untuk deposito sebesar 15% per tahun.
E. Informasi Lain
SPT Tahunan PPh Badan Wajib Pajak tahun pajak 2018 (tahun pajak sebelumnya)
menunjukkan rugi fiskal sebesar Rp200.000.000,00.
Instruksi:
Berdasarkan informasi di atas:
1. Hitunglah laba komersial (penghasilan neto komersial) tahun 2019!
2. Lakukanlah koreksi fiskal terhadap pos penghasilan/beban yang sesuai untuk
tahun 2019!
3. Hitunglah laba fiskal (penghasilan neto fiskal) tahun 2019!
4. Isikan ke dalam Lampiran I SPT Tahunan PPh Badan (Form 1771-I) versi ringkas!

---Q---

190
Seluruh ketentuan perpajakan yang digunakan di buku ini dan formulir
SPT Tahunan Orang Pribadi dan Badan dapat diunduh di:

bit.ly/StanPeraturanPajak

---Q---

191
GLOSSARIUM

Wajib Pajak : orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak,
dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Badan : sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama
dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan : pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan
Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau
kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut,
ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan
pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang
Pekerjaan bebas : pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai
keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang
tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
Pembukuan : suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga
perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan
menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi
untuk periode Tahun Pajak tersebut.
Bentuk usaha tetap : bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia.
Penghasilan : setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apa pun.
Norma Penghitungan : pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-
menerus.

192
DAFTAR PUSTAKA
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tentang Pajak Penghasilan
terhadap pihak-pihak yang melakukan perjanjian kerjasama dalam bentuk
bangun guna serah (built operate and transfer)
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 05 /PJ/2019 tentang Badan/Lembaga
yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai
Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa,
dan Kegiatan Orang Pribadi;
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 2/PJ/2009 tentang Perlakuan Pajak
Penghasilan Bagi Pekerja Indonesia di Luar Negeri
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 30/PJ/2017 tentang Perubahan
Keempat atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010
tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan beserta Petunjuk
Pengisiannya
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 4/PJ/2009 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi;
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 17/PJ/2015 tentang Norma
Penghitungan Penghasilan Neto
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2011 tentang Penentuan Subjek
Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.03/2010 tentang Biaya Promosi yang
Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.03/2011 tentang Pengenaan Pajak
Penghasilan untuk Kegiatan Usaha Perbankan Syariah
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2011 tentang Pengenaan Pajak
Penghasilan untuk Kegiatan Usaha Jasa Keuangan Syariah
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2009 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 246/PMK.03/2008 tentang Beasiswa yang
Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.010/2015 tentang Perubahan Keempat
atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 tentang
Organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat-pejabat Perwakilan Organisasi
Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 167/PMK.03/2018 tentang penyediaan makanan
dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi
kerja;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan
Pengkreditan Pajak atas Penghasilan dari Luar Negeri
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.010/2015 tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang
yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan Dari

193
Penghasilan Bruto sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 212/PMK.03/2018 tentang Pemotongan Pajak
Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2018 tentang Penghitungan
Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar
Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha
Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, Wajib Pajak Lainnya yang Berdasarkan
Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala dan Wajib Pajak
Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.011/2012 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 tentang Pembentukan
atau Pemupukan Dana Cadangan yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 245/PMK.03/2008 tentang Badan-Badan dan
Orang Pribadi yang Menjalankan Usaha Mikro dan Kecil yang Menerima Harta
Hibah, Bantuan, atau Sumbangan yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak
Penghasilan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pencatatan
dan Pelaporan Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan
Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan
Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat
Pemberitahuan (SPT)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009 tentang Jenis-jenis Harta Yang
Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan
Penyusutan
Peraturan Pemerintah Nomor 123 Tahun 2015 tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga
Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
Peraturan Pemerintah Nomor 132 TAHUN 2000 tentang Pajak Penghasilan atas
Hadiah Undian
Peraturan Pemerintah Nomor 14 TAHUN 1997 tentang Peraturan Pemerintah tentang
pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham
pendiri di bursa efek
Peraturan Pemerintah Nomor 15 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga
Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang
Pribadi
Peraturan Pemerintah Nomor 19 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu
Peraturan Pemerintah Nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan
Usaha Berbasis Syariah
Peraturan Pemerintah Nomor 27 TAHUN 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas
Diskonto Surat Perbendaharaan Negara

194
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu;
Peraturan Pemerintah Nomor 34 TAHUN 2017 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
Peraturan Pemerintah Nomor 4 TAHUN 1995 tentang Pajak Penghasilan atas
penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Penghitungan Penghasilan
Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2019 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan Berupa Bunga Obligasi
Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2015 tentang Penurunan Tarif Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan
Terbuka
Peraturan Pemerintah Nomor 60 TAHUN 2010 tentang Zakat atau Sumbangan
Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan
Bruto
Peraturan Pemerintah Nomor 68 TAHUN 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal
21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus
Peraturan Pemerintah Nomor 80 TAHUN 2010 tentang Tarif Pemotongan dan
Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 93 TAHUN 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan
Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan
Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya
Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan
Bruto
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
(UU PPh)
Utomo, Raharjo Sugeng. “Pajak Penghasilan Orang Pribadi” (E-Book)

195
LAMPIRAN

196
197
198
199
200
201
BIODATA PENULIS

Nama : ASQOLANI
Jabatan/Kedudukan : DOSEN
Unit Kantor : PKN STAN
Alamat E-mail : ASQOLANI@PKNSTAN.AC.ID

Riwayat pendidikan:
Tahun
PerguruanTinggi Fakultas/Jurusan/Prodi
Lulus
D-4/S-1 STAN AKUNTANSI
S-2 UNIVERSITAS INDONESIA MAGISTER AKUNTANSI
S-3

Mata kuliah yang diasuh:


No Nama Mata Kuliah
1. PERPAJAKAN I DAN II
2. PERPAJAKAN KONTEMPORER
3. MANAJEMEN KEUANGAN
4. ANALISIS LAPORAN KEUANGAN

Karya ilmiah:
Keterangan penerbitan
Nama Penulis Judul artikel/buku (tahun/periode, nama
jurnal/penerbit buku/publikasian)
Asqolani dan Aspek Perpajakan: Desember 2019, Lembaga
Sopian Dana Bantuan Manajemen Terapan TRUSTCO
Operasional Sekolah Jakarta (Buku)
(BOS)
Asqolani Mekanisme Desember 2019, Diandra Kreatif
Pengawasan (Book Chapter)
Kewajiban Perpajakan
Bendahara Sekolah -
Essai Keuangan
Negara
Asqolani Controlled Foreign 2008, Dani Darussalam Tax
Company (CFC) dan Center (Book Chapter)
Transfer Pricing -
Cross Border Transfer
Pricing untuk Tujuan
Perpajakan
Asqolani Pemanfaatan Laporan Volume 3, Nomor 1, Tahun
Konsolidasian dalam 2019, Jurnal Substansi PKN
Penerapan Controlled STAN

202
Foreign Companies
Rule
Rizky Aniyah Perhitungan Kredit Nomor 3, Volume 2, Tahun
dan Asqolani Pajak Masukan PKP 2019, Jurnal Pajak Indonesia
yang Melakukan PKN STAN
Penyerahan yang
Terutang PPN dan
Dibebaskan (Studi
pada PDAM Tirta
Patriot)
Asqolani Foreign Subsidiaries in June 26, 2020, Public Sector
the consolidated Accountants and Quantum
Financial Report: Leap: How Far We Can Survive
Indonesian Tax in Industrial Revolution 4.0?
Perspective Proceedings of the 1st
International Conference on
Public Sector Accounting
(ICOPSA 2019), Routledge
(Book Chapter)
Asqolani The Impact of June 26, 2020, Public Sector
Changes in Accountants and Quantum
Accounting Standards Leap: How Far We Can Survive
on Financial in Industrial Revolution 4.0?
Statement: A Case Proceedings of the 1st
Study of a State- International Conference on
Owned Company Public Sector Accounting
(ICOPSA 2019), Routledge
(Book Chapter)

203

Anda mungkin juga menyukai