Anda di halaman 1dari 12

BAB 2

2.1 Herpes Zoster

Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi varicella zoster virus (VZV) laten dari saraf tepi dan

saraf pusat. varicella zoster virus merupakan patogen utama terhadap dua infeksi klinis utama

pada manusia yaitu varicella atau chickenpox (cacar air) dan herpes zoster (cacar ular).

Varicella merupakan infeksi primer yang terjadi pada individu yang terpapar dengan varicella

zoster virus. Pada 3-5 dari 1000 individu, varicella zoster virus mengalami reaktivasi,

menyebabkan infeksi reaktivasi yang dikenal dengan nama Herpes zoster atau Shingles.

(Amnil A., 2010)

Herpes zoster adalah infeksi virus akut yang memiliki karakteristik unilateral, sebelum timbul

manifestasi klinis pada kulit wajah dan mukosa mulut biasanya akan didahului oleh gejala

odontalgia. Timbulnya gejala odontalgia pada Herpes zoster belum sepenuhnya diketahui

(Harpaz R., dkk, 2009).

Herpes zoster (HZ) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Varisela-zoster yang bersifat

terlokalisir, terutama menyerang orang dewasa dengan ciri berupa nyeri radikuler, unilateral,

dan gerombolan vesikel yang tersebar sesuai dermatom yang diinervasi oleh satu ganglion

saraf sensoris.
Insidensi HZ 1,5-3 orang per 1000 penduduk pada semua usia dan 7-11 orang

per 1000 penduduk per tahunnya pada usia lebih 60 tahun di Eropa dan Amerika Utara.
Terdapat lebih dari 1 juta kasus HZ di Amerika Serikat setiap tahunnya, dengan rata-rata 3-4

kasus per 1000 penduduk. Beberapa penelitian menyebutkan terjadinya peningkatan insidensi

HZ. Pasien yang tidak mendapat vaksin yang berusia sekitar 85 tahun memiliki risiko

mengalami HZ sebanyak 50%, dan kurang lebih 3% pasien memerlukan perawatan di rumah

sakit.1

Faktor risiko terjadinya HZ adalah usia tua dan disfungsi imunitas seluler. Pasien dengan

supresi imun memiliki risiko 20-100 kali lebih besar dibanding pasien imunokompeten.

Keadaan imunosupresi yang berhubungan dengan risiko terjadinya HZ adalah infeksi HIV

(Human immunodeficiency virus), pasien yang menjalani transplantasi organ, leukemia,

limfoma, radioterapi, kemoterapi, dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Faktor lain

yang dilaporkan sebagai salah satu faktor risiko terjadinya HZ adalah jenis kelamin

perempuan, adanya trauma fisik pada dermatom yang terkena dan tindakan pembedahan.

Episode kedua HZ jarang terjadi pada pasien imunokompeten, episode ketiga lebih jarang.

Pasien yang menderita HZ lebih dari satu episode dapat dicurigai mengalami

imunokompromais. Pasien dengan HZ lebih tidak menular dibandingkan dengan varisela.

Virus dapat diisolasi dari vesikel dan pustul pada HZ tanpa komplikasi hingga 7 hari setelah

munculnya lesi, dan bisa lebih panjang pada pasien dengan imunokompromais. Postherpetic

neuralgia (PHN) atau nyeri yang terjadi setelah lesi sembuh adalah salah satu komplikasi

yang potensial menimbulkan masalah jangka panjang.


Nyeri dapat bertahan beberapa bulan hingga beberapa tahun. Komplikasi tersebut terjadi pada

10-50% pasien dengan HZ dan prevalensinya meningkat sebanding dengan peningkatan usia

pasien (terutama pada usia lebih dari 50 tahun).

Penelitian retrospektif ini dilakukan untuk mengetahui angka kejadian HZ, distribusi HZ pada

berbagai usia dan jenis kelamin, lama perawatan di rumah sakit, faktor predisposisi, dan

terapi yang diberikan pada pasien HZ dalam kurun waktu 4 tahun (2010-2013) di Ruang

Kemuning RSUD Dr Soetomo Surabaya, dengan tujuan untuk mengevaluasi penatalaksanaan

pasien HZ.2

2.2 Oral Herpes Zoster


Herpes zoster memiliki insiden tertinggi dari semua penyakit saraf, dengan sekitar 500.000

kasus baru setiap tahun di Amerika Serikat. Herpes zoster termasuk penyakit yang angka

kejadiannya kecil, diperkirakan 10-12 % populasi akan terinfeksi herpes zoster selama

hidupnya. Di Indonesia menurut Lumintang, prevalensi herpes zoster kurang dari 1%. (Amnil

A., 2010)

2.2.1 Etiologi

Varicella zoster virus (VZV) adalah virus yang menyebabkan cacar air (chicken pox) dan

herpes zoster (shingles). VZV memiliki klasifikasi taksonomi sebagai berikut (Ann M, 1996):
Kelas : Kelas I (dsDNA)

Famili : Herpesviridae

Upafamili : Alphaherpesvirinae

Genus : Varicellovirus

Spesies : Human herpes zoster

Varicella zoster adalah virus yang hanya dapat hidup di manusia dan primata ;(simian).

Pertikel virus (virion) varicella zoster memiliki ukuran 120-300 nm. Virus ini memiliki 69

daerah yang mengkodekan gen-gen tertentu sedangkan genom virus ini berukuran 125 kb

(kilo- basa). Komposisi virion adalah berupa kapsid, selubung virus, dan nukleokapsid yang

berfungsi untuk melindungi inti berisi DNA double stranded genom. Nukleokapsid memiliki

bentuk ikosahedral, memiliki diameter 100-110 nm, dan terdiri dari 162 protein yang dikenal

dengan istilah ini akan mengalami inaktivasi pada suhu 56-60 °C dan menjadi tidak

berbahaya apabila bagian amplop virus ini rusak. Penyebaran virus ini dapat terjadi melalui

pernapasan dan melalui vesikel pada kulit pada penderita (Manfred et al, 1999).
2.2.2 Epidemiologi Herpes Zoster

Terdapat 1 juta kasus herpes zoster yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahun, dengan

insiden 1,2 sampai 4,8 kasus per 1000 orang per tahun.

Herpes zoster biasanya muncul pada orang berkulit putih (35% lebih tinggi dibandingkan

orang kulit gelap) dan insiden meningkat 3 sampai 7 kali lebih tinggi pada orang lanjut usia.

Pada pasien immunocompromised memiliki risiko 20 kali lebih tinggi dibandingkan pasien

immunocompetent. Beberapa studi melaporkan insiden pada wanita lebih tinggi

dibandingkan laki-laki (3,8 kasus per 1000 penduduk per tahun pada wanita dan 2,6 kasus per

1000 penduduk per tahun) (Weinberg et al 2007).

Varicella zoster virus (VZV) memiliki level infektifitas yang tinggi dan memiliki prevalensi

yang terjadi di seluruh dunia. Herpes zoster tidak memiliki kaitan dengan musim dan tidak

terjadi epidemik. Hubungan yang kuat terdapat pada peningkatan usia, yaitu 1,2 sampai 3,4

per 1000 penduduk per tahun pada orang sehat berusia muda, dan meningkat menjadi 3,9

sampai dengan 11,8 per 1000 penduduk pada usia di atas 65 tahun (Long MD et al, 2013).
Tidak terdapat bukti yang kuat untuk menunjukan adanya hubungan genetik dengan penyakit

herpes zoster. Suatu studi pada tahun 1994 di California, Amerika Serikat menunjukan

adanya komplikasi pada 26% kasus herpes zoster, insiden 2,1 per 100.000 penduduk per

tahun dan meningkat menjadi 9,3 per 100.000 penduduk per tahun pada usia 60 tahun ke atas

(Weinberg et al 2007).

2.2.3 Patogenesis Herpes Zoster

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh virus varicella zoster (VZV). Virus

DNA ini adalah virus yang menyebabkan penyakit cacar air (chicken pox) yang merupakan

infeksi awal sebelum sesorang mengalami herpes zoster. Jadi herpes zoster hanya dapat

muncul pada seseorang yang telah mengalami cacar air sebelumnya. Setelah episode cacar air

telah sembuh, varicella zoster akan bersifat laten di dalam badan sel saraf tanpa menimbulkan

gejala. Beberapa lama setelah infeksi awal tersebut, virus bisa keluar dari badan sel saraf

menuju akson saraf dan menimbulkan infeksi di kulit pada daerah tertentu. (Ferri, 2013)

Virus dapat menyebar dari satu atau lebih ganglion mengikuti dermatom saraf (daerah pada

kulit yang disarafi oleh satu spinal nerve) yang menimbulkan tanda dan gejala pada kulit

berupa cluster atau gerombolan benjolan yang kecil yang kemudian menjadi blister. Blister-
blister tersebut akan terisi cairan limfa dan kemudian pecah lalu menjadi krusta dan

menghilang (Weinberg et al 2007).

Postherpatic neuralgia terkadang terjadi dikarenakan kerusakan pada saraf. Sistem imun akan

mengeliminasi sebagian besar virus sehingga seseorang dapat dikatakan sembuh. Meskipun

tanda dan gejala telah tidak ada, namun virus akan tetap bersifat laten pada ganglion saraf

(ganglion dorsal root maupun ganglion gasseri) pada dasar tengkorak. Apabila sistem imun

menurun pada penyakit tertentu, kondisi stres, maupun penggunaan obat immunosuppresive,

virus ini dapat keluar dari ganglion dan menimbulkan kekambuhan (Kost RG dkk, 1996).

2.2.4 Manifestasi Klinis

Beberapa hari sebelum timbul ruam, timbul demam, malaise, mialgia, sakit kepala, nyeri dan

paresthesia di sekitar dermatom. Paling sering, nyeri konstan atau intermiten dialami oleh

mereka yang berusia lebih dari 60 tahun, yang bervariasi dari kesemutan atau gatal yang

dangkal, rasa terbakar, hingga nyeri yang menusuk. Onset nyeri 48-72 jam sebelum ruam

pertama muncul. Beberapa pasien mungkin mengalami herpes zoster sinus berupa neuralgia

segmental akut tanpa lesi kulit.

Manifestasi klinis yang paling umum adalah distribusi ruam unilateral, biasanya terbatas pada

satu atau dua dermatom. Lesi pertama biasanya berupa makula eritematosa atau papula, yang

kemudian 12-24 jam kemudian berubah menjadi vesikel, kemudian menjadi pustula pada hari
ketiga. Setelah 7-10 hari, pustula mengering menjadi kerak, dan bertahan selama 2-3 minggu.

Lesi baru dapat muncul selama 1-4 hari pertama (kadang-kadang hingga 7 hari) .

Ruam klasik muncul sebagai vesikel berkelompok herpetifom yang nyeri yang berada di

dasar eritematosa, dan terbatas pada satu atau dua dermatom. 3,6 Lesi kulit biasanya sembuh

tanpa sisa ruam, tetapi dapat berubah menjadi hipo / hiperpigmentasi setelah peradangan atau

jaringan parut. Ruam kulit akan lebih parah dan lebih lama pada orang yang lebih tua; oleh

karena itu lebih ringan dan lebih pendek pada populasi anak-anak.1 Kadang-kadang,

limfadenopati reginal dapat terjadi. Manifestasi klinis bisa sangat bervariasi. HZ paling sering

terjadi pada dermatom dengan jumlah lesi varicella terbanyak. 1 Dermatom yang

berhubungan dengan lesi HZ biasanya dalam distribusi sentripetal dari lesi varicella awal.

Selama varicella, virus menyebar dari lesi kulit ke ujung saraf sensorik, kemudian naik ke

ganglion. Hipotesis lain percaya bahwa ganglion terinfeksi melalui jalur hematogen selama

fase viremia varicella, dan stimulus reaktivasi paling sering terjadi pada ganglion ini.

Dermatom yang paling sering terlibat dalam lesi HZ adalah torakal, trigeminal, lumbal, dan

serviks. HZ oticus (geniculate zoster, zoster auris, sindrom Ramsay Hunt, sindrom Hunt)

terjadi dengan keterlibatan ganglion geniculatum. Gambaran klasiknya adalah otalgia dengan

vesikula herpetiform di kanal aurikuler eksterna atau membran timpani, dengan atau tanpa

paralisis wajah, gejala auditori (gangguan pendengaran), dan gejala vestibular. Triad sindrom
Ramsay Hunt terdiri dari lesi HZ di telinga, facial palsy ipsilateral, dan anestesi di 2/3

anterior lidah.

Sindrom ini disebabkan oleh keterlibatan N. VII, IX, dan X.3 HZ yang melibatkan kelopak

mata menandakan keterlibatan cabang pertama (ophthalmicus) dari saraf trigeminal, dan

diberi nama HZ ophthalmicus. Jenis ini sering dialami oleh para lansia. Lesi HZ di pangkal

hidung (tanda Hutchinson) adalah prediktor keterlibatan mata. Kadang-kadang,

blepharoconjunctivitis, keratitis, uveitis, dan glaukoma sekunder dapat terjadi. Keterlibatan

cabang kedua (maksilaris) dan cabang ketiga (mandibularis) saraf trigeminal menyebabkan

lesi HZ intraoral yang disertai dengan nyeri gigi. Keterlibatan cabang rahang atas

menyebabkan lesi di pipi ipsilateral, kelopak mata atas dan bawah, sisi hidung, selaput lendir

hidung, nasofaring, tonsil, gigi atas, palatum, uvula, dan fossa tonsilar. Keterlibatan cabang

mandibula menyebabkan lesi pada sisi kepala, telinga luar, kanalis aurikularis eksterna, bibir

bawah, pangkal mulut, membran mukosa bukal, dan lidah.

HZ diseminata adalah erupsi umum dengan lebih dari 10-12 vesikula ekstradermatomal, 7-14

hari setelah timbulnya HZ dermatom klasik. HZ diseminata menunjukkan penurunan

imunitas seluler dengan berbagai penyebab, termasuk keganasan, terapi radiasi, kemoterapi

kanker, transplantasi organ, atau obat kortikosteroid jangka panjang. Pada gangguan imun,
lesi baru dapat muncul hingga 2 minggu, dan viremia dengan ruam yang menyebar dapat

terjadi dengan komplikasi yang melibatkan nekrosis kulit, bekas luka, dan keterlibatan organ

viseral termasuk paru-paru, hati, dan otak.

Penderita HZ dengan infeksi HIV aktif dapat mengalami HZ berulang pada dermatom yang

sama atau dermatom lain. Pasien HZ dengan AIDS mungkin mengalami HZ parah dengan

penyebaran ke kulit dan organ viseral, termasuk VZV yang resistan terhadap asiklovir dengan

lesi verukosa atau hiperkeratotik.

Komplikasi HZ tidak sering terjadi pada anak-anak dan orang dewasa yang sehat, dan paling

sering terjadi pada mereka yang immunocompromised. Komplikasi yang sering dilaporkan

adalah post herpetic neuralgia (PHN), yaitu nyeri persisten selama lebih dari 4 minggu

setelah onset HZ, dan terjadi 60% pada pasien> 60 tahun. Beberapa komplikasi kulit

termasuk infeksi bakteri sekodari, bekas luka, gangrenosum zoster, dan penyebaran kulit.

Komplikasi mata termasuk konjungtivitis, keratitis, ulkus kornea, iridosiklitis, glaukoma, dan

kebutaan. Beberapa komplikasi viseral termasuk pneumonitis, hepatitis, esofagitis, gastritis,

sistitis, dan artritis. Komplikasi neurologis meliputi meningoensefalitis, kelumpuhan saraf

kranial, kehilangan sensorik, tuli, kelumpuhan saraf tepi.3


2.2.5 Gambaran Histopatologis

Gambaran Histopatologis Herpes Zoster

1. Akumulasi cairan prickle cell layer (stratum spinosum) -> membentuk vesikel

2. Pembesaran nukleus ( akibat infeksi virus )4

2.2.6 Diagnosa dan Diagnosis Banding

Diagnosis ditegakkan berdasarkan kondisi umum, anamnesis dan pemeriksaan

ekstra dan intra oral. Anamnesis jelas menunjukkan adanya riwayat prodromal

berupa demam, meriang, dan terasa lemas yang merupakan gejala terjadinya

infeksi. Gambaran klinis yang khas yaitu ulser, edema, dan pustula pada daerah

sepanjang distribusi persarafan N.trigeminalis menjadikan diagnosis klinis cukup

akurat. N.trigeminalis divisi maksila adalah cabang sensoris yang mensuplai kulit

hingga sebagian tengah wajah, di bawah kelopak mata, sisi hidung, bibir atas,
mukosa membran nasofaring, sinus maksilaris, palatum lunak, dan gigi. Salah satu

cabang terminalnya adalah n.palatinalis yang besar yang mensuplai palatum keras,

sebagian gingiva rahang atas, uvula, dan sebagian palatum lunak. Cabang lainnya

adalah n.alveolaris superior yang mensuplai gingiva rahang atas, gigi, dan mukosa

membran pipi.5

Diagnosis Banding :
1. Recurent Intraoral Herpes dengan erythema multiforme
2. Primary Gingivostomatitis dengan ANUG
3. Infeksi Varicella Zoster
4. Herpes Simplek Virus
5. Dermatitis Kontak6

Dafpus
1 Ayuningati L. Studi Retrospektif: Karakteristik Pasien Herpes Zoster. BIKKK - Berkala
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin - Periodical of Dermatology and Venereology. 2015. 27
(3).211-17.
2 Saragih IV. Herpes Zoster pada Geriatri. Medula. 2015. 2(1). 14-18
3 Purwoko M. Herpes Zoster : clinical manifestation, treatment and prevention. Bio Sc Med
4(3) :34-44.
4 Gnann J, Richard J W. Herpes Zoster. N Engl J Med 2002, vol. 347, no 5.
5 Mc Cary ML. Varicella Zoster Virus. Americal Academy of Dermatology, inc.1999.
6 Cohen J. Herpes Zoster. N Engl J Med 2013; 369: 255-63.

Anda mungkin juga menyukai