Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam

perekonomian setiap negara di dunia. Adanya perdagangan internasional,

perekonomian akan saling terjalin dan tercipta suatu hubungan ekonomi yang

saling mempengaruhi suatu negara dengan negara lain serta lalu lintas barang dan

jasa akan membentuk perdagangan antar bangsa. Perdagangan internasional

merupakan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat suatu negara. Terjadinya perekonomian dalam negeri dan luar negeri

akan menciptakan suatu hubungan yang saling mempengaruhi antara satu negara

dengan negara lainnya, salah satunya adalah berupa pertukaran barang dan jasa

antar negara. Dalam keterbatasan faktor-faktor produksi dalam kegiatan

perekonomian, memaksa pemerintah Indonesia mengambil beberapa pilihan,

salah satunya adalah perdagangan internasional yaitu impor.

Kurs atau nilai tukar adalah harga dari mata uang luar negeri

(Dornbusch,et.al, 2008 : 46). Kenaikan nilai tukar (kurs) mata uang dalam negeri

disebut apresiasi atas mata uang (mata uang asing lebih murah, hal ini berarti nilai

mata uang asing dalam negeri meningkat). Penurunan nilai tukar (kurs) disebut

depresiasi mata uang dalam negeri (mata uang asing menjadi lebih mahal, yang

berarti mata uang dalam negeri menjadi merosot).


Perdagangan diartikan sebagai proses tukar menukar yang didasarkan

kehendak sukarela dari masing-masing pihak. Masing-masing pihak harus

mempunyai kebebasan untuk menentukan untung rugi pertukaran tersebut dari

sudut kepentingan masing-masing dan kemudian menentukan apakah bersedia

melakukan pertukaran atau tidak (Boediono, 1993). Perdagangan internasional

juga dipengaruhi oleh nilai tukar yang secara tidak langsung akan mempengaruhi

permintaan dan penawaran terhadap mata uang asing (See Mekenzie, 1998 dalam

Muhammadina et. al: 2011). Kurs dollar Amerika Serikat digunakan sebagai mata

uang standar internasional dikarenakan stabilitas nilai mata uangnya yang tinggi

serta dapat dengan mudah diperdagangkan dan juga dapat diterima oleh siapapun

sebagai alat pembayaran (Latief, 2001:15).

Harga merupakan salah satu faktor pendukung dalam permintaan suatu

barang. Sesuai bunyi hukum permintaan, semakin rendah harga suatu barang

maka permintaan akan barang tersebut semakin tinggi, demikian sebaliknya jika

semakin tinggi harga suatu barang, maka permintaan akan barang tersebut

semakin rendah, dengan asumsi cateris paribus. Kaitannya dengan harga,

kecenderungan untuk mengimpor akan terjadi apabila barang dan jasa produksi

luar negeri lebih baik mutunya serta harganya lebih murah dibandingkan di dalam

negeri (Herlambang, dkk, 2001:267).

Perdagangan internasional secara umum dapat dibedakan menjadi dua

yaitu ekspor dan impor. Ekspor yaitu penjualan barang dan jasa luar suatu negara

yang mengalir masuk ke negara lainnya, sedangkan impor yaitu barang dan jasa

luar suatu negara yang mengalir masuk ke negara tersebut. Impor dapat
mempunyai peranan yang positif terhadap perkembangan teknologi dalam negeri

khususnya dan terhadap perkembangan ekonomi pada umumnya. Impor sangat

tergantung pada PDB ( Produk Domestik Bruto ), karena PDB adalah satu sumber

pembiayaan impor. Pertumbuhan PDB sangatlah penting bagi perkembangan

perekonomian suatu negara, karena menunjukan kemampuan suatu negara dalam

melakukan perdagangan Internasional (Adlin, 2008). PDB merupakan salah satu

indikator ekonomi yang penting dalam menjelaskan perkembangan tersebut.

Selain itu ekspor, impor, dan lain-lain dapat pula melengkapi gambaran umum

kinerja perekonomian suatu negara. Penentu impor yang utama adalah pendapatan

masyarakat suatu negara (Sukirno, 2006). Jika pendapatan negara berubah maka

dengan sendirinya impor akan berubah, yaitu semakin tinggi pendapatan suatu

negara maka semakin tinggi pula permintan impor yang akan dilakukan begitu

juga sebaliknya semakin rendah pendapatan suatu Negara maka semakin rendah

pula permintaan impor yang akan dilakukan.

Menurut Amir, M.S. (2004:139) kegiatan impor adalah memenuhi

kebutuhan masyarakat akan barang-barang dengan cara mendatangkan barang

yang belum tersedia di dalam negeri dari luar negeri. Impor merupakan salah satu

variabel kebocoran (leakages) dalam perekonomian suatu negara, artinya jika

impor suatu negara meningkat maka pendapatan nasional negara tersebut akan

menurun. Hal ini disebabkan adanya proses multiplier dalam perekonomian

tersebut (Chalid, 2011:1). Tetapi untuk memenuhi kebutuhan akan barang dan

jasa yang dikonsumsi oleh penduduk Indonesia yang dimana produksi dalam

negerinya belum bisa memenuhi permintaan dari seluruh penduduk Indonesia,


maka pemerintah harus mengimpor barang-barang tersebut dari luar negeri agar

tercipta kestabilan dalam kegiatan ekonomi, baik produksi, konsumsi, maupun

distribusi.

Krugman (1999) menjelaskan ada beberapa faktor-faktor yang mendorong

dilakukannya impor antara lain adalah keterbatasan kualitas sumber daya manusia

dan teknologi yang dimiliki, untuk mengolah sumber daya alam yang tersedia

agar tercapai efektifitas dan efisiensi yang optimal dalam kegiatan produksi dalam

negeri; adanya barang-jasa yang belum/tidak dapat diproduksi di dalam negeri;

dan adanya jumlah atau kuantitas barang di dalam negeri yang belum mencukupi.

Impor juga akan menimbulkan biaya-biaya dalam kegiatan impor seperti biaya

pabean, biaya pelayaran, biaya pelabuhan dan biaya operasional.

Produk daging sapi merupakan komoditas kedua setelah unggas (ayam

potong). Kontribusi daging sapi terhadap kebutuhan daging nasional sebesar 23

persen dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan (Direktorat Jenderal

Peternakan, 2009). Berdasarkan laju peningkatan konsumsi daging sapi yang

mencapai 4 persen, dibandingkan dengan laju peningkatan produksi sapi potong

sebesar 2 persen, maka dalam jangka panjang diperkirakan terjadi kekurangan

produksi akibat adanya pengurangan ternak sapi yang berlebihan walaupun

ditunjang oleh daging unggas. Secara umum kebutuhan daging sapi masih

disupply oleh impor daging maupun sapi bakalan.


Harga daging sapi yang diproduksi secara lokal menjadi lebih mahal,

karena pemeliharaan sapi tidak diarahkan untuk tujuan pasar. Hal ini yang

menyebabkan harga daging sapi lokal lebih mahal daripada daging sapi impor

sehingga jumlah impor daging sapi meningkat seiring dengan tingginya

permintaan masyarakat mengkonsumsi daging sapi namun tidak diimbangi

Alisa (2011), dalam penelitiannya mengatakan bahwa produk daging sapi

merupakan komoditas kedua setelah unggas (ayam potong). Kontribusi daging

sapi terhadap kebutuhan daging nasional sebesar 23 persen dan diperkirakan akan

terus mengalami peningkatan. Secara umum kebutuhan daging sapi masih

disupply oleh impor daging maupun sapi bakalan. Pengertian bakalan Bakalan

adalah anak sapi berumur 1-2 tahun yang tidak layak bibit yang memenuhi

persyaratan tertentu baik jantan maupun betina untuk tujuan produksi atau hewan

bukan bibit yang mempunyai sifat unggul untuk dipelihara guna tujuan produksi

kata tidak layak bibit dimaksudkan bahwa sapi tersebut tidak layak

dikembangbiakkan yang artinya tidak baik untuk menghasilkan anak, namun

dapat ditingkatkan produktivitasnya untuk menghasilkan daging baik kualitas

maupun kuantitasnya. Dalam Keputusan tersebut dijelaskan bahwa pemilihan

bibit/bakalan bisa berasal dari sapi lokal atau impor, tergantung jenis sapi dan

bebas dari penyakit menular. Dalam pemilihan sapi bakalan usaha penggemukan

harus memenuhi kriteria berumur 1 (satu) sampai 2 (dua) tahun dengan berat 250

350 kg. Penyediaan bakalan dilakukan dengan mengutamakan produksi dalam

negeri dan kemampuan ekonomi kerakyatan. Pengeluaran bakalan dari wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) keluar negeri dapat dilakukan


apabila kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi dan kelestarian ternak lokal

terjamin. Fenomena semakin meningkatnya permintaan daging sapi dari tahun ke

tahun, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya

pendapatan perkapita dan didorong oleh adanya pola konsumsi dan selera

masyarakat, maka dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, sebagian besar

kebutuhan konsumsi daging sapi akan dipenuhi dari produksi dalam negeri dan

sisanya diperoleh melalui impor. Impor daging sapi tidak dapat dihindari, karena

adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran daging sapi

nasional.

Dapat dilihat pada Tabel 1.1 perkembangan nilai impor sapi Australia ke

Indonesia periode 2010-2014 memiliki rata-rata sebesar 104.392.000 USD atau

mengalami peningkatan sebesar 7,64 persen tiap triwulannya. Peningkatan

terbesar terjadi pada tahun 2013 sebesar 125,71 persen triwulan kedua diduga

disebabkan adanya penambahan kuota impor sapi yang berlaku mulai Juni tahun

2013, pasca pertemuan Menteri Pertanian Wilayah Utara Australia dengan

Menteri Pertanian Indonesia yang sebelumnya sempat terganggu dengan

pembatasan kuota impor yang diterapkan Indonesia seiring dengan masterplan

swasembada pangan Indonesia (John McVeigh, Tempo Bisnis, 2013).

Perkembangan impor sapi Australia ke Indonesia tahun 2010 – 2014 dapat dilihat

pada Tabel 1.1.


Tabel 1.1 Perkembangan Impor Sapi Australia ke Indonesia
Tahun 2010 – 2014

Tahun Triwulan Impor Sapi Australia Perkembangan


(1.000 USD) (%)
2010 1 140.441 -
2 122.343 -12,89
3 98.782 -19,26
4 88.548 -10,36
2011 1 83.404 -5,81
2 79.708 -4,43
3 63.370 -20,50
4 101.819 60,67
2012 1 87.332 -14,23
2 78.653 -9,94
3 59.670 -24,14
4 60.256 0,98
2013 1 38.022 -36,90
2 85.819 125,71
3 77.075 -10,19
4 140.507 82,30
2014 1 149.403 6,33
2 170.654 14,22
3 159.891 -6,31
4 202.149 26,43
Rata-rata 104.392 7,64
Sumber : International Trade Centre, 2010-2014

Indonesia merupakan negara tetangga yang penting bagi Australia. Hal ini

disebabkan karena Indonesia merupakan salah satu negara yang berperan penting

dalam ASEAN sehingga dengan posisinya yang dekat dengan Australia secara

geografis dapat menjembatani perdagangan Australia dengan negara-negara

ASEAN. Selain itu, Indonesia merupakan negara kepulauan yang besar dengan

jumlah populasi yang besar pula sehingga dapat menjadi pangsa pasar yang besar

bagi Australia. Menurut T.M. Hamzah Thayeb (2008), hubungan kenegaraan

Australia dengan Indonesia diawali menjelang kemerdekaan Indonesia 1945.

Dukungan Pemerintah Australia terhadap kemerdekaan Indonesia yang telah


dijajah selama 350 tahun oleh Belanda paling dirasakan antara 1942-1950.

Federasi Pekerja Pasisir Australia World Wide Fund for Nature (WWF) mencegah

keberangkatan kapal Belanda yang penuh dengan pasukan, persenjataan, dan

perlengkapan lainnya dari pelabuhan Australia. Di tengah dinamika hubungan

bilateral Indonesia Australia, kerjasama dalam berbagai bidang telah banyak

disepakati oleh kedua negara (Ikrar Nusa Bakti :2008).

Menurut Richard Chauvel. dkk (2005), hubungan negara bertetangga

Indonesia dan Australia mengalami pasang surut. Hal ini dipicu oleh berbagai

masalah seperti masalah Timor Timur pada 1999, peristiwa Bom Bali pada

tanggal 12 Oktober 2002 dan penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap

beberapa pejabat tinggi Indonesia yang membuat hubungan bilateral Indonesia-

Australia terganggu. Di sisi lain, berbagai bentuk kerja sama ekonomi, keamanan,

pariwisata dan sebagainya menguatkan hubungan bilateral kedua negara. Pada

dasarnya Indonesia merupakan negara yang penting bagi Australia, sebab secara

geografis kedua negara tersebut berdekatan. Selain itu, Indonesia merupakan salah

satu negara yang berperan penting dalam ASEAN sehingga dapat menjembatani

hubungan perdagangan Australia dengan negara-negara Anggota ASEAN.

Menurut Nini Salwa Istiqamah (2014), dewasa ini permasalahan yang

dihadapi oleh negara semakin kompleks. Mulai dari masalah ekonomi, politik,

keamanan, kesehatan, lingkungan dan sebagainya. Di antara isu-isu yang dihadapi

oleh negara-negara di dunia tersebut, isu ekonomi merupakan salah satu hal yang

sangat penting, sebab, masalah ekonomi tidak terbatas pada pertukaran barang dan

jasa akan tetapi menyangkut transaksi ekonomi antara satu negara dengan negara
lainnya. Semakin kompleksnya kebutuhan suatu negara menyebabkan hampir

tidak satu pun negara mampu memenuhi sendiri kebutuhannya, sehingga hal

terjalin kerjasama antar Negara, baik dengan negara tetangga, negara dalam satu

kawasan maupun negara yang ada di kawasan lainnya. Misalnya kerjasama antara

Indonesia dan Australia dalam berbagai bidang. Hal ini dilakukan untuk

memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.

Kemajuan zaman menyebabkan harga-harga bahan pokok seperti hasil

industri mengalami peningkatan. Impor menjadi pilihan yang layak bagi

pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Reyes, 2009). Dapat dilihat

pada Tabel 1.2, perkembangan harga sapi Australia periode 2010-2014 memiliki

rata-rata harga sapi sebesar 186,25 USD/Pound atau mengalami peningkatan

sebesar 3,41 tiap triwulannya. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2014

sebesar 29,34 persen yang menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri

Indonesia, Partogi Pangaribuan mengatakan bahwa harga daging impor dari

Australia naik sebesar 20-30 persen pada September 2014. Kenaikan harga daging

dipicu oleh melonjaknya permintaan daging Amerika Serikat dan Cina. Menurut

Partogi Pangaribuan, hal ini mengakibatkan terjadinya persaingan harga di antara

sesama importer. (Tempo Bisnis, 2014). Perkembangan harga sapi Australia tahun

2010 – 2014 dapat dilihat pada Tabel 1.2.


Tabel 1.2 Perkembangan Harga Daging Sapi Australia Tahun 2010 – 2014

Harga Sapi Australia Perkembangan


Tahun Triwulan
(USD/Pound) (%)
2010 1 142,58 -
2 155,77 9,25
3 150,13 -3,62
4 161,43 7,53
2011 1 185,69 15,03
2 185,16 -0,29
3 178,18 -3,77
4 183,68 3,09
2012 1 193,13 5,14
2 187,67 -2,83
3 181,25 -3,42
4 189,73 4,68
2013 1 193,82 2,16
2 181,84 -6,18
3 176,25 -3,07
4 182,44 3,51
2014 1 191,82 5,14
2 195,52 1,93
3 252,89 29,34
4 256,01 1,23
Rata-rata 186,25 3,41
Sumber : Index Mundi, 2010-2014 (data diolah)

Harga merupakan salah satu faktor pendukung dalam permintaan suatu

barang, sesuai bunyi hukum permintaan, semakin rendah harga suatu barang maka

permintaan akan barang tersebut semakin tinggi, demikian sebaliknya jika

semakin tinggi harga suatu barang, maka permintaan akan barang tersebut

semakin rendah, dengan asumsi cateris paribus. Kaitannya dengan harga,

kecenderungan untuk mengimpor akan terjadi apabila barang dan jasa produksi

luar negeri lebih baik mutunya serta harganya lebih murah dibandingkan di dalam

negeri (Herlambang, dkk 2001:267).


Harga daging sapi yang diproduksi secara lokal menjadi lebih mahal,

karena pemeliharaan sapi tidak diarahkan untuk tujuan pasar. Hal ini yang

menyebabkan harga daging sapi lokal lebih mahal daripada daging sapi impor,

sehingga jumlah impor daging sapi meningkat seiring dengan tingginya

permintaan masyarakat mengkonsumsi daging sapi namun tidak diimbangi

dengan jumlah produksi daging sapi secara nasional (Dwi Priyatno, 2011).

Perkembangan PDB Sektor Peternakan Tahun 2010 – 2014 dapat dilihat pada

Tabel 1.3.

Tabel 1.3 Perkembangan PDB Sektor Peternakan Tahun 2010 - 2014

PDB Sektor Peternakan Perkembangan


Tahun Triwulan
(Milliar Rupiah) (%)
2010 1 28.168,90 -
2 28.713,40 1,93
3 30.428,50 5,97
4 32.060,90 5,36
2011 1 30.794,70 -3,95
2 30.908,10 0,37
3 32.738,60 5,92
4 34.856,30 6,47
2012 1 34.766,00 -0,26
2 35.432,80 1,92
3 37.007,40 4,44
4 38.513,80 4,07
2013 1 38.352,00 -0,42
2 39.295,60 2,46
3 42.697,10 8,66
4 44.818,20 4,97
2014 1 43.263,80 -3,47
2 44.114,80 1,97
3 47.266,70 7,14
4 49.601,20 4,94
Rata-rata 37.189,94 3,08
Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia, 2010-2014 (data diolah)
Tabel 1.3 menjelaskan perkembangan PDB Indonesia selama periode 20

triwulan (2010-2014). Tabel 1.3 menunjukkan bahwa perkembangan PDB

Peternakan dari tahun 2010-2014 mengalami fluktuasi. Perkembangan Produk

Domestik Bruto (PDB) periode 2010-2014 memiliki rata-rata sebesar 37.189,94

rupiah atau mengalami peningkatan sebesar 3,08 persen tiap triwulannya.

Perkembangan PDB Peternakan di Indonesia tertinggi terjadi pada tahun 2013

triwulan ketiga yaitu sebesar 8,66 persen dan terendah terjadi pada tahun 2011

triwulan pertama yaitu sebesar minus 3,95 persen.

Menurut Boediono (2005: 97), kurs valuta asing yang dalam hal ini adalah

Kurs Dollar Amerika Serikat, yang memberi pengaruh terhadap perkembangan

perdagangan. Dollar Amerika Serikat merupakan mata uang internasional atau

mata uang cadangan sejalan dengan menanjaknya posisi Amerika Serikat di dalam

perekonomian dunia, terutama setelah Perang Dunia I. Dollar Amerika Serikat

diterima oleh siapapun sebagai pembayaran bagi transaksinya.

Kondisi harga daging impor relatif lebih rendah dengan kualitas yang lebih

bagus disebabkan oleh manajemen produksi yang lebih efisien, disamping adanya

dumping price policy oleh negara pengekspor. Harga daging di Indonesia relatif

mahal, sebagai akibat inefisiensi usaha peternakan domestik yang ditunjukkan

oleh tingginya biaya produksi usaha termasuk inefisiensi dalam jalur tata niaga

perdagangan dari daerah sentra produksi (industri hulu) sampai ke konsumen

(industri hilir). Kondisi demikian berdampak terhambatnya perkembangan usaha

peternakan domestik, baik usaha yang dilakukan pihak feedloter maupun usaha

peternakan rakyat yang sifatnya tradisional.

Data pada Tabel 1.4 menunjukkan perkembangan nilai kurs dollar

Amerika Serikat yang relatif mengalami fluktuasi. Rata-rata kurs dollar Amerika
Serikat dari tahun 2010-2014 adalah sebesar 9,915 atau mengalami peningkatan

sebesar 1,53. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2013 yang peningkatannya

mencapai 9,61 persen pada triwulan keempat. Menurut ekonom Lana

Soeliastianingsih (Viva News, 2013), pelemahan rupiah yang terjadi disebabkan

oleh faktor eksternal yang menyebabkan spekulasi menjadi liar dan pasar

melakukan antisipasi. Perkembangan Kurs Dollar Amerika Serikat terhadap

rupiah di Indonesia dari tahun 2010 - 2014 dapat dilihat pada Tabel 1.4.

Tabel 1.4 Perkembangan Kurs Dollar Amerika Serikat Terhadap Rupiah


Tahun 2010 – 2014

Kurs Dollar Amerika


Tahun Triwulan Perkembangan (%)
(Rp/1 USD)
2010 1 9.265,80 -
2 9.119,63 -1,58
3 8.998,24 -1,33
4 8.962,97 -0,39
2011 1 8.903,81 -0,66
2 8.590,37 -3,52
3 8.610,25 0,23
4 8.999,63 4,52
2012 1 9.100,08 1,12
2 9.305,63 2,26
3 9.507,59 2,17
4 9.623,66 1,22
2013 1 9.694,47 0,74
2 9.788,83 0,97
3 10.664,04 8,94
4 11.689,03 9,61
2014 1 11.847,27 1,35
2 11.618,10 -1,93
3 11.762,17 1,24
4 12.247,15 4,12
Rata-rata 9.915,00 1,53
Sumber : Bank Indonesia, 2010-2014 (data diolah)
1.2. Rumusan Masalah Penelitian

Dari latar belakang tersebut maka yang jadi pokok permasalahan dalam

penelitian ini adalah:

1) Apakah kurs dollar Amerika Serikat, harga daging sapi Australia, dan

PDB sektor peternakan secara serempak berpengaruh terhadap impor sapi

Australia ke Indonesia tahun 2010-2014?

2) Bagaimanakah pengaruh kurs dollar Amerika Serikat, harga daging sapi

Australia, dan PDB sektor peternakan secara parsial terhadap impor sapi

Australia ke Indonesia tahun 2010-2014?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan

penelitian ini adalah :

1) Untuk mengetahui pengaruh kurs dollar Amerika Serikat, harga daging

sapi Australia, dan PDB sektor peternakan secara serempak terhadap

impor sapi Australia ke Indonesia tahun 2010-2014.

2) Untuk mengetahui pengaruh kurs dollar Amerika Serikat, harga daging

sapi Australia, dan PDB sektor peternakan secara parsial terhadap impor

sapi Australia ke Indonesia tahun 2010-2014.

1.4. Kegunaan penelitian

1) Bagi Khasanah Ilmu Pengetahuan

Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan suatu

tambahan informasi dan wawasan yang dapat menambah referensi di


lingkungan akademis sehingga nantinya dapat bermanfaat bagi pihak-

pihak yang berkepentingan.

2) Bagi Perguruan Tinggi

Penelitian ini diharapkan nantinya dapat sebagai wadah untuk

mengaplikasikan teori-teori dalam perdagangan ekonomi khususnya

internasional yang selama menempuh kuliah dengan mengaitkan kepada

fakta khususnya mengenai kondisi impor sapi Australia ke Indonesia.

3) Bagi Penyelesaian Operasional dan Perumusan Kebijakan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan

sebagai sarana pemerintah dalam mengambil upaya atau langkah-langkah

kebijakan dalam bidang perdagangan antar negara khususnya di bidang

impor.

Anda mungkin juga menyukai