Anda di halaman 1dari 3

Kisah ini bermula pada abad ke 14 M, ketika seorang pemuda bernama Walangsungsang

menghadap pada ayahnya, Prabu Siliwangi, penguasa kerajaan Padjajaran.

"Ayah," ucap Walangsungsang mengawali pembicaraan, "Akhir-akhir ini saya selalu


bermimpi didatangi oleh lelaki berwajah tampan dan bercahaya. Ia mengaku sebagai Nabi
Muhammad. Dan dalam mimpi itu ia mengatakan bahwa aku adalah salah satu orang terpilih
yang akan menyebarkan ajarannya di negeri ini. Maka, izinkan aku untuk berguru pada
seseorang yang lebih tahu tentang ajaran Nabi Muhammad."

Dengan berat hati Prabu Siliwangi melepas putranya. Walangsungsang pun pergi keluar
kerajaan, berjalan jauh, bertanya-tanya pada masyarakat di mana kah ada seorang alim yang
bisa membimbingnya mengenal ajaran Muhammad. Hingga ia sampai jua pada sebuah
tempat di Gunung Jati. Di sana ia bertemu dengan seorang alim bernama Nur Jati.

"Maafkan bila saya lancang. Tapi saya ingin sekali berguru padamu tentang ajaran seseorang
yang bernama Nabi Muhammad itu."

Guru Nur Jati menerima Walangsungsang menjadi murid membimbingnya mengucap


syahadat, mengajarkan sholat, zakat serta puasa.

"Semua rukun Islam sudah aku ajarkan dan telah engkau lakukan. Kecuali haji. Lakukanlah
haji ke tanah suci. Di sana engkau bisa berziarah langsung di makam Rasulullah Muhammad.
Orang yang selalu datang pada mimpimu."

Maka, berangkat haji-lah Walangsungsang. Selain menunaikan rukun Islam terakhir, di tanah
suci ia juga berguru pada beberapa ulama masyhur seperti Syeikh Maulana Ibrahim, demi
memperdalam ilmu agama.

Saat berhaji itulah nama Walangsungsang diganti menjadi Abdullah Iman.

Sepulang dari haji, Abdullah Iman kembali menemui guru Nur Jati di Gunung Jati. Sang guru
memerintahkan agar ia menyebarkan Islam di sebuah tempat yang telah ditentukan. Abdullah
Iman mengiyakan. Bersama murid-murid guru Nur Jati yang lain, ia berjalan menuju utara
dan mulai membabad hutan untuk dijadikan pemukiman. Hutan tersebut berada dekat di
pesisir pantai.

Selama di tempat baru, Abdullah Iman bekerja sebagai pencari udang rebon di pantai utara.
Udang itu kemudian diolah hingga jadi bumbu makanan. Hasil olahan itu dijual pada
masyarakat. Saking enaknya olahan udang rebon milik Abdullah Iman, maka tersiarlah
bahwa ada orang yang bisa mengolah udang jadi makanan lezat. Masyarakat dari daerah lain
berduyun-duyun datang ke tempat Abdullah Iman. Makin banyak lah yang beli olahan udang
rebon sampai mengantri panjang. Karena tidak sabar menunggu giliran dilayani, orang-orang
berteriak pada Abdullah Iman,

"Geura Age! Geura Age!"

Artinya, "Ayo cepetan! Cepat!"

Kata 'Geura Age' dipersingkat oleh masyarakat menjadi "Grage". Di akhir waktu, ketika
ditanya mau ke mana, mereka akan jawab,
"Mau ke Grage, beli olahan rebon."

Hal ini kemudian dimanfaatkan Abdullah Iman untuk mengenalkan Islam pada para pembeli.

"Iya, tunggu sebentar, ya. Banyak yang beli ini," ucap Abdullah Iman. "Saya kasih tambahan
udangnya, asal setelah ini jangan pulang dulu. Saya mau ngobrol dengan kalian. Boleh?"

Pembelinya mengangguk setuju.

Abdullah Iman lantas memberikan kajian singkat pada masyarakat. Tentang Islam, tentang
keluhuran akhlaq Nabi Muhammad. Lama kelamaan banyak pula yang tertarik masuk Islam
dan mendirikan rumah di dekat tempat tinggal Abdullah Iman. Lokasi itu pun menjadi ramai.
Menjadi sebuah kampung yang besar nan Islami. Pengajian-pengajian begitu semarak.

***

Kelezatan olahan udang rebon milik Abdullah Iman akhirnya terdengar sampai ke telinga
penguasa Kerajaan Palimanan. Sang raja pun menyuruh menterinya untuk membawa olahan
tersebut ke kerajaan.

Barang yang dikehendaki raja akhirnya sampai juga. Setelah mencicipi, ia pun tertakjub,

"Pandai betul orang yang membuat ini. Aku sangat terasih (suka) makan olahan ini."

Dari kata 'Terasih' itulah akhirnya raja Palimanan menamai olahan udang rebon milik
Abdullah Iman dengan sebutan "Terasi".

Waktu bergulir, sang raja makin penasaran dan ingin bertemu dengan pembuat terasi rebon.
Pada suatu hari, didampingi para pengawal, ia pun datang ke tempat Abdullah Iman.

"Duhai orang muda, bagaimana Anda bisa mengolah udang rebon hingga jadi makanan enak
yang membuat saya terasih?" Raja Palimanan tidak tahu bahwa lelaki yang berada di
hadapannya itu merupakan putra mahkota Kerajaan Padjajaran, anak sulung Prabu Siliwangi.

"Apakah raja ingin melihat prosesnya?" tanya Abdullah Iman.

Raja mengangguk.

Abdullah Iman akhirnya memberitahu prosesnya dengan detail. Mulai dari menjala udang di
pantai pada malam hari dan mengambilnya pagi hari. Udang rebon hasil tangkapan lalu
digarami dan diperas. Langkah selanjutnya adalah dijemur. Setelah kering kemudian
ditumbuk dan dibungkus.

Sedangkan perasan air rebon tidak dibuang, melainkan dimasak menjadi petis blendrang.

Sang raja berucap, "Saya ingin coba rasanya Ci (air) rebon itu."

Abdullah Iman meminta tolong istrinya untuk memasak air perasan rebon. Setelah matang,
Abdullah Iman mempersilakan raja untuk mencicipi. Petis blendrang itu dihidangkan
bersama nasi dan lauk pauk. Seusai makan, raja berkata,
"Ci rebon ini ternyata lebih enak daripada terasinya."

Setelah itu sang raja mengumumkan kepada seluruh warga, bahwa mulai sekarang wilayah
ini diberi nama: Cirebon.

Sejarah mencatat, peristiwa itu terjadi pada tahun 1447 M.

Dari sejarah ini, tak heran bila Cirebon menjadi wilayah yang nafas Islamnya begitu kuat. Di
tanah inilah perjuangan umat Islam mengusir Portugis dari Sunda Kelapa dimulai. Dan di
tanah inilah salah satu dari Wali Songo dimakamkan: Syarif Hidayatullah alias Sunan
Gunung Jati. Putra Nyai Rarasantang yang setelah menikah dengan Sultan Maulana Mahmud
Syarif Abdullah, ulama dari Mesir, berganti nama menjadi Syarifah Mudaim.

Tahukah kita, ternyata Syarifah Mudaim ini juga anak kandung dari Prabu Siliwangi dengan
Nyai Subanglarang.

Artinya, Sunan Gunung Jati adalah keponakan dari pendiri Cirebon. Dengan kata lain,
Cirebon lahir dari rahim Islam. Dan terbukti Islam di tanah ini disebarkan dengan cara yang
begitu enak, lezat, dan menyenangkan.

Anda mungkin juga menyukai