Anda di halaman 1dari 41

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

MAKALAH KONSEP KEGAWATDARURATAN OBSTETRI

OLEH :

KELOMPOK 3/A12-A

NI LUH PUTU WIDI WULANDARI 18.321.2843

NI MADE VINA WIDYA YANTI 18.321.2849

NI PUTU ARI ADNYANI 18.321.2852

PUTU DIAH WULANDARI 18.321.2862

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

WIRA MEDIKA BALI

2021
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah Memberikan
Rahmatnya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Keperawatan
Gawat Darurat “Konsep Kegawatdaruratan pada Obstetri”
Adapun Tujuan penyusunan makalah ini salah satunya untuk memenuhi Tugas Mata
kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan tidak lupa Kami ucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam penyususnan makalah ini yang selalu sabar membimbing
kami.
Kami Sadar akan keterbatasan dan kemampuan yang kami miliki, maka kami mohon
maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam penyusunan makalah ini. Saran dan kritik
kami harapkan untuk meningkatkan bobot makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini
bermanfaat.

Penulis

Denpasar, 15 Maret 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................
1.1 Latar Belakang........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................... 2
1.3 Tujuan..................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep kegawatdaruratan pada obstetric................................ 3
2.2 Jenis kegawatdaruratan obstetric dan penatalaksanaan........... 7

BAB III PENUTUP


3.1 simpulan................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 37
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kematian maternal merupakan suatu fenomena puncak gunung es karena kasusnya


cukup banyak namun yang nampak di permukaan hanya sebagian kecil. World Health
Organization (WHO) memperkirakan bahwa ada 500.000 kematian ibu melahirkan di seluruh
dunia setiap tahunnya, 99 persen diantaranya terjadi di negara berkembang. Dari angka
tersebut diperkirakan bahwa hampir satu orang ibu setiap menit meninggal akibat kehamilan
dan persalinan. Angka kematian maternal di negara berkembang diperkirakan mencapai 100
sampai 1000 lebih per 100.000 kelahiran hidup, sedang di negara maju berkisar antara tujuh
sampai 15 per 100.000 kelahiran hidup. Ini berarti bahwa di negara berkembang risiko
kematian maternal satu diantara 29 persalinan sedangkan di negara maju satu diantara 29.000
persalinan.

Kegawat daruratan obstetri merupakan kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang
terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian
banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan
bayinya.

Secara umum terdapat 3 penyebab utama kematian ibu, yaitu

1. perdarahan

2. infeksi sepsis

3. hipertensi, preeklampsia, eklampsia.

Mengenal kasus kegawatdaruratan obstetri secara dini sangat penting agar pertolongan
yang cepat dan tepat dapat dilakukan. Mengingat klinis kasus kegawatdaruratan obstetri yang
berbeda-beda dalam rentang yang cukup luas, mengenal kasus tersebut tidak selalu mudah
dilakukan, bergantung pada pengetahuan, kemampuan daya pikir dan daya analisis, serta
pengalaman tenaga penolong. Kesalahan ataupun kelambatan dalam menentukan kasus dapat
berakibat fatal. Dalam menangani kasus kegawatdaruratan, penentuan permasalahan utama
(diagnosis) dan tindakan pertolongan harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang tidak
panik. Semuanya dilakukan dengan cepat, cermat, dan terarah.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep kegawat daruratan pada obstetric ?


2. Apa saja Jenis – jenis kegawat daruratan obstetric beserta penatalaksanaannya ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui konsep kegawat daruratan pada obstetric ?


2. Untuk mengetahui Jenis – jenis kegawat daruratan obstetric beserta penatalaksanaannya ?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Kedaruratan obstetrik adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang terjadi
dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian banyak
penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya.

2.2 ANATOMI ORGAN REPRODUKSI INTERNA


1. SERVIKS

Serviks adalah bagian dari rahim yang paling sempit, terhubung ke fundus uteri oleh
isthmus uteri. Batas atas serviks adalah ostium interna. Serviks letaknya menonjol melalui
dinding vagina anterior atas. Bagian yang memproyeksikan ke dalam vagina disebut sebagai
portio vaginalis. Rata-rata ukurannya adalah 3 cm panjang dan 2,5 cm lebar portio vaginalis.
Ukuran dan bentuk serviks bervariasi sesuai usia, hormon, dan paritas. Sebelum melahirkan,
ostium eksternal masih sempit, hanya berbentuk lingkaran kecil di tengah serviks. Bagian
luar dari serviks menuju ostium eksternal disebut ektoserviks. Lorong antara ostium eksterna
ke rongga endometrium disebut sebagai kanalis endoservikalis. Pasokan darah dari sekviks
berasal dari arteri iliaka internal, yang membentuk uterine arteri. Serviks dan cabang arteri
vagina dari uterus mensuplai bagian vagina bagian atas.

2. UTERUS
Uterus adalah organ yang terdiri atas suatu badan (korpus), yang terletak di atas
penyempitan rongga uterus (orifisium internum uteri), dan suatu struktur silindris di bawah,
yakni serviks, yang terletak di bawah orifisium internum uteri.
Uterus adalah organ yang memiliki otot yang kuat dengan ukuran panjang 7 cm,
lebar 4 cm, dan ketebalan 2,5 cm. Pada setiap sisi dari uterus terdapat dua buah ligamentum
broad yang terletak diantara rektum dan kandung kemih, ligamentum tersebut menyangga
uterus sehingga posisi uterus dapat bertahan dengan baik. Bagian korpus atau badan hampir
seluruhnya berbentuk datar pada permukaan anterior, dan terdiri dari bagian yang cembung
pada bagian posterior. Pada bagian atas korpus, terdapat bagian berbentuk bulat yang
melintang di atas tuba uterina disebut fundus. Serviks berada pada bagian yang lebih bawah,
dan dipisahkan dengan korpus oleh ismus. Sebelum masa pubertas, rasio perbandingan
panjang serviks dan korpus kurang lebih sebanding; namun setelah pubertas, rasio
perbandingannya menjadi 2 : 1 dan 3 : 1.

Gambar 1. Gambaran uterus pada wanita normal. Anterior (A), lateral kanan (B), dan
posterior (C). a = tuba fallopi, b = round ligament, c = uteroovarian ligament, Ur = ureter

3. MIOMETRIUM DAN ENDOMETRIUM


Uterus terdiri dari tiga lapisan, seperti yang ditunjukkan pada gambar:
1. Lapisan serosa atau peritoneum viseral yang terdiri dari sel mesotelial.
2. Lapisan muscular atau miometrium yang merupakan lapisan paling tebal di uterus dan
terdiri dari serat otot halus yang dipisahkan oleh kolagen dan serat elastik. Berkas otot
polos ini membentuk empat lapisan yang tidak berbatas tegas. Lapisan pertama dan
keempat terutama terdiri atas serat yang tersusun memanjang, yaitu sejajar dengan
sumbu panjang organ. Lapisan tengah mengandung pembuluh darah yang lebih besar.
3. Lapisan endometrium yang terdiri atas epitel dan lamina propia yang mengandung
kelenjar tubular simpleks. Sel – sel epitel pelapisnya merupakan gabungan selapis sel
– sel silindris sekretorus dan sel bersilia. Jaringan ikat lamina propia kaya akan
fibroblas dan mengandung banyak substansi dasar. Serat jaringan ikatnya terutana
berasal dari kolagen tipe III.

Gambar 2. Uterus5

Lapisan endometrium dapat dibagi menjadi dua zona,


1. Lapisan fungsional yang merupakan bagian tebal dari endometrium. Lapsian ini akan luruh
pada saat terjadinya fase menstruasi.
2. Lapisan basal yang paling dalam dan berdekatan dengan miometrium.

Lapisan ini mengandung lamina propia dan bagian awal kelenjar uterus. Lapisan ini
juga berperan sebagai bahan regenerasi dari lapisan fungsional dan akan tetap bertahan pada
fase menstruasi. Endometrium adalah jaringan yang sangat dinamis pada wanita usia
reproduksi. Perubahan pada endometrium terus menerus terjadi sehubungan dengan respon
terhadap perubahan hormon, stromal, dan vascular dengan tujuan akhir agar nantinya uterus
sudah siap saat terjadi pertumbuhan embrio pada kehamilan. Stimulasi estrogen dikaitkan erat
dengan pertumbuhan dan proliferasi endometrium, sedangkan progesteron diproduksi oleh
korpus luteum setelah ovulasi mengahmbat proliferasi dan menstimulasi sekresi di kelenjar
dan juga perubahan predesidual di stroma.

4. PLASENTA
Setelah implantasi, sel-sel trofoblas dapat berdiferensiasi menjadi 2 jenis yakni:
1. Ekstravili – sel sitotrofoblas berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel invasif yang
menginvasi (trofoblas interstitial) desidua maternal dan arteri spiralis (trofoblas
endovaskuler) miometrium.
2. Vili – sel sitotrofoblas berproliferasi dan bergabung membentuk sel sinsisiotrofoblas
multinukleus yang membentuk permukaan luar vili plasenta janin.
Setelah nidasi embrio ke dalam endometrium, plasentasi dimulai dan berlangsung
sampai 12-18 minggu setelah fertilisasi. Plasentasi adalah proses pembentukan struktur dan
jenis plasenta. Dalam 2 minggu pertama perkembangan hasil konsepsi, trofoblas invasif telah
melakukan penetrasi ke arteri spiralis pada lapisan basal endometrium. Pada usia kehamilan 8
minggu (6 minggu setelah nidasi) telah terjadi invasi terhadap 40-60 arteri spiralis di daerah
desidua basalis yang menjadi tempat implantasi plasenta. Lalu terbentuklah sinus
intertrofoblastik yaitu ruangan yang berisi darah maternal dari pembuluh darah yang
dihancurkan. Pertumbuhan ini berjalan terus, sehingga timbul ruangan-ruangan interviler di
mana vili korialis seolah-olah terapung-apung di antara ruangan tersebut. Vili korialis ini akan
bertumbuh menjadi suatu massa jaringan yaitu plasenta.
Plasenta berbentuk bundar atau oval, ukuran diameter 15-20 cm, tebal 2-3 cm, berat
500-600 gram. Biasanya plasenta atau uri akan berbentuk lengkap pada kehamilan kira-kira
16 minggu, dimana ruang amnion telah mengisi seluruh rongga rahim. Letak plasenta yang
normal umumnya pada corpus uteri bagian depan atau belakang agak kearah fundus uteri.
Plasenta normal menanamkan diri sampai ke batas atas lapisan otot rahim.

Plasenta terdiri atas tiga bagian yaitu :


1) Bagian janin (fetal portion). Bagian janin terdiri dari korion frondosum dan vili. Vili dari
uri yang matang terdiri atas :
a. Vili korialis
b. Ruang-ruang interviler. Darah ibu yang berada dalam ruang interviler berasal dari
arteri spiralis yang berada di desidua basalis. Pada sistole, darah dipompa dengan
tekanan 70-80 mmHg kedalam ruang interviler sampai lempeng korionik (chorionic
plate) pangkal dari kotiledon-kotiledon. Darah tersebut membanjiri vili korialis dan
kembali perlahan ke vena di desidua dengan tekanan 8 mmHg.
c. Pada bagian permukaan janin uri diliputi oleh amnion yang licin, dibawah lapisan
amnion ini berjalan cabang-cabang pembuluh darah tali pusat. Tali pusat akan
berinsersi pada uri bagian permukaan janin.
2) Bagian maternal (maternal portion). Terdiri atas desidua kompakta yang terbentuk dari
beberapa lobus dan kotiledon (15-20 buah). Desidua basalis pada uri yang matang disebut
lempeng korionik (basal) dimana sirkulasi utero-plasental berjalan keruang-ruang intervili
melalui tali pusat.
3) Tali pusat merentang dari pusat janin ke uri bagian permukaan janin. Panjangnya rata-rata
50-55 cm, sebesar jari (diameter 1- 2.5 cm), strukturnya terdiri atas 2 arteri umbilikalis dan
1 vena umbilikalis serta jelly wharton.

Gambar 3. Struktur plasenta

Supaya janin dapat tumbuh dengan sempurna, dibutuhkan penyaluran darah dari ibu ke
janin dan pembuangan limbah metabolisme ke sirkulasi ibu. Berikut fungsi plasenta, yaitu :
a. Nutrisasi, yakni alat pemberi makanan pada janin yang berasal dari sekitar 100-150
arteri spiralis maternal yang berlokasi pada lempeng basal.
b. Respirasi, yakni alat penyalur zat asam dan pembuangan CO2
c. Ekskresi, yakni alat pengeluaran sampah metabolisme
d. Produksi, yakni alat yang menghasilkan hormon
e. Imunisasi, yakni alat penyalur antibodi ke janin
f. Pertahanan (sawar), penyaring obat dan kuman yang bisa melewati plasenta
2.3 JENIS-JENIS KEGAWATDARURATAN OBSTETRI dan PENATALAKSANAAN
1. ABORTUS
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi yang usia kehamilannya kurang dari 20
minggu dengan berat janin kurang dari 500 gram. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya
amenore, tanda-tanda kehamilan, perdarahan hebat per vaginam, pengeluaran jaringan
plasenta dan kemungkinan kematian janin.
a. Etiologi
1. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi. Kelainan inilah yang paling umum
menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum umur kehamilan 8 minggu.
Beberapa faktor yang menyebabkan kelainan ini antara lain : kelainan
kromoson/genetik, lingkungan tempat menempelnya hasil pembuahan yang tidak
bagus atau kurang sempurna dan pengaruh zat zat yang berbahaya bagi janin seperti
radiasi, obat obatan, tembakau, alkohol dan infeksi virus.
2. Kelainan pada plasenta. Kelainan ini bisa berupa gangguan pembentukan pembuluh
darah pada plasenta yang disebabkan oleh karena penyakit darah tinggi yang
menahun.
3. Faktor ibu seperti penyakit kronis yang diderita oleh sang ibu seperti radang paru
paru, tifus, anemia berat, keracunan dan infeksi virus toxoplasma.
4. Kelainan yang terjadi pada organ kelamin ibu seperti gangguan pada mulut rahim,
kelainan bentuk rahim terutama rahim yang lengkungannya ke belakang (secara
umum rahim melengkung ke depan), mioma uteri, dan kelainan bawaan pada
rahim.

b. Klasifikasi dan Penatalaksanaan


1. Abortus Spontan
a. Abortus Imminens
Pendarahan dari uterus pada kehamilan kurang dari 20 minggu, hasil konsepsi
masih di dalam uterus dan tidak ada dilatasi serviks. Pasien akan atau tidak
mengeluh mules-mules, uterus membesar, terjadi pendarahan sedikit seperti
bercak-bercak darah menstruasi tanpa riwayat keluarnya jaringan terutama pada
trimester pertama kehamilan. Pada pemeriksaan obstetrik dijumpai tes
kehamilan positif dan serviks belum membuka. Pada inspekulo dijumpai bercak
darah di sekitar dinding vagina, porsio tertutup, tidak ditemukan jaringan.
Penatalaksanaan : Tirah baring total, tidur berbaring merupakan unsur penting
dalam pengobatan karena cara ini akan mengurangi rangsangan mekanis dan
menambah aliran darah ke rahim.

b. Abortus Insipiens
Perdarahan kurang dari 20 minggu karena dilatasi serviks uteri meningkat dan
hasil konsepsi masih dalam uterus. Pasien akan mengeluhkan mules yang sering
dan kuat, keluar darah dari kemaluan tanpa riwayat keluarnya jaringan,
pendarahan biasanya terjadi pada trimester pertama kehamilan, darah berupa
darah segar menglair. Pada inspekulo, ditemukan darah segar di sekitar dinding
vagina, porsio terbuka, tidak ditemukan jaringan.
Penatalaksanaan : Dilakukan tindakan kuretase bila umur kehamilan kurang dari
12 minggu yang disertai dengan perdarahan.

c. Abortus Inkomplit
Pengeluaran hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih
terdapat sisa hasil konsepsi tertinggal dalam uterus. Pada anamnesis, pasien akan
mengeluhkan pendarahan berupa darah segar mengalir terutama pada trimester
pertama dan ada riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir.
Penatalaksanaan : Bila disertai dengan syok akibat perdarahan maka pasien
diinfus dan dilanjutkan transfusi darah. Setelah syok teratasi, dilakukan kuretase,
bila perlu pasien dianjurkan untuk rawat inap.

Gambar 4. Abortus Inkomplit

d. Abortus Komplit
Keadaan di mana semua hasil konsepsi telah dikeluarkan. Pada penderita terjadi
perdarahan yang sedikit, ostium uteri telah menutup dan uterus mulai mengecil.
Apabila hasil konsepsi saat diperiksa dan dapat dinyatakan bahwa semua sudah
keluar dengan lengkap. Pendarahan biasanya tinggal bercak-bercak dan
anamnesis di sini berperan penting dalam menentukan ada tidaknya riwayat
keluarnya jaringan dari jalan lahir Pada inspekulo, ditemukan darah segar di
sekitar dinding vagina, portio terbuka, tidak ditemukan jaringan.
Penatalaksanaan : Tidak memerlukan penanganan penanganan khusus, hanya
apabila menderita anemia ringan perlu diberikan tablet besi dan dianjurkan
supaya makan makanan yang mengandung banyak protein, vitamin dan mineral.

Gambar 5. Abortus Komplit

2. Abortus Habitualis
Abortus yang terjadi sebanyak tiga kali berturut-turut atau lebih. Pada anamnesis
akan dijumpai satu atau lebih tanda-tanda abortus, riwayat menggunakan IUD atau
percobaan aborsi sendiri, dan adanya demam.

3. Abortus Infeksius
Abortus yang disertai infeksi organ genitalia.

4. Abortus Septik
Ditandai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau peritonium. Hasil
diagnosis ditemukan: panas, lemah, takikardia, sekret yang bau dari vagina, uterus
besar dan ada nyeri tekan dan bila sampai sepsis dan syok (lelah, panas, menggigil)
5. Missed Abortion
Abortus yang ditandai dengan kematian embrio atau fetus dalam kandungan >8
minggu sebelum minggu ke-20. Pada anamnesis akan ditemukan uterus
berkembang lebih rendah dibanding usia kehamilannya, bisa tidak ditemukan
pendarahan atau hanya bercak-bercak, tidak ada riwayat keluarnya jaringan dari
jalan lahir. Pada inspekulo bisa ditemukan bercak darah di sekitar dinding vagina,
portio tertutup, tidak ditemukan jaringan.

Dari beberapa jenis abortus, abortus inkomplit dapat menimbulkan banyak perdarahan
yang membahayakan bagi tubuh ibu. Oleh karena itu, perlu penatalaksanaan yang benar untuk
menghindari perdarahan yang berlebihan. Abortus inkomplit ditatalaksana dengan rawat
ekspektatif, pembedahan, maupun medikamentosa. Efektivitas rawat ekspektatif berkisar
antara 52%-81% setelah follow up 2 minggu. Perbaiki keadaan umum yaitu volume
intravaskuler efektif harus dipertahankan untuk memberikan perfusi jaringan yang adekuat.
Terapi medikamentosa dengan misoprostol menunjukkan efektivitas 80% ke atas.

2. MOLA HIDATIDOSA
Mola Hidatidosa (hamil anggur) adalah suatu massa atau pertumbuhan di dalam rahim
yang terjadi pada awal kehamilan. Mola Hidatidosa merupakan kehamilan abnormal,
dimana seluruh villi korialisnya mengalami perubahan hidrofobik. Mola hidatidosa juga
dihubungkan dengan edema vesikular dari vili khorialis plasenta dan biasanya tidak disertai
fetus yang intak. Secara histologist, ditemukan proliferasi trofoblast dengan berbagai
tingkatan hiperplasia dan displasia. Vili khorialis terisi cairan, membengkak, dan hanya
terdapat sedikit pembuluh darah.

a. Etiologi
Penyebab pasti mola hidatidosa tidak diketahui, tetapi faktor-faktor yang mungkin dapat
menyebabkan dan mendukung terjadinya mola, antara lain:
1. Faktor ovum, di mana ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat
dikeluarkan
2. Imunoselektif dari trofoblast
3. Keadaan sosioekonomi yang rendah
4. Paritas tinggi
5. Kekurangan protein
6. Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas
b. Klasifikasi
1. Mola Hidatidosa Sempurna
Villi korionik berubah menjadi suatu massa vesikel – vesikel jernih. Ukuran vesikel
bervariasi dari yang sulit dilihat, berdiameter sampai beberapa sentimeter dan sering
berkelompok-kelompok menggantung pada tangkai kecil.
2. Mola Hidatidosa Parsial
Apabila perubahan hidatidosa bersifat fokal dan kurang berkembang, dan mungkin
tampak sebagai jaringan janin. Terjadi perkembangan hidatidosa yang berlangsung
lambat pada sebagian villi yang biasanya avaskular, sementara villi-villi berpembuluh
lainnya dengan sirkulasi janin plasenta yang masih berfungsi tidak terkena.

c. Manifestasi Klinik
1. Amenorrhoe dan tanda-tanda kehamilan.
2. Perdarahan pervaginam dari bercak sampai perdarahan berat. merupakan
gejala utama dari mola hidatidosa, sifat perdarahan bisa intermiten selama
berapa minggu sampai beberapa bulan sehingga dapat menyebabkan
anemia defisiensi besi.
3. Uterus sering membesar lebih cepat dari biasanya tidak sesuai dengan usia
kehamilan.
4. Tidak dirasakan tanda-tanda adanya gerakan janin maupun ballottement.
5. Hiperemesis, pasien dapat mengalami mual dan muntah cukup berat.
6. Preklampsi dan eklampsi sebelum minggu ke-24
7. Keluar jaringan mola seperti buah anggur, yang merupakan diagnosa pasti
8. Gejala Tirotoksikosis

Pada mola hidatidosa yang sempurna terdapat tanda dan gejala klasik yakni:
a. Perdarahan vaginal. Jaringan mola terpisah dari desidua, menyebabkan perdarahan.
Uterus membesar (distensi) oleh karena jumlah darah yang banyak, dan cairan gelap
bisa mengalir melalui vagina. Gejala ini terdapat dalam 97% kasus.
b. Hiperemesis. Penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang berat. Hal ini
merupakan akibat dari peningkatan secara tajam hormon β-HCG.
c. Hipertiroid. Setidaknya 7% penderita memiliki gejala seperti takikardi, tremor dan
kulit yang hangat.
d. Penatalaksanaan
Secara medis pasien distabilkan dahulu, dilakukan transfusi bila terjadi anemia,
koreksi koagulopati dan hipertensi diobati. Evakuasi uterus dilakukan dengan dilatasi dan
kuretase.
Induksi dengan oksitosin dan prostaglandin tidak disarankan karena resiko
peningkatan perdarahan dan sekuele malignansi. Pada saat dilatasi infus oksitosin harus
segera dipasang dan dilanjutkan pasca evakuasi untuk mengurangi kecenderungan
perdarahan. Uterotonika seperti metergin juga dapat diberikan.
Respiratori distres harus selalu diwaspadai pada saat evakuasi. Hal ini terjadi karena
embolisasi dari trofoblastik, anemia yang menyebabkan CHF, dan iatrogenik overload.
Distres harus segera ditangani dengan ventilator.
Setelah dilakukan evakuasi, dianjurkan uterus beristirahat 4 – 6 minggu dan
penderita disarankan untuk tidak hamil selama 12 bulan. Diperlukan kontrasepsi yang
adekuat selama periode ini. Pasien dianjurkan untuk memakai kontrasepsi oral, sistemik
atau barier selama waktu monitoring. Pemberian pil kontrasepsi berguna dalam 2 hal
yaitu mencegah kehamilan dan menekan pembentukan LH oleh hipofisis yang dapat
mempengaruhi pemeriksaan kadar HCG. Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi dan
terapi sulih hormon dianjurkan setelah kadar HCG kembali normal.
Tindak lanjut setelah evakuasi mola adalah pemeriksaan HCG yang dilakukan secara
berkala sampai didapatkan kadar HCG normal selama 6 bulan. Kadar HCG diperiksa
pasca 48 jam evakuasi mola, kemudian di monitor setiap minggu sampai dengan
terdeteksi dalam 3 minggu berturut-turut. Kemudian diikuti dengan monitoring tiap bulan
sampai dengan tidak terdeteksi dalam 6 bulan berturut – turut. Waktu rata-rata yang
dibutuhkan sampai dengan kadar HCG tidak terdeteksi setelah evakuasi kehamilan
komplit maupun parsial adalah 9 – 11 minggu. Setelah monitoring selesai maka pasien
dapat periksa HCG tanpa terikat oleh waktu.

Secara teknis, penatalaksanaan pasien yang dicurigai mola hidatidosa adalah sebagai berikut :
3. KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi diluar rongga
uterus, tuba falopii merupakan tempat tersering untuk terjadinya implantasi kehamilan
ektopik, sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba, jarang terjadi implantasi
pada ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter dan
divertikel pada uterus. Kehamilan ektopik dapat dibagi dalam beberapa golongan :
1. Tuba Fallopii
2. Uterus (diluar endometrium kavum uterus)
3. Ovarium
4. Intraligamenter
5. Abdominal
6. Kombinasi kehamilan didalam dan diluar uterus

Gambar 6 : Lokasi terjadinya Kehamilan Ektopik

a. Etiologi
Secara ringkas dapat dipisahkan faktor-faktor penyebab yang terjadi pada tuba yang dapat
mendukung terjadinya kehamilan ektopik :

1. Faktor dalam lumen tuba :


a) Endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping, sehingga lumen
tuba menyempit atau membentuk kantong buntu.
b) Lumen tuba sempit dan berlekuk-lekuk yang dapat terjadi pada hipoplasia uteri. Hal
ini dapat disertai kelainan fungsi silia endosalping.
c) Lumen tuba sempit yang diakibatkan oleh operasi plastik tuba dan sterilisasi yang
tidak sempurna.
2. Faktor pada dinding tuba :
a) Endometriosis tuba, dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi dalam tuba
b) Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan telur yang
dibuahi ditempat itu.
3. Faktor diluar dinding tuba :
a) Perlekatan peritubal dengan distorsiatau lekukan tuba dapat menghambat perjalanan
telur.
b) Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba.
4. Faktor lain : `
a) Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovum kanan ke tuba kiri- atau sebaliknya-
dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus. Pertumbuhan telur
yang terlalu cepat dapat menyebabkan implantasi prematur.
b) Fertilisasi in vitro.

b. Manifestasi Klinik
Gambaran klinik untuk kehamilan ektopik adalah trias nyeri abdomen, amenore, dan
perdarahan pervaginam. Gambaran tersebut menjadi sangat penting dalam memikirkan
diagnosis pada pasien yang datang dengan kehamilan di trimester pertama. Namun, hanya
50% pasien dengan kehamilan ektopik ini yang menampilkan gejala-gejala tersebut
secara khas. Pasien yang lain mungkin muncul gejala-gejala yang umumnya terjadi pada
masa kehamilan awal termasuk mual, lelah, nyeri abdomen ringan, nyeri bahu, dan
riwayat disparenu baru-baru ini. Sedangkan gejala dan tanda kehamilan ektopik
terganggu, seperti tersebut diatas, dapat berbeda-beda, dari yang khas sampai tidak khas
sehingga sukar untuk mendiagnosisnya.
Nyeri yang terjadi serupa dengan nyeri melahirkan, sering unilateral (abortus tuba),
hebat dan akut (ruptur tuba), ada nyeri tekan abdomen yang jelas dan menyebar. Kavum
douglas menonjol dan sensitive terhadap tekanan. Jika ada perdarahan intra-abdominal,
gejalanya sebagai berikut:
1. Sensitivitas tekanan pada abdomen bagian bawah, lebih jarang pada abdomen bagian
atas.
2. Abdomen tegang.
3. Mual.
4. Nyeri bahu.
5. Membran mukosa anemis.

Jika terjdi syok, akan ditemukan nadi lemah dan cepat, tekanan darah di bawah 100
mmHg, wajah tampak kurus dan bentuknya menonjol-terutama hidung, keringat dingin,
ekstremitas pucat, kuku kebiruan, dan mungkin terjadi gangguan kesadaran.

c. Penatalaksanaan
Penanganan Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
1. Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi.
2. Pada laparotomi, perdarahan sesegera mungkin dihentikan dengan menjepit bagian
dari adneksa yang menjadi sumber perdarahan.
3. Keadaan umum penderita terus diperbaiki dan darah dalam rongga perut sebanyak
mungkin dikeluarkan.

Gambar 7. Gambaran laparaskopi kehamilan ektopik di bagian ampulla.

Dalam tindakan demikian, beberapa hal yang harus dipertimbangkan :


1. Kondisi penderita pada saat itu,
2. Keinginan penderita akan fungsi reproduksinya,
3. Lokasi kehamilan ektopik.
4. Hasil ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi (pemotongan bagian tuba
yang terganggu) pada kehamilan tuba. Dilakukan pemantauan terhadap kadar HCG
(kuantitatif). Peninggian kadar HCG yang berlangsung terus menandakan masih
adanya jaringan ektopik yang belum terangkat.

Penanganan pada kehamilan ektopik dapat pula dengan :


1. Transfusi, infus, oksigen.
2. Jika dicurigai ada infeksi diberikan juga antibiotika dan antiinflamasi. Sisa-sisa darah
dikeluarkan dan dibersihkan sedapat mungkin supaya penyembuhan lebih cepat dan
harus dirawat inap di rumah sakit.

4. PLASENTA PREVIA
Plasenta Previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah
uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir.

a. Klasifikasi
1. Plasenta Previa Totalis, apabila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan Plasenta.
2. Plasenta Previa Parsialis, apabila sebahagian pembukaan tertutup oleh jaringan
Plasenta.
3. Plasenta Previa Marginalis, apabila pinggir Plasenta berada tepat pada pinggir
pembukaan.
4. Plasenta Letak Rendah, Plasenta yang letaknya abnormal pada segmen bawah uterus
tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir.
Gambar 8. Plasenta Letak Rendah (A), Plasenta Previa Marginalis (B), Plasenta Previa
Parsialis (C), Plasenta Previa Totalis (D)

b. Diagnosis
1. Anamnesis
Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung tanpa nyeri
terutama pada multigravida, banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis,
melainkan dari pada pemeriksaan hematokrit.
2. Pemeriksaan Luar
Bagian bawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul presentasi kepala,
biasanya kepala masih terapung di atas pintu atas panggul mengelak ke samping dan
sukar didorong ke dalam pintu atas panggul.
3. Pemeriksaan In Spekulo
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari osteum uteri
eksternum atau dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai.
4. Penentuan Letak Plasenta Tidak Langsung
Penentuan letak plasenta secara tidak langsung dapat dilakukan radiografi, radioisotop,
dan ultrasonografi. Ultrasonografi penentuan letak plasenta dengan cara ini ternyata
sangat tepat, tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan janinnya dan tidak
menimbulkan rasa nyeri.

5. Pemeriksaan Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan implantasi plasenta atau jarak tepi plasenta
terhadap ostium bila jarak tepi 5 cm disebut plasenta letak rendah.
6. Diagnosis Plasenta Previa Secara Defenitif
Dilakukan dengan melakukan perabaan secara langsung melalui pembukaan serviks
pada perdarahan yang sangat banyak dan pada ibu dengan anemia berat, tidak
dianjurkan melakukan pemeriksaan ini sebagai upaya menetukan diagnosis.

c. Penatalaksanaan
1. Tindakan dasar umum. Memantau tekanan darah, nadi, dan hemoglobin, memberi
oksigen, memasang infuse, memberi ekspander plasma atau serum yang diawetkan.
Usahakan pemberian darah lengkap yang telah diawetkan dalam jumlah mencukupi.
2. Pada perdarahan yang mengancam nyawa, seksio sesarea segera dilakukan setelah
pengobatan syok dimulai.
3. Pada perdarahan yang tetap hebat atau meningkat karena plasenta previa totalis atau
parsialis, segera lakukan seksio sesaria, karena plasenta letak rendah (plasenta tidak
terlihat jika lebar mulut serviks sekitar 4-5 cm), pecahkan selaput ketuban dan berikan
infuse oksitosin; jika perdarahan tidak berhenti, lakukan persalinan pervagina dengan
forsep atau ekstraksi vakum; jika perdarahan tidak berhenti lakukan seksio sesaria.
4. Tindakan setelah melahirkan.
a. Cegah syok (syok hemoragik)
b. Pantau urin dengan kateter menetap
c. Pantau sistem koagulasi (koagulopati).
d. Pada bayi, pantau hemoglobin, hitung eritrosit, dan hematokrit.

5. ATONIA UTERI
Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik
setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir).

a. Etiologi
Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah
melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Perdarahan pospartum
secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi
pembuluh darah yang memvas
kularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut
miometrium tersebut tidak berkontraksi.

Hal-hal yang dapat menyebabkan atonia uteri antara :


1. Disfungsi uterus : atonia uteri primer merupakan disfungsi intrinsik uterus.
2. Partus lama : kelemahan akibat partus lama bukan hanya rahim yang lemah,
cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan, tetapi juga ibu yang keletihan
kurang bertahan terhadap kehilangan darah.
3. Pembesaran uterus berlebihan (hidramnion, hamil ganda, anak besar dengan BB >
4000 gr).
4. Multiparitas : uterus yang lemah banyak melahirkan anak cenderung bekerja tidak
efisien dalam semua kala persalinan.
5. Mioma uteri : dapat menimbulkan perdarahan dengan mengganggu kontraksi dan
retraksi miometrium.
6. Anestesi yang dalam dan lama menyebabkan terjadinya relaksasi miometrium yang
berlebihan, kegagalan kontraksi dan retraksi menyebabkan atonia uteri dan perdarahan
postpartum.
7. Penatalaksanaan yang salah pada kala plasenta, mencoba mempercepat kala III,
dorongan dan pemijatan uterus mengganggu mekanisme fisiologis pelepasan plasenta
dan dapat menyebabkan pemisahan sebagian plasenta yang mengakibatkan
perdarahan.

b. Manifestasi Klinik
Gejala dan tanda yang selalu ada :
a. Uterus tidak berkontraksi dan lembek
b. Perdarahan segera setelah anak lahir (perdarahan pascapersalinan primer).

Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada : Syok (tekanan darah rendah,denyut nadi
cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual,dan lain-lain).

c. Diagnosis
Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama bila timbul perdarahan banyak dalam
waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa disadari penderita
telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi dan pernafasan menjadi
cepat, dan tekanan darah menurun.
Diagnosis perdarahan pasca persalinan :
1. Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri.
2. Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak.
3. Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari: sisa plasenta atau selaput ketuban,
robekan rahim, plasenta suksenturiata.
4. Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang pecah.
5. Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb

d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal
1. Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu resusitasi
dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring
jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan
crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
2. Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan
menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta
(maksimal 15 detik).
3. Uterotonika
Oksitosin menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan
meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Oksitosin dapat
diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer
laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU
intramiometrikal (IMM).

Metilergometrin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat


menyebabkan kontraksi uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM
0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga
diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin
F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal,
intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang
dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal
dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g). Dari
beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan
persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka kesuksesan 84%-96%.

Langkah-langkah rinci penatalaksanaan atonia uteri pasca persalinan :


1. Lakukan massage pundus uteri segera setelah plasenta dilahirkan : massage
merangsang kontraksi uterus. Sambil melakukan massage sekaligus dapat dilakukan
penilaian kontraksi uterus.
2. Bersihkan kavum uteri dari selaput ketuban dan gumpalan darah : selaput ketuban atau
gumpalan darah dalam kavum uteri akan dapat menghalangi kontraksi uterus secara
baik.
3. Mulai melakukan kompresi bimanual interna. Jika uterus berkontraksi keluarkan
tangan setelah 1-2 menit. Jika uterus tetap tidak berkontraksi teruskan kompresi
bimanual interna hingga 5 menit : sebagian besar atonia uteri akan teratasi dengan
tindakan ini. Jika kompresi bimannual tidak berhasil setelah 5 menit, dilakukan
tindakan lain.

Gambar 9. Kompresi bimanual interna


4. Minta keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksterna : Bila penolong hanya
seorang diri, keluarga dapat meneruskan proses kompresi bimanual secara eksternal
selama anda melakukan langkah-langkah selanjutnya.
5. Berikan metal ergometrin 0,2 mg intra muskuler / intravena : metilergometrin yang
diberikan secara intramuskuler akan mulai bekerja dalam 5-7 menit dan akan
menyebabkan kontraksi uterus. Pemberian intravena bila sudah terpasang infuse
sebelumnya.
6. Berikan infuse cairan larutan ringer laktat dan oksitoksin 20 IU/500 ml : anda telah
memberikan oksitoksin pada waktu penatalaksanaan aktif kala tiga dan metil
ergometrin intramuskuler. Oksitoksin intravena akan bekerja segera untuk
menyebabkan uterus berkontraksi. Ringer laktat akan membantu memulihkan volume
cairan yang hilang selama atoni. Jika uterus wanita belum berkontraksi selama 6
langkah pertama, sangat mungkin bahwa ia mengalami perdarahan postpartum dan
memerlukan penggantian darah yang hilang secara cepat.
7. Mulai lagi kompresi bimanual interna atau pasang tampon uterovagina : jika atonia
uteri tidak teratasi setelah 7 langkah pertama, mungkin ibu mengalami masalah serius
lainnya. Tampon utero vagina dapat dilakukan bila penolong telah terlatih. Segera
siapkan proses pembedahan..
8. Teruskan cairan intravena hingga ruang operasi siap.
9. Lakukan laparotomi : pertimbangkan antara tindakan mempertahankan uterus dengan
ligasi arteri uterine/hipogastrika atau histerektomi. : pertimbangan antara lain paritas,
kondisi ibu, jumlah perdarahan.

6. SOLUSIO PLASENTA
Solusio plasenta adalah lepasnya sebagian atau seluruh jaringan plasenta yang
berimplantasi normal pada kehamilan di atas 22 minggu dan sebelum anak lahir.

a. Etiologi
Penyebab utama dari solusio plasenta masih belum diketahui pasti. Meskipun demikian
ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi nya, antara lain:
1. Penyakit hipertensi menahun
2. Pre-eklampsia
3. Tali pusat yang pendek
4. Trauma
5. Tekanan oleh rahim yang membesar pada vena cava inferior
6. Uterus yang sangat mengecil ( hidramnion pada waktu ketuban pecah, kehamilan
ganda pada waktu anak pertama lahir).

Selain itu, ada juga pengaruh dari


1. Umur lanjut
2. Multiparitas
3. Ketuban pecah sebelum waktunya
4. Defisiensi asam folat
5. Merokok, alkohol, kokain
6. Mioma uteri

b. Klasifikasi
Secara klinis solusio plasenta dibagi dalam :
1. Solusio plasenta ringan
2. Solusio plasenta sedang
3. Solusio plasenta berat

Klasifikasi ini dibuat berdasarkan tanda-tanda klinisnya, sesuai derajat terlepasnya


plasenta. Pada solusio plasenta, darah dari tempat pelepasan mencari jalan keluar antara
selaput janin dan dinding rahim dan akhirnya keluar dari serviks dan terjadilah solusio
plasenta dengan perdarahan keluar / tampak. Kadang-kadang darah tidak keluar tapi
berkumpul di belakang plasenta membentuk hematom retroplasenta. Perdarahan ini
disebut perdarahan ke dalam/ tersembunyi. Kadang- kadang darah masuk ke dalam ruang
amnion sehingga perdarahan tetap tersembunyi.
Gambar 10. Gambaran jenis pelepasan plasenta : preplasenta atau subamnion (antara
amnion dan korion), marginal atau subkorion (antara plasenta dan membrane), dan
retroplasenta (antara plasenta dan miometrium)

c. Manifestasi Klinis
1. Solusio Plasenta Ringan
Ruptura sinus marginalis sama sekali tidak mempengaruhi keadaan ibu ataupun
janinnya. Apabila terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitaman dan
jumlahnya sedikit sekali. Perut mungkin terasa agak sakit atau terus menerus agak
tegang. Uterus yang agak tegang ini harus diawasi terus menerus apakah akan menjadi
lebih tegang karena perdarahan terus menerus. Bagian bagian janin masih mudah
teraba.
2. Solusio Plasenta Sedang
Plasenta telah lepas lebih dari seperempatnya tapi belum sampai duapertiga luas
permukaannya. Tanda dan gejalanya dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio
plasenta ringan, atau mendadak dengan gejala sakit perut terus menerus, yang disusul
dengan perdarahan pervaginam. Walaupun perdarahan pervaginam tampak sedikit,
mungkin perdarahan telah mencapai 1000ml. Dinding uterus teraba tegang terus
menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-bagian janin sukar diraba. Bila janin masih
hidup, bunyi jantungnya sukar didengar dengan stetoskop biasa, harus dengan
stetoskop ultrasonic. Tanda-tanda persalinan biasanya telah ada dan akan selesai
dalam waktu 2 jam. Kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal mungkin telah
terjadi, walaupun biasanya terjadi pada solusio plasenta berat.

3. Solusio Plasenta Berat


Plasenta telah lepas lebih dari dua pertiga permukaannya. Terjadi sangat tiba-tiba.
Biasanya ibu telah jatuh dalam syok dan janin telah meninggal. Uterus sangat tegang
seperti papan, sangat nyeri, perdarahan pervaginam tidak sesuai dengan keadaan syok
ibu, malahan mungkin, perdarahan pervaginam belum sempat terjadi. Besar
kemungkinan telah terjadi kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal.

d. Penatalaksanaan
Secara umum :
1. Transfusi darah : Transfusi darah harus segera diberikan tidak peduli bagaimana
keadaan umum penderita waktu itu. Karena jika diagnosis solusio placenta dapat
ditegakkan itu berarti perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 1000ml.
2. Pemberian O2
3. Pemberian antibiotik.
4. Pada syok yang berat diberi kortikosteroid dalam dosis tinggi.

a. Solusio Plasenta Ringan


Apabila kehamilannya kurang dari 36 minggu, perdarahannya kemudian berhenti,
perutnya tidak menjadi sakit, uterusnya tidak menjadi tegang maka penderita dapat
dirawat secara konservatif di rumah sakit dengan observasi ketat.

b. Solusio Plasenta Sedang dan Berat


Apabila perdarahannya berlangsung terus, dan gejala solusio plasenta bertambah jelas,
atau dalam pemantauan USG daerah solusio plasenta bertambah luas, maka pengakhiran
kehamilan tidak dapat dihindarkan lagi. Apabila janin hidup, dilakukan sectio caesaria.
Sectio caesaria dilakukan bila serviks panjang dan tertutup, setelah pemecahan ketuban
dan pemberian oksitosin dalam 2 jam belum juga ada his. Apabila janin mati, ketuban
segera dipecahkan untuk mengurangi regangan dinding uterus disusul dengan pemberian
infuse oksitosin 5 iu dalam 500cc glukosa 5% untuk mempercepat persalinan.

7. RETENSIO PLASENTA
Keadaan dimana plasenta belum lahir dalam waktu 30 menit` setelah bayi lahir.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya plasenta tidak lahir spontan dan tidak yakin
apakah plasenta lengkap.
a. Etiologi
Etiologi retensio plasenta tidak diketahui dengan pasti sebelum tindakan. Beberapa
penyebab retensio plasenta adalah :
1. His kurang kuat (penyebab terpenting). Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar
karena atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Atau karena
adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (ostium uteri) akibat kesalahan
penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata).

Gambar 11. Gambaran plasenta terlepas dari uterus namun tidak dapat dikeluarkan
karena konstriksi pada bagian bawah rahim

2. Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba), bentuknya (plasenta
membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta yang sangat kecil). Plasenta
yang sukar lepas karena penyebab ini disebut plasenta adhesiva. Plasenta adhesiva
ialah jika terjadi implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga
menyebabkan kegagalan mekanisme perpisahan fisiologis.

b. Klasifikasi
Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh lebih dalam.
Menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi :
1. Plasenta akreta: vili korialis berimplantasi menembus desidua basalis dan Nitabuch
layer. Pada jenis ini plasenta melekat langsung pada miometrium.
2. Plasenta inkreta: vili korialis sampai menembus miometrium, tapi tidak menembus
serosa uterus.
3. Plasenta perkreta: vili korialis sampai menembus serosa atau perimetrium.
Plasenta akreta ada yang kompleta, yaitu jika seluruh permukaannya melekat dengan
erat pada dinding rahim. Plasenta akreta yang parsialis, yaitu jika hanya beberapa bagian
dari permukaannya lebih erat berhubungan dengan dinding rahim. Plasenta akreta yang
kompleta, inkreta, dan perkreta jarang terjadi.

c. Penatalaksanaan
1. Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter yang
berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida isotonik atau
larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi,
tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang
dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.
2. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau NaCl
0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
3. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan drips
oksitosin untuk mempertahankan uterus.
4. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi manual
plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc, retensio
plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep
tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat
putus.

Gambar 12. Pelepasan plasenta secara manual

5. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan


dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya
pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di
rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan
kuretase pada abortus.
6. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat
uterotonika melalui suntikan atau per oral.

Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan.

8. RUPTUR UTERI
Ruptur uterus adalah robekan pada uterus, dapat meluas ke seluruh dinding uterus
dan isi uterus tumpah ke seluruh rongga abdomen (komplit), atau dapat pula ruptur hanya
meluas ke endometrium dan miometrium, tetapi peritoneum di sekitar uterus tetap utuh
(inkomplit).

a. Manifestasi Klinik
1. Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa sakit yang luar biasa, menjerit seolah-
olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut, pucat, keluar keringat
dingin sampai kolaps.
a. Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.
b. Muntah-muntah karena rangsangan peritoneum
c. Syok nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tidak teratur
d. Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tidak begitu banyak, lebih-lebih
kalau bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun dan menyumbat jalan lahir.
e. Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ketungkai bawah dan dibahu.
f. Kontraksi uterus biasanya hilang.
g. Mula-mula terdapat defans muskuler kemudian perut menjadi kembung dan
meteoristis (paralisis khusus).

2. Jika dipalpasi, maka akan teraba :


a. Pinggir robekan, biasanya terdapat pada bagian depan di segmen bawah rahim.
b. Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari PAP
c. Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada dirongga perut, maka teraba
bagian-bagian janin langsung dibawah kulit perut, dan di sampingnya kadang-
kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras sebesar kelapa.
d. Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.
e. Pada ruptur uteri iminens dikenal dengan ring van Bandl yang semakin tinggi dan
segmen bawah rahim yang tipis.
3. Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa menit setelah
rupture, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk kerongga perut.
4. Jika dilakukan pemeriksaan dalam :
a. Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun kebawah, dengan mudah dapat
didorong keatas, dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang agak banyak.
b. Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim dan
kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi maka dapat diraba usus,
omentum dan bagian-bagian janin.
c. Kateterisasi hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung
kemih.

b. Penatalaksanaan
Tindakan pertama adalah mengatasi syok, memperbaiki keadaan umum penderita
dengan pemberian infus cairan dan tranfusi darah, kardiotinika, antibiotika, dsb. Bila
keadaan umum mulai baik, tindakan selanjutnya adalah melakukan laparatomi dengan
tindakan jenis operasi :

1. Histerektomi baik total maupun sub total


2. Histerorafia, yaitu luka di eksidir pinggirnya lalu di jahit sebaik-baiknya
3. Konservatif : hanya dengan temponade dan pemberian antibiotika yang cukup.

Tindakan yang akan dipilih tergantung pada beberapa faktor, diantaranya adalah :
1. Keadaan umum penderita
2. Jenis ruptur inkomplit atau komplit
3. Jenis luka robekan : jelek, terlalu lebar, agak lama, pinggir tidak rata dan sudah
banyak nekrosis
4. Tempat luka : serviks, korpus, segmen bawah rahim
5. Perdarahan dari luka : sedikit, banyak
6. Umur dan jumlah anak hidup
7. Kemampuan dan ketrampilan penolong.
9. PREEKLAMPSIA BERAT DAN EKLAMPSIA
Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang
disebabkan langsung oleh kehamilan itu sendiri.
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi, edema disertai proteinuria akibat
kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini
dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi penyakit trofoblastik.
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau nifas
yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma. Sebelumnya wanita tersebut
menunjukkan gejala-gejala preeklampsia.

a. Etiologi
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum dapat diketahui dengan pasti. Banyak
teori-teori dikemukakan tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban yang
memuaskan tentang penyebabnya. Teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan
hal-hal sebagai berikut:
1. Bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan ganda, hidramnion, dan mola
hidatidosa.
2. Bertambahnya frekuensi pada bertambahnya usia kehamilan.
3. Dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin intrauterin.
4. Jarangnya ditemukan kejadian preeklampsia pada kehamilan berikutnya.
5. Timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang, dan koma.

b. Manifestasi Klinik
Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia yaitu hipertensi dan proteinuria,
merupakan kelainan yang biasanya tidak disadari oleh wanita hamil. Pada waktu keluhan
seperti oedema, sakit kepala, gangguan penglihatan atau nyeri epigastrium mulai timbul,
kelainan tersebut biasanya sudah berat.
Pada eklampsia umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya
preeklampsia dan terjadinya gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan,
mual keras, nyeri di epigastrium, dan hiperefleksia.

c. Klasifikasi
Kriteria minimum untuk mendiagnosis preeklampsia adalah adanya hipertensi dan
proteinuria. Dari berbagai gejala, preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan
preeklampsia berat.
Kriteria preeklampsia ringan :
1. Hipertensi dengan sistolik/diastolik > 140/90 mmHg, sedikitnya enam jam pada dua
kali pemeriksaan tanpa kerusakan organ.
2. Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1 + dipstik.
3. Edema generalisata yaitu pada lengan, muka, dan perut.

Preeklampsia berat dibagi menjadi : preeklampsia berat tanpa impending eclampsia dan
preeklampsia berat dengan impending eclampsia.

Kriteria preeklampsia berat :


1. Tekanan darah sistolik/diastolik > 160/110 mmHg sedikitnya enam jam pada dua kali
pemeriksaan. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di
rumah sakit dan telah menjalani tirah baring.
2. Proteinuria > 5 gram/24 jam atau > 3 + dipstik pada sampel urin sewaktu yang
dikumpulkan paling sedikit empat jam sekali.
3. Oliguria < 400 ml / 24 jam.
4. Kenaikan kadar kreatinin plasma > 1,2 mg/dl.
5. Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala persisten, skotoma,
dan pandangan kabur.
6. Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen akibat teregangnya kapsula
glisson.
7. Edema paru dan sianosis.
8. Hemolisis mikroangipatik karena meningkatnya enzim laktat dehidrogenase.
9. Trombositopenia ( trombosit < 100.000 mm3).
10. Oligohidroamnion, pertumbuhan janin terhambat, dan abrupsio plasenta.

a. Gangguan fungsi hepar karena peningkatan kadar enzim ALT dan AST.
Sedangkan tanda eklampsia sendiri dapat dilihat dari kejang yang dialami. Konvulsi pada
eklampsia dibagi menjadi 4 :
1. Tingkat awal atau aura. Berlangsung 30 detik. Mata penderita terbuka tanpa melihat,
kelopak mata bergetar demikian pula tangannya, dan kepala diputar ke kanan atau ke
kiri.
2. Kejang tonik yang berlangsung 30 detik. Pada saat ini otot jadi kaku, wajah kelihatan
kaku, tangan menggenggam, kaki membengkok kedalam.pernapasan berhenti, muka
menjadi sianotik, lidah dapt tergigit.
3. Kejang klonik berlangsung 1-2 menit. Semua otot berkontraksi dan berulang-ulang
dalam tempo yang cepat.
4. Tingkatan koma.

d. Penatalaksanaan
Pre-eklampsia
Tujuan dasar dari penatalaksanaan preeklampsia adalah :
1. Terminasi kehamilan dengan kemungkinan setidaknya terdapat trauma pada ibu
maupun janin
2. Kelahiran bayi yang dapat bertahan hidup
3. Pemulihan kesehatan lengkap pada ibu

Persalinan merupakan pengobatan untuk preeklampsia. Jika diketahui atau


diperkirakan janin memiliki usia gestasi preterm, kecenderungannya adalah
mempertahankan sementara janin di dalam uterus selama beberapa minggu untuk
menurunkan risiko kematian neonatus.
Khusus pada penatalaksanaan preeklampsia berat (PEB), penanganan terdiri
daripenanganan aktif dan penanganan ekspektatif. Adapun terapi medikamentosa yang
diberikan pada pasien dengan PEB antara lain adalah :
a. Tirah baring, pengawasan kesadaran, observasi tana vital dan denyut jantung janin.
b. Oksigen.
c. Kateter menetap dan ukur jumlah urin.
d. Cairan intravena. Cairan intravena yang dapat diberikan dapat berupa kristaloid
maupun koloid dengan jumlah input cairan 1500 ml/24 jam dan berpedoman pada
diuresis, insensible water loss, dan central venous pressure (CVP). Balance cairan ini
harus selalu diawasi.
e. Magnesium sulfat (MgSO4). Obat ini diberikan dengan dosis 10 ml (4 gr) MgSO4
40% secara intravena loading dose dalam 4-5 menit. Kemudian dilanjutkan dengan
MgSO4 40% sebanyak 15 ml (6 gr) dalam 500 cc ringer laktat (RL) selama 6 jam.
Magnesium sulfat ini diberikan dengan beberapa syarat, yaitu:
1. Refleks patella normal
2. Frekuensi respirasi >16x per menit
3. Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5 cc/kgbb/jam
4. Disiapkannya kalsium glukonas 1 gr (20 ml dalam larutan 10%) IV sebagai
antidotum. Bila nantinya ditemukan gejala dan tanda intoksikasi maka kalsium
glukonas tersebut diberikan dalam tiga menit secara perlahan-lahan sampai
pernapasan mulai lagi.
Untuk dosis pemeliharaan dapat diberikan MgSO4 40% 1 g/jam melalui infus RL
yang diberikan sampai 24 jam postpartum/ kejang yang terakhir.
f. Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110 mmHg. Pilihan
antihipertensi yang dapat diberikan adalah nifedipin 10 mg oral yang dapat diulang
sampai 8 kali/24 jam. Jika respons tidak membaik setelah 10 menit, berikan tambahan
5 mg nifedipin sublingual.
g. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita usia kehamilan 24-
34 minggu yang berisiko melahirkan prematur, termasuk pasien dengan PEB.

Eklampsia
Tujuan utama pengobatan eklampsia adalah menghentikan berulangnya kejang dan
mengahiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah ibu mengijinkan.
Pengawasan dan perawatan intensif sangat penting.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kasus-kasus kegawatdaruratan obstetri merupakan salah satu panyebab kematian ibu


terbanyak akibat perdarahan yang tidak teratasi. Perdarahan pada awal kehamilan seperti
abortus, mola hidatidosa, dan kehamilan ektopik terganggu dapat menyebabkan kekurangan
darah yang banyak pada ibu jika tidak diatasi dengan baik. Begitupun dengan perdarahan
pada kehamilan trimester akhir maupun perdarahan post persalinan. Perdarahan yang terjadi
dapat mengakibatkan kematian pada ibu.
Diagnosis secara dini dapat mempermudah tenaga kesehatan terutama dokter untuk
memberikan penanganan secara cepat terhadap perdarahan yang dialami ibu dalam
kehamilannya, sehingga dapat meminimalisir komplikasi yang yang akan terjadi bila tidak
ditangani dengan cepat.
Penatalaksanaan pada kasus-kasus kegawatdaruratan obstetri pada dasarnya adalah
memperbaiki keadaan umum ibu dan mengakhiri segera perdarahan yang dialaminya.
Sehingga yang paling penting adalah menangani perdarahan yang dialami agar mengurangi
resiko terjasinya syok dan berakhir pada kematian ibu.
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham F.G, Leveno K.J, Bloom S.L, et all. Williams Obstetric. Twenty-Fourth Edition.
McGraw-Hill Education. United States of America. 2014

Edmonds K. Dewhurst Textbook of Obstetrics & Gynaecology. Seventh Edition. Blackwell


Publishing. United Kingdom. 2007

Palmer C, D’Angelo R, Paech MJ. Handbook of Obstetrics Anesthiesia. BIOS Scientific


Publisher. United States of America. 2007

Rayburn, William. Obstetrics and Gynaecology Clinics of North America. Elsevier Saunders.
United States of America. 2007

Nienke E, Massuger F, Schiif P, et all. Early Identification of Resistance to First-Line Single-


Agent Methotrexate in Patients With Persistent Trophoblastic Disease. Journal of
Clinical Oncology. American Society of Clinical Oncology. 2006

Gibs R, Karlan B, Haney A, et all. Danforth’s Obstetrics and Gynecology. Lippincott


Williams & Wilkins. United Kingdom. 2008

Reece Albert, Hobbins John. Clinical Obstetrics The Fetus & Mother. Third Edition.
Blackwell Publishing. United Kingdom. 2007

Pei San Lim. Atony Uterine : Management Strategies. Universitas Kebangsaan Malaysia
Medical Center. Malaysia. 2012

Clarke J, Cleary B, Dunlevy F, et all. The Diagnosis and Management of Pre-eclampsia and
Eclampsia. Institute of Obstetricians & Gynaecologist Royal College of Physicians
of Ireland. 2012

Gibson P, Smith V. Hypertension and Pregnancy. Diunduh dari :


http://www.medscape.com/hypertensionandpregnancy. 15 maret 2021

Anda mungkin juga menyukai