Anda di halaman 1dari 142

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP DASAR ASUHAN

KEPERAWATAN JIWA

Oleh :

NI WAYAN ADELIA ARMITA


NIM: 209012491

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL

A. Konsep Dasar Teori


1. Definisi
Isolasi sosial merupakan kondisi dimana pasien selalu merasa sendiri dengan
merasa kehadiran orang lain sebagai ancaman (Kirana, 2018). Isolasi sosial merupakan
keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali
tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya (Karundeng, 2016).
Isolasi sosial sebagai salah satu gejala negatif pada skizofrenia digunakan oleh
klien untuk menghindar dari orang lain agar pengalaman yang tidak menyenangkan
dalam berhubungan dengan orang lain tidak terulang lagi (Wakhid et al., 2013)
2. Rentang Respon Sosial
Respon Adaptif Respon Maladaptif

- Solitude - Kesepian - Manipulasi


- Otonomi - Menarik diri - Impulsif
- Kebersamaan - Ketergantungan - Narkisme
- Saling ketergantungan
Gambar 1. Rentang respon sosial
1. Rentang Respon Adaptif
a. Menyendiri ( Solitute)
Merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan seseorang untuk
merenungkan apa yang telah dilakukan dilingkungan sosialnya dan suatu cara
mengevaluasi diri untuk menentukan langkah selanjutnya.
b. Otonomi
Merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide,
pikiran perasaan dalam hubungan sosial.
c. Kebersamaan
Adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut
mampu untuk saling memberi dan menerima.
d. Saling ketergantungan
Merupakan kondisi saling tergantung antara individu dengan orang lain dalam
membina hubungan interpersonal.
2. Rentang respon antara adaptif dan maladaptif
a. Kesepian
Merupakan kondisi klien yang sendiri tanpa teman.
b. Menarik diri
Merupakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina
hubungan secara terbuka dengan orang lain.
c. Ketergantungan
Terjadi apabila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri atau
kemampuannya untuk berfungsi secara sukses.
3. Rentang respon maladaftip
a. Manipulasi
Merupakan gangguan hubungan social yang terdapat pada individu yang
menganggap orang lain sebagai objek, hubungan terpusat pada pengendalian dan
individu berorientasi pada diri sendiri atau pada tujuan, bukan berorientasi pada
orang lain.
b. Impulsif
Yaitu suatu keadaan dimana klien tidak mampu merencanakan suatu, tidak
mampu belajar dari pengalaman, penilaian yang buruk dan tak dapat diandalkan.
c. Narkisme
Merupakan suatu keadaan dimana harga diri klien rapuh, secara terus menerus
berusaha mendapatkan penghargaan pujian, sikap egosentris, pencemburu dan
marah jika orang tidak mendukung.
3. Faktor Predisposisi dan Presipitasi
Menurut Stuart dan Sundeen, perilaku menarik diri dipengaruhi oleh faktor
predisposisi atau faktor yang mungkin mempengaruhi terjadinya gangguan jiwa.
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yaitu faktor yang bisa menimbulkan respon sosial yang
maladaptif. Faktor yang mungkin mempengaruhi termasuk :
1) Perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan mencetuskan seseorang
akan mempunyai masalah respon maladaptif.
2) Biologik
Adanya keterlibatan faktor genetik, status gizi, kesehatan umum yang lalu dan
sekarang.Ada bukti terdahulu tentang terlibatnya neurotransmiter dalam
perkembangan gangguan ini, tetepi masih perlu penelitian.
3) Sosiokultural
Isolasi karena mengadopsi norma, prilaku dan sistem nilai yang berbeda dari
kelompok budaya mayoritas, seperti tingkat perkembangan usia, kecacatan,
penyakit kronik, pendidikan, pekerjaan dan lain-lain.
b. Faktor Presipitasi
Stressor pencetus pada umumnya mencakup kejadian kehidupan yang penuh
stress yang mempengaruhi kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang
lain dan menyebabkan ansietas.
Stressor pencetus dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu :

1) Stressor sosiokultural
Menurunnya stabilitas keluarga dan berpisah dari orang yang berarti, misalnya
perceraian, kematian, perpisahan kemiskinan, konflik sosial budaya (peperangan,
kerusuhan, kerawanan) dan sebagainya.
2) Stressor Psikologik
Ansietas berat yang berkepanjangan dan bersamaan dengan keterbatasan
kemampuan untuk mengatasinya, misalnya perasaan cemas yang mengambang,
merasa terancam.
4. Tanda dan Gejala
Tanda-tanda pasien mengalami isolasi sosial, diantaranya :
1. Kurang spontan, apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
2. Menghindar dari orang lain
3. Komunikasi kurang atau tidak ada
4. Tidak ada kontak mata
5. Menolak berhubungan
6. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari
Batasan karakteristik lainnya seperti :
1. Menyendiri dalam ruangan
2. Tidak berkomunikasi, menarik diri
3. Tidak melakukan kontak mata
4. Meringkuk ditempat tidur dengan punggung menghadap ke pintu
5. Menyatakan secara verbal atau memperlihatkan ketidaknyamanan dalam situasi-
situasi sosial
6. Disfungsi interaksi dengan teman sebaya, keluarga, atau orang lain
7. Terkadang mendekati perawat untuk berinteraksi, namun kemudian menolak untuk
berespon terhadap penerimaan perawat terhadap dirinya.
5. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
1) Haloperidol (HPD)
a) Indikasi, Berdaya berat dalam kemampuan, menilai realitas dalam fungsi
internal serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari.
b) Mekanisme kerja, Obat anti psikosi dalam memblokade dopamine pada reseptor
pasca sinoptik neuron di otak khususnya system limbik dan system ekstra
piramidal.
c) Efek samping, Sedasi gangguan otonomik, gangguan endokrin.
d) Kontra indikasi, Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, dan kelainan jantung.
2) Trihexipenidyl (THP)
a) Indikasi, Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca encephalitis dan
idiopatik
b) Mekanisme kerja, Sinergis dengan kinidine, obat anti depresi dan anti kolinergik
lainnya.
c) Efek samping, Mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah,
binggung, takikardi, retensi urine.
d) Kontra indikasi, Hipersensitif terhadap trihexipenidyl, psikosis berat,
psikoneurosis, dan obstruksi saluran cerna.
3) Risperidone
a) Indikasi, Untuk skizofreniaakut dan kronik, keadaan psikotik lain dengan gejala
(halusinasi, delusi, curiga, gangguan emosi) atau mengurangi gejala afektif
berhubungan dengan skizofrenia.
b) Efek samping, Insomnia, agitasi, cemas, sakit kepala, somnolen, lelah, takikardi.
c) Kontra indikasi, Hipotensi, penyakit ginjal, lanjut usia, Parkinson, epilepsi.
b. Terapi somatic
Terapi somatis adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa
dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif dengan
melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik klien. Walaupun yang diberikan
perlakuan fisik adalah fisik klien, tetapi target terapi adalah perlakuan klien. Jenis terapi
somatik adalah meliputi pengikatan, ECT, isolasi, dan fototerapi
c. Pengikatan
Pengikatan adalah terapi menggunakan alat mekanik atau manual untuk membatasi
mobilitas fisik klien yang bertujuan untuk melindungi cedera fisik pada klien sendiri atau
orang lain.
d. Terapi Kejang Listrik/Elektro Convulsive Therapy (ECT)
Adalah bentuk terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang (Grandmal) dengan
mengalirkan arus listrik kekuatan rendah (2-3 joule) melalui electrode yang ditempelkan
di bebrapa titik pada pelipis kiri/kanan (lobus  frontalis) klien.
e. Isolasi
Isolasi adalah bentuk terapi dengan menempatkan klien sendiri di ruangan tersendiri
untuk mengendalikan perilakunya dan melindungi klien, orang lain, dan lingkungan dari
bahaya potensial yang mungkin terjadi.
f. Fototerapi
Fototerapi adalah terapi yang diberikan dengan memaparkan klien pada sinar terang
5-10 x lebih terang daripada sinar ruangan dengan posisi klien duduk, mata terbuka, pada
jarak 1,5 meter di depan klien diletakkan lampu setinggi mata.

g. Terapi Modalitas
Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Tetapi ini diberikan
dalam upaya mengubah perilaku klien dari perilaku yang maladaptif menjadi perilaku
adaptif. Jenis-jenis terapi modalitas antara lain:
1) Aktifitas Kelompok
Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) adalah suatu bentuk terapi yang didasarkan
pada pembelajaran hubungan interpersonal. Fokus terapi aktifitas kelompok adalah
membuat sadar diri (self-awereness), peningkatan hubungan interpersonal, membuat
perubahan, atau ketiganya.
2) Terapi keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan
langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) klien. Perawat membantu keluarga agar
mampu melakukan lima tugas kesehatan yaitu mengenal masalah kesehatan,
membuat keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga
yang sehat, menciptakan lingkungan yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada
dalam masyarakat.
h. Terapi Rehabilitasi
Program rehabilitasi dapat digunakan sejalan dengan terapi modalitas lain atau berdiri
sendiri, seperti Terapi okupasi, rekreasi, gerak, dan musik.
i. Terapi Psikodrama
Psikodrama menggunakan struktur masalah emosi atau pengalaman klien dalam
suatu drama. Drama ini memberi kesempatan pada klien untuk menyadari perasaan,
pikiran, dan perilakunya yang mempengaruhi orang lain.
j. Terapi Lingkungan
Terapi lingkunagan adalah suatu tindakan penyembuhan penderita dengan gangguan
jiwa melalui manipulasi unsur yang ada di lingkungan dan berpengaruh terhadap proses
penyembuhan. Upaya terapi harus bersifat komprehensif, holistik, dan multidisipliner.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA KLIEN ISOS
1. PENGKAJIAN
a. Identitas
Meliputi nama klien , umur , jenis kelamin , status perkawinan, agama, tangggal
MRS , informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat klien.Sering
ditemukan pada usia dini atau muncul pertama kali pada masa pubertas.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama yang menyebabkan pasien dibawa ke rumah sakit biasanya akibat
adanya kemunduran kemauan dan kedangkalan emosi. Keluhan biasanya berupa
menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi kurang atau tidak ada , berdiam
diri dikamar ,menolak interaksi dengan orang lain ,tidak melakukan kegiatan sehari –
hari, tergantung pada orang lain.
c. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi sangat erat kaitannya dengan faktor etiologi yakni keturunan,
endokrin, metabolisme ,ssp ,dan kelemahan ego. Kehilangan, perpisahan, penolakan
orang tua ,harapan orang tua yang tidak realistis ,kegagalan/frustasi berulang, tekanan
dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial. Terjadi trauma yang tiba-tiba
misalnya harus dioperasi, kecelakaan dicerai suami, putus sekolah ,PHK, perasaan
malu karena sesuatu yang terjadi ( korban perkosaan, tituduh kkn, dipenjara tiba –
tiba) perlakuan orang lain yang tidak menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri
sendiri yang berlangsung lama.
d. Aspek Fisik/ biologi
Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan , TB, BB) dan keluhan fisik
yang dialami oleh klien.
e. Aspek Psikososial
1) Genogram
Orang tua menderita skizofrenia,salah satu kemungkinan anaknya 7-16 %
skizofrenia,bila keduanya menderita 40-68%,saudara tiri kemungkinan 0,9-1,8
%,saudara kembar 2-15 %,dan saudara kandung 7-15 %.
2) Konsep diri
Kemunduran kemauan dan kedangkalan emosi yang mengenai pasien akan
mempengaruhi konsep diri pasien.
a) Citra tubuh :
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak
menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi.Menolak
penjelasan perubahan tubuh, persepsi negatif tentang tubuh. Preokupasi
dengan bagian tubuh yang hilang, mengungkapkan keputus asaan,
mengungkapkan ketakutan.
b) Identitas diri
Ketidak pastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan dan tidak
mampu mengambil keputusan.
c) Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit, proses
menua, putus sekolah, PHK.
d) Ideal diri
Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya: mengungkapkan
keinginan yang terlalu tinggi.
e) Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri , rasa bersalah terhadap diri sendiri ,
gangguan hubungan sosial , merendahkan martabat , mencederai diri, dan
kurang percaya diri.
3) Hubungan sosial
Klien cenderung menarik diri dari lingkungan pergaulan, suka melamun,dan
berdiam diri.
4) Spiritual
Aktivitas spiritual menurun seiring dengan kemunduran keinginan beraktivitas.
5) Status mental
a) Penampilan diri
Pasien terlihat lesu, tidak bergairah, rambut acak-acakan, kancing baju tidak
tepat, resleting tak terkunci,baju tak dikancing,baju terbalik sebagai
manifestasi kemunduran kemauan pasien .
b) Pembicaraan
Nada suara rendah,lambat,kurang bicara,apatis.
c) Aktivitas motorik
Kegiatan yang dilakukan tidak bervariatif, kecenderungan mempertahankan
pada satu posisi yang dibuatnya sendiri (katalepsia).
d) Emosi
Emosi dangkal
e) Afek
Tumpul, tak ada ekspresi muka
f) Interaksi selama wawancara
Cenderung tidak kooperatif, kontak mata kurang, tidak mau menatap lawan
bicara, diam.
g) Persepsi
Tidak terdapat halusinasi atau waham
h) Proses berpikir
Gangguan proses berpikir jarang ditemukan
i) Kesadaran
Kesadaran berubah, kemauan mengadakan hubungan serta pembatasan
dengan dunia luar dan dirinya sendiri sudah terganggu pada taraf tidak sesuai
dengan kenyataan (secara kualitatif)
j) Memori
Tidak ditemukan gangguan spesifik, orientasi tempat, waktu dan orang.
k) Kemampuan penilaian
Tidak dapat mengambil keputusan, tidak dapat bertindak dalam suatu
keadaan, selalu memberikan alasan meskipun tidak jelas dan tidak tepat.
l) Tilik diri
Tidak ada yang khas.
6) Kebutuhan sehari-hari
Pada permulaaan, penderita kurang memperhatikan diri dan
keluarganya,makin mundur dalam pekerjaan akibat kemunduran kemauan. Minat
untuk memenuhi kebutuhan sendiri sangat menurun dalam hal makan,
BAB/BAK, mandi, berpakaian, dan istirahat tidur.

2. Pohon Masalah

Risiko tinggi perubahan sensori persepsi : halusinasi

Isolasi sosial : Menari Diri Devisit Perawatan Diri

Mekanisme Koping Tidak Efektif

3. Masalah keperawatan
a. Kerusakan interaksi sosial: menarik diri.
b. Harga diri rendah
c. Perubahan persepsi sensori: halusinasi
d. Resiko perilaku kekerasan
e. Defisit perawatan diri
 Data yang perlu dikaji:
a. Data objektif:
a. klien hanya mengatakan ya dan tidak
b. Data Subjektif:
a. Gangguan pola makan: tidak ada nafsu makan/minum berlebihan.
b. Berat badan menurun/meningkat drastis
c. Kemunduran kesehatan fisik
d. Tidur berlebihan
e. Tinggal di tempat tidur dalam waktu yang lama.
f. Banyak tidur siang, kurang bergairah, tidak memperdulikan lingkungan.
g. Aktivitas menurun, mondar-mandir/ sikap mematung, mekakukan gerakan
secara berulang (jalan mondar-mandir).
h. Menurunnya kegiatan seksual.
i. Kurang responsif dan minat terhadap orang lain.
j. Kegagalan untuk membina suatu hubungan.
k. Krangnya kontak mata.

4. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan interaksi social : menarik diri ( core problem )
b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah ( etiologi )
c. Perubahan sensori persepsi :halusinasi(akibat)
1. Rencana tindakan keperawatan pada klien dengan isolasi sosial : menarik diri

Hari/Tgl Diagnosa Perencanaan


keperawatan
Tujuan Kriteria evaluasi

Isolasi sosial TUM: Setelah 4 x Setelah 2 x 1 menit pertemuan Intervensi Rasional

15 menit klien klien mampu membina


dapat berinteraksi hubungan saling percaya
dengan orang lain dengan perawat
TUK 1: klien 1. Klien dapat 1. Bina hubungan saling Hubungan saling percaya
dapat membina mengungkapkan perasaan percaya dengan merupakan langkah awal
hubungan saling dan keberadaannya secara menggunakan prinsip untuk menentukan
percaya (BHSP) verbal komunikasi terapeutik keberhasilan rencana
a. Klien mau menjawab a. Sapa klien dengan selanjutnya
salam ramah, baik verbal
b. Klien mau berjabat maupun norverbal
tangan b. Perkenalkan diri
c. Mau menjawab dengan sopan
pertanyaan c. Tanyakan nama
d. Ada kontak mata lengkap dan nama
e. Klien mau duduk panggilan yang disukai
berdampingan dengan pasien
perawat d. Jelaskan tujuan
pertemuan
e. Jujur dan tepati janji
f. Tunjukan sikap empati
dan menerima klien
apa adanya
g. Beri perhatian pada
klien dan perhatikan
kebutuhan klien
TUK 2 Klien dapat menyebutkan 1. Berikan kesempatan Dengan mengungkapkan
Klien dapat penyebab isolasi sosial yang kepada klien untuk perasaan, bisa mengetahui
menyebutkan berasal dari: mengungkapkan penyebab isolasi sosial
penyebab isolasi a. Diri sendiri perasaan penyebab
sosial b. Orang lain isolasi sosial atahu tidak
c. Lingkungan mau bergaul.
2. Diskusikan bersama
klien tentang perilaku
menarik diri, tanda dan
gejala.
3. Berikan pujian terhadap
kemampuan klien
mengungkapkan
perasaannya
TUK 3 klien dapat Klien dapat menyebutkan 1. Kaji pengetahuan klien Reinforment dapat
menyebutkan keuntungan berhubungan tentang keuntungan dan meningkatkan harga diri
keuntungan dengan orang lain, misalnya manfaat bergaul dengan
berhubungan banyak teman, tidak sendiri orang lain
dengan orang lain dan bisa diskusi 2. Beri kesempatan kepada
dan kerugian tidak klien untuk
berhubungan mengungkapkan
dengan orang lain perasaannya tentang
keuntungan berhubungan
dengan orang lain
3. Diskusikan bersama
klien tentang manfaat
berhubungan dengan
orang lain
4. Kaji pengetahuan klien
tentang kerugian bila
tidak berhubungan
dengan orang lain
a. Beri kesempatan
klien untuk
mengungkapkan
perasaan tentang
kerugian bila tidak
berhubungan dengan
orang lain
b. Diskusikan bersama
klien tentang
kerugian tidak
berhubungan dengan
orang lain
c. Beri reinforCment
positif terhadap
kemampuan
mengungkapkan
perasaan tentang
kerugian tidak
berhubungan dengan
orang lain
TUK 4 klien dapat Klien dapat menyebutkan 1. Kaji kemampuan klien Mengetahui sejauh mana
melaksanakan kerugian tidak berhubungan membina hubungan pengetahuan klien tentang
hubungan sosial dengan orang lain misalnya dengan orang lain berhubungan dengan orang
secara bertahap sendiri, tidak punya teman dan Dorong dan bantu klien lain.
sepi untuk berhubungan
dengan orang lain
melalui:
a. Klien-perawat
b. Klien-perawat-
perawat lain
c. Klien-perawat-
perawat lain- klien
lain
d. Klien-kelompok
kecil
2. Bantu klien
mengevaluasi manfaat
berhubungan dengan
orang lain
3. Diskusikan jadwal harian
yang dapat dilakukan
bersama klien dalam
mengisi waktu
4. Motivasi klien untuk
mengikuti kegiatan
terapi aktivitas kelompok
sosialisasi
5. Beri reinforcement atas
kegiatan klien dalam
kegiatan ruangan
TUK 5 klien dapat Klien dapat 1. Dorong klien untuk Agar klien lebih percaya diri
mengungkapkan mendemonstrasikan hubungan mengungkapkan untuk berhubungan dengan
perasaannya dengan orang lain perasaannya bila orang lain.
setelah a. klien-perawat berhubungan dengan Mengetahui sejauh mana
berhubungan b. klien-perawat-perawat lain orang lain pengetahuan klien tentang
dengan orang lain c. klien-perawat-perawat lain- 2. Diskusikan dengan klien kerugian bila tidak
klien lain manfaat berhubungan berhubungan dengan orang
d. klien-kelompok kecil dengan orang lain lain
3. Beri reinforCment positif
atas kemampuan klien
mengungkapkan
perasaan manfaat
berhubungan dengan
orang lain
TUK 6 Klien dapat Klien dapat mengungkapkan 1. BHSP dengan keluarga Agar klien lebih percaya diri
memberdayakan perasaan setelah berhubungan a. Salam, perkenalkan dan tahu akibat tidak
sistem pendukung dengan orang lain untuk: diri berhubungan dengan orang
atahu keluarga a. Diri sendiri b. Sampaikan tujuan lain.
atahu keluarga b. Orang lain c. Membuat kontrak
mampu d. Explorasi perasaan Mengetahui sejauh mana
mengembangkan Keluarga dapat: keluarga pengetahuan tentang
kemampuan klien a. Menjelaskan 2. Diskusikan dengan membina hubungan dengan
untuk perasaannya anggota keluarga orang lain.
berhubungan b. Menjelaskan cara tentang:
dengan orang lain. merawat klien menarik a. Perilaku menarik diri Klien mungkin dapat
diri b. Penyebab perilaku mengoobati perasaan tidak
c. Mendemonstrasikan menarik diri nyaman, bimbang karena
cara perawatan klien c. Cara keluarga memulai hubungan dengan
menarik diri menghadapi klien orang lain.
d. Berpartisipasi dalam yang sedang menarik Reinforceiment dapat
perawatan klien diri. meningkatkan kepercayaan
menarik diri. 3. Dorong anggota keluarga diri klien.
untuk memberikan
dukungan kepada klien Dengan dukungan keluarga,
berkomunikasi dengan klien akan merasa
klien berkomunikasi diperhatikan.
dengan orang lain.
4. Anjurkan anggota
keluarga untuk secara
rutin dan bergantian
mengunjungi klien
secara bergantian
minimal 1x seminggu.
5. Beri reinforceiment atas
hal-hal yang telah
dicapai oleh keluarga.
Intervensi
berdasarkan SP pasien dan keluarga

Isolasi social
SP 1 PASIEN SP 1 KELUARGA
1. Mengidentifikasi penyebab isolasi social 1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga
2. Berdikusi dengan pasien tentang manfaat dalam merawat pasien.
berinteraksi dengan orang lain 2. Menjelaskan pengertian,tanda dan gejala isolasi
3. Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian social yang dialami pasien beserta proses
tidak berinteraksi dengan orang lain terjadinya.
4. Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian 3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien dengan
tidak berinteraksi dengan orang lain isolasi social
5. Menganjurkan pasien memasukkan
kegiatan latihan berbincang-bincang
dengan orang lain dalam kegiatan harian

SP 2 PASIEN SP 2 KELUARGA
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Melatih keluarga mempraktikan cara merawat
pasien pasien dengan isolasi social.
2. Memberikan kesempatan kepada pasien 2. Melatih keluarga melakukan cara merawat
mempratikan cara berkenalan dengan satu langsung pada pasien isolasi sosial
orang
3. Membantu pasien memasukkan kegiatan
bercakap-cakap dengan orang lain sebagian
salah satu kegiatan harian

SP 3 PASIEN SP 3 KELUARGA
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas
pasien dirumah termasuk minum obat (perencanaan
2. Memberikan kesempatan kepada pasien pulang)
berkenalan dengan dua orang atau lebih 2. Menjelaskan tindakan tindak lanjut pasien setelah
3. Menganjurkan pasien memasukkan pulang.
kedalam jadwal kegiatan harian

2. Implementasi
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang sudah dirumuskan.
3. Evaluasi
Selanjutnya, setelah dilakukan tindakan keperawatan, evaluasi dilakukan terhadap
kemampuan pasien menarik diri serta kemampuan perawat dalam merawat pasien dengan
menarik diri
DAFTAR PUSTAKA

Ayu Candra Kirana, S. (2018) ‘Gambaran Kemampuan Interaksi Sosial Pasien Isolasi
Sosial Setelah Pemberian Social Skills Therapy Di Rumah Sakit Jiwa’, Journal of
Health Sciences, 11(1). doi: 10.33086/jhs.v11i1.122.
Berhimpong, E., Rompas, S. and Karundeng, M. (2016) ‘PENGARUH LATIHAN
KETERAMPILAN SOSIALISASI TERHADAP KEMAMPUAN
BERINTERAKSI KLIEN ISOLASI SOSIAL DI RSJ Prof. Dr. V. L.
RATUMBUYSANG MANADO’, Jurnal Keperawatan UNSRAT, 4(1), p.
109471.
Wakhid, A. et al. (2013) ‘Penerapan Terapi Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien
Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan Pendekatan Model Hubungan
Interpersonal Peplau Di Rs Dr Marzoeki Mahdi Bogor’, Mei, 1(1), pp. 34–48.
Keliat,Budi Ana. 2010. Proses keperawatan kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta, EGC
RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang, 2012. Workshop Standar Asuhan & Bimbingan
Keperawatan Jiwa RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang. Magelang.
Santosa, Budi. 2015. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda, 2005 – 2006. Jakarta :
Prima Medika.
Stuart & Sundeen, 2012. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC
Sujono & Teguh , 2010. Asuhan Keperawatan Jiwa Edisi 1. Yogyakarta : Graha Ilmu.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN
GANGGUAN HARGA DIRI RENDAH

A. Konsep Dasar Teori


1. Pengertian
Harga diri merupakan penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri. Frekuensi pencapaian tujuan
akan harga diri rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu sering gagal, maka
cenderung harga diri rendah.(Townsed, 2015)
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan
diri yang negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri merasa
gagal dalam dalam mencapai keinginan (Yosep, 2012).

2. Rentang Respon

RENTANG RESPON KONSEP DIRI

Respon adaptif Respon maladaptif

Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kerancuan Depersonalisasi


Diri positif rendah identitas

Keterangan:
a. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri positif tentang latar belakang pengalaman
nyata yang sukses diterima.
b. Konsep diri positif adalah individu mempunyai pengalaman yang positif dalam
beraktualisasi diri.
c. Harga diri rendah adalah transisi antara respon diri adaptif dengan konsep diri
maladaptif.
d. Kerancuan identitas adalah kegagalan individu dalam kemalangan aspek
psikososial dan kepribadian dewasa yang harmonis.
e. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis terhadap diri sendiri yang
berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan dirinya
dengan orang lain.
3. Klasifikasi
Menurut Fitria (2012), harga diri rendah dibedakan menjadi 2, yaitu:
a. Harga diri rendah situasional adalah keadaan dimana individu yang sebelumnya
memiliki harga diri positif mengalami perasaan negatif mengenai diri dalam
berespon, terhadap suatu kejadian (kehilangan, perubahan).
b. Harga diri rendah kronik adalah keadaan dimana individu mengalami evaluasi diri
yang negatif mengenai diri atau kemampuan dalam waktu lama.

4. Etiologi
Harga diri rendah dapat terjadi secara :
a. Situasional, yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus operasi,
kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja, perasaan malu
karena sesuatu (korban perkosaan, dituduh korupsi, dipenjara tiba-tiba). Pada
klien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah, karena :
1) Privacy yang harus diperhatikan, misalnya : pemeriksaan fisik yang
sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan (pencukuran pubis,
pemasangan kateter, pemeriksaan perineal).
2) Harapan akan struktur bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena
dirawat/sakit/penyakit.
3) Perlakuan petugas kesehatan yang tidak menghargai, misalnya berbagai
pemeriksaan dilakukan tanpa penjelasan, berbagai tindakan tanpa persetujuan.
b. Kronik yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu sebelum
sakit/dirawat. Klien ini mempunyai cara berfikir yang negatif. Kejadian sakit dan
dirawat akan menambah persepsi negatif terhadap dirinya. Kondisi ini
mengakibatkan respons yang maladaptif.

5. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronik adalah penolakan orang
tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab
personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis (Fitria, 2012).
Faktor predisposisi citra tubuh adalah harga diri rendah (Yosep, 2012)
a. Penolakan
b. Kurang penghargaan, pola asuh overprotektif, otoriter, tidak konsisten, terlalu
dituruti, dan terlalu dituntut.
c. Persaingan antar saudara
d. Kesalahan dan kegagalan berulang
e. Tidak mampu mencapai standar yang terlalu tinggi
6. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis adalah hilangnya sebagian
anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan,
serta menurunnya produktivitas (Fitria, 2012).

7. Tanda dan gejala


a. Mengkritik diri sendiri
b. Menarik diri dari hubungan social
c. Pandangan hidup yang pesimis
d. Penolakan terhadap kemampuan diri sendiri
e. Pengurangan atau mengejek diri sendiri
f. Ekspresi wajah malu dan merasa bersalah (keliat, 2016).

8. Penatalaksanaan Medis
Terapi pada gangguan jiwa, khususnya skizofrenia dewasa ini sudah
dikembangkan sehingga klien tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih
manusiawi daripada masa sebelumnya. Penatalaksanaan medis pada gangguan konsep
diri yang mengarah pada diagnosa medis skizofrenia, khususnya dengan perilaku
harga diri rendah, yaitu:
a. Psikofarmakologi
Menurut Hawari (2013), jenis obat psikofarmaka, dibagi dalam 2 golongan
yaitu:
1) Golongan generasi pertama (typical)
Obat yang termasuk golongan generasi pertama, misalnya: Chorpromazine
HCL (Largactil, Promactil, Meprosetil), Trifluoperazine HCL (Stelazine),
Thioridazine HCL (Melleril), dan Haloperidol (Haldol, Govotil, Serenace).
2) Golongan kedua (atypical)
Obat yang termasuk generasi kedua, misalnya: Risperidone (Risperdal,
Rizodal, Noprenia), Olonzapine (Zyprexa), Quentiapine (Seroquel), dan
Clozapine (Clozaril).
b. Psikotherapi
Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada klien, baru dapat diberikan apabila
klien dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan dimana kemampuan
menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik.
Psikotherapi pada klien dengan gangguan jiwa adalah berupa terapi
aktivitas kelompok (TAK).
c. Therapy Kejang Listrik ( Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang dipasang satu
atau dua temples. Therapi kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak
mempan denga terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5
joule/detik. (Hawari, 2013).
d. Therapy Modalitas
Therapi modalitas/perilaku merupakan rencana pengobatan untuk
skizofrrenia yang ditujukan pada kemampuan dan kekurangan klien. Teknik
perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan
kemampuan sosial. Kemampuan memenuhi diri sendiri dan latihan praktis dalam
komunikasi interpersonal. Therapi kelompok bagi skizofrenia biasanya
memusatkan pada rencana dan masalah dalam hubungan kehidupan yang nyata.
(Stuart & Sundden, 2011,hal.728).
Therapy aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu therapy aktivitas
kelompok stimulasi kognitif/persepsi, theerapy aktivitas kelompok stimulasi
sensori, therapi aktivitas kelompok stimulasi realita dan therapy aktivitas
kelompok sosialisasi (Keliat dan Akemat,2016,hal.13). Dari empat jenis therapy
aktivitas kelompok diatas yang paling relevan dilakukan pada individu dengan
gangguan konsep diri harga diri rendah adalah therapyaktivitas kelompok
stimulasi persepsi. Therapy aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah
therapy yang mengunakan aktivitas sebagai stimulasi dan terkait dengan
pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil diskusi
kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah
(Keliat dan Akemat, 2016,hal.49)
e. Terapi somatik
Terapi somatik adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan tujuan
mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang adaptif dengan
melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik (Riyadi dan Purwanto, 2010).
Beberapa jenis terapi somatik, yaitu:
1) Restrain
Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau manual
untuk membatasi mobilitas fisik klien (Riyadi dan Purwanto, 2010).
2) Seklusi
Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam ruangan khusus
(Riyadi dan Purwanto, 2010).
3) Foto therapy atau therapi cahaya
Foto terapi atau sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini diberikan
dengan memaparkan klien sinar terang (5-20 kali lebih terang dari sinar
ruangan) (Riyadi dan Purwanto, 2010).
4) ECT (Electro Convulsif Therapie)
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan
menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik (Riyadi dan
Purwanto, 2010).
f. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan suatu kelompok atau komunitas dimana terjadi
interaksi antara sesama penderita dan dengan para pelatih (sosialisasi).
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan harga diri
rendah adalah:
a. Harga diri rendah kronik
b. Koping individu tidak efektif
c. Isolasi sosial
d. Gangguan sensori persepsi: halusinasi
e. Risiko perilaku kekerasan
Sedangkan data yang perlu dikaji pada pasien dengan harga diri rendah adalah:
a. Data subyektif
1) Mengungkapkan dirinya merasa tidak berguna.
2) Mengungkapkan dirinya merasa tidak mampu
3) Mengungkapkan dirinya tidak semangat untuk beraktivitas atau bekerja.
4) Mengungkapkan dirinya malas melakukan perawatan diri (mandi, berhias,
makan atau toileting).
b. Data obyektif
1) Mengkritik diri sendiri
2) Perasaan tidak mampu
3) Pandangan hidup yang pesimistis
4) Tidak menerima pujian
5) Penurunan produktivitas
6) Penolakan terhadap kemampuan diri
7) Kurang memperhatikan perawatan diri
8) Berpakaian tidak rapi
9) Berkurang selera makan
10) Tidak berani menatap lawan bicara
11) Lebih banyak menunduk
12) Bicara lambat dengan nada suara lemah.
2. Pohon Masalah
Pohon masalah pada pasien dengan harga diri rendah kronik adalah sebagai
berikut:

Risiko Perilaku Kekerasan

Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi Effect

Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah


Core Problem

Koping Individu Tidak Efektif Causa

3. Diagnosa Keperawatan
Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah berhubungan dengan koping individu tidak
efektif.
4. Intervensi

Perencanaan
No
Tgl Dx Dx keperawaatan Tujuan Kreteria Evaluasi Intervensi

1 Gangguan konsep diri:TUM: 1. Klien menunjukan ekspresi wajah1. Membina hubungan saling parcaya
harga diri rendah Klien memiliki konsep diri yang bersahabat, menunjukan rasa dengan menggunakan prinsip
positif senang, ada kontak mata, mau komunikasi terapeutik :
berjabat tangan, mau a. Sapa klien dengan ramah baik
TUK: menyebutkan nama, mau verbal maupun non verbal.
Klien dapat membina hubungan menjawab salam, klien mau b. Perkenalkan diri dengan sopan.
saling percaya dengan perawat duduk berdampingan dengan c. Tanyakan nama lengkap dan
perawat, mau mengutarakan nama panggilan yang disukai
masalah yang dihadapi klien.
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Tunjukan sikap empati dan
menerima klien apa adanya.
g. Beri perhatian dan perhatikan
kebutuhan dasar klien.

Klien dapat mengdentifikasi aspek2. Klien menyebutkan: 2. Diskusikan dengan klien tentang:
a. Aspek positif yang dimiliki klien,
keluarga, lingkungan.
b. Kemampuan yang dimiliki klien.
3. Bersama klien buat daftar tentang:
a. Aspek positif dan kemampuan a.   Aspek positif klien, keluarga,
yang dimiliki klien lingkungan
b. Aspek positif keluarga b. Kemampuan yang dimiliki klien
positif dan kemampuan yang c. Aspek positif lingkungan 4. Beri pujian yang realistis,
dimiliki klien hindarkan memberi penilaian negatif.

Klien dapat menilai kemampuan3. Klien mampu menyebutkan1. Diskusikan dengan klien kemampuan
yang dimiliki untuk dilaksanakan kemampuan yang dapatyang dapat dilaksanakan
dilaksanakan. 2.  Diskusikan kemampuan yang dapat
dilanjutkan pelaksanaanya.

Klien dapat merencanakan kegiatan4. Klien mampu membuat rencana3.  Rencanakan bersama klien aktivitas
sesuai dengan kemampuan yang kegiatan harian yang dapat dilakukan klien sesuai dengan
dimiliki kemampuan klien:
a. Kegiatan mandiri
b. Kegiatan dengan bantuan
4.  Tingkatkan kegiatan sesuai kondisi
klien.
5.  Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan
yang dapat klien lakukan.

Klien dapat melakukan kegiatan5. Klien dapat melakukan kegiatan1.  Anjurkan klien untuk melaksanakan
sesuai rencana yang dibuat. sesuai jadwal yang dibuat. kegiatan yang telah direncanakan.
2.  Pantau kegiatan yang dilaksanakan
klien.
3.  Beri pujian atas usaha yang dilakukan
klien.
4.  Diskusikan kemungkinan pelaksanaan
kegiatan setelah pulang.

Klien dapat memanfaatkan sistem6. Klien mampu memanfaatkan1.  Beri pendidikan kesehatan kepada
pendukung yang ada sistem pendukung yang adakeluarga tentang cara merawar klien
dikeluarga dengan harga diri rendah.
2.  Bantu keluarga memberikan
dukungan selama klien dirawat.
3.  Bantu klien menyiapkan lingkungan
dirumah.
5. Intervensi Berdasarkan SP Pasien Dan Keluarga
Harga Diri Pasien Keluarga
Rendah
SP I SP I
1. Mengidentifikasi kemampuan dan 1. Mendiskusikan masalah yang
aspek positif yang dimiliki pasien dirasakan keluarga dalam
2. Membantu pasien menilai merawat pasien.
kemampuan pasien yang masih 2. Menjelaskan pengertian, tanda
dapat digunakan. dan gejala harga diri rendah
3. Membantu pasien memilih kegiatan yang dialami pasien beserta
yang akan dilatih sesuai dengan proses terjadinya.
kemampuan pasien. 3. Menjelaskan cara-cara
4. Melatih pasien sesuai kemampuan merawat pasien harga diri
yang dipilih rendah.
5. Memberikan pujian yang wajar
terhadap keberhasilan pasien.
6. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.

SP II SP II
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Melatih keluarga
harian pasien. mempraktekkan cara merawat
2. Melatih kemampuan kedua. pasien dengan harga diri
3. Menganjurkan pasien memasukkan rendah.
dalam jadwal kegiatan harian. 2. Melatih keluarga melakukan
cara merawat langsung kepada
pasien harga diri rendah.

SP III
1. Membantu keluarga membuat
jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat
(discharge planning).
2. Menjelaskan follow up setelah
pulang.
SP III SP III
1. Evaluasi SP 1,2 1.Evaluasi kemampuan Keluarga
2.Latih hubungan social secara 2.Evaluasi Kemampuan Pasien
bertahap 3.RTL Keluarga (follow
3.Masukkan ke jadwal kegiatan up,rujukan)

5. Evaluasi
Adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada
klien
Evaluasi dibagi 2 :
1. Evaluasi proses (Formatif) dilakukan setiap selesai melakukan tindakan
2. Evaluasi hasil (Sumatif) dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan
khusus dan umum yang telah ditentukan dengan perawatan SOAP
Hasil yang ingin dicapai pada klien dengan kerusakan interaksi sosial (menarik diri) yaitu:
1. Dapat menunjukkan peningkatan harga diri. pengertian evaluasi
DAFTAR PUSTAKA

Fitria, N. 2012. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.

Hawari, D. 2013. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa: Skizofrenia. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Keliat, B.A. 2016. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Riyadi, S. Dan Purwanto, T. 2010. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Stuart & Sundden. 2011. Principle & Praktice of Psychiatric Nursing, ed. Ke-5. St Louis:
Mosby Year Book.

Townsed, M. C. 2015. Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3. Jakarta: EGC.

Yosep, I. 2012. Keperawatan Jiwa. Jakarta: Refika Aditama.


LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN
GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI

A. KONSEP DASAR HALUSINASI


1. Definisi
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan
internal (pikiran) dan rangsangn eksternal (dunia luar). Klien memberikan persepsi atau
pendapat tentang lingkungan tanpa adanya objek atau rangsangan yang nyata.
Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan terhadap lingkungan tanpa
stimulus yang nyata, artinya klien menginterpretasikan sesuatu yang nyata tanpa
stimulus atau rangsangan dari luar (Herman, 2011).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, parabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetul-
betulnya tidak ada (Damaiyanti, 2012).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan
internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau
pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai
contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara
(Direja, 2011).

2. Rentang Respon

Adaptif Mal Adaptif

Pikiran logis Kadang-kadang Waham


proses pikir
Persepsi akurat terganggu Halusinasi

Emosi konsisten Ilusi Kerusakan proses


dengan emosi
pengalaman Emosi berlebihan
Perilaku tidak
Perilaku cocok Perilaku yang terorganisasi
tidak biasa
Hubungan sosial Isolasi sosial
harmonis Menarik diri
Keterangan:

a. Respon adaptif
1) Pikiran logis yaitu pandangan yang mengarah pada kenyataan
2) Persepsi akurat yaitu pandangan yang tepat pada kenyataan
3) Emosi konsisten adalah pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari pengalaman
ahli
4) Perilaku social adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran
5) Hubungan social adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan
b. Respon psikososial
1) Proses piker terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan
2) Ilusi adalah penilaian yang salah tentang penerapan yang benar-benar terjadi
(objek nyata) karena rangsangan panca indera
3) Emosi berlebihan atau berkurang
4) Perilaku tidak biasa yaitu sikap dan tingkah laku yang melebihi batas kewajaran
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain
c. Respon maladaptif
1) Waham adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak
diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan social
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang
tidak realita atau tidak ada
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati
4) Perilaku tidak terorganisir yaitu suatu yang tidak teratur
5) Isolasi social yaitu kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan diterima
sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang negatif
mengancam.

3. Etiologi
Faktor penyebab halusinasi yaitu:
a. Predisposisi
1) Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah
frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stres.
2) Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi (unwanted
child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
3) Faktor biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang
berlebihan dialami seorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang
dapat bersifat halusiogenik neurokimia seperti buffofenon dan dimetytranferase
(DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya
neurotransmitter otak. Misalnya terjadi ketidakseimbangan acetylcholin dan
dopamin.
4) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak tanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien
dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih
kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa
faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit
ini.
b. Faktor Presipitasi
1) Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan
tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak
mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan
tidak nyata. Menurut Rawlins dan mencoba memecahkan masalah halusinasi
berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang
dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi
dapat dilihat dari lima simensi yaitu :
a) Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan
yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b) Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa
perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang
perintah tersebut hinnga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap
ketakutan tersebut.
c) Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya
halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang
menekan, namu merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang
dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol
semua prilaku klien.
d) Dimensi Sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat
membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan
tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga
diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata.
e) Dimensi Spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara
spiritual untuk mengucilkan dirinya. Irama sirkardiannya terganggu, karena ia
sering tidur larut malam dan bangun saat siang. Saat terbangun terasa hampa
dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memakai takdir tetapi lemah dalam
upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang
menyebabkan takdirnya memburuk.
4. Tanda dan gejala
Adapun Tanda dan gejala halusinasi menurt Direja, 2011 sebagai berikut :
a. Halusinasi Pendengaran
Data Objektif : Bicara atau ketawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, mengarahkan
telinga ke arah tertentu, menutup telinga.
Data Subjektif: Mendengar suara atau kegaduhan, mendengarkan suara yang
mengajak bercakap-cakap, mendengarkan suara yang menyuruh
melakukan sesuatu yang berbahaya.
b. Halusinasi Penglihatan
Data Objektif : Menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada sesuatu yang
tidak jelas.
Data Subjektif: Melihat bayangan, sinar bentuk geometris, bentuk kortoon,
melihat hantu atau monster.
c. Halusinasi Penghidungan
Data Objektif : menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu, menutup
hidung.
Data Subjektif : membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-
kadang bau itu menyenangkan.
d. Halusinasi Pengecapan
Data Objektif : Sering meludah, muntah.
Data Subjektif : Merasakan rasa seperti darah, urine atau feses.
e. Halusinasi Perabaan
Data Objektif : Menggaruk- garuk permukaan kulit.
Data Subjektif : menyatakan ada serangga di permukaan kulit, merasa tersengat
listrik.
5. Jenis-jenis
Menurut Kusumawati & Hartono (2011) membagi halusinasi menjadi 10 jenis,
antara lain sebagai berikut :
a. Halusinasi Pendengaran (auditory-hearing voices or sounds)
Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendenging atau suara bising yang
tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah kata atau kalimat
yang bermakna. Biasanya suara tersebut ditunjukkan pada penderita sehingga tidak
jarang penderita bertengkar dan berdebat dengan suara-suara tersebut. Suara tersebut
dapat dirasakan berasal dari jauh atau dekat bahkan mungkin datang dari tiap bagian
tubuhnya sendiri. Suara bisa menyenangkan, menyuruh berbuat baik, tetapi dapat
pula berupa ancaman, mengejek, memaki atau bahkan yang menakutkan dan
kadang-kadang mendesak atau memerintah untuk berbuat sesuatu seperti membunuh
atau merusak.
b. Halusinasi Penglihatan (visual-seeing persons or thinks)
Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik). Biasanya sering
muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut akibat
gambaran-gambaran yang mengerikan.
c. Halusinasi Penciuman (olfaktory-smelling odors)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan dirasakan
tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada penderita. Bau dilambangkan
sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai suatu kombinasi moral.
d. Halusinasi Pengecapan (gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi penciuman
penderita merasa mengecap sesuatu. Halusinasi gastorik lebih jarang dari
halusinasi gustatorik.
e. Halusinasi Raba (taktile-feeling bodily sensation)
Merasa diraba , disentuh, ditiup atau seperti ada ulat, yang bergerak di bawah
kulit. Terutama pada keadaan delirium toksis dan skizofrenia.
f. Halusinasi kinestetik
Merasa badannya bergerak dalam sebuah ruangan, atau anggota badannya
bergerak (umpamanya anggota badan bayangan atau “phantomlimb”).
g. Halusinasi visceral
Perasaan tertentu timbul di dalam tubuhnya.
1) Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya sudah
tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan yang ada
2) Direalisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungannya yang tidak sesuai
dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala sesuatu yang dialami seperti
impian.
h. Halusinasi hipnagogik :
Terdapat ada kalanya pada seorang yang normal, tepat sebelum tertidur persepsi
sensorik berkerja salah.
i. Halusinasi hipnopompik
Terdapat ada kalanya pada seorang yang normal, tepat sebelum terbangun sama
sekali dari tidurnya. Disamping itu ada pula pengalaman halusinatorik dalam
impian yang normal.
j. Halusinasi histerik
Timbul pada nerosa histerik karena konflik emosional.
k. Halusionis
Paling sering adalah halusinasi dengar yang berhubungan dengan penyalahgunaan
alcohol dan terjadi dalam sensorium yang jernih berbeda
6. Fase-fase halusinasi
Halusinasi berkembang menjadi empat fase, yaitu sebagai berikut (Yoseph, 2012) :
a. Fase pertama : Sleep Disorder
Fase awal seseorang sebelum muncul halusinasi. pada fase ini klien merasa
banyak masalah, ingin menghindar dari lingkungan, takut diketahui orang lain
bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin terasa sulit karena berbagai
stressor terakumulasi, misalnya kekasih hamil, terlibat narkoba, dihianati kekasih,
masalah di kampus, PHK di tempat kerja penyakit, utang, nilai di kampus, drop
out dan sebagainya. Masalah terasa menekan karena terakumulasi sedangkan
support system kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur
berlangsung terus menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien menganggap
lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecahan masalah.
b. Fase kedua : Comforting
Disebut juga fase comporting yaitu fase yang menyenangkan. Pada tahap ini
masuk dalam golongan nonpsikotik. Pasien mengalami emosi yang berlanjut
seperti adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan berdosa, ketakutan dan
mencoba memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan
bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat ia control bila kecemasannya
diatur, dalam tahp ini ada kecenderungan klien merasa nyaman dengan
halusinasinya.
c. Fase ketiga : Condemning
Disebut denga fase condemming atau anisietas berat yaitu halusinasi menjadi
menjijikan, termasuk dalam psikotik ringan. Pengalaman sensori klien menjadi
sering datang dan mengalami bias. Klien mulai tidak mampu lagi mengontrolnya
dan mulai berupaya menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang dipersepsikan
klien mulai menarik diri dari orang lain dengan intensitas waktu yang lama.
d. Fase keempat : Controlling
Adalah fase controling atau ansietas berat yaitu pengalaman sensori menjadi
berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik. Klien mencoba melawan suara-
suara atau sensory abnormal yang datang. Klien dapat merasakan kesepian bila
halusinasinya berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguan Psychotic.
e. Fase kelima : Conquering
Adalah fase conquering atau panik yaitu klien lebur dengan halusinasinya.
Termasuk dalam psikotik berat. Pengalaman sensorinya terganggu, klien mulai
merasa terancam dengan datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat
menuruti ancaman atau perintah yang ia dengar dari halusinasinya. Halusinasi
dapat berlangsung selama minimal 4 jam atau seharian bila klien tidak
mendapatkan komunikasi terapeutik.

7. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering digunakan dengan halusinasi:
a. Regresi, menjadi malas beraktivitas sehari-hari
b. Proyeksi, mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan tanggung
jawab kepada orang lain atau suatu benda
c. Menarik diri, sulit mencari orang lain dan asik dengan stimulus internal
d. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada halusinasi di bagi menjadi dua yaitu penatalaksanaan
medis dan penatalaksanaan keperawatan, yaitu :
a. Penatalaksanaan Medis
1) Psikofarmakoterapi
Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik/ skizofrenia biasanya
diatasi dengan menggunakan obat-obatan anti psikotik antara lain :
a) Golongan butirefenon : Haldol, Serenace, Ludomer. Pada kondisi akut biasanya
diberikan dalam bentuk injeksi 3x5 mg, im. Pemberian injeksi biasanya cukup
3x24 jam. Setelahnya klien bisa diberikan obat per oral 3x1,5 mg atau 3x5 mg.
b) Golongan Fenotiazine :Chlorpramizine/ Largactile/ Promactile. Biasanya
diberikan per oral. Kondisi akut biasanya diberikan 3x 100mg. Apabila kondisi
sudah stabil dosis dapat dikurangi 1x100 mg pada malam hari saja (Yosep,
2012).
2) Psikoterapi
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang grandmall
secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang
pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan pada skizoprenia
yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi
kejang listrik 4-5 joule/detik.
3) Rehabilitasi
Terapi kerja baik untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang lain,
penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri
lagi karena bila menarik diri dia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik.
Dianjurkan penderita untuk mengadakan permainan atau pelatihan bersama.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Terapi Aktivitas Kelompok yang diberikan pada pasien dengan Halusinasi yaitu
(Keliat, 2014):
1) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Kognitif/Persepsi
Klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang
pernah dialami. Kemampuan persepsi klien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap
sessi. Dengan proses ini, diharapkan respon klien terhadap berbagai stimulus
dalam kehidupan menjadi adatif. Aktivitas berupa stimulus dan persepsi. Stimulus
yang disediakan: baca artikel/majalah/buku/puisi, menonton acara TV (ini
merupakan stimulus yang disediakan), stimulus dari pengalaman masa lalu yang
menghasilkan proses persepsi klien yang maladaptive atau distruktif, misalnya
kemarahan, kebencian, putus hubungan, pandangan negative pada orang lain dan
halusinasi. Kemudian dilatih persepsi klien terhadap stimulus.
2) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulus Sensori
Aktivitas digunakan sebagai stimulus pada sensori klien. Kemudian diobservasi
reaksi sensori klien terhadap stimulus yang disediakan, berupa ekspresi perasaan
secara nonverbal (ekspresi wajah, gerakan tubuh). Biasanya klien yang tidak mau
mengungkapkan komunikasi verbal akan testimulasi emosi dan perasaannya, serta
menampilkan respons. Aktivitas yang digunakan sebagai stimulus adalah : musik,
seni menyanyi, menari. Jika hobby klien diketahui sebelumnya, dapat dipakai
sebagai stimulus, misalnya lagu kesukaan klien, dapat digunakan sebagai
stimulus.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Dalam keperawatan, pengkajian merupakan pengumpulan data subjektif dan objektif
secara sistematis dengan tujuan membuat penentuan tindakan keperawatan bagi
individu, keluarga dan komunitas (Damaiyanti, 2012).
a. Identitas klien dan penanggung
b. Keluhan utama atau alasan masuk
c. Faktor predisposisi
d. Aspek fisik atau biologis
e. Aspek psikososial
f. Status mental
g. Kebutuhan persiapan pulang
h. Mekanisme koping
i. Masalah psikososial dan lingkungan
j. Pengetahuan
k. Aspek medik
1) Kemudian data yang diperoleh dapat dikelompokkan menjadi dua macam sebagai
berikut :
a) Data Objektif
Ialah data yang ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melalui observasi
atau pemeriksaan langsung oleh perawat.
b) Data Subjektif
Ialah data yang disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarga. Data ini
diperoleh melalui wawancara perawat kepada klien dan keluarga. Data yang
langsung didapat oleh perawat disebut sebagai data primer, dan data yang di
ambil dari hasil catatan tim kesehatan lain sebagai data sekunder.
2) Menurut Damaiyanti, (2012) adapun format atau data fokus pada pengkajian klien
dengan gangguan pesepsi sensori : halusinasi :
a) Jenis halusinasi
b) Isi halusinasi
c) Waktu halusinasi
d) Frekuensi halusinasi
e) Situasi halusinasi
f) Respon klien
2. Rumusan Masalah
a. Isolasi sosial
b. Gangguan persepsi sensori : Halusinasi
c. Resiko Prilaku kekerasan
3. Pohon Masalah
Pohon masalah adalah tehnik atau diagram untuk mengidentifikasi masalah dalam

situasi tergantung dengan mengedepankan hubungan sebab akibat (Fitria, 2015).

efek Risiko tinggi


perilaku
kekerasan

Core Problem
Perubahan persepsi Defisit Perawatan
sensori : halusinasi Diri

Cause
Isolasi Sosial

Harga diri rendah


kronis

Keterangan :

: Masalah Utama (core problem)

: hubungan sebab akibat

4. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan dari pohon masalah diatas dapat ditegakkan diagnosa keperawatan
sesuai prioritas masalah pada klien dengan halusinasi menurut Fitria, (2011 ) yaitu :
a. Resiko tinggi perilaku kekerasan.
b. Perubahan persepsi sensori : halusinasi.
c. Kerusakan interaksi sosial.
d. Harga diri rendah kronis
e. Defisit perawatan diri
5. Rencana Keperawatan
Hari/Tgl/ Diagnosa Perencanaan
Tujuan Kriteria hasil Intervensi Rasional
Jam Keperawatan
Gangguan persepsi TUM : Setelah diberikan asuhan 1. Sapa klien dengan nama Hubungan saling percaya
sensori : Klien dapat mengontrol keperawatan selama 15 baik verbal maupun non merupakan dasar untuk
Halusinasi halusinasi yang dialaminya. menit dengan 1 kali verbal kelancaran hubungan
TUK 1 : pertemuan pasien 2. Perkenalkan diri dengan interaksi selanjutnya
Pasien dapat membina diharapkan: sopan
hubungan saling percaya Kriteria Evaluasi : 3. Tanyakan nama lengkap
1. Ekspresi wajah klien dan nama panggilan
bersahabat yang disukai klien
2. Menunjukan rasa 4. Jelaskan tujuan pertemuan
senang 5. Jujur dan menepati janji
3. Ada kontak mata 6. Tunjukan sikap empati dan
4. Mau berjabat tangan, menerima klien apa adanya
mau menyebut nama, 7. Berikan perhatian kepada
mau menjawab salam klien
5. Mau duduk
berdampingan dengan
perawat
6. Mau mengutarakan
masalah yang
dihadapi.
TUK 2 : Setelah diberikan 1. Adakah kontak sering dan 1. Kontak sering tapi
Klien mengenal halusinasinya asuhan keperawatan singkat secara bertahap singkat selain
selama 15 menit dengan membina hubungan
1 kali pertemuan pasien saling percaya, juga
diharapkan: dapat memutuskan
Kriteria Evaluasi : halusinasi
1. Klien dapat 2. Observasi tingkah laku klien 2. Mengenal perilaku
menyebutkan waktu, terkait dengan halusinasinya; pada saat halusinasi
isi, frekuensi bicara dan tertawa terhadap timbul memudahkan
timbulnya halusinasi stimulus, memandang ke kiri perawat dalam
2. Klien dapat atau ke kanan atau ke dean melakukan intervensi
mengungkapkan seolah-olah ada teman bicara
peran terhadap 3. Bantu klien mengenal 3. Mengenal halusinasi
halusinasi. halusinasinya. memungkinkan klien
untuk menghindarkan
factor pencetus
timbulnya halusinasi
4. Diskusikan dengan klien 4. Dengan mengetahui
situasi yang menimbulkan waktu, isi, dan
atau tidak menimbulkan frekuensi munculnya
halusinasi , waktu dan halusinasi
frekuensi terjadinya mempermudah
halusinasi tindakan keperawatan
klien yang akan
dilakukan perawat.
5. Diskusikan dengan klien apa 5. Untuk
yang dirasakan jika terjadi mengidentifikasi
halusinasi, beri kesempatan pengaruh halusinasi
mengungkapkan perasaannya klien

TUK 3 : Klien dapat Setelah diberikan asuhan 1. Identifikasi bersama klien 1. Upaya untuk
mengontrol halusinasinya keperawatan selama 15 cara tindakan yang memutuskan
menit dengan 1 kali dilakukan jika terjadi halusinasi sehingga
pertemuan pasien halusinasi tidak berlanjut.
diharapkan : 2. Diskusikan manfaat cara 2. Reinforcement positif
Kriteria Hasil : yang akan dilakukan klien, akan meningkatkan
1. Klien dapat jika bermanfaat beri pujian. harga diri klien.
menyebutkan 3. Diskusikan cara baru untuk 3. Memberikan
tindakan yang memutus atau mengontrol alternative pilihan
biasa dilakukan halusinansi : bagi klien mengontrol
untuk a. Katakan “ Saya tidak mau halusinasi
mengendalikan dengar kamu” ( pada saat
halusinasinya. halusinasi terjadi )
b. Menemui orang lain untuk
bercakap – cakap atau
2. Klien dapat
mengatakan halusinasi yang
menyebutkan cara
terdengar
baru
c. Membuat jadwal kegiatan
3. Klien dapat
sehari – hari agar halusinasi
memilih cara
tidak muncul
mengatasi
d. Minta
halusinasi seperti
keluarga/teman/perawat jika
yang telah
nampak bicara sendiri.
didiskusikan
e. Bantu klien memilih dan
dengan klien.
melatih cara memutuskan
halusinasi secara bertahap.
TUK 4 : Klien dapat dukungan Setelah diberikan asuhan 1. Diskusikan dengan 1. Untuk mengetahui
dari keluarga dalam keperawatan selama 15 keluarga: pengetahuan keluarga
mengontrol halusinasi menit dengan 1 kali a. Gejala halusinasi yang dan meningkatkan
pertemuan pasien dialami klien kemampuan
diharapkan : b. Cara yang dapat pengetahuan tentang
Kriterian Hasil : dilakukan klien dan halusinasi
Keluarga dapat keluarga untuk memutus
menyebutkan pengertian, halusinasi
tanda dan kegiatan untuk c. Cara merawat anggota
mengendalikan keluarga untuk memutus
halusinasi halusinasi di rumah, beri
kegiatan, jangan biarkan
sendiri, makan bersama,
berpergian bersama.
d. Beri informasi waktu
follow up atau kapan
perlu mendapat bantuan
halusinasi terkontrol dan
risiko mencederai orang
lain.
TUK 5: Setelah diberikan 1. Diskusikan dengan klien 1. Dengan menyebutkan
Klien dapat memanfaatkan asuhan keperawatan dan keluaraga tentang dosis, frekuensi dan
obat dengan benar selama 15 menit dengan dosis, frekuensi, manfaat manfaat obat.
1 kali pertemuan pasien obat
diharapkan: 2. Anjurkan klien minta 2. Diharapkan klien
Kriteria Evaluasi : sendiri obat pada perawat melaksanakan
1. Klien dapat dan merasakan program pengobatan.
menyebutkan manfaatnya
manfaat, dosis, dan 3. Anjurkan klien bicara
efek samping obat dengan dokter tentang 3. Menilai kemampuan
1. Klien dapat manfaat dan efek samping klien dalam
mendemonstrasikan obat yang dirasakan pengobatannya
penggunaan obat 4. Diskusikan akibat berhenti sendiri.
secara benar minum obat tanpa 4. Dengan mengetahui
2. Klien dapat konsultasi efek samping obat
informasi tentang klien akan tahu apa
efek samping obat yang harus dilakukan
3. Klien dapat setelah minum obat
memahami akibat 5. Bantu klien menggunakan 5. Dengan mengetahui
berhenti minum obat dengan prinsip benar prinsip penggunaan
obat obat, maka
Klien dapat kemandirian klien
menyebutkan prinsip 5 untuk pengobatan
benar penggunaan obat dapat ditingkatkan
secara bertahap.
4. Implementasi
SP PASIEN SP KELUARGA
SP1 : SP 1:
a. Bina hubungan saling percaya dengan a. Identifikasi masalah keluarga
mengungkapkan prinsip komunikasi dalam merawat pasien.
- Sapa klien dengan ramah b. Jelaskan tentang halusinasi :
- Perkenalkan diri dengan sopan - Pengertian halusinasi.
- Jelaskan tujuan pertemuan - Jenis halusinasi yang
- Jujur dan menepati janji dialami pasien.
b. Bantu pasien mengenal halusinasi (isi, - Tanda dan gejala
waktu terjadinya, frekuensi, situasi halusinasi.
pencetus, perasaan saat terjadi halusinasi. - Cara merawat pasien
c. Latih mengontrol halusinasi dengan cara halusinasi (cara
menghardik. berkomunikasi, pemberian
Tahapan tindakannya meliputi : obat & pemberian
- Jelaskan cara menghardik halusinasi. aktivitas kepada pasien).
- Peragakan cara menghardik - Sumber-sumber pelayanan
- Minta pasien memperagakan ulang. kesehatan yang bisa
- Pantau penerapan cara ini, beri dijangkau.
penguatan perilaku pasien - Bermain peran cara
Masukkan dalam jadwal kegiatan pasien merawat.
- Rencana tindak lanjut
keluarga, jadwal keluarga
untuk merawat pasien
SP 2: SP 2
a. Evaluasi SP 1 a. Evaluasi kemampuan
b. Tanyakan program pengobatan. keluarga (SP 1).
c. Jelaskan pentingnya penggunaan obat b.   Evaluasi kemampuan pasien.
pada gangguan jiwa c. RTL Keluarga:
d. Jelaskan akibat bila tidak digunakan - Follow Up
sesuai program - Rujukan
e. Jelaskan akibat bila putus obat.
f. Jelaskan cara mendapatkan obat/
berobat.
g. Jelaskan pengobatan (5B).
h. Latih pasien minum obat
i. Masukkan dalam jadwal harian pasien
SP 3: SP 3
a. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP1 dan a. Evaluasi kemampuan
2). keluarga (SP 2).
b. Latih kegiatan agar halusinasi tidak b. Latih keluarga merawat
muncul. pasien.
Tahapannya : c. RTL keluarga / jadwal
c. Jelaskan pentingnya aktivitas yang keluarga untuk merawat
teratur untuk mengatasi halusinasi pasien
d. Diskusikan aktivitas yang biasa
dilakukan oleh pasien.
e. Latih pasien melakukan aktivitas.
f. Susun jadwal aktivitas sehari-hari
sesuai dengan aktivitas yang telah
dilatih (dari bangun pagi sampai tidur
malam)
g. Pantau pelaksanaan jadwal kegiatan,
berikan penguatan terhadap perilaku
pasien yang (+)
h. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP1 dan
2).
i. Latih kegiatan agar halusinasi tidak
muncul.
Tahapannya :
- Jelaskan pentingnya aktivitas yang
teratur untuk mengatasi halusinasi
- Diskusikan aktivitas yang biasa
dilakukan oleh pasien.
- Latih pasien melakukan aktivitas.
- Susun jadwal aktivitas sehari-hari
sesuai dengan aktivitas yang telah
dilatih (dari bangun pagi sampai tidur
malam)
- Pantau pelaksanaan jadwal kegiatan,
berikan penguatan terhadap perilaku
pasien yang (+)
SP 4: SP 4
a. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 2 a. Evaluasi kemampuan
dan 3). keluarga (SP 3)
b. Latih kegiatan agar halusinasi b. Latih keluarga merawat
tidak muncul. pasien.
Tahapannya : c. RTL keluarga / jadwal
- Jelaskan pentingnya aktivitas yang keluarga untuk merawat
teratur untuk mengatasi halusinasi pasien
- Diskusikan aktivitas yang biasa
dilakukan oleh pasien.
- Latih pasien melakukan aktivitas.
- Susun jadwal aktivitas sehari-hari
sesuai dengan aktivitas yang telah
dilatih (dari bangun pagi sampai tidur
malam)
- Pantau pelaksanaan jadwal kegiatan,
berikan penguatan terhadap perilaku
pasien yang (+)
c. Membuat ke dalam jadwal
kegiatan
5. Evaluasi
Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada
klien. Evaluasi dibagi dua yaitu, evaluasi proses atau pormatif yang dilakukan setiap selesai
melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan
antara respon klien dan tujuan khusus serta umum yang telah ditentukan (Direja, 2011).
Menurut Damaiyanti (2012), evaluasi dilakukan sesuai TUK pada perubahan persepsi
sensori : halusinasi yaitu :
a. Klien dapat menbina hubungan saling percaya
b. Klien dapat mengenali halusinasinya
c. Klien dapat mengontrol halusinasinya
d. Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mrngontrol halusinasi
e. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik
DAFTAR PUSTAKA

Ade Herman, S.D. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika.

Damaiyanti, M. Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika


Aditama

Direja, A. Herman., 2011, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta : Nuha Medika

Fitria, Nita. 2015. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba
Medika.

Keliat, B. A., 2014, Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta : EGC.

Kusumawati Farida & Hartono Yudi. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Selemba
Medika

Maramis F. Willy., 2015, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Surabaya : Airlangga University Press.
.

Suliswati, dkk. 2015. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Tim Pengembangan MPKP RSJ Provinsi Bali. 2016. Pedoman Manajemen Asuhan
Keperawatan (7 Masalah Utama Keperawatan Jiwa). Bangli.

Videbeck, S.L. 2013. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC

Yosep, I., 2012. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama


LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

A. KONSEP DASAR TEORI


1. Pengertian
Prilaku Kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain.
Sering juga di sebut gaduh gelisah atau amuk dimana seseorang marah berespon
terhadap suatu stressor dengan gerakan motorik yang tidak terkontrol ( Yosep, 2011).
Pengertian marah adalah perasaan jengkel yang timbul karena adanya
kecemasan seseorang yang dianggapnya sebagai ancaman yang akan datang (Stuart &
Sundeen, 2015), sedangkan menurut Patricia (dalam Yosep, 2011) perilaku
kekerasan adalah suatu keadaan emosi yang merupakan campuran perasaan frustasi
dan benci atau marah.
2. Rentang Respon Marah
Menurut Yosep (2011), rentang respon dari marah, seperti pada gambar 1 berikut:
Respon adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Gambar 1: Rentang Respon Marah

Keterangan:
a. Asertif, adalah perilaku yang bisa menyatakan perasaan dengan jelas dan langsung,
jarak bicara tepat, kontak mata tapi tidak mengancam, sikap serius tapi tidak
mengancam, tubuh lurus dan santai, pembicaraan penuh percaya diri, bebas untuk
menolak permintaan, bebas mengungkapkan alasan pribadi kepada orang lain, bisa
menerima penolakan orang lain, mampu menyatakan perasaan pada orang lain,
mampu menyatakan cinta orang terdekat, mampu menerima masukan/kritik dari
orang lain. Jadi bila orang asertif marah, dia akan menyatakan rasa marah dengan
cara dan situasi yang tepat, menyatakan ketidakpuasannya dengan memberi alasan
yang tepat.
b. Frustasi, merupakan respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang tidak
realistis atau hambatan dalam pencapaian tujuan.
c. Perilaku Pasif, orang yang pasif merasa haknya di bawah hak orang lain. Bila
marah, orang ini akan menyembunyikan marahnya sehingga menimbulkan
ketegangan bagi dirinya. Bila ada orang mulai memperhatikan non verbal
marahnya, orang ini akan menolak dikonfrontasi sehingga semakin menimbulkan
ketegangan bagi dirinya. Sering berperilaku seperti memperhatikan, tertarik, dan
simpati walau dalam dirinya sangat berbeda. Kadang-kadang bersuara pelan,
lemah, seperti anak kecil, menghindar kontak mata, jarak bicara jauh dan
mengingkari kenyataan. Ucapan sering menyindir atau bercanda yang keterlaluan.
d. Agresif, merupakan perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan
untuk bertindak destruktif tapi masih terkontrol. Perilaku yang tampak berupa
muka masam, bicara kasar, menuntut, kasar.
e. Amuk (perilaku kekerasan), yaitu perasaan marah dan bermusuhan yang kuat
disertai kehilangan kontrol diri, sehingga individu dapat merusak diri sendiri,
orang lain dan lingkungan.
Adapun perbedaan perilaku pasif, asertif dan agresif, seperti pada tabel 1,
berikut:
Tabel 1: Perbandingan Antara Perilaku Pasif, Asertif, dan Agresif

Pasif Asertif Agresif


Isi Negatif dan Positif dan Menyombongkan diri,
pembicaraan merendahkan menawarkan merendahkan orang
diri,contohnya diri,contohnya lain,contohnya
perkataan:”Dapatk perkataan: “Saya perkataan:Kamu selalu…”
ah saya” dapat….” “Kamu tidak pernah….”
“Dapatkah kamu” “Saya akan…”
Tekanan Cepat, lambat, Sedang Keras dan ngotot
suara mengeluh
Posisi badan Menundukkan Tegap dan santai Kaku, condong ke depan
kepala
Jarak Menjaga jarak Mempertahankan Siap dengan jarak yang
dengan sikap jarak yang nyaman akan menyerang
mengabaikan
Penampilan Loyo, tidak dapat Sikap tenang Mengancam, posisi
tenang menyerang
Kontak mata Sedikit/sama sekali Mempertahankan Mata melotot dan
tidak kontak mata sesuai dipertahankan
dengan hubungan

3. Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan


Tanda dan gejala dari perilaku kekerasan, adalah sebagai berikut:
a. Fisik: pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah, serta
postur tubuh kaku.
b. Verbal: mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, bicara dengan nada keras
dan kasar, sikap ketus.
c. Perilaku: menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
sikap menentang, dan amuk/agresif.
d. Emosi: jengkel, selalu menyalahkan, menuntut, perasaan terganggu, dan ingin
berkelahi.
e. Intelektual: mendominasi, cerewet atau bawel, meremehkan, suka berdebat, dan
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
f. Sosial: penolakan untuk didekati, mengasingkan diri, melakukan kekerasan, suka
mengejek, dan mengkritik.
g. Spiritual: merasa diri berkuasa, tidak realistik, kreatifitas terlambat, ingin orang lain
memenuhi keinginannya, dan merasa diri tidak berdosa.

4. Psikopatologi
Gangguan jiwa pada perilaku kekerasan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti faktor predisposisi dan faktor presipitasi (Yosep, 2011).
a. Faktor Predisposisi
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan timbulnya perilaku kekerasan.
1) Faktor Psikologi
Psychoanalytical Theory; Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif
merupakan naluri. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh
dua insting. Pertama insting hidup yang diekpresikan dengan seksualitas, Dan
kedua insting kematian yang diekpresikan dengan agresivitas.
Frustation-aggresion theory; Teori yang dikembangkan pengikut Freud ini
ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya
akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau obyek yang
menyebabkan frustasi.
2) Faktor Sosial Budaya
Social-Learning Theory; Teori ini memgemukakan bahwa agresi tidak
berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat dapat dipelajari melalui
observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin
besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap
keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang dipelajari.
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma
dapat membantu mendefinisikan ekpresi agresif mana yang dapat diterima atau
tidak dapat diterima, sehingga dapat membantu individu untuk mengekpresikan
marah dengan cara yang asertif.
3) Faktor Biologis
Neorobilogical Faktor bahwa dalam susunan persyarafan ada juga yang
berubah pada saat orang agresif. Sistem limbik berperan penting dalam
meningkatkan dan menurunkan agresifitas. Neurotransmitter yang sering
dikaitkan dengan perilaku agresif yaitu; serotonin, dopamim, norepinephrin,
acetikolin, dan asam amino GABA (gamma aminobutiric acid). GABA dapat
menurunkan agresifitas, norepinephrin dapat meningkatkan agresifitas, serotonin
dapat menurunkan agresifitas dan orang yang epilepsi.
b. Faktor Presipitasi
Secara umum, sesorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya
terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal
dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang marasa
terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber
kemarahanya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal. Contoh stressor
internal adalah tidak berprestasi kerja, kehilangan orang yang dicintai, respon terhadap
penyakit kronis. Contoh stressor ekternal adalah serangan fisik, putus hubungan,
dikritik orang lain. Marah juga bisa disebabkan perasaan jengkel yang menumpuk di
hati atau kehilangan kontrol terhadap situasi. Marah juga bisa timbul pada orang yang
dirawat inap.
5. Penatalaksaan Medis
Penatalaksanaan gangguan jiwa dengan dengan perilaku kekerasan (Yosep, 2010)
adalah sebagai berikut:
a. Psikofarmakologi
Obat-obatan yang diberikan adalah antiaanxiety dan sedative-hipnotics. Obat ini
dapat mengendalikan agitasi yang akut. Benzodiazepines seperti lorazepam dan
clonazepam, sering digunakan dalam kedaruratan psikiatri untuk menenangkan
perlawanan pasien.
b. Terapi Kejang Listrik atau Elektro Compulsive Therapy (ECT)
ECT merupakan suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan
menimbulkan kejang pada pasien baik tonik maupun klonik.
6. Penatalaksaan Keperawatan
Seorang perawat harus berjaga-jaga terhadap adanya peningkatan agitasi pasien,
hirarki perilaku agresif dan kekerasan. Disamping itu, perawat harus mengkaji pula afek
pasien yang berhubungan dengan perilaku agresif. Kelengkapan pengkajian dapat
membantu perawat dalam membina hubungan terapeutik dengan pasien, mengkaji
perilaku yang berpontensi kekerasan, mengembangkan suatu perencanaan,
mengimplementasikan perencanaan, dan mencegah perilaku kekerasan. (Yosep, 2011).
Perawat dapat mengimplementasikan berbagai intervensi untuk mencegah dan
mengelola perilaku agresif. Intervensi dapat melalui rentang intervensi keperawatan.
a. Kesadaran Diri
Perawat harus menyadari bahwa stress yang dihadapi dapat mempengaruhi
komunikasinya dengan pasien. Bila perawat tersebut merasa letih, cemas, marah, atau
apatis maka akan sulit baginya membuat pasien tertarik. Untuk mencegah semua itu,
maka perawat harus terus menerus meningkatkan kesadaran dirinya dan melakukan
supervise dengan memisahkan antara masalah pribadi dan masalah pasien.
b. Pendidikan Pasien
Pendidikan yang diberikan mengenai cara berkomunikai dan cara mengekpresikan
marah yang tepat. Banyak pasien yang mengalami kesulitan mengekpresikan perasaan,
kebutuhan, hasrat, dan bahkan kesulitan mengkomunikasikan semua ini pada orang
lain. Jadi dengan perawat berkomunikasi yang terapeutik diharapkan agar pasien mau
mengekpresikan perasaannya, lalu perawat menilai apakah respon yang diberikan
pasien adaptif atau maladaptif.
c. Latihan Asertif
Kemampuan dasar interpersonal yang harus dimiliki perawat yaitu mampu
berkomunikasi secara langsung dengan setiap orang, mengatakan tidak untuk sesuatu
yang tidak beralasan, sanggup melakukan komplain, dan mengekpresikan penghargaan
dengan tepat.
d. Komunikasi
Strategi berkomunikasi dengan pasien agresif adalah bersikap tenang, bicara
lembut, bicara tidak dengan menghakimi, bicara netral dengan cara yang kongkrit,
tunjukkan sikap respek, hindari kontak mata langsung, fasilitasi pembicaraan,
dengarkan pembicaraan, jangan terburu-buru menginterpretasikan, dan jangan membuat
janji yang tidak dapat ditepati.
e. Perubahan Lingkungan
Unit perawatan sebaiknya menyediakan berbagai aktivitas seperti: membaca,
kelompok program yang dapat mengurangi perilaku pasien yang tidak sesuai dan
meningkatkan adaptasi sosialnya seperti terapi aktivitas kelompok. Terapi aktivitas
kelompok (TAK) merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada
sekelompok pasien yang mempunyai masalah yang sama. Aktivitas digunakan sebagai
terapi sedangkan kelompok digunakan sebagai target sasaran (Keliat dan Akemat,
2015). TAK yang sesuai dengan perilaku kekerasan adalah terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi: perilaku kekerasan.
f. Tindakan Perilaku
Tindakan perilaku pada dasarnya membuat kontrak dengan pasien mengenai
perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, konsekuensi yang didapat
bila kontrak dilanggar.
A. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PRILAKU
KEKERASAN
1. Pengkajian
a. Pengumpulan data
1) Identitas Klien dan penanggung Jawab
Pada identitas mencakup Initial, Umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
suku bangsa, agama, alamat dan hubungan dengan penanggung.
2) Alasan dirawat
Alasan dirawat meliputi: keluhan utama dan riwayat penyakit, keluhan
utama berisi tentang sebab klien atau keluarga datang kerumah sakit dan
keluhan klien saat pengkajian. Pada riwayat penyakit terdapat faktor
predisposisi dan faktor presipitasi. Pada faktor predisposisi dikaji tentang
faktor-faktor pendukung klien untuk melalukan prilaku kekerasan. Faktor
presipitasi dikaji tentang faktor pencetus yang membuat klien melakukan
prilaku kekerasan
3) Pemeriksaan Fisik
Pengkajian/pemeriksaan fisik difokuskan pada sistem dan fungsi organ tubuh
dan kondisi fisik (dengan cara observasi, auskultasi, palpasi, perkusi dan hasil
pengukuran) dalam pengukuran dilakukan pengukuran tanda-tanda vital
4) Pengkajian Psikososial
Pengkajian pada aspek psikososial dapat dilakukan pada genogram, konsep
diri, hubungan sosial dan aspek spiritual
a) Genogram
Genogram dapat dikaji melalui 3 jenis kajian yaitu :
(1) Kajian adopsi : yang membandingkan sifat antara anggota keluarga
biologis/satu keturunan dengan keluarga adopsi
(2) Kajian kembar : yang membandingkan sifat antara anggota keluarga
yang kembar identik secara genetik dengan saudara yang tidak
kembar.
(3) Kajian keluarga : yang membandingkan apakah suatu sifat banyak
kesamaan antara keluarga tinggkat pertama(seperti orang tua, saudara
kandung) dengan keluarga yang lain.
b) Konsep Diri
(1) Citra Tubuh
Yaitu sikap, persepsi masa lalu atau saat ini tentang ukuran,
penampilan, fungsi dan potensi tubuh, serta pengetahuan individu
secara sadar atau tidak sadar terhadap tubuhnya. Ini merupakan
persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian tubuhnya yang paling disukai
dan tidak disukai
(2) Identitas Diri
Merupakan kesadaran klien untuk menjadi diri sendiri yang tidak
ada duanya dengan mensintesa semua gambaran diri sebagai satu
kesatuan utuh dan perasaan berbeda dengan orang lain. Ini merupakan
bagaimana persepsi tentang status dan posisi klien sebelum dirawat,
kepuasan klien terhadap status/posisi tersebut (sekolah, pekerjaan,
kelompok, keluarga, lingkungan masyarakat sekitarnya) kepuasan
klien sebagai laki-laki atau perempuan (gender)
(3) Peran
Yaitu pola sikap, prilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan dari
seseorang berdasarkan posisisnya dalam keluarga, kelompok,
dimasyarakat dan bagaimana kemampuan klien dalam melaksnakan
tugas/perannya tersebut.
(4) Ideal Diri
Persepsi individu tentang bagaimana ia harus berprilaku sesuai
dengan standar personal. Ideal diri dapat berupa gambaran individu
yang disukai, tujuan atau nilai yang diinginkan. Ini merupakan
bagaimana harapan klien terhadap tubuhnya, posisi, status, tugas atau
peran dan harapan klien terhadap lingkungan.
(5) Harga Diri
Penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa
sejauh mana perilaku mencapai ideal diri. Pencapain cita-cita yang
gagal akan menimbulkan HDR (harga diri rendah) yaitu perasaan
negative terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan
harga diri. Sebaliknya pencapaian cita-cita yang sukses akan
menimbulkan HDT (harga diri tinggi).
c) Hubungan Sosial
(1) Orang yang Terdekat
Siapa orang yang berarti dalam kehidupan klien, tempat mengadu,
bicara, minta bantuan baik secara material maupun secara non-
material.
(2) Peran Serta Dalam kegiatan Kelompok atau Masyarakat
klompok apa saja yang diikuti klien dilingkungannya dan sejauh mana
klien terlibat.
(3) Hambatan dalam hubungan dengan orang lain
Hambatan apa saja yang dialami klien dalam berhubungan dengan
orang lain/kelompok tersebut.
d) Spiritual
Mengkaji aspek spiritual klien yang meliputi:
(a) Agama serta keyakinan yang dianut klien/keluarganya. Bagaimana
nilai, norma, pandangan dan keyakinan diri klien, keluarga dan
masyarakat setempat tentang gangguan jiwa sesuai dengan norma
budaya dan agama yang dianut.
(b) Kegiatan keagamaan, ibadah dan kegiatan keagamaan apa saja yang
dilakukan klien dirumah/ dilingkungan sekitarnya baik secara
individu maupun kelppmpok serta pendapat klien/keluarga tentang
ibadah tersebut.
5) Pengkajian status mental
Pengkajian pada status mental dapat dilakukan pada penampilan,
pembicaraan, aktivitas motorik, afek emosi.
a) Penampilan
Observasi pada penampilan umum klien yang merupakan
karakteristik klien yaitu penampilan usia, cara berpakaian, kebersihan,
sikap tubuh, cara berjalan, ekskresi wajah, kontak mata,
dilatasi/konstruksi pupil, status gizi/kesehatan umum.
Pada klien dengan prilaku kemungkinan penampilan yang ditunjukkan
adalah mata melotot / pandangan tajam, tangan mengepal, rahang
mengatup, wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
b) Pembicaraan
Pada pembicaraan perhatikan bagaimana pembicaraan yang
didapat pada klien, apakah cepat, keras, gagap, inkoherensi, apatis,
lambat, membisu, tidak mampu memulai pembicaraan, pembicaraan
berpindah-pindah dari satu kalimat kekalimat lainnya yang tidak
berkaitan,
Pada klien dengan prilaku kekerasan kemungkinan akan berbicara
dengan mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara
dengan nada keras, kasar, ketus.
c) Aktivitas Motorik
Aktivitas motorik berkenaan dengan gerakan fisik perlu dicatat
dalam hal tingkat aktivitas (letargi, tegang, gelisah, agitasi) jenis (tik,
seringai, tremor) dan isyarat tubuh/mannerisme yang tidak wajar
Aktivitas motorik yang mungkin dilakuakan adalah menyerang orang
lain, melukai diri sendiri / orang lain, merusak lingkungan, amuk/agresif.
d) Alam Perasaan
Yang perlu diobservasi antara lain : sedih, putus asa atau perasaan
gembira yang berlebih, ketakukan dan khawatir
e) Afek
Adapun beberapa gangguan afek dan emosi adalah sebagai berikut :
(1) Depresi yaitu keadaan psikologis (dengan manifestasi rasa sedih,
susah, rasa tak berguna, gagal, kehilangan, rasa berdosa, putus asa,
penyesalan tak ada harapan)
(2) Ketakutan/takut yaitu afek emosi terhadap objek yang ditakuti sudah
jelas.
(3) Khawatir, cemas, ansietas yaitu ketakutan pada sesuatu objek yang
belum jelas atau keadaan tidak enak/tidak nyaman yang tidak jelas
penyebabnya. Jenis cemas antara lain : kecemasan mengambang/free
floating anxietas, agitasi, panik atau kecemasan hebat dengan
kegelisahan.
(4) Anhedoneia yaitu tidak timbul perasaan senang dengan aktivitas yang
biasanya menyenangkan bagi dirinya.
(5) Euforia yaitu rasa senang, riang, gembira, bahagia, yang berlebihan
yang tidak sesuai dengan keadaan. Elasa adalah bentuk euforia yang
lebih hebat dan Exaltasi atau extaci adalah suatu bentuk euforia yang
sangat hebat.
(6) Kesepian adalah merasa dirinya ditinggalkan/dipisah-kan dari atau
oleh yang lainnya.
(7) Kedangkalan/tumpul/datar adalah kemiskinan afek/ emosi secara
umum atau kuantitas, tidak ada perubah-an dalam roman muka pada
saat ada stimulus yang menyenangkan atau menyedihkan, bereaksi
bila ada stimulus yang lebih kuat.
(8) Labil adalah emosi yang secara cepat berubah-rubah, tanpa suatu
pengendalian yang baik.
(9) Tak wajar/tidak sesuai adalah emosi yang tidak sesuai atau
bertentangan dengan stimulus yang ada, keadaan tertentu secara
kuantitatif atau dengan isi pembicaraan/ pikirannya.
(10) Ambivalensi adalah afek/emosi yang berlawanan dan timbul secara
bersama-sama terhadap seseorang, objek atau kondisi tertentu.
(11) Apatis adalah berkurangnya afek/emosi terhadap sesuatu semua hal
yang disertai rasa terpencil dan tidak peduli dengan lingkungan
sekitarnya.
(12) Amarah atau kemurkaan adalah permusuhan yang bersifat agresif,
tidak realistik, menghancurkan dirinya, orang lain, lingkungan yang
sifatnya bukan untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapinya.
f) Interaksi selama wawancara
Keadaan yang ditampilkan klien saat wawancara seperti bermusuhan,
tidak kooperatif, mudah tersinggung, kontak mata kurang (tidak mau
menatap lawan bicara), defensif (selalu berusaha mempertahankan
pendapat dan kebenaran dirinya) atau curiga (menunjukan sikap/perasaan
tidak percaya pada orang lain).
g) Persepsi
Gangguan pada persepsi sensorik diantaranya halusinasi, ilusi,
derealisasi, depersonalisasi, agnosia, gangguan somatosensorik.
Gangguan persepsi juga dapat memicu klien untuk melakuakan prilaku
kekerasan.
h) Proses Pikir
Gangguan pada arus dan bentuk pikir dapat dijelaskan dan
dibedakan yaitu Sirkumtansila (pikiran berputar-putar), Tangensial yaitu
pembicaraan yang berbelit-belit dan tidak sampai pada tujuan/maksud
yang dibeikan, Asosiasi longgar (asosiasi bebas/kehilangan asosiasi) yaitu
tidak ada hubungan yang dikatakan antara satu kalimat dengan kalimat
yang lain. Flight of idea (pikiran melayang) yaitu pembicaraan pada
beberapa ide-ide yang melompat-lompat. Blocking (benturan) yaitu
pembicaraan yang berhenti secara tiba-tiba tanpa adanya gangguan secara
eksternal. Perseverasi yaitu pembicaraan yang berulang-ulang pada suatu
ide, pikiran dan tema secara berlebihan. Inkoheren (irrelevansi) yaitu
pembicaraan dimana satu kalimatpun sulit dipahami maksudnya,
pembicaraan tidak ada hubungannya dengan stimulus/pertanyaan atau hal-
hal yang sedang dibicarakan, Logorhoe yaitu banyak bicara yang bertubi-
tubi tanpa adnya kontrol yang jelas bisa koheren atau inkoheren.
i) Isi Pikir
Gangguan pada isi pikir yaitu Ekstasi/extacy : isi pikiran yang
tidak dapat diceritakan yang dimanifestasikan dengan kegembiraan,
fantasi: yaitu isi pikiran tentang keadaan/kejadian yang
diharapkan/diinginkan sebagai hal-hal yang tidak nyata sebagai pelarian
terhadap keinginan yang tiddak dapat dipenuhinya. Obsesi : isi pikiran
yang telah muncul/kokoh walaupun pasien berusaha menghilangkannya,
Hipokondria : isi pikiran yang meyakinkan adanya suatu gangguan organ
didalam tubuh yang dimanifestasikan sebagai keluhan atau sakit secara
fisik, depersonalisasi : yaitu isi pikiran yang berupa perasaan yang
aneh/asing/terhadap dirinya sendiri, orang lain atau lingkungan sekitarnya.
Mengobservasi tingkat kesadaran klien, kesadaran dapat digambarkan
sebagai berikut : Apatis ( tidak mengacuhkan terhadap
rangsangan/lingkungan sekitarnya, mulai mengantuk, Somnolensia
(menganatuk dan tidak ada perhatian sama sekali), Bingung delirium,
sedasi : (kacau, merasa melayang antara sadar dan tidak sadar), sopor
(ingatan, orientasi, pertimbangan hilang, hanya berespon terhadap
rangsangan yang keras dan kuat), stupor, subkoma, soporoskomatus tidak
ada terhadap rangsngan yang keras dan tidak mengerti semua yang terjadi
di lingkungan), koma (tidur yang sangat dalam, beberapa reflek hilang
seperti pupil, cahaya, muntah dan dapat timbul reflek yang patologis)
j) Tingkat Kesadaran
Mengobservasi tingkat kesadaran klien, kesadaran dapat
digambarkan sebagai berikut : Apatis ( tidak mengacuhkan terhadap
rangsangan/lingkungan sekitarnya, mulai mengantuk, Somnolensia
(menganatuk dan tidak ada perhatian sama sekali), Bingung delirium,
sedasi : (kacau, merasa melayang antara sadar dan tidak sadar), sopor
(ingatan, orientasi, pertimbangan hilang, hanya berespon terhadap
rangsangan yang keras dan kuat), stupor, subkoma, soporoskomatus tidak
ada terhadap rangsngan yang keras dan tidak mengerti semua yang terjadi
di lingkungan), koma (tidur yang sangat dalam, beberapa reflek hilang
seperti pupil, cahaya, muntah dan dapat timbul reflek yang patologis)
k) Memori
Daya ingat klien atau kemampuan mengingat hal-hal yang telah
terjadi, daya ingat jangka panjang (memori masa lalu, lama/lebih dari 1
tahun), daya ingat jangka menengah memori yang diingat dalam 1 minggu
terahir sampai 24 jam terahir, Daya ingat jangka pendek memori yang
sangat baru, tidak dapat mengingat kejadian yang baru saja terjadi.
l) Tingkat konsentrasi berhitung
Gangguan konsentrasi dan berhitung antara lain : Mudah
beralih/mudah dialihkan, mudah berganti perhatiannya/konsentrasi dari
suatu objek ke objek lainnya. Tidak mampu berkonsentrasi, klien selalu
meminta agar pertanyaan sebelumnya diulang. Tidak mampu berhitung
yaitu tidak dapat melakukan penambahan/pengurangan angka-angka atau
benda-benda yang nyata, sederhana, banyak, rumit atau kompleks.
m) Kemampuan Penilaian
Data yang perlu dikaji melalui wawancara antara lain: Gangguan
ringan yaitu bilamana gangguan ini terjadi ia tetap dapat mengambil
keputusan secara sederhana dengan bantuan orang lain, seperti ia dapat
memilih akan mandi sebelum makan atau sebaliknya. Gangguan bermakna
bilamana gangguan ini terjadi ia tetap tidak dapat/tidak mampu mengambil
suatu keputusan meskipun secara sederhana dan mendapatkan bantuan
orang lain.
n) Daya Tilik Diri
Gangguan pada daya tilik diri adalah :
(1) Mengingkari penyakit yang diderita, dimana ia tidak menyadari gejala
gangguan jiwa/penyakitnya, perubahan fisik, dan emosi dirinya.
(2) Menyalahkan hal-hal yang diluar dirinya, bilamana ia cenderung
menyalahkan orang lain/lingkungan dan ia merasa orang
lain/lingkungan diluar dirinya yang menyebabkan ia seperti ini/kondisi
saat ini.
6) Kebutuhan persiapan pulang
Data ini harus dikaji untuk mengetahui masalah yang mungkin akan
terjadi atau akan dihadapi klien, kluarga atau masyarakat sekitarnya pada saat
klien pulang atau setelah klien pulang dari rumah sakit, data yang harus dikaji
adalah : Perawatan diri (Mandi, kebersihan, makan, buang air kecil, buang air
besar, dan ganti pakaian) secara mandiri, perlu bantuan minimal atau bantuan
total
b. Analisa data
Setelah data terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah menganalisa data untuk
merumuskan masalah-masalah yang dihadapi klien. Data tersebut diklasifikasikan
menjadi data subyektif dan obyektif:
1) Data Subyektif (Farida, 2010, hal. 50)
Data subyektif adalah data yang disampaikan secara lisan oleh pasien dan
keluarga. Data ini diperoleh melalui wawancara perawat kepada klien dan
keluarga
Data subyektif yang mungkin didapat yaitu, klien mengeluh perasaan terancam,
marah dan dendam. Perasaan tak berguna, jengkel atau mengungkapkan adanya
keluhan fisik seperti dada berdebar, dada sesak dan bingung.
2) Data Obyektif
Data obyektif yaitu data yang ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melalui
observasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat seperti, wajah tegang, mudah
tersinggung saat diajak berbicara, tatapan mata tajam, muka tampak merah, posisi
tubuh condong kedepan dengan tangan mengepal.
c. Pohon Masalah
Effect ...... Resiko Mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Perilaku Kekerasan
Core Problem .................

Etiologi .............................. Harga Diri Rendah

Diagnosa Keperawatan: Perilaku kekerasan

2. Diagnosa keperawatan
Masalah keperawatan yang mungkin muncul untuk maslah prilaku kekerasan adalah:
a. Perilaku Kekerasan
b. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
c. Harga diri rendah.
3. Rencana Keperawatan Perilaku Kekerasan

No. Diagnosa Perencanaan


Tgl Intervensi Rasional
Dx Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi
1 2 3 4 5 6 7
Perilaku 1. Klien dapat 1.1 Klien mau membalas 1. Beri salam /panggil nama klien  Hubungan saling percaya
kekerasan membina salam 2. Sebutkan nama perawat sambil merupakan landasan utama
hubungan 1.2 Klien mau menjabat jabat tangan untuk hubungan selanjutnya
saling percaya tangan 3. Jelaskan maksud hubungan
1.3 Klien mau interaksi
menyebutkan nama 4. Jelaskan tentang kontrak yang
1.4 Klien mau tersenyum akan dibuat
1.5 Klien mau kontak 5. Beri rasa aman dan sikap
mata empati
1.6 Klien mengetahui 6. Lakukan kontak singkat tapi
nama perawat sering
1.7 Menyediakan waktu
untuk kontrak
2. Klien dapat 2.1 Klien dapat 1. Beri kesempatan untuk  Beri kesempatan untuk
mengidentifik mengungkapkan mengungkapkan perasaannya mengungkapkan
asikan perasaanya 2. Bantu klien untuk perasaannya dapat
penyebab 2.2 Klien dapat mengungkapkan jengkel/kesal membantu mengurangi
perilaku mengungkapkan
kekerasan penyebab perasaan stress dan penyebab
jengkel/kesal (dari diri perasaan jengkel/kesal
sendiri, dari dapat diketahui
lingkungan/orang lain)
3. Klien dapat 3.1 Klien dapat 1. Anjurkan klien  Untuk mengetahui hal yang
mengidentifik mengungkapkan mengungkapkan apa yang dialami dan dirasa saat
asikan tanda- perasaan saat dialami saat marah/jengkel jengkel
tanda perilaku marah/jengkel 2. Observasi tanda perilaku  Untuk mengetahui tanda-
kekerasan 3.2 Klien dapat kekerasan pada klien tanda klien jengkel/ kesal
menyimpulkan tanda- 3. Simpulkan bersama klien  Menarik kesimpulan
tanda jengkel/kesal tanda-tanda jengkel/kesal yang bersama klien supaya klien
yang dialami dialami klien mengetahui secara garis
besar tanda-tanda
marah/kesal
4. Klien dapat 4.1 Klien dapat 1. Anjurkan klien untuk  Mengeksplorasi perasaan
mengidentifik mengungkapkan mengungkapkan perilaku klien terhadap perilaku
asi perilaku perilaku kekerasan kekerasan yang biasa kekerasan yang biasa
kekerasan yang biasa dilakukan dilakukan klien dilakukan
yang biasa 4.2 Klien dapat bermain 2. Bantu klien bermain peran  Untuk mengetahui perilaku
dilakukan peran dengan perilaku sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa
kekerasan yang biasa kekerasan yang biasa dilakukan dan dengan
dilakukan dilakukan bantuan perawat bisa
4.3 Klien dapat membedakan perilaku
mengetahui cara yang kontrustif dan destruktif
biasa dapat 3. Bicarakan dengan klien apakah  Dapat membantu klien
menyesuaikan masalah cara yang klien lakukan dapat menemukan cara
atau tidak masalahnya selesai? yang dapat menyelesaikan
masalah
5. Klien dapat Klien dapat menjelaskan 1. Bicarakan akibat / kerugian  Membantu klien untuk
mengidentifik akibat dari cara yang dari cara yang dilakukan menilai perilaku kekerasan
asi akibat digunakan klien klien yang dilakunnya
perilaku  Dengan mengetahui akibat
kekerasan 2. Bersama klien perilaku kekerasan
menyimpulkan cara yang diharapkan klien dapat
digunakan oleh klien merubah perilaku destruktif
yang dilakukannya menjadi
perilaku yang konstruktif
6. Klien dapat 6.1 Klien dapat melakukan 1. Tanyakan pada klien “apakah  Agar klien dapat
mengindentifi cara berespon terhadap ia ingin mempelajari cara mempelajari cara yang lain
kasi cara kemarahan secara baru yang sehat ?” yang konstruktif
kontruktif kontrustif 2. Berikan pujian jika klien  Dengan mengidentifikasi
dalam mengetahui cara lain yang cara yang konstruktif dalam
merespon sehat merespon terhadap
terhadap 3. Diskusikan dengan klien cara kemarahan dapat membantu
kemarahan lain yang sehat klien menemukan cara yang
a. Secara fisik : tarik nafas baik untuk mengurangi
dalam jika sedang kejengkelan sehingga klien
kesal/memukul bantal/kasur tidak stress lagi.
atau olah raga/ pekerjaan  Reinforcement positif dapat
yang memerlukan tenaga. memotivasi klien dalam
b. Secara verbal : katakana meningkatkan harga dirinya
bahwa anda sedang  Berdiskusi dengan klien
kesal/tersinggung/jengkel untuk memilih cara yang
(saya kesal anda berkata lain sesuai dengan
seperti itu ; saya marah kemampuan klien
karena anda tidak memenuhi
keinginan saya)
c. Secara sosial : lakukan dalam
kelompok cara-cara marah
yang sehat ; latihan asentif.
Latihan manajemen perilaku
kekerasan
d. Secara spiritual : anjurkan
klien sembahyang, berdoa/
ibadah lain; meminta pada
Tuhan untuk diberi
kesabaran, mengadu pada
Tuhan kekerasan
/kejengkelan
7. Klien dapat 7.1 Klien dapat 1. Bantu klien memilih cara  Memberi simulasi kepada
mendemonstra mendemonstrasikan yang paling tepat untuk klien klien untuk menilai respon
sikan cara cara mengontrol 2. Bantu klien mengidentifikasi petrilaku kekerasan secara
mengontrol perilaku kekerasan manfaat cara dipilih tepat.
perilaku - Fisik : tarik napas 3. Bantu keluarga klien untuk  Membantu klien dalam
kekerasan dalam, olah raga, menstimulasi cara tersebut membuat keputusan
menyiram tanaman ( roll play) terhadap cara yang telah
- Verbal : 4. Berreinforcement positif atau dipilihnya dengan melihat
mengatakan secara keberhasilan klien manfaatnya.
langsung dengan tidak menstimulasi cara tersebut  Agar klien mengetahui cara
menyakiti 5. Anjurkan klien untuk marah yang kontrustif
- Spiritual : menggunakan cara yang telah  Pujian dapat meningkatkan
sembahyang, berdoa dipelajari saat jengkel/marah motifasi harga diri klien
atau ibadah lainnya  Agar klien dapat
melaksanakan cara yang
telah dipilihnya jika ia
sedang kesal
8. Klien 8.1 Keluarga klien dapat : 1. identifikasi kemampuan  kemampuan keluarga dalam
mendapat - menyebutkan cara keluarga merawat klien dari mengidentifikasi akan
dukungan merawat klien yang sika apa yang telah dilakukan memungkinkan keluarga
keluarga berperilaku kekerasan keluarga terhadap klien untuk melakukan penilaian
dalam - mengungkapkan selama ini terhadap perilaku kekerasan
mengontrol rasa puas dalam 2. jelaskan peran serta keluarga  meningkatkan pengetahuan
perilaku merawat klien dalam merawat klien keluarga tentang cara
kekerasan 3. jelaskan cara-cara merawat merawat klien sehingga
klien keluarga terlibat dalam
- terkai dengan cara perawatan klien
mengontrol perilaku marah  agar klien dapat merawat
secara kontruktif klien dengan perilaku
- sikap tenang, bicara kekerasan
tenang dan jelas  agar keluarga mengetahui
- membantu klien mengenal cara merawat klien melalui
penyebab ia marah demonstrasi yang dilihat
4. bantu keluarga  mengeksplorasi perasaan
mendemontrasikan cara keluarga setelah melakukan
merawat klien demonstrasi
5. bantu keluarga
mengungkapkan perasaannya
setelah melakukan
demontrasi
9. klien dapat 9.1 klien dapat 1. jelaskan jenis-jenis obat yang  Klien dan keluarga dapat
menggunakan menyebutkan obat- diminum klien pada keluarga mengetahui nama-nama
obat-obatan obatan yang diminum 2. diskusikan manfaat minum obat yang diminum oleh
yang diminum serta kegunaannya obat dan kerugian berhenti klien
dan (jenis, waktu dan efek) minum obat tanpa seizing  Klien dan keluarga dapat
kegunaannya 9.2 klien dapat meminum dikter mengetahui kegunaan obat
(jenis, waktu, obat sesuai program 3. jelaskan prisip benar minum yang dikonsumsi klien
dosis dan pengobatan obat (baca nama yang tertera,  Klien dan keluarga
efek) pada botol obat, dosis obat, mengetahui prinsip benar
waktu dan cra minum) agartidak terjadi kesalahan
4. ajarkan klien minta obat dan dalam mengonsumsi obat
minum tepat waktu  Klien dapat memiliki
5. anjurkan klien melaporkan kesadaran pentingnya
pada perawat atau dokter jika minum obat dan bersedia
merasakan efek yang tidak minum obat dengan
menyenangkan kesadaran sendiri
6. beri pujian, jika klien minum  Mengetahui efek samping
obat dengan benar. sedini mungkin sehingga
tindakan dapat dilakukan
sesegera mungkin untuk
menghindari komplikasi
 Reinforcement positif dapat
memotifasi keluarga dan
lien serta dapat
meningkatkan harga diri.
4. Intervensi berdasarkan SP pasien dan keluarga
SP1 PASIEN SP1 KELUARGA
1. Mengidentifikasi penyebab prilaku 1. Mendiskusikan masalah yang
kekerasan. diharapkan keluarga dalam merawat
2. Mengidentifikasi tanda dan gejala klien .
prilaku kekerasan. 2. Menjelaskan pengertian prilaku
3. Mengidentifikasi prilaku kekerasan kekerasan, tanda dan gejala prilaku
yang di lakukan. kekerasan, serta proses terjadinya
4. Mengidentifikasi akibat perilaku prilaku kekerasan.
kekrasan. 3. Cara merawat pasien RPK
5. Menyebutkan cara mengontrol 4. Latih/simulasi 2 cara merawat
prilaku kekerasan. 5. RTL Keluarga
6. Membantu klien mempraktekan
latihan cara mengontrol prilaku
kekerasan secara fisik 1 : latihan
nafas dalam.
7. Menganjurkan klien memasukkan ke
dalam kegiatan harian.
SP2 PASIEN SP2 KELUARGA
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Mengevaluasi SP 1
klien (SP1). 2. Melatih keluarga mempraktikan
2. Melatih pasien untuk patuh obat. langsung cara pemberian obat ke
3. Masukan ke jadwal harian pasien pasien.
3. RTL Keluarga
SP3 PASIEN SP3 KELUARGA
1. Mengevaluasi SP 1&2 1. Mengevaluasi SP 1&2
2. Melatih pasien mengontrol 2. Melatih 2 cara lain untuk merawat
prilaku kekerasan dengan cara pasien
fisik 2: pukul kasur dan bantal . 3. Melatih keluarga untuk merawat
3. Menganjurkan klien memasukan langsung ke pasien
ke dalam kegiatan harian 4. RTL Keluarga

SP4 PASIEN
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Mengevaluasi SP 1,2&3
harian klien (SP 1,2&3) 2. Melatih langsung keluarga ke
2. Melatih klien mengontrol prilaku pasien
kekerasan dengan cara spiritual 3. RTL keluarga: Follow up dan
3. Menganjurkan klien memasukan ke rujukan
dalam kegiatan harian.
5. Evaluasi Keperawatan
Hasil yang diharapkan pada asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan
adalah :
a. Klien membina hubungan saling percaya.
b. Klien dapat mengidentifikasikan penyebab perilaku kekerasan.
c. Klien dapat mengidentifikasikan tanda dan gejala perilaku kekerasan.
d. Klien dapat mengidentifikasikan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
e. Klien dapat mengidentifikasikan akibat perilaku kekerasan.
f. Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku kekerasan.
g. Klien dapat mendemonstrasikan cara sosial untuk mencegah perilaku kekerasan.
h. Klien dapat mendemonstrasikan cara spiritual untuk mencegah perilaku kekerasan.
i. Klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk untuk mencegah
perilaku kekerasan.
j. Klien dapat mengikuti TAK : stimulasi persepsi pencegahan perilaku kekerasan.
k. Klien mendapatkan dukungan keluarga dalam melakukan cara pencegahan perilaku
kekerasan
DAFTAR PUSTAKA

Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Nurjannah, I. 2012. Penangan Klien Dengan Masalah Psikiatri Kekerasan. Yogyakarta:


MocoMedika.

Maramis, W.F. 2015 Catatan Ilmu Keperawatan Jiwa. Surabaya: Airlangga Universitas
Press.

Stuart, G.W. and Laraia. 2015. Principles and Praktice of Psychiatric Nursing, St. Louis:
Mosby Year B

Stuart dan Sundeen, 2015. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Videbeck, S. L. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Yosep, I. 2011. Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi. Bandung: PT Refika Aditama.


LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN
PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM

A. Konsep Dasar Teori


1. Pengertian
Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas
yang salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya, ketidakmampuan merespon stimulus internal dan eksternal melalui
proses iteraksi atau informasi secara akurat (Yosep, 2016).
Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas
yang salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya, ketidakmampuan merespon stimulus internal dan ekternal melalui
proses interaksi atau informasi secara akurat (Keliat, 2012).

2. Faktor Predisposisi
Menurut Direja (2011), faktor predisposisi dari gangguan isi pikir, yaitu:
a. Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan menganggu hubungan interpersonal seseorang. Hal
ini dapat meningkatkan stres dan ansietas yang berakhir dengan gangguan persepsi,
klien menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi
tidak efektif.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbulnya
waham.
c. Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda atau bertentangan, dapat
menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan.
d. Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran vertikel di otak,
atau perubahan pada sel kortikal dan limbic.
e. Faktor genetic.

3. Faktor Presipitasi
Menurut Direja (2011) faktor presipitasi dari gangguan isi pikir: waham, yaitu:
a. Faktor sosial budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti atau
diasingkan dari kelompok.
b. Faktor biokimia
Dopamine, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat menjadi
penyebab waham pada seseorang.
c. Faktor psikologis
Kecemasan yang memandang dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi
masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan
yang menyenangkan.
4. Mekanisme Koping
a. Klien : identifikasi koping kekuatan dan kemampuan yang masih dimiliki klien.
b. Sumber daya dan duungan sosial : pengetahuan keluarga, finansial keluarga,
waktu dan tenaga keluarga yang tersedia, kemampuan keluarga memberikan
asuhan.
5. Proses terjadinya
Menurut Yosep (2016), adapun proses terjadinya waham, yaitu:
a. Fase lack of human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik secara
fisik maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-
orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat
miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
mendorongnya untuk melakuakn kompensasi yang salah. Ada juga klien yang
secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara reality dengan self
ideal sangat tinggi. Misalnya ia seorang sarjana tetapi menginginkan dipandang
sebagai seorang yang dianggap sangat cerdas, sangat berpengalaman dan
diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham terjadi karena sangat pentingnya
pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi juga oleh rendahnya
penghargaan saat tumbuh kembang (life span history).
b. Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara
self ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan
kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui
kemampuannya. Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang kaya,
menggunakan teknologi komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta
memiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self ideal yang
melebihi lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat jauh. Dari aspek
pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh, support system semuanya sangat
rendah.
c. Fase control internal external
Klien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang
ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Tetapi mengahadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat
berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan
diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut
belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba
memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi
hal ini tidak dilakukan secara adequate karena besarnya toleransi dan keinginan
menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau
konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan
orang lain.
d. Fase environment support
Ada beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu
yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang.
Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma
(Super ego) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
e. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering diserati halusinasi pada saat klien menyendiri
dari lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering menyendiri dan menghindari
interkasi sosial (isolasi sosial).
f. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul
sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang
tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk
dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting
sekali untuk menggung kayakinan klien dengan cara konfrontatif serta
memperkaya kayakinan religiusnya bahwa apa-apa yang dilakukan menimbulkan
dosa besar serta konsekuensi sosial.

6. Klasifikasi, Jenis dan Sifat Masalah


Proses berpikir meliputi 3 aspek yaitu bentuk pikiran, isi pikiran dan arus
pikiran. Menurut Kaplan, berfikir merupakan aliran gagasan, symbol dan asosiasi yang
diarahkan oleh tujuan, dimulai oleh suatu masalah atau tugas dan mengarah pada
kesimpulan yang berorientasi pada kenyataan.
a. Gangguan Bentuk Pikir
Dalam kategori ini termasuk semua penyimpangan dari pemikiran rasional, logic
dan terarah pada tujuan.
1) Dereisme/ pikiran dereistik
Titik berat pada tidak adanya sangkut paut terjadi antara proses mental
individu dan pengalamannya yang sedang berjalan. Proses mentalnya tidak
sesuai dengan atau tidak mengikuti kenyataan, logika atau pengalaman.
2) Pikiran otistik
Menandakan bahwa penyebab distorsi arus asosiasi adalah dari dalam
pasien itu sendiri dalam bentuk lamunan, fantasi, waham, atau halusinasi. Cara
berfikir seperti ini hanya akan memuaskan keinginannya yang tidak terpenuhi
tanpa memperdulikan keadaan seitarnya yang tidak terpenuhi tanpa
memperdulikan keadaan sekitarnya. Hidup dalam alam pikirannya sendiri.
3) Bentuk pikiran non realistic
Bentu pikiran yang sama sekali tidak berdasaran pada kenyataan,
mengambil sesuatu kesimpulan yang aneh dan tidak masuk akal.
b. Gangguan Arus Pikir
Yaitu tentang cara dan lajunya proses asosiasi dalam pemikiran yang
timbul dalam berbagai jenis :
1) Perseverasi : berulang-ulang menceritakan suatu ide, pikiran atau tema secara
berlebihan.
2) Asosiasi longgar : mengatakan hal-hal yang tidak ada hubungannya satu
sama lain, misalnya “saya mau makan semua orang dapat berjalan-jalan”.
Bila ekstrim, maka akan terjadi inkoherensi.
3) Inkoherensi : gangguan dalam bentuk bicara, sehingga satu kalimat pun
sudah sulit ditangap atau diikuti maksudnya.
4) Kecepatan bicara : untuk mengutarakan pikiran mungkin lambat sekali atau
sangat cepat.
5) Benturan : piiran tiba-tiba berhenti atau berhenti di tengah sebuah kalimat.
Pasien tidak dapat menerangkan mengapa ia berhenti.
6) Logorea : banyak bicara, kata-kata dikeluaran bertubi-tubi tanpa kontrol,
mungkin koherent atau incoherent.
7) Pikiran melayang (flight of ideas) :perubahan yang mendadak lagi cepat
dalam pembicaraan, sehingga satu ide yang belum selesai diceritakan sudah
disusul oleh ide yang lain.
8) Asosiasi bunyi : mengucapkan perkataan yang mempunyai persamaan bunyi,
misalnya pernah disengar “saya mau makan” diutarakan seakan berontak.
9) Neologisme : membentuk kata-kata baru yang tida dipahami oleh umum,
misalnya : saya radiitu, semua partinum.
10) Irelevansi : isi pikiran atau ucapan yang tidak ada hubungannya dengan
pertanyaan atau dengan hal yang sedang dibicarakan.
11) Pikiran berputar-putar (circumstantiality) : menuju secara tidak langsung
kepada ide pkok dengan menambahan banyak hal yang remeh-remeh yang
majemuk dan tidak relevan.
12) Main-main dengan kata-kata : membuat sejak secara tidak wajar.
13) Afasi : mungkin sensori (tidak atau sukar mengerti biacara orang lain) atau
motorik (tidak dapat atau sukar bicara), sering kedua-duanya sekaligus dan
terjadi kerusakan otak.
c. Gangguan Isi Pikir
Dapat terjadi baik pada isi pikiran nonverbal maupun pada isi pikiran yang
diceritakan misalnya :
1) Kegembiraan yang luar biasa (ecstasy) : dapat timbul secara mengambang
pada orang yang normal selama fase permulaan narkosa (anastesi umum)
2) Fantasi : isi pikiran tentang suatu keadaan atau kejadian yang diharapkan/
diinginkan, tetapi dikenal sebagai tidak nyata.
3) Fobia : rasa takut yang irasional terhadap sesuatu benda atau keadaan yang
tidak dapat dihilangkan atau ditekan oleh pasien, biarpun diketahui bahwa
hal itu irasional adanya.
4) Obsesi : Isi pikiran yang kukuh (persisten) timbul, biarpun tidak
dikendalikannya dan diketahui bahwa hal itu tidak wajar atau tidak mungkin.
5) Preokupasi : Pikiran terpaku hanya pada sebuah ide saja yang biasanya
berhubungan dengan keadaan yang bernada emosional yang kuat.
6) Pikiran yang tak memadai (Inadequate) : pikiran yang ekstrinsik, tidak cocok
dengan banyak hal, terutama dalam pergaulan dan pekerjaan seseorang.
7) Pikiran bunuh diri (Suicide thoughts / ideation) : mulai dari kadang-kadang
memikirkan hal bunuh dari sampai terus menerus memikirkan cara
bagaimana ia dapat membunuh dirinya
8) Pikiran hubungan : pembicaraan orang lain, benda-benda, atau sesuatu
kejadian dihubungkan dengan dirinya.
9) Rasa terasing (aleanasi) : perasaan bahwa dirinya sudah menjadi lain,
berbeda asing, umpamanya heran, siapakah dia itu sebenarnya, rasanya ia
berbeda sekali dengan orang lain.
10) Pikiran isolasi sosial (social isolation) : rasa terisolasi, tersekat, terkunci,
terpencil dari masyarakat, rasa ditolak, tidak disukai orang lain, rasa tidak
enak bila berkumpul dengan orang lain, lebih suka menyendiri.
11) Pikiran rendah diri : Merendahkan, menghinakan dirinya sendiri,
menyalahkan dirinya tentang suatu hal yang pernah atau tidak pernah
dilakukannya.
12) Merasa dirugikan oleh orang lain : menghina atau menyangka ada orang lain
yang telah merugikannya, sedang mengambil keuntungan dari dirinya, atau
sedang mencelakakannya.
13) Merasa dirinya dalam bidang seksual : acuh tak acuh tentang hal seksual,
kegairahan seksual berkurang secara umum (hiposeksualitas).
14) Rasa salah : sering mengatakan ia telah bersalah; ini bukanlah waham dosa.
15) Pesimisme : mempunyai pandangan yang suram mengenai banyak hal pada
bidangnya.
16) Sering curiga : mengutarakan ketidakpercayaannya kepada orang lain; buan
waham curiga.
17) Waham : keyakinan tentang sesuatu isi pikiran yang tidak sesuai dengan
kenyataannya atau tidak cocok dengan intelegensi dan latar belakang
kebudayaannya, biarpun dibutikan kemustahilan hal itu.
Menurut Direja (2011) dan Azizah (2011), adapun jenis-jenis
waham,yaitu :
1) Waham Kebesaran
Keyakinan secara berlebihan bahwa dirinya memiliki kekuatan khusus
atau berlebihan yang berbeda dengan orang lain, diucapkan berulang-ulang
tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
2) Waham Agama
Keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan berulang-
ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
3) Waham Curiga
Keyakinan seseorang atau sekelompok orang berusaha merugikan atau
mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
4) Waham Somatik
Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau
terserang penyakit, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
5) Waham Nihilistik
Keyakinan seseorang bahwa dirinya sudah meninggal dunia, diucapkan
berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
6) Waham Dosa
Keyakinan klien terhadap dirinya telah atau selalu salah atau berbuat dosa
atau perbuatannya tidak dapat diampuni lagi.
Waham yang bizar terdiri dari:
a) Sisp pikir yaitu keyakinan klien terhadap suatu pikiran orang lain
disisipkan ke dalam pikiran dirinya.
b) Siar pikir/broadcasting yaitu keyakinan klien bahwa ide dirinya dipakai
oleh/disampaikan kepada orang lain mengetahui apa yang ia pikirkan
meskipun ia tidak pernah secara nyata mengatakan pada orang tersebut.
c) Kontrol pikir/waham pengaruh yaitu keyakinan klien bahwa pikiran,
emosi dan perbuatannya selalu dikontrol/dipengaruhi oleh kekuatan di
luar dirinya yang aneh.
7. Penatalaksanaan Medis
Terapi pada gangguan jiwa, khususnya skizofrenia dewasa ini sudah
dikembangkan sehingga klien tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih
manusiawi daripada masa sebelumnya. Penatalaksanaan medis pada gangguan proses
pikir yang mengarah pada diagnosa medis skizofrenia, khususnya dengan gangguan
proses pikir: waham, yaitu:
g. Psikofarmakologi
Menurut Hawari (2013), jenis obat psikofarmaka, dibagi dalam 2 golongan
yaitu:
3) Golongan generasi pertama (typical)
Obat yang termasuk golongan generasi pertama, misalnya: Chorpromazine
HCL (Largactil, Promactil, Meprosetil), Trifluoperazine HCL (Stelazine),
Thioridazine HCL (Melleril), dan Haloperidol (Haldol, Govotil, Serenace).
4) Golongan kedua (atypical)
Obat yang termasuk generasi kedua, misalnya: Risperidone (Risperdal,
Rizodal, Noprenia), Olonzapine (Zyprexa), Quentiapine (Seroquel), dan
Clozapine (Clozaril)
h. Psikotherapi
Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada klien, baru dapat diberikan apabila
klien dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan dimana kemampuan
menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik. Psikotherapi
pada klien dengan gangguan jiwa adalah berupa terapi aktivitas kelompok (TAK).
i. Terapi somatik
Terapi somatik adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan tujuan
mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang adaptif dengan
melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik (Riyadi dan Purwanto, 2009).
Beberapa jenis terapi somatik, yaitu:
5) Restrain
Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau manual
untuk membatasi mobilitas fisik klien (Riyadi dan Purwanto, 2016).
6) Seklusi
Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam ruangan khusus
(Riyadi dan Purwanto, 2016).
7) Foto therapy atau therapi cahaya
Foto terapi atau sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini diberikan dengan
memaparkan klien sinar terang (5-20 kali lebih terang dari sinar ruangan)
(Riyadi dan Purwanto, 2016).
8) ECT (Electro Convulsif Therapie)
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan
menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik (Riyadi dan
Purwanto, 2016).
j. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan suatu kelompok atau komunitas dimana terjadi
interaksi antara sesama penderita dan dengan para pelatih (sosialisasi)
a. Rentang Respon Sosial
Menurut Stuart and Sundeen (2015) waham merupakan salah satu respon
persepsi paling maladaptif dalam rentang respon neurobiologi. Rentang respon
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Respon Adaptif Respon maladaptif

Pikiran logis Distorsi pikiran Gangguan proses


pikir / delusi / waham
Persepsi akurat Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten Reaksi emosi Sulit berespon emosi
dengan pengalaman berlebihan atau kurang
Perilaku sesuai Perilaku aneh atau Perilaku disorganisasi
tidak biasa
Berhubungan sosial Menarik diri Isolasi sosial

Dari rentang respon neurobiologik diatas digambarkan bahwa bila


klien/individu mendapat suatu stressor maka individu akan berespon menuju respon
adaptif maupun respon maladaptif. Bila individu berespon adaptif, cenderung dapat
berpikir logis, persepsi akurat, emosi konsisten dengan pengalaman, perilaku sesuai
dan dapat berhubungan sosial. Bila individu berespon antara respon adaptif dan
maladaptif maka akan menimbulkan pemikiran kadang – kadang menyimpang, ilusi,
reaksi emosional berlebihan atau berkurang, perilaku ganjil dan menarik diri. Namun
bila individu berespon maladaptif maka cenderung mengalami kelainan
pemikiran/delusi/waham, halusinasi, ketidakmampuan untuk mengalami emosi,
ketidakteraturan dan isolasi social.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan gangguan isi
pikir: waham, adalah:
f. Gangguan proses pikir: waham
g. Risiko perilaku kekerasan
h. Isolasi sosial
i. Harga diri rendah kronik
Sedangkan data yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan isi pikir: waham,
adalah:
a. Data subyektif
1) Klien mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang paling hebat
2) Klien mengatakan bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus.
b. Data obyektif
1) Klien terus berbicara tentang kemampuan yang dimilikinya.
2) Pembicaraan klien cenderung berulang-ulang
3) Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan.
2. Pohon Masalah
Pohon masalah pada pasien dengan waham adalah sebagai berikut:
Risiko Perilaku Kekerasan
Effect

Gangguan proses Pikir: Waham Core Problem

Isolasi Sosial Causa

Harga Diri Rendah Kronik

3. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan Proses Pikir: Waham
b. Risiko perilaku kekerasan
c. Isolasi sosial
d. Harga diri rendah kronik
4. Rencana Keperawatan
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
GANGGUAN ISI PIKIR: WAHAM

DIAGNOSA PERENCANAAN
TGL/ JAM INTERVENSI
KEPERAWATAN TUJUAN KRITERIA EVALUASI
Gangguan proses pikir: TUM :
waham Klien dapat berpikir sesuai dengan
realitas
TUK
1. Klien dapat membina hubungan 1. Setelah ....x interaksi klian : 1. Bina hubungan saling percaya
saling percaya dengan perawat. a. Mau menerima kehadiran dengan klien :
perawat di sampingnya. a. Beri salam
b. Menyatakan mau menerima b. Perkenalkan diri, tanyakan nama
bantuan perawat. serta nama panggilan yang
c. Tidak menunjukkan tanda- disukai.
tanda curiga. c. Jelaskan tujuan interaksi
d. Yakinkan dia dalam keadaan
aman dan mendampinginya.
e. Yakinkan bahwa kerahasiaan
klian akan tetap terjaga.
f. Tunjukkan sikap terbuka dan
jujur
g. Perhatikan kebutuhan dasar dan
beri bantuan memenuhinya
2. Klien dapat mengidentifikasi 2. Setelah...x.... interaksi klien dapat 2.1 Beri pujian pada penampilan dan
kemampuan yang dimiliki mengidentifikasi kemampuan kemampuan klien yang realistis.
yang dimilikinya. 2.2 Diskusikan dengan klien
kemampuan yang dimiliki pada
waktu lalu dan saat ini yang
realistis.
2.3 Tanyakan apa yang biasa klien
lakukan kemudian anjurkan untuk
melakukannya saat ini.
2.4 Jika klien selalu bicara tentang
wahamnnya, dengarkan sampai
kebutuhan wahamnya tidak ada.
Perawat perlu memperlihatkan
bahwa klien penting.

3. Klien dapat mengidentifikasi 3. Setelah ....x......klien dapat 3.1 Observasi kebutuhan klien sehari-
kebutuhan yang tidak terpenuhi. mengetahui kebutuhannya yang hari.
tidak terpenuhi. 3.2 Diskusikan kebutuhan klien yang
tidak terpenuhi baik selama
dirumah maupun dirumah sakit.
3.3 Hubungan kebutuhan yang tidak
terpenuhi dan timbulnya waham.
3.4 Tinngkatkan aktivitas yang dapat
memenuhi kebutuhan klien.
3.5 Atur situasi agar klien mempunyai
waktu untuk menggunakan
wahamnnya.
4. Klien dapat berhubungan dengan 4. Setelah .....x..... klien dapat 4.1 Berbicara dengan klien dengan
realistis. berhubungan dengan realistis konteks realitas (diri,orang
lain,tempat, dan waktu).
4.2 Sertakan klien dalam aktivitas
kelompok orientasi realitas.
4.3 Berikan pujian pada setiap
kegiatan positif dilakukan klien.
5. Klien mendapat dukungan keluarga 5. Setelah ....x....interaksi klien 5.1 Diskusikan dengan keluarga
mendapat dukungan keluarga tentang :
a. Gejala waham
b. Cara merawatnya
c. Lingkungan keluarga
d. Follow up obat
5.2 Anjurkan keluarga melaksanakan
5.1 dengan bantuan perawat.

6. Klien dapat menggunakan obat 6. Setelah ....x....klien dapat 6.1 Diskusikan dengan klien dan
dengan benar. mengetahui meminum obat yang keluarga tentang obat, dosis,
benar. frekuensi, dan efek samping
akibat penghentian.
6.2 Diskusikan perasaan klien setelah
minum obat.
6.3 Berikan obat dengan prinsip 5
benar
5. Intervensi berdasrkan SP pasien dan keluarga
Masalah Tindakan Perawatan Untuk Tindakan Keperawatan Untuk
Keperawatan Pasien Keluarga
Waham SP I SP I
1. Membantu orientasi 1. Mendiskusikan
realita masalah yang
2. Mendiskusikan dirasakan keluarga
kebutuhan yang tidak dalam merawat pasien
terpenuhi 2. Menjelaskan
3. Membantu pasien pengertian, tanda dan
memenuhi gejala waham, dan
kebutuhannya jenis waham yang
4. Menganjurkan pasien dialami pasien beserta
memasukkan dalam proses terjadinya
jadwal kegiatan harian 3. Menjelaskan cara-cara
merawat pasien waham

SP II
1. Melatih keluarga
SP II mempraktekkan cara
1. Mengevaluasi jadwal merawat pasien dengan
kegiatan harian pasien waham
2. Berdiskusi tentang 2. Melatih keluarga
kemampuan yang melakukan cara
dimiliki merawat langsung
3. Melatih kemampuan kepada pasien waham
yang dimiliki
SP III
1. Membantu keluarga
SP III membuat jadwal
1. Mengevaluasi jadwal aktifitas dirumah
kegiatan harian pasien termasuk minum obat.
2. Memberikan 2. Mendiskusikan sumber
pendidikan kesehatan rujukan yang bisa
tentang penggunaan dijangkau oleh
obat secara teratur keluarga
3. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian

6. Evaluasi
Adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada
klien
Evaluasi dibagi 2 :
3. Evaluasi proses (Formatif) dilakukan setiap selesai melakukan tindakan
4. Evaluasi hasil (Sumatif) dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan
khusus dan umum yang telah ditentukan dengan perawatan SOAP
Hasil yang ingin dicapai pada klien dengan kerusakan interaksi sosial (menarik
diri) yaitu : Klien dapat berpikir sesuai dengan realitas
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M. 2011. Keperawatan Jiwa: Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Direja, A.H.S. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Medikal Book.
Fitria, N. 2015. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.
Keliat, B.A. 2012. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Riyadi, S. dan Purwanto, T. 2016. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Stuart & Sundden. 2015. Principle & Praktice of Psychiatric Nursing, ed. Ke-5. St Louis: Mosby
Year Book.
Townsed, M. C. 2012. Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3. Jakarta: EGC.
Yosep, I. 2016. Keperawatan Jiwa. Jakarta: Refika Aditama.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN DENGAN RISIKO BUNUH DIRI

A. Konsep Dasar Teori


1. Pengertian
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien untuk
mengakhiri kehidupannya (Herman, 2011).
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien untuk
mengakhiri kehidupannya. Bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain:
a. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
b. Bunuh diri dilakukan dengan intensi
c. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
d. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung (pasif),
misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan kelangsungan hidup atau
secara sengaja berada di rel kereta api.
Bunuh diri (suicide) adalah segala perbuatan dengan tujuan untuk membinasakan
dirinya sendiri dan yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang tahu akan
akibatnya yang mungkin pada waktu yang singkat.
Tanda dan gejala :
1. Sedih
2. Marah
3. Putus asa
4. Tidak berdaya
5. Memeberikan isyarat verbal maupun non verbal
2. Penyebab
Secara universal karena ketidakmampuan individu untuk menyelesaikan
masalah. Terbagi menjadi:
a. Faktor Genetik
Faktor genetik (berdasarkan penelitian):
1) 1,5 – 3 kali lebih banyak perilaku bunuh diri terjadi pada individu yang
menjadi kerabat tingkat pertama dari orang yang mengalami gangguan
mood/depresi/ yang pernah melakukan upaya bunuh diri.
2) Lebih sering terjadi pada kembar monozigot dari pada kembar dizigot.
Faktor Biologis lain
Biasanya karena penyakit kronis/kondisi medis tertentu, misalnya: Stroke,
Gangguuan kerusakan kognitif (demensia), DiabetesPenyakit arteri koronaria,
Kanker, HIV / AIDS
Faktor Psikososial & Lingkungan
1) Teori Psikoanalitik / Psikodinamika: Teori Freud, yaitu bahwa kehilangan
objek berkaitan dengan agresi & kemarahan, perasaan negatif thd diri, dan
terakhir depresi.
2) Teori Perilaku Kognitif: Teori Beck, yaitu Pola kognitif negatif yang
berkembang, memandang rendah diri sendiri
3) Stressor Lingkungan: kehilangan anggota keluarga, penipuan, kurangnya
sistem pendukung social

3. Jenis Bunuh Diri


Menurut Yosep (2010) macam-macam pembagian bunuh diri dan percobaan
bunuh diri yaitu :
d. Bunuh diri Egoistik
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh
kondisi kebudayaan atau karena masyrakat yang menjadikan individu itu seolah-olah
tidak berkepribadian.
e. Bunuh diri altruistik
Individu cenderung bunuh diri karena identifikasi yang terlalu kuat dengan suatu
kelompok, individu merasa bahwa kelompok tersebut sangat mengharapkannya.
f. Bunuh diri anomik
Hal ini terjadi apabila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu
dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meninggalkan norma-norma kelakuan
yang biasa. Individu kehilangan pegangan dan tujuan, masyarakat dan kelompoknya
tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan dan
pengawasan terhadap kebutuhannya.

Psikodinamika Bunuh Diri


Terdapat hubungan yang erat antara suicide dan depresi. Individu yang mengalami
depresi mencoba melakukan bunuh diri untuk menghilangkan depresinya. Namun
banyak orang yang melakukan bunuh diri tidak memperlihatkan gejala-gejala klinik
mengenai depresi. Psikodinamika bunuh diri yaitu :
a. Kematian sebagai pelepasan pembalasan (Death as retaliatory abandonment),
artinya yaitu suicide merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa
takut akan kematian. Individu merasa seakan-akan dapat mengontrol dan
mengetahui bilamana dan bagaimana kematian.
b. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (Death as retroflexed
murder), artinya yaitu bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suicide
dapat mengganti kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresi. Individu
cenderung bertindak kasar dan suicide dapat merupakan penyelesaian mengenai
pertentangan emosi dengan keinginan untuk membunuh
c. Kematian sebagai penyatuan kembali (Death as reunion), artinya kematian
memiliki arti yang menyenangkan karena individu bersatu kembali dengan orang
yang telah meninggal.
d. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (Death as self punishment), artinya
menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada
wanita, akan tetapi jika seorang ibu tidak mampu mencintai maka keinginan untuk
menghukum dirinya dapat terjadi. Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tidak berguna
dan menghukum diri sendiri merupakan hal yang umum. Mula-mula karena
kegagalan, rasa berdosa karena agresi, individu mencoba berbuat lebih baik lagi,
tetapi akhirnya individu akan menghukum dirinya sendiri untuk menjauhkan diri
dari tujuan itu.

Tanda-tanda Bunuh Diri


Membagi besarnya risiko bunuh diri dengan melihat adanya tanda-tanda tertentu
yaitu :
a. Tanda-tanda risiko berat
1) Keinginan mati yang sungguh-sungguh, pernyataan yang berulang-ulang bahwa
individu ingin mati.
2) Adanya depresi dengan gejala rasa bersalah dan berdosa terutama terhadap
orang-orang yang sudah meninggal, rasa putus asa, ingin dihukum berat, rasa
cemas yang hebat, rasa tidak berharga, menurunnya nafsu makan san sex, serta
adanya gangguan tidur yang berat.
3) Adanya psikosa, terutama penderita psikosa impulsive, serta adanya perasaan
curiga, ketakutan dan panik. Keadaan semakin berbahaya jika penderita
mendengar suara yang memerintahkan untuk membunun dirinya.
b. Tanda-tanda bahaya
1) Pernah melakukan percobaan bunuh diri.
2) Penyakit yang menahun, penderita dengan penyakit kronis yang berat dapat
melakukan bunuh diri karena depresi yang disebabkan penyakitnya.
3) Ketergantungan obat dan alkohol, alkohol dan beberapa obat mempunyai efek
melemahkan kontrol dan mengubah dorongan (impuls) sehingga memudahkan
bunuh diri.
4) Hipokondriasis, keluhan fisik yang konstan dan bermacam-macam tanpa sebab
organis dapat menimbulkan depresi yang berbahaya.
5) Bertambahnya umur, bertambahnya umur tanpa pekerjaan dan kesibukan yang
berarti dapat menambah perasaan bahwa hidupnya tidak berguna
6) Pengasingan diri, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak dapat lagi
menolong dan mengatasi depresi yang berat.
7) Kebangkrutan, individu tanpa uang, pekerjaan, teman atau harapan masa depan
mempunyai gairah hidup yang kurang daripada seseorang yang mempunyai
keluarga dan kedudukan sosial yang tinggi.
8) Catatan bunuh diri, seseorang yang mempunyai riwayat catatan bunuh diri
dianggap sebagai tanda bahaya.
9) Kesukaran penyesuaian diri yang kronis, individu dengan riwayat hubungan
antar individu yang tidak memuaskan memiliki kemungkinan lebih besar untuk
melakukan suicide.

Pengobatan
Semua kasus percobaan bunuh diri harus mendapat perhatian yang serius.
Pertolongan pertama dilakukan di rumah sakit, dilakukan pengobatan terhadap luka
ataupun keracunan. Bila luka atau keracunan sudah dapat diatasi maka dilakukan
evaluasi psikiatri. Untuk pasien depresi bisa diberikan terapi elektrokonvulsi, obat-
obatan berupa antidepresan dan psikoterapi.
Prognosa
Faktor yang mempengaruhi prognosa yaitu :
a. Pasien : bila pasien dapat menyesuaikan diri dengan baik dan stress yang menjadi
faktor pencetus untuk percobaan bunuh diri cukup besar maka prognosanya lebih
baik.
b. Lingkungan : bila lingkungan memberi dukungan dan banyak orang yang
memperhatikan penderita serta banyak hal yang dapat memberi arti dalam
kehidupan pasien, maka prognosanya akan lebih baik.

4. Rentang respon

Peningkatan Prilaku
Beresiko Pencederaan Bunuh Diri
Diri destruktif diri
destruktif Diri
langsung

a. Peningkatan diri. Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri

secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri.

b. Beresiko destruktif. Seseorang memiliki kecendrungan atau berisiko mengalami

perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya

dapat mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah semangt bekerja

ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudaj melakukan

pekerjaan secara optimal.

c. Destruktif diri tak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat

(maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya untuk mempertahankan

dirinya.
d. Pencederaan diri. Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan

diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.

e. Bunuh diri. Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan

nyawanya hilang (Yosep, 2010).


B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
a. Identitas klien
Identitas meliputi ruangan rawat, inisial pasien, umur, pekerjaan, pendidikan,
tanggal rawat, tanggal pengkajian, nomer RM, status, dan informan.
b. Alasan masuk RSJ
Disesuaikan dengan kondisi pasien.Biasanya pasien yang mengalami resiko
bunuh diri masuk RSJ dengan alasan mengungkapkan perasaan sedih, marah, putus
asa, tidak berdaya dan memberikan isyarat verbal maupun non verbal mengenai
keinginannya untuk bunuh diri.
c. Faktor Predisposisi
Pasien dengan resiko bunuh diri mungkin memiliki riwayat keluarga yang
mengalami gangguan jiwa, pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu dengan
pengobatan yang kurang berhasil, pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan,
dan lain sebagainya.
d. Fisik
Kaji TTV pasien, TB, keluhan fisik yang mungin terjadi seperti tidak nafsu
makan, merasa lemas,
e. Psikososial
Gambarkan genogram keluarga pasien, kaji konsep diri pasien yang terdiri dari
citra tubuh, identitas, peran, ideal diri,dan harga diri, hubungan sosial dengan orang
terdekat/masyarakat serta kehidupan spiritual. Pada pasien dengan resiko bunuh diri
dengan penyebabnya harga diri rendah, pasien akan memperlihatkan konsep diri yang
buruk misalperasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri,
merendahkan martabat dengan menyatakan saya tidak bisa/ saya tidak mampu/saya
orang bodoh /tidak tahu apa-apa, menarik diri, percaya diri kurang, dan mencederai
diri akibat harga diri yang rendah disertai harapan yang suram dan akhirnya mungkin
klien ingin mengakhiri kehidupannya.
f. Status mental
Perlu dikaji penampilan pasien, gaya bicara, aktivitas motorik, alam perasaan,
afek, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran,
memori, tingkat konsentrasi dan berhitung, kemampuan penilaian, dan daya tilik diri.
Pada pasien dengan resiko bunuh diri mungkin akan tampak penampilan tidak rapi,
gaya bicara lambat, aktivitas motorik lesu, alam perasaan sedih dan putus asa, interaksi
selama wawancara kurang dan lebih banyak membisu.
g. Kebutuhan persiapan pulang
Perlu dikaji kesiapan pasien saat pulang mencakup kebutuhan ADL, istirahat tidur,
penggunaan obat, pemeliharaan kesehatan, aktivitas dalam rumah dan luar rumah.
h. Mekanisme koping
Pada pasien dengan resiko bunuh diri biasanya memiliki koping maladaktif yakni
dengan berusaha mencederai diri atau orang lain
i. Masalah psikososial dan lingkungan
Kaji masalah pasien terhadap pelayanan kesehatan yang didapat, dukungan
kelompok, lingkungan, pendidikan, perumahan, dan ekonomi.Mungkin pada pasien
resiko bunuh diri akan tampak masalah dengan dukungan kelompok serta lingkungan
dimana pasien tidak percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain karena selalu
mengganggap dirinya tidak bisa, tidak mampu dan lain sebagainya.
j. Kurang pengetahuan tentang penyakit jiwa/faktor presipitasi/koping/penyakit
fisik/obat-obatan
k. Aspek medic
Berisi diagnosa medik serta terapi medik yang didapatkan oleh pasien . Masalah
keperawatan yang muncul pada pasien dengan resiko bunuh diri adalah
1) Resiko bunuh diri
DS : Menyatakan ingin bunuh diri / ingin mati saja, tak ada gunanya hidup.
DO : Ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah mencoba bunuh diri.
2) Resiko mencederai diri sendiri,orang lain dan lingkungan
DS : Mengatakan ingin membakar rumah, mencederai orang lain atau dirinya
sendiri, Memberi kata-kata ancaman
DO : Tampak menyerang orang lain/menyentuh orang lain dengan cara
menakutkan, memecahkan perabot dan lain sebagainya, memperlihatkan
permusuhan
3) Harga diri rendah
DS : Menyatakan putus asa dan tak berdaya, tidak bahagia, tak ada harapan dan
tak berguna, malu
DO : Nampak sedih, mudah marah, gelisah, tidak dapat mengontrol impul

POHON MASALAH

Risiko mencederai diri sendiri, efek


orang lain dan lingkungan

Risiko bunuh diri


Core Problem

Harga diri rendah cause

2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko bunuh diri
b. Risiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan
c. Harga diri rendah
3. Rencana Tindakan Keperawatan
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN RISIKO BUNUH DIRI
Tg No.Dx Dx. Perencanaan
Tujuan Kriteria hasil Intervensi
l Keperawatan
Risiko Bunuh TUM : Setelah ....x... menit 1. Bina hubungan
Diri Klien dapat selam...jam klien saling percaya dengan :
mengendalikan menunjukkan tanda-tanda a. kenalkan diri
dorongan untuk percaya pada perawat : pada klien
bunuh diri. a. Menjawab salam b. Tanggapi
b. Mau menerima pembicaraan
perawat
TUK 1 : klien dengan
c. Ada kontak mata
Klien dapat d. Mau berjabat tangan sabar dan tidak
membina menyangkal
hubungan c. Bicara
saling percaya tegas,jelas dan
jujur
d. Bersifat hargai
dan bersahabat
e. Temani klien
saat keinginan
mencederai diri
meningkat
f. Jauhkan klien
ari bena-bena
(eperti : pisau,
silet, gunting,
tali kaca,sll).
TUK 2 : 1. Setelah .....x..menit 1.Dengar kan
Klien mampu selama.....am klien dapat keluhan yang
mengekpresikan mengekpresikann dirasakan klien
perasaannya. perasaannya : 2.Bersikap empati
a. Menceritakan untuk meninkatkan
peneritaan secara unkapan keraguan,
terbuka dan ketakutan dan
konstruktif dengan keprihatinan.
oran lain. 3.Beri dorongan
kepada klien untuk
mengungkapkan
mengapa dan
bagaimana harapan
karena harapan
adalah hal yang
terpenting dalam
kehidupan.
TUK 3 : 2. Setelah .....x....menit 1.Bantu klien untuk
Klien dapat selama...jam klien dapat memahami bahwa
meningkatkan mengenang dan meninjau ia dapat mengatasi
harga diri kembali kehiupan secara aspek-aspek
positif : keputusan dan
a. Mempertimbangkan memisahkan dari
nilai-nilai dan arti aspek harapan.
kehidupan. 2.Kaji dan
b. Mengekpresikan kerahkan sumber-
perasaan-perasaan sumber internal
yang optimis tentang individu (outonomi,
yang ada. mandiri, rasional
pemikiran kognitif ,
fleksibelitas dan
spiritualitas.
3.Bantu klien
mengidentifikasi
sumber-sumber
harapan (misal :
hubungan antar
sesama, keyakinan
hak-hak untuk
diselesaikan).
4.Bantu klien
mengembangkan
tujuan-tujuan
realitas jangka
panjang dan angka
pendek (beralih dari
yang sederhana ke
yang lebih komplek
dapat menggunakan
suatu poster tujuan
untuk menandakan
jenis dan waktu
untuk pencapaian
tujuan-tujuan
spesifik).
TUK 4 : 3. Setelah ....x...menit 1.Ajarkan klien
Klien selama ...jam klien dapat untuk
menggunakan mengekpresikan perasaan mengantisipasi
dukungan tentang hubungan yang pengalaman yang
sosial. positif dengan orang dia senang
terdekat : melakukan setiap
a. Mengekpresikan hari ( misal :
percaya diri dengan beralan, membaca
hasil yang diinginkan. buku favorit dan
b. Menekpresikan menulis surat).
percaya ddiri dengan 2.Bantu klien untuk
diri dan orang lain. mengenali hal-hal
c. Menatap tujuan-tujuan yang dicintai yang
yang realitis. ia sayang dan
penting terhadap
kehidupan orang
lain disamping
tentan kegagalan
dalam kesehatan.
3.Beri dorongan
pada klien untuk
berbaai
keprihatinan pada
orang lain yang
mempunyai
masalah dan
penyakit yang sama
dan telah
mempunyai
pengalaman positif
dalam mengatasi
tersebut dengan
koping yang
efektif.
TUK 5 : 4. Setelah ...x... menit 1.Kaji dan
Klien selama...jam , sumber kerahkan sumber-
menggunakan tersedia (keluarga, sumber ekternal
dukungan lingkungan dan individu (orang
sosial. masyarakat) : terdekat,
a. Keyakinan makin timpelayanan
meningkat kesehatan,
kelompok
pendukung, agama
dianutnya).
2.Kaji sistem
pendukung
keyakinan(nilai,
pengalaman masa
lalu, aktivitas
keagamaan,
kepercayaan
agama). Lakukan
rujukan selesai
indikasi (misal :
konseling dan
pemuka agama).
4. Intervensi berdasarkan SP Pasien dan Keluarga

Kriteria Hasil Strategi Pelaksanaan Strategi Pelaksanaan


Pasien Keluarga
Setelah di lakukan SP I SP I
tindakan keperawatan 1. Mengidentifikasi benda – 1. Mendiskusikan masalah
selama …X… benda yang dapat yang dirasakan keluarga
diharapkan pasien membahayakan pasien dalam merawat pasien
tidak terjadi resiko 2. Mengamankan benda – 2. Menjelaskan pengertian,
bunuh diri benda yang dapat tanda dan gejala risiko
membahayakan pasien bunuh diridan jenis perilaku
3. Melakukan kontrak bunuh diri yang dialami
pelaksanaan pasien beserta proses
4. Mengajarkan cara terjadinya
mengendalikan dorongan 3. Menjelaskan cara – cara
bunuh diri merawat pasien dengan
5. Melatih cara risiko bunuh diri
mengendalikan dorongan
bunuh diri.
SP II SP II
1. Mengidentifikasi aspek 1. Melatih keluarga
positif pasien mempraktikkan cara
2. Mendorong pasien untuk merawat pasien dengan
berfikir positif terhadap risiko bunuh diri
diri 2. Melatih keluarga cara
3. Mendorong pasien untuk merawat pasien dengan
nmenghargai diri sebagai risiko bunuh diri langsung
individu yang berharga. kepada pasien itu sendiri.
SP III SP III
1. Mengidentifikasipola 1. Membantu keluarga
koping yang biasa membuat jadwal aktivitas
diterapkan pasien dirumah termasuk minum
2. Menilai pola koping yang obat (discharge planning)
biasa dilakukan 2. Mendiskusikan sumber
3. Mengidentifikasi pola rujukan yang bisa dijangkau
koping yang konstruktif. oleh keluarga
4. Mendorong pasien
memilih pola koping
yang konstruktif
5. Membimbing pasie
memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian.
SP IV
1. Membuat rencana masa
depan yang realistis
bersama pasien
2. Mengidentifikasi cara
mencapai rencanana
masa depan yang realistis
3. Memberi dorongan
pasien melakukan
kegiatan dalam rangka
meraih masa depan yang
realistis.
5. Evaluasi
Selanjutnya, setelah dilakukan tindakan keperawatan, evaluasi dilakukan terhadap
kemampuan pasien risiko bunuh diri serta kemampuan perawat dalam merawat pasien
dengan risiko bunuh diri.
DAFTAR PUSTAKA

Herman, Ade.2011.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta.Medical Book

Keliat , Budi Anna. 2012. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa . EGC. Jakarta.

Maramis. 2014. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press : Surabaya

Stuart dan sundeen . 2015. Buku Saku Keperawatan Jiwa . Edisi 3. EGC.Jakarta .

Yosep, I. 2010. Keperawatan Jiwa. PT Refika Aditama : Bandung.


LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN DENGAN DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. Konsep Dasar Teori


1. Pengertian
defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang
mengalami kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas
perawatan diri secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian atau berhias,
makan, dan BAB atau BAK (toileting) (Fitria, 2015). Pengertian yang hampir
sama diungkapkan oleh Wilkinson, (2016) defisit perawatan diri menggambarkan
suatu keadaan seseorang yang mengalami gangguan kemampuan untuk
melakukan aktivitas perawatan diri, seperti mandi, berganti pakaian, makan dan
toileting.
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi
akibat adanya perubahan proses piker sehingga kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri menurun.Kurang perawatan diri tampak dari
ketidakmampuan merawat kebersihan diri diantaranya mandi,makan dan minum
secara mandiri,berhias secara mandiri, dan toileting.

2. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif

 
- Pola perawatan - Kadang perawatan diri - Tidak melakukan
diri seimbang kadang tidak perawatan saat stress

Keterangan :
a. Pola perawatan diri seimbang, saat pasien mendapatkan stresor dan mampu
untuk berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan pasien
seimbang, pasien masih melakukan perawatan diri.
b. Kadang perawatan diri kadang tidak, saat pasien mendapatkan stresor kadang
– kadang pasien tidak memperhatikan perawatan dirinya,
c. Tidak melakukan perawatan diri, pasien mengatakan dia tidak peduli dan tidak
bisa melakukan perawatan saat stresor.
3. Jenis-Jenis Defisit Perawatan Diri
Menurut Nanda-I (2012),jenis perawatan diri terdiri dari :
a. Defisit perawatan diri : Mandi/ Kebersihan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri
b. Defisit perawatan diri : Berpakaian/Berhias
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
berpakaian dan berhias untuk diri sendiri
c. Defisit perawatan diri : Makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas makan
secara mandiri
d. Defisit perawatan diri : Toileting/Eliminasi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri

4. Tanda dan Gejala


Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut Fitria (2015) adalah
sebagai berikut :
a. Mandi/Hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,
memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air
mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk
dan keluar kamar mandi.
b. Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil
potongan pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar
pakaian. Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian
dalam,memilih pakaian,mengambil pakaian dan mengenakan sepatu.
c. Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan
makanan,mempersiapkan makanan,melengkapi makanan,mencerna makanan
menurut cara yang diterima masyarakat,serta mencerna cukup makanan
dengan aman.
d. Eliminasi
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan
jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban,memanipulasi
pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat,
dan menyiram toilet atau kamar kecil.
5. Penyebab
a. Faktor Predisposisi
Deficit perawatan diri seringkali disebabkan oleh intoleransi aktivitas,
hambatan mobilitas fisik, nyeri, ansietas, atau gangguan kognitif atau persepsi
(misalnya deficit perawatan diri: makan yang berhubungan dengan
disorientasi). Sebagai etiologi, deficit perawatan diri dapat menyebabkan
depresi, ketakutan terhadap ketergantungan dan ketidakberdayaan (misalnya,
ketakutan menjadi ketergantungan total yang berhubungan dengan deficit
perawatan diri akibat kelemahan residual karena penyakit stroke)
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2010) faktor predisposisi deficit
perawatan diri adalah:
1) Perkembangan:
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
2) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
3) Kemampuan Realitas turun
Klien dengan dengan gangguan jiwa, dengan kemampuan realitas yang
kurang menyebabkan ketidak pedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri. Masalah psikologi tersebut contohnya harga diri rendah :
klien tidak mempunyai motivasi untuk merawat diri, body image:
gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri,
misalnya individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan dari lingkungannya. Situasi
lingkngan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.

b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi deficit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, gangguan kognitif atau perceptual, cemas, lelah atau lemah yang
dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan
perawatan diri. Faktor-faktor yang mempengaruhi :
1) Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri
misalnya dengan adanya perubahan fisik, individu tidak peduli dengan
kebersihan dirinya.
2) Praktik Sosial
Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan
akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3) Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, shampoo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
4) Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang
baik dapat meningkatkan kesehatan.
5) Budaya
Disebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6) Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan
diri seperti penggunaan sabun, shampoo dan lain-lain.
7) Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit, kemampuan untuk merawat diri berkurang
dan perlu bantuan untuk melakukannya.
6. Dampak
a. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering
terjadi adalah : Gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut,
infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku.
b. Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan
kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga
diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.

7. Tindakan keperawatan pada pasien defisit perawatan diri


Menurut Damaiyanti dan Iskandar (2012) tindakan mandiri keperawatan pada
pasien dengan defisit perawatan diri yaitu:
a. Menjelaskan pentingnya kebersihan diri.
b. Menjelaskan cara menjaga kebersihan diri.
c. Membantu pasien mempraktikan cara menjaga kebersihan diri.
d. Menjelaskan cara makan yang baik.
e. Membantu pasien mempraktikan cara makan yang baik.
f. Menjelaskan cara eliminasi yang baik.
g. Membantu pasien mempraktikan cara eliminasi yang baik.
h. Menjelaskan cara berdandan.
i. Membantu pasien mempraktikan cara berdandan.
j. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Fokus intervensi keperawatan dalam hal ini terdiri dari dua, yaitu:
a. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pasien melakukan perawatan diri.
b. Membantu pasien dengan keterbatasan dan melakukan perawatan yang tidak
dapat dilakukan pasien.
Kemampuan perawatan diri pasien skizofrenia mengalami penurunan yang
disebabkan karena gangguan kemauan pada pasien. Pasien banyak mengalami
kelemahan kemauan dan tidak dapat mengambil keputusan perawatan diri.

8. Mekanisme Koping
a. Regresi
Regresi adalah kemunduran akibat stress terhadap perilaku dan merupakan
cirri khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini
b. Penyangkalan
Penyangkalan merupakan mekanisme koping / pertahanan untuk mengurangi
kesulitan untuk menegakkan diagnosis.
c. Isolasi diri, menarik diri
Bila individu menyangkal kenyataan, maka dia menganggap tidak ada atau
menolak adanya pengalaman yang tidak menyenangkan (sebenarnya mereka
sadari sepenuhnya) dengan maksud untuk melindungi dirinya sendiri.
Penyangkalan kenyataan juga mengandung unsur penipuan diri.
d. Intelektualisasi
Apabila individu menggunakan teknik intelektualisasi, maka dia menghadapi
situasi yang seharusnya menimbulkan perasaan yang amat menekan dengan
cara analitik, intelektual dan sedikit menjauh dari persoalan. Dengan kata lain,
bila individu menghadapi situasi yang menjadi masalah, maka situasi itu akan
dipelajarinya atau merasa ingin tahu apa tujuan sebenarnya supaya tidak
terlalu terlibat dengan persoalan tersebut secara emosional. Dengan
intelektualisasi, manusia dapat sedikit mengurangi hal-hal yang pengaruhnya
tidak menyenangkan bagi dirinya, dan memberikan kesempatan pada dirinya
untuk meninjau permasalah secara obyektif.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Data yang biasa ditemukan dalam Defisit Perawatan Diri adalah :
a. Data Subjektif :
Pasien merasa lemah,malas untuk beraktivitas,dan merasa tidak berdaya
b. Data Objektif :
Rambut kotor acak-acakan,badan dan pakaian kotor serta bau,mulut dan gigi
bau,kulit kusam dan kotor,kuku panjang dan tidak terawatt
c. Mekanisme Koping :
Regresi,penyangkalan,isolasi social,menarik diri,intelektualisasi
Defisit perawatan diri bukan merupakan bagian dari komponen pohon masalah
(causa,core problem,effect) tetapi sebagai masalah pendukung.
a. Effect
b. Core Problem
c. Causa
d. Defisit Perawatan Diri
e. Menurunnya Motivasi Perawatan Diri
2. Pohon Masalah
Isolasi sosial Akibat

 
Defisit Perawatan Diri
Core Problem

Harga diri rendah Penyebab

Keterangan :

: Masalah Utama (core problem)

: hubungan sebab akibat

3. Diagnosa keperawatan
Defisit Perawatan Diri
4. Rencana Keperawatan
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN DEFISIT PERAWATAN DIRI

Tgl No.Dx Dx. Keperawatan Perencanaan


Tujuan Kriteria hasil Intervensi
Defisit Perawatan Diri TUM : Bina hubungan saling percaya
Klien dapat melakukan 1. Setelah …x interaksi klien dengan:
perawatan diri secara menunjukkan tanda – tanda a. Beri salam setiap
mandiri percaya pada perawat : berinteraksi
a. Wajah cerah, tersenyum b. Perkenalkan nama, nama
TUK 1 : b. Mau berkenalan panggilan perawat, dan
Klien dapat membina c. Ada kontak mata tujuan perawat berinteraksi.
hubungan saling percaya d. Bersedia menceritakan c. Tanyakan dan panggil nama
perasaan kesukaan klien
e. Bersedia mengungkapkan d. Tunjukkan sikap empati,
masalahnya jujur dan menepati janji
setiap kali berinteraksi.
e. Tanyakan perasaan klien
dan masalah yang dihadapi
klien
f. Buat kontrak interaksi yang
jelas
g. Dengarkan dengan empati
h. Penuhi kebutuhan dasar
klien

TUK 2 : Setelah …x interaksi klien Diskusikan dengan klien :


Klien mengetahui menyebutkan : a. Penyebab klien tidak
pentingnya perawatan diri a. Penyebab tidak merawat diri merawat diri
b. Manfaat menjaga perawatan diri b. Manfaat menjaga
c. Tanda-tanda bersih dan rapi perawatan diri untuk
d. Gangguan yang dialami jika keadaan fisik, mental dan
perawatan diri tidak sosial
diperhatikan c. Tanda-tanda perawatan diri
yang baik
d. Penyakit atau gangguan
kesehatan yang bisa
dialami oleh klien bila
perawatan diri tidak
adekuat

TUK 3 : Setelah …x interaksi klien Diskusikan frekuensi menjaga


Klien mengetahui cara- menyebutkan frekuensi menjaga perawatan diri selama ini
cara melakukan perawatan perawatan diri : a. Mandi
diri a. Frekuensi mandi b. Gosok gigi
b. Frekuensi gosok gigi c. Keramas
c. Frekuensi keramas d. Berpakain
d. Frekuensi ganti pakaian e. Berhias
e. Frekuensi berhias f. Gunting kuku
f. Frekuensi gunting kuku

Setelah …x interaksi klien Diskusikan cara praktek perawatan


menjelaskan cara menjaga perawatan diri yang baik dan benar
diri : a. Mandi
a. Cara mandi b. Gosok gigi
b. Cara gosok gigi c. Keramas
c. Cara keramas d. Berpakain
d. Cara berpakaian e. Berhias
e. Cara berhias f. Gunting kuku
f. Cara gunting kuku Berikan pujian untuk setiap respon
klien yang positif
TUK 4 : Setelah ....x interaksi klien Bantu klien saat perawatan diri :
Klien dapat melaksanakan mempraktekan perawatan diri a. Mandi
perawatan diri dengan dengan dibantu oleh perawat : b. Gosok gigi
bantuan perawat a. Mandi c. Keramas
b. Gosok gigi d. Berpakain
c. Keramas e. Berhias
d. Berpakain f. Gunting kuku
e. Berhias Beri pujian setelah klien selesai
f. Gunting kuku melaksanakan perawatan diri

TUK 5 : Selama …x interaksi klien Pantau klien dalam melaksanakan


Klien dapat melaksanakan melaksanakan praktek perawatan perawatan diri :
perawatan secara mandiri diri secara mandiri : a. Mandi
a. Mandi 2x sehari b. Gosok gigi
b. Gosok gigi sehabis makan c. Keramas
c. Keramas 2x seminggu d. Berpakain
d. Ganti pakaian 1x sehari e. Berhias
e. Berhias sehabis mandi f. Gunting kuku
f. Gunting kuku setelah mulai Beri pujian saat klien
panjang melaksanakan perawatan diri
secara mandiri.
TUK 6 : Selama …x interaksi keluarga Diskusikan dengan keluarga :
Klien mendapatkan menjelaskan cara-cara membantu a. Penyebab klien tidak
dukungan keluarga untuk klien dalam memenuhi kebutuhan melaksanakan perawatan diri
meningkatkan perawatan perawatan dirinya b. Tindakan yang telah
diri dilakukan klien selama di
Rumah Sakit dalam menjaga
perawatan diri dan kemajuan
yang telah dialami oleh klien
c. Dukungan yang bisa diberika
oleh keluarga untuk
meningkatkan kemempuan
klien dalam perawatan diri
Selama …x interaksi keluarga Diskusikan denagn keluarga
menyiapakan sarana perawatan diri tentang :
klien : sabun mandi, pasta gigi, sikat a. Sarana yang diperlukan
gigi, sampo, handuk, pakaian bersih, untuk menjaga perawatan
sandal dan alat berhias . diri klien
b. Anjurkan kepada keluarga
menyiapkan sarana tersebut

Keluarga mempraktekan perawatan Diskusikan dengan keluarga hal-hal


diri kepada klien yang perlu dilakukan keluarga
dalam perawatan diri :
a. Anjurkan keluarga untuk
mempraktekan perawatan
diri (mandi, gosok gigi,
keramas, ganti baju, berhias
dan gunting kuku)
b. Ingatkan klien waktu mandi,
gosok gigi, keramas, ganti
baju, berhias dan gunting
kuku
c. Bantu jika klien mengalami
hambatan dalam perawatan
diri
d. Berikan pujian atas
keberhasilan klien.
4. Intervensi Berdasarkan Sp pasien dan keluarga
Masalah Tindakan keperawatan untuk Tindakan keperawatan untuk
keperawatan pasien keluarga pasien
Defisit perawatan Pasien Keluarga
diri SP I P SP I K
1. Menjelaskan pentingnya 1. Mendiskusikan masalah yang
kebersihan diri dirasakan keluarga dalam
2. Menjaga cara menjaga merawat pasien
kebersihan diri 2. Menjelaskan pengertian tanda
3. Membantu pasien dan gejala defisit perawatan diri
mempraktekkan cara dan jenis defisit perawatan diri
menjaga kebersihan diri yang dialami pasien beserta
4. Menganjurkan pasien proses terjadinya
memasukkan jadwal 3. Menjelaskan cara-cara merawat
kegiatan harian pasien defisit perawatan diri

SP II K
SP II P 1. Melatih keluarga
1. Mengevaluasi jadwal mempraktekkan cara merawat
kegiatan harian pasien pasien dengan defisit perawatan
2. Menjelaskan cara makan diri
yang baik 2. Melatih keluarga melakukan
3. Membantu pasien cara merawat langsung kepada
mempraktekkan cara pasien defisit perawatan diri
makan yang baik
4. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam SP III K
jadwal kegiatan harian 1. Membantu keluarga membuat
jadwal aktivitas di rumah
SP III P termasuk minum obat
1. Mengevaluasi jadwal 2. Menjelaskan follow up pasien
kegiatan harian pasien setelah pulang
2. Menjelaskan cara
eliminasi yang baik
3. Membantu pasien
mempraktekkan cara
eliminasi yang baik dan
memasukkan dalam
jadwal
4. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
SP IV P
1. Mengevaluasi jadwal
kegiatan harian pasien
2. Menjelaskan cara
berdandan
3. Membantu pasien
mempraktekkan cara
berdandan
4. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian

5. Evaluasi
Adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada
klien.
Evaluasi dibagi 2 :
1. Evaluasi proses (Formatif) dilakukan setiap selesai melakukan tindakan
2. Evaluasi hasil (Sumatif) dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan
khusus dan umum yang telah ditentukan dengan perawatan SOAP
3. Hasil yang ingin dicapai pada klien dengan kerusakan interaksi sosial (menarik diri )
yaitu Klien mampu melakukan perawatan diri secara mandiri.
DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti, M. dan Iskandar, 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika


Aditama.

Fitria, N., 2015, Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika

Maramis, 2011, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University


Press

Yosep, 2010, Keperawatan jiwa.(Edisi Revisi). Bandung : Refika Aditama.

Stuart, G.W. and Laraia, 2015, Principles and Praktice of Psychiatric Nursing, St.
Louis: Mosby Year B.
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO PERILAKU KEKERASAN (RPK)

A. KONSEP DASAR TEORI


1. Pengertian
Prilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai
dengan amuk daan gaduh gelisah yang tidak terkontrol ( kusumawati dan hartono, 2010).
Jadi, perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan individu yang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan/mencederai diri sendiri, orang lain bahkan dapat merusak
lingkungan.
2. Etiologi
Perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri rendah.
Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa
jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan
sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal
mencapai keinginan.
Frustasi, seseorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan/keinginan yang
diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika ia
tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang
lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan kekerasan.
3. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Perilaku Kekerasan
a. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan 
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan  oleh
Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap
perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls 
agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga
mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls
agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan
memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau
menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal
maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian,
perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis
mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem
limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak
atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight
yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku
agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku
agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem
limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang  menimbulkan perubahan
serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus
temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak  terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak
kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra
diri dan memberikan arti  dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku
kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa 
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut
diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang
tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan
yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang
lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang
tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung
untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
c) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur
sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum
menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya.
Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu
menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi
secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut
dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat
menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan  dengan (Yosep, 2009):
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan  eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan
sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan
dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya
sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme
dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
4. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala dari perilaku kekerasan yaitu;
a. Muka merah dan tegang
b. Pandangan tajam
c. Mengatupkan rahang dengan kuat
d. Mengepalkan tangan
e. Jalan mondar-mandir
f. Bicara kasar
g. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
h. Mengancam secara verbal atau fisik
i. Melempar atau memukul benda/orang lain
j. Merusak barang atau benda
k. Tidak memiliki kemampuan mencegah atau mengendalikan perilaku kekerasan

5. Rentang Respon
Rentang adaptif Respon Maladaptif

Asertif frustasi pasif agresif kekerasan

Keterangan :
a. Asertif
individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan
ketenangan.
b. Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kupuasan saat marah dan tidak dapat menemukan
alternative
c. Pasif
Individu tidak dapat mengungkapkan perasaanya
d. Agresif
Prilaku yang menyertai marah terhadap dorongan untuk menuntut tetapi masih terkontrol
e. Kekerasan
Perasan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya control
Perbandingan antara prilaku asertif, pasif, agrsif / kekerasan
Pasif Asertif Agresif
Isi Negatif menurun Positif dan Menyombongkan
pembicaraan menandakan diit, menwarkan diri, diri, memindahkan
contoh contoh : orang lain contoh
“dapatkah saya?” “saya dapat…. “ kamu selalu….”
“Dapatkah “saya akan…. “kamu tidak pernah…
kamu ?” ”
Tekanan Cepat lambat , Sedang Keras dan mengotot
suara mengeluh.
Posisi badan Menundukan Tegap dan santai Kaku, cenderung
kepala
Jarak Menjaga jarak Mempertahankan Siap dengan jarak dan
dengan sikap acuh jarak yang menyerang orang lain
mengabaikan nyaman
Penampilan Loyo, tidak dapat Sikap tenang Mengancam posisi
tenang menyerang
Kontak mata Sedikit/ sama Mepmpertahanka Mata melotot dan di
sekali tidak n kontak mata pertahankan
sesuai dengan
hubungan

6. Pohon Masalah

Perilaku Kekerasan effect

Resiko Prilaku Kekerasan core problem

Harga Diri Rendah causa

7. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul


a. Perilaku kekerasan
b. Resiko perilaku kekerasan
c. Harga diri rendah

8. Data yang perlu dikaji


Masalah Keperawatan Data yang perlu di kaji
Resiko Perilaku Subjektif :
Kekersan         Klien mengancam
        Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
        Klien mengaatkan dendam dan jengkel
        Klien mengatakan ingin berkelahi
        Klien mengatakan menyalahkan dan menuntut
        Klien meremehkan
Objektif:
         Mata melotot/pandangan tajam
         Tangan mengepal
         Rahang mengatup
         Wajah memerah dan tegang
         Postur tubuh kaku
         Suara keras

Faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku kekerasan, antara lain sebagai
berikut:
a. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah
b.      Stimulus lingkungan
c.       Konflik interpersonal
d.      Status mental
e.       Putus obat
f.       Penyalahgunaan narkoba
9. Diagnosa keperawatan.
Resiko Perilaku Kekerasan
10. Rencana Tindakan Keperawatan
Tg No. Dx. Perencanaan
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
l Dx Keperawatan
Risiko TUM :
Perilaku Klien tidak melakukan tindakan 2. Setelah …x pertemuan klien 5. Bina hubungan saling percaya dengan :
Kekerasan. kekerasan. menunjukkan tanda-tanda j. Beri salam setiap berinteraksi.
percaya pada perawat : k. Perkenalkan nama, nama panggilan
TUK 1 : f. Wajah cerah, perawat, dan tujuan perawat
Klien dapat membina hubungan tersenyum. berinteraksi.
saling percaya. g. Mau berkenalan. l. Tanyakan dan panggil nama kesukaan
h. Ada kontak mata. klien, tunjukkan sikap empati, jujur
i. Bersedia menceritakan dan menepati janji setiap kali
perasaan. berinteraksi.
m. Tanyakan perasaan klien dan masalah
yang dihadapi klien.
n. Buat kontrak interaksi yang jelas.
o. Dengarkan dengan penuh perhatian,
ungkapan perasaan klien.
TUK 2 : 6. Setelah …x pertemuan, 3. Bantu klien mengungkapkan perasaan
Klien dapat mengidentifikasi klien menceritakan marahnya:
penyebab perilaku kekerasan yang penyebab perilaku q. Motivasi klien untuk menceritakan
dilakukannya. kekerasan yang penyebab rasa kesal atau jengkelnya.
dilakukannya: r. Dengarkan tanpa menyela atau
p. Menceritakan penyebab memberi penilaian setiap ungkapan
perasaan jengkel atau perasaan klien.
kesal baik dari diri
sendiri maupun
lingkungannya.
TUK 3 : 4. Setelah … x pertemuan, 7. Bantu klien mengungkapkan tanda-tanda
Klien dapat klien menceritakan tanda- perilaku kekerasan yang dialaminya:
mengidentifikasi tanda-tanda tanda saat terjadi perilaku v. Motivasi klien menceritakan kondisi
perilaku kekerasan. kekerasan : fisik ( tanda-tanda fisik) saat perilaku
s. Tanda fisik : mata kekerasan terjadi.
merah, tangan w. Motivasi klien menceritakan kondisi
mengepal, ekspresi emosinya ( tanda-tanda emosional)
tegang, dll. saat terjadi perilaku kekerasan.
t. Tanda emosional : x. Motivasi klien menceritakan kondisi
perasaan marah, hubungan dengan orang lain ( tanda-
jengkel, bicara kasar. tanda sosial) saat terjadi perilaku
u. Tanda sosial : kekerasan.
bermusuhan yang
dialami saat terjadi
perilaku kekerasan.
TUK 4 : 5. Setelah … x pertemuan, 8. Diskusikan dengan klien perilaku
Klien dapat klien menjelaskan : kekerasan yang dilakukannya selama ini :
mengidentifikasi jenis perilaku y. Jenis-jenis ekspresi bb. Motivasi klien menceritakan jenis-
kekerasan yang pernah kemarahan yang jenis tindak kekerasan yang selama ini
dilakukannya. selama ini telah pernah dilakukannya.
dilakukannya. cc. Motivasi klien menceritakan perasaan
z. Perasaannya saat klien setelah tindak kekerasan tersebut
melakukan kekerasan. terjadi.
aa. Efektifitas cara yang dd. Diskusikan apakah dengan tindak
dipakai dalam kekerasan yang dilakukannya, masalah
menyelesaikan masalah. yang dialami teratasi.
TUK 5 : 6. Setelah … x pertemuan 9. Diskusikan dengan klien akibat negatif
Klien dapat klien menjelaskan akibat (kerugian) cara yang dilakukan pada :
mengidentifikasi akibat perilaku tindak kekerasan yang hh. Diri sendiri.
kekerasan. dilakukannya : ii. Orang lain / lingkungan.
ee. Diri sendiri : luka, jj. Lingkungan.
dijauhi teman, dll.
ff. Orang lain/keluarga :
luka, tersinggung,
ketakutan, dll.
gg. Lingkungan : barang
atau benda rusak, dll.
TUK 6 : 7. Setelah … x pertemuan 10. Diskusikan dengan klien:
Klien dapat klien : ll. Apakah klien mau mempelajari cara
mengidentifikasi cara kk. Menjelaskan cara-cara baru mengungkapkan marah yang
konstruktif dalam sehat sehat.
mengungkapkan kemarahan. mengungkapkan marah. mm.Jelaskan berbagai alternatif pilihan
untuk mengungkapkan marah selain
perilaku kekerasan yang diketahui
klien.
nn. Jelaskan cara-cara sehat untuk
mengungkapkan marah :
- Cara fisik : nafas dalam, pukul
bantal/ kasur, olah raga.
- Verbal : mengungkapkan bahwa
dirinya sedang kesal kepada orang
lain.
- Sosial : latihan asertif dengan orang
lain.
- Spiritual :sembahyang / doa, zikir,
meditasi, dsb sesuai keyakinan
agamanya masing-masing.
TUK 7 : 8. Setelah … x pertemuan 8.1 Diskusikan cara yang mungkin
Klien dapat klien memperagakan cara dipilih dan anjurkan klien memilih
mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku cara yang mungkin untuk
mengontrol perilaku kekerasan. kekerasan : mengungkapkan kemarahan.
oo. Fisik : nafas dalam, 8.2 Latih klien memperagakan cara yang
pukul bantal/ kasur, dipilih :
olah raga. ss. Peragakan cara melaksanakan
pp. Verbal: mengungkapkan cara yang dipilih.
bahwa dirinya sedang tt. Jelaskan manfaat cara tersebut.
kesal kepada orang lain. uu. Anjurkan klien menirukan
qq. Sosial : latihan asertif peragaan yang sudah dilakukan.
dengan orang lain. vv. Beri penguatan pada klien,
rr. Spiritual:sembahyang / perbaiki cara yang masih belum
doa, zikir, meditasi, dsb sempurna.
sesuai keyakinan 8.3 Anjurkan klien menggunakan cara
agamanya masing- yang sudah dilatih saat marah /
masing. jengkel.
TUK 8 : 9. Setelah … x pertemuan 9.1 Diskusikan pentingnya peran serta
Klien keluarga : keluarga sebagai pendukung klien
ww. Menjelaskan cara untuk mengatasi perilaku kekerasan.
merawat klien dengan 9.2 Diskusikan potensi keluarga untuk
perilaku kekerasan. membantu klien mengatasi perilaku
xx. Mengungkapkan rasa kekerasan.
puas dalam merawat 9.3 Jelaskan pengertian, penyebab,
klien. akibat, dan cara merawat klien
perilaku kekerasan yang dapat
dilaksanakan oleh keluarga.
9.4 Peragakan cara merawat klien
(menangani petilaku kekerasan).
9.5 Beri kesempatan keluarga untuk
memperagakan ulang..
9.6 Beri pujian kepada keluarga setelah
peragaan.
9.7 Tanyakan perasaan keluarga setelah
mencoba cara yang dilatihkan.
TUK 9 : 9.1 Setelah … x pertemuan 9.1 Jelaskan manfaat menggunakan obat
Klien menggunakan obat sesuai klien menjelaskan : secara teratur dan kerugian jika
program yang telah ditetapkan.  Manfaat minum obat. tidak menggunakan obat.
 Kerugian tidak minum 9.2 Jelaskan kepada klien:
obat.  Jenis obat (nama, warna, dan
 Nama obat. bentuk obat).
 Bentuk dan warna obat.  Dosis yang tepat untuk klien.
 Dosis yang diberikan  Waktu pemakaian.
kepadanya.  Cara pemakaian.
 Waktu pemakaian.  Efek yang akan dirasakan
 Cara pemakaian. klien.
 Efek yang dirasakan.
9.3 Anjurkan klien :
9.2 Setelah … x pertemuan  Minta dan menggunakan obat
klien menggunakan obat tepat waktu.
sesuai program.  Lapor ke perawat atau dokter
jika mengalami efek yang tidak
biasa.
 Beri pujian terhadap
kedisiplinan klien
11. Implementasi Keperawatan
Melakukan implementasi sesuai dengan intervensi

12. Evalusasi Keperawatan


a. Pasien mampu mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejala RPK, akibat
b. Pasien mampu melakukan cara fisik 1 dan 2 secara mandiri
c. Pasien mampu melakukan latihan cara verbal secara mandiri
d. Pasien mampu melakukan latihan spritial secara mandiri
e. Pasien mampu melakukan latihan patuh obat secara mandiri

13. Intervensi Berdasarkan SP Pasien dan Keluarga


Pasien Keluarga
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab prilaku 1. Mendiskusikan masalah yang diharapkan
kekerasan. keluarga dalam merawat klien .
2. Mengidentifikasi tanda dan gejala prilaku 2. Menjelaskan pengertian prilaku
kekerasan. kekerasan, tanda dan gejala prilaku
3. Mengidentifikasi prilaku kekerasan yang kekerasan, serta proses terjadinya prilaku
di lakukan. kekerasan.
4. Mengidentifikasi akibat perilaku 3. Cara merawat pasien RPK
kekrasan. 4. Latih/simulasi 2 cara merawat
5. Menyebutkan cara mengontrol prilaku 5. RTL Keluarga
kekerasan.
6. Membantu klien mempraktekan latihan
cara mengontrol prilaku kekerasan secara
fisik 1 : latihan nafas dalam.
7. Menganjurkan klien memasukkan ke
dalam kegiatan harian.
SP 2 SP 2
4. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 4. Mengevaluasi SP 1
klien (SP1). 5. Melatih keluarga mempraktikan langsung
5. Melatih pasien untuk patuh obat. cara pemberian obat ke pasien.
6. Masukan ke jadwal harian pasien 6. RTL Keluarga
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi SP 1&2 1. Mengevaluasi SP 1&2
2. Melatih pasien mengontrol prilaku 2. Melatih 2 cara lain untuk merawat pasien
kekerasan dengan cara fisik 2: pukul 3. Melatih keluarga untuk merawat
kasur dan bantal . langsung ke pasien
3. Memasukkan ke dalam kegiatan harian 4. RTL Keluarga
SP 4 SP 4
4. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Mengevaluasi SP 1,2&3
klien (SP 1,2&3) 2. Melatih langsung keluarga ke pasien
5. Melatih klien mengontrol prilaku 3. RTL keluarga: Follow up dan rujukan
kekerasan dengan cara spiritual
6. Memasukan ke dalam kegiatan harian
DAFTAR PUSTAKA

Direja Ade Herman Surya. (2016). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha Medika:
Yogyakarta.

Fitria,Nita. (2014). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan ( LP & SP ) untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa
Berat bagi Program S1 Keperawatan. Salemba Medika : Jakarta.

Purba. (2013). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan
Jiwa.Medan: USU Press.

Keliat Budi Anna, Panjaitan Ria Utami, Helena Novy. (2011). Proses Keperawatan
Kesehatan Jiwa Edisi 2. EGC: Jakarta.

Kusumawati dan Hartono. (2015) .Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai