Anda di halaman 1dari 18

TUGAS KEPERAWATAN GAWAT DARURAT BLS DAN BTLS

OLEH

NI MADE VINA WIDYA YANTI (183212849)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2021
TUGAS TEMU 5 BLS DAN BTLS
1. Algoritma BLS pada Dewasa
Pengenalan dan Pengaktifan Cepat Sistem Tanggapan Darurat
2015 (Diperbarui): HCP harus meminta bantuan terdekat bila mengetahui korban
tidak menunjukkan reaksi, namun akan lebih praktis bagi HCP untuk melanjutkan
dengan menilai pernapasan dan denyut secara bersamaan sebelum benar-benar
mengaktifkan sistem tanggapan darurat (atau meminta HCP pendukung).

2010 (Lama): HCP harus memastikan reaksi pasien sewaktu memeriksanya untuk
menentukan apakah napas terhenti atau tidak normal.

Alasannya: Perubahan rekomendasi bertujuan untuk meminimalkan penundaan dan


mendukung penilaian serta tanggapan yang cepat dan efisien secara bersamaan,
bukan melakukan pendekatan langkah demi langkah yang berjalan lambat
berdasarkan metode.
Penekanan pada Kompresi Dada
2015 (Diperbarui): Melakukan kompresi dada dan menyediakan ventilasi untuk
semua pasien dewasa yang mengalami serangan jantung adalah tindakan yang perlu
dilakukan oleh HCP, baik yang disebabkan maupun tidak disebabkan oleh jantung.
Lebih lanjut, penting bagi HCP untuk menyesuaikan urutan tindakan penyelamatan
berdasarkan penyebab utama serangan .

2010 (Lama): Melakukan kompresi dada dan napas buatan untuk korban serangan
jantung adalah tindakan yang perlu dilakukan oleh EMS dan penolong profesional di
lingkungan rumah sakit.

Alasannya: CPR hanya kompresi direkomendasikan untuk penolong yang tidak terlatih
karena relatif mudah bagi operator untuk memandu dengan instruksi melalui telepon.
HCP diharapkan menerima pelatihan tentang CPR dan secara efektif dapat menjalankan
kompresi dan ventilasi. Namun, prioritas untuk penyedia layanan medis, terutama jika
bertindak sendiri, harus tetap mengaktifkan sistem tanggapan darurat dan menjalankan
kompresi dada. Mungkin terdapat kondisi yang mengharuskan terjadinya perubahan
urutan, misalnya ketersediaan AED yang dapat dengan cepat diambil dan digunakan oleh
penyedia layanan medis.
Kejut atau CPR Terlebih Dulu

2015 (Diperbarui): Untuk pasien dewasa yang mengalami serangan jantung dan terlihat
jatuh saat AED dapat segera tersedia, penting bahwa defibrilator digunakan secepat
mungkin. Untuk orang dewasa yang mengalami serangan jantung tidak terpantau atau
saat AED tidak segera tersedia, penting bila CPR dijalankan sewaktu peralatan
defibrilator sedang diambil dan diterapkan, dan bila defibrilasi, jika diindikasikan,
diterapkan segera setelah perangkat siap digunakan.

2010 (Lama): Bila penolong menyaksikan terjadinya serangan jantung di luar rumah
sakit dan AED tidak segera tersedia di lokasi, penolong tersebut harus memulai CPR
dengan kompresi dada dan menggunakan AED sesegera mungkin. HCP yang menangani
pasien serangan jantung di rumah sakit dan fasilitas lainnya dengan AED atau
defibrilator yang tersedia di lokasi harus segera memberikan CPR dan menggunakan
AED/ defibrilator segera setelah tersedia. Rekomendasi ini dirancang untuk mendukung
CPR dan defibrilasi awal, terutama bila AED atau defibrilator tersedia beberapa saat
setelah terjadinya serangan jantung mendadak. Bila OHCA tidak disaksikan oleh petugas
EMS, EMS dapat menjalankan CPR sambil memeriksa ritme dengan AED atau pada
elektrokardiogram (ECG/electrocardiogram) dan menyiapkan defibrilasi. Dalam kasus
ini, CPR selama 1½ hingga 3 menit dapat dipertimbangkan sebelum mencoba melakukan
defibrilasi. Bila terdapat 2 penolong atau lebih di lokasi kejadian, CPR harus dilakukan
saat defibrilator sedang diambil.
Dalam kasus serangan jantung mendadak di rumah sakit, tidak terdapat cukup bukti untuk
mendukung atau menyanggah dilakukannya CPR sebelum defibrilasi.
Namun, pada pasien yang terpantau, durasi mulai dari fibrilasi ventrikel
(VF/ventricular fibrillation) hingga ke penerapan kejut harus kurang dari 3 menit, dan
CPR harus dilakukan saat defibrilator disiapkan.

Alasannya: Meskipun banyak penelitian telah menjawab pertanyaan apakah terdapat


manfaat dengan melakukan kompresi dada sesuai durasi yang ditentukan (biasanya 1½
hingga 3 menit) sebelum menerapkan kejut, seperti dibandingkan dengan penerapan kejut
segera setelah AED dapat disiapkan, namun tidak terdapat perbedaan di antara kedua
hasil yang ditampilkan. CPR harus diberikan saat bantalan AED diterapkan dan hingga
AED siap menganalisis ritme.
Kecepatan Kompresi Dada: 100 hingga 120/min
2015 (Diperbarui): Pada orang dewasa yang menjadi korban serangan jantung,
penolong perlu melakukan kompresi dada pada kecepatan 100 hingga 120/min.

2010 (Lama): Penolong tidak terlatih dan HCP perlu melakukan kompresi dada
pada kecepatan minimum 100/min.

Alasannya: Nilai kecepatan kompresi minimum yang direkomendasikan tetap


100/min. Kecepatan batas atas 120/min telah ditambahkan karena 1 rangkaian
register besar menunjukkan bahwa saat kecepatan kompresi meningkat menjadi
lebih dari 120/min, kedalaman kompresi akan berkurang tergantung pada dosis .
Misalnya, proporsi kedalaman kompresi tidak memadai adalah sekitar 35% untuk
kecepatan kompresi 100 hingga 119/min, namun bertambah menjadi kedalaman
kompresi tidak memadai sebesar 50% saat kecepatan kompresi berada pada 120
hingga 139/min dan menjadi kedalaman kompresi tidak memadai sebesar 70% saat
kecepatan kompresi lebih dari 140/menit.

Kedalaman Kompresi Dada


2015 (Diperbarui): Sewaktu melakukan CPR secara manual, penolong harus
melakukan kompresi dada hingga kedalaman minimum 2 inci (5 cm) untuk dewasa
rata-rata, dengan tetap menghindari kedalaman kompresi dada yang berlebihan (lebih
dari 2,4 inci [6 cm]).
2010 (Lama): Tulang dada orang dewasa harus ditekan minimum sedalam 2 inci (5
cm).

Alasannya: Kedalaman kompresi sekitar 5 cm terkait dengan kemungkinan hasil


yang diharapkan lebih besar bila dibandingkan dengan kedalaman kompresi lebih
dangkal. Meskipun terdapat sedikit bukti tentang adanya ambang atas yang jika
terlampaui, maka kompresi akan menjadi terlalu dalam, namun satu penelitian
sangat kecil baru-baru ini menunjukkan potensi cedera (yang tidak mengancam
jiwa) akibat kedalaman kompresi dada yang berlebihan (lebih dari 2,4 inci [6 cm]).
Kedalaman
kompresi mungkin sulit diperkirakan tanpa menggunakan perangkat umpan balik, dan
Rekoil Dada
identifikasi batas atas kedalaman kompresi mungkin akan sulit dilakukan.
Penting bagi penolong untuk mengetahui bahwa kedalaman kompresi dada lebih
sering terlalu dangkal daripada terlalu dalam.
2015 (Diperbarui): Penting bagi penolong untuk tidak bertumpu di atas dada di
antara kompresi untuk mendukung rekoil penuh dinding dada pada pasien dewasa
saat mengalami serangan jantung.
2010 (Lama): Penolong harus membolehkan rekoil penuh dinding dada setelah setiap
kompresi agar jantung terisi sepenuhnya sebelum kompresi berikutnya dilakukan.

Alasannya: Rekoil penuh dinding dada terjadi bila tulang dada kembali ke posisi
alami atau netralnya saat fase dekompresi CPR berlangsung. Rekoil dinding dada
memberikan relatif tekanan intrathoraks negatif yang mendorong pengembalian
vena dan aliran darah kardiopulmonari. Bertumpu di atas dinding dada di
antara kompresi akan menghalangi rekoil penuh dinding dada. Rekoil tidak penuh
akan meningkatkan tekanan intrathoraks dan mengurangi pengembalian vena,
tekanan perfusi koroner, dan aliran darah miokardium, serta dapat mempengaruhi
hasil resusitasi.
2. Algoritma BLS pada Anak – anak dengan 1 penolong
Posisi Pasien
Posisi terbaik pasien yang akan menerima resusitasi jantung paru adalah posisi telentang
pada permukaan yang keras. Hal ini memungkinkan kompresi yang efektif ke area
sternum. Sementara itu, petugas kesehatan yang melakukan kompresi dada harus berada
dalam posisi yang cukup tinggi untuk mencapai regangan lengan yang cukup sehingga
dapat menggunakan berat badannya secara adekuat untuk mengkompresi dada. Dalam
situasi di rumah sakit, posisi yang sesuai dapat diperoleh dengan menurunkan posisi
tempat tidur pasien ataupun petugas kesehatan menggunakan tangga kecil. Dalam situasi
di luar rumah sakit, pasien diposisikan di lantai dengan pemberi layanan resusitasi
jantung paru berlutut di samping pasien.[1]
Prosedur
Berdasarkan guideline American Heart Association (AHA) tahun 2015, prosedur standar
resusitasi jantung paru terdiri atas 3 komponen:
1. Kompresi dada

2. Jalan napas

3. Pernapasan

Saat ini, pemberian napas buatan pada pasien dewasa sudah tidak dianjurkan pada
penolong yang bukan petugas kesehatan sehingga tim penyelamat cukup melakukan
kompresi dada saja. Akan tetapi, petugas kesehatan harus mengerjakan 3 komponen
resusitasi jantung paru tersebut. Selain itu, terdapat perubahan dari guideline AHA
sebelumnya mengenai urutan komponen dari sebelumnya jalan napas-pernapasan-
kompresi dada menjadi kompresi dada-jalan napas-pernapasan.

Jika penolong hanya seorang diri dan menemukan tanda henti jantung yaitu pasien tidak
berespons, tidak bernafas ataupun pola pernapasan yang abnormal, dan denyut nadi tidak
teraba segera panggil terlebih dulu bantuan ataupun aktifkan sistem penanggulangan
gawat darurat terpadu (SPGDT). Kemudian, segera lakukan resusitasi jantung paru
selama 2 menit. Angka survival berkurang 10-15% setiap menitnya setelah henti jantung
terjadi jika tidak segera ditolong dengan resusitasi jantung paru.[1,8-9]
Kompresi Dada

Tumit salah satu tangan diletakkan di atas sternum pasien, sementara tangan lainnya
diletakkan di atas tangan pertama dengan jari-jari yang bertautan. Siku diekstensikan dan
badan seperti “dijatuhkan” ke pasien. Kompresi dada yang baik minimal sedalam 5 cm,
tetapi tidak lebih dalam dari 6 cm. Setelah melakukan kompresi, pastikan
dada recoil sempurna.  Kompresi diulang sebanyak 30 kali dengan kecepatan 100-120
kali kompresi per menit. Kunci dari kompresi dada adalah melakukannya cepat dan kuat.
Setelah kompresi sebanyak 30 kali, ventilasi diberikan sebanyak 2 kali. Pada pasien yang
terintubasi, ventilasi diberikan secara kontinyu dengan kecepatan 1 kali setiap 6 detik (10
kali per menit) selama kompresi dada dilakukan. Untuk mencegah menurunnya kualitas
kompresi dada karena petugas kesehatan yang kelelahan, sebaiknya disiapkan
penggantinya. Pada resusitasi jantung paru tanpa alat bantu napas yang invasif, diizinkan
menghentikan kompresi sementara (<10 detik) untuk pemberian 2 kali ventilasi. Fase
jeda kompresi dada sebelum dan sesudah dilakukan shock harus seminimal mungkin.
Pada resusitasi jantung paru yang dilakukan tanpa ventilasi (hanya kompresi dada),
kompresi dilakukan terus-menerus sampai petugas kesehatan profesional datang. 
Penggunaan alat kompresi dada mekanik hanya dianjurkan jika tidak ada petugas
kesehatan yang bisa melakukan kompresi dada dengan baik.[1,10]
Ventilasi

Sebelum memberikan ventilasi, amankan terlebih dahulu jalan napas dengan melakukan
manuver head-tilt dan chin-lift. Selain itu, pastikan tidak ada sumbatan jalan napas
dengan melihat apakah terdapat benda asing yang menyumbat jalan napas pasien. Hal ini
penting karena sumbatan akan membuat ventilasi tidak efektif.
Penggunaaan oropharyngeal airway dapat membantu mengamankan jalan napas.
Pemberian ventilasi dari mulut ke mulut tidak dianjurkan untuk dilakukan di layanan
kesehatan. Pemberian ventilasi di layanan kesehatan sebaiknya dilakukan
menggunakan bag-valve-mask (BVM) dengan bantuan oropharyngeal airway. Saat
melakukan ventilasi menggunakan BVM, petugas kesehatan harus memastikan tidak ada
celah antara masker dengan wajah pasien. Bag diremas dengan satu tangan selama kira-
kira 1 detik untuk memasukkan sekitar 500 ml udara ke paru-paru pasien. Pastikan pasien
tidak mengalami hiperventilasi dengan memastikan ventilasi yang dilakukan tidak
melebihi 8-10 napas per menit.[1,10]
Pada pasien anak-anak dengan henti jantung dan hanya terdapat satu orang penolong,
rasio kompresi:ventilasi sama dengan orang dewasa yaitu 30:2. Sementara jika terdapat
dua atau lebih penolong, rasionya turun menjadi 15:2. Kompresi dada pada anak
dilakukan dengan menggunakan dua tangan atau satu tangan pada anak yang bertubuh
kecil di setengah bagian bawah tulang sternum. Sementara pada bayi berusia kurang dari
1 tahun, jika hanya terdapat satu penolong, kompresi dilakukan dengan dua jari pada
bagian tengah dada, persis di bawah garis areola. Jika terdapat dua atau lebih penolong,
kompresi dilakukan dengan dua ibu jari dengan posisi tangan yang melingkari tubuh
pasien. Pada anak, laju ventilasi yang diberikan adalah sebesar 12-20 napas per menit.
[1,10]

Guideline American Heart Association Terbaru mengenai Resusitasi Jantung Paru

Penolong yang tidak terlatih harus melakukan kompresi dada saja sebagai bentuk usaha
RJP yang ia lakukan dengan atau tanpa panduan operator untuk orang dewasa yang
mengalami henti jantung sampai automatic external defibrillator (AED) atau penolong
lain yang terlatih datang. Hal ini disebabkan melakukan kompresi dada saja lebih mudah
untuk dilakukan oleh penolong yang tidak terlatih dan dapat secara lebih efektif dipandu
oleh operator melalui telepon.  Sementara itu petugas kesehatan diharapkan melakukan
kompresi dada dan ventilasi pada pasien henti jantung sambil mengaktifkan SPGDT.
Kecepatan kompresi dada yang dianjurkan adalah 100-120 kali per menit. Pada banyak
studi, jumlah kompresi yang lebih banyak berhubungan dengan angka survival yang lebih
tinggi dan jumlah kompresi yang lebih sedikit berhubungan dengan angka survival yang
lebih rendah. Sebuah studi menunjukkan bahwa kompresi yang terlalu cepat (>140
x/menit) berhubungan dengan kedalaman kompresi yang inadekuat.

Kedalaman kompresi yang dianjurkan adalah minimal 5 cm dan maksimal 6 cm.


Kompresi menghasilkan aliran darah dengan meningkatkan tekanan intratorakal dan
secara langsung menekan jantung, yang kemudian menghasilkan aliran darah yang
penting dan distribusi oksigen ke jantung dan otak. Sebuah studi menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara kompresi yang terlalu dalam dengan cedera yang tidak
mengancam nyawa. Pada anak, kedalaman kompresi dianjurkan minimal 1/3 diameter
anteroposterior dada, yaitu sekitar 5 cm pada usia 1 tahun sampai pubertas dan sekitar 4
cm pada anak di bawah 1 tahun kecuali neonatus.

Penolong sebaiknya tidak bertumpu di atas dada pasien di antara kompresi supaya rekoil
dada tetap penuh. Bertumpu di atas dinding dada di antara kompresi akan menghalangi
terjadinya rekoil penuh dan meningkatkan tekanan intratorakal sehingga aliran darah
balik vena, tekanan perfusi koroner, dan aliran darah miokardium akan berkurang.[10]

Resusitasi Jantung Paru pada Advanced Cardiac Life Support (ACLS)


Pada advanced cardiac life support (ACLS), resusitasi jantung paru dilakukan
menggunakan bantuan obat. Jika ditemukan pasien tidak sadar dengan nadi yang tidak
teraba, segera lakukan hal di bawah ini.[11]
Diagram Alur ACLS (diadaptasi dari Guideline AHA 2015)[11]

Prinsip ACLS pada anak-anak sama dengan orang dewasa. Beberapa hal yang
membedakan, yaitu dosis epinephrine pada anak adalah 0,01 mg/kg (0,1 ml/kg dengan
konsentrasi 1:10000) dan dosis amiodaron 5 mg/kg bolus yang dapat diulangi sebanyak 2
kali untuk ventrikel fibrilasi atau pulseless ventricular tachycardia yang refrakter.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pemberian lidokain pada anak meningkatkan
angka kembalinya sirkulasi spontan(61). Dosis awal lidocaine diberikan sebanyak 1
mg/kg kemudian dilanjutkan dosis pemeliharaan sebesar 20-50 µg/kg per menit melalui
infus. Hal lain yang membedakan adalah besar energi yang diberikan pada saat
melakukan defibrilasi. Defibrilasi pada anak diawali dengan pemberian energi sebesar
2J/kg dilanjutkan 4J/kg pada defibrilasi kedua, shock berikutnya diberikan dengan dosis
≥4J/kg dengan dosis maksimal 10 J/kg ataupun dosis dewasa.[11]

Guideline Advanced Cardiac Life Support Terbaru dari American Heart Association

Kombinasi vasopressin dengan epinephrine sebagai pengganti dosis standar epinephrine


tidak memiliki manfaat lebih pada penatalaksanaan henti jantung. Studi menunjukkan
efikasi kedua obat tersebut sama dan tidak ada keuntungan yang ditunjukkan oleh
kombinasi epinephrine dan vasopressin dibandingkan terapi tunggal epinephrine. Untuk
tujuan penyederhanaan, vasopressin dihilangkan dari algoritma ACLS.
Pemberian epinephrine dianjurkan dilakukan segera setelah kejadian henti jantung
dengan nonshockable rhythm. Sebuah studi menunjukkan bahwa angka kembalinya
sirkulasi spontan, survival to hospital discharge, dan neurology intact survival yang
lebiih baik pada pasien henti jantung yang mendapat terapi epinephrine pada 1-3 menit
pertama.[11]
Extracorporeal Cardiopulmonary Resuscitation (ECPR)
Saat ini, terdapat metode ECPR menggunakan alat Extracorporeal Membrane
Oxygenation (ECMO). Pada prosedur ini, darah dari vena dikeluarkan dan diberikan
oksigenasi melalui alat ECMO lalu dikembalikan kembali ke dalam tubuh. Penggunaan
ECMO sudah direkomendasikan baik oleh AHA maupun ESC untuk henti jantung yang
disebabkan oleh penyebab reversibel. ECMO sudah mulai digunakan di beberapa fasilitas
kesehatan di luar negeri, baik untuk prosedur resusitasi di luar rumah sakit maupun dalam
rumah sakit. Penelitian-penelitian awal mengenai ECMO untuk resusitasi ini juga
menunjukkan hasil yang menjanjikan.
Follow Up
Pasien yang sirkulasi spontannya kembali perlu mendapat perawatan khusus agar tidak
kembali mengalami henti jantung. Terlepas dari apapun penyebab henti jantung yang
terjadi, kondisi hipoksemi, iskemi, dan reperfusi yang terjadi selama henti jantung dan
resusitasi dapat menyebabkan kerusakan pada banyak system organ. Penanganan pasca
henti jantung mencakup identifikasi dan tata laksana penyebab henti jantung
dikombinasikan dengan penilaian kerusakan dan mengurangi dampak buruk akibat
cedera iskemi-reperfusi yang terjadi pada sistem organ.[12]

Pasien yang berhasil melewati fase henti jantung harus segera mendapat ventilasi dan
oksigenasi yang cukup dengan saturasi oksigen dipertahankan ≥94%. Pemberian ventilasi
dapat dimulai dengan kecepatan 10-12 kali per menit dan dititrasi sampai mencapai target
PET CO2 35-40 mmHg. Hiperventilasi atau “overbagging” harus dihindari karena dapat
meningkatkan tekanan intratorakal yang kemudian dapat menurunkan curah jantung.
Setelah itu, hipotensi yang ada harus diatasi. Penanganan hipotensi dapat dimulai dengan
memberikan cairan normal salin ataupun ringer laktat sebanyak 1-2 liter. Jika tekanan
darah tidak naik, dapat digunakan obat-obatan vasopresor, seperti epinephrine, dopamin,
dan norepinephrine. Epinephrine dapat diberikan secara infus intravena dengan dosis 0,1-
0,5 µg/kgBB/menit. Dopamin diberikan dengan dosis 5-10 µg/kgBB/menit.
Norepinephrine diberikan dengan dosis 0,1-0,5 µg/kgBB/menit. Perlu diperhatikan
bahwa pemberian vasopresor harus diberikan melalui jalur IV yang besar (misalnya fossa
cubiti), tidak boleh diberikan melalui jalur kecil seperti pada punggung tangan, dan
diberikan selama 4-6 jam sampai akses vena sentral terpasang.[12]
Selain memberikan terapi cairan ataupun obat vasopresor, dokter harus mencari penyebab
yang bisa ditangani, salah satu caranya dengan memeriksa EKG 12 lead. Penyebab yang
bisa ditangani, antara lain hipovolemi, hipoksia, asidosis, hipo/hiperkalemi,
hipotermi, tension pneumothorax, tamponade jantung, keracunan, trombosis paru, dan
trombosis koroner. Jika berdasarkan hasil EKG dan pemeriksaan lain, pasien dicurigai
mengalami infark miokard, protokol lokal untuk tata laksana infark miokard harus
dijalankan. Kerusakan otak dan instabilitas kardiovaskular adalah faktor utama penentu
survival setelah henti jantung. Hipotermi terapeutik adalah satu-satunya intervensi yang
terbukti dapat membantu pemulihan fungsi neurologis.
Targeted Temperature Management

Studi oleh Bernard, et al. menunjukkan bahwa induced hypothermia pada suhu 32-34


derajat Celsius atau targeted temperature management (TTM)
meningkatkan survival dan membantu memullhkan fungsi seseorang yang mengalami
henti jantung di luar rumah sakit dengan irama jantung ventrikel fibrilasi atau ventrikel
takikardi tanpa denyut nadi. Tidak ada studi yang cukup baik untuk menilai manfaat
TTM pada pasien henti jantung di rumah sakit. Pada beberapa studi yang dilakukan, efek
samping yang muncul dianggap sangat minimal sehingga intervensi TTM dengan target
suhu 32-36 derajat Celsius ini perlu dipertimbangkan untuk dilakukan untuk pasien yang
tidak dapat mengikuti instruksi verbal (koma) setelah sirkulasi spontannya kembali.
Intervensi ini minimal dilakukan selama 24 jam.[12,13]
3. Algoritma BLS pada anak – anak dengan 2 penolong
Teknik resusitasi bayi dan anak saat awal adalah melakukan penilaian kondisi anak
secara cepat dengan menggunakan segitiga penilaian pediatrik, atau pediatric assessment
triangle/PAT. Dari PAT ini kita dapat mengenali kondisi distress napas, gagal nafas,
syok, henti napas dan henti jantung, disfungsi otak dan abnormalitas sistemik lainnya.
PAT terdiri atas 3 elemen, yaitu:
 penampilan anak: tonus, interaksi anak dengan lingkungan, kenyamanan, arah
pandangan anak, suara/tangisan anak

 upaya napas anak: suara napas abnormal, posisi tubuh abnormal, retraksi, dan
napas cuping hidung

 kondisi sirkulasi: pucat, mottling, sianosis, perdarahan[2,8]


Selanjutnya dilakukan primary assessment , secondary assessment, dan tertiary
assessment.
Primary Assessment
Pada penilaian primer ini dilakukan penilaian:

 Airway: patensi jalan napas


 Breathing: usaha napas, napas cuping hidung, retraksi
 Circulation: evaluasi nadi, tensi, warna kulit, suhu badan, capillary refill
time/CRT
 Disability: nilai status neurologis dengan metode alert, verbal response to pain,
unresponsive/AVPU, atau Glasgow coma scale/GCS
 Exposure[2,8]
Secondary Assessment

Setelah selesai melakukan primary assessment dan manajemen dari masalah yang


mengancam nyawa, lakukan secondary assessment yang menghimpun anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang lebih detail meliputi gejala dan tanda yang dikeluhkan, adanya
alergi, pengobatan yang diberikan, riwayat kesehatan sebelumnya, waktu makan terakhir,
dan kejadian yang menyebabkan kondisinya saat ini.[2,8]
Tertiary Assessment

Meliputi pemeriksaan penunjang diagnostik, seperti pemeriksaan laboratorium seperti


gula darah dan analisa gas darah, pemeriksaan radiologi, dan sebagainya, untuk
mengidentifikasi penyakit dan kondisi anak.[2,8]

Persiapan Pasien
Pastikan lingkungan aman untuk penolong dan anak. Nilai kesadaran anak dengan cara
menilai respon yaitu dengan cara memanggil, menepuk pundak, atau menggoyangkan
badan anak.[2,3]

Penilaian denyut nadi anak dibawah usia 1 tahun yang paling tepat adalah dengan meraba
arteri brakialis. Pemeriksaan denyut nadi anak diatas 1 tahun pada nadi karotis.[2,3]

Peralatan
Alat yang diperlukan untuk melakukan RJP pada bayi dan anak adalah:
 Bag-valve mask untuk memberikan ventilasi yang efektif dan aman
 Defibrillator, dibutuhkan dalam memberikan bantuan hidup lanjut bila ada irama
jantung yang dapat dilakukan shock
 Laringoskop

 Endotrakeal tube, supraglottic airway devices, laryngeal mask airway/LMA


 Tabung oksigen, suction
 Alat monitor detak dan irama jantung seperti stetoskop, monitor EKG
 Monitor saturasi dan EtCO2 (end-tidal carbon dioxide)[2,3,5]
Pada keadaan kritis, mengukur berat badan bayi dan anak seringkali tidak
memungkinkan. Untuk itu dapat digunakan Broselow tape, yaitu suatu grafik yang dapat
memprediksi berat badan bayi dan anak berdasarkan panjang atau tinggi
badannya. Broselow tape adalah perangkat penting dalam keadaan darurat untuk
membantu menghitung dosis obat yang tepat, menentukan jumlah pemberian cairan yang
akurat, dan memilih ukuran peralatan yang benar, seperti ukuran laringoskopi atau
endotrakeal tube.[14]
Posisi Pasien
Posisi pasien yang akan dilakukan resusitasi jantung paru adalah posisi telentang, pada
permukaan yang datar dan keras, agar kompresi jantung dapat optimal. Pada bayi, teknik
kompresi dapat menggunakan 2 ibu jari (jari telunjuk dan jari tengah). Pada anak usia ≤8
tahun dapat menggunakan teknik 1 tangan, dan pada anak usia >8 tahun dapat
menggunakan teknik 2 tangan. Petugas kesehatan yang melakukan kompresi dada harus
berada dalam posisi yang cukup tinggi untuk mencapai regangan lengan yang cukup
sehingga dapat menggunakan berat badannya secara adekuat untuk mengkompresi dada.
Pada bayi, digunakan kekuatan jari tangan untuk mengkompresi dada secara adekuat.
[2,9]

Prosedur
Prosedur RJP bayi dan anak berdasarkan European Resuscitation Council (ERC)
dilakukan dengan urutan A-B-C. Sedangkan berdasarkan American Heart
Association (AHA) dengan urutan C-A-B. Dimana A yaitu airway/jalan napas, B
untuk breathing/pernapasan, sedangkan C adalah circulation/kompresi dada.
Pediatric Basic Life Support menurut ERC 2015

Resusitasi dasar pada bayi dan anak menurut ERC sebagai berikut:

 Bila pasien tidak sadar/tidak berespon, panggil bantuan, lalu buka jalan nafas

 Bila anak tidak bernafas dengan normal, lakukan 5 bantuan nafas

 Bila tidak ada tanda kehidupan, lakukan 15x kompresi dada, kemudian lakukan 2
bantuan nafas diikuti 15x kompresi dada

 Panggil tim henti jantung (cardiac arrest team) atau Pediatric advance life
support team setelah 1 menit melakukan RJP[3]
Pediatric Advance Life Support menurut ERC 2015

Resusitasi tingkat lanjut pada bayi dan anak menurut ERC adalah:

 Bila anak tidak berespon, tidak bernafas, atau gasping, panggil tim resusitasi

 Lakukan RJP diawali dengan 5 bantuan nafas/initial breaths dilanjutkan kompresi


dada. Rasio yang diberikan adalah 15x kompresi disertai 2x bantuan napas (15:2)
 Pasang monitor/defibrillator. Minimalkan interupsi dalam melakukan RJP

 Tentukan atau baca irama yang muncul pada layar monitor defibrillator. Bila
irama shockable (VF/VT tanpa nadi) lakukan shock 4J/kgBB, lanjutkan RJP
dengan minimal interupsi. Pada siklus ke-3 dan ke-5, pertimbangkan
pemberian amiodaron
 Bila irama non-shockable (PEA/asistol), lakukan RJP selama 2 menit dengan
minimal interupsi
 Bila sirkulasi spontan kembali (ROSC/Return of spontaneous circulation),
lakukan tatalaksana post henti jantung, yaitu kontrol oksigenasi dan ventilasi,
investigasi, atasi penyebab henti jantung, dan kontrol suhu/temperatur[3]
Pediatric Cardiac Arrest Resuscitation berdasarkan AHA 2015

Resusitasi pada bayi dan anak yang mengalami henti jantung, menurut AHA adalah
sebagai berikut:
 Bila ada henti jantung, mulai RJP, beri oksigen, pasang monitor/defibrillator
 Bila irama shockable (VF/VT tanpa nadi), berikan kejut listrik 2 J/kgBB.
Dilanjutkan RJP selama 2 menit sambil mencari akses intravena atau intraoseus
 Evaluasi irama jantung, bila masih shockable, berikan kejut listrik kedua dengan 4
J/kgBB. Dilanjutkan RJP selama 2 menit. Beri epinefrin tiap 3-5 menit (epinefrin
1:10.000 sebanyak 0,1 ml/kgBB intravena atau intraoseus). Pertimbangkan
intubasi (advanced airway)
 Evaluasi irama jantung, bila masih shockable, beri kejut listrik ≥4 J/kgBB
maksimal 10 J/kgBB (dosis dewasa). Lanjutkan RJP selama 2 menit. Masukkan
amiodaron atau lidokain. Tatalaksana penyebab henti jantung
 Evaluasi irama jantung, bila masih shockable, beri kejut listrik, lanjut RJP, dan
masukkan epinefrin tiap 3-5 menit
 Bila irama jantung non-shockable  (PEA/asistol), lakukan RJP 2 menit, cari akses
IV/IO, beri epinefrin tiap 3-5 menit, pertimbangkan intubasi
 Bila sirkulasi spontan kembali (ROSC/Return of spontaneous circulation),
lakukan tatalaksana post henti jantung[5]
Prosedur Airway/Jalan Napas
Buka jalan napas dengan head tilt dan chin lift. Jangan tekan jaringan di bawah dagu
karena bisa menyebabkan obstruksi jalan napas, terutama pada bayi. Bila masih sulit
membuka jalan napas, coba jaw thrust dengan cara tempatkan 2 jari kedua tangan pada
tiap sisi mandibula anak dan dorong rahang ke bawah. Bila curiga adanya cedera leher,
membuka jalan napas dengan jaw thrust saja tanpa head tilt. Bila jalan napas tidak
terbuka optimal, tambahkan head tilt sedikit sampai jalan napas terbuka. Dengan hati-hati
singkirkan bila ada penyebab obstruksi jalan napas.[2,3]
Prosedur Breathing/Pernapasan

Pertahankan jalan napas tetap terbuka, kemudian look listen and feel (lihat, dengar,
rasakan) pernapasan normal dengan meletakkan wajah penolong mendekati wajah anak
sambil melihat dinding dada anak. Lihat pengembangan dada, dengarkan suara napas
pada mulut dan hidung anak, lalu rasakan pergerakan udara pada pipi penolong.
Lakukan look listen and feel tidak lebih dari 10 detik. Bila ragu bernapas normal atau
tidak, anggap sebagai tidak normal. Bila napas tidak normal atau tidak ada napas, beri
5 initial rescue breaths.[2,3]
Prosedur Circulation/Sirkulasi (Kompresi Dada)

Selama tidak lebih dari 10 detik cari denyut nadi bayi atau anak. Namun biasanya pada
bayi, pemeriksaan denyut nadi tidak dapat diandalkan sehingga sebaiknya nilai anak dari
kondisi umum anak. Bila tidak ada tanda kehidupan, lakukan kompresi dada. Untuk bayi
dan anak, kompresi dilakukan pada setengah bawah sternum. Kompresi harus menekan
setidaknya sepertiga diameter anterior-posterior dada. Beri kesempatan dinding dada
untuk mengembang sempurna (complete recoil). Lakukan kompresi dengan kecepatan
100-120x per menit. Setelah 15 kompresi, berikan dua bantuan napas yang efektif.
Lanjutkan kompresi dan napas dengan perbandingan 15:2.[2,3]
Automated External Defibrillator (AED)

Automated External Defibrillator (AED) adalah defibrillator portable yang tersedia di


beberapa tempat umum. AED dapat membedakan irama jantung shockable (ventrikel
takikardi, ventrikel fibrilasi) dengan irama jantung non-shockable (pulseless electrical
activity, atau asistol). AHA merekomendasikan penggunaan AED dalam bantuan hidup
dasar pada keadaan henti jantung mendadak yang disaksikan, karena kondisi tersebut
umumnya disebabkan oleh penyakit jantung. Pada anak usia >8 tahun dapat digunakan
AED untuk dewasa, dan pada anak ≤8 tahun menggunakan AED untuk anak.[2,5]
Manual External Defibrillator

Manual External Defibrillator adalah defibrillator manual yang sering dipakai di Rumah


Sakit. Defibrillator biasanya memiliki tiga mode operasi dasar, yaitu  defibrilasi
eksternal, defibrilasi internal, dan synchronized cardioversion (kardioversi
tersinkronisasi).  Mode defibrilasi eksternal digunakan pada kasus ventrikel fibrilasi atau
ventrikel takikardi tanpa nadi. Kejut listrik diberikan 4 J/kg, bila hasil perhitungan tidak
sesuai dengan yang tertera pada defibrilator, bulatkan ke atas, maksimal 10 J/kg.
Sesuaikan paddle yang digunakan dengan usia dan berat badan anak.
Gunakan paddle anak untuk anak berusia kurang dari 1 tahun atau berat badan kurang
dari 10 kg.[2,3,15]
Mode synchronized cardioversion digunakan pada kasus supraventrikular takikardi/SVT
tidak stabil. Kardioversi diberikan sebesar 1 J/kg, bila tidak efektif dapat dinaikkan
hingga 2 J/kg. Kardioversi diberikan dengan menempatkan paddle pada sternum dan
apex jantung anak. Bila anak terlalu kecil, paddle dapat ditempatkan pada sternum dan
punggung sehingga jantung berada diantara paddle. Kardioversi untuk SVT diberikan
berbarengan dengan munculnya gelombang R pada layar monitor, atau disinkronkan
dengan gelombang R.[2,3]
Follow Up
Perawatan pasca resusitasi bayi dan anak adalah mencegah demam pada anak-anak yang
mengalami kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation/ROSC).
Manajemen suhu tertarget untuk anak-anak pasca ROSC, adalah:
 Sebaiknya suhu tubuh normotermia atau hipotermia ringan

 Hindari hipertermi (suhu tubuh lebih dari 37,5 derajat C) dan hipotermia berat
(suhu tubuh kurang dari 32 derajat Celcius)[2,3,5]

Tidak ada satu prediktor kapan harus menghentikan resusitasi. Lakukan RJP sampai anak
menunjukkan tanda kehidupan (bangun, bergerak, buka mata, napas normal), tenaga
kesehatan datang, atau penolong kelelahan.[2,3,5]

4. Algoritma BLS pada ibu hamil

Anda mungkin juga menyukai