I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Angka kejadian infeksi dengue, menurut WHO, diperkirakan mencapai 50 juta
kasus per tahun di seluruh dunia, dan hampir 2,5 miliar orang berisiko untuk terkena
infeksi ini. Angka kejadian infeksi Dengue di Indonesia meningkat dari tahun ke
tahun. Tahun 2003 menunjukan angka kejadian infeksi dengue di Indonesia mencapai
50.131 kasus dengan jumlah kematian 743 orang.1 Pada tahun 2007 di Indonesia
terdapat 150.000 kasus, dimana 25.000 kasus terjadi di Jakarta dan Jawa Barat. Pada
tahun 2009 di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung tercatat sebanyak 2694 kasus
infeksi virus dengue.2
Departemen Kesehatan Republik Indonesia melaporkan angka morbiditas
dengue adalah 15,28/100.000 penduduk pada tahun 1997, 30/100.000 penduduk pada
tahun 2004 dan 13,7/100.000 penduduk pada tahun 2005. Case Fatality Rate (CFR)
di negara Asia berkisar antara 0,5-3,5%, sedangkan di Indonesia, CFR menurun
dengan konstan, yaitu 41% pada tahun 1968, pada tahun 2005 menurun hingga
1,34%3, dan pada tahun 2007 diperkirakan sebesar 1%.2
Manifestasi infeksi virus dengue bervariasi mulai dari asimptomatik atau
menyebabkan demam yang tidak bisa dibedakan dengan infeksi virus lain, dengue
fever (DF), atau dengue haemorrhagic fever (DHF) termasuk di dalamnya dengue
shock syndrome (DSS). Manifestasi perdarahan pada DHF mulai dari yang ringan
1
sampai berat meliputi torniquet test positif (paling sering), petekhie, purpura (pada
tempat venepuncture), ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, dan hematemesis dan
atau melena.4
Gangguan hemostasis yang merupakan inti patogenesis DHF meliputi
gangguan vaskuler, trombosit, dan koagulopati. Pada fase awal demam disertai
perdarahan disebabkan oleh vaskulopati dan trombositopenia, dan fase syok
disebabkan oleh trombositopenia diikuti koagulopati, terutama oleh disseminated
intravascular coagulation (DIC) dan fibrinolisis. Vaskulopati bermanifestasi klinis
sebagai petekhia, torniquet test positif, dan adanya kenaikan permeabilitas kapiler
akibat dilepaskannya mediator yang menyebabkan kebocoran plasma, elektrolit, dan
protein ke dalam rongga ektravaskuler. Trombositopenia dan koagulopati
menyebabkan perdarahan dalam berbagai bentuk, seperti epistaksis, hematemesis dan
melena.5,6
Terjadinya DHF yang berlanjut menjadi DSS disebabkan oleh dua patofisiologi
utama yaitu; 1) Meningkatnya pemeabilitas kapiler yang menghasilkan kebocoran
plasma menyebabkan hipovolemia dan hemokonsentrasi, dan; 2) adanya hemostasis
abnormal yang melibatkan perubahan pembuluh darah, trombositopenia dan
koagulopati.5
Faktor von Willebrand (vWf) dan faktor VIII sangat berperan dalam proses
hemostasis. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kadar fWf dan faktor VIII pada
masing-masing golongan darah sistem ABO sangat berbeda terutama pada jenis
golongan darah O yang mempunyai kadar lebih rendah dibanding golongan darah non
O.7-10 Rendahnya kadar vWf dan faktor VIII akan memperberat gangguan hemostasis
dan kebocoran plasma yang terjadi pada penderita DHF.
Penelitian sebelumnya pada anak-anak mendapatkan bahwa tidak terdapat
perbedaan bermakna antara golongan darah O dan non O dengan DHF derajat IV,
namun jenis golongan darah O menjadi faktor risiko beratnya perdarahan pada
penderita DHF.11 Belum ada penelitian tentang hubungan golongan darah sistem
ABO dengan derajat dan berat perdarahan pada penderita DHF dewasa. Pengetahuan
2
tentang apakah jenis golongan darah tertentu berhubungan dengan derajat dan berat
perdarahan pada DHF dapat menjadi perhatian/ kewaspadaan terhadap memberatnya
DHF pada golongan darah tertentu.
3
sebanyak 8 (26,7%) orang, kelompok usia 36-45 tahun dan 46-55 tahun masing-
masing sebanyak 1 (3,3%) orang dan kelompok usia 56-65 tahun sebanyak 2 (6,7%)
orang.
Dari data pada tabel 1 menunjukkan bahwa jenis kelamin penderita terdiri atas
10 (33,3%) laki-laki dan 20 (66,7%) perempuan. Golongan darah A menempati
proporsi golongan darah terbanyak diikuti golongan darah O dan B, masing-masing
13 (43,3%) untuk golongan darah A, 9 (30%) orang untuk golongan darah O dan 8
(26,7%) orang untuk golongan darah B.
4
Tabel 3. Hubungan Antara Golongan Darah dengan Kadar vWF pada Penderita DHF
Golongan Darah Kadar vWF
A (n=13) 152.62 ± 27.54
B (n=8) 162.00 ± 15.53
O (n=9) 169.78 ± 14.39
Hubungan antara golongan darah dengan kadar vWF pada penderita DHF
ditampilkan pada tabel 3 yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna
antara antara golongan darah dengan kadar vWF pada penderita DHF. Golongan
darah A mempunyai kadar vWF tertinggi dengan rata-rata 152.62 U/dL, golongan
darah mempunyai kadar vWF rata-rata 162,00 U/dL, dan golongan darah O
mempunyai kadar rata-rata terendah yaitu sebesar 169,78 U/dL.
Tabel 4. Hubungan Antara Golongan Darah dengan Berat Perdarahan pada Penderita
DHF
Golongan Berat Perdarahan
Darah Torniquet Petekhie Perdarahan Epistaksis Hematemesis Melena
test (+) Gusi
A (n=13) 7 4 2 0 0 0
B (n=8) 4 0 1 2 1 0
O (n=9) 4 2 1 0 1 1
IV. Pembahasan
Dari data pada tabel 1 golongan darah A menempati proporsi golongan darah
terbanyak diikuti golongan darah O dan B, masing-masing 13 (43%) untuk golongan
5
darah A, 9 (30%) orang untuk golongan darah O dan 8 (27%) orang untuk golongan
darah B. Penelitian sebelumnya dengan subyek penelitian anak-anak menunjukkan
bahwa golongan darah O menempati proporsi terbanyak pada DHF, yaitu 43% dan
35% di antaranya mengalami DSS. Pada penelitian ini tidak didapatkan golongan
darah AB.11 Golongan darah AB pada populasi asia hanya sekitar 5%. 12 Pada
penelitian DHF sebelumnya dengan subyek penelitian anak-anak dari 98 penderita
DHF, 8 (8,2%) di antaranya dengan golongan darah AB.11
Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa penderita golongan darah O
mempunyai kadar vWf dan faktor VIII yang lebih rendah dibanding golongan darah
lain. Faktor VIII merupakan faktor koagulasi utama yang diperlukan untuk
dimulainya kaskade koagulasi. Hal ini diduga menyebabkan kemungkinan terjadinya
perdarahan lebih besar pada golongan darah O dibanding golongan darah lain.
Rendahnya kadar vWf dan faktor VIII akan memperberat gangguan hemostasis dan
kebocoran plasma yang terjadi pada penderita DHF. Namun pada penelitian ini tidak
dijumpai perbedaan bermakna untuk kejadian DHF derajat I, II dan III antara kategori
jenis golongan darah sistem ABO (tabel 2) dan tidak ada perbedaan bermakna
beratnya perdarahan yang terjadi antara kategori golongan darah sistem ABO
(tabel 4). Keadaan ini kemungkinan karena pada analisis hasil kadar vWf pada 30
penderita dengan uji Kruskal Wallis menunjukkan tidak ada perbedaan kadar vWF
antara ketiga golongan darah (table 3). Hasil statistik yang tidak bermakna juga salah
satunya karena jumlah sampel yang sedikit.
Pada penelitian ini derajat DHF hanya sampai pada derajat III, sehingga tidak
menggambarkan faktor risiko terjadinya DSS (derajat IV). Pada penelitian DHF
sebelumnya pada anak-anak tidak didapatkan perbedaan yang bermakna untuk
terjadinya non DSS maupun DSS antara kategori jenis golongan darah sistem ABO.11
Pada penelitian ini didapatkan 1 manifestasi hematemesis yang terjadi pada
golongan darah B dan I manifestasi perdarahan berupa hematemesis dan melena pada
golongan darah O namun tidak bermakna secara statistik. Pada penelitian DHF
sebelumnya pada anak-anak terdapat perbedaan bermakna manifestasi klinis
6
hematemesis dan melena pada penderita DHF antara golongan O dan non O
(p=<0,001) dan disimpulkan golongan darah O menjadi faktor risiko terjadinya
hematemesis dan melena.11
Kekurangan dari penelitian ini adalah selain jumlah sampel yang sedikit, tidak
didapatkan golongan darah AB dan tidak didapatkan penderita dengan DSS.
Penelitian selanjutnya dengan jumlah sampel yang lebih banyak mencakup penderita
DHF dengan golongan darah AB dan DSS diperlukan untuk mendapat gambaran
hubungan DHF dengan golongan darah sistem ABO pada dewasa yang lebih baik.
V. KESIMPULAN
Golongan Darah Sistem ABO bukan merupakan faktor risiko beratnya
perdarahan pada penderita dengue haemorrhagic fever (DHF) derajat I, II dan III
yang dirawat di Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung.
7
DAFTAR PUSTAKA