Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Diabetes Mellitus


2.2.1 Definisi Diabetes Mellitus
World Health Organisation (2016) mendefinisikan Diabetes mellitus
sebagai suatu gangguan metabolisme kronis yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula darah, dimana pankreas tidak mampu menghasilkan
insulin (hormon yang mengatur glukosa darah) dengan cukup atau karena
kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin.
Menurut American Diabetes Association (2014), Diabetes mellitus
merupakan penyakit yang mempunyai karakteristik hiperglikemia karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronik
pada Diabetes mellitus dikaitkan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi,
dan kegagalan pada beberapa organ yang berbeda, terutama pada mata, ginjal,
saraf, jantung, dan pembuluh darah.
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme kronis yang ditandai
dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi
insulin atau penurunan sensitivitas insulin atau keduanya dan menyebabkan
komplikasi kronis mikrovaskuler, makrovaskuler, dan neuropiati ( Nurarif &
Hardhi, 2015).
2.2.2 Anatomi Fisiologi
1. Anatomi

Pankreas adalah kelenjar terengolasi berukuran besar dibalik


kurvatura besar lambung. Pankreas terlatak di retroperitonial rongga
abdomen bagian atas, dan terbentang horizontal dari cincin duodenal ke
lien. Panjang sekitar 10-20 cm dan lebar 2,5-5 cm. Pankreas mendapat
pasokan darah dari arteri mesenterika superior dan splenikus.
a. Kelenjar pankreas
Sekumpulan kelenjar yang strukturnya sangat mirip dengan kelenjar
ludah panjangnya kira-kira 15 cm, lebar 5 cm mulai dari deudenum
sampai ke limpa dan beratnya rata-rata 60-90 gr. Terbentang pada
vertebral lumbalis I & II dibelakang lambung.
b. Bagian-bagian pankreas
1) Kepala pankreas
Terletak di sebelah kanan rongga abdomen dan didalam lekukan
deudenum yang melingkarinya.
2) Badan pankreas
Merupakan bagian utama dan ini letaknya dilbelakang lambung
dan di depan vertebra umbalis utama.
3) Ekor pankreas
Bagian yang runcing disebelah kiri yang sebenarnya menyentuh
limpa.
c. Saluran Pankreas
Pada pankreas terdapat dua saluran yang mengalirkan hasil sekresi
pankreas ke dalam duodenum.
1) Ductus Wirsung, yang bersatu dengan ductus chole dukus,
kemudian masuk ke dalam duodenum melalui sphincter oddi.
2) Ductus Sartonni, yang lebih kecil langsung masuk ke dalam
duodenum di sebelah atas sphincter oddi.
d. Pulau-pulau langerhan
Pulau langerhans berbentuk ovoid dengan besar masing-masing
pulau berbeda-beda yang menjadi system endokrinologis dari
pankreas terbesar dari seluruh pankreas dengan berat hanya 1-3 %
dari berat total pankreas. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah
50μ, sedangkan yang terbesar 300μ, terbanyak adalah yang besarnya
100-225μ. jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan
antara 1-2 juta. Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel
utama, yaitu:
1) Sel-sel A (alpha), jumlahnya sekitar 20-40 % : memproduksi
glikagon yang menjadi faktor hiperglikemik, suatu hormone yang
mempunyai “anti insulin like activity”.
2) Sel-sel B (betha), jumlahnya sekitar 60-80 %, membuat insulin.
3) Sel-sel D (delta), jumlanya sekitar 5-15 %, membuat
samatostatin.
Masing-masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan
struktur dan sifat pewarnaan. di bawah mikroskop pulau-pulau
langerhans ini nampak berwarna pucat dan banyak mengandung
pembuluh darah kapiler. pada penderita DM, sel beta sering ada
tetapi berbeda dengan sel beta yang normal dimana sel beta tidak
menunjukan reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap
tidak berfungsi.
2. Fisiologi
Pankreas berfungsi sebagai organ endokrin dan eksokrin.
a. Fungsi eksokrin pankreas ( asinar )
Getah pankreas mengandung enzim-enzim untuk pencernaan.
ketiga jenis makanan utama, protein, karbohidrat dan lemak. Getah
pankreas juga mengandung ion bikarbonat dalam jumlah besar, yang
memegang peranan penting dalam menetralkan timus asam yang
dikeluarkan oleh lambung ke dalam duodenum.
Enzim-enzim proteolitik adalah tripsin, kamotripsin, karboksi,
peptidase, ribonuklease, deoksiribonuklease. Tiga enzim pertama
memecahkan keseluruhan dan secara parsial protein yang dicernakan,
sedangkan nuclease memecahkan kedua jenis asam nukleat, asam
ribonukleat dan deoksinukleat.
Enzim pencernaan untuk karbohidrat adalah amylase pankreas,
yang menghidrolisis pati, glikogen dan sebagian besar karbohidrat
lain kecuali selulosa untuk membentuk karbohidrat, sedangkan
enzim-enzim untuk pencernaan lemak adalah lipase pankreas yang
menghidrolisis lemak netral menjadi gliserol, asam lemak dan
kolesterol esterase yang menyebabkan hidrolisis ester-ester
kolesterol.
Produk gabungan sel-sel asinar mengalir melalui duktus
pankreas, yang menyatu melalui duktus empedu komunis dan masuk
ke deudenum dititik ampula hepato pankreas. Getah pankreas ini
dikirim kedalam deudenum melalui duktus pankreatikus, yang
bermuara pada papila vateri yang terletak pada dinding deudenum.
Pankreas menerima darah dari arteri pankreatika dan mengalirkan
darahnya ke vena kava inferior melalui vena pankreatika.
b. Fungsi endokrin pankreas
Fungsinya sebagai organ endokrin didukung oleh pulau-pulau
langerhans. Pulau-pulau langerhans terdiri dari tiga jenis sel yaitu :
1) Sel α (alpha) yang menghasilkan glukagon
Efek glukagon ini juga sama dengan efek kortisol, GH dan
epineprin. Dalam meningkatkan kadar gula darah, glukagon
merangsang glikogenolisis (pemecahan glukogen menjadi
glukosa) dan meningkatkan transportasi asam amino dari otot
serta meningktakan glukoneogenesis (Pemecahan glukosa dari
yang bukan karbohidrat). Dalam metabolisme lemak, glukagon,
meningkatkan lipolisis ( Pemecahan lemak ).
2) Sel β (betha) yang menghasilkan insulin
Insulin sebagai hormon anabolik terutama akan
meningkatkan difusi glukosa melalui membran sel jaringan. Efek
metabolik penting lainnya dari hormon insulin adalah sebagai
berikut :
a. Efek pada hepar
1) Meningkatkan sintesa dan penyimpanan glukosa
2) Menghambat glikogenolisis, glukoneogenesis dan
ketogenesis
3) Meningkatkan sintesa trigliserida dari asam lemak bebas
dihepar
b. Efek pada otot
1) Meningkatkan sintesa protein
2) Meningkatkan tranportasi asam amino
3) Meningkatkan glikogenesis
c. Efek pada jaringan lemak
1) Meningkatkan sintesa trigliserida dari asam lemak bebas
2) Meningkatkan penyimpanan trigliserida
3) Menurunkan lipolisis
3) Sel deltha yang menghasilkan somatostatin namun fungsinya
belum jelas diketahui.
Hasil dari sistem endokrin ini langsung dialirkan kedalam
peredaran darah dibawa ke jaringan tanpa melewati duktus untuk
membantu metabolisme karbohidrat
2.2.3 Etiologi Diabetes Mellitus
Menurut Nurarif dan Hardhi (2015). etiologi Diabetes mellitus yaitu:
1. Diabetes mellitus tipe I
Diabetes mellitus tipe I tergantung pada insulin yang ditandai
penghancuran sel-sel beta pankreas karena :
a. Faktor genetik, penderita tidak mewarisi diabetes itu sendiri tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah
terjadinya Diabetes mellitus tipe I.
b. Faktor imunologi (autoimun)
c. Faktor lingkungan : virus atau toksin tertentu dapat memicu proses
autoimun yang menimbulkan estruksi sel beta.
2. Diabetes mellitus tipe II
Diabetes mellitus tipe II disebabkan oleh kegagalan relatif sel beta
dan resistensi insulin. Faktor resiko yang berhubungan dengan proses
terjadinya Diabetes mellitus tipe II : usia, obesitas, riwayat dan keluarga.
Sustrani, dkk, (2010 dalam Delianty, 2015) mengatakan bahwa ada
beberapa faktor resiko Diabetes mellitus sebagai berikut :
1. Kelainan genetik
Diabetes mellitus merupakan penyakit keturunan dari keluarga yang
sebelumnya menderita Diabetes mellitus karena kelainan gen sehingga
tubuh tidak dapat menghasilkan insulin dengan baik. Namun resiko
Diabetes mellitus juga tergantung pada faktor kelebihan berat badan,
aktivitas kurang dan stres.
2. Faktor usia
Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang menurun
dengan cepat setelah usia 40 tahun. Diabetes mellitus tipe II sering
muncul setelah usia lanjut terutama setelah berusia 45 tahun dengan berat
badan yang berlebihan, sehingga tubuh tidak peka terhadap insulin.
3. Faktor kegemukan
Sekitar 80-90% pasien Diabetes mellitus tipe II adalah individu yang
mengalami kegemukan. Makin banyak jaringan lemak, jaringan tubuh,
otot akan semakin resisten terhadap kerja insulin. Lemak tersebut akan
memblokir kerja insulin sehingga glukosa tidak dapat diangkut kedalam
sel dan akhirnya menumpuk pada peredaran darah.
4. Kurang aktivitas fisik
Olahraga atau aktivitas fisik membantu mengontrol berat badan.
Glukosa darah tersebut dibakar menjadi energi sehingga sel-sel tubuh
menjadi lebih sensitif terhadap insulin. Dengan olahraga peredaran darah
menjadi lebih baik dan resiko terjadinya Diabates mellitus tipe II akan
turun hingga 50%.
2.2.4 Klasifikasi Diabetes Millitus
Menurut World Health Organisation (2015), Diabetes mellitus terbagi
menjadi 3 bagian yaitu Diabetes mellitus tipe I, Diabetes mellitus tipe II, dan
diabetes gestasional. American Diabetes Association (2015), mengklasifikasi
Diabetes mellitus menjadi 4 bagian, yaitu:
1. Diabetes mellitus tipe I
Diabetes mellitus tipe I dikenal dengan insulin dependent diabetes
mellitus (IDDM). Terjadi sebanyak 5-10% dari semua Diabetes mellitus.
Sel beta pankreas yang menghasilkan hormon insulin dirusak oleh proses
autoimun, sehingga pasien memproduksi insulin dalam jumlah sedikit
bahkan tidak ada sehingga memerlukan terapi insulin untuk mengontrol
kadar gula darah. Diabetes mellitus tipe I dicirikan dengan onset yang
akut dan biasanya terjadi pada usia < 30 tahun (Smelter & Bare, 2002
dalam Delianty 2015).
Gejala dari penderita Diabetes mellitus tipe I yaitu terjadinya
peningkatan ekskresi urin (poliuria), rasa haus (polidipsia) lapar, berat
badan menurun, pandangan terganggu, lelah, dan gejala tersebut dapat
timbul secara tiba-tiba (WHO, 2015).
2. Diabetes mellitus tipe II
Diabetes mellitus tipe II atau Non-insulin dependent diabetes
mellitus (NIDDM) yaitu Diabetes yang tidak tergantung insulin. Kurang
lebih 90-95% seluruh penderita Diabetes menderita Diabetes mellitus tipe
II. Pada Diabetes mellitus tipe ini, individu mengalami penurunan
sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) dan kegagalan fungsi sel
beta yang mengakibatkan penurunan produksi insulin. Umum terjadi pada
usia >30 tahun, dengan obesitas, herediter, dan faktor lingkungan
(Smelter & Bare, 2002 dalam Delianty, 2015).
Gejala Diabetes mellitus tipe II mungkin mirip dengan Diabetes
mellitus tipe I, tetapi sering kurang diketahui gejalanya. Akibatnya,
penyakit ini dapat didiagnosis beberapa tahun setelah onset, atau setelah
komplikasi muncul (WHO, 2015).
3. Diabetes Gestasional
Diabetes mellitus gestasional adalah diabetes yang timbul selama
kehamilan dan biasanya terjadi pada trimester kedua dan ketiga. Akibat
hormon yang disekresikan plasenta yang mempunyai efek metabolik
terhadap toleransi glukosa atau menghambat kerja insulin. Terjadi pada 2-
5% wanita yang hamil, dan hilang saat melahirkan. (Smelter & Bare,
2002 dalam Delianty, 2015).
Diabetes gestasional adalah hiperglikemia dengan nilai glukosa darah
di atas normal tetapi di bawah orang yang di diagnostik diabetes, yang
terjadi selama kehamilan. Wanita dengan diabetes gestasional berada
pada peningkatan resiko komplikasi selama kehamilan dan saat
melahirkan. Pada mereka juga akan mengalami peningkatan risiko
Diabetes mellitus tipe II di kemudian hari (WHO, 2015).
4. Sindrom Diabetes Monogenik
Sindrom diabetes monogenik disebabkan oleh cacat monogenik yang
menyebabkan disfungsi sel β, seperti diabetes neonatal, mewakili
sebagian kecil dari pasien dengan diabetes (<5%). Bentuk-bentuk
diabetes sering ditandai dengan timbulnya hiperglikemia pada usia dini
(umumnya sebelum usia 25 tahun) (ADA, 2015).
2.2.5 Patofisiologi
Rendy dan Margareth (2012), mengemukakan bahwa tubuh ibarat sebuah
mesin, yang memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan menggantikan
sel yang rusak. Disamping itu tubuh juga memerlukan energi agar sel tubuh
dapat berfungsi dengan baik. Energi yang dibutuhkan oleh tubuh berasal dari
bahan makanan yang kita konsumsi setiap hari. Bahan makanan tersebut
terdiri dari unsur karbohidrat, lemak, dan protein.
Glukosa yang dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2
dan air kurang lebih 50% dalam keadaan normal, 10% menjadi glikogen dan
20% sampai 40% diubah menjadi lemak. Pada Diabetes mellitus semua
proses tersebut terganggu karena terdapat defisiensi insulin. Penyerapan
glukosa kedalam sel menjadi macet dan proses metabolisme terganggu.
Kondisi ini menyebabkan sebagian besar glukosa tetap berada dalam sirkulasi
darah sehingga terjadi hiperglikemia (Rendy & Margareth, 2012).
Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemia ini, karena ambang batas untuk
gula darah adalah 180 mg% sehingga jika terjadi hiperglikemia ginjal tidak
dapat menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah.
Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan
dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan dengan
glukosuria, sejumlah air hilang dalam urine yang disebut dengan poliuria.
Poliuria mengakibatkan dehidrasi intraseluler, hal ini merangsang pusat haus
sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus sehingga pasien
mengalami polidipsi atau banyak minum (Rendy & Margareth, 2012).
Produksi insulin yang kurang mengakibatkan transport glukosa ke sel-sel
menurun sehingga sel-sel tersebut kekurangan makanan dan simpanan
karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan untuk
melakukan pembakaran dalam tubuh, pasien merasa lapar sehingga pasien
tersebut banyak makan yang disebut poliphagia. Terlalu banyak lemak yang
dibakar terjadi penumpukan asetat dalam darah yang menyebabkan keasaman
darah meningkat atau asidosis. Zat ini dapat meracuni tubuh jika terlalu
banyak sehingga tubuh berusaha mengeluarkannya melalui urine dan
pernapasan, akibatnya bau urine dan napas pasien berbau aseton atau bau
buah-buahan. Keadaan asidosis ini jika tidak segera diobati bisa menyebabkan
koma yang disebut koma diabetik (Rendy & Margareth, 2012).
Diabetes mellitus Tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Insulin
yang normal akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai
akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian
reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada
Diabetes mellitus tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Insulin
menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan
(Brunner & Suddarth, 2012 dalam dalam Pujiastuti, 2016).
Peningkatan jumlah insulin yang disekresikan oleh sel beta pankreas
digunakan untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa di dalam darah. Penderita dengan toleransi glukosa terganggu, terjadi
akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan
pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun, jika sel-sel beta
tidak mampu menyeimbangkan peningkatan kebutuhan insulin, maka kadar
glukosa darah meningkat dan terjadi Diabetes mellitus tipe II (Brunner &
Suddarth, 2012 dalam dalam Pujiastuti, 2016).
Parhway
Umur

Penurunan fungsi Penuruan


indra pengecap fungsi pankreas

Konsumsi Penuruan kualitas


makanan dan kuantitas
manis berlebih insulin Gaya hidup

HIPERGLIKEMIA

Penuruan glukosa dalam sel Kerusakan vaskuler

Cadangan lemak dan Neuropati perifer


protein turun Resiko
ketidakstabilan Ulkus
BB turun kadar glukosa
darah
Kerusakan integritas kulit

Pembedahan (Debridement)

Pengeluaran Adanya perlukaan pada kaki


histamin dan prosglandin
Luka insisi tidak terawat
Gangguan
Nyeri akut
mobilitas fisik
Peningkatan leukosit

Resiko infeksi
2.2.6 Manifestasi Klinis
Gejala sering timbul beberapa bulan atau beberapa tahun sesudah mengidap
penyakit ini. Gejala yang sering muncul adalah :
a. Sering buang air kecil terutama pada malam hari
b. Gatal-gatal terutama pada alat kelamin bagian luar
c. Kesemutan dan kram
d. Cepat merasa lelah dan mengantuk
e. Cepat merasa lapar dan kehausan
f. BB menurun, nafsu makan betambah
g. Penglihatan kabur
h. Gatal
i. Mudah timbul abses dan kesembuhan yang lama
j. Ibu melahirkan lebih dari 4 kg
k. Ibu sering mengalami keguguran atau melahirkan bayi mati
l. Impotensi pada pria, pluritis vulva pada wanita
2.2.7 Komplikasi Diabetes Mellitus
Beberapa komplikasi dari Diabetes mellitus menurut Rendy & Margareth
(2012), adalah :
1. Akut
a. Hipoglikemia dan hiperglikemia
b. Penyakit makrovaskuler : mengenai pembuluh darah besar, penyakit
jantung koroner (cerebrovaskuler, penyakit pembuluh darah kapiler).
c. Penyakit mikrovaskuler, mengenai pembuluh darah kecil, retinopati,
nefropati.
d. Neuropati saraf sensorik (berpengaruh pada ekstrimitas), saraf
otonom berpengaruh pada gastrointestinal, kardiovaskuler.
2. Komplikasi menahun Diabetes mellitus antara lain : Neuropati diabetik,
Retinopati diabetik, Nefropati diabetik, Proteinuria, Kelainan koroner,
ulkus atau gangren.
Terdapat lima grade ulkus diabetikum, antara lain :
a. Grade 0 : Tidak ada luka
b. Grade I : Terusakan hanya sampai pada permukaan kulit
c. Grade II : Kerusakan kulit mencapai otot dan tulang
d. Grade IV : Gangren pada seluruh kaki dan tungkai bawah distal
2.2.8 Pemeriksaan Penunjang
Nurarif & Hardhi (2015), mengemukakan bahwa pemeriksaan penunjang
penderita Diabetes mellitus antara lain:
1. Kadar glukosa darah
Tabel 2.1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode
enzimatik sebagai patokan penyaring

Kadar Glukosa Darah Sewaktu (mg/dl)


Kadar Glukosa Darah Belum pasti Diabetes
Diabetes mellitus
Sewaktu mmellitus
Plasma vena > 200 100-200
Darah kapiler >110 80-100
Kadar glukosa Darah Puasa (mg/dl)
Kadar Glukosa Darah Puasa DM Belum pasti DM
Plasma vena >120 110-120
Darah kapiler >110 90-110

2. Kriteria diagnostik WHO untuk Diabetes mellitus, sedikitnya 2 kali


pemeriksaan :
a. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) >200
mg/dl)
3. Tes laboratorium Diabetes mellitus
Jenis tes pada pasien Diabetes mellitus dapat berupa tes saring, tes
diagnostik, tes pemantauan terapi, dan tes untuk mendeteksi komplikasi.
2.2.9 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
Tujuan utama terapi Diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan
aktivitas insulin dan kadar glukosa darah untuk mengurangi terjadinya
komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe
Diabetes mellitus untuk mencapai kadar glukosa darah normal tanpa adanya
hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien (Brunner &
Suddart, 2012).
Brunner & Suddarth (2012 dalam Pujiastuti, 2016), mengatakan bahwa
terdapat lima komponen dalam penatalaksanaan Diabetes mellitus, antara lain:
1. Terapi Diet
Dasar dari penatalaksanaan Diabetes adalah diet dan pengendalian
berat badan. Diet pada penderita Diabetes mellitus dianjurkan untuk
mengatur jumlah karbohidrat dan kalori yang dikonsumsi setiap hari.
Jumlah kalori yang dianjurkan tergantung pada kebutuhan untuk
mempertahankan, mengurangi, atau menambah berat badan. Pasien yang
membutuhkan insulin untuk membantu mengendalikan kadar glukosa
darah, upaya mempertahankan konsistensi jumlah kalori dan karbohidrat
yang dikonsumsi pada jam-jam makan yang berbeda adalah hal penting.
Konsistensi interval waktu antara jam makan dengan mengkonsumsi
camilan, dapat membantu mencegah reaksi hipoglikemia dan
pengendalian keseluruhan kadar glukosa darah.
Bagi pasien dengan obesitas khususnya pasien Diabetes mellitus Tipe
II, penurunan berat badan merupakan kunci dalam penanganan Diabetes
mellitus. Secara umum penurunan berat badan bagi pasien obesitas
menjadi faktor utama untuk mencegah timbulnya penyakit Diabetes
(Brunner & Suddart, 2012).
Tujuan diet penyakit Diabetes mellitus untuk membantu pasien
memperbaiki kebiasaan makan dan olahraga untuk mendapatkan kontrol
metabolik yang lebih baik, dengan cara :
a. Mempertahankan kadar glukosa darah agar mendekati normal dengan
menyeimbangkan asupan makanan dengan insulin (endogenous dan
exogenous) atau obat penurun glukosa oral dan aktivitas fisik.
b. Mencapai dan mempertahankan kadar lipid serum normal.
c. Memberi cukup energi untuk mempertahankan atau mencapai berat
badan normal.
d. Menghindari atau menangani komplikasi akut pasien yang
menggunakan insulin seperti hipoglikemia, komplikasi jangka
pendek, dan komplikasi jangka lama serta masalah yang berhubungan
dengan latihan jasmani.
e. Meningkatkan derajat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang
optimal.
Diet yang digunakan sebagai bagian dari penatalaksanaan
Diabetes mellitus dikontrol berdasarkan kandungan energi, protein,
lemak, dan karbohidrat. Sebagai pedoman dipakai delapan jenis diet
Diabetes mellitus. Penetapan diet ditentukan oleh keadaan pasien,
jenis Diabetes mellitus, dan program pengobatan secara keseluruhan.
Kebutuhan kalori yang sesuai untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal adalah dengan komposisi energi
60% sampai 70% dari karbohidrat, 10-15% dari protein dan 20-25%
dari lemak. Terdapat beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori
yang dibutuhkan penderita Diabetes yaitu dengan memperhitungkan
berdasarkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kg
BB ideal, ditambah dan dikurangi bergantung pada beberapa faktor
yaitu jenis kelamin, umur, aktifitas, kehamilan atau laktasi, adanya
komplikasi, dan berat badan. Sedangkan cara yang lebih mudah
adalah dengan pegangan kasar, yaitu untuk pasien kurus 2300-2500
kalori, normal 1700-2100 kalori dan gemuk 1300-1500 kalori
(Hiswani, 2010).
2. Latihan fisik
Latihan fisik sangat penting dalam penatalaksanaan Diabetes mellitus
karena efeknya bisa menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi
faktor resiko kardiovaskuler. Latihan fisik bisa menurunkan kadar
glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan
memperbaiki pemakaian insulin. Berolahraga juga memperbaiki sirkulasi
darah dan tonus otot (Brunner & Suddart, 2012).
Individu yang tidak mengalami Diabetes mellitus selama latihan
pelepasan insulin menurun sehingga tidak terjadi hipoglikemia, namun
pada pasien yang mendapat suntikan insulin tidak dapat melakukan
latihan karena pemakaian glukosa dapat meningkat pada saat latihan
sehingga dapat menimbulkan hipoglikemia. Pasien tersebut perlu
melakukan pengaturan waktu yang tepat dalam melakukan latihan fisik
agar dapat melakukan pengaturan kadar glukosa yang lebih baik.
Penderita Diabetes mellitus dengan kadar glukosa darah lebih dari
250mg/dl (14 mmol/L) dan menunjukkan adanya keton dalam urine tidak
boleh melakukan latihan fisik sebelum pemeriksaan keton urine
menunjukkan hasil negatif dan kadar glukosa darah mendekati normal.
Latihan dengan kadar gukosa darah yang tinggi dapat meningkatkan
sekresi glukagon, growth hormone, dan katekolamin. Peningkatan
hormon ini menyebabkan hati melepas lebih banyak glukosa sehingga
terjadi kenaikan kadar glukosa darah (Smeltzer & Bare, 2008).
3. Pemantauan
Penderita Diabetes dapat melakukan pemantauan kadar gukosa darah
secara mandiri dengan cara mengatur terapinya untuk mengendalikan
kadar glukosa darah secara optimal. Cara ini memungkinkan deteksi dan
pencegahan hipoglikemia dan hiperglikemia, dan berperan dalam
menentukan kadar glukosa darah normal yang kemungkinan akan
mengurangi komplikasi Diabetes jangka panjang (Brunner & Sudarth,
2012).
Metode yang digunakan dalam pemantauan kadar gukosa darah
secara mandiri disesuikan dengan tingkat keterampilan pasien. Faktor-
faktor yang mempengaruhi pemantauan mandiri glukosa darah mencakup
ketajaman penglihatan,kemampuan intelektual, koordinasi motorik yang
baik, kebiasaan menggunakan teknologi, kemauan, dan biaya. Perawat
perlu mengajarkan tentang pemantauan mandiri glukosa darah. Perawat
mengevaluasi teknik yang digunakan oleh pasien yang sudah
berpengalaman dalam pemantauan mandiri. Perawat atau tenaga
kesehatan lain harus memberitahukan kepada pasien agar tidak membeli
produk pemantauan mandiri dari toko atau katalog yang tidak
menyertakan petunjuk pemakaian. Setiap 6 sampai 12 bulan sekali, pasien
harus membandingkan pengukuran alat yang dimilikinya dengan hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah yang dilakukan oleh laboratorium pada
waktu bersamaan (Brunner & Suddarth, 2012).
4. Terapi obat
Penderita Diabetes mellitus Tipe I mengalami kehilangan
kemampuan untuk memproduksi insulin. sehingga insulin eksogenus
harus diberikan dalam jumlah tak terbatas. Pada Diabetes mellitus Tipe II,
insulin mungkin diperlukan sebagai terapi jangka panjang untuk
mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemia oral
tidak berhasil mengontrolnya. Di samping itu, sebagian pasien Diabetes
mellitus Tipe II yang biasanya mengendalikan kadar glukosa darah
dengan diet dan obat oral kadang membutuhkan insulin secara temporer
selama sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan, atau beberapa kejadian
stres lainnya (Brunner & Suddart, 2012).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemikoral dapat
menjadi 3 golongan, yaitu:
a. Obat-obat yang dapat meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat
hipoglikemik oral golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan
turunan fenilalanin).
b. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel
terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan
biguanida dan tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk
memanfaatkan insulin secara efektif.
c. Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase
yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan
untuk mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal
hyperglycemia).
Pasien dengan gejala Diabetes mellitus yang ringan dapat
mempertahankan kadar glukosa darah normal hanya dengan
menjalankan diet saja. Namun, pasien Diabetes mellitus dengan sisa
sel-sel pulau Langerhans yang masih berfungsi merupakan calon
yang tepat untuk penggunan agen hipoglikemik oral seperti
sulfonilurea. Obat-obat ini merangsang fungsi sel beta dan
meningkatkan sekresi insulin. Selain itu, obat ini juga memperbaiki
kerja perifer dari insulin, dengan demikian berguna dalam
penatalaksanaan pasien Diabetes mellitus Tipe II yang mengalami
gangguan respon terhadap insulin. Pasien Diabetes mellitus Tipe I
telah kehilangan fungsi sel-sel pulau Langerhansnya dan agen
hipoglikemik oral tidak efektif untuk mereka (Price & Wilson, 2008).
5. Pendidikan
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang memerlukan
perilaku penanganan mandiri seumur hidup. Karena diet, aktivitas fisik,
dan stres serta emosional dapat mempengaruhi pengendalian Diabetes.
Pasien bukan hanya harus belajar keterampilan untuk merawat diri sendiri
setiap hari untuk menghindari penurunan atau kenaikan kadar gula darah
yang mendadak, tetapi harus memiliki perilaku preventif dalam gaya
hidup untuk menghindari komplikasi diabetik jangka panjang.
Penghargaan pasien pentingnya pengetahuan dan keterampilan yang harus
dimiliki oleh penderita Diabetes dapat membantu tenaga kesehatan dalam
melakukan pendidikan dan penyuluhan (Brunner & Suddart, 2012).

Anda mungkin juga menyukai