Anda di halaman 1dari 26

METODE PENELITIAN (KUALITATIF DAN KUANTITATIF)

PROPOSAL PENELITIAN

OLEH:

NAMA ANGGOTA KELOMPOK:


NI LUH PUTU MEGA VARIANTY NURHADI (18120701007)
NI PUTU AYU EKA DAMAYANTI (18120701050)
I KOMANG THIO MARTA BAGUSADEWA (18120701051)
REGINA TISA GAYATRI (18120701052)

SEMESTER V REGULER

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS DHYANA PURA

2021
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang menyerang paru-paru dan dapat menginfeksi orang lain. Tuberkulosis
dapat ditularkan melalui udara saat penderita tuberkulosis paru batuk atau bersin. Saat
ini, tuberkulosis paru masih menjadi salah satu pembunuh terbanyak di antara penyakit
menular lainnya di dunia (Abbas, 2017). Pada tahun 2017, WHO melaporkan bahwa
tuberkulosis paru menyebabkan sebesar 1,3 juta kematian di seluruh dunia. Lima negara
dengan insiden kasus tuberkulosis paru tertinggi yaitu India (27%), Cina (9%),
Indonesia (8%), Filipina (6%), dan Pakistan (5%). Penyakit tuberkulosis paru
merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah utama kesehatan
masyarakat terutama di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Indonesia menjadi
negara ketiga dengan angka kasus tuberkulosis paru yang tinggi setelah India dan Cina.
Berdasarkan laporan WHO tahun 2017, angka insiden tuberkulosis paru di
Indonesia sebesar 391 per 100.000 penduduk dan angka kematian sebesar 42 per
100.000 penduduk, sedangkan angka prevalensi tuberkulosis paru pada tahun 2017
sebesar 619 per 100.000 penduduk. Di Indonesia, pada tahun 2017 ditemukan jumlah
kasus tuberkulosis paru sebanyak 425.089 kasus. Jumlah tersebut diketahui lebih tinggi
dibandingkan semua kasus tuberkulosis paru yang ditemukan pada tahun 2016 yaitu
sebesar 360.565 kasus. Provinsi Bali menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang
memiliki angka kasus tuberkulosis paru yang cukup tinggi. Berdasarkan data dari Profil
Kesehatan Provinsi Bali tahun 2019, diketahui bahwa jumlah kasus tuberkulosis paru di
Provinsi Bali mencapai 22.053 kasus. Dari sembilan kabupaten/kota di Provinsi Bali,
Kota Denpasar memiliki angka kasus tuberkulosis paru yang tertinggi yaitu sebesar
6.552 kasus yang tercatat dari sebelas Puskesmas yang ada di Kota Denpasar.
Berdasarkan data yang diperoleh diketahui pula bahwa Puskesmas II Denpasar Barat
merupakan Puskesmas di Kota Denpasar yang memiliki angka kasus tuberkulosis paru
yang tinggi yaitu sebesar 599 kasus di tahun 2020.
Faktor-faktor yang memengaruhi kejadian tuberkulosis paru meliputi: usia, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, kepadatan hunian, perilaku kebiasaan merokok,
dan riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis paru. Hasil penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Fitriani (2013) menunjukkan adanya hubungan kejadian
tuberkulosis paru dengan faktor usia, kondisi lingkungan rumah, perilaku, dan riwayat
kontak dengan penderita TB paru. Penelitian yang dilakukan oleh Butiop HML, dkk.
(2015) juga menunjukkan ada hubungan kontak serumah dengan kejadian tuberkulosis
paru. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu perbedaan
karakteristik responden, tempat penelitian, dan waktu penelitian. Mengetahui faktor-
faktor yang memengaruhi kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas II
Denpasar Barat, bukan hanya menjadi tanggung jawab pasien atau penderita
tuberkulosis paru, namun diperlukan peran Puskesmas untuk mengetahui dengan jelas
mengenai faktor-faktor tersebut agar dapat melakukan intervensi yang cepat, tepat, dan
efektif.
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi kronis dan menular yang erat
kaitannya dengan individu atau masyarakat dan kondisi lingkungannya. Maka, dengan
mengetahui tingkat hubungan atau kemaknaan dari masing-masing faktor yang
memengaruhi kejadian tuberkulosis paru menjadi hal yang penting agar Puskesmas
dapat menentukan intervensi untuk menekan peningkatan kasus tuberkulosis paru,
karena berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas II Denpasar Barat, juga
diketahui bahwa program pencegahan tuberkulosis paru mengalami kesenjangan pada
tahun 2020 yaitu sebesar 48,5%. Berdasarkan data-data yang telah diuraikan tersebut
yang menjadi latar belakang dan dasar untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor
yang memengaruhi kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar
Barat. Dari penelitian ini akan diperoleh gambaran mengenai faktor-faktor yang
memengaruhi kejadian tuberkulosis paru yang dapat digunakan oleh Puskesmas dan
masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan dan menekan peningkatan kasus
tuberkulosis paru pada tahun-tahun berikutnya.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apa saja faktor-faktor yang
memengaruhi kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat
tahun 2021?

1.3. Tujuan Penelitian


1) Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi kejadian tuberkulosis paru di
wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat.
2) Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan antara usia dengan kejadian tuberkulosis paru di
wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat.
2. Untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian tuberkulosis
paru di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat.
3. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian
tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat.
4. Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian
tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat.
5. Untuk mengetahui hubungan antara riwayat kontak dengan penderita
tuberkulosis paru dengan kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas
II Denpasar Barat.
6. Untuk mengetahui hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian
tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Tuberkulosis Paru


Tuberkulosis paru merupakan penyakit radang parenkim paru yang menular
karena infeksi Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar Mycobacterium tuberculosis
menyerang paru-paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya. (Depkes RI, 2008).

2.2. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru


Klasifikasi penderita tuberkulosis paru adalah sebagai berikut:
 Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh
1) Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
 Klasifikasi Berdasarkan Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
1) Tuberkulosis Paru BTA positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
Spesimen dahak SPS hasilnya positif dan foto rontgen dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis aktif.
2) Tuberkulosis Paru BTA negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya negatif dan foto rontgen dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
 Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit
1) Tuberkulosis paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto
toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas dan keadaan umum
pasien buruk.
2) Tuberkulosis ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu:
a. Tuberkulosis ekstra paru ringan, misalnya: tuberkulosis kelenjar limfe,
pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
kelenjar adrenal.
b. Tuberkulosis ekstra paru berat, misalnya: meningitis, milier, pericarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, tuberkulosis tulang belakang,
tuberkulosis usus, tuberkulosis saluran kemih, dan alat kelamin.
 Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
Ada beberapa tipe penderita yaitu:
1) Kasus Baru
Penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Antituberkulosis (OAT) atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan (30 dosis harian).
2) Kambuh (Relaps)
Penderita yang pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan
sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif.
3) Pindahan (Transfer In)
Penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten lain dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten tertentu. Penderita tersebut harus
membawa surat rujukan/pindahan.
4) Default/Drop Out
Penderita yang sudah pernah berobat paling kurang 1 bulan dan berhenti 2 bulan
lebih, kemudian datang lagi berobat. Umumnya penderita tersebut kembali
dengan hasil dahak BTA positif.
5) Gagal
Penderita tuberkulosis paru BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau
akhir pengobatan.
6) Kronik
Penderita tuberkulosis paru dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang
baik.
7) Bekas Tuberkulosis Paru
Ditentukan dari hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi tuberkulosis yang tidak aktif, atau foto
serial menunjukkan gambaran yang menetap (PDPI, 2011).

2.3. Cara Penularan Tuberkulosis Paru


Sumber penularan tuberkulosis paru adalah penderita tuberkulosis paru BTA
positif. Pada saat batuk, bersin, atau meludah penderita menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet infection). Umumnya, penularan terjadi dalam ruangan
dimana percikan dahak berada di udara dalam waktu yang lama. Ventilasi udara yang ada
dalam ruangan akan dapat mengurangi jumlah percikan, namun sinar matahari langsung
dapat membunuh kuman Mycobacterium tuberculosis tersebut. Percikan dapat bertahan
selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab (Kemenkes RI, 2011).
Daya penularan dari seorang penderita tuberkulosis paru ditentukan oleh
banyaknya kuman yang dikeluarkan. Semakin tinggi derajat kepositifan dari hasil
pemeriksaan dahak, maka semakin tinggi tingkat penularan dari penderita tuberkulosis paru
tersebut kepada orang lain. Faktor yang memungkinkan seseorang terpapar kuman
tuberkulosis paru ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup
udara yang telah terkontaminasi kuman Mycobacterium tuberculosis tersebut (Herdin,
2005). Apabila sudah menghirup udara yang terkontaminasi dengan kuman Mycobacterium
tuberculosis maka akan sangat berisiko sekitar 10% untuk menderita tuberkulosis paru
(Kemenkes RI, 2011).

2.4. Mekanisme Terjadinya Penyakit Tuberkulosis Paru


Infeksi tuberkulosis paru terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman Mycobacterium tuberculosis.Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,
sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan
sehingga sampai ke alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tersebut
berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri dan mengakibatkan terjadi
peradangan di paru-paru. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan
reaksi tuberculin dari negatif menjadi positif (Depkes RI, 2006). Terjadinya infeksi
tergantung banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respons daya tahan tubuh untuk
menghentikan perkembangan kuman. Apabila daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan
perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan orang yang telah terinfeksi akan
menjadi penderita tuberkulosis paru. Masa inkubasi yang diperlukan dari awal mulai
terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2006). Penyakit
tuberkulosis paru juga dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.
Mycobacterium tuberculosis yang melewati kelenjar getah bening dalam jumlah kecil akan
mencapai aliran darah yang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ.

2.5. Gejala Tuberkulosis Paru


Gambaran klinis tuberkulosis paru kemungkinan belum muncul pada infeksi awal
dan mungkin tidak akan pernah timbul bila tidak terjadi infeksi aktif. Bila timbul infeksi
aktif, orang yang terinfeksi biasanya memperlihatkan gejala batuk pirulen produktif disertai
nyeri dada, demam, malaise, keringat malam, gejala flu, batuk darah, kelelahan, kehilangan
nafsu makan, dan mengalami penurunan berat badan (Samsuridjal, 2005).
 Gejala-Gejala Paling Umum pada Penderita Tuberkulosis Paru
1) Batuk yang terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih.
Semua orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala utama ini
harus dianggap sebagai seorang droplet tuberkulosis, atau penderita suspek
tuberkulosis paru.
2) Mengeluarkan dahak yang bercampur dengan darah.
3) Sesak napas dan nyeri pada dada.
4) Badan terasa lemah dan merasa kurang enak badan (Malaise).
5) Kehilangan nafsu makan dan berat badan turun.
6) Berkeringat pada malam hari meskipun tidak ada kegiatan yang dilakukan.
7) Demam dan meriang lebih dari sebulan.
Bila gejala-gejala tersebut diperkuat dengan riwayat kontak dengan seorang
penderita tuberkulosis paru, maka kemungkinan besar orang yang mengalami gejala-gejala
tersebut juga menderita tuberkulosis paru. Gejala-gejala dari tuberkulosis ekstra paru akan
tergantung dari organ yang terkena, nyeri dada tuberkulosis pleura (Pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe (Limfadenitis tuberculosis), dan pembengkokan tulang belakang (Spondilitis
tuberculosis) merupakan tanda-tanda yang sering dijumpai pada Tuberkulosis ekstra paru
(Corwin, 2009).

2.6. Faktor Risiko Tuberkulosis Paru


Faktor risiko tuberkulosis paru adalah semua variabel yang berperan dalam
timbulnya kejadian penyakit tuberkulosis paru. Pada dasarnya berbagai faktor risiko
tuberkulosis paru saling berkaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Faktor risiko
yang berperan dalam kejadian tuberkulosis paru meliputi: faktor karakteristik individu (usia,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan), faktor kondisi lingkungan (kepadatan
hunian), faktor perilaku kebiasaan merokok, dan faktor riwayat kontak dengan penderita
tuberkulosis paru.
 Faktor Karakteristik Individu
1) Usia
Usia merupakan salah satu faktor predisposisi dari kejadian tuberkulosis
paru. Bertambahnya usia menyebabkan terjadinya perubahan perilaku yang
dikaitkan dengan kematangan fisik dan psikis penderita tuberkulosis paru. Saat ini
diketahui bahwa angka kejadian tuberkulosis paru banyak terjadi pada usia tua
dengan puncaknya pada usia 55-64 tahun. Hal ini dikarenakan karena kepasrahan
mereka terhadap penyakit yang diderita. Saat ini, sebagian besar kasus
tuberkulosis paru terjadi pada kelompok umur 15-54 tahun.
2) Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan variabel untuk membedakan presentasi penyakit
tuberkulosis paru antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan data pada
Infodatin Tuberkulosis Paru tahun 2017 di Indonesia, jumlah kasus baru
tuberkulosis paru tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan
pada perempuan. Bahkan berdasarkan survei prevalensi tuberkulosis paru,
prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Hal ini
terjadi karena laki-laki sebagian besar memiliki kebiasaan merokok sehingga
meningkatkan risiko dan memudahkan terjangkitnya tuberkulosis paru.
3) Tingkat Pendidikan
Pendidikan akan menggambarkan perilaku seseorang dalam kesehatan.
Semakin rendah pendidikan seseorang, maka pengetahuannya di bidang kesehatan
akan semakin rendah juga, baik yang berkaitan dengan asupan gizi pada makanan,
penanganan keluarga yang menderita sakit, dan upaya-upaya preventif untuk
mencegah penyakit. Tingkat pendidikan yang rendah dapat memengaruhi
pengetahuan di bidang kesehatan serta secara langsung maupun tidak langsung
dapat memengaruhi lingkungan fisik, lingkungan biologis, dan lingkungan sosial
yang dapat merugikan kesehatan dan dapat memengaruhi penyakit tuberkulosis
paru dan akhirnya akan memengaruhi tingginya kasus tuberkulosis paru yang ada
(Depkes RI, 2004)
4) Pekerjaan
Hubungan antara penyakit tuberkulosis paru dengan pekerjaan
dikarenakan secara umum peningkatan angka kematian tuberkulosis paru
dipengaruhi oleh rendahnya tingkat sosial ekonomi yang didasarkan pada tingkat
pekerjaan. Hasil penelitian mengemukakan bahwa sebagain besar penderita
tuberkulosis paru adalah orang yang tidak bekerja (53,8%).
 Faktor Kondisi Lingkungan Rumah (Kepadatan Hunian)
Rumah sehat adalah Rumah yang memenuhi standar kebutuhan
penghuninya baik dari aspek kesehatan, keamanan, dan kenyamanan. Kejadian
penyakit TB paru dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya seperti lingkungan
perumahan terdiri dari lingkungan fisik, biologis, dan sosial (Suyono, 2011).
Komponen yang harus dimiliki rumah sehat adalah:
a. Pondasi yang kuat guna meneruskan beban bangunan ke tanah dasar,
memberi kestabilan bangunan, dan merupakan konstruksi penghubung antara
bangunan dengan tanah.
b. Lantai kedap air dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25
cm dari badan jalan, bahan kedap air, untuk rumah panggung dapat terbuat dari
papan atau anyaman bambu.
c. Memiliki jendela dan pintu yang berfungsi sebagai ventilasi dan masuknya sinar
matahari dengan luas minimum 10% luas lantai.
d. Dinding rumah kedap air yang berfungsi untuk mendukung atau
menyangga atap, menahan angin dan air hujan, melindungi dari panas dan debu
dari luar, serta menjaga privasi penghuninya.
e. Langit-langit untuk menahan dan menyerap panas terik matahari,
minimum 2,75 m dari lantai, bisa dari bahan papan, anyaman bambu, tripleks atau
gypsum.
f. Atap rumah yang berfungsi sebagai penahan panas sinar matahari serta
melindungi masuknya debu, angina, dan air hujan.
Luas lantai bangunan rumah sehat juga harus cukup untuk penghuni di
dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan
jumlah penghuni rumah agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat,
karena selain menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga meningkatkan risiko
penularan penyakit infeksi antara satu anggota keluarga kepada anggota keluarga
lainnya (Notoatmodjo, 2005). Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah
umumnya dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif,
tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah
sederhana yang luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas
lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak
antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur
sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di
bawah 2 tahun (Kepmenkes, 1999). Untuk menjamin volume udara yang cukup,
disyaratkan juga agar langit-langit minimum tingginya 2,75 m. Hasil penelitian
Agustina dkk (2015) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang terbukti berpengaruh
sebagai faktor risiko kejadian penyakit tuberkulosis paru yaitu kepadatan hunian
(p=0,002).
 Faktor Perilaku Kebiasaan Merokok
Perilaku seseorang yang berhubungan dengan penyakit tuberkulosis paru
adalah perilaku yang memengaruhi atau menjadikan seseorang untuk mudah
terinfeksi atau tertular kuman Mycobacterium tuberculosis misalnya kebiasaan tidak
menutup mulut bila batuk atau bersin, meludah sembarangan, dan merokok (Suarni,
2009). Merokok dapat diketahui mempunyai hubungan dengan peningkatan risiko
seseorang menderita kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik,
dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok juga meningkatkan risiko untuk
menderita tuberkulosis paru sebesar 2,2 kali lebih tinggi dibandingkan orang yang
bukan perokok. Pada penelitian yang dilakukan oleh Made Agus Nurjana (2015),
diketahui bahwa pada kelompok usia produktif menunjukkan risiko perokok aktif
lebih besar untuk menderita tuberkulosis paru dibandingkan dengan perokok pasif
maupun kelompok bukan perokok.
 Faktor Riwayat Kontak dengan Penderita Tuberkulosis Paru
Variabel yang paling dominan untuk memprediksi kejadian tuberkulosis
paru adalah riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis paru, karena seseorang
dapat terinfeksi setelah menghirup udara yang mengandung droplet yang
mengandung kuman Mycobacterium tuberculosis yang ditularkan oleh penderita
tuberkulosis paru (Depkes RI, 2005). Riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis
paru yang dimaksud meliputi: pernah tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis
paru, sehingga memungkinkan droplet kuman Mycobacterium tuberculosis yang
keluar saat penderita tuberkulosis paru bersin atau batuk terhirup bersama dengan
oksigen di udara dalam rumah oleh anggota keluarga lainnya yang bukan penderita
tuberkulosis paru, sehingga sangat memudahkan terjadinya proses penularan.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Eka Fitriani
(2013) menunjukkan bahwa ada hubungan antara riwayat kontak dengan kejadian
tuberkulosis paru. Tingkat penularan tuberkulosis paru di lingkungan keluarga
penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita dapat menularkan kepada 2-3 orang
di dalam rumahnya, sedangkan besar risiko terjadinya penularan untuk rumah tangga
dengan penderita lebih dari satu orang adalah 4 kali lebih besar dibandingkan dengan
rumah tangga yang hanya terdapat satu orang penderita tuberkulosis paru di
dalamnya. Hasil penelitian tersebut juga sesuai dengan penelitian di Palembang yang
menunjukkan bahwa kontak serumah yang terjadi antara anggota keluarga yang
menderita penyakit tuberkulosis paru dengan anggota keluarga lainnya yang bukan
penderita tuberkulosis paru akan berisiko 41,8 kali lebih besar daripada mereka yang
tanpa kontak serumah. Keterlambatan dalam memberikan pengobatan akan
memperbesar kemungkinan terjadinya risiko penularan.

2.7. Strategi Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru


Kegiatan penemuan penderita tuberkulosis paru terdiri dari penjaringan suspek,
diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit, dan tipe penderita tuberkulosis paru. Penemuan
penderita tuberkulosis paru merupakan langkah pertama dalam kegiatan program
penanggulangan tuberkulosis paru. Penemuan dan penyembuhan penderita tuberkulosis
paru, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis
paru, penularan tuberkulosis paru di masyarakat, dan sekaligus merupakan kegiatan
pencegahan penularan tuberkulosis paru yang paling efektif di masyarakat.
 Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru pada Orang Dewasa
Penemuan penderita tuberkulosis paru dilakukan secara pasif, artinya
penjaringan penderita dilaksanakan saat mereka datang berkunjung ke unit
pelayanan kesehatan seperti Puskesmas. Penemuan secara pasif didukung dengan
penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk
meningkatkan cakupan penemuan. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive
promotif case finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif).
Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan penderita sedini mungkin,
karena tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan
kematian. Semua orang yang diduga sebagai penderita tuberkulosis paru harus
diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut, Sewaktu-Pagi-Sewaktu
(SPS) yaitu sebagai berikut:
1) S (Sewaktu)
Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis paru datang berkunjung
pertama kali ke Puskesmas. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak
untuk mengumpulkan dahak pagi hari pada hari kedua.
2) P (Pagi)
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi di hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan kepada petugas di Puskesmas.
3) S (Sewaktu)
4) Dahak dikumpulkan di Puskesmas pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi
(Depkes RI, 2006).
 Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru pada Anak-anak
Penemuan penderita tubekulosis paru pada anak-anak, sebagian besar
diagnosis tuberkulosis paru didasarkan atas gambaran klinis, gambaran radiologis,
dan uji tuberkulin (Depkes RI, 2006).

2.8. Diagnosis Tuberkulosis Paru


 Diagnosis Tuberkulosis pada Orang Dewasa
Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), diagnosis tuberkulosis paru
pada orang dewasa dapat dilakukan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan
dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya
dua dari tiga spesimen SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif. Bila
hanya satu spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto
rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) diulang.
1) Jika hasil rontgen mendukung tuberkulosis paru, maka penderita didiagnosis
sebagai penderita tuberkulosis paru BTA positif.
2) Jika hasil foto rontgen tidak mendukung tuberkulosis paru, maka pemeriksaan
dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektum
luas selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan namun gejala kinis tuberkulosis
paru tetap mencurigakan, ulangi pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu).
1) Jika hasil positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis paru BTA positif.
2) Jika hasil SPS tetap negatif, dilakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk
mendukung diagnosis tuberkulosis paru.
3) Apabila hasil rontgen mendukung indikasi tuberkulosis paru, didiagnosis sebagai
penderita tuberkulosis BTA negatif dengan hasil rontgen positif.
4) Apabila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.
 Diagnosis Tuberkulosis Paru pada Anak-anak
Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman
Mycobacterium tuberculosis dari bahan yang diambil penderita misalnya dahak.
Tetapi pada anak-anak hal ini sulit dan jarang didapat, sehingga sebagian besar
diagnosis tuberkulosis paru pada anak-anak didasarkan atas gambaran klinis,
gambaran rontgen dada, dan uji tuberkulin. Seorang anak harus dicurigai menderita
tuberkulosis paru jika mempunyai riwayat kontak erat (serumah) dengan penderita
tuberkulosis paru, terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam
3-7 hari), serta terdapat gejala klinis dari tuberkulosis paru. Agar anak-anak terhindar
dari penyakit tuberkulosis paru, maka perlu diberikan imunisasi BCG untuk
kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis paru. Vaksin BCG ini mengandung
bakteri Bacillus Calmette Guaerrin (BCG) hidup yang dilemahkan. BCG diberikan 1
kali sebelum anak berumur 2 bulan (Depkes RI, 2006).
1) Uji Tuberculin (Mantoux)
Apabila uji tuberculin positif, menunjukkan kemungkinan adanya infeksi
tuberkulosis paru aktif pada anak-anak. Namun, uji tuberculin dapat negatif pada
anak-anak yang menderita tuberkulosis paru berat dengan alergi (malnutrisi,
penyakit sangat berat, dll). Jika uji tuberculin meragukan dilakukan uji silang.
2) Reaksi Cepat BCG
Apabila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari)
berupa kemerahan dan indurasi >5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah
terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis.
3) Foto Rontgen Dada
Gambaran rontgen tuberkulosis paru pada anak tidak khas dan interpretasi
foto biasanya sulit, harus hati-hati, kemungkinan terjadi bias overdiagnosis atau
underdiagnosis.
4) Pemeriksaan Mikrobiologi dan Serologi
Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya
dilakukan dengan bilasan lambung karena dahak biasanya sulit didapat pada anak.
Demikian juga pemeriksaan serologis seperti ELISA, PAP, dll, masih
memerlukan penelitian yang lebih lanjut.
2.9. Pengendalian Tuberkulosis Paru
Pada awal tahun 1990-an WHO dan International Union Against TB and Lung
Diseases (IUATLD) mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai
strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS). Strategi DOTS terdiri dari 5
komponen kunci, yaitu:
1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3) Pengobatan yang standar, dengan supervise dan dukungan bagi pasien.
4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan Obat Antituberkulosis (OAT) yang efektif.
5) Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
Pengendalian tuberkulosis paru yang terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi
penularan maupun infeksi.

2.10. Pencegahan Tuberkulosis Paru


Pencegahan TB paru pada dasarnya adalah mencegah penularan bakteri dari
penderita yang terinfeksi dan menghilangkan atau mengurangi faktor risiko yang
menyebabkan terjadinya penularan penyakit. Tindakan mencegah terjadinya penularan
dilakukan dengan berbagai cara yang utama adalah memberikan Obat Antituberkulosis yang
benar dan cukup, serta dipakai dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat. Pencegahan
dilakukan dengan cara mengurangi atau menghilangkan faktor risiko yang pada dasarnya
adalah mengupayakan kesehatan lingkungan dan perilaku, antara lain dengan mengurangi
kepadatan hunian, menghindari meludah, batuk, dan bersin sembarangan, mengonsumsi
makanan yang bergizi baik dan seimbang, tidak merokok, dan memberikan imunisasi BCG
pada bayi. Pencegahan lainnya yang dapat dilakukan oleh Puskesmas yaitu mengadakan
penyuluhan (promosi kesehatan) terkait tuberkulosis paru dan masyarakat agar dapat
melakukan diagnosis dini apabila mengalami gejala-gejala klinis dari tuberkulosis paru
(Notoatmodjo, 2007).

2.11. Pengobatan Tuberkulosis Paru


Tujuan pengobatan TB paru adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, dan menurunkan tingkat penularan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Antituberkulosis
(OAT). Salah satu komponen dalam Directly Observed Treatment (DOTS) adalah panduan
pengobatan panduan Obat Antituberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan
langsung dan untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang Pengawasan
Minum Obat (PMO) dan pemberian panduan Obat Antituberkulosis (OAT).
 Pengobatan tuberkulosis paru dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Obat Antituberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi
beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan.
2) Untuk menjamin kepatuhan pasien meminum obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawasan
Minum Obat (PMO).
3) Pengobatan tuberkulosis paru diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif
dan
lanjutan.
a. Tahap Awal (Intensif)
 Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.
 Apabila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat, biasanya penderita tuberkulosis paru baru menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu.
 Sebagian besar penderita tuberkulosis paru BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
b. Tahap Lanjutan
 Pada tahap lanjutan penderita tuberkulosis paru mendapat jenis
obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
BAB III
KERANGKA TEORI, KONSEP, DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Teori


Bagan I: Kerangka Teori
Sumber: Achmadi (2005)

3.2. Kerangka Konsep


Menurut Notoatmodjo (2010), kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan
atau terkaitan antara variabel-variabel yang akan diamati (diukur) melalui penelitian yang
dimaksud. Dalam menyusun kerangka konsep, peneliti harus memahami variabel yang akan
diukur, karena kerangka konsep memberikan dasar konseptual bagi penelitian yang akan
dilakukan. Adapun kerangka konsep penelitian yang tersusun berdasarkan latar belakang,
tinjauan pustaka, dan kerangka teori di atas adalah sebagai berikut:

Variabel Independen

Faktor Karakteristik Individu

 Usia
 Jenis Kelamin
 Tingkat Pendidikan
 Pekerjaan
Variabel Dependen

Penyakit
Faktor Kondisi Lingkungan
Tuberkulosis Paru
Rumah

 Kepadatan Hunian

Faktor Perilaku Kebiasaan


Merokok

Faktor Riwayat Kontak dengan


Penderita Tuberkulosis Paru

Keterangan:

: Variabel yang diteliti


: Berhubungan

Bagan II: Kerangka Konsep


3.3. Hipotesis
Menurut Arikunto (2010), hipotesis merupakan suatu jawaban yang bersifat
sementara terhadap permasalahan penelitian, hingga nanti terbukti melalui data yang
terkumpul. Hipotesis dibedakan menjadi 2 yaitu hipotesis alternatif (H a) dan hipotesis nol
(H0). Ha menyatakan adanya hubungan dengan kalimat positif, sedangkan H 0 menyatakan
tidak adanya hubungan dengan kalimat negatif.
Hipotesis dalam penelitian ini meliputi:
 Hipotesis Alternatif (Ha)
1. Ada hubungan antara usia dengan kejadian tuberkulosis paru.
2. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian tuberkulosis paru.
3. Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian tuberkulosis paru.
4. Ada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian tuberkulosis paru.
5. Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian tuberkulosis paru.
6. Ada hubungan antara perilaku kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis
paru.
7. Ada hubungan antara riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis paru dengan
kejadian tuberkulosis paru.
 Hipotesis Nol (H0)
1. Tidak ada hubungan antara usia dengan kejadian tuberkulosis paru.
2. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian tuberkulosis paru.
3. Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian tuberkulosis paru.
4. Tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian tuberkulosis paru.
5. Tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian tuberkulosis paru.
6. Tidak ada hubungan antara perilaku kebiasaan merokok dengan kejadian
tuberkulosis paru.
7. Tidak ada hubungan antara riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis paru
dengan kejadian tuberkulosis paru.

3.4. Variabel Penelitian


Variabel dalam penelitian ini dibedakan menjadi 2 yaitu variabel independen
(bebas) dan variabel dependen (terikat).
 Variabel Independen (Bebas)
Menurut Sugiyono (2013), variabel independen (bebas) merupakan
variabel yang memengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya
variabel dependen (terikat). Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini
meliputi: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, kepadatan hunian,
perilaku kebiasaan merokok, dan riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis paru.
 Variabel Dependen (Terikat)
Menurut Sugiyono (2013), variabel dependen (terikat) merupakan variabel
yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel independen
(bebas). Variabel dependen (terikat) dalam penelitian ini yaitu penyakit tuberkulosis
paru.
3.5. Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala Ukur Hasil Ukur
Variabel Bebas
1. Usia Lama hari hidup responden Kuesioner Ordinal 0 = usia produktif (15-
yang dihitung dari tanggal 58 tahun)
lahir hingga saat penelitian 1 = usia nonproduktif
dilakukan. (<15 tahun >58 tahun)

2. Jenis Kelamin Jenis kelamin responden Kuesioner Nominal 0 = laki-laki


berdasarkan karakteristik 1 = perempuan
biologis yang dibawa sejak
lahir.

3. Tingkat Jenjang pendidikan formal Kuesioner Ordinal 0 = rendah (≤SMP)


Pendidikan yang diselesaikan oleh 1 = tinggi (≥SMA)
responden berdasarkan
ijazah terakhir yang
dimiliki.
4. Pekerjaan Kegiatan utama yang Kuesioner Nominal 0 = tidak bekerja
dilakukan responden dan 1 = bekerja
mendapatkan penghasilan
dari kegiatan tersebut.
5. Kepadatan Perbandingan luas rumah Kuesioner Ordinal 0 = padat (apabila ≤10
Hunian dengan jumlah orang yang m2/orang)
tinggal di rumah tersebut 1 = tidak padat
dengan persyaratan (apabila ≥10 m2/orang)
2
minimal ≥10 m /orang.
(28)
6. Perilaku Responden memiliki Kuesioner Nominal 0 = merokok
Kebiasaan kebiasaan merokok yang 1 = tidak merokok
Merokok masih dilakukan hingga
saat penelitian atau (33)
memiliki riwayat menjadi
perokok aktif.
7. Riwayat Kontak responden pernah Kuesioner Nominal 0 = pernah
dengan Penderita melakukan kontak baik 1 = tidak pernah
Tuberkulosis secara langsung dengan
Paru penderita tuberkulosis paru
atau secara tidak langsung
melalui lingkungan sekitar
penderita tuberkulosis
paru.
Variabel Terikat
1. Penyakit Penyakit menular langsung Kuesioner Nominal 0 = penderita penyakit
Tuberkulosis yang disebabkan oleh tuberkulosis paru yang
Paru kuman Mycobacterium tercatat sebagai
tuberculosis. penderita di wilayah
kerja Puskesmas II
Denpasar Barat
1= suspek tuberkulosis
paru dan belum
tercatat sebagai
penderita di wilayah
kerja Puskesmas II
Denpasar Barat
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian


Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian
kuantitatif dengan jenis penelitian cross sectional yaitu pengambilan data dilakukan pada
satu waktu yang dilakukan pada penderita tuberkulosis paru yang tercatat sebagai penderita
tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat dengan menggunakan alat
pengumpul data berupa kuesioner sebagai data primer dan laporan kasus penderita
tuberkulosis paru dari Puskesmas II Denpasar Barat sebagai data sekunder.

4.2. Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat. Tempat
penelitian ini dipilih karena merupakan Puskesmas di Denpasar yang memiliki angka kasus
tuberkulosis paru yang tinggi dan mengalami kesenjangan sebesar 48,5% dalam melakukan
program pencegahan untuk menekan peningkatan kasus baru. Kota Denpasar merupakan
kota yang memiliki angka kasus tuberkulosis paru tertinggi di Provinsi Bali berdasarkan
Profil Kesehatan Provinsi Bali tahun 2019.

4.3. Waktu Pengambilan Data


Pengumpulan dan analisis data akan dilakukan pada bulan Februari-April 2021
serta untuk pelaporan hasil penelitian akan selesai pada bulan Mei 2021.

4.4. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita tuberkulosis paru yang
telah tercatat sebagai penderita tuberkulosis paru dari bulan Januari-Desember 2020 di
wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat.

4.5. Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh penderita tuberkulosis
paru yang telah tercatat sebagai penderita tuberkulosis paru dari bulan Januari-Desember
2020 di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat yang sesuai dengan kriteria inklusi
sebagai berikut:
 Kriteria Inklusi

Penderita tuberkulosis paru yang telah tercatat sebagai penderita tuberkulosis
paru di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat.
 Penderita tuberkulosis paru yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas II
Denpasar Barat.
 Penderita tuberkulosis paru yang tidak memiliki riwayat penyakit lainnya.
 Penderita tuberkulosis paru yang masih melakukan pemeriksaan di Puskesmas
II Denpasar Barat.
 Kriteria Eksklusi
 Penderita tuberkulosis paru yang tidak bersedia menjadi responden.

4.6. Besar Sampel


Dalam penelitian ini terdapat 599 penderita tuberkulosis paru yang tercatat dalam
data laporan kasus tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat dari
bulan Januari-Desember 2020. Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan
menggunakan rumus Slovin (besar sampel minimal) dengan derajat kepercayaan yang
digunakan sebesar 95% atau tingkat kesalahan sebesar 5%, yang perhitungannya sebagai
berikut:

N
n =
1+N(d)2

599
n =
1+599(0,05 ) 2

599
n =
1+ 599x0,0025

599
n =
1+1,4975

599
n =
2,4975

n = 239,839
n = 240

 Keterangan:
n = jumlah sampel koreksi
N = besar populasi
d = derajat kepercayaan 95% atau tingkat kesalahan 5% (0,05)
Untuk besar sampel yang didapatkan sebenarnya berjumlah 240 responden,
namun untuk menghindari nonrespons, maka ditambahkan sebesar 5% sehingga besar
sampel akhir yaitu berjumlah 252 responden.

4.7. Teknik Sampling


Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan nonprobability
sampling yaitu teknik accidental sampling, sehingga tergantung dari ketersediaan dan
keinginan responden untuk merespons penelitian. Penentuan teknik ini didasarkan pada
kemudahan yaitu pengambilan sampel hanya didasari oleh ketersediaan sampel yang
ditemui saat penelitian dilakukan dan teknik ini juga sederhana dalam pelaksanaannya.
Selain itu, faktor waktu juga menjadi pertimbangan utama bagi peneliti, karena teknik ini
memungkinkan peneliti untuk dapat memeroleh banyak sampel dalam waktu yang singkat.
4.8. Pengolahan Data
Setelah pengumpulan data, kemudian dilakukan pengolahan data. Tahapan
pengolahan data meliputi:
 Checking (Editing)
Melakukan pemeriksaan pada kuesioner atau kumpulan data yang masuk.
Mengecek apakah setiap pertanyaan pada kuesioner telah terisi, lengkap, jelas, dan
relevan. Apabila ada pertanyaan yang belum terjawab, peneliti bertanggung jawab
untuk mengisinya dengan menghubungi responden yang bersangkutan.
 Coding
Memberi kode pada data dengan mengubah data yang sebelumnya dalam
bentuk huruf menjadi angka untuk memudahkan saat melakukan analisis dan entry
data.
 Data Entry
Setelah selesai melakukan checking (editing) dan coding, data kemudian
diproses dengan memasukkan data dari kuesioner sesuai kode ke dalam database di
program komputer yaitu SPSS.
 Data Cleaning and Validation
Melakukan pemeriksaan terhadap nilai yang aneh atau nilai yang tidak
sesuai dengan kode, melakukan pemeriksaan kembali terhadap row data, dan
melakukan cross check pada data.

4.9. Analisis Data


Data yang terkumpul telah melalui proses pengolahan data, kemudian akan
dianalisis dengan analisis statistik menggunakan SPSS. Adapun analisis data yang akan
digunakan dalam penelitian ini meliputi:
 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian
dengan menggunakan distribusi frekuensi terhadap karakteristik responden dan
variabel-variabel penelitian. Analisis univariat menggunakan distribusi frekuensi
relatif.
 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan yang signifikan
antara variabel bebas dengan variabel terikat.(25) Analisis statistik dilakukan untuk
mencari hubungan variabel bebas dan terikat yaitu dengan uji statistik chi square
dengan SPSS sehingga dapat diketahui ada atau tidaknya hubungan yang bermakna
secara statistik dengan derajat kepercayaan sebesar 95% atau α = 5% (0,05).
 Dasar pengambilan keputusan berdasarkan tingkat kemaknaan.
 Jika tingkat kemaknaan >0,05 maka H0 diterima artinya tidak ada hubungan
yang bermakna antara kedua variabel.
 Jika tingkat kemaknaan ≤0,05 maka H0 ditolak artinya ada hubungan yang
bermakna antara kedua variabel.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas. 2017. Monitoring of Side Effects of AntiTuberculosis Drugs (ATD) on The Intensive
Phase Treatment Of Pulmonary TB Patients In Makassar. Journal of Agromedicine and
Medical Sciences, 3(1):19–24.

Depkes RI. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.

Depkes RI, Ditjen PP dan PL. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis dan
Standar Internasional Untuk Pelayanan Tuberkulosis.

Kemenkes RI. 2017. Infodatin Tuberkulosis Paru. Jakarta

Kemenkes RI. 2011. Profil Data Kesehatan Indonesia. Jakarta.

Lemeshow S, Hosmer DW, Klar J. 1997. Adequacy of Sample Size in Health Studies. New york
University of Massacusette And Stephen K: Lwanga press.
Notoatmodjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta.
Nurjana, Made Agus. 2015. Faktor Risiko Terjadinya Tuberkulosis Paru Usia Produktif (15-49
Tahun) di Indonesia. Balai Litbang P2B2 Donggala.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia.2.4-8

Profil Kesehatan Provinsi Bali tahun 2019.


KUESIONER PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS II DENPASAR BARAT
TAHUN 2021

 Tanggal Penelitian:

 Nomor Responden:

 Petunjuk pengisian kuesioner:


1. Pertanyaan pada kuesioner ditujukan langsung kepada responden.
2. Jawaban diisi langsung oleh responden.
3. Responden menjawab semua pertanyaan dengan sebenar-benarnya.
4. Berikan tanda centang (√) pada jawaban yang menurut Anda benar dan paling sesuai.

 Identitas Responden
Nama :

Usia :

Jenis Kelamin : □ Laki-laki


□ Perempuan
Alamat :

Pendidikan Terakhir : □ Tidak Sekolah


□ Tidak Tamat SD
□ SD
□ SMP
□ SMA
□ PT
Pekerjaan : □ Tidak Bekerja
□ Bekerja
 Kepadatan Hunian
Luas Lantai Rumah : ………… m2
Jumlah Penghuni : ………… orang

 Perilaku Kebiasaan Merokok


1. Apakah Anda merokok?
□ Ya
□ Tidak (lanjut ke pertanyaan nomor 4)
2. Jika ya, sudah berapa lama Anda merokok?
□ ≥1 tahun
□ <1 tahun
3. Apakah Anda merokok setiap hari?
□ Ya
□ Tidak
4. Berapa batang rokok yang Anda hisap setiap hari?
Jawaban: ………. batang

5. Jika tidak, apakah salah satu dari keluarga Anda adalah perokok aktif?
□ Ya
□ Tidak
 Riwayat Kontak dengan Penderita Tuberkulosis Paru
1. Apakah ada anggota keluarga yang menderita atau pernah menderita penyakit
tuberkulosis paru?
□ Ada
□ Tidak
2. Jika ada, apakah tinggal serumah atau pernah tinggal serumah dengan Anda?
□ Ya
□ Tidak

Anda mungkin juga menyukai