Anda di halaman 1dari 19

MANAJEMEN PERPAJAKAN

“MANAJEMEN PERPAJAKAN PERUSAHAAN


YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA”

Dosen Pengampu:
Cokorda Krisna Yudha,SE.,M.Si,Ak.,BKP

Oleh :
Kelas : D9
Kelompok 2
Nama : NPM :
Anak Agung Istri Sintya Tri Lestari 1833121046
Ni Putu Dinda Damayanti 1833121117
I Gusti Ngurah Adi Gunawan 1833121306
Luh Gede Ayu Damayanthi 1833121341
Ni Gusti Ayu Mas Yunika Dewi 1833121350
Ni Luh Dian Arsani Dewi 1833121401
Sagung Inten Mahadewi 1833121404

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS WARMADEWA
2020
1. PENDAHULUAN
Otoritas perpajakan mempunyai perlakuan perpajakan yang berbeda terhadap
transaksi keuangan dari perusahaan yang memiliki hubungan istimewa, dibandingkan dengan
wajib pajak independent. Hubungan istimewa ini dapat terjadi dalam hubungan bisnis
internasional, antar perusahaan yang berada dalam jaringan perusahaan multinasional.

2. HUBUNGAN ISTIMEWA MENURUT PSAK


Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 7 mengatur tentang
pengungkapan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan transaksi antara
perusahaan pelapor dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Berikut ini beberapa pngertian yang terkait dengan hubungan istimewa, sesuai dengan
PSAK No. 7 (IAI, Standar Akuntansi Keuangan Per 1 Juli 2009) :
a. Pengertian Hubungan Istimewa Menurut PSAK
 Pihak-pihak dikatakan Mempunyai Hubungan Istimewa bila satu pihak
mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain atau mempunyai
pengaruh signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan keuangan dan
operasional.
 Transaksi antara pihak-pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa adalah
suatu pengalihan sumber daya atau kewajiban antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa, tanpa menghiraukan apakah suatu harga
diperhitungkan.
 Pengendalian adalah kepemilikan langsung melalui anak perusahaan dengan
lebih dari setengah hak suara dari suatu perusahaan, atau suatu kepentingan
substansial dalam hak suara dan kekuasaan, untuk mengarahkan kebijakan
keuangan dan operasi manajemen perusahaan berdasarkan anggaran dasar atau
perjanjian.
 Pengaruh signifikan adalah penyertaan dalam pengambilan keputusan
kebijakan keuangan dan operasi suatu perusahaan, tetapi tidak mengendalikan
kebijakan itu.
b. Pihak – pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa
 Perusahaan yang melalui satu atau lebih perantara, mengendalikan, atau
dikendalikan oleh atau berada di bawah pengendalian bersama, dengan
perusahaan pelapor.
 Perusahaan asosiasi
 Perorangan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung, suatu
kepentingan hak suara di perusahaan pelapor yang berpengaruh secara
signifikan, dan anggota keluarga dekat dari perorangan tersebut.
 Karyawan kunci, yaitu orang-orang yang mempunyai wewenang dan tanggung
jawab untuk merencanakan, memimpin, dan mengendalikan kegiatan
perusahaan pelapor yang meliputi anggota dewa komisaris, direksi, dan
manajer dari perusahaan serta anggota keluarga dekat orang-orang tersebut.
 Perusahaan, dimana suatu kepentingan substansial dalam hak suara dimiliki,
baik secara langsung maupun tidak langsung oleh setiap orang yang diuraikan
dalam butir 3 atau 4, setiap orang yang mempunyai pengaruh signifikan atas
perusahaan tersebut.
 Dalam mempertimbangkan setiap kemungkinan hubungan istimewa, perhatian
diarahka pada substansi hubungan, bukan hanya pada bentuk hukumnya.

3. YANG TIDAK DIANGGAP SEBAGAI PIHAK-PIHAK YANG MEMPUNYAI


HUBUNGAN ISTIMEWA
a. 1) Penyandang dana
2) Serikat dagang
3) Perusahaan layanan umum
4) Departemen dan instansi pemerintah dalam pelaksanaan urusan normal dengn
perusahaan pelapor
b. Satu-satunya pelanggan, pemasok, pemegang hak franchise, distributor atau
perwakilan/agen umum dengan siapa suatu perusahaan mengadakan transaksi usaha
dengan volume yang signifikan, semata-mata karena ketergantungan ekonomis yang
diakibatkan oleh keadaan.

2. PENGERTIAN HUBUNGAN ISTIMEWA MENURUT FISKUS


Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 Perubahan Keempat atas UU
No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan mengatur hubungan istimewa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan (3a), Pasal 18 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10
ayat (1), dianggap ada hubungan istimewa apabila :
1. Wajib Pajak mempunyai pernyetaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% pada wajib pajak lain, atau hubungan antara wajib pajak dengan
penyertaan paling rendah 25% pada dua wajib pajak atau lebih, demikian pula
hubungan antara dua wajib pajak atau lebih yang disebut terakhir.
2. Hubungan istimewa seperti dimaksud di atas dapat memengaruhi harga, yaitu adanya
kemungkinan harga ditekan lebih rendah dari harga pasar. Dalam hal demikian maka
yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak adalah harga pasar yang wajar yang berlaku di
pasar bebas.
3. Terdapat hubungan keluarga, baik sedarah maupun semenda, dalam garis keturunan
lurus dan atau ke samping satu derajat. Faktor hubungan keluarga sedarah atau
semenda ini dapat menimbulkan hubungan istimewa diantara orang pribadi.

3. PERPAJAKAN DALAM KAITANNYA DENGAN TRANSAKSI YANG


DIPENGARUHI HUBUNGAN ISTIMEWA
1. Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh 1983 mengatur, bahwa untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, tidak
boloeh dikurangkan pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali jumlah
yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada
pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan.
2. Pasal 10 UU PPh No. 10 Tahun 1994 menentukan harga perolehan atau harga
penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa
adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila
terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
diterima.
3. Pasal 18 ayat (4) UU PPh Tahun 1983 mengisyaratkan bahwa perhitungan kembali
penghasilan (karena adanya transfer pricing) hanya dapat dilakukan apabila di antara
para pelaku terdapat hubungan istimewa. Secara pejorative (negatif), transfer pricing
sering dikaitkan dengan rekayasa harga secara sistematis dengan maksud mencari
penghematan pajak dan peningkatan laba. Disparitas beban pajak antar negara
biasanya merupakan pemicu penyimpangan transfer pricing dari harga pasar yang
wajar, sehingga kemungkinan terjadinya penggeseran basis pajak ke salah satu atau
beberapa negara dengan beban pajak terendah.

UU Pajak Penghasilan
Pasal 10 ayat (1) UU Pajak Penghasilan No. 7 Tahun 1983 yang diubah terakhir
dengan UU PPh No. 36 Tahun 2008, menegaskan :
1. Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak
dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4),
adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan
2. Apabila terdapat hubungan istimewa, adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
diterima.
UU Pajak Pertambahan Nilai
Pasal 2 UU PPN No. 8 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir kalinya dengan UU
No. 42 Tahun 2009 menegaskan :
1. Dalam hal harga jual atau penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka
Harga Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.
2. Hubungan istimewa dianggap ada apabila :
a. Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25%
atau lebih pada pengusaha lain, atau hubungan antara pengusaha dengan
penyertaan 25% atau lebih pada dua pengusaha atau lebih, demikian pula
hubungan antara dua pengusaha atau lebih yang disebut terakhir.
b. Pengusaha menguasai pengusaha lainnya antara dua atau lebih pengusaha berada
di bawah penguasaan. Penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung.
c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan atau ke samping satu derajat.

4. CONTOH LAIN MENGENAI TRANSFER PRICING


1. Transaksi Penjualan jasa (fee) di PT B dan Biaya di PT A.

Terdapat Hubungan
Istimewa PT A dan PT B
1. PT A Induk Perusahaan
(holding) Posisi: Laba
Rp 50 miliar (2011) PT A

PPh badan dikenakan


25%

3. Transaksi rekayasa
jasa (fee) PT B
memberikan jasa kepada
PT A sebesar Rp 10
miliar, tetapi harga pasar
yang wajar senilai Rp 5
miliar

2. PT B Anak Perusahaan PT B
Posisi: Rugi Rp 20 miliar
PPh badan ahli

Penjelasan transaksi tersebut di atas :


 Awalnya, pada akhir tahun 2011 PT A (holding) mendapatkan laba sebesar Rp 50
miliar, sedangkan PT B selaku anak perusahaan (subsidiary company) menderita rugi
sebesar Rp 20 miliar.
 Untuk mengurangi laba di PT A, maka dibuatkan transaksi rekayasa di mana PT B
memberikan jasa (fee), dengan tagihan invoice kepada PT A senilai Rp 10 miliar,
padahal harga pasar yang wajar adalah senilai Rp 5 miliar.
 Adanya transaksi rekayasa tersebut berdampak pada :
- Laba di PT A bisa berkurang menjadi sebesar Rp 30 miliar, dengan penghematan
pajak PPh badan sebesar 25% x Rp 20 miliar = Rp 5 miliar.
- Rugi di PT B berkurang menjadi sebesar Rp 10 miliar. Karena masih dalam posisi
rugi, PT B tidak terutang PPh Badan.
 Konsekuensinya, Dirjen Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para wajib
pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa, sehingga fiskus akan melakukan
koreksi fiscal positif (biaya) di PT A sebesar Rp 5 miliar, dan di PT B koreksi fiscal
negatif (pendapatan) sebesar Rp 5 miliar.

2. Transaksi Peminjaman Uang Antar Perusahaan Afiliasi (memiliki hubungan


istimewa).
Contoh :
Pada bulan Juni 2011, PT ABC didirikan dengan komposisi pemegang saham sebagai
berikut :
Pemegang Saham Saham Nilai Saham
PT X 50% Rp 5 miliar
PT Y 30% Rp 3 miliar
PT Z 20% Rp 2 miliar
Total 100% Rp 10 miliar

- Berdasarkan komposisi saham tersebut, dapat diketahui bahwa PT X memiliki


hubungan istimewa dengan PT ABC karena penyertaannya sudah melebihi 25%
(yakni sebesar 50%).
- Setelah dicek ke dokumen akte perusahaan, rupanya jumlah modal saham yang
disetor (paid in capital) dari PT X yang masuk dalam rekening kas/bank PT ABC
baru 40% atau sebesar Rp 2 miliar, sehingga masih terdapat saham yang belum
disetor sebesar Rp 3 miliar.
- Pada bulan Agustus 2011, PT X meminjamkan uang (jangka pendek) kepada PT
ABC sebesar Rp 2 miliar untuk keperluan modal kerja, dengan pengenaan bunga
15% per tahun, atau untuk tahun 2011 dibebankan bunga sebesar 15% x 4/12 x Rp
12 miliar = Rp 60 juta.

5. KEWENANGAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


Secara universal transaksi antar wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa
tersebut atau dikenal dengan istilah transfer pricing dapat mengakibatkan terjadinya
pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan atau biaya dari satu wajib pajak ke
wajib pajak lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak
terutang atas wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut.
Kekurangwajaran sebagaimana tersebut diatas dapat terjadi pada:
1. Harga penjaulan
2. Harga pembelian
3. Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost)
4. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder
loan), pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa
manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya.
5. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang
mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar.
6. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak
mempunyai substansi usaha misalnya dummy company.
Transfer pricing dapat terjadi antar wajib pajak dalam negeri atau antara wajib pajak
dalam negeri dengan pihak luar negeri, terutama yang berkedudukan di tax haven countries
(negara yang tidak memungut/memungut pajak lebih rendah dari Indonesia). Terhadap
transaksi antar wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut, UU perpajakan
kita menganut azas materiil (substance over form rule).
Untuk mengatasi praktik-praktik yang tidak lazim oleh pihak-pihak yang memiliki
hubungan istimewa, Undang-Undang Pajak Penghasilan membuat rambu-rambu berikut ini:
1. Pasal 18 ayat (3) UU PPh No. 7 Tahun 1983 yang tekah diubah terakhir kali dengan
UU No. 36 Tahun 2008, menegaskan bahwa:
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan wajib pajak dan
bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentuka harga
transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), yang berlaku sekama suatu periode tertentu dan
mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu
tersebut berakhir.
2. Pasal 18 ayat (3a) UU PPh No. & Tahun 1983 yang telah diubah terakhir kali dengan
UU No. 36 Tahun 2008, menegaskan bahwa:
Direktur Jendral Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan
dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
3. Pasal 20 Peraturan Dirjen Pajak No. PER 32/PJ./2011 mengatur secara khusus tentang
kewenangan dirjen pajak, sebagai berikut:
a. Direktur Jendral Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada transaksi
yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
b. Kewenangan Direktur Jendral Pajak tidak dilakukan apabila wajib pajak telah
memenuhi Prinsip kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam transaksi yang
dilakukan dengan pihak-pihak yang memiliki Hubungan Istimewa.
c. Penghitungan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan dilakukan dengan
mempertimbangkan metode dan dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba
Wajar yang diterapkan oleh wajib pajak.
d. Dalam hal wajib pajak tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai dan
atau menunjukkan dokumen pendukung penerapan Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jendral Pajak
ini, Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan Harga wajar atau laba wajar,
berdasarkan data atau dokumen lain dan metode penentuan Harga Warga atau
Laba Wajar yang dinilai tepat oleh Direktorat Jenderal Pajak, sesuai dengan
kewenangan berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP.
Wewenang Direktur Jenderal Pajak tersebut telah didelegasikan ke Pemeriksa pajak,
yang dikenal dengan koreksi transfer pricing yang pelaksanaannya diatur dalam Surat Edaran
Dirjen pajak No. 04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus transfer pricing.
Namun belakangan SE No. 04/PJ.7/1993 dan Kep-01/PJ.07/1993 tersebut dicabut dan diganti
dengan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-22/PJ/2013 tentang pedoman pelaksanaan
Pemeriksaan Terhadap wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istmewa yang selanjutnya
disebut Pemeriksaan transfer Pricing.

6. METODE PENENTUAN HARGA TRANSFER (TRANSFER PRICING) DALAM


SUATU TRANSAKSI ANTARA PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN
ISTIMEWA
Sebelum diterbitkannya PER-22/PJ/2013, dalam penentuan metode Harga Wajar atau
Laba Wajar wajib dilakukan kajian untuk menentukan metode Penentuan Harga Transfer
yang paling sesuai dengan menggunakan PER-32/PJ./2011 sebagai berikut :
1. Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan istimewa
adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga
dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
dengan harga barang atau jasa dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding.
2. Metode Harga Penjualan Kembali adalah metode Penentuan Harga Transfer yang
dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan
antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan membandingkan harga
dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah di kurangi laba
kotor wajar.
3. Metode Biaya-Plus adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan
menambah tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi
dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor yang
diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari
transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa pada harga
pokok penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
4. Metode Pembagian Laba adalah metode Penentuan Harga Transfer berbasis Laba
Transaksional yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi
afiliasi yanv akan di bagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut
dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi, yang memberikan
perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari
kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dengan
menggunakan Metode Kontribusi atau Metode Sisa Pembagian Laba
5. Metode Laba Bersih Transaksional adalah metode Penentuan Harga Transfer yang di
lakukan dengan membandingkan presentasi laba bersih operasi terhadap biaya, terhafap
dasar lainnya atas transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
dengan persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan
pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi
yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa lainnya.
Dalam menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2), wajib diperhatikan sebagai berikut:
a. Kelebihan dan kekurangan setiap metode.
b. Kesesuaian metode Penentuan Harga Transfer dasar sifat dasar transaksi antar pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa, yang ditentukan berdasarkan analisis fungsional.
c. Ketersediaan informasi yang andal (sehubungan dengan transaksi antar pihak tidak
mempunyai Hubungan Istimewa) untuk menerapkan metode yang dipilih dan atau metode
lain.
d. Tingkat perbandingan antara transaksi antar pihak yang mernpunyai Hubungan Istimewa
dengan transaksi antar pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Perbandingan Harga antara pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istitnewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP) antara lain
adalah:
a. Barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik dalam kondisi
yang sebanding atau
b. Kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mernpunyai Hubungan
Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa.
Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price
antara lain:
a. Tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara wajib pajak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan transaksi antara wajib pajak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa.
b. Pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai signifikan atas barang atau jasa
yang diperjualbelikan.
Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Biaya—Plus (Cost Method) antara lain:
a. Barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
b. Terdapat kontrak atau perjanjian penggunaan fasilitas bersama (joins facility agreement)
atau kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply agreement) antara pihak-
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
c. Bentuk transaksinya adalah penyediaan jasa.
Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSN4) Secara khusus hanya dapat
diterapkan dalam kondisi sebagai berikut:
a. Transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa terkait satu sama lain
sehingga tidak dimungkinkan untuk melakukan kajian secara terpisah.
b. Terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang bertransaksi yang
menyebabkan kesulitan dalam menemukan data pembanding yang tepat.
Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional
Net Margin Method/TNMM) antara Iain:
a. Salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan kontribusi khusus.
b. Salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan transaksi yang
kompleks dan memiliki transaksi yang berhubungan satu sama lain.
Permasalahan pihak-pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa:
1. Adakalanya harga transaksi antara pihak yang mempunyat hubungan istimewa tidak
ditentukan menurut salah satu dari ketiga metode diatas.
2. Kadang transaksi tidak terjadi jika tidak terdapat hububgan istimewa.
3. Posisi keuangan dan hasil usaha suatu perusahaan dapat terpengaruh oleh hubungan
istimewa dengan suatu pihak tertentu, walaupun tidak terjadi suatu transaksi dengan pihak
tersebut.
4. Kesulitan dalam penentuan harga pasar yang wajar

7. PEDOMAN PEMERIKSAAN TERHADAP WAJIB PAJAK YANG MEMPUNYAI


HUBUNGAN ISTIMEWA
Pedoman Pemeriksanaan Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan
Istimewa diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-22/PJ/2013 Tgl 30 Mei 2013 sebagai
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menkeu No. 17/PMK/03/2013 tentang Tata Cara
Pemeriksaan.
I. PENDAHULUAN
A. Perdagangan Inernasional dan Perusahaan Internasional
Seiring dengan berkembangnya era globalisasi, perdagangan internasional
memberikan dampak signifikan kepada ekonomi suatu negara, ekonomi suatu
kawasan, maupun ekonomi dunia secara keseluruhan. Perusahaan
multinasional sebagai pelaku perdagangan internasional memanfaatkan
perkembangan teknologi, transportasi, dan komunikasi untuk menjalankan
grup usahanya di beberapa negara.
B. Hubungan Istimewa
Dalam pemeriksaan transfer pricing, definisi hubungan istimewa mengacu
pada peraturan perpajakn yang berlaku. Konsep hubungan istimewa diatur
dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai menyatakan bahwa hubungan
istimewa dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada wajib Pajak lain;
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di
antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
b. Wajib pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib
Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung; atau
c. Terdapat hubungan keluarga baik sedara maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
C. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s Leength Pricinpie/ALP)
Transaksi antara pihak-pihak yang independen adalah Transaksi yang
mencerminkan kekuatan pasar dan mencerminkan prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha. Kewenangan direktur jenderal pajak untuk menguji
penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha pada Transaksi antara
Wajib Pajak dengan afiliasinya dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-
Undang Pajak Penghasilan. Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk
menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan
utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.
II. TAHAPAN PEMERIKSAAN TRANSFER PRICING
Pemeriksaan adalah serangkkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan professional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakn dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
A. Tahapan Persiapan Pemeriksaan Transfer Pricing
Dalam pemeriksaan transfer pricing, tahapan persipan dilakukan sesuai
dengan tata cara pemeriksaan yang berlaku. Hal yang perlu diperhatikan
adalah pemeriksa pajak seharusnya mengumpulkan dan mempelajari data
wajib pajak terkait hubungan istimewa dengan lawan transaksinya.
B. Tahapan Pelaksanaan Pemeriksaan
Tahapan pelaksanaan pemeriksaan transfer pricing terdiri dari menentukan
karakteristk usaha Wajib Pajak, memilih metode transfer pricing, dan
menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Dalam pelaksanaan
pemeriksanaan transfer pricing, pemeriksa pajak perlu memperhatikan
dokumen yang menjadi dasar penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha pada Transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa.
C. Tahapan Pelaporan Pemeriksaan Transfer Pricing
Tahapan pelaporan pemeriksaan transfer pricing dilakukan sesuai dengan tata
cara pemeriksaan yang berlaku.
III. METODE PEMERIKSAAN TRANSFER PRICING
Pemeriksaan transfer pricing terhadap Transaksi Wajib Pajak dengan pihak
afiliasinya dapat dilakukan dengan melakukan pengujian terhadap harga atau laba
baik di tingkat laba kotor (gross profit) maupun di tingkat laba bersih usaha (net
operating income). Dalam pemeriksaan terhadap Transaksi afiliasi yang
melibatkan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, penentuan kembali
besarnya penghasilan dan pengurangan serta penentuan utang sebagai modal
dilakukan dengan menggunakan metode-metode, antara lain:
A. Metode Pertimbangan Harga antara Pihak yang Independen
Metode ini merupakan metode penentuan harga transfer yang membandingkan
harga barang atau jasa dalam Transaksi afiliasi dengan harga barang atau jasa
dalam Transaksi independen.
B. Metode Harga Penjualan Kembali
Metode ini merupakan metode penentuan harga transfer yang menentukan
harga pembelian barang dan jasa dari pihak afiliasi dengan cara mengurangkan
laba kotor pihak independen yang sebanding dari harga jual kembali barang
dan jasa tersebut kepada pihak independen.
C. Metode Biaya-Plus
Metode ini merupakan metode penentuan harga transfer yang menambahkan
laba kotor dari Transaksi independen yang sebanding terhadap biaya yang
ditanggung dalam Transaksi afiliasi.
D. Metode Laba Bersih Transaksional
Metode ini merupakan metode penentuan harga transfer yang menggunakan
indicator tingkat laba Transaksi independen yang sebanding untuk
menentukan laba bersih usaha Transaksi afiliasi.
IV. HAL-HAL KHUSUS TERKAIT PENERAPAN PRINSIP KEWAJIBAN
DAN KELAZIMAN USAHA
A. Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha atas Transaksi
Pemberian Jasa Intra-Grup
Jasa intra-grup adalah aktivitas yang diberikan oleh sutau pihak dalam suatu
grup usaha yang memberikan manfaat bagi satu atau lebih angota lain dalam
grup usahanya.
Metode-metode yang dapat digunakan dalam penilaian kewajaran nilai
pembebanan jasa, antara lain:
a. Metode perbandingan harga antara pihak yang independen
b. Cost-plus method
c. Transactional profit method
Mekanisme pengujian kewajaran pembayaran yang dilakukan Wajib Pajak
atas jasa dari pihak afiliasi adalah:
a. Memasikan bahwa suatu jasa dari pihak afiliasi telah benar-benar
dilakukan dan memberikan manfaat ekonomi bagi Wajib Pajak.
b. Melakukan penghitungan kewajaran pembayaran jasa.
B. Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha atas Transaksi
Harta Tak Berwujud
Langkah-langkah pengujian atas transfer harta tak berwujud yang dilakukan
Wajib Pajak sebagai berikut:
1. Mengidentiikasi keberadaan setiap harta tak berwujud yang memberikan
kontribusi terhadap kesuksesan produk di pasar.
2. Mengidentifikasi nilai harta tak berwujud dan menentukan pihak-pihak
yang berkontribusi terhadap pembentukan harta tak berwujud dimaksud.
3. Mempelajari apakah benar-benar telah terjadi transfer harta tak berwujud
dalam Transaksi tersebut.
4. Menentukan kompensasi yang wajar untuk setiap harta tak berwujud yang
ditransfer.
Metode yang dapat digunakan dalam menilai kewajaran transfer harta tak
berwujud.
a) Metode perbandingan harga antara pihak yang independen
b) Metode harga penjualan kembali
c) Metode biaya-plus
d) Metode pembagian laba
e) Metode laba bersih transaksional
f) Metode lainnya:
1. Income-Based Approach
2. Cost-Based Approach
3. Market-Based Approach
C. Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha atas Transaksi
Pembayaran Bunga
Pinjaman Intra-Grup adalah pinjaman yang diberikan oleh suatu pihak dalam
suatu grup usaha kepada anggota lainnya. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam menentukan kewajaran dan kelaziman usaha pada transkasi pinjaman
Intra-Grup, antara lain:
a. Melakukan analisis atas kebutuhan utang
b. Memastikan bahwa pinjaman dari pihak afiliasi benar-benar terjadi
c. Melakukan pengujian kewajaran perbandingan utang terhadap modal
d. Melakukan pengujian kewajaran tingkat suku bunga atau biaya lainnya
terkait pinjaman intra-grup.

8. ADVANCE PRICING AGREEMENT


Adanya kekhawatiran dari administrasi pajak bahwa transfer pricing akan
dimanfaatkan wajib pajak untuk menggerus potensi penerimaan pajak dari suatu negara ke
negara lain (negara suaka pajak), sehingga dipandang perlu membuat Advance Pricing
Agreement untuk mengatasi masalah penentuan harga pasar yang wajar.
Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah perjanjian
antara Direktorat Jenderal Pajak dan wajib pajak dan atau otoritas pajak negara lain,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang PPh untuk menyepakati
kriteria-kriteria dan atau menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar di muka para pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa.
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer kepada
Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan, sebagai upaya menghindari permasalahan
yang mungkin timbul dalam transaksi yang dilakukan antara wajib pajak dengan pihak-pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa.
Ketentuan tentang Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement) diatur
dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER 69/PJ./2010.
 Tujuan diadakannya APA ndalah untuk mengurangi terjadinya prak- tlk
penynlahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional.
Manajemen Perpajukan Perusahaan yang Memiliki Hubungan istimewa
 Persetujuan antara wajib pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mencakup beberapa
hal, antra lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalty, dan lain-lain,
tergantung pada kesepakatan.
 Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan
penghitungan pajak, fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dản
keuntungan produk yang dijual wajib pajak kepada perusahaan dalam grup yang
sama.
 APA dapat bersifat unilateral, merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak
dengan wajit pajak, atau bilateral, yaitu kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak
dan otoritas perpajakan negara lain menyangkut wajib pajak yang berada di wilayah
yurisdiksinya.

9. BEBERAPA TIP TAX PLANNING TENTANG PEMAKAIAN BARANG


ANTARPERUSAHAAN YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA DAN
PENAGIHANNYA
a. Semua akun utang-piutang sntsrsfliasi harus tereliminasi (offsetting pembayaran) satu
dengan yang lainnya pada akhir bulan dan pada akhir tahun (sebelum tutup buku),
sedemikian rupa sehingga pada akhir tutup buku tidak terlihat saldo utang-piutang antar
afliasi di neraca masing-masing. Transaksi yang masih “open account” tersebut sering
kali menjadi pemicu pemeriksaan fiskus akibat adanya “hubungan istimewa” dari akun
utang-piutang antara afliasi, meskipun transaksinya sudah mencerminkan harga yang
wajar.
b. Sebagai ilustrasi, setiap pemakaian barang PT X untuk kepentingan PT Y, di mana PT X
memiliki hubungan istimewa dengan PT Y harus diperlakukan sebagai “piutang lain-
lain” dari PT X yang harus ditagih ke PT Y pada setiap bulan dan dilunasi sebelum
masuk ke bulan berikutnya. Pemakaian barang tersebut harus diadministrasikan secara
tertib dan terkontrol.
c. Penagihan atas “piutang lain-lain” tersebut dapat dilakukan oleh bagian keuangan PT X
dengan menerbitkan kwitansi kepada PT Y senilai harga pembelian barangnya dengan
melampirkan bukti pemakaian barang. Atas dasar kwitansi tersebut, bagian keuangan
secara transparan melakukan pembayarannya dari rekening cash PT Y ke rekening PT X.
d. Setiap transaksi pemakaian barang antar perusahaan harus didasarkan pada harga pasar
yang wajar (arm’s length price).

Daftar Pustaka
Pohan, Chairil Anwar. 2013 . Manajemen Perpajakan Strategi Perencanaan Pajak dan
Bisnis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai