Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

EKSKALASI DAN DE ESKALASI ANTIBIOTIK DI


ICU

Disusun oleh :
Cheri Andayani (30101306901)
Pembimbing :
dr. Taufik Eko Nugroho, Sp.An., M.Si.Med.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RSUD K.R.M.T. WONGSONEGORO SEMARANG
PERIODE 14 JANUARI- 9 FEBRUARI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN
AGUNG SEMARANG
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama / NIM : Cheri Andayani (30101306901)


Universitas : Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Fakultas : Kedokteran
Tingkat : Program Studi Profesi Dokter
Diajukan : Februari 2019
Bagian : Anestesi
Judul : Ekskalasi dan de eskalasi antibiotik di ICU

Bagian Anestesi
RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Mengetahui,

Ketua SMF Anestesi, Pembimbing,

dr. Taufik Eko N., Sp.An., M.Si.Med.


dr. Taufik Eko N., Sp.An., M.Si.Med.

2
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada TuhanYang Maha Esa karena atas
rahmat dan berkat–Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Ekskalasi dan de eskalasi antibiotik di ICU”. Referat ini disusun dalam rangka
memenuhi tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi di RSUD K.R.M.T.
Wongsonegoro Semarang. Tujuan pembuatan referat ini juga untuk meningkatkan
pengetahuan penulis serta pembaca agar dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Dalam penyusunan referat ini, tidak sedikit hambatan yang dihadapi.
Namun, penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan referat ini tidak
lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan semua pihak, sehingga kendala-
kendala yang penulis hadapi dapat teratasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Taufik Eko N.,
Sp.An., M.Si.Med. sebagai dokter pembimbing dalam pembuatan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis terbuka terhadap kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan
membantu teman sejawat serta para pembaca pada umumnya dalam memahami
tentang total or high spinal anesthesia in obstetric.

Semarang, Februari 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.....................................................................................................................4
BAB I..................................................................................................................................5
PENDAHULUAN.............................................................................................................5
BAB II.................................................................................................................................7
DEFINISI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK YANG BIJAK..............................................7
A. Faktor – Faktor yang Harus Dipertimbangkan pada Penggunaan Antibiotik
7
B. Prinsip Penggunaan Antibiotik Bijak (Prudent).............................................................8
C. Prinsip Penggunaan Antibiotik untuk Terapi Empiris dan Definitif...............................9
D. Penggunaan Antibiotik Kombinasi...............................................................................12
PASIEN KRITIS.............................................................................................................13
DEFINISI, INDIKASI ESKALASI DAN DE-ESKALASI.............................................14
PETA KUMAN DAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK EMPIRIS.................................15
SUMBER INFEKSI ATAU INFEKSI PRIMER............................................................18
GAMBARAN KLINIS....................................................................................................19
BAB III .............................................................................................................................20
RINGKASAN..................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................21

4
BAB I

PENDAHULUAN

Antibiotik merupakan obat paling banyak digunakan pada infeksi yang


disebabkan oleh bakteri, terutama untuk pengelolaan pasien-pasien kritis di
Intensive Care Unit (ICU). Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62%
antibiotik digunakan secara tidak tepat. Pada penelitian kualitas penggunaan
antibiotik di berbagai rumah sakit ditemukan 30% sampai dengan 80% tidak
didasarkan pada indikasi1. Upaya untuk eradikasi bakteri multidrug resistant
(MDR) di fasilitas layanan kesehatan adalah prioritas nasional yang melibatkan
seluruh komunitas dan khususnya unit perawatan intensif (ICU) yang dianggap
'pabrik' untuk menimbulkan, menyebarluaskan, dan memperberat resistensi
terhadap antibiotik3. Penggunaan antibiotik secara rasional bersama dengan
pencegahan transmisi silang adalah bagian penting dari strategi yang bertujuan
mengurangi resistensi antibiotik.

Penentuan pilihan suatu antibiotik tertentu untuk seseorang pasien banyak


yang harus dipertimbangkan seperti yang sudah diatur dalam Permenkes No :
2406/MENKES/PER/2011 mengenai penggunaan antibiotik, strategi Pendukung
Antimicrobial Stewardship, strategi : Streamlining atau 24 terapi deeskalasi,
dengan cara pelaksanaannya : antibiotik dapat diberikan setelah adanya hasil
pemeriksaan mikrobiologi yang mendukung dan test kepekaan terapi empiris
antibiotik diubah menjadi: (1.) Lebih sensitif; (2.) Spektrum lebih sempit; (3.)
Lebih aman; dan (4.) Lebih murah1 . Pemberian awal antibiotik dapat diberikan
antibiotik empiris, seperti yang diberikan pertama pada layanan/dokter primer (di
fasilitas kesehatan pratama maupun rujukan pada masing-masing spesialisasi),
sedangkan pasien-pasien di ICU sebagian besar merupakan rujukan pasien-pasien
yang telah mendapatkan terapi empiris yang adekuat dan tidak adanya perbaikan
kondisi, walaupun hal tersebut tidak selalu dikarenakan kuman penyebab
infeksinya yang tidak tereradikasi. Berdasarkan hal tersebut, pemilihan antibotik
menurut sistem eskalasi dan de-eskalasi perlu dipertimbangkan. Kedua sistem ini
sangat dipengaruhi oleh tempat di mana pasien mendapatkan perawatan, apakah di

5
bangsal atau di ICU. Sistem eskalasi adalah sistem pemilihan antibiotik di mana
antibiotik ditingkatkan kelas spektrumnya secara bertahap jika respon klinis
antibiotik tidak adekuat. Sistem ini biasanya diterapkan pada pasien dengan
infeksi yang dirawat di bangsal termasuk pasien dengan derajat keparahan infeksi
ringan-sedang (kecuali pasien dirawat di bangsal karena tidak adanya bed kosong
yang tersedia di ICU). Sedangkan sistem de-eskalasi adalah sistem di mana
antibiotik dimulai dari spektrum yang paling luas kemudian diturunkan secara
bertahap jika respon antibiotik sudah adekuat. Sistem de-eskalasi biasanya
diterapkan pada pasien dengan infeksi sedang-berat seperti yang dirawat di ICU.

Untuk meningkatkan efektivitas bacterisidal antibiotik empiris bisa


dilakukan dengan mengkombinasikan dengan antibiotik golongan lain seperti
4
makrolide atau mengkombinasikan dengan inhibitor β-laktamase untuk bakteri
yang sudah dikenal memproduksi β-laktamase (ESBLs bacteria, seperti
Enterobacteriaceae termasuk E. coli dan Klebsiella pneumoniae), misalnya
kombinasi dengan sulbactam atau penggunaan Carbapenem 5. Peta kuman dan
antibiotik yang sensitif lokal untuk setiap ICU harus tersedia, untuk digunakan
sebagai pertimbangkan dalam penentuan pilihan antibiotik empiris khusus.
Pemberian antibiotik selanjutnya mengikuti panduan dari Kemenkes tersebut di
atas sesuai dengan hasil kultur dan test sensitivitas. Dengan tujuan untuk menekan
angka resistensi mikrobial dan angka mortalitas pasien, terutama pasien yang
mendapat perawatan di ICU 2.

6
BAB II

DEFINISI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK YANG BIJAK

Penggunaan antibiotik bijak mencakup 3 komponen yaitu penggunaan


antibiotik dengan rasional, kepatuhan terhadap pedoman dan guideline lokal, dan
menghindari tren demografi resistensi antibiotik. Meskipun penggunaan rasional
adalah suatu kewajiban, tetapi harus diakui bahwa kepatuhan terhadap kebijakan
akan mengurangi kebebasan klinis dalam penggunaan antibiotik. Dengan
penggunaan antibiotik secara bijak diharapkan dapat mengurangi angka kejadian
resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik / multidrugs resistence 6.

A. Faktor – Faktor yang Harus Dipertimbangkan pada Penggunaan


Antibiotik

1. Resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik.


2. Faktor farmakokinetik dan farmakodinamik untuk menentukan
jenis dan dosis antibiotik secara tepat.
3. Faktor interaksi dan efek samping obat. Efek dari interaksi yang
dapat terjadi cukup beragam mulai dari yang ringan seperti
penurunan absorbsi obat atau penundaan absorbsi hingga
meningkatkan efek toksik obat lainnya.
4. Faktor biaya. Peresepan antibiotik yang mahal, dengan harga
diluar batas kemampuan keuangan pasien akan berdampak pada
tidak terbelinya antibiotik oleh pasien, sehingga mengakibatkan
terjadinya kegagalan terapi. Setepat apapun antibiotik yang
diresepkan apabila jauh dari tingkat kemampuan keuangan pasien
tentu tidak akan bermanfaat.

7
B. Prinsip Penggunaan Antibiotik Bijak (Prudent)

1. Penggunaan antibiotik dengan spektrum sempit, pada indikasi


yang ketat dengan dosis yang adekuat, interval dan lama
pemberian yang tepat.
2. Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotic policy) dengan
pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan
penggunaan antibiotik lini pertama.
3. Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan
menerapkan pedoman penggunaan antibiotik, penerapan
penggunaan antibiotik secara terbatas (restricted), dan penerapan
kewenangan dalam penggunaan antibiotik tertentu (reserved
antibiotics).
4. Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan
diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan
hasil pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi,
dan penunjang lainnya. Antibiotik tidak diberikan pada penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus atau penyakit yang dapat
sembuh sendiri (self-limited).
5. Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada:
a. Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola
kepekaan kuman terhadap antibiotik.
b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman
penyebab infeksi.
c. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.
d. Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil
mikrobiologi dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.
e. Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective
dan aman.
6. Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan dengan
beberapa langkah sebagai berikut:

8
a. Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap
penggunaan antibiotik secara bijak.
b. Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang,
dengan penguatan pada laboratorium hematologi, imunologi,
dan mikrobiologi atau laboratorium lain yang berkaitan dengan
penyakit infeksi.
c. Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di
bidang infeksi.
d. Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara
tim (team work).
e. Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan
antibiotik secara bijak yang bersifat multi disiplin.
f. Memantau penggunaan antibiotik secara intensif dan
berkesinambungan.
g. Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik
secara lebih rinci di tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya dan masyarakat.

C. Prinsip Penggunaan Antibiotik untuk Terapi Empiris dan


Definitif

1. Antibiotik untuk terapi empiris


a. Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan
antibiotik pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis
bakteri penyebabnya.
b. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah
eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga
menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil
pemeriksaan mikrobiologi.
c. Indikasi: ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada
keterlibatan bakteri tertentu yang paling sering menjadi
penyebab infeksi.

9
 Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik data
epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia di
komunitas atau di rumah sakit setempat.
 Kondisi klinis pasien.
 Ketersediaan antibiotik.
 Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam
jaringan / organ yang terinfeksi.
 Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh
polimikroba dapat digunakan antibiotik kombinasi.
d. Rute pemberian: antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan
pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat
dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral.
e. Lama pemberian: antibiotik empiris diberikan untuk jangka
waktu 48-72 jam. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi
berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta
data penunjang lainnya.
f. Evaluasi penggunaan antibiotik empiris dapat dilakukan seperti
pada tabel berikut:
Hasil
Klinis Sensitivitas Tindak Lanjut
Kultur
+ Membaik Sesuai Lakukan sesuai prinsip “De-
Eskalasi”
+ Membaik Tidak Sesuai Evaluasi diagnosis dan terapi
+ Tetap / Sesuai Evaluasi diagnosis dan terapi
Memburuk
+ Tetap / Tidak Sesuai Evaluasi diagnosis dan terapi
Memburuk
- Membaik 0 Evaluasi diagnosis dan terapi
- Tetap / 0 Evaluasi diagnosis dan terapi
Memburuk

2. Antibiotik untuk terapi definitif

10
a. Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah
penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang sudah diketahui
jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya.
b. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah
eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang
menjadi penyebab infeksi, berdasarkan hasil pemeriksaan
mikrobiologi.
c. Indikasi: sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi
penyebab infeksi.
d. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik:
 Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.
 Sensitivitas.
 Biaya.
 Kondisi klinis pasien.
 Diutamakan antibiotik lini pertama / spektrum sempit.
 Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit).
 Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT)
setempat yang terkini.
 Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.
e. Rute pemberian: antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan
pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat
dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral.
Jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian antibiotik
parenteral harus segera diganti dengan antibiotik per oral.
f. Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi
klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah
dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi
berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta
data penunjang lainnya.

11
D. Penggunaan Antibiotik Kombinasi

1. Antibiotik kombinasi adalah pemberian antibiotik lebih dari satu


jenis untuk mengatasi infeksi.
2. Tujuan pemberian antibiotik kombinasi adalah:
a. Meningkatkan aktivitas antibiotik pada infeksi spesifik (efek
sinergis).
b. Memperlambat dan mengurangi risiko timbulnya bakteri
resisten.
3. Indikasi penggunaan antibotik kombinasi:
a. Infeksi disebabkan oleh lebih dari satu bakteri (polibakteri).
b. Abses intraabdominal, hepatik, otak dan saluran genital
(infeksi campuran aerob dan anaerob).
c. Terapi empiris pada infeksi berat.
4. Hal-hal yang perlu perhatian:
a. Kombinasi antibiotik yang bekerja pada target yang berbeda
dapat meningkatkan atau mengganggu keseluruhan aktivitas
antibiotik.
b. Suatu kombinasi antibiotik dapat memiliki toksisitas yang
bersifat aditif atau superaditif. Contoh: Vankomisin secara
tunggal memiliki efek nefrotoksik minimal, tetapi pemberian
bersama aminoglikosida dapat meningkatkan toksisitasnya.
c. Diperlukan pengetahuan jenis infeksi, data mikrobiologi dan
antibiotik untuk mendapatkan kombinasi rasional dengan hasil
efektif.
d. Hindari penggunaan kombinasi antibiotik untuk terapi empiris
jangka lama.
Pertimbangkan peningkatan biaya pengobatan pasien.

12
PASIEN KRITIS

Manajemen pasien kritis (pasien dengan ancaman jiwa) memprioritaskan


tindakan (termasuk pemberian obat) untuk mempertahankan fungsi sel-sel yang
berhubungan dengan hidup mati pasien dengan cara mencukupkan oksigen untuk
seluruh sel otak, jantung dan paru-paru dan memperbaiki fungsinya. Pada banyak
kasus pasien kritis terdapat penurunan fungsi-fungsi hepar dan ginjal yang harus
dipertimbangkan dalam pemberian antibiotiknya. Pasien dengan fungsi hepar
yang rendah (cirrhosis hepatis) sangat rentan terhadap infeksi, maka harus
dipertimbangakan adanya penurunan kemampuan metabolismenya, pasien dengan
insufisiensi atau bahkan gagal ginjal dengan gangguan eliminasi, dan
hipoalbuminemia yang diberikan antibiotik high plasm protein binding (ikatan
dengan protein plasmanya tinggi) dapat memicu overdosis 8.

Pada pasien kritis banyak yang mengalami penurunan perfusi darah ke


seluruh seltubuh termasuk ke otot-otot atau jaringan sub kutis juga ke saluran
pencernaan, sehingga rute pemberian obat melalui otot (intra muskuler), atau
melalui sub kutis (misalnya insulin), atau melalui saluran pencernaan (per oral
maupun per enteral/NGT) tidak efisien, dan harus menggunakan rute intra vena.
Dengan demikian antibiotik yang dipilih adalah yang sediaannya untuk pemberian
intra vena. Dengan rute pemberian intra vena pun tidak bisa menjangkau seluruh
kompartemen tubuh, sehingga pada tempat-tempat tertentu (pada organ/tempat
dengan volume distribusi rendah) bisa untuk “bersembunyi” kuman, sehingga
mengakibatkan resistensi terhadap antibiotik. Pasien kritis dengan “stress ulcer”
akibat buruknya perfusi darah ke mukosa usus, biasanya barier mukosa ususnya
juga buruk, dan terjadilah translokasi bakteri dari lumen usus (sebagian besar E.
coli) masuk ke sirkulasi sistemik menyebabkan sepsis, yang mungkin bakteri ini
tidak sensitif dengan antibiotik empiris yang diterima pasien. Infeksi bakteri multi
drugs resistance (MDR) E. coli yang tidak mendapat antibiotik yang sesuai dan
adekuat mempunyai prognosis buruk 9.

Molekul obat antibiotik termasuk besar, sehingga berpotensi untuk terjadi


reaksi anafilaksi atau anafilaktoid (melalui pelepasan histamin). Apabila ini terjadi

13
pada pasien kritis, maka akan menyulitkan pengendalian hemodinamik atau
menjadi resisten terhadap obat-obat inotropik positif dan vasokonstriktor.
Perburukan pasien bukan karena tidak berefeknya antibiotik sebagai bakterisid,
tetapi karena shock. Dan terdapat banyak kasus perburukan pasien-pasien kritis di
ICU bukan karena infeksi. Pasien di ICU sudah sulit dibedakan menurut asal
primer misal kasus ortopedi, bedah digesti, penyakit paru-paru, penyakit urologi
dan sebagainya, meskipun demikian pemberian antibiotik empiris di tempat
pelayanan primer (sebelum ICU), akan memperbaiki outcome 10.

DEFINISI, INDIKASI ESKALASI DAN DE-ESKALASI

Eskalasi adalah sistem pemilihan antibiotik di mana antibiotik


ditingkatkan kelas spektrumnya secara bertahap jika respon klinis antibiotik tidak
adekuat. Sistem ini diindikasika pada pasien dengan infeksi yang dirawat di
bangsal termasuk pasien dengan derajat keparahan infeksi ringan-sedang (kecuali
pasien dirawat di bangsal karena tidak adanya bed kosong yang tersedia di ICU).

Pada eskalasi antibiotik pasien diterapi dengan antibiotik berspektrum


tersempit yang ditingkatkan spektrumnya secara bertahap jika respon klinis
antibiotik tidak adekuat. Karena terapi langsung dengan antibiotik berspektrum
tertinggi di bangsal justru akan mengubah pola resistensi yang sudah terjadi di
sana sehingga jika hal ini dibiarkan dalam waktu yang lama, maka antibiotik
dengan spektrum yang sempit akan mengalami resistensi di bangsal tersebut.
respon klinis antibiotik di bangsal dipantau dalam 3 hari. jika dalam 3 hari
antibiotik tidak memberikan respon yang baik untuk infeksi pasien, maka
antibiotik harus diganti dengan antibiotik spektrum yang lebih luas.

Sedangkan sistem de-eskalasi adalah sistem dimana antibiotik dimulai dari


spektrum yang paling luas kemudian dalam waktu 48-72 jam dilanjutkan
penurunkan secara bertahap jika respon antibiotik sudah adekuat. Sistem de-
eskalasi biasanya diindikasikan pada pasien dengan infeksi sedang-berat seperti
yang dirawat di ICU. Pasien yang sedang dirawat di ICU adalah pasien yang sakit

14
sangat kritis dengan derajat keparahan infeksi berat-mematikan sehingga
sebaiknya pasien diterapi dengan antibiotik berspektrum luas yang kemudian
dipersempit spektrumnya secara bertahap jika respon klinis antibiotik sudah
adekuat, yang dapat dievaluasi melalui uji kepekaan 7. Hal ini disebabkan karena
bakteri di ICU cenderung sudah banyak yang mengalami resistensi. Dalam sebuah
penelitian terapi deeskalasi untuk infeksi berat (sepsis berat dan syok septik)
adalah strategi yang aman terkait dengan tingkat kematian yang lebih rendah.
Upaya untuk meningkatkan frekuensi strategi ini sepenuhnya dibenarkan2.

Respon klinis antibiotik di ICU dipantau dalam 2 hari, berbeda dengan di


bangsal yang 3 hari karena terapi infeksi di ICU memang membutuhkan perhatian
jauh lebih banyak di bandingkan dengan bangsal. Bila dalam 2 hari antibiotik
tidak memberikan respon yang baik untuk infeksi pasien, maka antibiotik harus
diganti dengan antibiotik spektrum luas lainnya dan jika dalam 2 hari antibiotik
sudah memberikan respon yang baik untuk pasien, maka antibiotik harus diganti
dengan antibiotik dengan spektrum yang lebih sempit.

PETA KUMAN DAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK EMPIRIS

Pada enam Rumah Sakit di Amerika yang diteliti oleh Broykov et al.
(2014), didapatkan bahwa antibiotik broad spectrum empiris lazim digunakan di
rumah sakit di Amerika pada tahun 2009-2010, bahkan pada pasien tanpa tanda
klinis infeksi. Penyempitan (narrowing) spektrum atau penghentian (bila kuman

15
negative) biasanya dilakukan setelah lima hari. Eskalasi diikuti dengan multiple
11
site infection dan kultur positif . Di Australia, diantara pasien community
acquired pneumonia (CAP) karena infeksi Acinetobacter baumanii yang masuk
ICU (80%) mempunyai outcome yang baik (mortalitas 11%) dengan pemberian
protokol initial antibiotik empirik, kuman tersebut sensitive terhadap gentamycin,
meropenem, ciprofloxacin 12. Di Rumah Sakit Morison Hospital Swansea, United
Kingdom, pancreatitis paling banyak disebabkan oleh Enetrococcus faecalis, yang
sensitive terhadap gentamycin, dan resisten terhadap amoxicillin dan
erythromycin 13. Di RSUP Dr Sardjito peta kuman dan sensitivitas kuman pada
tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 1-3.

16
Untuk menentukan pilihan antibiotik empiris mungkin cukup dengan
informasi 5 - 10 jenis kuman terbanyak, bukan keseluruhan kuman-kuman yang
pernah ditemukan di ICU, walaupun mungkin saja sesorang di ICU terinfeksi oleh
kuman baru yang pelum pernah ada sebelumnya. Oleh karena itu pemeriksaan
kultur dan tes sensitivitas menjadi sangat penting untuk penentuan antibiotik

17
setelah empiris. Antibiotik yang dites diharapkan dapat mewakili berbagai
golongan dan spektrum serta generasinya. Seperti contoh pola kuman dan
sensitivitas antibiotik di ICU Rumah Sakit Sardjito di atas, penicillin G,
ampicillin, tetracycline diujikan dan masih sensitif untuk beberapa spesies kuman.

SUMBER INFEKSI ATAU INFEKSI PRIMER

Salah satu informasi yang diperlukan untuk menentukan antibiotik empiris


adalah sumber infeksi atau infeksi primernya. Pasien-pasien ICU berasal dari
berbagai tempat perawatan lain maupun unit emergensi di suatu rumah sakit. Di
tempat perawatan selain ICU pasien dengan infeksi, tentunya telah mendapatkan
antibiotik empiris yang sesuai dengan patologinya. Mungkin karena kuman
penyebab infeksi resisten terhadap antibiotik yang diberikan, atau reaksi host
(pasien) yang menjadi berat, sehingga kondisi pasien memburuk dan menjadi
kritis maka dirujuk ke ICU. Jadi salah satu kemungkinan adalah bahwa kuman
peginfeksi pasien-pasien di ICU sudah resisten terhadap antibiotik empiris pada
umumnya.

Untuk kasus yang demikian tentunya diperlukan penggantian antibiotiknya


dengan mempertimbangkan informasi-informasi lain, misalnya dengan antibiotik
broad spectrum yang baru yang belum pernah atau jarang digunakan ditempat asal
pasien tersebut. Pada pasien yang infeksinya di dapat di ICU, informasi kuman
yang diperlukan tentunya adalah kuman-kuman yang ada di ICU bersangkutan,
bahkan tidak jarang pula kuman penginfeksinya tidak tunggal. Untuk
pertimbangan lainnya adalah analisis kemungkinan asal infeksi dalam tubuh
pasien, ada kalanya sudah tampak spesifik misalnya: kasus bedah digesti dengan
kemungkinan kuman-kuman usus sebagai penginfeksinya, atau kasus pneumonia
dengan kemungkinan kuman penginfeksinya dari aspirasi koloni kuman dalam
sekret rongga mulut dan faring.

18
GAMBARAN KLINIS

Tidak jarang gambaran klinis memberikan petunjuk mengenai kuman


penyebab infeksi, seperti contoh leptospirosis mempunyai gambaran khas ikterik
dan suffocia yang menyertai demam, dan kuman ini masih terbawa terus sampai
di ICU, atau infeksi jamur candida pada saluran urin akan memberikan gambaran
wujud kelainan kulit di sekitar kemaluan, atau TBC dengan sekret dari paru-paru
yang khas. Walaupun demikian biakan kuman dan tes sensitivitas antibiotika tetap
harus dilakukan untuk menentukan antibiotika definitif yang sesuai dengan kuman
penginfeksinya.

19
BAB III

RINGKASAN

Pemilihan antibiotika empiris untuk pasien di rumah sakit dapat disasarkan


pada tempat perawatan. Pasien yang dirawat di bangsal akan berbeda dengan
pasien kritis di ICU hal tersebut memerlukan beberapa pertimbangan, antara lain
adalah pola kuman khusus yang berbeda antara di bangsal dengan di ICU, dan
kemungkinan kuman penginfeksi telah menjadi resisten dengan antibiotika
empiris yang diberikan sebelumnya. Oleh karena pendekatan eskalasi dan de-
eskalasi dalam pemberian antibiotik merupakan strategi yang aman terkait dengan
tingkat kematian yang lebih rendah, serta mengurangi resiko resistensi antibiotik.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI. (2011). Pedoman Umum Penggunaan

Antibiotik.Jakarta.Kementrian kesehatan RI.2011. pp:1-60.

2. J. Garnacho-Montero. (2013). De-Escalation Of Empirical

Therapy Is Associated With Lower Mortality In Patients With Severe


Sepsis And Septic Shock. Intensive Care Med DOI 10.1007/s00134-013-
3077-7.

3. Carlet J, Ben Ali A, Chalfine A. (2004). Epidemiology and control

of antibiotic resistance in the intensive care unit. Curr Opin Infect Dis :
17:309-316.

4. Martínez, J.A., Horcajada, J.P., Almela, M., Marco, F., Soriano,

A., García,E., Marco, M.A., Torres, A.,and Mensa, J., (Feb. 15, 2003).
Addition of a Macrolide to a β-Lactam-Based Empirical Antibiotic
Regimen Is Associated with Lower In-Hospital Mortality for Patients with
Bacteremic Pneumococcal Pneumonia, Clin Infect Dis, Vol. 36, No. 4, pp.
389-395 Published by: Oxford University Press Stable URL: http://
www.jstor.org/stable/4462322.

21
5. Matteo, B. and Baño, J.R., Should we take into account ESBLs in

empirical antibiotic treatment?, Intensive Care Med (2016) 42:2059–2062


DOI 10.1007/s00134-016-4599-6.

6. Philips I .(2001). Prudent Use of Antibiotics: Are Our Expectations

Justified?.Clinical Infectious Disease. Vol:33. pp: S130-S132.

7. Rello J. (2007). Importance of appropriate initial antibiotic

therapy and de – escalation in the treatment of nosocomial pneumonia.


Eur Respir Rev. Vol: 103, p:33-9.

8. Zuccaro V, et al. (2017). Antibiotic stewardship and empirical

antibiotic treatment: How can They get along? Dig Liver Dis,
http://dx.doi.org/10.1016/j.dld.2017.01.157.

9. Peralta, G., Sanchez, M.B., Garrido, J.C., De Benito, I., Cano,

M.E., (2007). Impact of antibiotic resistance and of adequate empirical


antibiotic treatment in the prognosis of patients with Escherichia coli
bacteraemia, J Antimicrob Chemother : 60, 855–863
doi:10.1093/jac/dkm279.

10. Falcone, M.,• Corrao, S., Licata, G., Serra, P., Venditti, M., (2012).

Clinical impact of broad-spectrum empirical antibiotic therapy in patients


with healthcare-associated pneumonia: a multicenter interventional study,
Intern Emerg Med : 7:523–531 DOI 10.1007/s11739-012-0795-8.

11. Braykov, N.P., Morgan, D.J., Schweizer, M.L., Uslan, D.Z.,

Kelesidis, T., Weisenberg, S.A., Johannsson, B., Young, H., Cantey, J.,

22
Srinivasan, A., Perencevich, E., Septimus, E., Laxminarayan, R., (2014).
Assessment of empirical antibiotic therapy optimisation in six hospitals:
An observational cohort study, Lancet Infect Dis 14: 1220–27.

12. Davis , J.S., McMillan , M., Swaminathan , A., John A., Kelly,

J.A., Piera , K.E., Baird , R.W., Currie , B.J. and Anstey , N.M., (2014). A
16-Year Prospective Study of Community -Onset Bacteremic
Acinetobacter Pneumonia Low Mortality With Appropriate Initial
Empirical Antibiotic Protocols, CHEST 1 46 ( 4) :1038- 1045.

13. Morice,DR, Williams,DM, Christie, R, Mowbray N, Brown, TH,

Al Sarirah, B., (2015). Empirical antibiotic treatment in infectious


necrotizing pabcreatitis : A retrospective analysis, Pancreatology, 15, S1-
S141.

14. Untung, Widodo. 2018. Penggunaan Antibiotika Empirik Di

Intensive Care Unit (ICU). Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif


Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada / KSM Anestesiologi dan
Reanimasi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

23

Anda mungkin juga menyukai