Anda di halaman 1dari 29

Makalah Penyakit Sistemik yang Diderita

Pasien Usia Lanjut yang Memerlukan


Perawatan Kesehatan Gigi dan Mulut
Blok Geriatri 1

Kelas E
Kelompok 3
Disusun Oleh:
Rafi Adzka Ibrahim (201811117)
Rai Amara (201811118)
Ramadhoni Putra (201811119)
Raniah Nabilah Arifin (201811120)
Rayinda Putri M. Sanaiskara (201811121)
Ridzky Rainrisa Arief (201811122)
Riska Farida Nurazizah (201811123)
Safina Salsabila Wardhana (201811124)
Salsabila Putri Uno (201811125)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO


(BERAGAMA)
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya, yang telah
memberikan izin kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
―Penyakit Sistemik yang Diderita Pasien Usia Lanjut yang Memerlukan Perawatan Kesehatan
Gigi dan Mulut‖ tepat pada waktunya. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen
kami yang telah membimbing serta memberikan tugas ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya baik dalam isi
maupun sistematikanya. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat digunakan sebagai pedoman dan
berguna untuk menambah pengetahuan para pembaca.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
membantu dalam penyusunan karya tulis ini.

Jakarta, 27 Maret 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………….……..………………………...……………...…….… i
DAFTAR ISI……………………….……...…...……...…………………....….................. ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………..……….….....………………....…....……. 1
1.2 Rumusan Masalah………………………….…..….…………………...………. 1
1.3 Tujuan Penulisan…………………………………………………....…...…….. 2
1.4 Manfaat Penulisan……………………………………….….………...……….. 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Arthritis………………………………………………………………………… 3
2.2 Osteoporosis……………………………………………………………………. 6
2.3 Penyakit Kardiovaskular……………………………………………………….. 11
2.4 Hipertensi………………………………………………………………………. 13
2.5 Chronic Obstructive Pulmonary Disease……………………………………… 19
2.6 Diabetes Melitus……………………………………………………………….. 20

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan……………………………………………….…………………….. 24
3.2 Saran……………………………………………………..……………………... 24

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penuaan adalah suatu fenomena alami yang terjadi di seluruh dunia. Proses penuaan
akan menimbulkan berbagai masalah fisik-biologik, psikologik dan sosial. Secara biologis
lansia mengalami proses penuaan terus menerus, ditandai dengan menurunnya daya tahan
fisik dan semakin rentan terhadap penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini
disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan serta sistem organ
termasuk terjadi perubahan anatomi, morfologi dan fungsional pada rongga mulut.
Kebutuhan perawatan gigi yang utama bagi lansia adalah perawatan kebersihan gigi dan
mulut dan kebutuhan perawatan periodontal yang berarti keadaan ini dapat merupakan status
kesehatan gigi dan mulut lansia yang memerlukan perhatian utama. Lansia rentan terhadap
penyakit sistemik yang bermanifestasi di dalam rongga mulut yang menyebabkan kebersihan
rongga mulut menjadi buruk. Kesehatan gigi dan mulut lansia perlu mendapatkan perhatian
khusus karena mempengaruhi kesehatan umum. Pengetahuan yang baik mengenai kebersihan
mulut sangat penting untuk mencegah penyakit gigi dan mulut. Menjaga kebersihan mulut
merupakan salah satu cara menjaga kondisi tubuh lansia. 1,2

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalahnya adalah:
1. Apa itu arthritis?
2. Apa itu osteoporosis?
3. Apa itu penyakit kardiovaskular?
4. Apa itu hipertensi?
5. Apa itu chronic obstructive pulmonary disease?
6. Apa itu? diabetes melitus?

1
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui tentang arthritis.
2. Untuk mengetahui tentang osteoporosis.
3. Untuk mengetahui tentang penyakit kardiovaskular.
4. Untuk mengetahui tentang hipertensi.
5. Untuk mengetahui tentang chronic obstructive pulmonary disease.
6. Untuk mengetahui tentang diabetes melitus.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan dari makalah ini adalah:
1. Untuk memperoleh ilmu mengenai arthritis.
2. Untuk memperoleh ilmu mengenai osteoporosis.
3. Untuk memperoleh ilmu mengenai penyakit kardiovaskular.
4. Untuk memperoleh ilmu mengenai hipertensi.
5. Untuk memperoleh ilmu mengenai chronic obstructive pulmonary disease.
6. Untuk memperoleh ilmu mengenai diabetes melitus.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Arthritis
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum
diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus
disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu
monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian
dini.3
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, ―arthon‖ yang berarti sendi, dan ―itis‖ yang
berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi. Sedangkan
Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya
tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan
seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi. 3
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai
penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar.
Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum
didapatkan gambaran karakteristik yang baru akan berkembang sejalan dengan waktu
dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat. 3

1. Etiologi dan Patogenesis Rheumatoid Arthritis


Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan
penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor dalam (usia,
jenis kelamin, keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan bakteri
sebagai pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin
diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus. Patogenesis terjadinya proses autoimun,
yang melalui reaksi imun komplek dan reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa
sebagai pencetus awal, mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid,
suatu antibodi terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun komplek
(autoimun).3

3
2. Manifestasi Klinis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau bulan.
Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan tersebut dapat
berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar sendi (Putra
dkk,2013).3
a. Keluhan umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan
menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat badan. 3
b. Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan
tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena
seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan
tulang belakang terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi
hari, pembengkakan dan nyeri sendi.3
c. Kelainan diluar sendi
● Kulit: nodul subukutan (nodul rematoid).3
● Jantung: kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan, namun
40% pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard.3
● Paru: kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan
kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura).3
● Saraf: berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering
terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di ekstremitas dengan
gejala foot or wrist drop.3
● Mata: terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa
kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan skleromalase perforans. 3
● Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan splenomegali,
limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan neutropeni. 3

3. Pencegahan
a. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi risiko
peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang
menggunakan 1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami perbaikan
klinis setelah rutin berjemur di bawah sinar UV-B.3

4
b. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi. Gerakan-
gerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun, menarik kaki ke
belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila mungkin,
aerobik juga dapat dilakukan atau senam taichi. 3
c. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih
berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet makanan
dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada sendi. 3
d. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong, jeruk,
bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin A,C, D, E
juga sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasi akibat radikal
bebas.3
e. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas pada
sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan mengkonsumsi air
dalam jumlah yang cukup dapat memaksimalkan sisem bantalan sendi 14 yang
melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa terhindarkan. Konsumsi air yang
disrankan adalah 8 gelas setiap hari.3
f. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa merokok
merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya pencegahan
RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi perokok akif maupun
pasif (Febriana, 2015).3

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
● Penanda inflamasi: Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein
(CRP) meningkat.3
● Rheumatoid Factor (RF): 80% pasien memiliki RF positif namun RF
negatif tidak menyingkirkan diagnosis.3
● Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP): Biasanya digunakan
dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98%
dan sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap
beratnya penyakit tidak konsisten.3
b. Radiologis Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan
ruang sendi, demineralisasi ―juxta articular‖, osteoporosis, erosi tulang, atau
subluksasi sendi.3

5
5. Penanganan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan
pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan
pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas, mengembalikan
fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut.3

6. Prognosis
Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan dari ketaatan
pasien untuk berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh hingga tujuh puluh
lima persen penderita ditemukan mengalami remisi dalam dua tahun. Selebihnya
dengan prognosis yang lebih buruk.3

2.2 Osteoporosis
Osteoporosis adalah "penyakit yang ditandai dengan massa tulang yang rendah dan
kerusakan mikroarsitektur jaringan tulang yang menyebabkan peningkatan kerapuhan
tulang dan peningkatan insiden patah tulang." Osteoporosis juga dapat ditentukan oleh
adanya fraktur kerapuhan atau dengan pengukuran kepadatan mineral tulang. Dalam
menentukan kriteria kepadatan mineral tulang untuk osteoporosis, Badan Kesehatan
Dunia (WHO) menggunakan standar kepadatan mineral tulang wanita dewasa muda
yang berada pada usia massa tulang puncak. Untuk setiap deviasi standar di bawah massa
tulang puncak (atau 1 unit penurunan skor-T), risiko patah tulang seorang wanita kira-
kira dua kali lipat.4
Osteoporosis telah diklasifikasikan sebagai: osteoporosis primer adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan kehilangan besar tulang (dengan atau tanpa patah
tulang) yang bukan merupakan hasil dari beberapa kelainan / penyakit atau faktor
eksogen yang diketahui dapat menyebabkan keropos tulang, mis. glukokortikoid
berlebih, alkoholisme atau diabetes. Osteoporosis sekunder adalah kondisi pengeroposan
tulang besar yang dapat dikaitkan dengan penyakit / kelainan atau faktor eksogen.
Osteoporosis juga dapat dikategorikan dengan mengacu pada usia dan, dalam kasus
wanita, apakah wanita tersebut sudah menopause atau belum. Dengan kriteria ini, tipe I
atau osteoporosis pascamenopause adalah kondisi yang dikaitkan dengan wanita
pascamenopause usia 55-75. Tipe II atau osteoporosis terkait usia ('pikun') ditemukan
baik pada pria maupun wanita yang berusia lebih dari 70 tahun dan ditandai, pada kedua

6
jenis kelamin, dengan tingkat pengeroposan tulang yang lebih lambat daripada yang
diamati segera setelah menopause.5
Osteoporosis merupakan diagnosis umum pada orang tua, dengan 24% wanita di atas
usia 65 memenuhi kriteria WHO untuk diagnosis tersebut. Perawatan standar untuk
osteoporosis termasuk olahraga menahan beban, kalsium, vitamin D, bifosfonat, dan
antagonis reseptor estrogen selektif. Penggunaan terapi penggantian estrogen telah
menurun dengan cepat untuk indikasi ini dengan temuan bahwa terapi penggantian
hormon meningkatkan angka kejadian kanker payudara dan kardiovaskular, khususnya
stroke.5
Para peneliti di Universitas Buffalo, yang dipimpin oleh Jean Wactawski-Wende
melaporkan bahwa ssebagian besar penderita penyakit periodontal mungkin beresiko
terkena osteoporosis. Para penulis melaporkan bahwa jika hubungan antara metabolisme
tulang dan kesehatan mulut tetap kuat pada penelitian berikutnya, maka dimungkinkan
sinar-X yang digunakan dapat mengeroposkan tulang.6

1. Patofisiologi
Tulang tersusun dari senyawa anorganik (kristal kalsium fosfat) dan organik
(90% kolagen dan 10% protein nonkolagen). Protein non-kolagen termasuk albumin,
osteopontin, osteocalcin, α2-HS-glikoprotein, dan faktor pertumbuhan, yang
menyusun apa yang disebut matriks tulang. Matriks tulang diproduksi oleh osteoblas
dan merupakan lingkungan di mana tulang dan faktor eksternal berinteraksi secara
terkoordinasi dengan baik. Ada dua jenis tulang: kortikal dan trabekuler. Tulang
kortikal mendominasi di tulang panjang ekstremitas, sedangkan tulang trabekuler
mendominasi di tulang belakang dan panggul dan membentuk 80% massa rangka.
Sementara kedua jenis tulang memiliki proses renovasi aktif, tulang trabekuler secara
metabolik lebih aktif daripada tulang kortikal dan lebih responsif secara akut terhadap
perubahan status hormon steroid seks.4
Remodelling tulang adalah proses seumur hidup yang memelihara tulang
untuk menampung sumsum tulang, menopang tubuh, dan melindungi organ vital serta
menyediakan sumber mineral. Proses remodelling menggantikan tulang yang lebih tua
dan lebih lemah dengan tulang yang lebih baru dan lebih tangguh secara terorganisir.
Produk akhir dari remodelling adalah pemeliharaan homeostasis kerangka dan
pemeliharaan integritas anatomi. Dengan penuaan atau dengan transisi menopause,
mekanisme remodelling tulang yang pernah terkoordinasi dengan formasi dan

7
resorpsi yang seimbang menjadi tidak terhubung, menyebabkan keropos tulang dan
peningkatan risiko patah tulang.4

2. Penyebab Sekunder Osteoporosis


Osteoporosis sekunder adalah akibat penyakit atau obat-obatan yang
mempengaruhi tulang baik secara langsung (melibatkan perubahan pada sel tulang
atau komposisi matriks tulang) maupun tidak langsung (dengan meningkatkan
produksi hormon endogen atau ektopik). Tes laboratorium ini harus dipertimbangkan
pada orang yang datang dengan fraktur kompresi akut atau yang datang dengan
diagnosis osteoporosis dengan pengukuran kepadatan mineral tulang. Pria lebih
cenderung memiliki penyebab sekunder osteoporosis daripada wanita. Penyebab
sekunder yang paling sering ditemukan dari osteoporosis pada pria adalah sindrom
hipogonadisme dan malabsorpsi. Penyebab sekunder osteoporosis pada pria berkaitan
dengan penggunaan agonis hormon pelepas hormon luteinizing pada kanker prostat.
Luteinizing hormone-releasing hormone agonists menekan kelenjar pituitari,
menurunkan testosteron dan estrogen.4
Medikasi juga mungkin memiliki efek merugikan pada tulang. Pertimbangan
harus diberikan untuk penyesuaian dosis, penghentian pengobatan, atau pengobatan
pencegahan. Obat-obatan yang mempengaruhi kepadatan mineral tulang termasuk
glukokortikoid, suplementasi tiroid berlebih, antikonvulsan, metotreksat, siklosporin,
dan heparin. Pada orang dewasa yang lebih tua, glukokortikoid dan hormon tiroid
cukup sering digunakan; Oleh karena itu, dokter harus mempertimbangkan efek obat-
obatan ini terhadap peningkatan risiko patah tulang, saat meresepkan obat ini untuk
orang dewasa yang lebih tua.4
Glukokortikoid menekan pembentukan tulang melalui efek langsung pada
osteoblas dan meningkatkan resorpsi melalui efek tidak langsung pada osteoklas.
Osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid dapat dicegah jika pengobatan
dipertimbangkan saat pengobatan dengan kortikosteroid dimulai. Penggantian hormon
gonad dan pengobatan dengan bifosfonat atau PTH intermiten telah terbukti
mencegah keropos tulang pada pasien yang memakai glukokortikoid. Tindakan lain
untuk pencegahan keropos tulang adalah suplementasi kalsium dan vitamin D dan
pengurangan dosis glukokortikoid ke dosis efektif terendah untuk penyakit yang
mendasarinya.4

8
3. Mengenali Osteoporosis
Pertama-tama, wawancara dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi
kemungkinan adanya osteoporosis dengan mengidentifikasi faktor risiko. Kedua,
pemeriksaan fisik dilakukan untuk menilai status fungsional pasien. Selain itu,
pemeriksaan sinar-X pada tulang belakang dada dan deteksi proyeksi lumbal lateral,
dan densitometri tulang, digunakan untuk mengenali osteoporosis. Saat ini, tes
laboratorium tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis osteoporosis. Namun,
pengujian laboratorium harus digunakan sebagai bagian integral dari studi pasien
dengan massa tulang rendah untuk mengidentifikasi penyebab sekunder dari massa
tulang yang rendah. Penilaian laboratorium radiologis untuk kepadatan mineral tulang
umumnya harus dilakukan kembali untuk pasien dengan risiko tertinggi, termasuk
wanita di atas usia 65 tahun, wanita pascamenopause yang lebih muda dengan faktor
risiko, dan semua wanita pascamenopause dengan riwayat patah tulang. 7
Penilaian klinis faktor risiko osteoporosis dan pengukuran obyektif kepadatan
mineral tulang dapat membantu untuk mengidentifikasi pasien yang akan mendapat
manfaat dari intervensi, yang pada gilirannya berpotensi mengurangi morbiditas dan
mortalitas yang terkait dengan patah tulang terkait osteoporosis. 7

4. Osteoporosis dan Hubungannya dengan Oral


a. Kehilangan Gigi
Wanita dengan osteoporosis tiga kali lebih mungkin mengalami
kehilangan gigi dibandingkan mereka yang tidak menderita penyakit tersebut.
Di antara wanita pascamenopause yang menjalani terapi penggantian hormon,
risiko kehilangan gigi relatif lebih rendah. Peningkatan resorpsi ridge alveolar
dan kehilangan tinggi krista alveolar yang lebih besar dilaporkan pada subjek
dengan osteoporosis dan osteopenia.8

b. Penyakit Periodontal
Baik osteoporosis dan penyakit periodontal adalah penyakit resorptif
tulang. Osteoporosis ditandai dengan penurunan massa tulang dan dapat
menyebabkan kerapuhan dan patah tulang. Periodontitis ditandai dengan
resorpsi tulang alveolar dan merupakan penyebab utama kehilangan gigi pada
orang dewasa. Karena kehilangan tulang alveolar merupakan ciri utama dari
penyakit periodontal, osteoporosis yang parah dapat dicurigai sebagai faktor

9
yang memberatkan dalam kasus kerusakan periodontal. Oleh karena itu, telah
dihipotesiskan bahwa kerusakan jaringan periodontal mungkin, sebagian,
berkaitan dengan penyakit sistemik, termasuk osteoporosis. 8
Literatur terbaru menunjukkan kemungkinan hubungan antara
osteoporosis dan penyakit periodontal di antara wanita pascamenopause dan
menunjukkan hubungan positif antara kedua penyakit tersebut. Mereka
melaporkan bahwa penyakit periodontal lebih sering terjadi pada wanita
dengan osteoporosis dan dikaitkan dengan vitamin D yang lebih rendah dan
konsentrasi ligan kappa B faktor nuklir yang diaktifkan reseptor yang lebih
tinggi dan menyarankan bahwa peningkatan sitokin mungkin memainkan
peran penting dalam hubungan antara kedua kondisi ini.8

c. Protesa Gigi
Keropos tulang karena osteoporosis bisa menjadi sangat parah
sehingga tidak mungkin membuat gigi palsu fungsional. Tanpa bantuan gigi
palsu untuk mengunyah berbagai jenis makanan, pasien yang lebih tua dapat
mengalami defisiensi nutrisi yang parah. Selain itu, gigi palsu yang tidak pas
dapat menyebabkan sariawan dan kesulitan berbicara.8

d. Temporomandibular Disorder (TMD)


Kebiasaan dan kondisi yang memicu perkembangan kehilangan tulang
secara umum pada skeletal dapat mengganggu keselarasan fungsional dari
sistem pengunyahan dan dengan demikian dapat meningkatkan kemungkinan
gangguan temporomandibular. Gruber dan Gregg menyarankan bahwa deteksi
dini dan terapi anti resorptif untuk osteoporosis perlu dipertimbangkan di masa
mendatang dalam terapi gangguan temporomandibular.8

5. Dental Treatment dari Osteoporosis


Perawatan gigi tergantung pada status tulang; Kepadatan mineral tulang yang
rendah dapat memengaruhi penyembuhan tulang, misalnya, setelah pencabutan gigi,
dan dapat memengaruhi keberhasilan prosedur implan. Dokter gigi harus menyadari
adanya osteopenia / osteoporosis pada pasien yang mereka rawat. Ada laporan bahwa
kehilangan gigi mungkin terkait dengan osteopenia mandibula, dan bahwa
osteoporosis mungkin berkontribusi pada kehilangan gigi pada wanita

10
pascamenopause. Radiografi panoramik banyak digunakan dalam pemeriksaan gigi
rutin, dan beberapa penelitian telah mengusulkan penggunaannya untuk
mengidentifikasi osteoporosis.9
Beberapa obat tersedia untuk meningkatkan kepadatan massa tulang, yang
meliputi terapi penggantian hormon, bifosfonat, kalsitonin, modulator reseptor
estrogen selektif, hormon paratiroid manusia rekombinan atau kombinasi obat-obat
ini. Terdapat cukup bukti dalam literatur untuk menunjukkan bahwa sebagian besar
obat yang digunakan untuk pengobatan dan pencegahan osteoporosis berpotensi untuk
mengurangi pengeroposan tulang sistemik dan oral. Telah terbukti bahwa estrogen
yang digunakan dalam terapi penggantian hormon pada wanita pascamenopause
dikaitkan dengan penurunan inflamasi gingiva dan penurunan frekuensi hilangnya
perlekatan gingiva pada wanita osteoporotik pada awal menopause. 8

2.3 Penyakit Kardiovaskular


Pasien dapat terlihat sehat tetapi memiliki kondisi kardiovaskular yang
membahayakan yang perlu dipertimbangkan sebelum prosedur gigi invasif atau stres.
Setelah riwayat medis diambil, pertanyaan spesifik mungkin perlu diajukan ke dokter
perawatan primer atau ahli jantung pasien untuk detailnya. Berikut ini adalah kondisi
jantung umum yang menjadi perhatian praktisi gigi. 5
A. Endokarditis infektif (IE): infeksi miokardium jantung oleh patogen yang sering kali
berasal dari rongga mulut. Empat kondisi risiko tinggi yang direkomendasikan untuk
profilaksis adalah:5
1. Katup jantung buatan, baik (1) yang diturunkan dari babi, yang memiliki
durasi efikasi yang lebih pendek tetapi tidak memerlukan antikoagulasi, atau
(2) katup mekanis yang biasanya memerlukan terapi antikoagulasi seumur
hidup dengan warfarin.5
2. Endokarditis sebelumnya. Pasien ini akan memiliki riwayat rawat inap untuk
penatalaksanaan awal IE.5
3. Transplantasi jantung. perhatian utama adalah imunosupresi dan status
jantung saat ini. Pasien akan diberikan imunosupresif spesifik, kemungkinan
dengan beberapa derajat perubahan respon imun terhadap bakteri.5
4. Penyakit jantung bawaan (PJK): koreksi bedah yang berhasil untuk cacat
jantung pada anak-anak dalam 3–4 dekade terakhir telah menghasilkan

11
peningkatan jumlah pasien yang lebih tua dengan tambalan dan saluran yang
mungkin menunjukkan perlunya profilaksis antibiotik.5

B. Infark miokard (MI): perhatian utama adalah pencegahan infark tambahan dan
kerusakan otot jantung. Konsultasikan dengan dokter pasien mengenai pembuluh
koroner dan keterlibatan miokard, aritmia, pengobatan, adanya penyakit vaskular
lainnya, dan apakah pasien memiliki alat pacu jantung atau defibrilator. Hati-hati
dengan epinefrin sebagai vasokonstriktor dalam anestesi lokal dan pertimbangkan
nitrous oxide untuk sedasi. Pengendalian nyeri pasca operasi sangat penting.
Terakhir, ikuti pasien untuk hiperplasia gingiva yang dapat terjadi dengan
penghambat saluran kalsium.5
C. Cangkok bypass arteri koroner (CABG): perhatian utama adalah infark miokard.
Konsultasikan dengan dokter pasien atau rekam medis untuk pembuluh koroner dan
keterlibatan miokard, aritmia, obat-obatan, adanya penyakit vaskular lainnya dan
apakah pasien memiliki alat pacu jantung atau defibrilator yang ditanamkan atau
tidak.5
D. Angina: perhatian utamanya adalah untuk mengurangi kemungkinan serangan
anginal. Tanyakan pasien tentang faktor pencetus (misalnya olahraga, naik tangga,
stres emosional), frekuensi, durasi, waktu, tingkat keparahan dan respons terhadap
pengobatan.5
E. Coronary stents: Terapi antiplatelet tidak boleh dihentikan oleh dokter gigi tanpa
berdiskusi dengan dokter yang merawat. Meskipun kemungkinan perdarahan
berkepanjangan meningkat dengan dua antikoagulan (misalnya aspirin dan
clopidogrel), ada sedikit, jika ada, indikasi untuk mengubah antikoagulan tersebut
untuk prosedur pembuangan.5
F. Alat pacu jantung: risiko infeksi alat pacu jantung akibat prosedur gigi sangat
rendah atau tidak ada. Penggunaan perangkat gigi elektronik tertentu, termasuk
skaler ultrasonik, penguji pulpa elektrik, dan unit bedah listrik harus dihindari
karena kemungkinan gangguan pada fungsi alat pacu jantung. Ponsel bersaing
dengan beberapa perangkat pemantauan.5
G. Gagal jantung kongestif (CHF): penting untuk memperoleh informasi tentang
derajat CHF. Pasien akan memiliki tingkat kompensasi yang bervariasi dan
mungkin menggunakan berbagai obat dan tindakan diet untuk mengontrol dan
menyeimbangkan fungsi jantung.5

12
H. Transplantasi jantung: insomesituationsitispreferable untuk menyelesaikan semua
prosedur gigi bakteremia invasif sebelum transplantasi jantung, misalnya, ketika
pasien relatif stabil dari sudut pandang medis secara keseluruhan. Namun, pasien
yang mengalami gangguan jantung parah kemungkinan memiliki risiko yang lebih
besar dari perawatan gigi elektif sebelum transplantasi, meskipun ada kekhawatiran
terhadap imunosupresi pasca transplantasi.5
I. Aritmia: ada berbagai macam aritmia jantung dan berbagai tingkat perhatian untuk
praktik gigi. Konsultasikan dengan dokter pasien jika tidak yakin tentang sifat
aritmia dan penatalaksanaan saat ini. Pasien mungkin diberi antikoagulan untuk
fibrilasi atrium dan memiliki peningkatan risiko perdarahan.5

2.4 Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko penting untuk morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular, terutama pada lansia. Ini adalah penyakit kronis yang signifikan dan
sering tidak bergejala, yang membutuhkan kontrol optimal dan patuh untuk meminum
obat yang sudah diresepkan untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular,
serebrovaskular, dan ginjal.10 Hipertensi selanjutnya meningkatkan risiko hipotensi
dengan merusak sensitivitas barorefleks dan mengurangi pemenuhan ventrikel.
Hipertensi meningkatkan risiko iskemia serebral akibat penurunan tekanan darah secara
tiba-tiba. Orang tua dengan hipertensi lebih rentan terhadap gejala iskemik serebral
bahkan dengan hipotensi postural sedang dan jangka pendek, karena ambang batas untuk
autoregulasi serebral diubah oleh peningkatan tekanan darah yang berkepanjangan. 4
1. Klasifikasi
Skema klasifikasi yang menentukan prehipertensi (sistolik 120–139 mm Hg
atau diastolik dari 80–89 mm Hg dan stadium 1 (antara 140 dan 159 mm Hg sistolik)
dan hipertensi stadium 2 (≥ 160 mm Hg sistolik) tidak membuat penyesuaian untuk
usia. Definisi ini menggabungkan bukti bahwa risiko kardiovaskular yang terkait
dengan tekanan darah tinggi terus menerus dimulai pada tingkat 115/75 mm Hg.
Definisi tersebut juga menekankan bahwa tekanan darah sistolik merupakan faktor
risiko penyakit kardiovaskular yang lebih penting daripada tekanan darah diastolik —
terutama untuk individu yang berusia lebih dari 50 tahun. Karena hipertensi diastolik
terisolasi sangat jarang terjadi pada pasien yang lebih tua, seseorang dapat dengan
tepat mengklasifikasikan hipertensi pasien yang lebih tua di hampir semua kasus
berdasarkan sepenuhnya pada tingkat tekanan darah sistolik mereka. 4

13
2. Karakteristik Patofisiologi
Perubahan fisiologis terkait usia yang berkontribusi meningkatkan tekanan
darah adalah:4
a. Kekakuan arteri.
b. Sensitivitas baroreseptor menurun.
c. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis.
d. Menurunnya respons reseptor α- dan β-adrenergik.
e. Disfungsi endotel.
f. Penurunan kemampuan untuk mengeluarkan beban natrium (sensitivitas
natrium).
g. Aktivitas renin plasma rendah.
h. Resistensi terhadap efek insulin pada metabolisme karbohidrat.
i. Adipositas pusat.4
Faktor gaya hidup seperti obesitas, terutama adipositas sentral, tidak banyak
bergerak, dan makan makanan tinggi kandungan natrium juga merupakan kontributor
yang umumnya diidentifikasi di antara orang yang lebih tua. Kekakuan arteri,
terutama di arteri besar, adalah karakteristik patofisiologis yang paling tepat untuk
menggambarkan hipertensi geriatrik. Peningkatan kekakuan arteri terkait usia yang
sering ditemukan pada pasien lansia adalah hipertensi sistolik dengan tekanan nadi
tinggi (perbedaan antara tekanan darah sistolik dan diastolik). 4
Di luar perubahan struktural dalam arteri ini, regulasi resistensi vaskular juga
dipengaruhi oleh perubahan terkait usia pada sistem saraf otonom dan endotel
vaskular. Ada penurunan terkait usia dalam sensitivitas baroreseptor arteri. Ini
mempengaruhi regulasi resistensi vaskular dalam dua cara penting. Pertama,
perubahan tekanan darah yang lebih besar diperlukan untuk menstimulasi
baroreseptor untuk mengaktifkan respons kompensasi yang tepat dalam detak jantung.
Hal ini berkontribusi pada peningkatan variabilitas tekanan darah terkait usia dan
kemungkinan menjelaskan prevalensi hipotensi postural dan postprandial yang lebih
besar yang diamati pada individu yang lebih tua. Kedua, penurunan sensitivitas
baroreseptor menyebabkan aktivasi aliran keluar sistem saraf simpatis yang relatif
lebih besar untuk tingkat tekanan darah tertentu. 4

14
Regulasi resistensi vaskuler oleh endotel vaskuler juga berubah sehubungan
dengan usia. Disfungsi endotel yang ditunjukkan oleh penurunan produksi oksida
nitrat yang diturunkan dari endotel telah diidentifikasi menyertai penuaan serta
hipertensi. Gangguan vasodilatasi yang dimediasi oksida nitrat merupakan kontributor
potensial lainnya untuk peningkatan resistensi vaskular perifer terkait usia. 4
Perubahan terkait usia pada fungsi ginjal dan khususnya dalam regulasi ginjal
keseimbangan natrium juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Aliran
darah ginjal yang menurun dan laju filtrasi glomerulus mengganggu kemampuan
ginjal yang menua untuk mengeluarkan beban natrium. Perubahan ginjal dalam
pengaturan keseimbangan natrium ini menciptakan kecenderungan retensi natrium.
Hal ini mungkin berperan dalam penemuan bahwa proporsi tinggi orang tua yang
hipertensi, mungkin setinggi dua pertiga, dicirikan memiliki kepekaan garam.
Sensitivitas garam secara operasional didefinisikan sebagai peningkatan tekanan
darah arteri rata-rata, biasanya 5 mm Hg atau lebih, selama tinggi dibandingkan
dengan asupan natrium makanan rendah.4
Penuaan juga mengubah sistem renin-angiotensin-aldosteron dengan cara yang
dapat berkontribusi pada peningkatan tekanan darah serta sensitivitas natrium. Secara
umum, subjek hipertensi lansia ditandai dengan aktivitas renin plasma yang rendah.
Hubungan langsung antara kadar aldosteron plasma dalam kisaran fisiologis normal
dan perkembangan hipertensi di masa depan telah ditunjukkan pada individu
normotensi. Karena kadar aldosteron yang lebih tinggi juga dikaitkan dengan obesitas
sentral, kekakuan vaskular, hilangnya sensitivitas baroreseptor, gangguan fungsi
endotel, resistensi insulin, dan sensitivitas sodium. 4
Kelainan homeostasis glukosa dan, khususnya, resistensi terhadap efek insulin
pada metabolisme terbukti dengan penuaan serta hipertensi. Resistensi insulin telah
dikelompokkan bersama dengan konstelasi karakteristik lain — obesitas, adipositas
sentral (biasanya diukur dengan peningkatan lingkar pinggang), hiperlipidemia, dan
hipertensi — disebut sebagai sindrom metabolik.4

3. Evaluasi Diagnosis
a. Pertimbangan Pengukuran
Langkah pertama dan paling penting dalam evaluasi diagnostik
hipertensi di antara orang yang lebih tua adalah pengukuran tekanan darah
yang akurat. Selain petunjuk pengukuran standar yang menentukan ukuran

15
manset dan jenis instrumen, beberapa faktor terkait pengukuran tekanan darah
yang tepat perlu mendapat perhatian. Pertama, sebagai hasil dari pengamatan
bahwa tekanan darah lebih bervariasi pada orang tua, diktum bahwa
―hipertensi tidak boleh didiagnosis berdasarkan pengukuran tekanan darah
tunggal‖ adalah benar. Misalnya, hingga sepertiga dari subjek yang menerima
terapi antihipertensi ketika mereka mendaftar di Program Hipertensi Sistolik
di Lansia gagal memenuhi kriteria tekanan darah awal untuk penelitian setelah
obat mereka ditarik. Diagnosis hipertensi harus didasarkan pada rata-rata
minimal sembilan pembacaan tekanan darah yang telah diperoleh pada tiga
kunjungan kantor terpisah atau berasal dari hasil pemantauan tekanan darah
rawat jalan atau rumah selama 24 jam.4
Kedua, ada hubungan yang kuat antara kekakuan arteri dan adanya
celah auskultasi. Untuk alasan ini, jika manset tekanan darah awalnya tidak
dinaikkan ke tekanan di atas tekanan sistolik sebenarnya tetapi berada dalam
kisaran celah auskultasi individu, tekanan sistolik akan diremehkan. Seseorang
dapat meraba tekanan sistolik dengan mencatat tekanan di mana nadi arteri
radial pertama kali dinilai saat manset dikempiskan untuk memastikan bahwa
tekanan sistolik yang sebenarnya diperoleh.4
Ketiga, meskipun tidak terkait langsung dengan klasifikasi hipertensi,
faktor penting lain dalam pengukuran tekanan darah adalah selalu
mendapatkan pembacaan posisi terlentang dan tegak untuk menentukan
apakah ada bukti penurunan tekanan darah ortostatik atau postural. Definisi
hipotensi postural yang umum digunakan adalah penurunan tekanan darah
sistolik 20 mm Hg atau lebih dari posisi terlentang ke posisi tegak dalam
beberapa menit pertama berdiri. Peningkatan tekanan darah sistolik terlentang
adalah salah satu prediktor terkuat dari hipotensi postural. Kehadiran hipotensi
postural merupakan faktor risiko penting untuk jatuh dan dapat diperburuk
oleh hampir semua obat antihipertensi.4
Keempat, beberapa orang mungkin memiliki pembacaan tekanan darah
di kantor yang secara nyata meningkat dibandingkan dengan pembacaan yang
dilakukan sendiri di rumah, yang biasa disebut sebagai hipertensi jas putih.
Untuk orang-orang ini, ada baiknya mempertimbangkan evaluasi lebih lanjut
dengan bacaan rumah yang dibawa dengan hati-hati menggunakan instrumen

16
yang dikalibrasi dengan tepat atau mendapatkan pemantauan rawat jalan 24
jam.4

b. Evaluasi
Mirip dengan pasien yang lebih muda, lebih dari 90% pasien hipertensi
yang lebih tua mengalami hipertensi esensial. Evaluasi diagnostik untuk
penyebab hipertensi sekunder dan yang berpotensi reversibel harus
diselesaikan mengikuti pedoman standar yang telah dikembangkan untuk
pasien yang lebih muda. Ada beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian
khusus pada populasi pasien lansia. Pertama, karena mayoritas hipertensi pada
populasi ini adalah hipertensi sistolik, pasien lansia yang mengalami hipertensi
diastolik perlu evaluasi yang cermat dengan fokus pada penyebab renovasi.
Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang datang dengan onset hipertensi
diastolik yang relatif mendadak. Kedua, pasien yang lebih tua cenderung
menerima sejumlah obat, beberapa di antaranya dapat berkontribusi pada
peningkatan tekanan darah. Tinjauan pengobatan lengkap diperlukan untuk
mencari obat yang mungkin terkait, misalnya, kortikosteroid dan obat
antiinflamasi nonsteroid termasuk penghambat COX-2. Ketiga, prevalensi
sleep apnea pada pasien lansia dengan hipertensi tinggi dan mungkin
merupakan penjelasan patofisiologis penting untuk peningkatan tekanan darah
mereka. Keempat, meskipun kejadian pheochromocytoma jarang terjadi, ada
saran dari studi otopsi bahwa kejadian kondisi ini meningkat dengan
bertambahnya usia.4

c. Kerusakan Organ Sasaran dan Penilaian Faktor Risiko


Evaluasi juga harus mencakup penentuan kerusakan organ target,
penilaian faktor risiko kardiovaskular, dan identifikasi kondisi komorbiditas
yang dapat memengaruhi pemilihan obat antihipertensi. Menentukan tingkat
kerusakan organ target terkait hipertensi mungkin dipersulit oleh efek perancu
dari perubahan terkait usia atau penyakit yang bersamaan. Penting untuk
menilai apakah pasien memiliki bukti gangguan ginjal, proteinuria, retinopati
hipertensi, kelainan elektrokardiografik, atau hipertrofi ventrikel kiri.
Penilaian risiko kardiovaskular secara keseluruhan — riwayat merokok,
asupan alkohol, asupan garam dan lemak, dan tingkat aktivitas fisik — juga

17
harus diselesaikan. Pasien yang lebih tua dengan hipertensi cenderung
memiliki kondisi lain yang termasuk di antara sekelompok kelainan yang
digambarkan secara kolektif sebagai sindrom metabolik.Penting untuk
mempertimbangkan koeksistensi dari obesitas abdominal; resistensi insulin,
gangguan toleransi glukosa, atau diabetes tipe 2; dan hiperlipidemia dan
memasukkan skrining untuk kondisi ini ke dalam evaluasi diagnostik. Adanya
kondisi komorbid lain (misalnya, demensia, penyakit ginjal kronis, penyakit
paru obstruktif kronik, dan penyakit penyerta seperti kelemahan) dapat
memengaruhi pemilihan obat antihipertensi serta sasaran target tekanan darah
individu.4

4. Pertimbangan Gigi
Meskipun tidak ada hubungan yang ditunjukkan antara perawatan gigi dan
komplikasi hipertensi, penting bagi penyedia perawatan kesehatan mulut untuk
memahami potensi risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi saat orang-orang ini
menerima perawatan di tempat praktik gigi. Misalnya seperti:11
● Obat beta-blockers: menyebabkan mulut kering, perubahan rasa dan reaksi
lichenoid.
● ACE inhibitors: batuk kering, kehilangan rasa, mulut kering, ulserasi,
angiodema.
● Anguotensin II receptor blockers: mulut kering, angiodema, sinusitis,
hilangnya rasa.
● Calcium channel blockers: pelebaran gingiva, mulut kering, rasa yang
berubah.
● Alpha-blockers: mulut kering.
● Alpha-2 agonists, central-acting: mulut kering, perubahan warna, sakit pada
parotid.
● Diuretic: mulut kering, reaksi lichenoid, hipotensi orthostatik.
● Vasodilator: kemerahan pada wajah, kemungkinan peningkatan risiko
perdarahan gingiva, dan infeksi.
● Resin inhibitor: angiodema, batuk, tinnitus, parosmia.
● Peripheral dopamine-I receptor agonist: leukositosis, pendarahan.
● Peripheral adrenergic inhibitor: mulut kering, bengkak, mimisan. 11

18
2.5 Chronic Obstructive Pulmonary Disease
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) adalah penyakit pernapasan kompleks yang melibatkan obstruksi jalan
napas progresif dan sebagian ireversibel serta inflamasi paru sistemik dan paru derajat
rendah yang persisten karena adanya suatu penyumbatan menetap pada saluran
pernapasan yang disebabkan oleh emfisema dan bronkitis kronis. Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan salah satu penyakit yang memilki beban kesehatan
tertinggi.World Health Organization (WHO) dalam Global Status of Non-communicable
Diseases tahun 2010 mengkategorikan PPOK ke dalam empat besar penyakit tidak
menular yang memiliki angka kematian yang tinggi setelah penyakit kardiovaskular,
keganasan, dan diabetes. 12
Penyakit paru obstruksi kronik dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan gaya
hidup yang sebagian besar bisa dicegah. Merokok diperkirakan menjadi penyebab
timbulnya 80-90% kasus pada laki-laki dengan usia antara 30 sampai 40 tahun paling
banyak menderita PPOK.13
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.Karena PPOK adalah penyakit
kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan
aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang
masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat penyakit adalah
inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma. 14
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam
mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit. 14

2.6 Diabetes Melitus


Diabetes mellitus adalah sekelompok gangguan metabolisme yang disebabkan oleh
kerusakan sekresi insulin atau sensitivitas jaringan, yang mengakibatkan hiperglikemia.
Hampir 20 persen orang dewasa di atas usia 65 tahun mengidap diabetes, oleh karena itu
dokter gigi akan merawat lebih banyak pasien ini seiring bertambahnya usia populasi.
Pasien dengan hiperglikemia persisten mungkin tidak menyadari kondisi mereka,
mengakibatkan diagnosis tertunda dan kemungkinan lebih besar untuk penyakit organ
akhir.5

19
Perhatian utama dalam manajemen gigi adalah mencegah hipoglikemia dan
kemungkinan respon yang buruk terhadap infeksi gigi dan periodontal pada penderita
diabetes yang tidak terkontrol dengan baik. Meskipun secara umum dirasakan bahwa
semua penderita diabetes memiliki peningkatan risiko infeksi mulut dan gangguan
penyembuhan luka, hal ini tidak selalu terjadi kecuali untuk penderita diabetes yang
bergantung pada insulin dan tidak terkontrol dengan baik. Untuk penderita diabetes yang
terkontrol dengan baik, janji pagi adalah yang terbaik, karena kadar gula darah umumnya
lebih tinggi saat ini. Janji temu sebaiknya tidak dijadwalkan segera setelah penggunaan
insulin, mengingat peningkatan risiko hipoglikemia. Pastikan bahwa pasien telah
menerima dosis insulin normalnya jika dapat makan setelah prosedur, jika tidak, dosis
insulin mungkin perlu dikurangi. Juga pastikan bahwa pasien telah makan sarapan
normal, ditambah dengan jeruk atau jus yang mengandung gula lainnya dan memiliki
glukosa yang tersedia selama perawatan gigi.5

1. Tipe Diabetes Melitus


a. Tipe I
Ini adalah akibat kerusakan autoimun dari sel β di pulau Langerhans di
pankreas. Akibatnya kemampuan individu untuk memproduksi insulin
terganggu tetapi respon seluler mereka terhadap insulin tetap dalam batas
normal. Penyakit ini paling sering muncul sebelum usia 40 tahun dan
ditangani dengan kombinasi insulin yang disuntikkan dan diet. 5
b. Tipe II
Ini adalah akibat dari penurunan produksi insulin dari pankreas atau
peningkatan resistensi terhadap efek insulin pada metabolisme sel. Resistensi
insulin meningkat dengan bertambahnya usia karena alasan yang tidak
diketahui saat ini. Resistensi insulin juga merupakan ciri sindrom metabolik
yang diyakini sebagai keadaan pra-diabetes, dan meningkat pada orang-orang
yang mengalami obesitas, terutama mereka yang mengalami obesitas abdomen
sentral. Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) sejauh ini merupakan bentuk
penyakit yang lebih umum yang terjadi terutama pada orang yang berusia di
atas 40 tahun meskipun, dengan peningkatan obesitas pada remaja dan dewasa
muda, diabetes tipe 2 sekarang juga terlihat pada orang yang lebih muda. 5

20
c. Tipe Spesifik Lain
Klasifikasi ADA untuk diabetes mellitus mengidentifikasi sejumlah
kondisi spesifik yang mengarah pada perkembangan diabetes, yang masing-
masing relatif jarang terjadi. Satu kelompok kelainan termasuk cacat genetik
sel β pankreas. Fenotipe klinis untuk kelainan genetik ini adalah diabetes
awitan kematangan pada masa muda. Kelainan genetik ini memiliki pewarisan
dominan autosom dengan presentasi pertama hiperglikemia asimtomatik di
awal kehidupan. Gangguan metabolisme pada beberapa individu yang terkena
mungkin ringan, sedangkan yang lain dapat mengembangkan gejala
hiperglikemia dan komplikasi jangka panjang dari diabetes mellitus serupa
dengan pasien dengan diabetes tipe 2 yang khas. Jenis cacat genetik lain telah
diidentifikasi dalam beberapa keluarga di mana pemrosesan insulin sebelum
sekresi terganggu, yang dapat mempengaruhi perkembangan hiperglikemia. 4
Keluarga lain memiliki cacat genetik yang mempengaruhi kerja insulin
juga ikut berperan. Terjadi resistensi insulin yang parah, dan jika tidak
diimbangi dengan peningkatan sekresi insulin, terjadi hiperglikemia. Penyakit
pankreas eksokrin dapat menyebabkan kerusakan sel β pankreas, sekresi
insulin berkurang, dan hiperglikemia. Hiperglikemia juga dapat terjadi pada
pasien dengan sekresi hormon yang berlebihan yang mempengaruhi
metabolisme karbohidrat, seperti pada akromegali, sindrom Cushing,
glukagonoma, dan pheochromocytoma. Demikian pula, tumor yang membuat
aldosteron dapat menyebabkan hiperglikemia sebagai akibat dari
penghambatan sekresi insulin yang diinduksi oleh hipokalemia.4

2. Patofisiologis
Pasien dengan diabetes tipe 1 memiliki penanda kerusakan kekebalan sel β
pankreas seperti antibodi sel pulau, antibodi terhadap insulin, atau antibodi spesifik
sel β pankreas lainnya. Ada juga asosiasi antigen leukosit manusia yang kuat.
Diabetes tipe 2 sejauh ini merupakan bentuk paling umum pada orang dewasa yang
lebih tua. Destruksi autoimun sel β pankreas jarang diamati. Investigasi patologis
yang terbatas menunjukkan bahwa total massa sel β mungkin sedikit berkurang, tetapi
kehilangan massa sel β yang parah jarang terjadi. Patofisiologi diabetes tipe 2 tidak
diketahui, tetapi tampaknya terjadi sebagai akibat dari interaksi yang kompleks antara
pengaruh genetik, gaya hidup, dan penuaan.4

21
3. Manajemen
a. Pendekatan General
Setiap keputusan tentang tingkat intensitas untuk program pengobatan
harus mempertimbangkan kondisi yang ada bersama dan keseluruhan
kompleksitas dari rejimen medis pasien. Misalnya, adanya komplikasi diabetes
lanjut pada pasien yang lebih tua dapat memberikan alasan untuk tujuan yang
tidak terlalu ketat untuk hiperglikemia atau dislipidemia. Gangguan kejiwaan
atau kognitif yang signifikan juga dapat menghalangi program manajemen
intensif. Informasi tentang status kognitif, sosial ekonomi, dan situasi
kehidupan pasien diabetes juga dapat membantu memandu rencana perawatan
untuk lansia. Keterbatasan dalam kognisi dan dukungan ekonomi dapat
mempengaruhi kemampuan pasien untuk mematuhi rejimen medis. Penyedia
layanan kesehatan mungkin perlu menyederhanakan rejimen diabetes atau
melonggarkan target glikemik dan / atau tekanan darah untuk meminimalkan
risiko hipoglikemia dan / atau hipotensi. Penyedia kesehatan mungkin perlu
meminta pengasuh pasien untuk lebih terlibat dalam perawatan pasien. 4

b. Edukasi Diabetes
Pasien dan pengasuh perlu dididik dengan baik tentang diabetes,
komplikasi yang terkait, cara mengubah gaya hidup untuk meningkatkan
manajemen diabetes, cara memantau dan mengancam komplikasi yang terkait
dengan diabetes, serta risiko dan manfaat dari berbagai obat yang diresepkan.
Orang dengan diabetes harus menerima pendidikan swa-manajemen diabetes
ketika diabetes didiagnosis dan sesuai kebutuhan setelahnya. Pendidikan
manajemen diri diabetes adalah proses berkelanjutan untuk memfasilitasi
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang diperlukan untuk perawatan
diri diabetes. Proses ini berbasis bukti, dan dapat disesuaikan untuk setiap
pasien, menggabungkan kebutuhan, tujuan, dan pengalaman hidup individu. 4

22
c. Hiperglikemia
Komponen penting dari manajemen hiperglikemia termasuk swa-
monitor glukosa darah pasien dan pengenalan serta pengobatan hipoglikemia
sendiri. Kemampuan untuk melakukan tugas-tugas ini sangat penting bagi
individu yang dirawat dengan insulin atau obat sulfonylurea. Sindrom dan
komorbiditas geriatri yang ada secara bersamaan dapat menimbulkan kesulitan
bagi orang dewasa yang lebih tua untuk menangani tugas-tugas ini. Misalnya,
individu dengan artritis tangan mungkin mengalami kesulitan mengoperasikan
alat swa-monitor glukosa darah, individu dengan gangguan penglihatan
mungkin mengalami kesulitan membaca hasil, atau individu dengan gangguan
kognitif mungkin mengalami kesulitan dalam bereaksi secara tepat untuk
mengobati hipoglikemia.4

d. Olahraga
Program latihan merupakan bagian penting dari manajemen diabetes,
terutama untuk pasien yang lebih tua. Program olahraga dapat bermanfaat
dengan membantu mengontrol hiperglikemia, meningkatkan fungsi fisik,
mengurangi faktor risiko kardiovaskular, berkontribusi pada penurunan berat
badan, dan meningkatkan kesejahteraan. ADA merekomendasikan bahwa
semua orang dewasa dengan diabetes harus melakukan aktivitas fisik aerobik
intensitas sedang setidaknya 150 menit / minggu, yang dilakukan setidaknya
selama 3 hari / minggu dengan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut tanpa
olahraga. Sebagai bagian dari rutinitas olahraga, latihan ketahanan harus
dilakukan setidaknya dua kali seminggu.4

e. Diet
Rata-rata diet orang Amerika mencakup sekitar 45% kalori sebagai
karbohidrat, 40% sebagai lemak, dan 15% sebagai protein. Ada penelitian
terbatas mengenai jumlah lemak ideal untuk penderita diabetes. Penderita
diabetes harus mengikuti pedoman masyarakat umum tentang asupan lemak
jenuh, kolesterol makanan, dan lemak trans yang direkomendasikan.
Dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung asam
lemak omega-3 rantai panjang, seperti ikan berlemak, dan asam linolenat
omega-3.4

23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum
diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai
keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik,
polisiklik dan progresif.
Osteoporosis adalah "penyakit yang ditandai dengan massa tulang yang rendah dan
kerusakan mikroarsitektur jaringan tulang yang menyebabkan peningkatan kerapuhan tulang
dan peningkatan insiden patah tulang."
Pasien dapat terlihat sehat tetapi memiliki kondisi kardiovaskular yang
membahayakan yang perlu dipertimbangkan sebelum prosedur gigi invasif atau stres. Setelah
riwayat medis diambil, pertanyaan spesifik mungkin perlu diajukan ke dokter perawatan
primer atau ahli jantung pasien untuk detailnya.
Orang tua dengan hipertensi lebih rentan terhadap gejala iskemik serebral bahkan
dengan hipotensi postural sedang dan jangka pendek, karena ambang batas untuk autoregulasi
serebral diubah oleh peningkatan tekanan darah yang berkepanjangan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) adalah penyakit pernapasan kompleks yang melibatkan obstruksi jalan
napas progresif dan sebagian ireversibel serta inflamasi paru sistemik dan paru derajat rendah
yang persisten karena adanya suatu penyumbatan menetap pada saluran pernapasan yang
disebabkan oleh emfisema dan bronkitis kronis.
Diabetes mellitus adalah sekelompok gangguan metabolisme yang disebabkan oleh
kerusakan sekresi insulin atau sensitivitas jaringan, yang mengakibatkan hiperglikemia.
Hampir 20 persen orang dewasa di atas usia 65 tahun mengidap diabetes, oleh karena itu
dokter gigi akan merawat lebih banyak pasien ini seiring bertambahnya usia populasi.

3.2 Saran
Makalah ini telah kami selesaikan dengan semaksimal mungkin. Kami ucapkan
terima kasih atas bantuan yang telah diberikan oleh dosen, orangtua dan juga teman-teman.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Untuk itu, kami meminta kritik
dan saran dari para pembaca agar makalah ini dapat disempurnakan dan juga dapat kami
jadikan pedoman untuk menulis makalah selanjutnya

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Rona Permata Sari, Priyawan Rachmadi, Deby Kania Tri Putri. Tingkat Kebutuhan
Perawatan Periodontal pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera
Banjarbaru. Dentino Jurnal Kedokteran Gigi. 2014;2(2).
2. Desi Sandra Sari, Yuliana Mahdiyah Daat Arina, Tantin Ermawati. Hubungan
Pengetahuan Kesehatan Gigi Mulut dengan Status Kebersihan Rongga Mulut pada
Lansia. Jurnal IKESMA. 2015;11(1).
3. Masyeni KAM. Rheumatoid Arthritis. Bali: Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana;
2018: 3-16.
4. Halter JB, Ouslander JG, Studenski S, High KP, Ritchie SACS, Supiano MA.
Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology. 7th ed. New York: McGraw-Hill
Education Medical; 2017.
5. Holm-Pedersen P, Walls AWG, Ship JA. Textbook of Geriatric Dentistry. 3rd ed. UK:
John Wiley & Sons Ltd; 2015: 18,99. 89-90
6. Ratih Larasati. Hubungan Kebersihan Mulut dengan Penyakit Sistemik dan Usia
Harapan Hidup. Jurnal Skala Husada. 2012;9(1).
7. Kucharska E. Osteoporosis: a Social Problem in the Elderly Population. Krakow:
Jesuit University Ignatianum Faculty of Education Department of Gerontology,
Geriatrics and Social Work. 2017.
8. Marya CM, Dhingra C. Effect of Osteoporosis on Oral Health. Archives of Medicine.
2015;8(2).
9. Ohtsuki H, Kawakami M, Kawakami T, Takahashi K, Kirita T, Komasa Y. Risk of
Osteoporosis in Elderly Individuals Attending a Dental Clinic. International Dental
Journal. 2017;67.
10. Lionakis N, Mendrinos D, Sanidas E, Favatas G, Georgopoulou M. Hypertension in
the Elderly. World J Cardio. 2012;4(5).)
11. (Southerland JH, Gill DG, Gangula PR, Halpern LR, Cardona CY, Mouton CP.
Dental Management in Patients with Hypertension: Challengers and Solutions.
Clinical, Cosmetic, and Investigational Dentistry. 2016;8.
12. Van der Molen T. Frequency, relation to COPD, and treatment consequences. Prim
Care Resp J. 2010

25
13. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Executive summary
global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease. Shanghai: Asian Pacific Society of Respirology. 2011.
14. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit
Paru Obstruktif Kronik di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
2011.

26

Anda mungkin juga menyukai