Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SUB SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

DAN PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

YANG BERKAITAN DENGAN USPN

A. PEMBAHASAN

Secara historis diketahui, sejak pemerintah kolonial belanda memperkenalkan sistem


pendidikannya yang bersifat, keadaan pendidikan di Indonesia berjalan secara dualistis. Di
mana pendidikan kolonial yang tidak memperhatikan nilai – nilai agama dengan pola
beratnya berjalan sendiri, sementara pendidikan Islam yang diwakili pesantren dengan tidak
memperhatikan pengetahuan umum juga berjalan sendiri. Hal ini berjalan sampai indonesia
memproklamirkan kemerdekaanya, meskipun pada permulaan abad ke-20 sudah
diperkenalkan sistem pendidikan madrasah berusaha memadukan kedua sistem tersebut
diatas terutama memasukkan pengetahuan – pengetahuan umum kelembaga-lembaga
pendidikan Islam dan memakai sistem klasikal. Tetapi ternyata suasana ketradisionalannya
masih terlihat sekali.

Keadaan yang demikian, kenyataannya sangat merugikan bagi bangsa Indonesia,


utamanya umat Islam. Dimana biasanya lembaga pendidikan pesantren melahirkan oup put
yang punya pengetahuan agama sangat mendalam tapi miskin sekali pengetahuan umumnya,
sehingga tidak jarang mereka buta huruf latin. Sebaliknya sekolah – sekolah modren belanda
melahirkan out put yang berpengetahuan yang luas, namun miskin nakan nilai-nilai dan dan
pengetahuan agama. Kenyataan ini lebih diperparah lagi dengan sikap para ulama kita yang
sangat kooperatif terhadap apa yang berbau klonial, sehingga sampai menyatakan bahwa apa
yang datang atau produk dari klonial tersebut adalah kafir.

Oleh sebab itu umat islam sangat tercecer terutama dibidang pendidikan, dan
kerugiannya nanti lebih dirasakan setelah Indonesia merdeka. Orang yang duduk
ditampuk pemerintahan bukanlah mereka-mereka yang lulusan lembaga pendidikan
islam, tapi justru orang-orang non islam atau minimal orang islam yang berpendidikan
skuler. Padahal dalam perjuangan merebut kemerdekaan merekalah yang paling gigh
dan berada dibarisan terdepan. Bahkan dalam sejarah disebut bahwa pesantren
merupakan basis perjuangan menentang penjajah. Jadi pemerintah dan bangsa
Indonseia pada masa awal kemerdekaan masih mewarisi sistem pendidikan yang
bersifat dualistis tersebut yaitu :

1) Sistem pendidikan dan pengajaran modren yang bercorak skuler atau sistem
pendidikan dan pada sekolah – sekolah umum yang merupakan warisan dari
pemerintahan klonial belanda.

2) Sistem pendidikan islam, yang tumbuh dan berkembang dikalangan umat islam
sendiri, yaitu sistem pendidikan dan pengajaran yang berlangsung disurau atau
langgar, masjid, pesntren dan madrasah, yang bersifat tradisional yang bercorak
keagamaan semata-mata.

Bangsa Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama islam, telah bersepakat


dan bertekat untuk membentuk satu negara kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan pancasila dan UUD 1945, dan bukan berdasarkan Islam. Namun pancasila
dan UUD 1945 menjamin kemerdekaan bagi umat Islam untuk melaksanakan dan
mengembangkan pendidikan islam. Dalam pasal 31 ayat 2 UUD 1945 disebutkan bahwa
: “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional,
yang diatur dengan undang-undang”. Menurut para penyusunnya yang dimaksud
dengan “satu sistem pengajaran nasional” adalah suatu sistem pendidikan dan
pengajaran yang bisa memelihara pendidikan kecerdasan akal budi secara merata
kepada seluruh rakyat, yang bersendi agama dan kebudayaan bangsa, untuk
mewujudkan keselamatan dan kebahagian masyarakat bangsa Indonesia seluruhnya.
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, sebagai realisasi keinginan UUD 1945 tersebut,
lahirlah UU Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasional.

UU Nomor 2 tahun 1989, adalah undang-undang yang mengatur penyelenggaraan


satu sistem pendidikan nasional sebagaimana dikehendaki oleh UUD 1945. Dengan
melalui proses penyusunannya yang memakan waktu cukup panjang, tampaknya
undang-undang tersebut merupakan hasil maksimal yang bisa dicapai untuk
menjadikan agama dan kebudayaan bangsa sebagai sendi dari sistem pendidikan
nasional. Disamping itu, undang-undang tersebut juga merupakan puncak dari usaha
mengintegrasikan pendidikan agama islam kedalam sistem pendidikan nasional,
sebagai usaha untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan yang ada pada masa
itu. Dengan demikian pada dasarnya undang-undang nomor 2 tahun 1989 merupakan
wadah formal terintegrasinya pendidikan islam dalam sistem pendidikan nasional, dan
dengan wadah itu, pendidikan islam mendapatkan peluang serta kesempatan untuk
terus berkembang, tanpa khawatirnya adanya pihak-pihak yang berusaha mengahalang-
halanginya.

Oleh sebab itu, kenyataan ini merupakan sebuah tantangan yang menuntut untuk
lebih berkiprahnya pendidikan islam, terutama dalam upaya peningkatan dan
pengembangan kualitas sumber daya manusia yang sekarang sedang gencar-gencarnya
dikumandangkan. Adapun peluang dan kesempatan untuk berkembangnya pendidikan
islam secara integrasi dalam sitem pendidikan nasional tersebut, dapat dilihat pada
beberapa pasal dari UU Nomor 2 tahun 1989, seperti berikut ini :

1. Pasal 1 ayat (2), dinyatakan bahwa : pendidikan nasional adalah pendidikan


yang berakar pada kebudayaan Indonesia dan yang berdasarkan pada
pancasila dan UUD 1945.

2. Dalam pasal 4 dinyatakan bahwa : pendidikan nasional bertujuan


mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta
rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

3. Selanjutnya dalam pasal 10 ayat (4) menyatakan bahwa : pendidikan keluarga


merupanakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan
dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai moral dan
keterampilan.

4. Dalam pasal 11 ayat (1), yang mengatur jenis-jenis pendidikan yang termasuk
jalur pendidikan sekolah terdiri dari: pendidikan umum, pendidikan kejuruan,
pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan,
pendidikan akademik dan pendidikan profesional.

5. Pada pasal 39 ayat (2) dinyatakan bahwa isi kurikulum setiap jenis dan jalur
serta jenjang pendidikan wajib memuat :

a. Pendidikan pancasila

b. Pendidikan agama
c. Pendidikan kewarganegaraan.

6. Pada pasal 47 ayat (2), menyatakan bahwa : ciri khas satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan.

7. Sementara dalam USPN 2003 pada pasal 1 ayat (5) USPN 2003, bahwa :
pendidikan Nasional adalah pendidikan pendidikan berdasarkan pancasila
dan UUD 1945 dan perubahan bersumber pada ajaran agama,
keanekaragaman budaya Indonesia, serta tanggap terhadap perubahan
zaman, “pasal 4 USPN 2003 yaitu :”pendidikan nasional bertujuan
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi mulia,
sehat, berilmu, kompeten, terampil, terampil, kretif, mandiri, dan memiliki
rasa kemasyarakatan dan kebangsaan”.

Mencermati pasal 1 ayat (5) dan pasal 4 USPN 2003 tersebut, terlihat bagaimana
pendidikan agama islam berada pada posisi strategis, dibanding materi pendidikan
lainnya. Orientasi pelaksanaannya bukan hanya pada pengembangan IQ akan tetapi EQ
dan SQ secara harmonis hal ini terlihat dari amanat pasal 13 ayat (1) huruf a USPN
2003, yaitu setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik
yang seagama. Dengan mengacu pasal ini, pesan edukasi yang diharapkan agar
pendidikan melahirkan out put yang beriman-bertakwa (sesuai dengan ajaran agama
yang diyakini), berakhlak mulia serta memiliki kualitas yang tinggi.

B. Fungsi Pendidikan Agama Dalam Sistem Pendidikan Nasional

Secara eksplisit fungsi pendidikan agama telah dituangkan dalam penjelasan


pasal 39 ayat (2) UU Nomor 2 tahun 1989, yang menyebutkan “pendidikan merupakan
usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan agama yang dianut peserta didiknya yang bersangkutan, yang memperhatikan
tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat
beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.
Dari rumusan tersebut, tampaknya terdapat konsistensi dan keterkaitan
langsung antara rumusan fungsi pendidikan agama dengan tujuan pendidikan nasional
yang tertuang pada pasal 4 UU Nomor 2 tahun 1989 yaitu : “mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam upaya membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa, maka
pendidikan agama memiliki peranan yang sangat penting. Untuk itulah maka
pendidikan agama wajib diberikan pada semua satuan, jenjang dan jenis pendidikan,
baik melalui jalur sekolah maupun jalurluar sekolah.

Pada pendidikan agama sebagai institusi yang selama ini dikenal dengan nama
madrasah serta pondok pesantren telah berakar, tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Tercatat dalam
sejarah Pendidikan Nasional, satuan pendidikan tersebut, telah ada sejak permulaan
agama islam masuk ke Indonesia, atau paling lambat sudah dimulai pada abad ke 11.

Sekedar gambaran tentang peranan madrasah dan pondok pesantren, paling


tidak seperti dibawah ini :

1. Madrasah dan pondok pesantren telah menunjukkan kemampuannya untuk


tumbuh dan berkembang dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, serta
kemampuannya untuk memasuki pelosok daerah terpencil disamping
kemampuannya untuk tetap tumbuh dan berkembang di daerah perkotaan yang
modern dan sangat maju.

2. Madrasah dan pondok pesantren sebagaian besar adalah perguruan swasta yang
berkemampuan tinggi untuk berswakarsa dan berswakarsanya dalam
menyelenggarakan pendidikan. Dengan perkataan lain, madrasah dan pondok
pesantren telah menunjukkan kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang
diatas kemampuan dan kekuatan sendiri, dengan memobilisasi sumber daya
yang tersedia dimasyarakat pendukungnya.

3. madrasah dan pondok pesantren yang memiliki ciri khas sebagai pusat
pendidikan, pengembangan dari penyebaran agama islam, diharapkan dan telah
membuktikan diri dapat menghasilkan keluaran atau out put yang berkualitas
dan potensial untuk menjadi pendidik, khususnya di bidang pendidikan agama
islam.

4. madrasah dan pondok pesantren memiliki potensi yang cukup besar untuk
bersama-sama satuan pendidikan didalam sistem pendidikan nasional untuk
menuntaskan wajib belajar tingkat SLTP dan pelaksana pendidikan dasar 9
tahun. Dan atas dasar inilah madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah
merupakan lembaga pendidikan dasar.

Adapun madrasah umumnya didirikan atas insiatif masyarakat islam yang tujuan
utamanya adalah untuk mendidik para peserta didik memahami dan mengamalkan
ajaran-ajaran islam dengan baik. Dengan dikeluarkannya PP Nomor 28 tahun 1990
dimana pada pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa SD dan SLTP yang berciri khas agama
islam yang dikelola oleh departemen agama disebut Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah
Tsanawiyah. Dengan kenyataan ini, tugas dan fungsi MI dan MTs menjadi ganda yaitu :

1. Sebagai sekolah pendidikan Islam.

2. Sebagai sekolah pendidikan dasar.

Karenanya, keberadaannya fungsi Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah


Tsanawiyah makin kuat dan penting.

Dengan keadaan yang demikian, orang yang tidak bisa lagi menomorduakan
lembaga-lembaga pendidikan agama, terlebih-lebih bila lembaga pendidikan agama
terutama madrasah mampu memacu diri dengan berupaya maksimal meningkatkan
kualitas dalam berbagai aspeknya, tidak mustahil madrasah nantinya akan menjadi
alternatif pertama, pilihan masyarakat untuk memasukkan anak-anaknya. Sebab
bagaimanapun disaat globalisasi melanda dunia seperti sekarang ini, nilai-nilai etik dan
moral sudah mulai luntur dan bergeser. Dalam konteks ini madrasah sangat strategis
untuk membendung arus demoralisasi yang sangat merugikan tersebut.

C. Undang – Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003

Undang – undang sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 yang terdiri atas 22 bab dan
77 pasal merupakan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998.
Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam undang – undang sisdiknas tersebut,
antara lain demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran masyarakat, tantangan
globalisasi, kesertaraan dan keseimbangan jalur pendidikan dan peserta didik.

Selain itu pemerintah pusat atau pemerintah daerah memiliki kewenangan


mengeluarkan dan mencabut izin bagi semua satuan pendidikan formal maupun non
formal (pasal 62 ayat 1) sesuai dengan lingkup tugas masing-masing. Dengan adanya
desentralisasi perizinan akan semakin mendekatkan pelayanan kepada rakyat,sesuai
dengan tujuan otonomi pemerintahan daerah.

D. PENDIDKAN AGAMA ISLAM SEBAGAI ORIENTASI

Realita perubahan sosial kultural tang melanda seluruh bangsa di dunia ini
termasuk bangsa indonesia, menuntut kepada adanya konsepsi yang baru tanggapdan
sanggup dan mampu memecahkan semua masalah kehidupan umat manusiamelalui
pusat-pusat gerakan yang strategis dalam masyarakat. Salah satu pusat strategis adalah
gerakan kependidikan yang mempunyai landasan yang ideal dan operasional
berdasarkan nilai-nilai yang pastidan antisipatif kepada kemajuan kehidupan di masa
akan mendatang.

Pendidikan agama islam yang bertugas menggali pokok, menganalisis dan


mengembangkan da mengamalkan ajaran agama islam yang bersumberkan al qur’an
dan hadist. Cukup memperoleh bimbingan dan arahan. Dari kandungan dan makna yang
terungkap dari kedua sumbeer tuntunan tersebut. Makna yang komprehenshif dari
sumber tersebut menjangkaudan melingkupi segala aspeksegala aspek kehidupan
manusia modren. Darisejak manusia baru mampu memahami dan menghayati makna
kehidupan premordial yang mistis dan panpleksisdimana alam sekitar dan segala
bentuk kekuatannya menjadi apa yang disebut oleh Rudolf Otto sebagai mysterium
tremendum dan mysterium fascinas (sesuatu kekuatan yang menakutkan dan yang
menarik hati) sampai dengan kemampuannya yang mampu menyadarkan manusia akan
funsinya sebagai khalifah.
E. KESIMPULAN

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional, oleh banyak kalangan dianggap sebagai titik awal kebangkitan
pendidikan nasional, termasuk pendidikan Islam di dalamnya, karena secara eksplisit
UU tersebut menyebut peran dan kedudukan pendidikan agama Islam, baik sebagai
proses maupun sebagai lembaga.

Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis


yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter (khas) Islami. Sistem
pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan
yang unggul, hal yang harus menjadi perhatian, yaitu: sinergi antara sekolah,
masyarakat, dan keluarga, serta kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari
tingkat TK hingga Perguruan Tinggi dan berorientasi pada pembentukan tsaqâ fah Islam.

Sistem pendidikan Islam juga sekaligus merupakan sub sistem yang tak terlepas
dari pengaruh sub sistem yang lain dalam penyelenggaraannya. Sistem ekonomi, politik,
sosial-budaya, dan idoelogi akan sangat menentukan keberhasilan penyelenggaran
sistem pendidikan yang berbasiskan aqidah dan syari’ah islam. Dengan demikian maka
pengaruh berbagai sistem lainnya terhadap keberhasilan penyelenggaran sistem
pendidikan islam memiliki keterkaitan yang erat. Sedangkan Boundary (sistem yang
menaungi semua sistem) terhadap berbagai sistem tersebut adalah sistem
pemerintahan/ negara. Oleh karenanya perjuangan terhadap terlaksananya sistem
pendidikan yang berbasis syari’ah juga tidak terlepas dari perjuangan terhadap
wajibnya menegakan kembali institusi Daulah Khilafah Islamiyah sebagai institusi yang
akan menjamin penerapan hukum-hukum islam dalam semua aspek secara kaffah.
Meski disadari betapa pentingnya posisi pendidikan Islam dalam konteks pendidikan
nasional. Namun, harus pula diakui hingga saat ini posisi pendidikan Islam belum
beranjak dari sekadar sebuah subsistem dari sistem besar pendidikan nasional Saran
Paparan di atas, tidak bermaksud untuk memposisikan Depag sebagai penentu
kebijakan pendidikan Islam untuk sertamerta pergi menyerahkan tanggungjawab
pendidikan lembaga Islam pada Depdiknas, walau hal ini sebagai sebuah solusi terbaik.
Namun, setidaknya untuk masa datang kebijakan yang muncul dari Depag terkait
dengan pendidikan Islam, bukanlah kebijakan yang kemudian setelah lahirnya kebijakan
yang sama di Depdiknas.
Setidaknya, jika ada kebijakan yang sama, maka kebijakan itu lahir dalam kurun
waktu yang sama, dengan formulasi dan aturan main yang juga sama, meski dikeluarkan
oleh dua instansi yang berbeda. Pada sisi tersebut, tampak perlunya dilakukan
kerjasama sinergis antara Depad dan Depdiknas untuk secara serius mengembangkan
pendidikan Islam. Sebab, apapun adanya pendidikan Islam merupakan bagian integral
dari sistem pendidikan nasional. Artinya jika saat ini masih dipahami posisi pendidikan
Islam sebagai subsistem dalam konteks pendidikan nasional sebagai sekadar berfungsi

Dengan demikian pendidikan agama islam dapat kita kembangkan menjadi suatu
agent of technologicallly and culturalally motivating resources dalam berbagai model
yang mampu mendobrakpola pikir tradisional yang pada dasarnya dogmatis, kurang
kurang dinamis dan berkembang secara bebas.

DAFTAR BACAAN

1. Hasbullah,”Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan” Jakarta, PT Raja Grapindo Persada, 2003

2. M. Arifin , prof..M.Ed, “Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum”,Jakarta, Bumi Aksara, 2000

3. Hasan Basri, Drs.M.Ag, “Kapita Selecta Pendidikan”, Bandung, CV Pustaka Setia, 2012

4. Geoggle

Anda mungkin juga menyukai