Anda di halaman 1dari 21

Human Immunodeficiency Virus (HIV)

II.1. Etiologi

Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human


Immunodeficiency Virus (HIV) ini adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan
subfamily Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan
HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang sampai
sekarang hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika. Spektrum penyakit
yang menimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi
imun (AIDS) yang tersering, dahulu dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus
type III (HTLV-III), lymphadenipathy-associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus.
5,6

Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat, terdiri dari bagian inti (core) yang
berbentuk silindris dan selubung (envelope) yang berstruktur lipid bilayer yang membungkus
bagian core, dimana didalam core ini terdapat RNA virus ini. Karena informasi genetik virus
ini berupa RNA, maka virus ini harus mentransfer informasi genetiknya yang berupa RNA
menjadi DNA sebelum diterjemahkan menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini HIV
memerlukan enzim reverse transkriptase.6

Pada selubung (envelope) terdapat glikoprotein permukaan, terdiri dari dua protein
yang mengkordinasi masuknya HIV kedalam sel. Glikoprotein yang lebih besar dinamakan
gp 120, adalah komponen yang menspesifikasi sel yang diinfeksi. gp 120 ini terutama akan
berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu reseptor yang terdapat pada permukaan sel T
helper, makrofag, monosit, sel-sel langerhans pada kulit, sel-sel glial, dan epitel usus
(terutama sel-sel kripta dan sel-sel enterokromafin). Glikoprotein yang besar ini adalah target
utama dari respon imun terhadap berbagai sel yang terinfeksi. Glikoprotein yang lebih kecil,
dinamai gp 41 atau disebut juga protein transmembran, dapat bekerja sebagai protein fusi
yaitu protein yang dapat berikatan dengan reseptor sel lain yang berdekatan sehingga sel-sel
yang berdekatan tersebut bersatu membentuk sinsitium.8

II.2. Patofisiologi

HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor
CD4. Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang mempunyai
molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar
terhadap HIV, terutama terhadap molekul gp 120 dari selubung virus. Diantara sel tubuh
yang memiliki CD4, sel limfosit T memiliki molekul CD4 yang paling banyak. Oleh karena
itu, infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada limfosit T. Setelah penempelan,
terjadi diskontinuitas dari membran sel limfosit T yang disebabkan oleh protein gp41 dari
HIV, sehingga seluruh komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T,
kecuali selubungnya.5

Setelah masuk ke dalam sel, akan dihasilkan enzim reverse transcriptase. Dengan
adanya enzim reverse transcriptase, RNA virus akan diubah menjadi suatu DNA. Karena
reverse transcriptase tidak mempunyai mekanisme proofreading (mekanisme baca ulang
DNA yang dibentuk) maka terjadi mutasi yang tinggi dalam proses penerjemahan RNA
menjadi DNA ini. Dikombinasi dengan tingkat reproduktif virus yang tinggi, mutasi ini
menyebabkan HIV cepat mengalami evolusi dan sering terjadi resistensi yang berkelanjutan
terhadap pengobatan.7

Bersamaan dengan enzim reverse trancriptase, akan dibentuk RNAse. Akibat aktivitas
enzim ini, maka RNA yang asli dihancurkan. Sedangkan seuntai DNA yang tadi telah
terbentuk akan mengalami polimerisasi menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim
polymerase. DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel
limfosit T dan menyisip ke dalam DNA sel penjamu dangan bantuan enzim integrase, dan
DNA ini disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan laten
atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung pada aktivitas dan diferensiasi
sel penjamu (T-CD4) yang diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu stimulasi yang dapat
memicu DNA ini untuk keluar dari DNA inang dan menjadi aktif, serta selanjutnya terjadi
replikasi dalam kecepatan yang tinggi. Keadaan laten ini dapat berlangsung selama 1 sampai
12 tahun dari infeksi awal HIV dan dalam keadaan ini pasien tidak mempunyai gejala
(asimptomatik). Pada stadium laten ini, HIV dan respon imun anti HIV dalam tubuh pasien
dalam keadaan steady state.2,5

Infeksi akut dengan cepat meningkatkan viral load dan menyebabkan viremia yang
ringan sampai moderat. Walaupun viral load cenderung menurun dengan cepat setelah infeksi
akut pada orang dewasa, viral load menurun lebih lambat pada anak-anak yang terinfeksi
secara vertical (2-3 bulan setelah terinfeksi, jumlah viral load dalam tubuh mereka menetap
sekitar 750.000/mL) dan dapat tidak mencapai level steady state sampai mereka berumur 4-5
tahun. Hal ini disebabkan karena imaturitas sistem imun mereka. Walaupun bayi-bayi
mempunyai sejumlah antigen presenting cell dan sel-sel efektor lebih banyak daripada orang
dewasa, produksi sitokin, proliferasi dan sitotoksisitas sel-sel tersebut pada mereka jauh lebih
berkurang karena infeksi HIV ini.4,8

Infeksi HIV pada limfosit T-CD4 diatas mengakibatkan perubahan pada fungsi dan
penghancuran sel T-CD4, hingga populasinya berkurang. Mekanisme disfungsi dan
penurunan jumlah sel limfosit T-CD4 ini diduga melalui proses pengaruh sitopatik langsung
HIV (single cell killing), pembentukkan sinsitium, respon imun spesifik, limfosit T sitolitik
yang spesifik untuk HIV, mekanisme autoimun dan anergi.

Dengan menurunnya jumlah dan fungsi sel T-CD4 yang merupakan ‘orchestrator’
dari suatu sistem imun, maka individu yang terinfeksi HIV akan lebih berisiko untuk terkena
infeksi opportunistik, infeksi sistemik berat, penyakit sistem organ yang kemudian berakhir
dengan kematian.5

II.3. Cara Penularan

Penularan HIV dapat terjadi melalui hubungan seksual, secara horizontal maupun
vertikal (dari ibu ke anak).

1. Melalui hubungan seksual

Baik secara vaginal, oral ataupun anal dengan seorang pengidap. Ini adalah cara yang
umum terjadi, meliputi 80-90% dari total kasus sedunia. Lebih mudah terjadi penularan bila
terdapat lesi penyakit kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis,
sifilis, gonore. Resiko pada seks anal lebih besar dibandingkan seks vaginal dan resiko juga
lebih besar pada yang reseptive daripada yang insertie. Diketahui juga epitel silindris pada
mukosa rektum, mukosa uretra laki-laki dan kanalis servikalis ternyata mempunyai reseptor
CD4 yang merupakan target utama HIV.9

2. Transmisi horisontal (kontak langsung dengan darah/produk darah/jarum suntik):

a. Tranfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, resikonya sekitar 0,5-1% dan telah
terdapat 5-10% dari total kasus sedunia. 9
b. Pemakaian jarum tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik pada para pecandu
narkotik suntik. Resikonya sangat tinggi sampai lebih dari 90%. Ditemukan sekitar 3-
5% dari total kasus sedunia.9
c. Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan. Resikonya sekitar
kurang dari 0,5% dan telah terdapat kurang dari 0,1% dari total kasus sedunia.9

Kurang lebih 10% penularan HIV terjadi melalui transmisi horizontal.8

3. Infeksi HIV secara vertikal terjadi pada satu dari tiga periode berikut :

1. Intra uterin : Terjadi sebelum kelahiran atau pada masa awal kehamilan sampai
trisemester kedua, yang mencakup kira-kira 30-50% dari penularan secara vertikal.
Janin dapat terinfeksi melalui transmisi virus lewat plasenta dan melewati selaput
amnion, khususnya bila selaput amnion mengalami peradangan atau infeksi.8
2. Intra partum : Transmisi vertikal paling sering terjadi selama persalinan, kurang lebih
50-60%, dan banyak faktor-faktor mempengaruhi resiko untuk terinfeksi pada periode
ini. Secara umum, semakin lama dan semakin banyak jumlah kontak neonatus dengan
darah ibu dan sekresi serviks dan vagina, maka semakin besar resiko penularan. Bayi
prematur dan BBLR mempunyai resiko terinfeksi lebih tinggi selama persalinan
karena barier kulitnya yang lebih tipis dan pertahanan imunologis pada mereka lebih
lemah.8
3. Post partum : Bayi baru lahir terpajan oleh cairan ibu yang terinfeksi dan bayi dapat
tertular melalui pemberian air susu ibu yang terinfeksi HIV kira-kira 7-22%.
Lebih dari 90% penularan HIV dari ibu ke anak terjadi selama dalam kandungan, persalinan
dan menyusui.8

II.4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis infeksi HIV sangat luas spektrumnya, karena itu ada beberapa
macam klasifikasi. Yang paling umum dipakai adalah klasifikasi yang dibuat oleh Center for
Disease Control (CDC), USA,10 sebagai berikut:

a. Stadium awal infeksi HIV


b. Stadium tanpa gejala
c. Stadium ARC (AIDS related compleks)
d. Stadium AIDS
e. Stadium gangguan susunan saraf pusat

Masa Inkubasi

Masa inkubasi adalah waktu terjadinya infeksi sampai munculnya gejala pertama pada
pasien. Pada infeksi HIV hal ini sulit diketahui. Dari penelitian pada sebagian besar kasus
dikatakan masa inkubasi rata-rata 5-10 tahun, dan bervariasi sangat lebar, yaitu antara 6 bulan
sampai lebih dari 10 tahun. rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang
dewasa walaupun belum ada gejala, tetapi yang bersangkutan telah dapat menjadi sumber
penularan.

Stadium awal infeksi

Gejala ini serupa dengan gejala infeksi virus umumnya yaitu berupa demam, sakit
kepala, sakit tenggorokan, mialgia, pembesaran kelenjar dan rasa lemah. Pada sebagian
orang, infeksi dapat berat disertai kesadaran menurun.10 Sindrom ini akan menghilang dalam
beberapa minggu. Dalam waktu 3-6 bulan kemudian tes serologi baru akan positif, karena
telah terbentuk antibodi. Masa 3-6 bulan ini disebut window periode, dimana penderita dapat
menularkan naamun secara laboratorium hasil tes HIV-nya negatif.10

Stadium tanpa gejala

Fase akut akan diikuti fase kronik asimptomatik yang lamanya bisa bertahun-tahun
(5-7 tahun). Virus yang ada didalam tubuh secara pelan-pelan terus menyerang sistem
pertahanan tubuhnya. Walaupun tidak ada gejala, kita tetap dapat mengisolasi virus dari
darah pasien dan ini berarti bahwa selama fase ini pasien juga infeksius. Tidak diketahui
secara pasti apa yang terjadi pada HIV pada fase ini. Mungkin terjadi replikasi lambat pada
sel-sel tertentu dan laten pada sel-sel lainnya. Tetapi jelas bahwa aktivitas HIV terjadi dan ini
dibuktikan dengan menurunnya fungsi sistem imun dari waktu ke waktu. Mungkin sampai
jumlah virus tertentu tubuh masih dapat mengantisipasi sistem imun. 9,10

Stadium AIDS related compleks

Stadium ARC (AIDS Related Complex) adalah bila terjadi 2 atau lebih gejala klinis
yang berlangsung lebih dari 3 bulan, antara lain :

a. Berat badan turun lebih dari 10%


b. Demam lebih dari 380C
c. Keringat malam hari tanpa sebab yang jelas
d. Diare kronis tanpa sebab yang jelas
e. Rasa lelah berkepanjangan
f. Herpes zoster dan kandidiasis mulut
g. Pembesaran kelenjar limfe, anemia, leucopenia, limfopenia, trombositopenia
h. Ditemukan antigen HIV atau antibody terhadap HIV.9,10

Stadium AIDS

Dalam stadium ini kekebalan tubuh penderita telah demikian rusaknya, sehingga pada
tahap ini penderita mudah diserang infeksi oportunistik antara lain : TBC,
kandidiasistoxoplasmosis, pneumocystis, disamping itu juga dapat terjadi sarkoma kaposi
(kanker pembuluh darah kapiler) dan limfoma. 9,10

Gejala AIDS dikatakan lengkap bila gejala ARC ditambah dengan satu atau lebih
penyakit oportunistik seperti pneumonia pneumocystis carinii, sarcoma Kaposi, infeksi
sitomegalovirus.

Orang dewasa dicurigai menderita AIDS bila dijumpai minimal 2 gejala mayor dan 1
gejala minor. 3 Gejala-gejala mayor tersebut adalah:

a. Penurunan berat badan lebih dari 10%


b. Diare kronik lebih dari 1 bulan
c. Demam lebih dari 1 bulan (terus-menerus/intermitten)

Sedangkan yang termasuk gejala-gejala minor yaitu:

a. Batuk lebih dari 1 bulan


b. Dermatitis
c. Herpes zoster rekuren
d. Kandidiasis orofaring
e. Limfadenopatia umum
f. Herpes simpleks diseminata yang kronik&progresif

Anak-anak diduga menderita AIDS bila didapati minimal 2 gejala mayor dan minor dengan
catatan tidak ada riwayat imunosupresi, misalnya kanker atau malnutrisi berat. 3
Adapun gejala mayor tersebut yaitu:

a. Penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat dan abnormal.


b. Diare kronik lebih dari 1 bulan
c. Demam lebih dari 1 bulan

Sedangkan yang termasuk gejala-gejala minor yaitu:

a. Limfadenopatia umum
b. Kandidiasis orofaring
c. Infeksi umum (otitis, faringitis)
d. Batuk persisten
e. Dermatitis umum
f. Infeksi HIV maternal

Stadium gangguan susunan saraf pusat

Virus AIDS selain menyerang sel limfosit T4 yang merupakan sumber kekebalan
tubuh, ternyata juga menyerang organ-organ tubuh lain. Organ yang paling sering adalah otak
dan susunan saraf lainnya. Selain itu akibat infeksi oportunistik juga dapat menyebabkan
gangguan susunan saraf pusat. 9,10

Kehamilan Dan Infeksi HIV

III.1. Pengaruh Kehamilan Pada Perjalanan Penyakit HIV

Kehamilan tidak secara signifikan mempengaruhi resiko kematian, progresivitas


menjadi AIDS atau progresivitas penurunan sel CD4 pada wanita yang terinfeksi HIV. 3

Pengaruh kehamilan terhadap sel CD4 pertama kali dilaporkan oleh Burns, dkk. Pada
kehamilan normal terjadi penurunan jumlah sel CD4 pada awal kehamilan untuk
mempertahankan janin. Pada wanita yang tidak menderita HIV, presentase sel CD4 akan
meningkat kembali mulai trisemester ketiga hingga 12 bulan setelah melahirkan. Sedangkan
pada wanita yang terinfeksi HIV penurunan tetap terjadi pada kehamilan dan setelah
melahirkan walaupun tidak bermakna secara statistik. Nemun penelitian dari European
Collaborative Study dan Swiss HIV Pregnancy Cohort dengan jumlah sample yang lebih
besar, menunjukkan presentase penurunan sel CD4 selama kehamilan sampai 6 bulan setelah
melahirkan tetap stabil. 1

Kehamilan ternyata hanya sedikit meningkatkan kadar virus (viral load) HIV. Kadar
virus HIV meningkat terutama setelah 2 tahun persalinan, walaupun secara statistik tidak
bermakna. 2
Kehamilan juga tidak mempercepat progresivitas penyakit menjadi AIDS. Italian
Seroconversion Study Group membandingkan wanita terinfeksi HIV dan pernah hamil
ternyata tidak menunjukkan perbedaan resiko menjadi AIDS atau penurunan CD4 menjadi
kurang dari 200. 1

III.2. Pengaruh Infeksi HIV pada Kehamilan

Penelitian di negara maju sebelum era anti retrovirus menunjukkan bahwa HIV tidak
menyebabkan peningkatan prematuritas, berat badan lahir rendah atau gangguan
pertumbuhan intra uterin. 3 Sedangkan di negara berkembang, infeksi HIV justru
meningkatkan kejadian aborsi, prematuritas, gangguan pertumbuhan intra uterin dan
kematian janin intra uterin terutama pada stadium lanjut. Selain karena kondisi fisik ibu yang
lebih buruk juga karena kemungkinan penularan perinatalnya lebih tinggi. 1

III.3. Transmisi Vertikal HIV

Tanpa intervensi, resiko penularan HIV dari ibu ke janinnya yang dilaporkan berkisar
antara 15%-45%. Resiko penularan ini lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan
dengan negara maju (21%-43% dibandingkan 14%-26%). Penularan dapat terjadi pada intra
uterin, intrapartum dan post partum. Sebagian besar penularan terjadi intra partum. Pada ibu
yang tidak menyusui, 24%-40% penularan terjadi intra uterin dan 60%-75% terjadi selama
persalinan. Sedangkan pada ibu yang menyusui bayinya, sekitar 20%-25% penularan terjadi
intra uterin, 60%-70% intra partum dan saat awal menyusui dan 10%-15% setelah persalinan.
Resiko infeksi intra uterin, intra partum dan pasca persalinan adalah 6%, 18% dan 4% dari
keseluruhan kelahian ibu dengan HIV positif. 1,2

1) Transmisi Intra Uterin

Kejadian transmisi HIV pada janin kembar dan ditemukannya DNA HIV, IgM anti-
HIV dan antigen p24 pada neonatus pada minggu pertama membuktikan bahwa transmisi
dapat terjadi selama kehamilan. 1

Walaupun masih belum jelas, mekanismenya diduga melalui plasenta. Pemeriksaan


patologi menemukan HIV dalam plasenta ibu yang terinfeksi HIV. Sel limfosit atau monosit
ibu yang terinfeksi HIV atau virus HIV itu sendiri dapat mencapai janin secara langsung
melalui lapisan sinsitiotrofoblas, atau secara tidak langsung melalui trofoblas dan
menginfeksi sel makrofag plasenta (sel Houfbauer) yang mempunyai reseptor CD4. 1

Plasenta diduga juga mempunyai efek anti HIV-1 dengan mekanisme yang masih
belum diketahui. Salah satu hormon plasenta yaitu human chorionic gonadotropin (hCG)
diduga melindungi janin dari HIV-1 melalui beberapa cara, seperti menghambat penetrasi
virus ke jaringan plasenta, mengkontrol replikasi virus di dalam sel plasenta, dan
menginduksi apoptosis sel-sel yang terinfeksi HIV-1. 1
Menurut Pediatric Virology Committee of the AIDS Clinical Trials Group (PACTG),
transmisi dikatakan intra uterin/infeksi awal, jika tes virology positif dalam 48 jam setelah
kelahiran dan tes berikutnya juga positif. 1

Beberapa penelitian mengemukakan faktor-faktor yang berperan pada transmisi


antepartum seperti yang tercantum pada table 1. Malnutrisi yang seringkali ditemukan pada
wanita dengan HIV-AIDS akan meningkatkan resiko transmisi karena akan menurunkan
imunitas, meningkatkan progresivitas penyakit ibu, meningkatkan resiko berat badan lahir
rendah dan prematuritas dan menurunkan fungsi imunitas gastrointestinal dan integritas fetus.
Pada penelitian prospektif random terkontrol, defisiensi vitamin A (kurang dari 1,05 mmol/L)
yang dihubungkan dengan gangguan fungsi sel T dan sel B ternyata berhubungan dengan
peningkatan transmisi HIV. Namun penelitian Dreyfuss, dkk tidak dapat membuktikan bahwa
defisiensi mikronutrien akan meningkatkan transmisi antepartum atau sebaliknya.1

2). Transmisi Intrapartum

Transmisi intrapartum/infeksi lambat didiagnosis jika pemeriksaan virologis negatif


dalam 48 jam pertama setelah kelahiran dan tes 1 minggu berikutnya menjadi positif dan bayi
tidak menyusui. 1

Selama persalinan, bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang
mengandung HIV melalui paparan trakheobronkial atau tertelan pada jalan lahir. HIV
ditemukan pada cairan servikovaginal wanita terinfeksi HIV-AIDS sekitar 21% dan pada
cairan aspirasi lambung bayi yang dilahirkan sekitar 10%. Terdapatnya HIV pada cairan
servikovaginal berhubungan dengan duh tubuh vagina abnormal, kadar sel CD4 yang rendah
dan defisiensi vitamin A. Selain menurunkan imunitas, defisiensi vitamin A akan
menurunkan integritas plasenta dan permukaan mukosa jalan lahir, sehingga akan
memudahkan terjadi trauma pada jalan lahir dan transmisi HIV secara vertikal. 1

Besarnya paparan pada jalan lahir juga dikaitkan dengan ulkus serviks atau vagina,
korioamnionitis, ketuban pecah sebelum waktunya, persalinan prematur, penggunaan
elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, episiotomi dan rendahnya
kadar CD4 ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan resiko
transmisi antepartum sampai dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4
jam sebelum persalinan. 1

Diantara faktor-faktor tersebut, kadar HIV ibu pada saat persalinan atau menjelang
persalinan merupakan prediktor paling penting. Karena itu, resiko penularan lebih tinggi
terjadi pada ibu hamil dengan infeksi HIV primer. Namun, belum ada angka pasti pada kadar
HIV berapa penularan dapat terjadi. Penelitian dari Women and Infants Transmission Study
menunjukkan pada kadar HIV ibu <> 1,2 Garcia, dkk melaporkan 21% penularan HIV pada
ibu dengan kadar HIV menjelang atau saat persalinan <100.000>100.000 kopi/mL penularan
yang terjadi 63%.1 John, dkk menemukan penularan empat kali lebih tinggi pada ibu dengan
kadar HIV>43.000 kopi/mL. Namun, kadar HIV yang rendah atau tidak terdeteksi tidak
menjamin bahwa bayi tidak akan tertular karena pada beberapa kasus penularan tetap terjadi.
John, dkk pada penelitiannya mengemukakan transmisi yang terjadi pada tiga orang ibu
dengan kadar HIV<5000>1 juta kopi/mL. Selain itu, kadar HIV ibu sebelum dan saat
persalinan juga akan menentukan kadar HIV pada bayi yang ditularkannya. Wiener, dkk
mengemukakan hubungan linier kadar HIV ibu dan kadar HIV bayi pada 3 bulan pertama
kehidupannya. 1

Selain faktor ibu, faktor janin ternyata juga mempengaruhi transmisi perinatal.
Prematuritas dan berat badan lahir rendah diduga berperan karena sistem imunitas pada bayi
tersebut belum berkembang baik. Beberapa penelitian menghubungkan kelahiran prematur
dengan stadium penyakit HIV ibu, penggunaan kokain atau opiat. Pada bayi kembar, urutan
kelahiran juga memegang peranan. Menurut Duliege, dkk bayi yang lahir pertama kali
mempunyai resiko penularan dua kali lebih tinggi dibandingkan bayi yang lahir kedua. Hal
tersebut disebabkan bayi yang lahir pertama lebih lama berada dijalan lahir dan biasanya
berukuran lebih besar, sehingga secara tidak langsung membersihkan jalan lahir untuk bayi
yang lahir berikutnya. 1

3) Transmisi Post Partum

Air susu ibu diketahui mengandung HIV dalam cukup banyak. Konsentrasi median
sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang menderita HIV adalah 1 per 104 sel. Partikel virus
dapat ditemukan pada komponen sel dan non-sel air susu ibu. Pada penelitian Nduati, dkk
HIV ditemukan pada 58% pemeriksaan kolostrum dan air susu ibu. Kadar HIV tertinggi
dalam air susu ibu terjadi mulai minggu pertama sampai tiga bulan setelah persalinan. HIV
dalam konsentrasi rendah masih dapat dideteksi pada air susu ibu sampai 9 bulan setelah
persalinan. Resiko penularan pada bayi yang disusui paling tinggi pada enam bulan pertama,
kemudian menurun secara bertahap pada bulan-bulan berikutnya. 1,11

Kadar HIV pada air susu ibu dipengaruhi kadar serum ibu, sel CD4 ibu, defisiensi
vitamin A. Semba, dkk mengemukakan bahwa kadar HIV di dalam air susu ibu lebih tinggi
pada ibu yang anaknya terinfeksi HIV daripada yang tidak terinfeksi HIV. 1

Berbagai macam faktor lain yang dapat mempertinggi resiko transmisi HIV melalui
air susu ibu antara lain mastitis atau luka diputing susu, abses payudara, lesi dimukosa mulut
bayi, prematuritas dan respon imun bayi. 1

Faktor yang berhubungan dengan tingginya resiko penularan vertikal HIV dari ibu ke anak.

Periode Faktor
Antepartum Kadar HIV ibu, jumlah CD4 ibu, defisiensi
vitamin A, mutasi ko-reseptor HIV gp120
dan gp160, malnutrisi, perokok, pengambilan
sample vili korion, amniosentesis.
Intrapartum Kadar HIV pada cairan servikovaginal ibu,
cara persalinan, ketuban pecah sebelum
waktunya, persalinan prematur, penggunaan
elektrode pada kepala janin, penyakit ulkus
genital aktif, laserasi vagina, korioamnionitis,
episiotomi, persalinan dengan vakum atau
forseps
Pascapersalinan Air susu ibu, mastitis

Selain faktor-faktor yang sudah disebutkan diatas, resiko transmisi juga dipengaruhi
jenis virus. Transmisi vertikal pada ibu yang menderita HIV-2 jauh lebih rendah daripada
HIV-1, hanya 1%. Demikian juga angka kematian bayi yang terinfeksi HIV-1 lebih tinggi
daripada bayi yang terinfeksi HIV-2. 1,2,3

DIAGNOSIS INFEKSI HIV

Seperti penyakit lain, diagnosis infeksi HIV juga ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan klinis dan hasil penemuan laboratorium. Anamnesis yang mendukung
kemungkinan adanya infeksi HIV misalnya :

1. Lahir dengan ibu resiko tinggi.

2. Lahir dari ibu dengan pasangan resiko tinggi.

3. Penerima tranfusi darah atau komponennya, terutama bila berulang dan tanpa uji HIV.

4. Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu narkotika)

5. Homoseksual atau biseksual.

6. Kebiasaan seksual yang keliru.

Gejala klinis yang mendukung misalnya infeksi oportunistik, penyakit menular


seksual, infeksi yang berulang atau berat, terdapat gagal tumbuh, adanya ensefalopati yang
menetap atau progresif, penyakit paru interstitiel, keganasan sekunder, kardiomiopati dan
lain-lainnya. Untuk diagnostik yang pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium mulai dari
yang relatif sederhana hingga yang relatif sulit dan mahal, yaitu mulai dari menentukan
adanya antibodi anti-HIV misalnya dengan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbant Assay)
yang dilanjutkan dengan uji yang lebih pasti seperti Western blot assay dan lain-lainnya.5

IV.1. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Umumnya pemeriksaan laboratorium untuk HIV/AIDS dibagi atas tiga kelompok, yaitu9 :

I. Pembuktian adanya antibodi atau antigen HIV


II. Pemeriksaan status imunitas

III. Pemeriksaan terhadap infeksi oportunistik dan keganasan

I. Pembuktian adanya Antibodi atau Antigen HIV

HIV terdiri dari selubung, kapsid dan inti. Masing-masing terdiri dari protein yang
bersifat sebagai antigen dan menimbulkan pembentukkan antibodi dalam tubuh yang
terinfeksi. Jenis antibodi yang telah diketahui banyak sekali, tetapi yang penting untuk
diagnostik adalah : antibodi gp41. gp120 dan p24.

Teknik pemeriksaan adalah sebagai berikut :

1. Tes untuk menguji antibodi HIV

Terdapat berbagai macam cara yaitu: ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent


Assay), Western Blot, RIPA (RadioImmunoPresipitation Assay) dan IFA
(ImmunoFluorescence Assay). 9

2. Tes untuk menguji antigen HIV, dapat dengan cara : pembiakan virus, antigen p24, dan
Polymerase Chain Reaction (PCR). 9

Yang praktis dan umum dipakai adalah tes ELISA, karena tes memiliki sensitivitas
yang tinggi. Oleh karena itu untuk menghindari adanya hasil tes yang positif palsu, tes
ELISA perlu dikonfirmasi dengan tes Western Blot yang mempunyai spesifisitas yang tinggi.
Setiap tes positif dengan ELISA I akan diulangi dengan ELISA II dari sampel yang sama, dan
bila tes kedua positif lalu dilakukan tes Western Blot. Dengan konfirmasi tes Western Blot
ini, hasil tes dikatakan positif. 9

SUDS (Single Use Diagnostic System) adalah tes antibodi HIV yang cepat yang
tersedi di United State. Pada beberapa penelitian, SUDS dilaporkan mempunyai rata-rata
false(+) sekitar 50% sehingga hal ini mempersulit untuk diagnosa.10

II. Tes Yang Menunjukkan Adanya Defisiensi Imun

Untuk ini dapat dilakukan pemeriksaan Hb, jumlah leukosit, trombosit, jumlah
limfosit dan sediaan apus darah tepi atau sumsum tulang. Pada pasien AIDS dapat ditemukan
anemia, leukopenia/limfopenia, trombositopenia, dan displasia sumsum tulang normo atau
hiperseluler. 9

Dapat dilakukan perhitungan jumlah sel limfosit T, limfosit B, sel limfosi CD4 dan
CD8. Dikatakan terjadi gangguan sistem imun bila telah terjadi penurunan jumlah sel
limfosit, sel CD4 dan menurunnya ratio CD4/CD8. Tes kulit DTH (Delayed Type
Hypersensitivity) untuk tuberkulin dan kandida yang hasilnya negatif atau anergi
menunjukkan kegagalan imunitas seluler. Mungkin saja jumlah CD4 masih normal, tetapi
fungsinya sudah menurun. Dapat terjadi poliklonal hipergammaglobulinemia (IgA dan IgG)
yang menunjukkan adanya rangsangan non apesifik terhadap sel B untuk membentuk
imunitas seluler. 9

III. Tes Untuk Infeksi Oportunistik Atau Kanker.

Setiap infeksi oportunistik atau kanker sekunder yang ada pada pasien AIDS diperiksa
sesuai dengan metode diagnostik penyakitnya masing-masing. Misalnya pemeriksaan untuk
kandidiasis, PCP, TBC paru, dan sebagainya. Kadang-kadang perlu pemeriksaan penunjang
lain, seperti laboratorium rutin, serologis, radiologis, USG, CT scann, bronkoskopi,
pembiakan, histopatologi dan sebagainya. 9

PENATALAKSANAAN INFEKSI HIV

V.1. Pencegahan

V.1.1. Menghindari Faktor Resiko

Menghindari faktor-faktor resiko tersebut antara lain dengan cara12:

1. A=Abstinence ( jauhi seks), maksudnya menghindari hubungan seksual di luar pernikahan


dengan siapapun

2. B=Be faithful (setia dengan pasangan), maksudnya hindari berganti-ganti pasangan dalam
melakukan hubungan seksual

3. C=condom, pakailah kondom setiap melakukan hubungan seksual penetratif (terutama bagi
lesbian yang menggunakan alat-alat bantu) yaitu melakukan hubungan kelamin, baik secara
anal, vaginal maupun oral. Karena kondom dapat mencegah pertukaran cairan tubuh yang
mungkin mengandung HIV

4. Hindari hubungan dengan tuna susila (wanita maupun pria) meskipun di daerah yang
dikatakan bebas AIDS.

5. Perhatikan cara sterilisasi bila kita menggunakan alat-alat seperti jarum, jarum suntik, alat
tusuk untuk tato, tindik. Hindari perilaku pemakaian jarum suntik secara bergantian atau
bersamaan.

Peranan konseling tes HIV sangat diperlukan melihat banyaknya faktor-faktor resiko
untuk terjadinya HIV-AIDS. Konseling dan tes HIV sebaiknya dilakukan oleh setiap
pasangan.

Konseling dan tes HIV sukarela atau sering disebut Voluntary counseling and testing
(VCT) adalah kegiatan melakukan konseling dan tes HIV secara sukarela atas kemauan
pasien sendiri. Di dalam VCT ada 2 kegiatan utama yaitu konseling dan tes HIV. Konseling
dalam rangka VCT terutama dilakukan sebelum dan sesudah tes HIV.. Konseling setelah tes
HIV dapat dibedakan menjadi dua yakni konseling untuk hasil tes positif dan konseling untuk
hasil tes negatif. Namn demikian sebenarnya masih banyak jenis konseling lain yang
sebenarnya perlu diberikan kepada pasien berkaitan dengan hasil VCT yang positif, seperti
konseling pencegahan, konseling kepatuhan berobat, konseling keluarga, konseling
berkelanjutan, konseling menghadapi kematian dan konseling untuk masalah psikiatris yang
menyertai klien/keluarga dengan HIV-AIDS.12

Meskipun VCT adalah sukarela namun utamanya diperuntukkan bagi orang-orang


yang sudah terinfeksi HIV-AIDS dan keluarganya, atau semua orang yang mencari
pertolongan karena merasa telah melakukan tindakan berisiko di masa lalu dan mereka yang
tidak mencari pertolongan namun berisiko tinggi.12

Ada beberapa prinsip yang harus dipatuhi dalam pelayanan VCT, yakni :

1. Dilakukan dengan sukarela, tanpa paksaan

2. Dengan persetujuan klien (informed consent)

3. Adanya proses konseling

4. Tidak boleh dilakukan tanpa adanya konselor atau dilakukan diam-diam

5. Tes dilakukan dengan menjaga kerahasiaan

V.1.2. Pemberian Antiretrovirus (ART)

Antiretrovirus direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi HIV-AIDS yang


sedang hamil untuk mengurangi resiko transmisi perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa resiko
transmisi perinatal meningkat sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat
diturunkan hingga 20% dengan terapi antiretrovirus. 1,3

Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah menekan


perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas hidup,
mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV.13 Pada kehamilan,
keuntungan pemberian antiretrovirus ini harus dibandingkan dengan potensi toksisitas,
teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek penelitian mengenai toksisitas,
teratogenesis, dan efek samping jangka lama antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit.
Efek samping tersebut diduga akan meningkat pada pemberian kombinasi antiretrovirus,
seperti efek teratogenesis kombinasi antiretrovirus dan antagonis folat yang dilaporkan
Jungmann, dkk. Namun penelitian terakhir oleh Toumala, dkk menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan monoterapi, terapi kombinasi antiretrovirus tidak meningkatkan resiko
prematuritas, berat badan lahir rendah atau kematian janin intrauterine. Kategori Food and
Drug Administration (FDA) tentang ART dapat dilihat pada table 2. 6,7
A. Monoterapi Zidovudine

Obat antiretrovirus yang pertama kali diteliti untuk mengurangi resiko transmisi
perinatal adalah zidovudin (ZDV). Pada Pediatric Virology Committee of the AIDS Clinical
Trials Group (PACTG) 076, zidovudin yang diberikan peroral mulai minggu ke-14
kehamilan, dilanjutkan zidovudin intravena pada saat intrapartum untuk ibu, diikuti dengan
zidovudin sirup yang diberikan pada bayi sejak usia 6-12 jam sampai 6 minggu.1,7

Tabel 5.1. Regimen pemberian Zidovudine berdasarkan PACTG 076

Antepartum : Zidovudine oral dari kehamilan 14-34 minggu 5x100mg/hari


Intrapartum : Zidovudine intravena, dosis awal 2mg/kgBB/jam,dilanjutkan infus 1mg/kgBB
sampai 1 hari setelah melahirkan
Postpartum : Zidovudine sirup, 2 mg/kgBB, dimulai 8-12 jam postpartum dan diteruskan
sampai 6 minggu
Pada penelitian ini bayi tidak mendapat air susu ibu. Cara ini ternyata efektif
menurunkan transmisi perinatal dari 25,5% pada kelompok kontrol menjadi 8,3%. Penelitian
ini kemudian dilanjutkan dengan PACTG 185 yang menambahkan imunoglobulin spesifik
HIV intravena yang diberikan tiap bulan pada ibu mulai minggu ke 20-30 hingga persalinan,
kemudian dilanjutkan pemberian pada bayi dalam 12 jam pertama. Namun ternyata
hiperimunoglobulin tidak memberikan efek protektif tambahan seperti yang diharapkan.

Kesulitannya, protokol PACTG 076 ini cukup rumit, membutuhkan kepatuhan yang
baik dan memerlukan biaya yang besar. Penelitian retrospektif oleh Wade, dkk di New York
menunjukkan kepatuhan orang dengan HIV-AIDS mengikuti protokol ini seringkali tidak
komplit. Transmisi yang terjadi 6,1% jika terapi dimulai antepartum, 10,0% jika dimulai
intrapartum dan 5,9% jika hanya diberikan pada bayi dalam 12 jam pertama. Jika zidovudin
baru diberikan setelah usia 48 jam, kejadian transmisi menjadi lebih tinggi 18,4%.1

Beberapa penelitian mencoba menggunakan zidovudin dalam jangka waktu yang


lebih singkat dengan regimen yang lebih sederhana dan murah. Makin lama penggunaan
antiretrovirus, makin besar kemungkinan penurunan resiko transmisi HIV. Joao, dkk
mengungkapkan pada bayi yang tidak tertular HIV, rata-rata lama penggunaan antiretrovirus
pada ibunya 16,63 minggu dibandingkan dengan lama penggunaan antiretrovirus ibu 6,28
minggu pada kelompok bayi yang tertular HIV. 1 Selain monoterapi dengan zidovudin,
regimen lain yang sudah diteliti alah monoterapi dengan nevirapin dan terapi kombinasi
zidovudin dan lamivudin. Lallement, dkk juga sedang meneliti kombinasi zidovudin dan
nevirapin. 1 Saat ini di Indonesia beberapa antiretrovirus tersebut sudah tersedia dalam
bentuk generik dengan harga yang lebih murah antara lain zidovudin, lamivudin, nevirapin
dan stavudin.1

B. Nevirapin
Dapat diberikan dosis tunggal 200 mg bagi ibu pada saat melahirkan disertai
pemberian nevirapin 2 mg/kgBB dosis tunggal bagi bayi pada usia 2 atau 3 hari. Selain
karena harga obat generiknya yang cukup murah, seringkali wanita hamil terinfeksi HIV-
AIDS baru dating pada saat melahirkan.1

Tabel 5.2. Kategori FDA antiretrovirus untuk digunakan pada kehamilan1,7

Golongan Obat Kategori FDA


Nukleosida Reverse  Zidovudin/ZDV/AZT C
Transcriptase Inhibitor
(NRTI)  Zalsitabin/ddC C

 Didanosin/ddl B

 Stavudin/d4T C

 Lamivudin/3TC C

 Abacavir/ABC C

 Tenofovir/DF B
Non Nukleosida Reverse  Nevirapin C
Transcriptase Inhibitor
(NNRTI)  Delavirdin C

 Efavirenz C
Protease Inhibitor (PI)  Indinavir C

 Ritonavir B

 Saquinavir B

 Nelvinafir B
C
 Amprenavir
C
 Lopinavir
Golongan lain  hidroksiurea D

Keterangan :

Kategori B : Tidak terdapat resiko untuk janin pada penelitian pada hewan, namun belum
terdapat penelitian pada wanita hamil; atau penelitian pada hewan menunjukkan efek
samping yang yang tidak sesuai dengan penelitian kontrol pada wanita hamil trisemestar
pertama (dan tidak beresiko pada trisemester berikutnya).

Kategori C : Pada penelitian hewan ditemukan efek samping pada janin (teratogenik atau
embrisiodal atau lainnya) dan belum terdapat penelitian kontrol pada wanita hamil atau
belum terdapat penelitian efek samping obat pada hewan ataupun wanita hamil. Obat kategori
ini hanya diberikan jika keuntungannya melebihi resiko potensial pada janin.

Kategori D : Terdapat bukti positif resiko efek samping pada janin manusia, namun
keuntungan pada wanita hamil dapat diterima dibandingkan resikonya terutama untuk
penyelamatan jiwa.

Berdasarkan penelitian-penelitian Perinatal HIV Guidelines Working Group di


Amerika Serikat mengajukan rekomendasi pemberian antiretrovirus. Rekomendasi ini tidak
berbeda dengan yang direkomendasikan British HIV Association. Rekomendasi yang
dianjurkan yaitu : 1,7

1. Situasi kehamilan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang belum pernah
menggunakan antiretrovirus sebelumnya.

Rekomendasi : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS menjalani pemeriksaan klinis,


imunologis dan virologis standar. Pertimbangan inisiasi dan pemilihan antiretrovirus sama
dengan wanita yang terinfeksi HIV-AIDS yang tidak hamil dengan pertimbangan efek
terhadap kehamilan.

Regimen zidovudin tiga bagian seperti tercantum dalam tabel 5.1, direkomendasikan
setelah trimester pertama tanpa memandang kadar HIV ibu. Regimen kombinasi
direkomendasikan pada wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang status klinis,
imunologis, dan virologisnya berat atau kadar HIV > 1000 kopi/mL. Jika wanita hamil yang
terinfeksi HIV-AIDS datang pada trimester pertama kehamilan, pemberian antiretrovirus
dapat ditunda sampai usia kehamilan 10-12 minggu.

2. Situasi Kehamilan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS yang sedang mendapatkan
antiretrovirus.

Rekomendasi : Jika kehamilan diketahui setelah trimester pertama, terapi antiretrovirus


sebelumnya diteruskan, sebaiknya dengan menyertakan zidovudin.

Jika kehamilan diketahui pada trimester pertama, wanita hamil yang terinfeksi HIV-
AIDS diberikan konseling tentang keuntungan dan resiko antiretrovirus pada trimester
pertama. Jika wanita hamil yang terinfeksi HIV–AIDS memilih menghentikan antiretrovirus
selama trimester pertama, semua obat harus dihentikan untuk kemudian diberikan secara
simultan setelah trimester pertama untuk mencegah resistensi obat. Tanpa
mempertimbangkan regimen sebelumnya, zidovudin dianjurkan untuk diberikan selama
intrapartum dan pada bayi.

3. Situasi Kehamilan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS datang pada saat persalinan
dan belum mendapat antiretrovirus.

Rekomendasi : Ada beberapa regimen yang dianjurkan :


a. Nevirapin dosis tunggal pada saat persalinan dan dosis tunggal pada bayi pada usia 48
jam;
b. Zidovudin dan lamivudin oral pada persalinan, diikuti zidovudin/lamivudin pada bayi
selama seminggu;
c. Zidovudin intravena intrapartum, diikuti zidovudin pada bayi selama 6 minggu;
d. Dua dosis nevirapin dikombinasi dengan zidovudin intravena selama persalinan
diikuti zidovudin pada bayi selama 6 minggu.

Segera setelah persalinan, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS menjalani


pemeriksaan seperti CD4 dan kadar HIV untuk menentukan apakah antiretrovirus akan
dilanjutkan.

4. Situasi Kehamilan : Jika bayi dari ibu wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS datang
setelah persalinan, sedangkan ibu belum mendapatkan antiretrovirus selama kehamilan atau
intrapartum.

Rekomendasi : Zidovudin sirup diberikan pada bayi selama 6 minggu, dimulai secepatnya
dalam 6-12 jam setelah kelahiran.

Beberapa dokter dapat memilih kombinasi zidovudin dengan antiretrovirus lain,


terutama jika ibunya diketahui resisten terhadap zidovudin. Namun, efikasi regimen ini
belum diketahui dan dosis untuk anak belum sepenuhnya diketahui.

Segera setelah persalinan, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS menjalani


pemeriksaan seperti CD4 dan kadar HIV untuk menentukan apakah antiretrovirus akan
dilanjutkan. Bayi menjalani pemeriksaan diagnostik awal agar antiretrovirus dapat diberikan
sesegera mungkin jika ternyata HIV positif.

V. 2. Penatalaksanaan Obsterik

Untuk mengurangi resiko transmisi HIV yang terutama terjadi pada saat intrapartum,
beberapa peneliti mencoba membandingkan transmisi antara wanita hamil yang terinfeksi
HIV-AIDS yang menjalani seksio sesarea dengan partus pervaginam. Persalinan dengan
seksio sesarea dipikirkan dapat mengurangi paparan bayi dengan cairan servikovaginal yang
mengandung HIV.3

Penelitian awal dari European Collaborative Study melaporkan transmisi HIV yang
lebih rendah pada wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang menjalani seksio sesarea
dibandingkan partus pervaginam (11,7 % dibandingkan 17,6 % ) tanpa membedakan seksio
elektif dan seksio emergensi. Namun, ternyata penelitian-penelitian selanjutnya tidak
menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik. Women and Infants Transmission
Study mengemukakan bahwa lamanya ketuban pecah sebelum persalinan lebih bermakna
daripada seksio sesarea untuk menurunkan transmisi vertikal ( resiko relatif 1,81
dibandingkan 1,13 ). 1

Selanjutnya beberapa penelitian membandingkan resiko transmisi pada partus


pervaginam, seksio sesarea emergensi dan seksio elektif. European Mode of Delivery
Collaboration membandingkan transmisi perinatal pada wanita hamil yang terinfeksi HIV-
AIDS yang melahirkan pervaginam dan seksio sesarea elektif. Ternyata seksio sesarea elektif
dapat menurunkan resiko transmisi hingga 80 % dibandingkan partus pervaginam (1,8 %
dibandingkan 10,5%). Demikian juga hasil metaanalisis dari the International Perinatal HIV
Group terhadap 15 penelitian dengan lebih dari 8000 sampel di berbagai negara. 1

Seksio sesarea elektif akan lebih bermakna jika disertai dengan pemberian
antiretrovirus. Resiko transmisi akan berkurang sekitar 87 %. Karena itu, saat ini seksio
sesarea dianggap hanya mempunyai efek proteksi parsial terhadap transmisi HIV vertikal.14

Untuk lebih mengurangi kemungkinan transmisi intrapartum, Towers, dkk mencoba


teknik seksio sesarea dengan perdarahan minimal. Namun, pada penelitian tersebut tersebut
ternyata efek seksio sesarea dengan perdarahan minimal hampir sama dengan pemberian
antiretrovirus (transmisi HIV 6,3 % dibanding 7,9 %). Cara ini mungkin dapat menjadi
alternatif pada ibu yang tidak mendapat terapi antiretrovirus. 1

Namun, pertimbangan untuk melakukan seksio sesarea tanpa indikasi obstetric lain
harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat komplikasi seksio yang mungkin terjadi pada
wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS, terutama pada stadium lanjut. Laporan PACTG 185
menyebutkan bahwa komplikasi minor seksio sesarea seperti endometritis, infeksi luka, dan
infeksi traktus urinarius lebih banyak terjadi pada wanita yang terinfeksi HIV-AIDS
dibandingkan dengan kelompok non-HIV. Namun, tidak ada perbedaan kejadian komplikasi
mayor seperti pneumonia, efusi pleura, ataupun sepsis. 1

Selain seksio sesarea, berbagai cara telah dicoba untuk menurunkan resiko transmisi
intrapartum pada wanita yang terinfeksi HIV-AIDS . Salah satunya adalah pencucian jalan
lahir dengan kassa yang direndam dengan 0,25% klorheksidin. Ternyata cara ini tidak dapat
mengurangi resiko transmisi partus pervaginam. 1

Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika Serikat mengajukan


rekomendasi penatalaksanaan obstetrik untuk mengurangi transmisi HIV vertikal.
Rekomendasi yang dianjurkan adalah: 1

1. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang datang pada kehamilan di
atas 36 minggu, belum mendapat antiretrovirus, dan sedang menunggu hasil pemeriksaan
kadar HIV dan CD4 yang diperkirakan adasebelum persalinan.

Rekomendasi : Ada beberapa regimen yang harus didiskusikan dengan jelas. Wanita hamil
yang terinfeksi HIV-AIDS harus mendapat terapi antiretrovirus seperti regimen PACTG 076.
Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS dilakukan konseling tentang seksio sesarea untuk
mengurangi resiko transmisi dan resiko komplikasi pascaoperasi, anestesi, dan resiko operasi
lain padanya. Jika diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada minggu ke-38
kehamilan,. Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS mendapat zidovudin
intravena yang dimulai 3 jam sebelumnya, dan bayi mendapat zidovudin sirup selama 6
minggu. Keputusan akan meneruskan antiretrovirus setelah melahirkan atau tidak tergantung
pada hasil pemeriksaan kadar virus dan CD4.
2. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang datang pada kehamilan
awal, sedang mendapat kombinasi antiretrovirus, dan kadar HIV tetap di atas 1000 kopi/mL
pada minggu ke 36 kehamilan.

Rekomendasi : Regimen antiretrovirus yang digunakan tetap diteruskan. Wanita hamil yang
terinfeksi HIV-AIDS harus mendapat konseling bahwa kadar HIV-nya mungkin tidak turun
sampai kurang dari 1000 kopi/mL sebelum persalinan, sehingga dianjurkan untuk melakukan
seksio sesarea. Demikian juga dengan resiko komplikasi seksio yang meningkat, seperti
infeksi pascaoperasi, anestesi, dan operasi. Jika diputuskan seksio sesarea, seksio
direncanakan pada minggu ke-38 kehamilan. Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi
HIV-AIDS mendapat zidovudin intravena yang dimulai minimal 3 jam sebelumnya.
antiretrovirus lain tetap diteruskan sebelum dan sesudah persalinan. Bayi mendapat zidovudin
sirup selama 6 minggu.

3. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang sedang mendapat
kombinasi antiretrovirus, dan kadar HIV tidak terdeteksi pada minggu ke 36 kehamilan.

Rekomendasi : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS diberikan konseling bahwa


kemungkinan transmisi jika kadar HIV tidak terdeteksi mungkin kurang dari 2 %, bahkan
pada persalinan pervaginam. Pemilihan cara persalinan harus mempertimbangkan
keuntungan dan resiko komplikasi seksio.

4. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang sudah direncanakan seksio
sesarea elektif, namun datang pada awal persalinan atau setelah ketuban pecah.

Rekomendasi : Zidovudin intravena segera diberikan. Jika kemajuan persalinan cepat, wanita
hamil yang terinfeksi HIV-AIDS ditawarkan untuk menjalani persalinan pervaginam. Jika
dilatasi serviks minimal dan diduga persalinan akan berlangsung lama, dapat dipilih antara
zidovudine intravena dan melakukan seksio sesarea atau memberikan pitosin untuk
mempercepat persalinan. Jika diputuskan untuk menjalani persalinan pervaginam, elektrode
kepala, monitor invasive dan alat bantu lain sebaiknya dihindari. Bayi sebaiknya mendapat
zidovudin sirup selama 6 minggu.

V.3. Penatalaksanaan Pasca Persalinan

V.3.1. Pemberian Air Susu Ibu

Penularan HIV melalui air susu ibu diketahui merupakan faktor penting transmisi
pasca persalinan dan meningkatkan resiko transmisi dua kali lipat. Miotti, dkk pada penelitian
di Malawi membuktikan air susu ibu meningkatkan insidens transmisi HIV 0,7% per bulan
pada usia 0 sampai 5 bulan; 0,6% pada usia 6-11 bulan; 0,3% per bulan pada usia 12-17
tahun. Penelitian di Nairobi yang membandingkan bayi dari ibu dengan HIV yang disusui
dengan air susu ibu dibandingkan dengan susu formula menunjukkan probabilitas kumulatif
infeksi HIV pada usia 24 bulan 36,7% dibandingkan 20,5%. Namun angka kematian setelah 2
tahun pada kedua kelompok ternyata sama. Penelitian Leroy, dkk di berbagai negara
menyebutkan resiko transmisi HIV melalui air susu ibu yang diperkirakan adalah 3,2 per 100
anak-tahun. 1,10

Di negara maju, upaya untuk menghindari menyusui bayi dari ibu penderita HIV
seperti yang dianjurkan tidak mengalami kendala. Namun, hal tersebut sulit dilakukan di
negara berkembang mengingat keterbatasan dana untuk membeli susu formula, kesulitan
mencari air bersih dan menyediakan botol yang bersih, selain norma-norma di masyarakat
tertentu.

Ternyata tidak selamanya susu formula lebih efektif daripada air susu ibu untuk
mencegah penularan HIV, tetapi tergantung dari cara pemberiannya. Penelitian Coutsoudis,
dkk di Afrika Selatan menunjukkan bahwa bayi yang mendapat air susu eksklusif selama 3
bulan mempunyai resiko transmisi HIV lebih rendah (14,6%) dibandingkan dengan bayi yang
mendapat air susu formula dan air susu ibu (24,1%), bahkan menyamai resiko pemberian
susu formula saja. Hal ini diperkirakan karena air dan makanan terkontaminasi yang
diberikan pada bayi yang menerima dua macam susu tersebut merusak usus bayi, sehingga
HIV dari air susu ibu dapat masuk ke tubuh bayi. 1,10

Karena hal-hal tersebut, WHO, Unicef dan UNAIDS mengeluarkan rekomendasi


untuk menghindari air susu ibu yang terkena HIV jika alternatif susu lain tersedia dan aman.
Pada bayi yang terinfeksi HIV in utero, air susu ibu eksklusif dianjurkan kecuali jika keadaan
ibu yang tidak memungkinkan. Keadaan penyakit ibu juga perlu diperhatikan karena wanita
yang terinfeksi HIV-AIDS menyusui mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi daripada
yang tidak menyusui. 3,10

V.3.2. Pilihan Untuk Hamil Pada Wanita Yang Terinfeksi HIV-AIDS

Seperti yang sudah ditunjukkan berbagai penelitian dengan antiretrovirus,


penatalaksanaan obstetrik yang tepat dan pemilihan susu yang sesuai, kemungkinan transmisi
HIV dari ibu ke bayinya dapat dikurangi, namun tidak dapat sama sekali dihilangkan. Selain
itu, intervensi-intervensi ini belum tersedia luas di negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Banyak wanita hamil yang belum menjalani konseling yang sesuai, serta
pelayanan antenatal dan obstetrik di tempat-tempat yang menyediakan antiretrovirus. Karena
itu, timbul pertanyaan “apakah keinginan wanita yang terinfeksi HIV-AIDS dan pasangannya
untuk mempunyai keturunan sendiri lebih penting daripada resiko menularkan penyakit serius
seperti HIV kepada bayinya?” 1,14

Selain kemungkinan tertular HIV, anak yang dilahirkan wanita yang terinfeksi HIV-
AIDS juga mempunyai kemungkinan menjadi yatim piatu pada usia muda karena kematian
ibunya akibat AIDS. Kematian orangtuanya akibat AIDS akan menyebabkan anak berada
pada situasi yang membahayakan. Anak yang tidak mempunyai orang tua lagi cenderung
menjadi malnutrisi dan terlambat tumbuh kembangnya dibandingkan dengan anak yang
dibesarkan dengan orang tua. Mereka juga cenderung kurang mendapatkan pendidikan dan
layanan kesehatan dibandingkan anak lainnya. Belum lagi akibat isolasi sosial dari
masyarakat karena dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV-AIDS. 14
Seseorang dengan HIV-AIDS yang mempunyai pasangan sebaiknya menjalani
konseling tentang pilihan reproduksi mereka, apakah mempunyai anak atau tidak.
Selanjutnya, keputusan tetap di tangan mereka. Alternatif terbaik adalah tidak mempunyai
anak atau adopsi. Namun, jika pasangan suami istri tersebut memutuskan untuk mempunyai
anak sendiri dengan kemungkinan infeksi yang sudah disadari, pasangan tersebut sebaiknya
pergi ke fasilitas kesehatan yang menyediakan konseling. Evaluasi, terapi dan pemantauan
penularan perinatal HIV. Beberapa alternatif yang dapat dilakukan adalah pemakaian
antiretrovirus, inseminasi dan pencucian sperma bagi suami, operasi seksio sesarea dan tidak
menyusui bayi.12

V.4. Pencegahan dan Penatalaksanaan Infeksi Oportunistik Selama Kehamilan

Infeksi oportunistik terjadi karena kekebalan tubuh yang amat menurun. Pola infeksi
oportunistik berbeda di berbagai negara tergantung pola mikroba yang ada dalam tubuh atau
lingkungan penderita. Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman yang semula komensal,
reaktivasi kuman atau parasit yang telah ada dalam tubuh pasien atau infeksi baru. 1,3

Terapi profilaksis dan terapi terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis,


pneumocystis carinii, M avium complex, Toxoplasma gondii dan virus Herpes simplex pada
wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS tidak berbeda dengan wanita terinfeksi HIV-AIDS
yang tidak hamil. Namun profilaksis primer terhadap infeksi sitomegalovirus, kandida dan
infeksi jamur invasif tidak dianjurkan secara rutin mengingat toksisitas obatnya. Flukonazol
misalnya, diketahui dapat menyebabkan deformitas skeletal dan kraniofasial pada pemakaian
jangka lama selama kehamilan. Vaksinasi hepatitis B, influenza dan pneumokokus tetap
dapat diberikan selama kehamilan. Sebaiknya vaksinasi tersebut diberikan sesudah kadar
HIV turun sampai tidak terdeteksi untuk mencegah peningkatan kadar HIV RNA setelah
vaksinasi. 1,4

Anda mungkin juga menyukai