Anda di halaman 1dari 14

Volume 12 No. 1, April 2019 Hlm.

35-47
http://journal.trunojoyo.ac.id/pamator
ISSN: 1829-7935

Analisis Status Gizi Balita di Kabupaten Sumenep Madura

Iffan Maflahah1,2
1
Prodi Teknologi Industri Pangan Fakultas Pertanian Univ Trunojoyo Madura
2
Mahasiswa Pasca Sarjana Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Email: iffanmaflahah@gmail.com

Naskah diterima 5 Januari 2018, Revisi 25 Februari 2019, Terbit 20 April 2019

DOI: http://dx.doi.org/10.21107/pmt.v12i1.5177
Abstrak
Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah kematian anak usia bawah lima tahun (balita).
Sementara itu angka kematian dan stunting balita juga masih cukup tinggi. Masalah gizi dapat terjadi
pada seluruh kelompok umur, bahkan masalah gizi pada suatu kelompok umur tertentu akan
mempengaruhi pada status gizi pada periode siklus kehidupan berikutnya (intergenerational impact).
Penelitian tentang identifikasi dan penanganan status gizi balita di Kabupaten Sumenep akan
memberikan suatu arahan kebijakan dalam rangka penanganan berdasarkan status gizi balita. Tujuan
dari penelitian ini adalah mengidentifikasi status gizi balita sehingga nantinya akan mampu
menghasilkan suatu strategi penanganan status gizi balita yang tepat untuk lingkup Provinsi Jawa Timur,
khususnya di Kabupaten Sampang dan Sumenep. Analisa data yang dilakukan pada penelitian ini adalah
deskriptif dengan memanfaatkan data primer dan sekunder dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sumenep
didukung oleh data BPS dan instansi lainnya. Pada penelitian ini dilakukan pula pengumpulan data
kuisioner dan selanjutnya strategi perencanaan penanganan status gizi balita disusun berdasarkan
Analisa SWOT. Kasus gizi buruk di Kabupaten Sumenep dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Pada
tahun 2013 kasus gizi buruk mencapai 144, tahun 2015 menurun menjadi 71, dan pada tahun 2010
menurun menjadi 46 kasus, sedangkan pada tahun 2017 menurun menjadi 42. kecamatan-kecamatan di
Kabupaten Sumenep bebas dari kasus gizi, kecuali Kecamatan Batuan, Kecamatan Sapeken dan
Kecamatan Masalembu.
.
Kata kunci : balita, status gizi, perencanaan, penanganan, analisis SWOT

PENDAHULUAN Dampak paling buruk yang diterima


Masalah gizi pada balita menjadi adalah kematian pada umur yang sangat
masalah besar karena berkaitan erat dini (Samsul, 2011 dalam Sari 2014).
dengan indikator kesehatan umum seperti Mugianti et.al (2018) menyebutkan
tingginya angka kesakitan dan kematian bahwa salah satu permasalahan
bayi dan balita. Lebih jauh lagi, kerawanan kesehatan di Indonesia adalah kematian
gizi dapat mengancam kualitas sumber anak usia bawah lima tahun (balita).
daya manusia di masa mendatang. Status Angka kematian dan stunting balita di
gizi buruk pada balita dapat menimbulkan negara-negara berkembang khususnya
pengaruh yang sangat menghambat Indonesia masih cukup tinggi. Salah satu
pertumbuhan fisik, mental maupun penyebab yang menonjol diantaranya
kemampuan berpikir yang pada akhirnya karena keadaan gizi yang kurang baik
akan menurunkan produktivitas kerja. atau bahkan buruk. Kondisi gizi anak-anak
Balita hidup penderita gizi buruk dapat Indonesia rata-rata lebih buruk dibanding
mengalami penurunan kecerdasan (IQ) gizi anak-anak dunia dan bahkan juga dari
hingga 10 persen. Keadaan ini anak-anak Afrika. Tercatat satu dari tiga
memberikan petunjuk bahwa pada anak di dunia meninggal setiap tahun
hakikatnya gizi yang buruk atau kurang akibat buruknya kualitas nutrisi. Sebuah
akan berdampak pada menurunnya riset juga menunjukkan setidaknya 3,5 juta
kualitas sumber daya manusia. Selain itu, anak meninggal tiap tahun karena
penyakit rawan yang dapat diderita balita kekurangan gizi serta buruknya kualitas
gizi buruk adalah diabetes (kencing makanan. Badan kesehatan dunia (WHO)
manis) dan penyakit jantung koroner. memperkirakan bahwa 54 persen
36 Jurnal Pamator

kematian anak disebabkan oleh keadaan Masalah gizi dapat terjadi pada seluruh
gizi yang buruk. Sementara masalah gizi kelompok umur, bahkan masalah gizi
di Indonesia mengakibatkan lebih dari 80 pada suatu kelompok umur tertentu akan
persen kematian anak (WHO, 2011). mempengaruhi pada status gizi pada
Berdasarkan data BPS, tahun lalu periode siklus kehidupan berikutnya
angka balita lahir di Jatim sekitar 2,4 juta (intergenerational impact). Masa
balita. Dari angka tersebut, 20 persennya kehamilan merupakan periode yang
menderita gizi buruk. Bahkan 38 persen sangat menentukan kualitas SDM di masa
dari angka tersebut mengalami kurang depan, karena tumbuh kembang anak
gizi. Tingginya angka gizi buruk di Jawa sangat ditentukan oleh kondisinya saat
timur diduga merupakan akibat pola hidup masa janin dalam kandungan. Akan tetapi
yang kurang sehat dan informasi soal gizi perlu diingat bahwa keadaan kesehatan
yang salah. Untuk menekan angka kurang dan status gizi ibu hamil ditentukan juga
gizi, pemerintah sebenarnya telah jauh sebelumnya, yaitu pada saat remaja
mengupayakan untuk optimalisasi atau usia sekolah. United Nations
sebanyak 43 ribu lebih posyandu yang memfokuskan usaha perbaikan gizi dalam
ada serta 1.400 posyandu mandiri yang kaitannya dengan upaya peningkatan
tersebar di seluruh Jatim. Selain itu, Pos SDM pada seluruh kelompok umur,
Kesehatan Pesantren, Polindes dan dengan mengikuti siklus kehidupan.
rumah sakit-rumah sakit yang ada di Jatim Upaya perbaikan gizi dilakukan pada
juga terus dioptimalkan kinerjanya. kelompok umur yang berbeda. Secara
Berbagai penelitian yang berkaitan lengkap upaya perbaikan gzi berdasarkan
dengan status gizi balita telah dilakukan, umur dapat dilihat pada Gambar 1.
diantaranya Setianingsih (2013), Hermina
(2011), serta Fitri (2012). Setianingsih
(2013) melakukan klasifikasi terhadap
status gizi balita di Jogjakarta dengan
bagging regresi logistik ordinal. Hermina
(2011) melakukan upaya pengelompokkan
kabupaten/kota di berdasarkan status gizi
buruk balita dengan analisis diskriminan.
Sementara Fitri (2012) meneliti tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi angka
harapan hidup, angka kematian bayi dan
status gizi buruk dan stunting di Sumatra
dengan analisis regresi multivariat. Inadiar
(2010) meneliti tentang perbedaan pola
asah, asih, asuh pada balita status gizi
kurang dan normal dengan menggunakan
uji Chi-square. Penelitian-penelitian Gambar 1. Daur/Siklus Gizi
tersebut sebagian besar tidak Penelitian tentang identifikasi dan
menekankan aspek humaniora. Aspek penanganan status gizi balita di
humaniora, seperti kekhasan budaya yang Kabupaten Sumenep akan memberikan
direpresentasikan kekhasan lokasi suatu arahan kebijakan dalam rangka
(kabupaten/kota) masih terbatas untuk penanganan berdasarkan status gizi
dikaji. Oleh karena itu dalam penelitian ini balita. Penanganan status gizi balita yang
akan dikembangkan pemodelan balita gizi tepat akan memberikan dampak positif
buruk yang mengakomodasi adanya yaitu peningkatan perekonomian sebagai
aspek perilaku masyarakat yang efek berkurangnya jumlah kurang gizi
direpresentasikan dalam spasial (lokasi). balita. Berkurangnya jumlah kurang gizi
Demikian juga mengingat tiap akan mampu meningkatkan produktifitas
kabupaten/kota di Jawa Timur mempunyai kerja. Dampak yang paling nyata dari
otonomi daerah yang memungkinkan penanganan status gizi yang tepat adalah
penentuan prioritas kebijakan kesehatan berkurangnya kematian balita dan
akan berbeda-beda (Setianingsih, 2013). peningkatan kemampuan intelektualitas,
Maflahah, I Analisis Status Gizi Balita 37

berkurangnya biaya karena penyakit balita. Selain itu, kuesioner


kronis serta meningkatnya manfaat disebarkan kepada pegawai dinas
“intergenerasi” melalui peningkatan kesehatan kabupaten untuk
kualitas kesehatan. Tujuan dari penelitian mendapatkan informasi tentang
ini adalah mengidentifikasi status gizi kebijakan pemerintah.
balita sehingga nantinya akan mampu
menghasilkan suatu strategi penanganan HASIL DAN PEMBAHASAN
status gizi balita yang tepat untuk lingkup - Analisis Status Gizi Balita Kab
Provinsi Jawa Timur, khususnya di Sumenep
Kabupaten Sampang dan Sumenep. Penentuan status gizi balita dapat
dilihat dari tinggi badan per umur (TB/U),
METODOLOGI Berat badan per umur (BB/U), berat badan
Langkah-langkah/tahapan metode per tinggi badan (BB/TB. Kasus gizi buruk
dalam penelitian ini adalah sebagai di Kabupaten Sumenep dari tahun ke
berikut: tahun mengalami penurunan. Pada tahun
1. Inventarisasi Data 2013 kasus gizi buruk mencapai 144,
Inventarisasi data ini pada dasarnya tahun 2015 menurun menjadi 71, dan
bertujuan untuk mengumpulkan atau pada tahun 2010 menurun menjadi 46
mengkompilasi data dan informasi kasus, sedangkan pada tahun 2017
yang diperlukan. Data berasal dari menurun menjadi 42.
instansi-instansi terkait, antara lain Kasus gizi buruk berdasarkan indeks
BPS, Dinas Kesehatan, BAPPEDA BB/U Kabupaten Sumenep pada tahun
Kabupaten atau penelitian-penelitian 2013 terdapat 144 kasus, tahun 2015
terdahulu. menurun menjadi 71 kasus, dan pada
2. Analisis tahun 2017 terdapat 46 kasus. Kasus gizi
Analisis dilakukan melalui kajian data buruk pada tahun 2017 di Kabupaten
dan informasi yang diperoleh, Sumenep banyak ditemukan di
setidaknya memuat analisis : Puskesmas Ganding (8 kasus),
 Analisis tingkat kesehatan selanjutnya di Puskesmas Gili Genting (4
masyarakat, terutama balita Kasus), Guluk – Guluk (4 kasus), dan
 Analisis tingkatan status gizi Puskesmas Gapura (4 kasus).
balita Selanjutnya, pada tahun 2013, jumlah
 Analisis peran pemerintah dan balita yang berada dibawah garis merah
daerah dalam peningkatan gizi adalah sebanyak 1.515 balita, sedangkan
balita pada tahun 2015 mencapai 1.559 balita
3. Penyusunan siklus dan tahapan dan pada tahun 2017 mencapai angka
penanganan status gizi 1.612 balita. Pada tahun 2017, balita
Penyusunan siklus dan tahapan dengan berat badan dibawah garis merah
penanganan status gizi dilakukan banyak terdapat di Desa Batuan, Kayuaro
dengan teknik kuesioner. Kuesioner dan Gili Genting.
diperuntukkan untuk responden yang Secara umum, kecamatan-kecamatan
berhubungan langsung dengan balita. di Kabupaten Sumenep bebas dari kasus
Responden yang digunakan adalah gizi, kecuali Kecamatan Batuan,
kader posyandu, ibu yang memiliki Kecamatan Sapeken dan Kecamatan
balita, bidan dan petugas puskemas. Masalembu. Sedangkan pemberian ASI
4. Penyusunan rumusan strategis dan eksklusif pada tahun 2017 mencapai 25 %
rekomendasi dalam penanganan (sejumlah 1.787 bayi) dari jumlah total
gizi buruk balita bayi yaitu 7.059 bayi. Permasalahan
Perumusan strategi penanganan pemberian ASI eksklusif perlu di
dilakukan dengan menggunakan tingkatkan, yaitu dengan cara
metode SWOT (Strength, Weakness, meningkatkan kesadaran ibu yang
Oppurtunity, Threath). Penyebaran mempunyai bayi.
kuesiner untuk analisis SWOT
dilakukan terhadap responden yaitu
petugas kesehatan sebagai pakar gizi
38 Jurnal Pamator

Tabel 1. Penemuan Kasus Gizi Buruk prevalensi balita gizi buruk menjadi 3,6
JUMLAH KASUS GIZI BURUK persen atau kekurangan gizi pada anak
No PUSKESMAS balita menjadi 15,5 persen (Bappenas,
2013 2015 2017
2010). Pencapaian target MDGs belum
1 Pandian 8 4 2 maksimal dan belum merata di setiap
2 Pamolokan 4 0 1 provinsi. Besarnya prevalensi balita gizi
3 Batuan 0 0 1 buruk di Indonesia antar provinsi cukup
4 Kalianget 9 4 3 beragam (Riskesdas, 2013).
Tabel 2. Prosentase Balita BGM
5 Talango 1 0 0
JUMLAH
6 Manding 5 1 0
NO PUSKESMAS
7 Bluto 3 0 1 BALITA BGM %

8 Gili genting 10 1 4 1 Pragaan 4216 89 2,11


9 Saronggi 3 3 0 2 Bluto 3573 24 0,67
10 Lenteng 12 2 2 3 Seronggi 2828 99 3,50
11 Moncek tengah 0 0 0 4 Giligenting 2008 75 3,74
12 Guluk-guluk 6 5 4 5 Talango 3285 58 1,77
13 Ganding 13 4 8 6 Kalianget 318 47 14,78
14 Pragaan 11 7 0 7 Pandian 1983 14 0,71
15 Ambunten 16 11 4 8 Pamolokan 3834 22 0,57
16 Pasongsongan 5 5 2 9 Batuan 886 115 12,98
17 Dasuk 0 0 0 10 Lenteng 2912 15 0,52
18 Rubaru 0 1 0 11 Moncek Tengah 1834 27 1,47
19 Batang-batang 2 4 1 12 Ganding 2877 48 1,67
20 Legung timur 3 1 1 13 Guluk-Guluk 421 49 11,64
21 Batu putih 0 0 0 14 Pasongsongan 3445 80 2,32
22 Dungkek 7 1 1 15 Ambunten 3181 42 1,32
23 Gapura 5 7 4 16 Rubaru 3073 34 1,11
24 Arjasa 4 1 1 17 Dasuk 2398 99 4,13
25 Kayuaro 0 0 1 18 Manding 2172 36 1,66
26 Sapeken 10 3 3 19 Batuputih 3537 20 0,57
27 Ra'as 0 0 0 20 Gapura 3079 52 1,69
28 Gayam 2 1 0 21 Batang-batang 2788 58 2,08
29 Nonggunong 5 5 2 22 Legung 1464 26 1,78
30 Masalembu 0 0 0 23 Dungkek 3014 32 1,06
JUMLAH 144 71 46 24 Nonggunong 132 16 12,12
25 Gayam 2794 40 1,43
Persentase kematian maternal di 26 Ra'as 29 25 86,21
Kabupaten Sumenep pada tahun 2013 27 Sapeken 2762 28 1,01
mencapai 17%, tahun 2015 mencapai 32
28 Arjasa 534 35 6,55
% dan pada tahun 2017 mengalami
penurunan 28%. Sedangkan jumlah balita 29 Kayuaro 1484 268 18,06
lahir mati pada tahun 2013 mencapai 163, 30 Masalembu 1742 4 0,23
tahun 2015 mencapai 202 balita dan pada JUMLAH 68603 1577 2,30
tahun 2017 mencapai 171 balita.
Prevalensi balita gizi buruk merupakan
Berdasarkan data riset kesehatan
indikator Millenium Development Goals
dasar (Riskesdas) 2010, secara nasional
(MDGs) yang harus dicapai disuatu
prevalensi balita gizi buruk sebesar 4,9
daerah (kabupaten/kota) pada tahun
persen dan kekurangan gizi 17,9 persen.
2015, yaitu terjadinya penurunan
Maflahah, I Analisis Status Gizi Balita 39

Rentang prevalensi BBLR (per 100) di puskesmas atau 1 Puskemas melayani


Indonesia adalah 1,4 sampai 11,2, 40.027 penduduk. Kondisi tersebut
dimana yang terendah di Provinsi Daerah menunjukan bahwa jumlah puskesmas di
Istimewa Yogyakarta dan tertinggi di Provinsi Jawa Timur masih kurang dari
Provinsi Gorontalo. Provinsi Jawa Timur target nasional (1 puskesmas rata-rata
termasuk daerah dengan balita gizi buruk melayani 30.000 penduduk).
masih tergolong tinggi. Hal ini ditunjukkan Penimbangan berat badan balita
dengan prevalensi gizi buruk sebesar 4,8 merupakan salah satu cara yang paling
persen. Walaupun pada tingkat nasional efektif dalam memantau tingkat
prevalensi balita kurang gizi telah hampir perkembangan gizi balita. Secara umum,
mencapai target MDGs, namun masih kesadaran para orang tua dalam
terjadi disparitas antar provinsi, antara menimbang berat badan balita ke
perdesaan dan perkotaan, dan antar Posyandu atau Polindes meningkat pada
kelompok sosial-ekonomi. Masih banyak periode waktu 2008-2010. Hal ini dapat
bayi di bawah lima tahun di Jawa Timur dilihat pada meningkatkanya prosentase
yang mengalami gizi buruk (Surabaya jumlah balita yang ditimbang sebesar
Post, 2012). Dari total 1,29 juta balita di 0.18%. Secara umum, prosentase jumlah
Jatim, sekitar 38% diantaranya menderita balita yang ditimbang untuk masing-
gizi buruk. Masih banyak kasus gizi buruk masing kabupaten cukup bervariasi.
di berbagai daerah di Jawa Timur itu Peningkatan prosentase jumlah balita
bukan karena faktor kemiskinan, tapi lebih yang ditimbang, meningkat cukup pesat di
karena perilaku terhadap pola asup gizi beberapa kabupaten misalnya :
makanan anak. Dari survei yang dilakukan Bojonegoro, Lamongan, Malang, Kota
menunjukkan 38 persen gizi buruk karena Probolinggo dan Trenggalek. Sedangkan
perilaku yang keliru terhadap pola asup penurunan jumlah balita yang ditimbang
gizi makanan pada anak, sedangkan 20 menurun drastis di beberapa kabupaten
persen karena penyakit. lainnya, yaitu : Sumenep, Situbondo,
Menurut Dinas Kesehatan Jatim (2011) Sampang, Probolinggo, Kota Mojokerto,
angka balita dengan gizi buruk sudah Madiun dan Magetan. Hal yang cukup
menurun sekitar 2% dibanding dengan menarik terejadi di Kabupaten Lamongan
sebelumnya. Untuk terus menekan angka dan Sumenep. Pada penjelasan
tersebut, ibu–ibu harus diberi pemahaman sebelumnya, Kabupaten Sumenep dan
yang komprehensif tentang pola asup gizi Lamongan termasuk kabupaten dengan
makanan anak. Salah satu upaya untuk pertumbuhan balita cukup tinggi. Namun,
menekan balita dengan gizi buruk itu, hasil analisa selanjutnya menunjukkan
adalah dengan menambah jumlah Taman bahwa terjadi penurunan prosentase balita
Posyandu. Keberadaan Taman Posyandu yang ditimbang di Sumenep.
itu diharapkan bisa memberi pengetahuan Pengukuran berat badan secara teratur
tentang kebutuhan gizi anak. Sampai saat dapat menggambarkan keadaan gizi anak,
ini di Jawa Timur jumlah Posyandu yang sehingga dapat dipakai sebagai salah satu
tercatat ada 226.829 dan yang aktif pemantau pertumbuhan fisik anak. Berat
sebanyak 226.227. Sampai pada 2013 badan merupakan ukuran yang sensitif
mendatang ditargetkan ada 10 ribu Taman yang sangat dipengaruhi oleh perubahan
Posyandu berdiri di Jawa Timur. status gizi. Pada tingkat puskesmas atau
Puskesmas merupakan ujung tombak lapangan, penentu status gizi yang umum
pelayanan kesehatan termasuk juga dilakukan adalah dengan menimbang
peningkatan gizi balita. Sampai dengan balita (berat badan per umur), kemudian
tahun 2010, jumlah puskesmas di Provinsi indeks berat badan menurut umur tersebut
Jawa Timur sebanyak 950 unit yang terdiri dibandingkan dengan angka standar/anak
dari 467 puskesmas perawatan dan 483 yang normal. Tinggi badan anak tidak
puskesmas non perawatan yang tersebar akan berkurang dengan menurunnya
di 622 kecamatan. Rasio puskesmas keadaan gizi anak tersebut (Robiah,
terhadap penduduk sebesar 2.50 per 2007). Rangkaian garis pertumbuhan
100.000 penduduk, artinya setiap tersebut membentuk grafik pertumbuhan
100.000 penduduk dilayani oleh 2-3 anak.
40 Jurnal Pamator

Gambar 2. Perubahan Jumlah Balita Ditimbang 2015-2018

 Mengalami gangguan fungsi


Anak balita yang sehat atau kurang gizi
saluran pencernaan.
secara sederhana dapat diketahui dengan
Makanan yang tidak cukup
membandingkan antara berat badan
mengandung gizi dapat membuat balita
menurut umur atau berat badan menurut
rentan kekurangan gizi banyak faktor yang
tinggi, apabila sesuai dengan standar
dapat menyebabkan balita menderita gizi
anak disebut Gizi Baik. Kalau sedikit di
buruk yaitu : sumber daya manusia,
bawah standar disebut Gizi Kurang,
himpitan ekonomi, asupan gizi yang tidak
sedangkan jika jauh di bawah standar
seimbang , sering kita mendengar atau
disebut Gizi Buruk. Bila gizi buruk disertai
melihat di media elektronik dan media
dengan tanda tanda klinis seperti ; wajah
cetak. Dewasa ini masih banyak daerah
sangat kurus, muka seperti orang tua,
daerah yang memiliki balita penderita gizi
perut cekung, kulit keriput disebut
buruk, khususnya daerah daerah pada
Marasmus, dan bila ada bengkak
garis grafik kemiskinan yang cukup tinggi
terutama pada kaki, wajah membulat dan
dan daerah pingiran atau pedalaman yang
sembab disebut Kwashiorkor. Marasmus
tidak terjangkau oleh sosialisasi hidup
dan Kwashiorkor atau Marasmus
sehat pada masyarakat setempat.
Kwashiorkor dikenal di masyarakat
Secara umum, terjadi penurunan
sebagai “busung lapar”.Gizi buruk pada
jumlah kasus balita gizi buruk di Jawa
anak balita disebut juga kurang energi
Timur pada periode tahun 2013 – 2017.
protein, ditandai dengan kondisi berat
Tercatat pada tahun 2013 jumlah kasus
badan kurang dari berat seharusnya
balita gizi buruk di Jawa Timur mencapai
(berat badan pada KMS berada dibawah
angka 13.312 orang, sedangkan pada
garis merah atau pita kuning bagian
tahun 2017 jumlah tersebut menurun
bawah). Penyebab timbulnya gizi buruk:
drastis menjadi sekitar 7.760 orang, atau
 Kurang makan makanan yang
mengalami penurunan sebesar 5.552
bergizi dalam waktu yang lama
orang balita. Penurunan tertinggi terjadi di
 Menderita penyakit terutama Kabupaten Malang. Pada tahun 2013
penyakit infeksi
Maflahah, I Analisis Status Gizi Balita 41

tercatat sebanyak 1.489 kasus, 28 tahun dan 26 tahun. Sementara itu,


sedangkan pada tahun 2017 hanya jumlah responden yang berusia 39-51
tercatat sebanyak 289 kasus saja. Selain tahun terlihat cukup sama jumlahnya.
itu, daerah yang berhasil menurunkan Selanjutnya, sebagian besar responden
jumlah kasus balita gizi buruk adalah (82.05%) memiliki 1 orang balita yang
Surabaya Kota dan Kabupaten diasuh dalam keluarga. Selain itu,
Bangkalan. Untuk Kota Surabaya, pada responden yang memiliki 2 orang balita
tahun 2013, jumlah kasus balita gizi buruk dalam keluarga adalah sekitar 15.38%
menurun tajam dari 2.068 kasus menjadi dari seluruh responden dan 2.56%
hanya 1.132 kasus. Sedangkan di responden lainnya memiliki atau
Kabupaten Bangkalan, terjadi penurunan mengasuh balita sebanyak 3 orang dalam
dari 927 kasus pada tahun 2013 menjadi keluarganya (Gambar 3). Selanjutnya,
hanya 11 kasus pada 2017. Akan tetapi, apabila diperhatikan dari usia balita yang
terdapat pula beberapa kabupaten yang diasuh, maka terlihat bahwa sebagian
mengalami peningkatan jumlah kasus gizi besar responden mengasuh balita pada
balita, seperti yang terjadi di Kota usia 11-15 bulan dan 21-25 bulan. Apabila
Probolinggo dan Kabupaten Tuban. Untuk dirata-rata, maka usia balita yang diasuh
Kabupaten Tuban, tercatat terjadi oleh responden dalam penelusuran data
peningkatan sebanyak 162 kasus dari 375 kuisioner ini adalah 23.01 ± 0.15 bulan.
kasus di tahun 2013 menjadi 537 kasus di
2017. Sedangkan di Kota Probolinggo,
jumlah kasus gizi balita naik dari 186
kasus pada tahun 2013 menjadi 366
kasus pada tahun 2017.

- Analisis Hasil Kuisioner


Selain data-data dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Sumenep, pada penelitian ini
juga dilakukan pengumpulan data
menggunakan kuisioner. Tujuan dari
pengumpulan data melalui kuisioner ini
adalah untuk mengetahui peranan orang
tua dalam menentukan jenis konsumsi Gambar 3. Jumlah Balita yang Diasuh
asupan balita. Data kuisioner disebarkan oleh Responden
kepada 78 sample/responden ibu rumah Salah satu faktor yang diduga dapat
tangga Tabel dibawah ini menyajikan nilai- mempengaruhi jenis dan jumlah asupan
nilai statistik penting dari sample balita dalam rangka pencegahan gizi
responden yang diambil. buruk adalah pengetahuan orang tua.
Tabel 3. Statistik Sample Kuisioner Untuk mengukur tingkat pengetahuan
Statistik Nilai orang tua, maka data tingkat pendidikan
orang tua balita dapat dijadikan acuan.
Jumlah Sample (n) 78
Pada peneluisuran data kuisioner,
Rata-Rata Usia Sample (tahun) 30.65 didapatkan informasi bahwa sebagian
Usia Maximum Sample (tahun) 51 besar orang tua responden telah memiliki
Usia Minimum Sample (tahun) 20 tingkat pendidikan yang cukup baik. Hal ini
Standar Baku (tahun) 6.19
ditunjukkan oleh besarnya prosentase
Berdasarkan data diatas, maka dapat orang tua yang telah menamatkan
terlihat bahwa rata-rata usia responden pendidikan SMA (43.59% ayah dan
dalam pengumpulan data kuisioner adalah 50.00% ibu). Selain itu kurang lebih
30.65±6.19 tahun dengan usia minimum 29.49% ayah dan 23.08% ibu telah
adalah 20 tahun dan usia maksimum menamatkan pendidikan sampai
adalah 51 tahun. Responden paling Perguruan Tinggi. Sementara itu, jumlah
banyak berusia 30 tahun. Jumlah orang tua yang tingkat pendidikannya
responden terbanyak berikutnya adalah rendah berkisar antara 15% sampai
dengan 20%. Data ini menunjukkan
42 Jurnal Pamator

bahwa, sebagian besar responden telah balita merupakan masa kehidupan yang
memiliki tingkat pendidikan yang cukup sangat penting dan perlu diberikan
tinggi, sehingga diduga bahwa perhatian yang serius. Pada masa ini
pengetahuan akan kesehatan balita berlangsung proses tumbuh kembang
terutama tentang permasalahan gizi yang sangat pesat yaitu pertumbuhan fisik
sudah dikenal dengan cukup baik. Anak dan perkembangan psikomotorik (mental
balita merupakan kelompok yang dan sosial). Pertumbuhan dan
menunjukkan pertumbuhan badan yang perkembangan balita sangat terkait
pesat, sehingga memerlukan zat gizi yang dengan kondisi atau keadaan gizi balita
tinggi setiap kg berat badannya. tersebut serta pola asuh, termasuk
Pendapatan suatu keluarga merupakan pengasuh balita itu sendiri. Pada
salah satu unsur yang dapat penelusuran data melalui kuisioner,
memperngaruhi status gizi. Hal ini dilakukan pula penggalian informasi
menyangkut daya beli keluarga untuk mengenai pengasuh balita. Hasil nya
memenuhi kebutuhan konsumsi makan. disajikan pada gambar dibawah ini.
Masa balita sangat tergantung pada Ibu
atau pengasuhnya sehingga pertumbuhan
dan perkembangannya sangat tergantung
pada pola asuh gizinya. Oleh sebab itu,
pada penelitian ini dilakukan pula
penelusuran data terkait pendapatan
keluarga responden. Hasilnya ditampilkan
pada gambar berikut ini :

Gambar 5. Pola Pengasuhan Balita

Sebanyak 66.67% responden memilih


untuk mengasuh balita sendiri.
Responden yang mengasuh balita mereka
sendiri kemungkinan adalah ibu rumah
tangga yang tidak bekerja. Selain diasuh
sendiri, para balita juga diasuh oleh
Gambar 4. Tingkat Pendapatan pembantu rumah tangga. Jumlah
Responden responden yang melakukan hal tersebut
Pendapatan keluarga per bulan dapat hanya sekitar 5.13%. Sementara itu,
mencerminkan tingkat ekonomi keluarga bantuan keluarga dalam mengasuh balita
(Gambar 4). Pada penelusuran data tampaknya juga banyak dilakukan. Hal ini
kuisioner ini, didapatkan data bahwa terlihat dari sekitar 7.69% responden yang
sekitar 31% responden memiliki mengasuh balita dengan bantuan
pendapatan <Rp. 1.000.000 per bulan. keluarga lainnya. Jasa baby sitter untuk
Sementara itu, responden yang memiliki mengasuh balita, ternyata hanya sedikit
penghasilan sampai dengan 2 juta per ditemui. Pada penelusuran data, hanya
bulan adalah 20.05% dan responden 1.28% responden yang memilih untuk
dengan penghasilan >Rp.2.000.000 menggunakan tenaga babi sitter untuk
mencapai kurang lebih 23.15%. Distribusi mengasuh balita mereka. Masalah gizi
penghasilan seperti yang ditampilkan kurang dapat diperbaiki jika balita
menunjukkan sebaran yang cukup mendapatkan pola asuh yang baik. Hal ini
seimbang antara responden sesuai dengan penelitian yang dilakukan
berpenghasilan rendah dan sedang. Hal oleh Hamidah (2006), yang menyatakan
ini dapat terjadi karena survey ada hubungan pola asuh gizi dengan
dilaksanakan dengan mengambil sample status gizi. Dari hasil penelitian yang
di wilayah perkotaan dan pedesaan. Masa sudah dilakukan oleh Wigati (2009) dapat
Maflahah, I Analisis Status Gizi Balita 43

diketahui bahwa variasi makanan pemberian imunisasi dan metode asupan


berhubungan bermakna dengan kejadian pola makannya. Sesuaikan
gizi buruk. Demikian juga ditemukan perkembangan fisik bayi dengan pola
bahwa tipe pola asuh juga merupakan makannya, selama masih dalam
faktor yang berhubungan bermakna pemantauan orangtua dan dokter anak,
dengan kejadian gizi buruk Faktor tersebut bayi akan mencapai proses tumbuh
tidak terlepas dari peran serta keluarga di kembang secara optimal. Beberapa hal
dalam mengasuh untuk meningkatkan yang penting untuk diingat, seberapa
status gizi anak. banyak dan seberapa sering bayi makan,
Pola asuh gizi adalah sikap dan semuanya tergantung pada usia, tingkat
perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal pertumbuhan, berat badan, dan
member makan, kebersihan, memberi metabolisme. Dan semua itu tak sama
kasih sayang, dan sebagainya antara satu bayi dengan bayi lainnya.
berhubungan dengan keadaan ibu dalam Mengingat pentingnya pengaruh jenis
hal kesehatan fisik dan mental asupan terhadap pemenuhan gizi balita,
(Soekirman, 2000). Praktek pola asuh gizi maka dalam penelitian ini dilakukan pula
dalam rumah tangga biasanya pengumpulan data mengenai jenis asupan
berhubungan erat dengan faktor yang secara rutin diberikan orang tua atau
pendapatan keluarga, tingkat pendidikan pengasuh kepada balita. Hasilnya
dan pengetahuan ibu. Menurut Suhardjo menunjukkan bahwa jenis asupan yang
(1986) anak–anak yang tumbuh dalam diberikan oleh sebagian besar responden
suatu keluarga miskin adalah paling rawan adalah ASI ditambah dengan makanan
terhadap kurang gizi diantara seluruh lainnya (39.75%).
anggota keluarga lainnya dan anak yang Sementara itu, sebanyak 21.78%
kecil biasanya paling terpengaruh oleh responden menyebutkan bahwa mereka
kurang pangan. hanya memberikan ASI saja sebagai
Dari paska lahir, berat bayi yang asupan bagi balita. Selanjutnya susu
mencapai rata-rata 3 kg, dalam kurun formula menjadi pilihan asupan
waktu satu tahun pertumbuhannya bisa selanjutnya yang diberikan oleh
mencapai sekitar 9 kg. Oleh karena itu, responden kepada para balita. Jumlah
sangatlah penting pemberian makanan responden yang memberikan susu
pada bayi harus memenuhi syarat formula adalah sekitar 17.95%,
kebutuhan gizi. Pada prinsipnya, bayi sedangkan sekitar 20.51% responden
memerlukan pemberian makanan secara telah memberikan asupan makanan
bertahap. Dari tahap awal yang dimulai kepada balita.
dari yang cair, lalu setengah padat,
kemudian padat dan dilanjutkan makanan
biasa berupa nasi dan lauk pauk. Tidak
ketinggalan asupan air, vitamin, serta
mineral untuk bayi haruslah cukup.
Walau demikian, kondisi bayi
menentukan kesiapan menerima asupan
makanan. Karena pada prakteknya
pemberian makanan bersifat individual.
Belum tentu semua bayi usia 4 bulan siap
diberi bubur susu. Kondisi fisik bayi juga
menentukan kesiapan menerima jenis
asupan makanan. Kondisi fisik bayi Gambar 6. Jenis Makanan/ Asupan Balita
meliputi berat dan tinggi badannya. yang Diberikan para Responden
Dimana dalam hal ini dokter anak-lah Berdasarkan gambar diatas, pada
yang memiliki kompetensi khusus yang umumnya balita mulai diberikan makanan
menilai. Oleh karena itu, penting sekali selain ASI pada usia 3-6 bulan. Hal ini
anak dipantau tumbuh kembangnya tiap terlihat dari prosentase jumlah responden
bulan dari aspek keseluruhan. Dari tinggi yang menyebutkan hal itu, yaitu sekitar
badan bayi, berat badan bayi, jadwal 53.84%. Ada pula responden yang
44 Jurnal Pamator

memberikan makanan selain ASI pada Sedangkan pada kelompok responden


usia balita yang lebih muda yaitu pada yang memiliki pendapatan sampai dengan
kisaran usia 0-2 bulan. Responden yang Rp.1.000.000 per bulan, jumlah yang
menyatakan hal tersebut sekitar 20.51%. memberikan lauk hewani, sayur dan buah
Sementara itu, prosentase responden setiap hari maupun tidak cukup
yang memberikanan makanan selain ASI berimbang.
pada usia 7-12 bulan adalah 15.38% dan
sekitar 8.56% responden memilih - Perencanaan Penanganan Status Gizi
memberikanan makanan selain ASI pada Balita
usia balita diatas 12 bulan. Penentu kualitas sumberdaya manusia
Selain asupan berupa ASI, balita juga salah satunya adalah faktor gizi.
memerlukan asupan berupa makanan. Kecukupan gizi sangat dibutuhkan oleh
Pada penelitian ini didapatkan data bahwa setiap manusia, mulai dari dalam
setidaknya terdapat 3 jenis kelompok kandungan, bayi, balita , anak-anak,
makanan yang diberikan oleh para Ibu remaja, dewasa sampai usia lanjut. Calon
kepada balita sebagai makanan Non-ASI. ibu merupakan bagian usia yang harus
Tiga jenis makanan tersebut adalah mempehatikan masalah gizi. Calon ibu
makanan bayi buatan pabrik, makanan harus benar-benar menjaga kecukupan
bayi buatan sendiri (buatan rumah) dan gizinya karena nantinya akan melahirkan
MP-ASI dari Dinkes setempat. Hasil bayi yang sehat. Kekurangan gizi
kuisioner meunjukkan bahwa 67.94% menyebabkan kegagalan pertumbuhan
makanan yang diberikan kepada balita fisik dan perkembangan kecerdasan,
adalah makanan buata rumah. Sedangkan menurunkan produktivitas kerja dan
sekitar 25.64% responden memberikan menurunkan daya tahan
makanan buatan pabrik dan hanya sekitar tubuh, yang berakibat meningkatnya
6.41% responden memberikan MP-ASI angka kesakitan dan kematian.
kepada para balita mereka. Terjadinya status gizi dimulai dari ada
Pemberian vitamin, mineral dan protein kegagalan produksi ataupun kegagalan
juga sangat dibutuhkan untuk menjaga panen. Kegagalan produksi akan
kondisi gizi balita dalam keadaan yang menyebabkan krisis ekonomi terjadi.
baik. Sumber vitamin, protein dan mineral Kegagalan produksi dan didukung dengan
untuk balita dapat bersumber dari lauk adanya krisis ekonomi akan menyebabkan
pauk hewani, buah dan sayuran. ketersediaan pangan di masyarakat
Berdasarkan data kusioner tercatat bahwa menurun. Ketersediaan pangan menurun
sekitar 78.21% responden telah dapat di atasi dengan mendatangkan
memberikan campuran lauk pauk hewani produk pangan dari luar, namun hal
pada makanan balita dan kurang lebih tersebut membutuhkan biaya yang cukup
87.18% responden telah memberikan besar. Dengan adanya krisis ekonomi,
tambahan sayur dan buah pada makanan otomatis pendapat masyarakat akan
balita. Sekitar 51.28% responden menurun, sehingga ketersediaan pangan
menyatakan bahwa pemberian lauk rumah tangga akan menurun juga. Selain
hewani, sayur dan buah dilakukan setiap itu, pendapatan masyarakat menurun
hari, sedangkan sisanya (48.72%) akan diimbangi daya beli yang menurun,
memberikan lauk hewani, sayur dan buah sehingga tidak mampu untuk membeli
tidak setiap hari. makanan bergizi. Asupan makanan yang
Jumlah responden yang memberikan tidak bergizi akan menimbulkan infeksi
tambahan lauk hewani, sayur dan buah terhadap tubuh manusia. Berdasarkan
setiap hari berasal dari kelompok hasil kuesioner terhadap stakeholder
responden memiliki pendapatan antara maka diperoleh hasil tentang faktor –
Rp.1.000.000 – diatas Rp.2.000.000, yaitu faktor yang mempengaruhi status gizi
sebanyak 25 orang responden. balita di Kabupaten Sumenep adalah :
Sementara itu pada kelompok pendapatan
yang sama, terdapat 20 orang responden 1. Penyakit infeksi
yang ternyata tidak dapat memberikan Penyakit infeksi yang banyak terjadi pada
lauk hewani, sayur dan buah pada balita. balita adalah penyakit diare dan ISPA.
Maflahah, I Analisis Status Gizi Balita 45

Kedua penyakit tersebut sangat rentan dengan asupan gizi yamg baik dan
pada balita yang mempunyai status gizi berkualitas jika harganya super mahal.
buruk. Balita yang mengalami gizi buruk,
membutuhkan perawatan, dan pasca 5. Pelayanan kesehatan
perawatan kondisi kesehatan harus tetap Sistem pelayanan kesehatan yang ada
diperhatikan. Balita yang menderita diare diharapkan dapat menjamin penyediaan
dan ISPA dalam waktu yang cukup lama air bersih dan sarana pelayanan
akan menyebabkan berat badan akan kesehatan dasar yang terjangkau oleh
terus menurun. Hal ini akan berpengaruh setiap keluarga yang membutuhkan.
terhadap status gizinya. Selain diare, anak
balita pasca perawatan gizi buruk juga 6. Konsumsi / ketersediaan pangan
rentan dengan penyakit ISPA. ISPA yang Persoalan gizi buruk dan kurang gizi juga
diderita oleh sebagian besar anak balita terkait dengan masalah ketahanan
ini tergolong kategori ringan yaitu batuk pangan. Kebijakan ketahanan pangan
disertai dengan tanda atau gejala seperti harus mendapat mendapat perhatian yang
pilek, panas atau demam, dan serak. serius, yakni kebijakan untuk menjamin
ketersediaan pangan yang mencukupi
2. Gizi / asupan makanan bagi penduduk. Ketersediaan pangan
Masalah utama disebabkan kekurangan yang memadai ialah kualitas pangan itu
atau ketidakseimbangan asupan energi sendiri. Artinya penduduk mengkonsumsi
dan protein. Masalah gizi makro bila nutrisi-nutrisi mikro (gizi dan vitamin) yang
terjadi pada wanita usia subur dan ibu mencukupi untuk hidup sehat. Kebijakan
hamil yang Kurang Energi Kronis (KEK) penting yang akan berpengaruh pada
adalah berat badan bayi baru lahir yang kualitas pangan dan nutrisi adalah upaya
rendah (BBLR). Bila terjadi pada anak untuk melindungi sejumlah komoditas
balita akan mengakibatkan marasmus, pangan, memperkenalkan program
kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor pangan tambahan setelah krisis, dan
dan selanjutnya akan terjadi gangguan penyebaran dan pemasaran informasi
pertumbuhan pada anak usia sekolah. mengenai nutrisi.

3. Pola asuh 7. Konsumsi makanan ibu hamil


Pola asuh akan mempengaruhi status gizi, Konsumsi makanan yang dikonsumsi ibu
setiap keluarga diharapkan dapat hamil harus berkualitas, karena akan
menyediakan waktu, perhatian dan melahirkan bayi yang sehat.
dukungan terhadap anak agar dapat
tumbuh kembang dengan baik. Baik 8. Masalah struktural
pertumbuhan fisik, mental maupun Masalah gizi buruk atau kurang gizi yang
pertumbuhan sosial. menimpa sebagian masyarakat bukan
sekedar masalah kultural masyarakat, tapi
4. Ekonomi juga masalah struktural. Sebagian
Kondisi perekonomian masyarakat akan masyarakat yang terkena masalah gizi
mempengaruhi daya beli masyarakat. buruk atau gizi kurang bukan karena
Daya beli masyarakat terutama perilaku dan pola asuh yang salah
masyarakat miskin sedang mengalami semata, tapi juga karena kebijakan
penurunan, karena melambungnya harga pembangunan, terutama di bidang
sembako dan makanan bergizi seperti kesehatan yang kurang berpihak pada
susu. Harga beras saat ini dengan kualitas mereka. Pertumbuhan perekonomian dan
beras standar mencapai harga di atas Rp pembangunan hanya dinikmati oleh
7.000,- Harga beras dengan standar sebagian kecil orang atau kelompok
sedang mencapai harga Rp 8.000 – Rp menengah ke atas. Pertumbuhan dan
9000,-. Harga beras yang terus pembangunan yang timpang berdampak
melambung, masyarakat miskin, nyaris langsung terhadap kualitas kehidupan
tidak mampu untuk membelinya. masyarakat, terutama dalam hal
Bagaimana mungkin masyarakat mau kesehatan masyarakat.
memiliki kesehatan yang berkualitas
46 Jurnal Pamator

Tabel 4. Hasil Analisa SWOT


Analisa Swot Perencanaan STRENGTH (Kekuatan) WEAKNESS (Kelemahan)
Penanganan Status Gizi Balita 1. Adanya program pemerintah 1. Pengetahuan orang tua rendah
Kabupaten Sumenep yaitu : 2. Perilaku orang tua
o MP – ASI 3. Merubah pola pikir / kebiasaaan
o Pemberian PMT orang tua/lingkungan/keluarga
penyuluhan dan atau PMT dari balita
pemulihan 4. Merubah pola asuh
o Program ASI eksklusif 5. Masih kurangnya kesadaran
o Germas DARSI / KADARZI masyarakat terhadap kegiatan
(Keluarga Sadar Gizi) program pemerintah
o Posyandu 6. Kesadaran ibu – ibu yang
o Pendidikan gizi dan mempunyai balita untuk ke
kesehatan pada ibu – ibu posyandu atau pelayanan
yang mempunyai balita kesehatan
o Pemberian vitamin A dosis 7. Akses jalan yang tidak
tinggi memadai untuk sampai ke
2. Lembaga yang terlibat aktif : pelayanan kesehatan
Dinas kesehatan,PKK, Dinas
Ketahanan Pangan, Bappeda,
Pemda, LSM, Dinas sosial,
Kader posyandu, PLKB,
Puskemas, Posyandu, Karang
taruna
OPPORTUNITY (Peluang)
1. Keinginan orang tua 1. Pendampingan pemberian 1. Mengembalikan fungsi
memiliki anak yang sehat asupan gizi posyandu dan meningkatkan
2. Adanya program 2. Mengaktifkan posyandu kembali partisipasi masyarakat
pemerintah untuk dan keluarga dalam
meningkatkan gizi balita 3. Mengoptimalkan surveilans memantau, mengenali dan
berbasis masyarakat melalui menanggulangi secara dini
SKDN, Sistem Kewaspadaan gangguan pertumbuhan pada
Dini Kejadian Luar Biasa (SKD- balita utamanya baduta.
KLB) Gizi Buruk, dan Sistem 2. Meningkatkan kemampuan
Kewaspadaan Pangan dan dan keterampilan SDM
Gizi (SKPG), untuk puskesmas beserta
meningkatkan manajemen jaringannya dalam tatalaksana
program perbaikan gizi. gizi buruk dan masalah gizi
4. Mewujudkan keluarga sadar lain, manajemen laktasi dan
gizi melalui advokasi, konseling gizi.
sosialisasi dan KIE gizi 3. Akses jalan dan sarana
seimbang. prasarana kesehatan dibuat
5. Mengoptimalkan surveilans memadai
berbasis masyarakat melalui
SKDN, Sistem Kewaspadaan
Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-
KLB) Gizi Buruk, dan Sistem
Kewaspadaan Pangan dan
Gizi (SKPG), untuk
meningkatkan manajemen
program perbaikan gizi.
THREAT (Ancaman)
1. Kondisi perekonomian 1. Pemberian suplementasi Menggalang kerjasama lintas sektor
yang semakin sulit gizi. dan kemitraan dengan masyarakat
2. Tuntutan perekonomian, 2. Pemberian MP – ASI bagi beserta swasta/dunia usaha dalam
wanita bekerja balita gakin memobilisasi sumberdaya untuk
3. Urbanisasi (meninggalkan 3. Penemuan aktif dan penyediaan pangan di tingkat rumah
balita di desa) rujukan kasus gizi buruk. tangga, peningkatan daya beli
4. Jumlah balita gizi buruk 4. Perawatan balita gizi buruk keluarga, dan perbaikan pola asuhan
tingi 5. Pendampingan balita gizi gizi keluarga
5. Infeksi dan ISPA buruk pasca perawatan

KESIMPULAN memantau, mengenali dan


Berdasarkan hasil Analisa SWOT pada menanggulangi secara dini gangguan
strategi perencanaan penanganan status pertumbuhan pada balita utamanya
gizi balita di Kabupaten Sumenep sebagai baduta.
berikut : 2. Meningkatkan kemampuan dan
1. Mengembalikan fungsi posyandu dan keterampilan SDM puskesmas beserta
meningkatkan kembali partisipasi jaringannya dalam tatalaksana gizi
masyarakat dan keluarga dalam
Maflahah, I Analisis Status Gizi Balita 47

buruk dan masalah gizi lain, manajemen Hermina, P.S. 2011. Gambaran
laktasi dan konseling gizi. Keragaman Makanan dan
3. Menanggulangi secara langsung Sumbangannya Terhadap Konsumsi
masalah gizi yang terjadi pada Energi Protein Pada Anak Balita
kelompok rawan termasuk keadaan Pendek (Stunting) di Indonesia.
darurat melalui suplementasi zat gizi Puslitbang Gizi dan Makanan Badan
mikro, MP-ASI, makanan tambahan dan Litbangkes Kemenkes RI. Jurnal
diet khusus. Badan Litbangkes, Vol 39 No 2.62-73
4. Mewujudkan keluarga sadar gizi melalui pp.
advokasi, sosialisasi dan KIE gizi
seimbang. Mugianti, S.,Mulyadi, A.,Anam, A.K &
5. Mengoptimalkan surveilans berbasis Najah. Z.L. 2018. Faktor Penyebab
masyarakat melalui SKDN, Sistem Anak Stunting Usia 25-60 Bulan di
Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa Kecamatan Sukorejo Kota Blitar. Jurnal
(SKD-KLB) Gizi Buruk, dan Sistem Ners dan Kebidanan. Vol 5 No 3.
Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG),
untuk meningkatkan manajemen
program perbaikan gizi. Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar
6. Mengembangkan model intervensi gizi Tahun 2013. Badan Penelitian dan
tepat guna yang evidence based. Pengembangan Kesehatan.
7. Menggalang kerjasama lintas sektor dan Kementerian Kesehatan RI.
kemitraan dengan masyarakat beserta
swasta/dunia usaha dalam memobilisasi Sari, D.N.I. 2014. Hubungan Pemberian
sumberdaya untuk penyediaan pangan MP-ASI dengan Status Gizi pada Anak
di tingkat rumah tangga, peningkatan Usia 1-2 Tahun di Wilayah Kerja
daya beli keluarga, dan perbaikan pola Puskesmas Minggir Sleman Jogjakarta.
asuhan gizi keluarga. Naskah Publikasi. Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Aisyiah. Jogjakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Fitri. 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Setianingsih, H. 2013. Hubungan Perilaku
Dominan Terjadinya Stunting Pada Ibu dengan Pemberian MP-ASI degan
Balita (12-59 Bulan) di Sumatera Status Gizi Balita Usia 6-24 Bulan di
(Analisis Data Riskesdas 2010). Posyandu Kelurahan Wirobrajan.
Thesis. Fakultas Kesehatan Jogjakarta. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu
Masyarakat. Universitas Indonesia. Kesehatan Aisyiah. Jogjakarta.
2 Jurnal Pamator

Anda mungkin juga menyukai