Anda di halaman 1dari 130

616

Ind
p

MANAJEMEN PELAKSANAAN
KOLABORASI TB-HIV
DI INDONESIA

DIREKORAT JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2012

1
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
2
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
KATA PENGANTAR

Perkembangan epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Indonesia, termasuk


yang tercepat di kawasan Asia, sementara jumlah kasus Tuberkulosis (TB) masih
menempatkan Indonesia sebagai negara ke empat terbanyak di dunia. Epidemi HIV di
Indonesia merupakan tantangan bagi keberhasilan penanggulangan TB. Berdasarkan
data kasus HIV/AIDS dari Kementerian Kesehatan tahun 2010, menunjukkan bahwa
TB merupakan infeksi penyerta tersering pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yaitu
sebesar 49%. Pada tahun 2006 dilaksanakan survei sero prevalens di Yogyakarta dengan
hasil angka prevalens HIV sebesar 2% di antara pasien TB dan pada tahun 2008 di Provinsi
Bali sebesar 3,9%, di Provinsi Jawa Timur sebesar 0,8% dan di Provinsi Papua sebesar
14%. Hal ini menunjukkan bahwa keterkaitan epidemi TB dengan HIV/AIDS sangatlah
besar. Untuk itu, kolaborasi kegiatan kedua program ini merupakan suatu keharusan agar
mampu menanggulangi kedua penyakit tersebut secara efektif dan efisien.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 1278/ menkes/


SK/XII/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan
HIV, kegiatan kolaborasi TB-HIV menjadi bagian dari upaya pengendalian TB dan HIV/
AIDS. Pelaksanaan kolaborasi TB-HIV perlu diperluas cakupan dan kualitasnya sehingga
masyarakat yang terdampak oleh kedua penyakit ini memperoleh pelayanan yang
menyeluruh, berkualitas dan berkesinambungan. Kementerian Kesehatan menerbitkan
buku “Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia” yang merupakan
penjabaran dari Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV
sehingga upaya penyediaan pelayanan TB-HIV yang standar dan sejalan dengan Kebijakan
nasional dapat terpenuhi.

Kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan buku pedoman ini
baik secara individual ataupun kelembagaan, Kami sampaikan penghargaan dan ucapkan
terima kasih sebesar-besarnya atas kerja keras dan sumbangan yang diberikan. Segala
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan pedoman ini pada edisi mendatang
sangat diharapkan.

Jakarta, September 2011


Direktur Jenderal PP dan PL,
Kementerian Kesehatan RI

Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K),


MARS, DTM&H, DTCE

i
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
DAFTAR KONTRIBUTOR

Pengarah : Prof. dr. Tjandra Y Aditama, Sp.P (K), MARS, DTM&H, DTCE
Dr. H. Muhammad Subuh, MPPM
Penanggung jawab : Drg. Dyah Erti Mustikawati, MPH
Dr. Siti Nadia Tarmizi, MEpid

Kontributor :
1. Dr. Toni Wandra, M.Kes, Phd
2. Dr. Nani Rizkiyati, M. Kes. (Dit Jen P2M & PL)
3. Dr. Asik Surya, MPPM (Dit Jen P2M & PL)
4. Dr. Triya Dinihari (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB)
5. Naning Nugrahini, SKM, MKM (Dit Jen P2M & PL, Subdit AIDS & PMS)
6. Dr. Endang Budi Hastuti (Dit Jen P2M & PL, Subdit AIDS & PMS)
7. Dr. Vanda Siagian (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB)
8. Dr. Endang Lukitosari (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB)
9. Dr. Novayanti (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB)
10. Dr. Ratih Pahlesia, Sp.P (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB)
11. Dr. Joan Tanumihardja (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB)
12. Sulistyo, SKM, M. Epid (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB)
13. Munziarti, SKM, MM. (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB)
14. Suwandi, SKM, M. Epid. (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB)
15. Surjana, SKM, M.Kes (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB)
16. Rudi Hutagalung, BSc (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB)
17. S.T Patty, SKM (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB)
18. Yoana Anandita (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB)
19. Nurjanah, SKM, M.Kes (Dit Jen P2M & PL, Subdit AIDS & PMS)
20. Dr. Nurhalina Afriana (Dit Jen P2M & PL, Subdit AIDS & PMS)
21. Victoria Indrawati, SKM, MSc (Dit Jen P2M & PL, Subdit AIDS & PMS)
22. Dr. Indri Oktaria Sukmaputri (Dit Jen P2M & PL, Subdit AIDS & PMS)
23. Dr. Ainor Rasyid (Dit Jen P2M & PL, Subdit AIDS & PMS)
24. Dr. Janto Lingga, SpP (WHO)
25. Dr. Atiek Anartati, MPH & TM (FHI 360)
26. Dr. Niken (FHI 360)
27. Dr. Tiara Mahatmi Nisa, MS (FHI 360)
28. Rini Palupy, SKM (FHI 360)
29. Dr. Sri Retna Irawati, Sp. A (KNCV)
30. Dr. Carmelia Basri, M. Epid (Konsultan TB)
31. Dr. Franky Loprang (Konsultan TB)
32. Dr. Hedy Sampurno, MPH (Master Trainer TB)

ii
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH
AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome
AKMS Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
ART Antiretroviral Therapy = terapi antiretroviral
ARV Obat Antiretroviral
BAPPEDA Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
BAPPEKO Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota
BP4/B-BKPM Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru, Balai (Besar) Kesehatan Paru
Masyarakat
BTA Basil Tahan Asam
DOTS Directly Observed Treatment Shortcourse (terapi yang diawasi
langsung)
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
ELISA Enzyme Linked Immunosorbent Assay
ESO Efek Samping Obat
Fasyankes Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Gerdunas-TB Gerakan Terpadu Nasional TB
HAART Highly Active Antiretroviral Therapy (ART)
HIV Human Immunodeficiency Virus = virus penyebab AIDS
IDU Injecting Drug User (pengguna NAPZA suntik)
IMS Infeksi Menular Seksual
IO Infeksi Oportunistik
JEMM TB Joint External Monitoring Mission TB
KDS Kelompok Dukungan Sebaya
Kepatuhan Terjemahan dari adherence yaitu kepatuhan dan kesinambungan
berobat yang melibatkan peran pasien, dokter atau petugas
kesehatan, pendamping dan ketersediaan obat
KGB Kelenjar Getah Bening
KIA Kesehatan Ibu dan Anak
KIE Komunikasi, Informasi dan Edukasi

iii
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Komli Komite Ahli
KPAN/KPAD Komisi Penanggulangan AIDS Nasional/Komisi Penanggulangan
AIDS Daerah
KTIP Konseling dan Test HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan
KTS Konseling dan Tes HIV Sukarela
Lapas Lembaga Pemasyarakatan
LJSS Layanan Jarum Suntik Steril
LPLPO Laporan Pemakaian Dan Lembar Permintaan Obat
LSL Laki Suka Lelaki
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
MDR Multi Drug Resistant                                     
MIS Management Information System
M&E/MONEV Monitoring dan Evaluasi
MTCT Mother-To-Child Transmission (of HIV); penularan HIV dari ibu ke
anak
NAPZA Narkotik, Alkohol, Psikotropik dan Zat Adiktif lainnya
Kebal obat
OAT Obat Anti Tuberkulosis
ODHA Orang Dengan HIV AIDS
Ormas Organisasi Masyarakat
PCR Polymerase chain reaction (reaksi rantai polimerasi)
PDP Perawatan Dukungan dan Pengobatan
Penasun Pengguna NAPZA Suntikan
PITC Provider Initiated Testing and Counseling
PMO Pengawasan Minum Obat
PMTCT Prevention Of Mother-To-Child Transmission = pencegahan
penularan dari ibu ke anak
POKJA Kelompok Kerja
PPK Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol
PPP Profilaksis Pascapajanan = post exposure prophylaxis

iv
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
PTRM Program Terapi Rumatan Metadon
RNA Ribo Nucleic Acid
RS Rumah Sakit
Rutan Rumah Tahanan
SCM Supply Chain Management
SDM Sumber Daya Manusia
SGOT Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase
SGPT Serum Glutamic Pyruvate Transaminase
SOP Standar Operational Procedure
TB Tuberkulosis
Toga Tokoh Agama
Toma Tokoh Masyarakat
VCT Voluntary Counseling and Testing (tes HIV secara sukarela disertai
dengan konseling)
Waria Wanita pria
WHO World Health Organization

v
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................................................................. i
DAFTAR KONTRIBUTOR......................................................................................................................................... ii
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH.................................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................................................ 1
A. LATAR BELAKANG............................................................................................................................. 1
B. DASAR HUKUM.................................................................................................................................. 3
C. TUJUAN................................................................................................................................................. 3
D. SASARAN............................................................................................................................................... 3
E. RUANG LINGKUP ............................................................................................................................... 4

BAB II KOLABORASI PROGRAM...................................................................................................................... 5


A. PRINSIP - PRINSIP KOLABORASI..................................................................................................... 5
B. TUJUAN PELAKSANAAN KOLABORASI TB-HIV.......................................................................... 5
C. PELAKSANAAN KOLABORASI......................................................................................................... 6
D. KOORDINASI KOLABORASI TB-HIV................................................................................................ 7

BAB III PERENCANAAN BERSAMA TB-HIV................................................................................................ 11


A. BATASAN DAN TUJUAN ................................................................................................................ 11
B. MEKANISME PERENCANAAN ..................................................................................................... 11
C. PENGEMBANGAN PELAYANAN .................................................................................................. 12

BAB IV KOLABORASI TB-HIV DI TINGKAT LAYANAN ......................................................................... 15


A. BATASAN DAN TUJUAN ................................................................................................................... 15
B. KOLABORASI TB-HIV DI TINGKAT LAYANAN ............................................................................ 16
C. KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV DI SETIAP JENJANG LAYANAN ....................................... 16
D. PENERAPAN BERBAGAI KEGIATAN KOLABORASI .................................................................... 16
E. MENURUNKAN BEBAN TB PADA ODHA ..................................................................................... 17
F. MENURUNKAN BEBAN HIV PADA PASIEN TB ........................................................................... 18
G. ALUR LAYANAN DAN SISTEM RUJUKAN ..................................................................................... 23

BAB V PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA............................................................................ 37


A. PENGERTIAN DAN TUJUAN ............................................................................................................ 37

vi
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
B. TUGAS POKOK DAN FUNGSI PETUGAS TB-HIV. ............................................................ 37
C. STANDARISASI KETENAGAAN ............................................................................................. 39
D. PENINGKATAN KEMAMPUAN SUMBER DAYA MANUSIA ............................................ 44

BAB VI MANAJEMEN LOGISTIK .................................................................................................................. 45


A. BATASAN DAN TUJUAN ............................................................................................................ 45
B. JENIS-JENIS LOGISTIK ................................................................................................................ 45
C. SIKLUS MANAJEMEN ................................................................................................................... 46

BAB VII ADVOKASI, KOMUNIKASI DAN MOBILISASI SOSIAL (AKMS) ...................................... 47


A. BATASAN DAN TUJUAN .......................................................................................................... 47
B. STRATEGI AKMS ....................................................................................................................... 47
C. KELOMPOK SASARAN AKMS ................................................................................................. 48
D. KEGIATAN AKMS ....................................................................................................................... 49
E. KELUARAN AKMS TB-HIV ........................................................................................................ 53

BAB VIII MONITORING DAN EVALUASI .................................................................................................... 55


A. BATASAN DAN TUJUAN ............................................................................................................. 55
B. INDIKATOR KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV ...................................................................... 56
C. SURVEILANS. ................................................................................................................................ 57
D. PENCATATAN DAN PELAPORAN KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV ............................... 60
E. MEKANISME PENCATATAN DAN PELAPORAN PASIEN TB-HIV ...................................... 65
F. VARIABEL PELAPORAN KOLABORASI TB-HIV ....................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................................118


Daftar Tabel
Tabel 1. Kegiatan kolaborasi TB-HIV di masyarakat dan Fasyankes.........................................................16
Tabel 2. Penerapan Kolaborasi dalam kegiatan Intensifikasi penemuan kasus TB dan
pengobatannya ........................................................................................................................................ 20
Tabel 3. Pendekatan konsep KTS dan PITC.................................................................................................... 28
Tabel 4. Penerapan Kolaborasi Menurunkan beban HIV pada pasien TB............................................. 32
Tabel 5. Tenaga yang dibutuhkan dalam Pelaksanaan Kegiatan Kolaborasi TB-HIV diFasyankes38
Tabel 6. Tugas pokok dan fungsi petugas TB dan petugas HIV di Fasyankes...................................... 40
Tabel 7. Alur Pemilih Metode Surveilans........................................................................................................ 59

vii
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Daftar Gambar

Gambar 1. Langkah Pelayanan PITC di Unit DOTS .................................................................................... 28


Gambar 2. Bagan Alur Rujukan dalam Kolaborasi Perawatan dan Pengobatan TB-HIV................ 35
Gambar 3. Skema Luaran AKMS........................................................................................................................ 53
Gambar 4. Alur Pelaporan Kolaborasi TB-HIV ............................................................................................ 69

Daftar Lampiran

Lampiran 1. Contoh Data TB Dan HIV yang dapat digunakan untuk Mengkaji Epidemi TB-HIV.. 91
Lampiran 2. Daftar TIlik Supervisi dan Bimtek ............................................................................................ 92
Lampiran 3. Obat ARV dan IO ........................................................................................................................... 103
Lampiran 4. Isi Pesan AKMS ............................................................................................................................ 104

viii
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menunjukkan pengaruhnya terhadap


peningkatan epidemi Tuberkulosis (TB) di seluruh dunia yang berakibat meningkatnya jumlah
kasus TB di masyarakat. Epidemi ini merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB
dan banyak bukti menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa
keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak dan
penyebab utama kematian pada orang dengan HIV/ AIDS (ODHA). Kolaborasi kegiatan bagi
kedua program merupakan suatu keharusan agar mampu menanggulangi kedua penyakit
tersebut secara efektif dan efiisien.

Pada triwulan pertama 2007 dilaksanakan external review HIV/AIDS (Februari 2007) dan Joint
external Monitoring Mission TB (JEMM, April 2007) di Indonesia. Keduanya merekomendasikan
perlu dilakukan percepatan upaya kolaborasi TB-HIV dan segera disusun Kebijakan Nasional
Kolaborasi TB-HIV sebagai pedoman pelaksanaan program di seluruh Indonesia.

Perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di kawasan Asia meskipun
secara nasional angka prevalensnya masih termasuk rendah, diperkirakan pada tahun 2009
sekitar 0,2% pada orang dewasa. Dengan estimasi ini maka pada tahun 2009 di Indonesia
diperkirakan terdapat 186.000 ODHA (132.000-287.000). Penggunaan jarum suntik
merupakan cara transmisi HIV yang terbanyak (53%) diikuti dengan transmisi heteroseksual
(42%). Salah satu masalah dalam epidemiologi HIV di Indonesia adalah variasi antar wilayah

1
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
baik dalam hal jumlah kasus maupun faktor-faktor yang mempengaruhi. Epidemi HIV di
Indonesia berada pada kondisi epidemi terkonsentrasi dengan kecenderungan menjadi
epidemi meluas pada beberapa Provinsi.

Meskipun secara Nasional terdapat perkiraan prevalens HIV diantara pasien TB sebesar
3% (WHO TB Global Report 2008) tetapi sampai saat ini belum ada angka Nasional yang
menunjukkan gambaran HIV di antara pasien TB. Hasil studi tentang sero prevalens yang
dilaksanakan di Provinsi Yogyakarta (2006) menunjukkan angka prevalens HIV sebesar 2%
di antara pasien TB dan pada tahun 2008 di Provinsi Bali sebesar 3,9%, di Provinsi Jawa Timur
sebesar 0,8% dan di Provinsi Papua sebesar 14%. Berdasarkan Laporan Triwulan II tahun 2011
infeksi HIV dan Kasus Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) menunjukkan bahwa TB
merupakan infeksi oportunistik terbanyak yaitu sekitar 50% dari kasus AIDS.

Pada tingkat Dunia, berbagai upaya penanggulangan dilakukan untuk merespons dampak ko-
infeksi TB-HIV bagi kedua program. World Health Organization bekerja sama dengan Stop TB
Partnership telah mengembangkan pedoman untuk pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV
yang disusun berdasarkan tingkat prevalens HIV. Di banyak negara yang telah melaksanakan
kegiatan perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) HIV, kegiatan kolaborasi ini dimulai
sebagai bagian dari upaya pengendalian TB dan upaya meningkatkan keberhasilan Program
AIDS. Di Indonesia, kegiatan kolaborasi TB-HIV mulai diujicobakan di Provinsi DKI Jakarta
(2004), di Kabupaten Merauke Provinsi Papua dan di Kota Denpasar Provinsi Bali (2006) yang
merupakan wilayah dengan epidemi HIV AIDS yang terkonsentrasi. Kegiatan ini dikembangkan
ke 9 Provinsi lainnya (2008) dan pada tahun 2010 diperluas ke 12 Provinsi (Sumatera Utara,
Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali,
Sulawesi Selatan, Papua Barat dan Papua).

Berdasarkan hasil uji coba dan pengalaman beberapa daerah yang telah melaksanakan
kegiatan kolaborasi TB-HIV maka Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia no: 1278/MENKES/SK/XII/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi
Pengendalian Penyakit TB dan HIV. Pedoman tersebut merupakan kebijakan secara umum
tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam kegiatan kolaborasi TB-HIV karena itu diperlukan
pedoman lebih lanjut dalam operasionalnya baik dalam aspek manajemen program maupun
aspek tatalaksana klinis.

2
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
B. DASAR HUKUM
Buku manajemen pelaksanaan kolaborasi TB-HIV di Indonesia berlandaskan pada:
1. Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS.
2. UU Republik Indonesia No 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.
3. Kepmenkes No. 1507/Menkes/SK/V/2005 tentang Pedoman Konseling dan Testing HIV
dan AIDS secara sukarela (VCT).
4. Kepmenkes No 832/Menkes/SK/X/2006 tentang Penetapan RS Rujukan ODHA dan standar
pelayanan rumah sakit rujukan ODHA dan satelitnya.
5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 364/Menkes/SK/V/2009 tentang
Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis.
6. UU Republik Indonesia No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 1278/menkes/SK/XII/2009 tentang
Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV.
8. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1144/Menkes/PER/VIII/2010 tentang Struktur Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan RI.
9. Kepmenkes No 782/Menkes/SK/IV/2011 tentang Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang
Dengan HIV AIDS (ODHA).
10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 565/Menkes/Per/III/2011 tentang
Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2011 – 2014.

C. TUJUAN
Buku pedoman ini ditujukan sebagai panduan pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV di
Indonesia sesuai dengan standar dan kebijakan Nasional kolaborasi TB-HIV.

D. SASARAN
Sasaran pengguna buku pedoman ini terutama ditujukan kepada mereka yang bertanggung
jawab dalam perencanaan, pelaksanaan dan penilaian kegiatan kolaborasi TB-HIV pada
tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), antara
lain:
1. Manajer Program
2. Pengelola Program
3. Petugas di Fasyankes
4. Institusi terkait seperti Lapas/Rutan, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional/Komisi
Penanggulangan AIDS Provinsi/Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota (KPAN/
KPAP/KPAK), Komite Ahli Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian Tuberkulosis (Komli
Gerdunas-TB), mitra donor, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang
TB dan HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS).

3
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
E. RUANG LINGKUP
Buku pedoman ini membahas aspek manajemen kegiatan kolaborasi TB HIV. Ruang lingkup
pembahasan meliputi prinsip kolaborasi, perencanaan kolaborasi, pengorganisasian
pelayanan, penyiapan sumber daya program (SDM, sarana, prasarana dan biaya), mobilisasi
sosial, surveilans program, monitoring dan evaluasi program.

4
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
BAB II
KOLABORASI PROGRAM

A. PRINSIP - PRINSIP KOLABORASI


Keberhasilan kegiatan kolaborasi TB-HIV sangat tergantung pada kerjasama antar komponen
dengan membangun kemitraan pada semua tingkatan sehingga tiap komponen perlu
menyadari prinsip-prinsip kolaborasi.
Prinsip kolaborasi adalah sebagai berikut:
1. Berjalan secara fungsional dan bukan merupakan kegiatan yang terpisah, tetapi menyatu
dengan kegiatan program TB dan program HIV yang sudah berjalan.
2. Menjadi bagian dari penguatan sistem pelayanan yang sudah berjalan.
3. Memberikan manfaat yang dapat menunjang kedua program.
4. Sarana berbagi informasi dengan tetap menjaga prinsip kerahasiaan pasien.
5. Menjadi tanggung jawab bersama.
6. Membangun komitmen bersama dalam mencapai tujuan.
7. Kesetaraan dan keterbukaan serta saling mendukung.
8. Kepatuhan terhadap ketentuan yang sudah disepakati.

B. TUJUAN PELAKSANAAN KOLABORASI TB-HIV


Tujuan umum dari pelaksanaan kolaborasi TB-HIV adalah untuk mengurangi beban TB dan
HIV pada masyarakat akibat kedua penyakit ini.
Tujuan khusus dari pelaksanaan kolaborasi TB-HIV adalah:

5
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
1. Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV/AIDS.
2. Menurunkan beban TB pada ODHA.
3. Menurunkan beban HIV pada pasien TB.

C. PELAKSANAAN KOLABORASI
Kolaborasi TB-HIV terdiri dari serangkaian kegiatan yang perlu dilaksanakan di semua tingkat
manajemen maupun pelayanan kesehatan.
Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia sesuai kebijakan Nasional adalah sebagai
berikut:

A. Mekanisme kolaborasi
A.1 Membentuk kelompok kerja (POKJA) TB-HIV di semua lini
A.2 Melaksanakan surveilans HIV pada pasien TB
A.3 Melaksanakan perencanaan bersama TB-HIV
A.4 Melaksanakan monitoring dan evaluasi

B. Menurunkan beban TB pada ODHA


B.1 Mengintensifkan penemuan kasus TB dan pengobatannya
B.2 Menjamin pengendalian infeksi TB pada layanan kesehatan dan tempat khusus
(Lapas/Rutan, panti rehabilitasi Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya/
NAPZA, tempat kerja)

C. Menurunkan beban HIV pada pasien TB


C.1 Menyediakan konseling dan tes HIV
C.2 Pencegahan HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS)
C.3 Pengobatan preventif dengan kotrimoksasol (PPK) dan infeksi oportunistik (IO)
lainnya
C.4 Perawatan, dukungan dan pengobatan HIV

Pada tingkat pengambil keputusan, kolaborasi lebih banyak ditekankan pada komitmen
dan kerjasama lintas sektoral sedangkan pada tingkat pelaksana pelayanan kesehatan lebih
ditekankan pada penyediaan pelayanan yang menyeluruh dan terpadu.

6
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
D. KOORDINASI KOLABORASI TB-HIV
Koordinasi kolaborasi TB-HIV dilaksanakan dengan cara:

1. Pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) TB-HIV

Kelompok kerja dibentuk pada tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota prioritas
yang beranggotakan unsur-unsur penentu kebijakan dan unit teknis yaitu:
a. Program TB,
b. Program AIDS,
c. Bina Upaya Kesehatan (BUK)
d. Pakar/Ahli TB dan HIV dari Organisasi Profesi,
e. KPAN/KPAP/KPAK,
f. Gerdunas TB,
g. WHO, Perwakilan LSM dan donor,
h. Instansi Pemerintahan terkait (Kemensos, Kemenhukham, Kemennakertrans)

Tugas dan peran Pokja di tingkat Pusat adalah:

a. Mengembangkan strategi TB-HIV berdasarkan kebijakan Nasional, menyusun


Rencana Strategis Nasional dan rencana kerja,
b. Menyusun pedoman, bahan AKMS dan bahan pelatihan,
c. Memobilisasi sumber daya dan dana serta peningkatan kapasitas,
d. Memonitor dan mengevaluasi kegiatan sesuai dengan indikator yang telah
ditetapkan.
Tugas dan peran Pokja di tingkat Daerah adalah:

a. Menyusun rencana kerja,


b. Menentukan penanggungjawab setiap kegiatan,
c. Menetapkan mitra kerjanya,
d. Menetapkan target untuk Provinsi atau kabupaten/kota tersebut,
e. Meningkatkan jumlah dan kemampuan SDM sesuai kebutuhan,
f. Memonitor dan mengevaluasi kegiatan.

Melengkapi Pokja/Forum Komunikasi di atas bila diperlukan dapat dibentuk tim yang
padu di tingkat fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) yang terdiri atas Tim Directly
Observed Treatment, Shorcourse chemotherapy (DOTS), Tim HIV dan unsur manajemen.
Secara rinci tim tersebut terdiri dari:

7
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
a. Wadir Pelayanan/Komite Medik (RS), Kepala Puskesmas
b. Dokter
c. Perawat
d. Petugas laboratorium
e. Petugas farmasi
f. Konselor
g. Manajer kasus
h. Kelompok dukungan
i. Petugas pencatatan dan pelaporan

Tugas tim di tingkat Fasyankes :

a. Melakukan koordinasi pelayanan TB dan pelayanan HIV.


b. Menyelenggarakan pelayanan PDP yang komprehensif bagi pasien TB-HIV termasuk
pelayanan konseling tes HIV, PPK untuk infeksi oportunistik, dll.
c. Membangun dan memperkuat sistem rujukan internal dan eksternal di antara
pelayanan TB dan HIV serta unit terkait lainnya.
d. Melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai standar.
e. Melakukan monitoring dan evaluasi untuk meningkatkan kegiatan kolaborasi.
f. Melakukan promosi komunikasi perubahan perilaku dan membangun dukungan
masyarakat bagi kolaborasi TB-HIV.

2. Koordinator kolaborasi TB-HIV

Koordinator kolaborasi TB-HIV pada tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota


adalah pejabat yang membawahi program pengendalian TB dan HIV.

Tugas Koordinator:

a. Mengkoordinasikan Pokja, memfasilitasi pertemuan regular dan mengatur jadual


termasuk membuat laporan rapat.
b. Mengkoordinasikan rencana pengembangan sumber daya untuk TB-HIV.
c. Mendukung pelaksanaan kolaborasi TB-HIV sesuai dengan rencana kerja.
d. Mengkoordinasikan supervisi TB-HIV.
e. Memonitor kegiatan TB-HIV, memastikan tersedianya data TBHIV, analisis dan
memberikan umpan balik secara berjenjang.
Di tingkat Fasyankes, Pimpinan Fasyankes harus menunjuk seorang Koordinator TB-HIV

8
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
yang mempunyai akses ke unit DOTS maupun ke Unit Konseling dan Tes HIV (KT HIV)
dan atau PDP. Khusus Puskesmas, Pimpinan Puskesmas dapat sebagai koordinator
pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV.

Tugas Koordinator sebagai berikut:

a. Memfasilitasi koordinasi pelayanan TB dan HIV, termasuk membangun dan


memperkuat sistim rujukan internal dan eksternal di antara pelayanan TB dan HIV
serta unit terkait lainnya.
b. Mengkoordinasi pencatatan dan pelaporan termasuk umpan balik rujukan antar
unit.
c. Melakukan monitoring dan evaluasi untuk meningkatkan kegiatan kolaborasi.
d. Memastikan terlaksananya kegiatan promosi, komunikasi perubahan perilaku dan
membangun dukungan masyarakat bagi kolaborasi TB-HIV di masing-masing unit
terutama di unit DOTS.

9
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
10
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
BAB III
PERENCANAAN BERSAMA TB-HIV
A. BATASAN DAN TUJUAN

Perencanaan bersama TB-HIV adalah perencanaan secara bersama-sama dengan melibatkan


unsur-unsur terkait yang dilaksanakan secara periodik pada setiap tingkat. Program TB
dan Program HIV AIDS telah menyiapkan perencanaan sesuai dengan bidangnya sebelum
melakukan perencanaan bersama TB-HIV.
Dalam Perencanaan program TB dan program HIV AIDS harus mencakup kolaborasi TB-HIV
dengan mempertimbangkan tingkat epidemi HIV di daerah tersebut.
Tujuan perencanaan bersama TB-HIV adalah:
1. Tersusunnya perencanaan kolaborasi TB-HIV secara terintegrasi sesuai dengan arah
kebijakan nasional kolaborasi TB-HIV.
2. Memantapkan kolaborasi TB-HIV di tingkat pengelola program dan penyedia pelayanan
agar kegiatan lebih efisien dan efektif.
3. Memperjelas pembagian tugas dan tanggung jawab masing-masing unsur.

B. MEKANISME PERENCANAAN

Pelaksanaan Kegiatan Kolaborasi TB-HIV memerlukan perencanaan yang strategis dan disusun
bersama agar kolaborasi dapat berjalan secara sistematis dan terpadu. Perencanaan disusun
secara berjenjang dimulai dari tingkat Kabupaten/Kota berdasarkan kebutuhan dengan
mempertimbangkan kemampuan sumber daya dan kondisi spesifik wilayah.

11
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Perencanaan strategis ini menjelaskan tujuan, target, kegiatan, pembiayaan, monitoring
dan evaluasi serta tugas dan tanggung jawab masing-masing unsur. Perencanaan strategis
ini merupakan rujukan dalam menyusun rencana tahunan masing-masing program yang
diimplementasikan secara terpadu.

Dalam menyusun perencanaan strategis kolaborasi TB-HIV mempertimbangkan hal-hal


berikut ini :
1. Penyusunan rencana strategis kolaborasi TB-HIV meliputi:
a. Analisis beban ganda epidemi TB-HIV.
b. Dilakukan pengkajian mengenai situasi dan kondisi epidemi TB dan HIV termasuk
pencapaian program lima tahun terakhir (Lampiran 1) termasuk juga data-data TB-
HIV yang meliputi jumlah kasus TB-HIV, jenis kelamin, usia, asal wilayah, pekerjaan,
dll.
c. Identifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan program pengendalian TB
dan HIV/AIDS. Aspek yang perlu diidentifikasi pada kedua program meliputi:
– Sumber daya manusia (jumlah, jenis, kategori, kompetensi, dll).
– Sistem pelayanan TB dan HIV.
– Sistem informasi manajemen kesehatan yang sudah ada.
– Finansial (biaya/anggaran masing-masing program).
– Metode (pedoman, rencana masing-masing program, sistem, kebijakan, dll).
– Sarana dan prasarana (fasilitas, alat, obat, reagen, bahan logistik lain), termasuk
jumlah, jenis dan kemampuan Fasyankes.
– Promosi dan mobilisasi (komitmen pemerintah dan mitra, jejaring kerjasama,
keterlibatan sektor terkait, LSM, donor, dan mitra lain).
2. Menentukan isu-isu strategis kolaborasi TB-HIV baik di tingkat Pusat, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota.
3. Menentukan tujuan kolaborasi TB-HIV.
4. Menentukan jenis kegiatan kolaborasi TB-HIV.
5. Menentukan anggaran kegiatan kolaborasi TB-HIV.
6. Menentukan indikator dan target kegiatan kolaborasi TB-HIV.
7. Mekanisme pencatatan dan pelaporan kegiatan Kolaborasi TB-HIV.
8. Melakukan monitoring dan evaluasi kolaborasi TB-HIV.

C. PENGEMBANGAN PELAYANAN

Pengembangan kolaborasi TB-HIV dilakukan dengan membentuk jejaring antar unit pelayanan
yang sudah ada atau mengembangkan layanan yang diperlukan untuk kolaborasi TB-HIV.

12
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Sesuai Kebijakan Nasional TB-HIV maka pelaksanaan pelayanan TB-HIV maupun
pengembangannya mengacu pada tingkat epidemi HIV/ AIDS seperti di bawah ini:

Rendah Prevalens HIV dalam suatu sub-populasi tertentu belum melebihi 5%

Terkonsentrasi Prevalens HIV secara konsisten lebih dari 5% di subpopulasi tertentu


dan
Prevalens HIV di bawah 1% di populasi umum atau ibu hamil

Meluas Prevalens HIV lebih dari 1 % di populasi umum atau ibu hamil

Sesuai dengan tingkat epidemi diatas maka:


1. Provinsi dengan epidemi HIV yang meluas, kegiatan kolaborasi TB-HIV dilaksanakan
pada:
a. Semua Fasyankes yang telah tersedia Konseling dan Tes HIV.
b. Semua Rumah Sakit DOTS.
c. Semua Puskesmas.
d. Rutan dan Lapas dan panti rehabilitasi pengguna NAPZA suntik (penasun) yang
memiliki Fasyankes.
2. Provinsi dengan epidemi HIV terkonsentrasi dan rendah, kegiatan kolaborasi TB-HIV
dilaksanakan pada:
a. Semua Fasyankes yang telah tersedia Konseling dan Tes HIV.
b. Rumah Sakit DOTS, kolaborasi dikembangkan secara bertahap.
c. Puskesmas dengan kriteria tertentu:
– Di Kabupaten/Kota yang memiliki layanan KT HIV.
– Besarnya masalah TB (misalnya Notification Rate >100 per 100.000 penduduk).
d. Rutan/lapas dan panti rehabilitasi penasun yang memiliki unit pelayanan kesehatan.

13
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
14
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
BAB IV
KOLABORASI TB-HIV DI FASILITAS
PELAYANAN KESEHATAN
A. BATASAN DAN TUJUAN

Kolaborasi TB-HIV di Fasyankes merupakan pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV dari


tingkat Pusat. Oleh karena mekanisme dan tujuan dari kegiatan ini sama maka pada bab
ini hanya membahas masalah-masalah teknis seperti tugas dan tanggung jawab dari
berbagai tingkat Fasyankes.

Kolaborasi TB-HIV di tingkat Fasyankes bertujuan untuk menjamin kesinambungan


perawatan pasien yang berkualitas, yang pada akhirnya akan mengurangi angka
kesakitan dan kematian akibat infeksi ganda dan masalah resistensi obat.

B. KOLABORASI TB-HIV DI FASYANKES

Ada dua pilihan bentuk model layanan kolaborasi TB-HIV yang dapat diterapkan, yaitu:

a. Model Layanan Paralel


Yaitu layanan TB dan layanan HIV yang berdiri sendiri-sendiri di Fasyankes yang
sama atau berbeda. Masing-masing layanan melaksanakan kolaborasi melalui sistem
rujukan yang disepakati.

15
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
b. Model Layanan Terintegrasi
Yaitu layanan TB dan layanan HIV terpadu dalam satu unit di satu Fasyankes.

Kombinasi dari kedua model layanan di atas dapat diterapkan di satu wilayah Kabupaten/
Kota. Sebagai contoh: di sebuah Kabupaten memiliki RS yang mempunyai layanan TB-
HIV terintegrasi, di samping itu juga terdapat sarana KT HIV mandiri yang berada dalam
jejaring dengan layanan TB di Puskesmas atau RS.

C. KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV DI FASYANKES

Pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV di masyarakat dan Fasyankes dapat dilihat pada
tabel di halaman berikut ini berikut ini:

Tabel 1. Kegiatan kolaborasi TB-HIV di masyarakat dan Fasyankes

Tempat layanan Kegiatan TB-HIV

Layanan di masyarakat, •• KIE untuk TB, HIV, IMS


keluarga/kelompok •• Promosi kondom
masyarakat yang terkena
•• Penyuluhan gizi dan dukungan pangan
dampak TB dan atau
HIV (layanan yang dapat •• Dukungan psikologis
dilakukan oleh organisasi •• Pengawasan minum obat TB oleh masyarakat
masyarakat, LSM, •• Pengawasan minum obat Antiretroviral (ARV) jika
organisasi keagamaan,
memungkinkan
kegiatan kesehatan di
masyarakat) •• Perawatan paliatif dan fase terminal di komunitas/
rumah

Puskesmas, klinik •• Layanan atau rujukan KT HIV


Pemerintah maupun •• Penawaran tes HIV dengan konseling oleh petugas
Swasta, dan Dokter
•• Penyuluhan tentang pencegahan dan penularan TB
Praktek Swasta yang
sudah terlatih TB-HIV •• Penemuan kasus TB yang lebih intensif dan
pengobatannya
•• Promosi kondom
•• Terapi IMS dengan pendekatan sindrom dan/atau
laboratorium sederhana
•• Tatalaksana infeksi oportunistik terkait HIV dengan
pendekatan sindrom dan perawatan paliatif

16
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Tempat layanan Kegiatan TB-HIV

•• Penyiapan pasien untuk terapi ARV dan pemantauan


pasien ARV yang kondisinya telah stabil
•• Skrining TB di layanan Konseling dan Tes HIV dan bagi
semua ODHA
•• Terapi pencegahan kotrimoksasol untuk mengurangi
kesakitan dan kematian ODHA dengan atau tanpa TB
•• Pengendalian infeksi
•• Pencatatan dan pelaporan
•• Pertemuan TB-HIV koordinasi internal Fasyankes (diskusi
klinis, perencanaan, monev)

Rumah sakit kelas C yang •• Layanan jarum suntik steril


petugasnya telah dilatih •• Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya
TB-HIV
•• Semua yang di atas
•• Diagnosis dan terapi penyakit terkait HIV
•• Perawatan paliatif pasien rawat inap
•• Terapi ARV lini I
•• Penatalaksanaan kasus TB rujukan
•• Akses pemeriksaan foto toraks pada terduga TB dengan
BTA negatif dan kecurigaan/ konfirmasi infeksi HIV
•• Menjamin keamanan darah transfusi

Rumah sakit kelas A dan •• Semua di atas


B yang petugasnya sudah •• Terapi ARV lini I dan II
dilatih TB-HIV
•• Penatalaksanaan kasus TB rujukan RESISTAN OBAT

D. PENERAPAN BERBAGAI KEGIATAN KOLABORASI

Penerapan kegiatan kolaborasi TB-HIV pada tingkat layanan meliputi layanan untuk:
a. Membentuk mekanisme kolaborasi di tingkat layanan.
a. Membentuk badan koordinasi pelaksanaan TB-HIV efektif di tingkat layanan (dijelaskan di
Bab II Kolaborasi Program).
b. Melaksanakan surveilans HIV pada pasien TB (dijelaskan di Bab VIII Monev).

17
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
c. Melaksanakan perencanaan bersama TB-HIV (dijelaskan di Bab III Perencanaan
Bersama TB-HIV).
d. Melaksanakan monitoring dan evaluasi (dijelaskan di Bab VIII mengenai Monev).

b. Menurunkan beban TB pada ODHA


a. Mengintensifkan penemuan kasus TB dan pengobatannya.
b. Menjamin pengendalian infeksi TB pada layanan kesehatan dan tempat khusus
(Lapas/Rutan, panti rehabilitasi NAPZA, tempat kerja).

c. Menurunkan beban HIV pada pasien TB


a. Menyediakan KT HIV.
b. Pencegahan HIV dan IMS.
c. Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol dan IO lainnya.
d. Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) HIV.

Dalam Bab IV ini akan dibahas mengenai kegiatan pada butir B dan C.

E. MENURUNKAN BEBAN TB PADA ODHA

1. Mengintensifkan penemuan kasus TB dan pengobatannya

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menurunkan angka kematian karena TB pada ODHA
dan kelompok perilaku berisiko tinggi terkena HIV. Kegiatan intensifikasi penemuan
kasus TB dimulai dari skrining TB dan dilanjutkan dengan penegakan diagnosis dan
pengobatannya.

Kegiatan dalam Intensifikasi penemuan kasus TB dan pengobatannya meliputi:


a. Skrining TB pada ODHA
Skrining TB harus dilakukan secara rutin pada semua klien dan ODHA yang datang di
layanan KT HIV dan PDP dengan menggunakan serangkaian pertanyaan sederhana
untuk mengidentifikasi secara dini pasien TB yaitu:
– batuk lebih dari 2 minggu
– demam
– kehilangan berat badan tanpa penyebab yang jelas
– pembesaran kelenjar getah bening > 2 cm
– berkeringat malam tanpa aktifitas

18
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Skrining dilakukan oleh Konselor, Manajer kasus atau Perawat dan harus dilakukan
pada semua ODHA setelah KT HIV (konseling post tes) secara berkala selama pelayanan
HIV termasuk sebelum memulai Antiretroviral Therapy (ART) atau selama pemberian
ART. Skrining TB juga harus dilakukan pada kontak serumah, pada klien/kelompok
dengan risiko HIV dan pada kondisi khusus seperti di rutan/lapas. Berkaitan dengan
prevalens TB yang tinggi di antara penasun (Injecting drug users/IDU), pelayanan
harm reduction dan Pusat rehabilitasi harus melakukan skrining TB secara rutin dan
segera merujuk ke Fasyankes. Diagnosis TB dan diagnosis HIV harus sesuai Pedoman
Nasional yang berlaku. Sebelum memulai ART, semua ODHA harus dipastikan status
TB-nya, bila ternyata juga menderita TB maka penatalaksanaannya sesuai tatalaksana
klinis TB-HIV.

Mitra pelaksanaan kegiatan tersebut adalah layanan bagi kelompok risiko tinggi
(Penasun, Waria, LSL, PS), Fasyankes di Lapas dan Rutan, kelompok ODHA, sarana
layanan IMS, layanan KIA.

Langkah kegiatan skrining:

1) Menentukan mitra untuk penemuan kasus misalnya: Lapas, LSM, kelompok


ODHA, kelompok dukungan dan layanan IMS.
2) Kesepakatan mekanisme rujukan antara layanan KT HIV dengan unit DOTS yang
memudahkan pasien.

b. Diagnosis TB pada ODHA

1. Akses pemeriksaan mikroskopis dahak

Suspek TB yang ditemukan di KT HIV dan atau PDP serta mitra lainnya harus
diperiksa sesegera mungkin oleh Dokter untuk segera didiagnosis dan diterapi
(termasuk akses untuk pemeriksaan mikroskopis dahak dan foto toraks) sehingga
diagnosis TB dapat ditegakkan lebih cepat. Untuk itu, perlu dibangun jejaring
dengan Fasyankes yang mempunyai sarana pemeriksaan mikroskopis dahak.
– Layanan paralel: membangun jejaring dengan Unit DOTS untuk penegakan
diagnosis TB dan pengobatannya.
– Layanan terintegrasi: Unit KT HIV dan atau PDP menegakkan diagnosis TB
sesuai dengan standar termasuk penentuan tempat yang memenuhi syarat
untuk pengumpulan sediaan dahak.

19
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
2. Pemeriksaan foto toraks suspek TB BTA negatif

Diagnosis TB pada ODHA merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian


karena pada umumnya ODHA dengan infeksi TB menunjukkan hasil Basil
Tahan Asam (BTA) negatif. Oleh karena itu, suspek TB pada ODHA dengan hasil
pemeriksaan BTA negatif, harus segera mendapatkan pemeriksaan foto toraks.
Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam mendiagnosis TB
pada ODHA khususnya dalam mempersingkat waktu supaya diagnosis TB tidak
terlambat.

Pada ODHA rawat jalan dengan hasil BTA negatif maka akses pemeriksaan
foto toraks direkomendasikan pada kunjungan kedua tanpa menunda sampai
didapatkan hasil pemeriksaan sputum BTA yang ketiga sedangkan pada pasien
yang sakitnya lebih parah atau pasien rawat inap maka pemeriksaan foto toraks
dilakukan segera pada saat pasien masuk RS bersamaan dengan upaya diagnostik
lainnya.

Pada daerah terpencil dan tidak mempunyai sarana pemeriksaan foto toraks
maka diagnosis TB pada ODHA dilakukan sesuai dengan pedoman nasional.

c. Pengobatan TB pada ODHA


Orang dengan HIV/AIDS dari layanan KT HIV dan atau PDP yang didiagnosis TB harus
segera mendapatkan pengobatan dengan OAT. Obat anti TB dapat diberikan di unit
DOTS maupun di Unit KT HIV dan atau PDP yang terintegrasi dengan pelayanan TB.
Dalam merujuk ODHA dengan TB perlu dipastikan bahwa Fasyankes yang dituju
sudah menerapkan strategi DOTS dan siap menerima rujukan dari unit KT HIV dan
atau PDP. Unit KT HIV dan atau PDP juga diharapkan memiliki kemampuan dalam
tatalaksana TB termasuk dalam hal logistik, pencatatan dan pelaporan. Pengobatan
TB pada ODHA mengacu pada Buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Ko-infeksi TB-
HIV.

Langkah penerapan kolaborasi


Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam penerapan kolaborasi TB-HIV
dalam kegiatan intensifikasi penemuan kasus TB dan pengobatannya pada ODHA:
—— menentukan Fasyankes atau mitra mana yang akan dilibatkan dalam penerapan
kolaborasi TB-HIV.
—— membangun sistem rujukan yang disepakati.

20
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
—— memfasilitasi pengembangan kapasitas Fasyankes yang akan melaksanakan
kolaborasi TB-HIV termasuk pelatihan dan bimbingan/supervisi.

Setelah kegiatan di atas telah dilaksanakan maka pelaksanaan kegiatan kolaborasi di


tingkat layanan adalah seperti yang tercantum dalam tabel berikut:

Tabel 2. Penerapan Kolaborasi dalam kegiatan Intensifikasi penemuan kasus TB dan pengobatannya

Jenis Penerapan Kolaborasi


No
Kegiatan Unit DOTS Unit Konseling dan Tes HIV/PDP
1 Skrining —— Kesepakatanuntuk —— Kesepakatan untuk melakukan
melakukan kolaborasi kolaborasi
—— Mengembangkan sistem —— Mengembangkan sistem
rujukan setempat rujukan setempat
—— KIE —— Mengidentifikasi suspek TB pada
setiap kunjungan
—— Menerima rujukan kasus TB
—— Mendiagnosis TB atau merujuk
—— Melaksanakan pencatatan
jika tidak ada sarana diagnosis
dan pelaporan
TB
—— Melaksanakan pencatatan dan
Pelaporan
2 Pemeriksaan —— Memahami protap —— Memahami protap diagnosis TB
Mikroskopis diagnosis TB pada ODHA pada ODHA
Dahak —— Melaksanakan pemeriksaan —— Penyediaan sarana dan
mikroskopis dahak rujukan prasarana pemeriksaan
dari Konseling dan Tes HIV/ mikroskopis dahak (bila
PDP memungkinkan)
—— Memberikan bimbingan —— Penyegaran bagi petugas
teknis tentang kualitas laboratorium
pemeriksaan dahak kepada
—— Melaksanakan pencatatan dan
petugas laboratorium
Pelaporan
unit Konseling dan Tes
HIV dan atau PDP yang
melaksanakan pemeriksaan
mikroskopis sendiri
—— Melaksanakan pencatatan
dan pelaporan
3 Pemeriksaan —— Memahami pentingnya —— Membangun jejaring dengan
foto toraks pemeriksaan foto toraks Fasyankes yang mempunyai
untuk diagnosis TB pada sarana pemeriksaan foto
ODHA toraks untuk diagnosis TB
—— Melaksanakan pencatatan —— Melaksanakan pencatatan dan
dan pelaporan Pelaporan

21
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Jenis Penerapan Kolaborasi
No
Kegiatan Unit DOTS Unit Konseling dan Tes HIV/PDP
4 Akses OAT —— Menerima rujukan untuk o Pemberian OAT
pemberian OAT o Tatalaksana efek samping OAT
o Tatalaksana defaulters, mangkir
—— Tatalaksana efek samping o Membangun jejaring dengan Unit
OAT DOTS untuk pengobatan bila tidak
—— Bimbingan dan supervisi mampu
o Pencatatan dan pelaporan TB-HIV
—— Tatalaksana defaulters,
mangkir
—— Pencatatan dan pelaporan
TB-HIV

2. Menjamin pengendalian infeksi TB pada layanan kesehatan dan tempat khusus (Lapas/Rutan,
panti rehabilitasi NAPZA, tempat kerja)
Pasien TB yang menular dapat dijumpai juga di sarana layanan HIV. Besar sekali
kemungkinan pasien TB ini menularkan kuman TB ke pasien lain atau kepada petugas
kesehatan. Oleh karena itu, untuk meminimalkan risiko penularan TB maka pengendalian
infeksi TB harus menjadi perhatian bagi petugas kesehatan terutama pada tempat
tertentu yang rawan HIV, seperti: layanan KT HIV, layanan PDP, rutan/lapas dan panti
rehabilitasi NAPZA. Upaya khusus ini harus dilakukan secara bersama dengan memperluas
kolaborasi TB-HIV. Layanan DOTS di Fasyankes KT HIV dan atau PDP akan meningkatkan
kemungkinan ODHA kontak dengan pasien BTA positif.

Upaya pengendalian infeksi akan menimbulkan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap


pasien TB dan HIV. Upaya ini harus mempertimbangkan berbagai faktor yang memberikan
manfaat terbaik bagi layanan, pasien dan masyarakat.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan:
– Tingkat risiko penularan.
– Penjelasan kepada pasien tentang penularan penyakit.
– Kesadaran layanan kesehatan tentang pentingnya kewaspadaan universal.
– Upaya pemisahan suspek TB atau pasien TB BTA positif dengan pasien lain. Pemisahan
ini harus lebih diperhatikan di unit KT HIV/PDP yang memberikan layanan DOTS
(misalnya: pemisahan ruang tunggu atau waktu yang berbeda, ventilasi yang baik).

Pada panti rehabilitasi NAPZA dan rutan/lapas, yang biasanya dengan prevalens HIV lebih
tinggi daripada masyarakat umum, TB menyebar dengan lebih mudah karena lingkungan

22
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
yang padat, ventilasi yang buruk, lamanya terpapar dan terbatasnya layanan kesehatan.
Di tempat-tempat ini, diterapkan skrining gejala TB secara berkala, memperkuat jejaring
rujukan layanan DOTS dan memisahkan pasien TB BTA positif selama masa pengobatan
TB fase intensif.

Setiap pasien yang diduga atau didiagnosis TB Resistan Obat harus mendapat perlakuan
khusus dalam layanan HIV karena risiko penularan yang lebih berbahaya dan risiko
kematian yang tinggi.

Pencegahan Pengendalian infeksi TB dan Kewaspadaan Standar mengacu pada buku


Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB dan/atau buku Kewaspadaan
standar.

F. MENURUNKAN BEBAN HIV PADA PASIEN TB

Salah satu tujuan dari kolaborasi TB-HIV adalah menurunkan beban HIV pada pasien TB.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilaksanakan kegiatan-kegiatan yang dapat menjadi
pintu masuk bagi pasien TB menuju akses pencegahan dan pelayanan HIV sehingga dengan
demikian pasien tersebut mendapatkan pelayanan yang komprehensif.

Adapun kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:


1. Menyediakan layanan konseling dan tes HIV untuk pasien TB.
2. Pencegahan HIV dan IMS.
3. Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol (PPK) dan IO lainnya.
4. Perawatan, dukungan dan pengobatan HIV.

Kegiatan-kegiatan pada daerah epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi atau rendah pada
prinsipnya adalah sama kecuali pada kegiatan nomor satu, yaitu menyediakan layanan KT HIV
untuk pasien TB. Perincian mengenai perbedaannya seperti uraian di bawah ini:

Menyediakan layanan KT HIV untuk pasien TB


Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui status HIV-nya dan mereka akan
mencari pengobatan ke pelayanan kesehatan umum. Konseling dan tes HIV merupakan
pintu masuk yang penting bagi pasien TB untuk mendapatkan pelayanan HIV.

Strategi Konseling dan tes HIV pada pasien TB:

a. Di wilayah dengan epidemi HIV yang meluas

23
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
—— Seluruh pasien TB di unit DOTS dilakukan KT HIV secara rutin.
—— Di seluruh Fasyankes di daerah dengan prevalens HIV pada pasien TB > 5%, KT HIV
harus ditawarkan secara rutin pada semua pasien TB.
—— Konseling dan tes HIV dapat dilaksanakan setiap saat selama pengobatan
TB sehingga jika ada pasien yang pada awalnya menolak tes HIV maka dapat
ditawarkan kembali setelah pemberian informasi HIV AIDS.

b. Di wilayah dengan epidemi HIV yang rendah dan terkonsentrasi


—— Dilakukan pengkajian faktor risiko menggunakan formulir skrining (kuesioner)
pada setiap pasien TB .
—— Pasien TB dengan faktor risiko ditawarkan untuk KT HIV (oleh petugas TB atau
dirujuk ke unit KT HIV).

Kriteria penilaian untuk menawarkan tes HIV pada pasien TB:

1) Faktor risiko HIV (pasien atau pasangan)


– Penasun,
– Pekerja Seks (Wanita, Pria termasuk Waria dan Lelaki Seks Lelaki),
– Berganti-ganti pasangan,
– Riwayat Infeksi Menular Seksual,
– Jenis pekerjaan yang berisiko tinggi, misalnya: orang yang karena pekerjaannya
berpindah-pindah tempat (supir, pelaut), migran, tuna wisma, pekerja bar/salon,
– Riwayat transfusi darah dan produk darah.
2) Penilaian klinis HIV
– Kematian pasangan akibat penyakit kronik,
– Kandidiasis oral, diare kronik dan penurunan berat badan secara drastis (>
10%).
3) Penilaian klinis TB
– Kasus sulit (komplikasi) atau tidak adanya respons terhadap pengobatan,
– Pasien TB yang dirawat inap,
– Pasien TB ekstra paru,
– Bila hasil pemeriksaan dahak BTA negatif dan ada keraguan dalam penilaian faktor
risiko HIV maka menjadi alasan kuat untuk menawarkan KT HIV karena sebagian
besar kasus TB-HIV ditemukan dengan hasil pemeriksaan dahak BTA negatif.

Jika ditemukan salah satu kriteria tersebut di atas maka pasien TB tersebut ditawarkan
untuk tes HIV.

24
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Konseling dan tes HIV bagi pasien TB dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu:
Provider-initiated HIV testing and counselling (PITC= Konseling dan Tes HIV Atas Inisiasi
Petugas Kesehatan /KTIPK) dan Voluntary Counselling and Testing (VCT= KT HIV Sukarela/
KTS).

A.1. Pendekatan tes HIV dan konseling atas inisiasi petugas kesehatan (KTIPK/
Provider Initiated Testing and Counseling (PITC))
Provider Initiated Testing and Counseling merupakan layanan Tes dan Konseling atas
Inisiasi Petugas Kesehatan yang terintegrasi di Fasyankes. Provider Initiated Testing
and Counseling dilakukan oleh tenaga kesehatan ketika pasien datang berobat
ke Fasyankes dan terindikasi terkait infeksi HIV. Apabila dijumpai pasien TB yang
menunjukkan terdapatnya gejala yang mengarah ke AIDS (seperti di atas) maka
petugas kesehatan di unit TB menginisiasi tes dan dilanjutkan dengan konseling
HIV kepada pasien tersebut sebagai bagian dari tatalakasana klinis.

Inisiasi tes HIV oleh petugas kesehatan harus selalu didasarkan atas kepentingan
kesehatan dan pengobatan pasien. Untuk itu, perlu memberikan informasi yang
cukup sehingga pasien mengerti dan mampu mengambil keputusan menjalani
tes HIV secara sukarela. Selain itu juga perlu diinformasikan bahwa konfidensialitas
terjaga, terhubung dengan rujukan ke PDP yang memadai.

Provider Initiated Testing and Counseling dilaksanakan tidak dengan cara mandatori
atau wajib. Prinsip 3 C (informed consent, confidentiality, counseling) dan 2 R
(reporting and recording) tetap harus diterapkan dalam pelaksanaannya.

Tujuan utama KTIPK/PITC adalah agar petugas kesehatan dapat membuat


keputusan klinis dan/atau menentukan pelayanan medis secara khusus yang tidak
mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang seperti misalnya
ART.

Langkah KTIPK di unit DOTS meliputi:


1. Pemberian KIE mengenai kaitan TB dengan HIV.
2. Memeriksa tanda-tanda IO lain pada kasus TB.
3. Identifikasi faktor risiko yang tampak, misalnya jejas suntikan, tindik berlebihan
dan tato permanen.
4. Pemberian informasi dan motivasi pasien TB yang berisiko HIV untuk menjalani

25
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
tes.
5. Rujukan pasien TB ke layanan tes HIV dengan menggunakan formulir rujukan.
6. Pemberian informasi tentang hasil tes HIV kepada pasien TB dan tindak lanjutnya.
7. Pengisian format pencatatan (rekam medis, register, dll) pada setiap akhir layanan.

KIE Kontak awal antara petugas dan pasien

Petugas memberikan KIE kepada pasien � Petugas mengindentifikasi faktor risiko yang
(dapat dilakukan secara berkelompok atau
tampak termasuk memeriksa tanda-tanda IO lain
per-orangan) dengan menggunakan alat
bantu audio visual � Petugas memberikan informasi mengenai kaitan
� Poster TB dengan HIV
� Brosur � Petugas memprakasai tes HIV pada pasien TB
yang berisiko

Bersedia tes HIV Pasien menolak Tes HIV


(dengan Informed consent) Petugas mengulang informasi tentang pentingnya
tes HIV. Bila masih menolak juga:
( � Sarankan sebagai alternatif untuk ke klinik KT HIV
Rujuk ke Tes Cepat HIV � Pada kunjungan TB berikutnya diulangi informasi
tentang pentinya tes HIV
Tes Cepat HIV dilakukan di laboratorium

Petugas menyampaikan hasil tes kepada Rujuk ke klinik KT HIV bila pasien tetap menolak
pasien
Beri informasi tentang klinik KT HIV terdekat

Pasien dengan hasil tes HIV negatif Pasien dengan hasil Tes HIV Positif
� Petugas informasikan hasil tes HIV positf
� Petugas menyampaikan hasil tes negatif � Berikan dukungan kepada pasien dalam menanggapi
hasil tes
� Berikan pesan tentang pencegahan HIV
� Informasikan perlunya perawatan dan pengobatan HIV
� Sarankan kepada pasien dan pasangannya � Informasikan cara pencegahan penularan kepada
untuk ke klinik KT HIV untuk konseling pasangan, sarankan untuk tes HIV di KT HIV
pencegahan HIV lebih lanjut (termasuk
saran untuk tes ulang)

Rujuk ke PDP
Rujuk ke klinik KT HIV � Inform Petugas informasikan hasil tes HIV positf
� Berikan dukungan kepada pasien dalam menanggapi hasil tes
Beri informasi tentang klinik KT HIV terdekat � Informasikan perlunya perawatan dan pengobatan HIV
� Informasikan cara pencegahan penularan kepada pasangan,
sarankan untuk tes HIV di KT HIV
� Pastikan sumber dukungan yang ada di masyarakat
� Pasien tetap harus dirujuk ke Konseling dan Tes HIV untuk
konseling perubahan perilaku

Gambar 1. Langkah Pelayanan PITC di Unit DOTS

26
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
A.2. Pendekatan KT HIV atas inisiasi klien atau yang disebut KT HIV Sukarela (KTS)

Konseling dan Tes HIV atas inisiasi klien (KTS) ini merupakan salah satu strategi
kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/
AIDS berkelanjutan. Konseling dan testing HIV sukarela adalah suatu prosedur diskusi
pembelajaran antara konselor dan klien untuk memahami HIV/AIDS beserta risiko
dan konsekuensi terhadap diri, pasangan dan keluarga serta orang di sekitarnya.
Tujuan utamanya adalah perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat dan lebih
aman.

Perbandingan antara KTS dan KTIPK adalah seperti tabel berikut ini:

Tabel 3. Pendekatan konsep KTS dan PITC


Konseling dan tes atas inisiasi
Tolok Ukur KT HIV Sukarela
petugas kesehatan

Pasien/Klien —— Datang ke klinik khusus untuk —— Datang ke klinik karena


KT HIV penyakit terkait HIV misalnya
pasien TB/ suspek TB
—— Berharap dapat pemeriksaan
—— Tidak bertujuan tes HIV
—— Pada umumnya asimtomatis
—— Tes HIV diprakarsai oleh
petugas kesehatan
berdasarkan indikasi

Petugas Konselor terlatih baik petugas Petugas kesehatan yang dilatih


kesehatan/ kesehatan maupun bukan untuk memberikan konseling
Konselor petugas kesehatan dan edukasi

Tujuan utama KT Penekanan pada pencegahan Penekanan pada diagnosis HIV


HIV penularan HIV melalui pengka- untuk penatalaksanaan yang
jian faktor risiko, pengurangan tepat bagi TB-HIV dan rujukan ke
risiko, perubahan perilaku dan PDP
tes HIV serta peningkatan kualitas
hidup

Pertemuan Pra —— Konseling berfokus klien —— Petugas kesehatan


tes memprakarsai tes HIV kepada
—— Secara individual
pasien yang terindikasi
—— Kedua hasil baik positif maupun
—— Diskusi dibatasi tentang
negatif, sama pentingnya
perlunya menjalani tes HIV
untuk diketahui pasien karena
pentingnya upaya pencegahan —— Perhatian khusus untuk yang
dan peningkatan kualitas hasil-nya HIV positif dengan
hidup fokus pada perawatan medis
dan upaya pencegahan

27
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Konseling dan tes atas inisiasi
Tolok Ukur KT HIV Sukarela
petugas kesehatan

Tindak lanjut —— Klien dengan hasil HIV positif —— Perawatan pasien HIV positif
dirujuk ke layanan PDP dan berkoordinasi dengan
dukungan lain yang ada di petugas TB dan rujukan ke
masyarakat layanan dukungan lain yang
ada di masyarakat
—— Konseling pembukaan status
pada pasangan dan keluarga —— Klien dengan hasil negatif
penekanan pada penanganan
—— Klien dengan hasil negatif
penyakit yang diderita
penekanan pada memperta-
hankan perilaku aman

Dalam menginisiasi konseling HIV, perlu juga dilakukan skrining IMS pada pasien TB
dengan menggunakan serangkaian pertanyaan sederhana. Pasien TB dengan gejala
IMS harus segera diterapi atau dirujuk ke sarana layanan IMS serta dianjurkan untuk
melakukan KT HIV.

Selain IMS perlu juga skrining tentang penyalahgunaan NAPZA karena di Indonesia
merupakan faktor risiko penting untuk infeksi HIV. Kolaborasi dapat dikembangkan dengan
klinik penyedia layanan pengurangan dampak buruk seperti Layanan Jarum Suntik Steril
(LJSS) dan atau Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) bagi para penasun.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan kolaborasi di Layanan KT HIV


bagi pasien TB:
- Sarana layanan TB dapat berupa sarana layanan TB DOTS di Puskesmas ataupun di RS,
sementara sarana layanan KT HIV dapat berlokasi di RS, Puskesmas atau klinik KT HIV
mandiri yang dikelola LSM.
- Kegiatan kolaborasi tersebut dapat terlaksana apabila strategi DOTS di wilayah Kab/
Kota telah diterapkan dan terdapat layanan tes HIV di wilayah tersebut.
- Konseling dan tes HIV secara sukarela merupakan pintu masuk untuk layanan PDP
HIV termasuk pengobatan ARV. Hal ini berlaku juga bagi pasien TB.
- Layanan KT HIV dapat diberikan di layanan TB yang sudah memiliki kemampuan
untuk KT HIV atau melalui rujukan internal ataupun eksternal.
- Penanggung jawab kolaborasi ini adalah petugas Unit DOTS dengan mitra utama
Unit KTS dan atau PDP.

28
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Pencegahan HIV dan IMS

Petugas di unit DOTS di RS dan Puskesmas harus memberikan KIE kepada pasien TB
mengenai HIV. Pada saat memberikan layanan pada pasien TB merupakan peluang yang
baik dalam memberikan KIE tentang HIV. Kegiatan KIE harus dilaksanakan secara berkala.

Materi KIE HIV/AIDS pada pasien TB adalah sebagai berikut:


– Ko-infeksi TB-HIV; pesan harus terfokus pada kemungkinan ko-infeksi TB-HIV,
ketersediaan layanan TB dan HIV serta manfaat dan pentingnya KT HIV bagi pasien
TB.
– Pencegahan HIV menggunakan strategi ABCD (A: abstinence/puasa seks, B: Be
faithfull/bersikap saling setia, C: Condom/Kondom dan D: Drug/tidak menggunakan
NAPZA suntik).
– Promosi kondom sebagai upaya untuk pencegahan IMS harus ditekankan di pelayanan
DOTS. Pasien TB harus diskrining untuk gejala IMS. Mereka dengan gejala IMS harus
ditangani dan dirujuk ke layanan IMS.
– Pasien penasun harus dirujuk ke unit pengurangan dampak buruk NAPZA suntik dan
layanan terapi rumatan metadon.

Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol dan pengobatan IO lainnya


Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol bertujuan untuk mengurangi angka
kesakitan dan kematian pada ODHA dengan atau tanpa TB akibat IO. Pengobatan
pencegahan dengan kotrimoksasol relatif aman dan harus diberikan sesuai dengan
Pedoman Nasional PDP serta dapat diberikan di unit DOTS atau di unit PDP.
Pengobatan pencegahan kotrimoksasol diindikasikan bagi:
– Semua pasien TB dengan HIV (+).
– ODHA dewasa dan remaja (usia > 13 tahun) pada tahap penyakit simtomatis (stadium
klinis 2, 3, atau 4).

Perawatan, dukungan dan pengobatan HIV


1) Perawatan
Human Immunodeficiency Virus merupakan penyakit kronik yang akan dialami
seumur hidup ODHA. Seperti halnya penyakit kronik yang lain maka HIV memerlukan
perawatan dan pemantauan status kesehatannya secara berkesinambungan.
Perawatan komprehensif berkesinambungan adalah perawatan yang dilakukan
secara holistik dan terus menerus melalui sistem jejaring yang bertujuan memperbaiki
dan memelihara kualitas hidup ODHA dan keluarganya. Perawatan komprehensif

29
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
meliputi pelayanan medis, keperawatan dan pelayanan pendukung lainnya seperti
aspek promosi kesehatan, pencegahan penyakit, perawatan penyembuhan dan
rehabilitasi untuk memenuhi kebutuhan fisis, psikologi, sosial dan kebutuhan spritual
individu termasuk perawatan paliatif.

2) Dukungan
Dukungan bagi pasien dengan HIV meliputi dukungan sosial, dukungan untuk akses
layanan, dukungan di masyarakat dan di rumah, dukungan spriritual dan dukungan dari
kelompok sebaya. Kelompok dukungan sebaya (KDS) dan organisasi kemasyarakatan
dapat berperan serta dalam membangun jejaring antara unit layanan kesehatan dan
kelompok dukungan lain yang ada di masyarakat terkait kolaborasi TB-HIV.

Kelompok tersebut dapat berperan dalam hal:


– Penjaringan suspek TB – HIV dan rujukan pasien.
– Perawatan ODHA dengan TB di rumah maupun di masyarakat.
– Penyiapan pasien untuk pengobatan terutama kesiapan kepatuhan dan
pemantauannya.
– Mendorong Fasyankes agar dapat memberikan layanan yang lebih user
friendly/bersahabat.
– Menjadi media penyampai informasi kesehatan.
– Pelaksanaan pengendalian infeksi TB-HIV di kelompoknya maupun di
Fasyankes.

Semua kegiatan di atas menjadi tanggung jawab bersama baik unit DOTS maupun
layanan KT HIV/PDP.

3) Pengobatan
Pasien TB dengan HIV positif diberikan OAT dan Pengobatan ARV untuk mengurangi
angka kesakitan dan kematian dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan
ARV harus diberikan di layanan PDP yang mampu memberikan tatalaksana komplikasi
yang terkait HIV, yaitu di RS rujukan ARV. Sedangkan untuk pengobatan TB bisa
didapatkan di unit DOTS yang terpisah maupun yang terintegrasi di dalam unit PDP.

Pengobatan ARV dimulai di RS sedangkan persiapannya dapat dilaksanakan oleh


Puskesmas termasuk didalamnya penyiapan kepatuhan, pemberian PPK dan
pengobatan IO yang sederhana.

Petugas TB perlu mendapatkan pelatihan atau pengenalan tentang tatalaksana HIV


dan terapi ARV termasuk dukungan kepatuhan pasien terhadap ARV.

Agar lebih jelas, kegiatan-kegiatan untuk menurunkan beban HIV pada pasien TB
dapat dilihat pada tabel berikut:

30
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Tabel 4. Penerapan Kolaborasi Menurunkan beban HIV pada pasien TB

Penerapan Kolaborasi
Jenis
No
Kegiatan
Unit DOTS Unit PDP HIV

1 KT HIV —— Penyiapan protap dan kuesioner —— Penyiapan protap dan


penilaian faktor risiko HIV kuesio-ner penilaian
(termasuk skrining IMS dan faktor risiko HIV
pengunaan NAPZA, berkolaborasi (termasuk skrining IMS
dengan unit terkait) dan pengunaan NAPZA,
berkolabo-rasi dengan
—— Pada semua pasien TB dilakukan
unit terkait)
penilaian faktor risiko dengan
kuesio-ner yang ada dan yang —— Semua klien KT HIV
teridentifikasi memiliki faktor (yang datang sendiri
risiko ditawarkan KT HIV atau dari unit DOTS)
ditanyakan gejala IMS
—— Pada daerah epidemi HIV meluas
dan penggunaan NAPZA
semua pasien TB langsung
ditawari untuk menjalani KT HIV —— Pasien IMS dirujuk
ke unit IMS, pasien
—— Petugas memberikan informasi
pengguna NAPZA
HIV dan menawarkan KT HIV
dirujuk ke PTRM atau
kepada pasien TB
program LJSS
—— Melaksanakan pencatatan dan
—— Konselor melakukan KT
pelaporan
HIV kepada pasien TB
—— Melaksanakan
pencatatan dan
pelaporan

2. Pencegahan —— Pemberian KIE Pencegahan —— Pemberian KIE


HIV dan IMS HIV dan IMS termasuk promosi Pencegahan HIV dan
kondom IMS termasuk promosi
kondom

3. PPK —— Pemberian PPK pada pasien TB- —— Pemberian PPK pada


HIV pasien TB-HIV
—— Pemantauan efek samping PPK —— Pemantauan efek
samping PPK
—— Melaksanakan pencatatan dan
pelaporan —— Melaksanakan
pencatatan dan
pelaporan

31
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Penerapan Kolaborasi
Jenis
No
Kegiatan
Unit DOTS Unit PDP HIV

4. PDP HIV —— Unit DOTS membina PMO untuk —— Merujuk pasien


melaksanakan dukungan biopsiko- ke kelompok
sosial di rumah dan masyarakat dukungan (KD) untuk
pendampingan
—— Memfasilitasi pertemuan berkala
dengan PMO —— Memberikan bimbingan
teknis kepada KD
—— Menerima informasi hasil
sehubungan perawatan
pantauan KD tentang kepatuhan
di rumah dan masyarakat
menelan obat
—— Kesepakatan untuk
—— Memberikan informasi kepada KD
melakukan kolaborasi
untuk mengenal efek samping
obat —— Menerima rujukan dari
unit DOTS
—— Menerima laporan dari KD tentang
pasien yang tidak mengambil obat —— Menyiapkan dan
sesuai jadual (termasuk defaulter) melaksanakan terapi
dan menindaklanjuti. ARV sesuai Pedoman
Nasional pada pasien TB-
—— Kesepakatan untuk melakukan
HIV termasuk penyiapan
kolaborasi
kepatuhannya,
—— Mengembangkan sistem rujukan
—— Memantau pasien yang
setempat
mendapatkan OAT dan
—— Mengidentifikasi kriteria klinis ARV
pasien TB-HIV untuk mendapatkan
—— Memantau resistensi
ARV
obat HIV
—— Merujuk pasien ke Unit PDP untuk
—— Melaksanakan
mendapatkan ARV
pencatatan dan
—— Memantau pasien yang mendapat- pelaporan
kan OAT dan ARV termasuk
efek samping obat dan Immune
reconsti-tution inflammatory
syndrome (IRIS)
—— Melaksanakan pencatatan dan
pelaporan

32
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
G. ALUR LAYANAN DAN SISTEM RUJUKAN
Rujukan pada kolaborasi TB-HIV di tingkat layanan meliputi rujukan antar unit di satu
Fasyankes (misalnya dari unit TB ke unit KT HIV) dan rujukan antar Fasyankes (misalnya dari
Puskesmas ke RS) secara timbal balik hingga ke tingkat komunitas.

1. Pasien TB dengan HIV Positif


Pasien TB dapat dilayani di Puskesmas atau unit DOTS di RS.
– Apabila pasien TB didapati HIV Positif, unit DOTS merujuk pasien ke RS rujukan ARV
untuk mempersiapkan dimulainya pengobatan ARV.
– Sebelum merujuk pasien ke layanan PDP, Puskesmas/unit DOTS RS dapat membantu
dalam melakukan persiapan agar pasien patuh selama mendapat pengobatan ARV.
– Ketika pasien telah dalam kondisi stabil, misalnya sudah tidak lagi dijumpai reaksi
atau efek samping obat, tidak ada interaksi obat maka pasien dapat dirujuk kembali
ke Puskesmas/unit RS DOTS untuk meneruskan OAT sedangkan untuk ARV tetap
diberikan oleh tim PDP.

2. Orang dengan HIV AIDS dengan TB


Pintu masuk ke layanan HIV adalah sarana layanan KT HIV (KTS). Perawatan, dukungan
dan pengobatan HIV di Indonesia dikembangkan di RS rujukan ARV yang merupakan
layanan kesehatan sekunder atau tersier.
– Semua ODHA diskrining gejala dan tanda TB. Skrining dapat dilakukan oleh Konselor,
Perawat atau Dokter di layanan KT HIV dan atau PDP.
– Jika dijumpai ODHA dengan suspek TB, segera dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk menegakkan diagnosis TB. Jika di layanan KT HIV dan atau PDP tidak ada sarana
diagnostik TB, segera rujuk ODHA ke unit DOTS.
– ODHA yang terdiagnosis TB harus segera diobati dengan OAT dapat dilakukan di unit
DOTS Puskesmas atau RS maupun di layanan PDP.
– Unit KT HIV dan atau PDP dapat memantau kemajuan pengobatan TB dengan
bantuan unit DOTS.

33
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Gambar 2. Bagan Alur Rujukan dalam Kolaborasi Perawatan dan Pengobatan TB-HIV

UPK TB DOTS PDP HIV

Suspek TB Berisiko HIV

Diagnostik TB KTS HIV

Tidak TB (+)? HIV (+)?


Tidak
Ya
Bukan TB Ya
Konseling
Prevalensi Gejala perubahan perilaku
HIV tinggi? TB? [a]
Kembali ke
PDP HIV
Tidak Tidak
Ya

Layak
ART? Kembali ke
Berisiko Ya UPK TB
Ya
HIV? (terapi TB)
Tidak

Bersedia
Ya Tidak Pemeriksaan
KTS?
tindak lanjut
setiap 3-6 bulan Ulang KTS
Terapi TB 6 bulan lagi

ART dapat
Ya ditunda? [b] Tidak

Terapi TB tahap Ya
intensif lengkap?
Ya
Tidak

Default Lengkapi OAT + ART


ART
tracing Terapi TB

Catatan:
Alur pasien dari Unit DOTS
Alur pasien dari Fasyankes PDP HIV
Catatan :
[a] Skrining TB pada ODHA disertai juga dengan skrining IO yang lain dan dilakukan
pada setiap kunjungan
[b] Indikasi Pemberian ART sesuai dengan pedoman nasional program pengendalian
HIV/AIDS di Indonesia.

34
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
BAB V
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA
MANUSIA
A. PENGERTIAN DAN TUJUAN.
Pengembangan sumber daya manusia (SDM) adalah suatu proses yang sistematis dalam
memenuhi kebutuhan ketenagaan yang cukup dan bermutu sesuai kebutuhan dan bertujuan
untuk menyediakan tenaga pelaksana yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap
yang diperlukan sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan kegiatan kolaborasi.

Pengembangan SDM dalam program kolaborasi TB-HIV merujuk kepada pengertian yang
mengarah kepada peningkatan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan, pemanfaatan
pada pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV dan pembinaan yang berkesinambungan.

B. STANDARISASI KETENAGAAN
Ketenagaan dalam program pengendalian TB dan HIV memiliki standar dalam hal jumlah
dan jenis tenaga yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan program tersebut. Dalam
pelaksanaannya sangat tergantung pada ketersediaan SDM di Fasyankes pelaksana tersebut.
Oleh karena itu, dalam kegiatan kolaborasi TB-HIV tidak selalu harus menambah tenaga baru
tetapi dapat memanfaatkan ketenagaan yang sudah ada. Pelaksana kegiatan kolaborasi TB-
HIV melekat pada masing-masing program di setiap tingkat administrasi. Adapun penjelasan
secara rinci mengenai SDM tersebut di masing-masing tingkat administrasi adalah sebagai
berikut:

35
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
1. Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Koordinator kegiatan kolaborasi TB-HIV di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota
adalah pejabat yang membawahi program pengendalian TB dan HIV.

2. Tingkat Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes).


Pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV di tingkat Fasyankes pada prinsipnya dilakukan
oleh masing-masing petugas TB dan petugas HIV. Pimpinan Fasyankes perlu membentuk
Pokja TB-HIV yang dipimpin oleh seorang Koordinator.
Di tingkat Puskesmas, Kepala Puskesmas dapat menjadi Koordinator pelaksanaan kegiatan
kolaborasi TB-HIV. Rincian tugas Tim TB-HIV di Fasyankes dapat dilihat pada Bab II.

Berdasarkan hal tersebut maka standar ketenagaan pada masing-masing Fasyankes


ditentukan sebagai berikut:

Tabel 5. Tenaga yang dibutuhkan dalam Pelaksanaan Kegiatan Kolaborasi TB-HIV di


Fasyankes

Model Kolaborasi
Paralel Terintegrasi
Fasyankes
Layanan Konseling DOTS-Konseling dan
DOTS
dan Tes HIV/PDP Tes HIV/PDP
– 1 Dokter – Konselor – Konselor
(Puskesmas, – 1 Perawat – Dokter – Dokter
Klinik, dst) – 1 Petugas Lab – Perawat – Perawat
– Petugas Lab – Petugas Lab
– Manajer Kasus – Manajer Kasus

(RS Kelas C, RS – 2 Dokter Umum – Konselor – Konselor


Kab/Kota, RS – 2 Dokter Spesialis – Dokter Umum – Dokter Umum
Swasta) (Spesialis Penyakit – Dokter Spesialis – Dokter Spesialis
Dalam dan Spesialis (Spesialis Penyakit (Spesialis Penyakit
Anak) Dalam) Dalam dan Anak)
– 2 Perawat – Perawat – Perawat
– 1 Petugas Lab – Petugas Lab – Petugas Lab
– 1 Farmasi – Manajer Kasus – Manajer Kasus
– 1 Petugas – Farmasi – Farmasi
pencatatan dan – Petugas pencatatan – Petugas pencatatan
pelaporan dan pelaporan dan pelaporan

36
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
(RS Kelas B – 2 Dokter Umum – Konselor – Konselor
atau A, – 4 Dokter Spesialis – Dokter Umum – Dokter Umum
RS Nasional, (Spesialis Penyakit – Dokter Spesialis – Dokter Spesialis
Provinsi dan Dalam,Paru,Patklin/ (Spesialis Penyakit (Spesialis Penyakit
pendidikan) Mikrobiologi, Anak) Dalam,Paru,Patklin/ Dalam, Paru, Anak,
– 3 Perawat Mikrobiologi, Anak) Obsgin, Bedah, Kulit
– 1 Petugas Lab – Perawat dan Kelamin)
– 1 Farmasi – Petugas Lab – Perawat
– 1 Petugas – Manajer Kasus – Petugas Lab
pencatatan dan – Farmasi – Manajer Kasus
pelaporan – Petugas pencatatan – Farmasi
dan pelaporan – Petugas pencatatan
dan pelaporan

C. TUGAS POKOK DAN FUNGSI PETUGAS PELAKSANA KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV.


Tugas pokok dan fungsi ini menjadi dasar pengembangan kompetensi sumber daya
petugas terkait pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV. Secara umum tugas dan fungsi ini
menjabarkan tugas pokok dan fungsi yang telah berjalan di masing-masing program pada
setiap tingkatan.
Tugas pokok dan fungsi bagi pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota telah dibahas pada bab II.

37
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Tabel 6. Tugas pokok dan fungsi petugas TB dan petugas HIV di Fasyankes.

LAYANAN TB LAYANAN HIV AIDS

Dokter Dokter
Tugas: Tugas:
•• Menjaring suspek TB •• Menentukan diagnosis dan stadium klinis HIVAIDS
•• Mendiagnosis TB (menentukan •• Mendiagnosis Infeksi Oportunistik
klasifikasi dan tipe pasien) •• Memberikan pelayanan kegawatdaruratan bagi
•• Memberikan pengobatan TB ODHA
(menentukan jenis paduan) •• Memberikan penatalaksanaan awal bagi ODHA
•• Memberikan penyuluhan •• Merujuk ODHA ke spesialis yang terkait jika
•• Menentukan PMO diperlukan.
•• Mengisi kartu pengobatan pasien •• Merujuk ODHA ke fasilitas laboratorium lain untuk
TB pemeriksaan HIV jika pemeriksaan tersebut tidak
•• Memonitor dan mengevaluasi tersedia
hasil pengobatan TB •• Merujuk ODHA ke fasilitas laboratorium lain untuk
•• Merujuk pasien TB jika diperlukan pemeriksaan HIV
•• Menilai faktor risiko HIV pada •• Mengisi ikhtisar perawatan HIV dan ART
pasien TB dan bila perlu •• Melakukan skrining suspek TB pada ODHA dan
merujuknya ke klinik KT HIV bila perlu merujuk ke Unit DOTS untuk diagnosis
•• Memberikan umpan balik hasil TB
diagnosis TB pada ODHA yang •• Memberikan umpan balik hasil tes HIV pasien
dirujuk dari layanan KT HIV dan TB yang dirujuk dari unit DOTS untuk tujuan
atau PDP pengobatan pasien TB tersebut.
Dokter Spesialis Dokter Spesialis
Tugas : Tugas:
•• Mendiagnosis TB •• Menentukan diagnosis dan stadium klinis HIV/
•• Memberikan pelayanan AIDS
kegawatdaruratan bagi TB •• Mendiagnosis Infeksi Oportunistik
•• Memberikan penatalaksanaan •• Memberikan pelayanan kegawatdarurat-an bagi
menyeluruh bagi pasien TB ODHA
•• Merujuk pasien TB ke spesialis •• Memberikan penatalaksanaan menyeluruh bagi
lain bila diperlukan. ODHA
•• Mengisi kartu pengobatan pasien •• Merujuk ODHA ke spesialis lain bila diperlukan.
TB •• Mengisi ikhtisar perawatan HIV dan ART
•• Menilai faktor risiko HIV pada •• Melakukan skrining suspek TB pada ODHA dan
pasien TB dan bila perlu bila perlu merujuk ke Unit DOTS untuk diagnosis
merujuknya ke klinik KT HIV TB
•• Memberikan umpan balik hasil
diagnosis TB pada ODHA yang
dirujuk dari KT HIV PDP

38
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
LAYANAN TB LAYANAN HIV AIDS

•• Memberikan umpan balik hasil tes HIV pasien


TB yang dirujuk dari unit DOTS untuk tujuan
pengobatan pasien TB tersebut.
Konselor
Tugas:
•• Memberikan informasi HIV/AIDS yang benar dan
akurat
•• Melakukan konseling HIV/AIDS sebelum dan
sesudah tes
•• Melakukan pencatatan dan pelaporan hasil
konseling
•• Melakukan koordinasi dengan layanan
pencegahan, dukungan dan perawatan di
masyarakat dan unit pelayanan terkait
•• Melakukan skrining suspek TB pada ODHA dan
bila perlu merujuk ke Unit DOTS untuk diagnosis
TB
•• Memberikan umpan balik hasil tes HIV pasien
TB yang dirujuk dari unit DOTS untuk tujuan
pengobatan pasien TB tersebut
Perawat Perawat
Tugas: Tugas:
•• Melakukan asuhan keperawatan •• Melakukan asuhan keperawatan bagi ODHA baik
•• Membantu Dokter untuk mengisi di RS maupun perawatan di rumah
kartu pengobatan pasien TB •• Membantu Dokter untuk mengisi ikhtisar
•• Melakukan pencatatan dan perawatan HIV dan ART
pelaporan (Register pasien) •• Mengenali keadaan gawat darurat dan
•• Memberikan penyuluhan memberikan pelayanan dasar kegawat-daruratan
bagi ODHA
•• Membuat permintaan
pemeriksaan dahak •• Memberikan terapi dengan benar sesuai instruksi
Dokter.
•• Menentukan PMO atau menjadi
PMO •• Memonitor perkembangan keadaan umum ODHA
•• Memonitor hasil pengobatan •• Melakukan skrining suspek TB pada ODHA dan
bila perlu merujuk ke Unit DOTS untuk diagnosis
•• Melakukan pelacakan kasus
TB
mangkir
•• Menilai faktor risiko HIV pada
pasien TB dan bila perlu
merujuknya ke klinik KT HIV

39
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
LAYANAN TB LAYANAN HIV AIDS

•• Memberikan umpan balik hasil


diagnosis TB pada ODHA yang
dirujuk dari KT HIV/PDP
Petugas Laboratorium Petugas Laboratorium
Tugas: Tugas:
•• Pengumpulan dahak •• Mengambil sampel darah dan melakukan
•• Pemeriksaan mikroskopis dahak pemeriksaan HIV sesuai SOP
•• Mencatat hasil pemeriksaan •• Melakukan sesuai SOP
laboratorium •• Mencatat hasil pemeriksaan laboratorium
•• Melakukan pemantapan mutu •• Melakukan rujukan spesimen ke laboratorium
internal dan eksternal rujukan sesuai instruksi Dokter.
•• Melakukan pemantapan mutu internal dan
eksternal
Petugas Pencatatan dan Pelaporan
Tugas:
•• Melakukan pencatatan sesuai dengan format baku yang ditetapkan secara Nasional
•• Melakukan pelaporan sesuai dengan alur pelaporan yang ditetapkan
•• Tugas ini dapat dirangkap oleh petugas yang lain
Apoteker/petugas farmasi
Tugas:
•• Melakukan konseling minum obat
•• Melakukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat
•• Menghitung perencanaan dan permintaan obat
•• Memantau efek samping obat dan kepatuhan minum obat
Konselor
Tugas:
•• Membantu klien menyiapkan diri untuk pemeriksaan laboratorium
•• Memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV
•• Memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV
Manajer Kasus
Tugas:
•• Memberikan dan mengorganisasi dukungan dan pendampingan bagi ODHA dan
keluarganya secara biopsikososial
•• Mendukung kepatuhan ODHA agar teratur berobat
•• Memastikan ODHA mendapat akses pelayanan kesehatan
•• Memberdayakan ODHA agar mandiri
•• Melakukan skrining suspek TB pada ODHA dan bila perlu merujuk ke Unit DOTS untuk
diagnosis TB

40
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
D. PENINGKATAN KEMAMPUAN SUMBER DAYA MANUSIA
Peningkatan kemampuan dan ketrampilan SDM pelaksana kegiatan kollaborasi TB-HIV
dilakukan melalui pelatihan dan bimbingan teknis.
1. Pelatihan
Pelatihan dalam kolaborasi TB-HIV mengacu pada pelatihan program TB maupun program
HIV/AIDS yang ada. Secara umum konsep pelatihan tersebut meliputi:
a. Pendidikan/pelatihan sebelum bertugas (pre service training).
b. Pelatihan dalam tugas (in service training) dibedakan menjadi:
1) Pelatihan dasar program (initial training). Pelatihan dasar program dapat dilakukan
dengan cara:
– Pelatihan dasar,
– Pelatihan ulangan (retraining) dan
– Magang (on the job training).
2) Pelatihan lanjutan (advanced training) .

Pelatihan dilaksanakan berdasarkan tugas pokok dan fungsi tenaga sesuai tingkat
pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV:
a. Pelatihan kegiatan kolaborasi TB-HIV bagi petugas TB.
b. Pelatihan kegiatan kolaborasi TB-HIV bagi petugas di layanan KT HIV dan atau PDP.

2. Bimbingan Teknis
Bimbingan Teknis adalah kegiatan untuk meningkatkan kompetensi petugas yang
dilakukan secara langsung dapat berupa: observasi, diskusi, bantuan teknis, pemecahan
masalah dan rekomendasi.

Di samping bimbingan teknis secara umum dilakukan juga bimbingan klinis (clinical
mentoring) bagi petugas yang dilatih Konseling dan Tes HIV/PDP oleh tenaga klinis
terlatih yang ditunjuk oleh program.

Bimbingan teknis dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat administrasi yang
tertinggi sampai ke tingkat terendah (unit pelaksana teknis).

Agar bimbingan teknis efektif dan mencapai tujuannya maka bimbingan teknis harus
direncanakan dengan baik dengan memperhatikan frekuensi kunjungan dan unit yang
akan dikunjungi. Pada keadaan tertentu misalnya kinerja petugas masih kurang baik,
frekuensi bimbingan teknis perlu ditingkatkan.

Persiapan bimbingan teknis sangat diperlukan supaya pelaksanaan dapat berjalan lancar
dan mencapai tujuannya secara efektif dan efisien dengan langkah-langkah sebagai
berikut:

41
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
a. Penyiapan daftar tilik yang akan digunakan saat bimbingan teknis (Lampiran 2).
b. Pengumpulan informasi tentang masalah dan hambatan yang dihadapi.
c. Penjadualan kegiatan.
d. Pemberitahuan dan kesepakatan waktu dengan petugas yang akan dibimbing.

Pada setiap akhir kegiatan diberikan umpan balik hasil bimbingan kepada petugas yang
dibimbing dan pimpinannya. Umpan balik tersebut disampaikan secara lisan (pada saat
pelaksanaan bimbingan teknis) dan secara tertulis (dalam bentuk laporan bimbingan
teknis) yang disampaikan kemudian.

42
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
BAB VI
MANAJEMEN LOGISTIK
A. BATASAN DAN TUJUAN
Manajemen logistik adalah serangkaian kegiatan yang meliputi perencanaan kebutuhan,
pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, monitoring dan evaluasi dalam menjamin
ketersediaan logistik baik dalam jumlah maupun kualitas untuk mendukung operasional
program.

Penyediaan logistik untuk kebutuhan pelayanan TB-HIV memerlukan perlakuan dan perhatian
secara spesifik terutama obat-obatan (OAT, ARV dan obat IO).

Dalam bab ini hanya akan dibahas mengenai manajemen logistik secara umum sedangkan
untuk hal yang lebih rinci mengacu pada pedoman manajemen logistik masing-masing
program.

B. JENIS-JENIS LOGISTIK
Jenis logistik yang dipersiapkan meliputi:

43
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Program HIV AIDS
Jenis logistik Program TB Puskesmas/Satelit
Rumah Sakit
RS ARV

Obat OAT Kotrimoksasol ARV, Kotrimiksasol dan


beberapa obat IO yang lain
(lihat lampiran 3)

Alat dan Sarana Sarana Sarana pemeriksaan Rapid


bahan pemeriksaan pemeriksaan Rapid test HIV,
diagnostik mikroskopis test HIV ELISA, Flowcytometer (untuk
dahak, biakan pemeriksaan CD4), PCR unit
dan uji kepekaan (untuk pemeriksaan PCR-RNA
HIV/Viral load)

Pencatatan •• Formulir TB •• Formulir VCT •• Ikhtisar perawatan HIV


pelaporan 01, 02, 03, 04, •• Formulir PITC & ART, Register Pra ART,
05, 06, 09, 10 Register ART, Laporan
•• Formulir
•• Formulir Bulanan Perawatan HIV &
skrining gejala
rujukan ART
dan tanda TB
kolaborasi TB •• Formulir VCT
•• Buku bantu
HIV •• Formulir PITC
kolabo-rasi TB-
•• Formulir HIV •• Formulir skrining gejala
Penilaian dan tanda TB
•• Formulir
faktor risiko
laporan 17 •• Buku bantu kolaborasi
HIV
variabel TB-HIV
•• Formulir kolaborasi TB- •• Formulir laporan 17
laporan 17 HIV variabel kolaborasi TB-HIV
variabel
kolaborasi
TB-HIV

Bahan KIE Poster, leaflet dan Poster, leaflet dan Poster, leaflet dan lembar
lembar balik lembar balik balik

C. SIKLUS MANAJEMEN
Siklus manajemen meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan,
pendistribusian, monitoring dan evaluasi. Dalam kegiatan kolaborasi TB-HIV, pengelolaan
logistik TB mengacu pada pedoman pengelolaan logistik Program TB demikian pula untuk
pengelolaan logistik HIV/AIDS mengacu pada buku manajemen Program Pengendalian HIV/
AIDS Supply Chain Management (SCM).

44
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
BAB VII
ADVOKASI, KOMUNIKASI DAN
MOBILISASI SOSIAL (AKMS)
A. BATASAN DAN TUJUAN
Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial (AKMS) adalah suatu konsep sekaligus kerangka
kerja terpadu untuk mempengaruhi dan mengubah kebijakan publik, perilaku dan
memberdayakan masyarakat dalam pelaksanaan kolaborasi TB-HIV. Sehubungan dengan itu
AKMS merupakan suatu rangkaian kegiatan advokasi, komunikasi, dan mobilisasi sosial yang
dirancang secara sistematis dan dinamis.

Tujuan AKMS dalam kolaborasi TB-HIV adalah untuk memberdayakan potensi masyarakat
dan pemerintah sehingga mampu dan mandiri dalam penanggulangan TB-HIV.

B. STRATEGI AKMS
Ada tiga strategi dalam AKMS dan sekaligus merupakan komponen yaitu Advokasi,
Komunikasi dan Mobilisasi Sosial.
1. Advokasi

Merupakan upaya secara sistimatis untuk mempengaruhi Pimpinan, Pembuat/Penentu


Kebijakan dan Keputusan dalam penyelenggaraan kolaborasi TB-HIV. Pendekatan dapat
dilakukan dengan cara bertatap muka langsung (audiensi), konsultasi, memberikan
laporan, pertemuan/rapat kerja, lokakarya dan sebagainya sesuai dengan situasi dan
kondisi masing-masing unit.

45
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
2. Komunikasi

Merupakan proses penyampaian pesan atau gagasan (informasi) yang disampaikan


secara lisan dan atau tertulis dari sumber pesan kepada penerima pesan melalui media
dengan harapan terdapatnya pengaruh timbal balik.

Sumber pesan (pemberi pesan) dapat berasal dari individu, kelompok (petugas
penjangkau, masyarakat) maupun kelembagaan (Petugas kesehatan baik TB maupun HIV,
Konselor). Pesan-pesan dalam proses komunikasi disampaikan melalui bahasa yang sama
dengan bahasa penerima pesan agar mudah dimengerti dan dipahami oleh penerima.
Penerima pesan adalah dapat berupa individu, kelompok, kelembagaan maupun massa.

Pengemasan materi pesan bisa berbeda tergantung kelompok sasaran (Isi pesan lihat
lampiran 4).

3. Mobilisasi Sosial

Merupakan kegiatan yang melibatkan semua unsur masyarakat dengan keterpaduaan


elemen Pemerintah dan non Pemerintah sehingga masyarakat dapat melakukan kegiatan
secara kolektif dengan menggunakan sumber daya yang ada dan membangun solidaritas
untuk mengatasi masalah.

Dalam kolaborasi TB-HIV kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui kampanye,


penyuluhan kelompok, diskusi kelompok, kunjungan rumah dan konseling.

C. KELOMPOK SASARAN AKMS


1. Pengambil keputusan di berbagai tingkat administrasi (Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD,
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah/Bappeda, Badan Perencanaan Pembangunan
Kota/Bappeko, dll.).

2. Kelompok yang dapat mempengaruhi pengambil keputusan dan kelompok yang dapat
mempengaruhi masyarakat yang terkena dampak TB-HIV (penyedia layanan, lintas sektor,
Tokoh agama/Toga, Tokoh Masyarakat/Toma, Ormas dan media massa).
3. Kelompok ODHA.

4. Kelompok Pasien TB.


5. Kelompok yang terkena dampak TB-HIV.

46
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
D. KEGIATAN AKMS

1. Pengorganisasian

Pelaksanaan AKMS TB-HIV dilaksanakan melalui pola struktur organisasi yang sudah ada
mulai dari tingkat Fasyankes, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi
dan Kementerian Kesehatan.
Dalam pelaksanaan AKMS harus melibatkan:

a. Pengelola program di berbagai tingkatan baik di Pusat, Dinas Kesehatan Provinsi dan
Kabupaten/Kota;

Kegiatan AKMS dalam Pengendalian TB merupakan kegiatan Program TB baik di


setiap tingkatan yang masing-masing berperan dalam mengelola kegiatan.
Peran:

1) Memfasilitasi kegiatan AKMS TB termasuk menyertakan topik TB-HIV.

2) Mengelola jaringan kemitraan di masing-masing tingkatan.

3) Membimbing dan berkoordinasi dengan Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam


pelaksanaan kegiatan.
4) Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan.

b. Koalisi/Ormas/LSM/Organisasi Profesi Lokal;

Selain peranan pengelola program, AKMS memerlukan dukungan dan bermitra


dengan sebuah Koalisi/Ormas/LSM/Organisasi Profesi. Tanpa kemitraan kegiatan
AKMS tidak dapat berjalan.
Peran:

1) Mendukung Pemerintah dalam pelaksanaan AKMS di wilayah kerjanya sesuai


dengan keahlian dan kemampuannya.

2) Mendukung Pemerintah sebagai advokator.

3) Berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi


dan Kabupaten/Kota ataupun Fasyankes serta mitra lain yang terlibat dalam
pelaksanaan kegiatan.

4) Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan.

c. Media;

47
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Kita tidak dapat secara efektif memerangi TB jika masyarakat tidak merasa ini
merupakan masalah bersama yang harus ditanggulangi bersama. Oleh karena itu,
diperlukan dukungan media dalam menyampaikan pesan kepada seluruh target baik
Pemerintah, masyarakat dan pasien TB.

Peran:

1) Menyebarkan informasi yang benar mengenai TB maupun HIV.

2) Mendorong terjadinya perubahan pandangan masyarakat, pemegang kebijakan,


pihak swasta tentang pengendalian TB di wilayahnya melalui penyebaran
informasi tentang TB maupun HIV.

3) Menjadikan TB dan HIV menjadi agenda publik dengan secara berkesinambungan


memberitakan tentang TB dan HIV.

d. Masyarakat, termasuk mereka yang terkena dampak TB dan HIV;

Masyarakat baik mereka yang sakit maupun orang yang terkena dampak TB
maupun HIV bukan hanya sebagai obyek namun mereka dapat juga berperan dalam
mengendalian perkembangan TB di masyarakat. Mereka merupakan informan yang
tepat yang dapat menyampaikan pesan tentang TB maupun HIV karena mereka
mempunyai pengalaman nyata.

Peran:

1) Berperan aktif dalam menyebarkan informasi tentang pencegahan, gejala, tempat


pemeriksaan dan pencarian pengobatan yang benar.

2) Mendukung pasien TB dan ODHA dalam menjalankan pengobatannya.

3) Mendukung kelompok sebaya dalam menjalankan pengobatannya dan mengatasi


permasalahan yang muncul selama pengobatan.

e. Pemegang Kebijakan Internal dan Lintas Sektoral

Komitmen politik merupakan bagian utama dari strategi DOTS. Untuk itu peranan
pemegang kebijakan sangatlah penting dalam program ini.

Peran:

Mendukung pelaksanaan Pengendalian TB terutama yang terkait dengan area


kerjanya.

48
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
2. Pelaksanaan

Keberhasilan AKMS sangat ditentukan oleh keterlibatan banyak pihak melalui kerjasama
lintas sektoral yang serasi, harmonis, efektif dan efisien.

Langkah-langkah pelaksanaan kegiatan AKMS:

1) Mengidentifikasi dan melibatkan lintas sektor, lintas program, Kelompok ODHA,


kelompok pasien TB, mitra dan media.

2) Menilai dan membangun kapasitas dan sumber daya.

3) Menetapkan peran dan tanggung jawab.

4) Menjalin kemitraan.

5) Membuat dan mengelola anggaran.

PENDEKATAN
TUJUAN KEGIATAN
AKMS

Advokasi Meningkatkan pemahaman para a. Seminar, Pertemuan


pengambil kebijakan tentang Dengar Pendapat
pengaruh TB-HIV terhadap b. Penyebaran Media Cetak
masalah kesehatan dan ekonomi (Leaflet, Factsheet, Warta
wilayahnya dengan tujuan dll)
pengendalian TB (termasuk TB- c. Peringatan Hari TB Sedunia,
HIV) menjadi prioritas Pemerintah Hari AIDS Sedunia, Hari
Kesehatan Nasional

Komunikasi •• Meningkatkan kesadaran masyarakat •• Memformulasikan pesan


tentang TB komunikasi yang tepat
•• Mengurangi stigma terhadap TB / sesuai dengan latar budaya,
HIV dan TB-HIV pendidikan masayarakat
•• Meningkatkan kesadaran masyarakat •• Kampanye media melalui
tentang TB televisi, radio, koran dll
•• Mengurangi stigma terhadap TB •• Pendistribusian materi KIE
/ HIV dan TB-HIV dengan melibat kepada masyarakat
aktifkan pasien TB dan ODHA •• Pelatihan Komunikasi
•• Membantu petugas kesehatan Interpersonal dan Konseling
mengidentifikasi kasus TB bagi Petugas Kesehatan dan
Konselor
•• Mendorong masyarakat agar mencari
pelayanan TB-HIV yang tepat

49
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Mobilisasi Sosial •• Meyakinkan pada masyara-kat •• Penyebaran informasi TB
bahwa TB dapat disem-buhkan dan HIV melalui berbagai
•• Mendorong orang yang sakit TB kegiatan masyarakat seperti
untuk mendapat-kan pengobatan pertemuan rutin bulanan,
yang tepat arisan, pengajian dll
•• Menyediakan materi KIE yang •• Pelibatan kelompok ODHA
dapat digunakan oleh konselor dan kelompok pasien
dalam memberi edukasi
•• Mendorong pasien TB
pada kelompoknya
menjalankan pengobatan sampai
tuntas •• Pelibatan kader dalam
penyebaran informasi seperti
•• Menjangkau populasi khusus seperti
penyuluhan, kunjungan
penghuni rutan/lapas, masyarakat
rumah dll
urban, pekerja dll

3. Kerja sama Lintas Sektoral (Organisasi Profesi, Dunia Usaha, Akademisi, dsb)

Kolaborasi TB-HIV tidak mungkin hanya dilakukan oleh sektor kesehatan tetapi
membutuhkan kemitraan dan dukungan yang dilakukan oleh sektor lainnya. Untuk itu,
perlu diwujudkan koordinasi, integrasi dan sinkronikasi berbagai program dan kegiatan
baik yang berada di dalam lingkup kesehatan maupun dengan sektor-sektor lainnya.

Untuk mewujudkan koordinasi yang baik perlu diselengarakan komunikasi antar unit
dan antar sektor guna membahas perencanaan dan implementasi serta pembinaan dan
pengawasan kolaborasi TB-HIV.

Kolaborasi TB-HIV dapat diperkuat dengan:

1. Komitmen politik di seluruh tingkatan.


2. Kegiatan advokasi dan komunikasi kolaborasi TB-HIV yang disusun dengan baik,
direncanakan bersama untuk memastikan sasaran dan isi pesan tepat.
3. Pengembangan bersama strategi komunikasi dan mobilisasi sosial TB-HIV ditujukan
pada kebutuhan individu dan pasien serta masyarakat yang terkena dampak HIV/
AIDS dan TB.
4. Memasukkan pesan HIV pada KIE TB dan sebaliknya.

E. KELUARAN AKMS TB-HIV


1. Terdapatnya peningkatan dukungan kebijakan, pendanaan dan sumber daya lain
oleh berbagai pihak dalam kegiatan kolaborasi TB-HIV.
2. Peningkatan opini publik yang mendukung kegiatan kolaborasi TB-HIV.

50
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
3. Peningkatan nilai, praktek dan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan TB-
HIV.

Secara skematis luaran AKMS dapat digambarkan seperti di bawah ini:

Gambar 3. Skema Luaran AKMS

Pem erintah
Peny ediaan Kec ukupan logistik
Advokas i m emprioritask an
la y ananbermutu dan sum ber day a la in
k egiata nTB-HIV

Monit oring

Nak es ,
mas yarakat
M asy arak at Penemuan/ diagnos a mem berik an
m engerti Stigm a secara dinidan Penurunan
duk ungandan
Komunik as i tenta ngTB-H IV berk urang pengobatan yang tepat k as us
perawatan
mem adai

Penc aria n la y anan


ole h suspek / orang Penin gkatan
beris ik o jumlah
m as y arak at
y ang bebas
TB dan HIV
Kemandirian Nilai dan praktek
Mobil isas i Partis ip as imas yarakat mas yarakat dan budaya s ehat oleh
sos ia l dalam penanggula ngan li ngk ungany ang pemerintah dan
TB-HIV menduk ung m as yarak at

51
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
52
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
BAB VIII
MONITORING DAN EVALUASI

A. BATASAN DAN TUJUAN


Monitoring dan Evaluasi (M&E) TB-HIV diperlukan dalam manajemen kolaborasi program
TB-HIV untuk menilai keberhasilan dan menjamin efektifitas serta efisiensi penggunaan
sumber daya sehingga dapat diupayakan perbaikan dan peningkatan kegiatan secara terus
menerus.

Monitoring merupakan pengamatan rutin terhadap kinerja program dan layanan dengan
cara menganalisis baik masukan (input), proses dan luaran (output) secara berkala dan terus
menerus untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang
telah direncanakan supaya dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Cara monitoring
dilakukan dengan menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas
pelaksana maupun dengan masyarakat sasaran.

Evaluasi adalah penilaian secara berkala dari kegiatan program dengan menggunakan data
monitoring. Biasanya evaluasi ini dilakukan pada akhir periode kegiatan/program, misalnya
setahun sekali. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana pencapaian tujuan dan target yang
telah ditetapkan sebelumnya. Dalam mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator.
Hasil evaluasi sangat berguna untuk kepentingan perencanaan program.

53
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
B. INDIKATOR KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV

Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan kegiatan kolaborasi TB-HIV digunakan beberapa
indikator yang tercantum seperti di bawah ini:

1. Pembentukan mekanisme kolaborasi TB-HIV

a. Terbentuknya kelompok kerja/forum komunikasi kegiatan kolaborasi TB-HIV di semua


lini.

b. Tersedianya data TB-HIV di semua tingkat dan sudah dilaporkan.

c. Terselenggaranya perencanaan bersama kegiatan kolaborasi TB-HIV.

d. Jumlah Fasyankes yang menyediakan layanan TB-HIV.

e. Terlaksananya monitoring dan evaluasi terpadu kegiatan kolaborasi TB-HIV.

2. Penurunan beban TB pada ODHA

a. Proporsi ODHA yang mengunjungi klinik PDP yang dikaji status TB

b. Proporsi ODHA yang didiagnosis TB diantara ODHA yang telah dikaji status TB-nya.

c. Proporsi ODHA yang mendapatkan pengobatan TB diantara ODHA yang telah


terdiagnosis TB.

d. Proporsi Fasyankes yang mempunyai kebijakan pengendalian penyakit infeksi (PPI)


TB

3. Penurunan beban HIV pada pasien TB

a. Proporsi pasien TB yang dites HIV.

b. Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasilnya tercatat dalam register TB

c. Proporsi pasien TB yang dites HIV dengan hasil tes HIV positif.

d. Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK

e. Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART selama pengobatan TB.

54
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
4. Indikator Hasil Pengobatan TB pada Kegiatan Kolaborasi TB-HIV

a. Angka konversi

b. Angka kesembuhan

c. Angka keberhasilan pengobatan TB

C. SURVEILANS HIV DI ANTARA PASIEN TB


Surveilans merupakan suatu rangkaian kegiatan mulai dari pengumpulan data secara
sistematik, analisis, interpretasi dan diseminasi data penyakit untuk kepentingan tindakan
kesehatan masyarakat dalam upaya menurunkan kesakitan dan kematian serta untuk
peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

Surveilans HIV di antara pasien TB bermaksud untuk mengukur prevalens infeksi HIV di
antara pasien TB. Mengingat bahwa HIV akan memberikan dampak besar terhadap upaya
penanggulangan TB, prevalens HIV diantara pasien TB merupakan indikator yang sensitif
dari penyebaran HIV ke populasi umum. Informasi banyaknya HIV diantara pasien TB sangat
penting dalam upaya meningkatkan komitmen pelayanan komprehensif (terpadu) dari
perawatan dan dukungan HIV AIDS termasuk pengobatan antiretroviral (ART) pada pasien
TB dengan HIV positif.

1. Metode Surveilans

Ada 3 macam metode surveilans HIV di antara pasien TB yaitu:

a. Surveilans berdasar data rutin.

Dalam kondisi daerah dengan prevalens HIV tinggi pada populasi umum, tes HIV
pada pasien TB untuk keperluan diagnosis dilakukan lebih sering. Hal ini disebabkan
pilihan pengobatan dan perawatan infeksi HIV meningkat, dengan demikian tes
diagnosis HIV pada pasien TB dilakukan secara rutin pada pasien TB kecuali jika
mereka menolak di tes.

Data dikumpulkan dari layanan rutin pasien TB yang dilakukan tes HIV. Data rutin
dari layanan tersebut di atas merupakan sistim terbaik untuk memperoleh informasi
meskipun kemungkinan terjadinya bias cukup besar, misalnya pasien TB yang
kemungkinan terinfeksi HIV menolak untuk di tes. Jika jumlah pasien yang menolak
untuk di tes HIV cukup besar maka surveilans berdasar data rutin interpretasinya

55
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
kurang akurat.

b. Surveilans berdasar survei periodik (khusus)

Survei ini merupakan survei sero-prevalens HIV yang dilakukan secara potong
lintang/cross-sectional pada sekelompok pasien TB yang dianggap dapat mewakili
suatu wilayah/daerah tertentu. Untuk itu, perhitungan sampel dari survei ini harus
dilakukan secara tepat untuk menghindari bias. Survei dilakukan secara unlinked
anonymous, dilakukan secara berkala dengan selang waktu 2-3 tahun. Hasil survei ini
dapat digunakan untuk mengkalibrasi hasil surveilans berdasar data rutin.

Survei sero prevalens periodik (khusus) dapat juga merupakan metode surveilans
dalam mengukur prevalens HIV di antara pasien TB yang dapat memberikan estimasi
pointprevalence HIV di antara pasien TB yang cukup tepat. Survei ini bermanfaat pada
keadaan dimana prevalens sebelumnya tidak diketahui dan sebagai kajian situasi
awal.

Survei ini memerlukan biaya yang cukup mahal dan termasuk cukup sulit untuk
dilaksanakan.

c. Surveilans Sentinel

Merupakan surveilans yang dilaksanakan di lokasi yang terpilih. Lokasi sentinel pada
umumnya dipilih karena lokasi tersebut dapat dipertimbangkan mewakili populasi
yang lebih besar. Sebagaimana survei periodik, sistem survailans sentinel juga
dilakukan secara unlinked anonymous.

Penetapan Fasyankes DOTS sebagai lokasi pelaksanaan surveilans sentinel harus


sesuai pedoman yang berlaku yaitu pada tempat, waktu dan metode yang sama
(buku Pedoman Nasional Surveilans Sentinel HIV).

Sistem tersebut sangat berguna jika tidak memungkinkan untuk memeriksa semua
kasus karena pendekatan kesehatan masyarakat yang akan ditindaklanjuti bukanlah
untuk menjawab masalah secara individu.

Metode surveilans ini bertujuan memberikan informasi yang lebih sistematik dan
lebih akurat serta mampu memberikan estimasi point prevalence HIV di antara pasien
TB. Hasil surveilans sentinel ini dapat digunakan untuk mengkalibrasi hasil dari
surveilans berdasarkan data rutin. Disamping itu, juga sangat berguna untuk melihat
kecenderungannya (trend).

56
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Tabel 7. Alur Pemilihan Metode Surveilans

KRITERIA METODE SURVEILANS YANG DIANJURKAN


I. Keadaan epidemi HIV Data dari tes HIV rutin pada pasien TB.
MELUAS(Generalized)
dan
Surveilans sentinel atau surveilans periodik (khusus)
untuk mengkalibrasi data dari testing HIV rutin.
II. Keadaan epidemi HIV Data dari tes HIV rutin pada pasien TB.
TERKONSENTRASI
atau
(Concentrated)
Surveilans sentinel atau surveilans periodik (khusus)
didaerah pelaksanaan dimana tingkat HIV tidak diketahui
(data rutin belum ada). Surveilans ini dapat dipakai untuk
mengkalibrasi data testing HIV rutin.
III. Keadaan epidemi HIV Surveilans sentinel atau surveilans periodik (khusus)
RENDAH (Low Level)

2. Manfaat Surveilans HIV Di Antara Pasien TB Berdasarkan Tingkat Epidemi HIV

a. Pada semua keadaan prevalens HIV

– Untuk menginformasikan target kebutuhan sumber daya dan rencana kegiatan


bagi pasien koinfeksi TB-HIV serta monitoring efektifitas kegiatan tersebut.

– Untuk meningkatkan kesadaran para pemangku kebijakan, profesional dan


masyarakat umum terhadap situasi tersebut.

– Untuk menilai perlunya kerja sama antara program HIV AIDS dan TB dalam rangka
perumusan dan pelaksanaan strategi TB-HIV secara bersama.

– Untuk memberikan informasi tentang epidemi HIV AIDS dan dampaknya pada
pasien TB.

– Untuk mengetahui besarnya kebutuhan ART pada pasien TB.

b. Keadaan epidemi HIV terkonsentrasi atau meluas

– Untuk menilai dampak epidemi HIV pada pasien TB.

– Untuk memonitor efektifitas strategi bersama yang ditujukan untuk mengurangi


beban TB-HIV.

57
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
c. Keadaan epidemi HIV rendah

Untuk mengingatkan program TB dan HIV AIDS terhadap besarnya masalah HIV
sehingga dapat melakukan perubahan yang tepat untuk program, seperti membangun
metode surveilans yang lebih sistematik atau membuat strategi bersama.

D. PENCATATAN DAN PELAPORAN KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV

Salah satu komponen penting dari monitoring dan evaluasi yaitu pencatatan dan pelaporan.
Pencatatan dan pelaporan berguna untuk mendapatkan data kegiatan.Kemudian data
tersebut diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan.
Data yang dikumpulkan harus valid (akurat, lengkap dan tepat waktu) sehingga memudahkan
dalam pengolahan dan analisis.

Data kolaborasi TB-HIV dapat diperoleh dari pencatatan di semua unit pelayanan kesehatan
dengan menggunakan satu sistem yang baku. Laporan kolaborasi TB-HIV terdiri atas variabel
TB dan variabel HIV. Laporan tersebut harus dilaporkan oleh petugas TB dan petugas HIV tiap
3 bulan mulai dari Fasyankes, Kabupaten/Kota, Provinsi sampai ke tingkat Pusat.

Formulir Pencatatan dan pelaporan TB dan HIV dijelaskan berikut ini.

a. Formulir Pencatatan dan Pelaporan di Fasyankes

Fasyankes (Puskesmas, Rumah Sakit, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)/
Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM)/BP4, klinik dan dokter praktek swasta dll) dalam
melaksanakan pencatatan menggunakan formulir:

a. HIV

−− Formulir KT HIV Sukarela (KTS)

Adalah formulir yang digunakan untuk mencatat proses KT HIV oleh Konselor di
layanan KTS.

– Formulir Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan (KTIP)

Adalah formulir yang digunakan untuk mencatat proses KT HIV oleh Petugas
kesehatan di layanan kesehatan.

- Formulir Ikhtisar perawatan HIV & Terapi Antiretroviral (ART)

58
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Adalah formulir yang berisi informasi pasien yang dicatat untuk semua pasien HIV
yang terdaftar di layanan PDP. Formulir ini terdiri dari dua halaman yaitu:

1) Halaman pertama berisi informasi ringkasan identifikasi penting, sosiodemografi,


klinis dan pengobatan.

2) Halaman dua berbentuk tabel yang berisi data kunjungan follow up pasien.

– Buku Register Pra ART

Adalah buku yang digunakan untuk mencatat informasi penting dari formulir
ikhtisar perawatan HIV dan Terapi ART dari semua pasien HIV yang masuk dalam
perawatan dan belum memulai ART di layanan PDP.

– Buku Register ART

Adalah buku yang digunakan untuk mencatat informasi penting dari formulir
ikhtisar perawatan HIV dan Terapi ART dari semua pasien HIV yang masuk dalam
perawatan dan sudah memulai ART di layanan PDP.

– Formulir Laporan Bulanan Perawatan HIV & ART

Adalah formulir pendokumentasian indikator utama mengenai akses perawatan


HIV, akses ke ART dan kesinambungan ART di layanan PDP yang dilakukan oleh
Petugas HIV.

b. TB

– Buku Daftar Suspek yang Diperiksa Dahak SPS (TB.06)

Adalah buku yang berisi tentang suspek TB yang diperiksa dahak SPS yang
dilaksanakan di Fasyankes.Di dalam buku tersebut juga berisi nomor sediaan dahak
untuk diisi pada formulir TB.05.

– Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05)

Adalah formulir permohonan pemeriksaan dahak yang terdiri dari dua bagian:

1) Bagian atas berisi identitas suspek atau pasien TB dan nomor sediaan dahak untuk
dikirmkan ke bagian laboratorium.

2) Bagian bawah berisi hasil pemeriksaan dahak yang diisi oleh petugas laboratorium
untuk dikembalikan ke bagian yang merujuk.

59
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
– Buku Register Laboratorium TB (TB.04)

Adalah buku yang berisi hasil pemeriksaan dahak suspek dan dahak ulang pasien TB
(follow up) di laboratorium TB yang melakukan pewarnaan dan pembacaan sediaan
dahak.

– Kartu pengobatan pasien TB (TB.01)

Adalah kartu pengobatan pasien yang mendapat pengobatan TB, terdiri dari dua
bagian:

1) Bagian depan, berisi data pasien, riwayat pengobatan, hasil pemantauan


pemeriksaan dahak dan pemantauan pengobatan tahap awal.

2) Bagian belakang, berisi pemantauan pengobatan tahap lanjutan, data HIV, dan
status akhir pengobatan pasien.

– Kartu identitas pasien TB (TB.02)

Adalah kartu berisikan perjanjian pengambilan obat dan pemeriksaan dahak ulang
untuk pegangan pasien.

– Buku Register TB UPK (TB.03 UPK)

Adalah buku rekapitulasi dari seluruh data pengobatan pasien (TB.01), terdiri dari
empat rangkap:

1) Lembar 1 berwarna putih digunakan sebagai pertinggal di Fasyankes.

2) Lembar 2 berwarna merah muda digunakan sebagai laporan penemuan pasien


ke Kabupaten/Kota.

3) Lembar 3 berwarna kuning digunakan sebagai laporan konversi dahak ulang


pasien ke Kabupaten/Kota.

4) Lembar 4 berwarna hijau digunakan sebagai laporan hasil akhir pengobatan


pasien ke Kabupaten/Kota.

– Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09)

Adalah formulir yang digunakan untuk merujuk/pindah pasien yang masih dalam
pengobatan ke Fasyankes yang dirujuk baik dalam satu Kabupaten maupun antar
Kabupaten/Kota atau antar Provinsi. Formulir ini terdiri dari dua bagian:

60
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
1) Bagian atas diisi oleh Fasyankes yang merujuk untuk dikirimkan ke Fasyankes
yang dirujuk.

2) Bagian bawah diisi oleh Fasyankes yang menerima rujukan untuk kemudian
dikirim kembali ke Fasyankes yang merujuk sebagai informasi pasien sudah
diterima.

– Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10)

Adalah formulir yang berisi hasil akhir pengobatan pasien yang dirujuk/dipindah ke
Fasyankes yang merujuk/memindahkan.

c. TB-HIV

– Formulir rujukan kolaborasi TB-HIV

Adalah formulir yang digunakan untuk merujuk pasien TB dari unit DOTS ke Unit KTS/
PDP atau klien dari Unit KTS/PDP ke Unit DOTS. Formulir ini terdiri dari dua rangkap,
yaitu :

1) Lembar 1 (berwarna putih) diisi oleh unit yang merujuk kemudian dikirimkan ke
unit yang dirujuk (unit DOTS atau KTS/PDP). Lembaran ini terdiri dari dua bagian,
yaitu bagian atas yang berisi identitas dan alasan rujukan dan bagian bawah yang
berisi jawaban rujukan yang berisi hasil untuk dikirimkan kembali ke bagian yang
merujuk.

2) Lembar 2 (berwarna hijau) merupakan salinan dari lembar 1 dan lembar pertinggal
unit yang merujuk.

- Formulir skrining gejala dan tanda TB

Adalah formulir yang digunakan untuk menilai gejala dan tanda TB pada ODHA di
layanan PDP.

– Formulir Penilaian faktor risiko HIV

Adalah formulir yang digunakan untuk menilai faktor risiko HIV pada pasien TB di
layanan DOTS.

– Buku bantu kolaborasi TB-HIV

61
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Adalah buku yang digunakan untuk mencatat hasil pemeriksaan dan pengobatan
TB pada ODHA di layanan PDP. Buku bantu ini berisi data yang digunakan untuk
membantu pengisian laporan dalam rangka kegiatan kolaborasi TB-HIV di bagian
HIV. Untuk memudahkan proses pembuatan laporan pencapaian kegiatan kolaborasi
TB-HIV di bagian HIV sudah disediakan dalam bentuk elektronik beserta petunjuk
penggunaannya.

– Laporan triwulan pencapaian kegiatan kolaborasi TB-HIV

Adalah laporan berisikan variabel yang berkaitan dengan capaian kegiatan kolaborasi
TB-HIV dalam rangka menurunkan beban TB pada ODHA dan beban HIV pada TB.

b. Pencatatan dan Pelaporan di Kabupaten/Kota

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan


sebagai berikut:

a. TB

– Register TB Kabupaten (TB.03).

– Laporan Triwulan Penemuan dan Pengobatan Pasien TB (TB.07).

– Laporan Triwulan Hasil Pengobatan (TB.08).

– Laporan Triwulan Hasil Konversi Dahak Akhir Tahap Intensif (TB.11).

– Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Uji silang dan Analisis Hasil Uji silang
Kabupaten (TB.12).

– Laporan OAT (TB.13).

b. HIV/AIDS:

– Laporan bulanan perawatan HIV dan ART (HA-Kab/Kota-8A).

c . Kolaborasi TB-HIV

– Rekapitulasi laporan triwulan pencapaian kegiatan kolaborasi TB-HIV.

c. Pencatatan dan Pelaporan di Provinsi

Dinas Kesehatan Provinsi menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan sebagai


berikut:

62
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
a. TB

– Rekapitulasi Penemuan dan Pengobatan Pasien TB per Kabupaten/Kota.

– Rekapitulasi Hasil Pengobatan per Kabupaten/Kota..

– Rekapitulasi Hasil Konversi Dahak per Kabupaten/Kota.

– Rekapitulasi Analisis Hasil Uji silang Provinsi per Kabupaten/Kota.

– Rekapitulasi Laporan OAT per Kabupaten/Kota.

b. HIV/AIDS:

– Laporan bulanan perawatan HIV dan ART (HA-Prov-8A).

c . Kolaborasi TB-HIV

−− Rekapitulasi laporan triwulan pencapaian kegiatan kolaborasi TB-HIV.

D. MEKANISME PENCATATAN DAN PELAPORAN PASIEN TB-HIV

a. Mekanisme Pencatatan dan Pelaporan TB-HIV di Fasyankes

a. Model layanan Terintegrasi

Pada model ini, layanan TB dan HIV terpadu dalam satu unit di satu Fasyankes.

1) Pasien ODHA

—— Semua ODHA dinilai apakah menunjukkangejala dan tanda TB dengan


menggunakan formulir skrining gejala dan tanda TB. Hasilnya dicatat di
kolom status TB pada Iktisar Perawatan HIV dan ART (follow-up).
—— Mereka yang menunjukkan gejala dan tanda TB dicatat di buku daftar suspek
TB (TB 06), untuk kemudian dilakukan penegakan diagnosis TB (pemeriksaan
mikroskopis dahak, dll).
—— Jika hasil pemeriksaan positif TB, pengobatan diberikan di unit layanan
terintegrasi ini dengan menggunakan OAT sesuai dengan program TB dan
dicatat di kartu pengobatan pasien TB (TB01), TB03 UPK serta di Iktisar
Perawatan HIV dan ART.
—— Bila bukan TB, petugas tetap melakukan skrining gejala dan tanda TB secara
berkala pada setiap kunjungan.

63
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
—— Pengobatan ART dan follow up pasien juga diberikan di unit ini dan dicatat di
Iktisar Perawatan HIV dan ART (follow-up).

2) Pasien TB

—— Semua pasien TB dinilai apakah memiliki faktor risiko HIV (tinggal di daerah
dengan epidemi HIV meluas, mempunyai perilaku berisiko, mempunyai
gejala klinis terkait HIV) dengan menggunakan formulir penilaian faktor
risiko HIV. Pasien TB yang memiliki faktor risiko ditawarkan KT HIV oleh
petugas. Jika pasien tidak menolak, petugas memberikan informasi
mengenai HIV atau melakukan pra-test HIV kemudian mengisiformulir
KTS/KTIPdan TB01 di bagian layanan KT HIV sukarela pada kolom tanggal
dianjurkan dan tanggal pra-tes konseling.
—— Sebelum merujuk ke laboratorium untuk pemeriksaan HIV, petugas mengisi
formulir rujukan ke laboratorium.
—— Setelah mendapatkan hasil tes HIV pasien TB, petugas mengisi hasil tes HIV
di formulir KTIP/KTS dan TB01 di kolom tempat tes, tanggal tes, hasil tes serta
tanggal pasca tes konseling.
—— Jika hasil tes HIV positif, petugas mulai mengisi di iktisar perawatan HIV dan
ART kemudian diisikan ke register pra-ART. Petugas melakukan tatalaksana
TB dan HIV sesuai dengan pedoman.
—— Pasien dengan hasil tes HIV negatif dipantau terus faktor risiko HIV. Dengan
mengingat terdapatnya window period, pertimbangkan untuk konseling dan
tes HIV ulang. Petugas melakukan tatalaksana TB sesuai dengan pedoman.

b. Model Layanan Paralel

Pada model ini,layanan TB dan layanan HIV berdiri sendiri-sendiri di Fasyankes yang
sama atau berbeda. Masing-masing layanan melaksanakan kolaborasi melalui sistem
rujukan yang disepakati.

1) Pasien TB di Unit DOTS

—— Semua pasien TB di Unit DOTS dinilai apakah menunjukkan faktor risiko


HIV (tinggal di daerah dengan epidemi HIV meluas, mempunyai perilaku
berisiko, mempunyai gejala klinis terkait HIV) dengan menggunakan
formulir penilaian faktor risiko HIV. Pasien TB yang menunjukkan faktor
risiko ditawarkan KT HIV oleh petugas TB atau dirujuk ke layanan KT HIV

64
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
mengunakan formulir rujukan kolaborasi TB-HIV. Jika pasien TB dirujuk ke KT
HIV, maka KT HIV harus memberikan umpan balik hasil tes HIV ke unit DOTS.
—— Setelah mendapatkan hasil tes HIV pasien TB, petugas di layanan DOTS
mencatat hasilnya di Formulir TB01 dan Register TB03 UPK.
—— Pasien dengan hasil tes HIV positif dirujuk ke layanan PDP di RS rujukan ARV.
—— Pasien dengan hasil tes HIV negatif dipantau terus faktor risiko HIV. Dengan
mengingat terdapatnya window period, pertimbangkan untuk KT HIV ulang.
—— Pengobatan pasien TB tetap dilanjutkan oleh tim DOTS dan petugas TB di
unit DOTS mencatat di kartu pengobatan pasien TB (TB01) dan register TB03
UPK.
2) Klien di Layanan KT HIV

—— Semua klien di layanan KT HIV dinilai apakah menunjukkan gejala dan tanda
TB dengan menggunakan formulir skrining gejala dan tanda TB. Mereka
yang menunjukkan gejala dan tanda TB dirujuk dengan menggunakan
formulir rujukan kolaborasi TB-HIV untuk dilakukan penegakan diagnosis
TB (pemeriksaan dahak, dll). Hasil pemeriksaan oleh unit DOTS harus
diberitahukan ke layanan KT HIV.
—— Bila didiagnosis TB, pengobatan TB dilakukan di Unit DOTS dan dicatat oleh
petugas TB di formulir TB 01 serta di register TB03 UPK.
—— Petugas di layanan KTS tetap memantau keadaan pasien TB dengan risiko
HIV.Dengan terdapatnya window period, pertimbangkan KT HIV ulang.
—— Jika dilakukan KT HIV ulang dan hasilnya positif HIV maka pengobatan
TB dilakukan di unit DOTS dan penatalaksanaan selanjutnya dilakukan di
layanan PDP.
3) ODHA di Layanan PDP

—— Semua ODHA di layanan PDP dinilai apakah menunjukkan gejala dan tanda
TB dengan menggunakan formulir skrining gejala dan tanda TB. Hasilnya
dicatat di kolom status TB pada Iktisar Perawatan HIV dan ART (follow-up).
Orang dengan HIV AIDS yang menunjukkan gejala dan tanda TB dirujuk
dengan menggunakan formulir rujukan kolaborasi TB-HIV untuk dilakukan
penegakan diagnosis TB (pemeriksaan mikroskopis dahak, dll). Hasil
pemeriksaan oleh unit DOTS harus diberitahukan ke layanan PDP.
—— Bila didiagnosis TB, pengobatan TB dilakukan di Unit DOTS dan dicatat oleh
petugas TB di formulir TB 01 serta di register TB03 UPK. Petugas di layanan

65
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
PDP mencatat pengobatan TB pasien di Iktisar Perawatan HIV dan ART.
Petugas di layanan PDP dapat ikut memantau dan berkoordinasi dengan
unit DOTS mengenai pengobatan TB pasien, juga melakukan tatalaksana
selanjutnya untuk ODHA. Hasil follow-up selama pasien di dalam perawatan
HIV/ART dicatat di Iktisar Perawatan HIV dan ART (follow-up).

—— Bila bukan TB, petugas tetap melakukan skrining gejala dan tanda TB secara
berkala pada setiap kunjungan.
Fasyankes TB dan HIV membuat laporan triwulan Pencapaian Kegiatan Kolaborasi TB-
HIV. Fasyankes TB akan membuat laporan Triwulan Pencapaian Kegiatan Kolaborasi
TB-HIV – penurunan beban HIV pada TB. Fasyankes HIV akan membuat laporan
Triwulan Pencapaian Kegiatan Kolaborasi TB-HIV – penurunan beban TB pada ODHA.
Fasyankes TB dan HIV akan mengumpulkan Laporan tersebut paling lambat tanggal
5 setiap awal triwulan berikutnya.

1. Mekanisme Pelaporan Kolaborasi TB-HIV di Tingkat Kabupaten/Kota

Pengelola program TB (Wasor) bertanggungjawab untuk pengumpulan data yang berasal


dari Fasyankes TB sesuai mekanisme pencatatan dan pelaporan yang berlaku dalam
program TB. Sedangkan pengelola program HIV bertanggungjawab untuk pengumpulan
data yang berasal dari PDP sesuai dengan mekanime pelaporan yang berlaku dalam
program HIV.

Pengelola Program HIV merekap laporan HIV di formulir Laporan Triwulan Pencapaian
Kegiatan Kolaborasi TB-HIV – penurunan beban TB pada ODHA dari Fasyankes dan
dipindahkan ke Formulir Rekapitulasi Laporan Triwulan Pencapaian Kegiatan Kolaborasi
TB-HIV – penuruanan beban TB pada ODHA. Hasil rekapitulasi tersebut diserahkan ke
Pengelola Program TB (Wasor).

Demikian pula Pengelola Program TB (Wasor) merekap laporan TB di formulir Laporan


Triwulan Pencapaian kegiatan Kolaborasi TB-HIV – penurunan beban HIV pada TB dari
Fasyankes dan dipindahkan ke Rekapitulasi Laporan Triwulan Pencapaian Kegiatan
Kolaborasi TB-HIV – penurunan beban HIV pada TB.

Selanjutnya Pengelola Program TB (Wasor) mengirimkan laporan kolaborasi yang terdiri


dari dua formulir (Laporan Triwulan Pencapaian Kegiatan Kolaborasi TB-HIV – Penuruanan
beban HIV pada TB dan Laporan formulir Laporan Triwulan Pencapaian kegiatan Kolaborasi
TB-HIV – penurunan beban HIV pada TB) ke Dinas Kesehatan Provinsi dengan diketahui
dan tandatangi oleh Kepala Bidang Pengendalian Penyakit (P2) paling lambat tanggal 10
pada awal triwulan berikutnya.

66
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
2. Mekanisme pelaporan Kolaborasi TB-HIV di tingkat Provinsi

Dinas Kesehatan Provinsi dalam hal ini Pengelola Program TB (Wasor) dan Pengelola
Program HIV akan menerima yaitu:

—— Rekapitulasi Laporan Triwulan Kolaborasi TB-HIV Penurunan Beban HIV pada TB dan
—— Rekapitulasi Laporan Triwulan Kolaborasi TB-HIV – Penurunan Beban TB pada
ODHAdari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setiap 3 bulan.
Pengelola Program TB (Wasor) merekap data dari Kabupaten/Kota dan laporan tersebut
diketahui dan ditandatangi oleh Kepala Bidang P2 kemudian dikirimkan ke Direktur
PPML yang ditembuskan ke Subdit TB dan Subdit HIV paling lambat tanggal 15 setiap
awal triwulan berikutnya.

Gambar 4. Alur Pelaporan Kolaborasi TB-HIV

67
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
E. VARIABEL PELAPORAN KOLABORASI TB-HIV
Pelaporan kolaborasi TB-HIV terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pelaporan kolaborasi TB-HIV
dari unit TB dan bagian pelaporan kolaborasi TB-HIV dari Unit HIV.

1. Pelaporan kolaborasi TB-HIV dari Unit TB

Bagian Pelaporan kolaborasi TB-HIV dari TB terdiri dari 10 variabel. Pelaporan ini mengikuti
perhitungan kohort hasil pengobatan TB dan dilaporkan bersama dengan hasil pengobatan
TB (TB 08). Contoh: saat ini bulan April 2011, maka pelaporan kolaborasi TB-HIV dari unit TB
berasal dari pasien yang terdaftar selama triwulan 1 (Januari – Maret) 2010.

Definisi operasional masing-masing variabel dan petunjuk pengisian dijelaskan dalam


tabel berikut ini sedangkan untuk format pelaporan dapat dilihat pada lampiran.

a. Data pasien TB yang terdaftar

Definisi Sumber
No Variabel Cara Mendapatkan data
Operasional Data
1 Jumlah pasien Jumlah seluruh 1. TB 01 Di kartu pasien TB01, data
TB yang pasien TB yang tersebut terdapat dibagian
tercatat ditemukan dan 2. TB 03 depan kartu dengan melihat
tercatat pada UPK bulan pertama kali pasien
triwulan yang mendapatkan OAT tanpa
dilaporkan melihat pasien tersebut ODHA
atau bukan ODHA.

Untuk mendapatkan data


di buku register TB03 UPK,
dilakukan dengan cara
menghitung seluruh pasien
yang tercatat di register TB03
UPK, tanpa melihat apakah
pasien TB tersebut adalah
ODHA atau bukan ODHA.
1.1 Jumlah pasien Jumlah seluruh 1. TB 01 Dikartu pasien TB01, data
TB yang pasien TB yang tersebut terdapat di bagian
tercatat dan ditemukan dan 2. TB 03 belakang kartu dengan tulisan
HIV positif tercatat pada UPK Riwayat tes HIV, dengan hasil
sebelum triwulan yang riwayat tes HIV adalah Reaktif.
pengobatan TB dilaporkan,
dimana pasien TB

68
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
tersebut sudah Dibuku register TB03
HIV positif terlebih UPK, data tersebut dapat
dahulu sebelum dikumpulkan dengan
dilakukan menghitung seluruh pasien
pengobatan TB TB pada kolom riwayat tes
HIV (kolom 36) dengan hasil
tes reaktif (informasinya
bersumber dari rekapitulasi
kartu pasien TB01)

b. Data konseling dan tes HIV pada pasien TB yang belum periksa HIV

Variabel no. 2 sampai dengan no.6 untuk menghasilkan angka-angka kegiatan tes HIV
pada pasien TB yang bukan ODHA, dimana kumpulan pasien TB ini merupakan bagian
dari pengurangan variabel no.1 dan no 1.1

Definisi Sumber
No Variabel Cara Mendapatkan data
Operasional Data
2. Jumlah pasien Jumlah seluruh 1. TB 01 Menghitung seluruh pasien
TB yang tercatat pasien TB yang TB yang tercatat pada
dalam triwulan tercatat pada 2. TB 03 triwulan yang dilaporkan
tersebut dan triwulan yang UPK dan ditawarkan untuk tes
di-tawarkan/ dilaporkan yang HIV, dapat dihitung dari
dian-jurkan tes ditawarkan untuk Kartu Pasien TB01 atau buku
HIV (KTIP/KTS) tes HIV baik melalui register TB 03 UPK.
selama pengo- KTIP maupun
batan TB KTS dalam masa Dikartu pasien TB01, data
pengobat-an TB. tersebut terdapat di kotak
layanan konseling dan
tes sukarela di kolom Tgl
Dianjurkan.

Dibuku register TB 03 UPK,


data tersebut didapat
dengan menghitung tulisan
tanggal di kolom pasien
dianjurkan test HIV (kolom
37).
3. Jumlah pasien Jumlah seluruh 1. TB 01 Dikartu pasien TB01, data
TB yang tercatat pasien TB yang tersebut terdapat di kotak
dalam triwulan tercatat pada 2. TB 03 layanan konseling dan tes
tersebut dan triwulan yang UPK sukarela di kolom Tgl Pre tes
dilakukan dilaporkan Konseling.
yang mendapatkan

69
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Definisi Sumber
No Variabel Cara Mendapatkan data
Operasional Data
konseling HIV konseling pre tes 3. Form VCT Dibuku register TB03 UPK,
selama masa HIV (KTS) atau data tersebut didapat
pengobatan TB mendapatkan 4. Form dengan menghitung tulisan
pemberian informasi KTIP tanggal di kolom tanggal pre
awal HIV (KTIP) tes konseling (kolom 38)
selama dalam masa
pengobatan TB. Catatan: Untuk KTIP, tanggal
pre tes konseling sama
dengan tanggal pemberian
informasi.
4. Jumlah Jumlah seluruh 2. TB 01 Dikartu pasien TB01, data
pasien TB pasien TB yang tersebut terdapat di kotak
yang tercatat tercatat pada 3. TB 03 layanan konseling dan tes
dalam triwulan triwulan yang UPK sukarela di kolom Tgl. tes
tersebut dan dilaporkan yang
dilakukan dilakukan tes Dibuku register TB03 UPK,
4. Form
tes HIV HIV selama masa VCT data tersebut didapat
selama masa pengobat-an TB. dengan menghitung tulisan
pengobat-an tanggal di kolom tanggal tes
5. Form
TB HIV (kolom 40)
KTIP

5. Jumlah pasien Jumlah seluruh 1. TB 01 Dikartu pasien TB01, data


TB yang pasien TB yang tersebut terdapat di kotak
tercatat dalam tercatat pada 2. TB 03 layanan konseling dan tes
triwulan triwulan yang UPK sukarela di kolom Hasil tes,
tersebut dilaporkan yang baik hasilnya reaktif, non
yang hasil tes melakukan tes HIV 3. Form reaktif, atau indeterminate.
HIV tercatat selama pengobatan KTIP
selama TB dan hasil tesnya Dibuku register TB 03 UPK,
pengobatan diketa-hui dan 4. Form data tersebut didapat
TB dicatat di Kartu Jawaban dengan menghitung tulisan
Pengobatan Pasien rujukan yang ada di kolom hasil tes
TB dari klinik (kolom 41)
DOTS
atau KTS/
PDP
6. Jumlah pasien Jumlah seluruh 1. TB 01 Dikartu pasien TB01, data
TB yang pasien TB yang tersebut terdapat di kotak
tercatat dalam tercatat pada 2. TB 03 layanan konseling dan tes
triwulan triwulan yang UPK sukarela di kolom Hasil tes
tersebut dilaporkan yang dengan hasil reaktif.
dengan 3. Form
KTIP

70
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Definisi Sumber
No Variabel Cara Mendapatkan data
Operasional Data
hasil tes HIV melakukan tes HIV 4. Form Pada buku register TB 03
positif selama selama pengobatan jawaban UPK, data tersebut didapat
pengobatan TB dan hasil tesnya rujukan dengan menghitung tulisan
TB adalah reaktif dari klinik R (berarti reaktif ) yang ada
DOTS di kolom hasil tes (kolom
atau KTS/ 41)
PDP

c. Data Layanan Pasien TB dengan HIV positif

Variabel no 7 sampai dengan no 9 untuk menghasilkan data pengobatan yang


didapatkan oleh pasien TB yang juga HIV, baik status HIV nya diketahui sebelum masa
pengobatan TB atau diketahui selama masa pengobatan TB.

Definisi Sumber
No Variabel Cara Mendapatkan data
Operasional Data
7. Jumlah Pasien Jumlah pasien 1. TB 01 Dikartu pasien TB01, data
Ko-infeksi TB ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat: (1) di bagian
HIV yang tercatat 2. TB 03 belakang kartu dengan tulisan
pada triwulan UPK Riwayat tes HIV, dengan hasil
yang dilaporkan, riwayat tes HIV adalah Reaktif,
yang mendapat dan (2) di kotak layanan
pengobatan TB, konseling dan tes sukarela di
baik ODHA yang kolom Hasil tes dengan hasil
didiagnosis TB reaktif.
atau Pasien TB
yang hasil tes Pada buku register TB 03 UPK,
HIV-nya reaktif. data tersebut didapat dengan
menghitung tulisan R (berarti
Angka variabel reaktif ) yang ada di kolom hasil
ini merupakan tes pada bagian riwayat tes
penjumlahan HIV (kolom 36) dan hasil tes di
variabel no 1.1 bagian layanan KT HIV Sukarela
dan no 6 (kolom 41)
8. Jumlah Pasien Jumlah pasien 1. TB 01 Dikartu pasien TB01, data
Ko-infeksi ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di bagian
TB HIV yang yang tercatat 2. TB 03 belakang kartu di kotak
mendapatkan pada triwulan UPK Layanan PDP di kolom tanggal
ART yang dilaporkan mulai ART.

71
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Definisi Sumber
No Variabel Cara Mendapatkan data
Operasional Data
, yang mendapat Pada buku register TB 03 UPK,
pengobatan TB data tersebut didapat dengan
dan ART menghitung tulisan tanggal
di kolom tanggal mulai ART
(kolom 45)
9 Jumlah pasien Jumlah pasien 1. TB 01 Dikartu pasien TB01, data
ko-infeksi ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di bagian
TB HIV yang yang tercatat 2. TB 03 belakang kartu di kotak
mendapatkan pada triwulan UPK Layanan PDP di kolom tanggal
PPK yang dilaporkan, mulai PPK.
yang mendapat
pengobatan TB Pada buku register TB 03 UPK,
dan PPK data tersebut didapat dengan
menghitung tulisan tanggal
di kolom tanggal mulai PPK
(kolom 44)

6. Pelaporan kolaborasi TB-HIV dari Unit HIV

Bagian Pelaporan kolaborasi TB-HIV dari unit HIV terdiri dari 10 variabel.Pelaporan ini
melaporkan kegiatan kolaborasi di Unit HIV 3 bulan yang lalu. Contoh: saat ini bulan April
2011, maka pelaporan kolaborasi TB-HIV di unit HIV berasal dari pasien HIV yang berkunjung
selama triwulan I (Januari – Maret) 2011.

Definisi operasional masing-masing variabel dan petunjuk pengisian dijelaskan dalam tabel
di bawah ini sedangkan untuk format pelaporan dapat dilihat pada lampiran.

Definisi
No Variabel Sumber Data Cara Mendapatkan data
Operasional
1 Jumlah Jumlah ODHA •• Buku bantu Menghitung seluruh ODHA
ODHA yang yang mengunjungi ko-infeksi yang datang selama 1
berkunjung ke layanan PDP pada TB-HIV triwulan di buku bantu ko-
PDP satu triwulan infeksi TB-HIV

Catatan :

ODHA yang berkunjung


dalam triwulan dihitung 1
orang, walaupun ODHA
tersebut datang berkali-kali

72
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Definisi
No Variabel Sumber Data Cara Mendapatkan data
Operasional
2 Jumlah ODHA Jumlah ODHA •• Buku bantu Melihat pengkajian status
yang dikaji yang pada saat ko-infeksi TB di Ikhtisar Perawatan
status TB nya kunjungan TB0HIV (ringkasan 9 kolom status
terakhir di •• Ikhtisar TB). Seorang ODHA
triwulan tersebut dikatakan dikaji status TB
perawatan
dikaji status TB nya. nya apabila kolom status
TB di Ikhtisar Keperawatan
Hasil dari Kajian terisi angka 1 s/d 3.
Status TB:
Pindahkan informasi
•• Tulis angka 1 “
tersebut pada Buku Bantu
Tidak ada tanda
ko-infeksi TB-HIV kolom
gejala” apabila “Kaji status TB”. Bila di
hasilnya tidak ikhtisar Keperawatan tidak
memiliki tanda terisi angka, maka pindah
dan gejala TB informasi tersebut pada
•• Tulis angka Buku Bantu Ko-infeksi TB-
2 “Suspek” HIV dengan menuliskan
apabila hasilnya angka 4.
menunjukan ada
Lalu hitung ODHA yang
tanda dan gejala
di kolom “Kaji status TB”
TB (kemungkinan
yang mempunyai angka
terinfeksi TB)
1,2, dan 3 saat kunjungan
•• Tulis angka terakhir di triwulan yang
3 “Dalam dilaporkan
terapi” apabila
ODHA yang Contoh:
datang sedang
menjalani terapi ODHA datang dan
TB dilakukan kajian status
TB di bulan Januari dan
Februari, tapi ketika datang
di bulan Maret tidak
dilakukan kajian status TB.
Maka ODHA tersebut tidak
dihitung sebagai ODHA
yang dikaji status HIV nya
dalam triwulan tersebut.

73
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Definisi
No Variabel Sumber Data Cara Mendapatkan data
Operasional
3 Jumlah ODHA Jumlah ODHA yang •• Buku bantu Jumlah ODHA Suspek
dengan suspek pernah berkunjung ko-infeksi TB didapat dengan
TB ke PDP pada satu TB-HIV menghitung ODHA yang
triwulan yang sama •• Ikhtisar statusnya 2 “Suspek TB”
yang hasil kajian yang terdapat di Buku
perawatan
status TB nya adalah Bantu ko-infeksi TB-HIV
Suspek (2). kolom “kaji status TB”.
4 Jumlah Jumlah ODHA yang •• Buku bantu Melihat hasil pemeriksaan
ODHA yang pernah berkunjung ko-infeksi Lab di Ikhtisar Perawatan
diperiksa dahak ke PDP pada satu TB-HIV. (ringkasan 9 kolom hasil
mikroskopis triwulan yang sama •• Ikhtisar Lab). Status ODHA diperiksa
yang diperiksa dahak mikroskopis apabila
perawatan
dahak mikroskopis. kolom hasil Lab diisi dengan
keterangan BTA (+) atau (-).

Pindahkan informasi
tersebut pada Buku bantu
ko-infeksi TB-HIV kolom
“Pemeriksaan Sputum”
5 Jumlah Jumlah ODHA yang •• Buku bantu Melihat status TB ODHA
ODHA yang baru didiagnosis ko-infeksi pada Ikhtisar Perawatan di
didiagnosis TB TB paru BTA (+) dan TB-HIV. ringkasan 9 (variabel hasil
Paru BTA (+) ODHA yang sedang •• Ikhtisar lab) dan hasil lab adalah
dalam pengobatan BTA (+), atau ringkasan 7
perawatan
karena TB paru (variabel klasifikasi TB) dan
BTA (+) pada satu klasifikasi TB yang dipilih
triwulan yang sama adalah TB paru dengan
catatan TB paru BTA positif.

Di pencatatan Ikhtisar
Perawatan ringkasan 7, pada
klasifikasi TB paru sebaiknya
selalu ditambahkan catatan
tipe TB paru: BTA positif
atau BTA negatif.

Pindahkan informasi
tersebut pada Buku Bantu
ko-infeksi TB-HIV kolom
“TB Paru BTA positif”, lalu
hitung di kolom tersebut
yang menjawab ya.

74
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Definisi
No Variabel Sumber Data Cara Mendapatkan data
Operasional
6 Jumlah Jumlah ODHA yang •• Buku bantu Melihat status TB ODHA
ODHA yang baru didiagnosis ko-infeksi pada Ikhtisar Perawatan di
didiagnosis TB TB paru BTA (-) TB-HIV. ringkasan 9 (variabel hasil
Paru BTA (-) foto toraks paru •• Ikhtisar lab) dan hasil lab adalah
mendukung TB dan BTA (-), atau ringkasan 7
perawatan
ODHA yang sedang (variabel klasifikasi TB) dan
dalam pengobatan klasifikasi TB yang dipilih
karena TB paru adalah TB paru dengan
BTA (-) pada satu catatan TB paru BTA
triwulan yang sama negatif.

Di pencatatan Ikhtisar
Perawatan ringkasan
7, pada klasifikasi TB
paru sebaiknya selalu
ditambahkan catatan tipe
TB paru: BTA positif atau
BTA negatif.

Pindahkan informasi
tersebut pada Buku Bantu
ko-infeksi TB-HIV kolom
“TB Paru BTA negatif”, lalu
hitung di kolom tersebut
yang menjawab ya.
7 Jumlah Jumlah ODHA yang •• Buku bantu Melihat di Ikhtisar
ODHA yang baru didiagnosis ko-infeksi Keperawatan ringkasan 7
didiagnosis TB TB ekstraparu TB-HIV. (variabel klasifikasi TB) dan
Ekstraparu dan ODHA yang •• Ikhtisar klasifikasi TB yang dipilih
sedang dalam adalah TB ekstraparu
perawatan
pengobatan karena
TB ekstraparu pada Pindahkan informasi
satu triwulan yang tersebut pada Buku bantu
sama ko-infeksi TB-HIV kolom
“TB ekstraparu”, lalu hitung
di kolom tersebut yang
menjawab ya.

75
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Definisi
No Variabel Sumber Data Cara Mendapatkan data
Operasional
8 Jumlah ODHA Jumlah ODHA •• Buku bantu Melihat status TB ODHA
yang mendapat yang mendapatkan ko-infeksi pada Ikhtisar Perawatan di
pengobatan TB pengobatan TB ada TB-HIV. ringkasan 9 variabel status
satu triwulan yang •• Ikhtisar TB (Status TB 3 – dalam
sama terapi) dan ringkasan 7
perawatan
variabel tanggal mulai
terapi TB.

Status ODHA yang


mendapat pengobatan TB
apabila masa pengobatan
TB masih dalam satu
triwulan pelaporan

Pindahkan informasi
tersebut pada Buku bantu
ko-infeksi TB-HIV kolom
“OAT”. Hitung ODHA yang
kolom OAT nya terdapat
tulisan “ya”

9 Jumlah ODHA Jumlah ODHA •• Buku bantu Melihat status TB ODHA


yang mendapat yang mendapatkan ko-infeksi pada Ikhtisar Perawatan
pengobatan TB pengobatan TB TB-HIV. di ringkasan 9 variabel
dan ART dan ART pada satu •• Ikhtisar status TB (Status TB 3 –
triwulan yang sama dalam terapi) dan variabel
perawatan
obat ARV dan dosis yang
diberikan.

Pindahkan informasi
tersebut kedalam Buku
bantu ko-infeksi TB-HIV
ke kolom OAT dan ART.
Kemudian hitung ODHA
yang mendapatkan OAT
dan ART di satu triwulan
pelaporan.

76
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Definisi
No Variabel Sumber Data Cara Mendapatkan data
Operasional
10 Jumlah ODHA Jumlah ODHA •• Buku bantu Melihat status TB ODHA
yang mendapat yang mendapatkan ko-infeksi pada Ikhtisar Perawatan
pengobatan TB pengobatan TB TB-HIV. di ringkasan 9 variabel
dan PPK dan PPKpada satu •• Ikhtisar status TB (Status TB 3 –
triwulan yang sama dalam terapi) dan variabel
perawatan
profilaksis kotrimoksazol.

Pindahkan informasi
tersebut kedalam Buku
bantu ko-infeksi TB-HIV
ke kolom OAT dan PPK.
Lalu hitung ODHA yang
mendapatkan OAT dan PPK
di satu triwulan pelaporan.

Format pelaporan TB-HIV untuk HIV khusus di triwulan 4 melaporkan dua (2) data yaitu data
triwulan 4 dan data selama setahun. Data selama setahun bukan merupakan penjumlahan
data dari triwulan 1 sampai triwulan 4 mengingat bahwa seorang ODHA dapat berkunjung
berkali-kali di setiap triwulan pelaporan.Oleh karena itu, data selama setahun merupakan
perhitungan dari setiap ODHA terkait dengan kegiatan TB-HIV nya selama satu tahun.

77
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
78
Lampiran Formulir Pencatatan TB
TB.01

(Lembar Muka)

PENANGGULANGAN TB NASIONAL TB.01


KARTU PENGOBATAN PASIEN TB
Nama Pasien : ______________________ Telp. '______________ Nama Unit Pelayanan Kesehatan : __________________ Tahun : _______
Alamat Lengkap : __________________________________________ No. Reg. TB.03 UPK : ____________ No. Reg. TB.03 Kab. : ____________
Nama PMO : ______________________ Telp. '______________
Klasifikasi Pasien
Alamat Lengkap PMO : __________________________________________
Dirujuk oleh : Paru Extra Paru
Jenis kelamin : L P Umur : tahun
Lokasi : ____________
Parut BCG : Jelas Tidak ada Meragukan Inisiatif pasien
Riwayat pengobatan sebelumnya : Belum pernah/ kurang dari 1 bulan Anggota masyarakat Tipe Pasien
Pernah diobati lebih dari 1 bulan UPK Pemerintah Baru Gagal

Catatan : (untuk hasil pemeriksaan lain, misalnya rontgen, Biopsi, Kultur item, UPK Swasta Kambuh Pindahan
skoring TB anak, dll) Lain-lain, Sebutkan Default Lain-lain
______________________________________________________________ _____________________
Sebutkan __________
______________________________________________________________
______________________________________________________________
Hasil Pemeriksaan Dahak
Pemeriksaan kontak serumah :
Bulan ke Tanggal BB (kg)
No. Nama L/P Umur Tanggal Pemeriksaan Hasil
Tanggal No. Reg. Lab BTA*)
1. ___________________ ____ _____ __________________ _____
0 (awal)
2. ___________________ ____ _____ __________________ _____
2
3. ___________________ ____ _____ __________________ _____
3
4. ___________________ ____ _____ __________________ _____
4
5. ___________________ ____ _____ __________________ _____
5/6
Jenis Obat : : Kombipak KDT (FDC) 7/8
AP
I. TAHAP INTENSIF :
*) Tulislah 1+, 2+, 3+ atau Neg sesuai dengan hasil pemeriksaan dahak
Kategori-1 Kategori-2 Kategori anak Sisipan

4 KDT (FDC) tablet/hr Streptomicin mg/hr


Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Keterangan

Berilah tanda √ jika pasien datang mengambil obat atau pengobatan dibawah pengawasan petugas kesehatan.

Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia


Berilah tanda “garis lurus menyambung” jika obat dibawa pulang dan ditelan sendiri dirumah.
79
(Lembar belakang)

II. TAHAP LANJUTAN

Berilah tanda √ pada kotak yang sesuai jenis paduan obat yang diberikan.

Kategori-1 Kategori-2 Kategori anak

2 KDT (FDC) tablet/hr Ethambutol tablet/hr


Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Keterangan

Berilah tanda √ jika pasien datang mengambil obat atau pengobatan dibawah pengawasan petugas kesehatan.
Berilah tanda “garis lurus putus-putus sesuai hari minum obat” jika obat dibawa pulang dan ditelan sendiri dirumah.

Riwayat tes HIV : Ya Tidak


CATATAN :
Tgl tes HIV terakhir : ______/______/_______ Hasil* : R NR I
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________ Layanan Konseling dan Test Sukarela
_____________________________________________________________ Tgl. Pre Tes Tgl. Post Tes
Tgl. Dianjurkan Tempat Tes Tgl. Tes Hasil Tes
_____________________________________________________________ Konseling Konseling
_____________________________________________________________

HASIL AKHIR PENGOBATAN :


(tulis tanggal dalam kotak yang sesuai)
Layanan PDP (Perawatan, Dukungan & Pengobatan)
Sembuh Lengkap Default
Tgl. Rujukan PDP Tgl. Mulai PPK Tgl. Mulai ART

Gagal Pindah Meninggal

Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia


* Hasil test ditulis dengan kode :
R = Reaktif (Positif) NR = Non Reaktif (Negatif) I = Indeterminate
TB.02
(Lembar Muka)

80
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
(Lembar Belakang)

81
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
TB.04

82
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
TB. 03
TB.04

84
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
TB.05

PROGRAM TB NASIONAL TB.05

FORMULIR PERMOHONAN LABORATORIUM TB UNTUK PEMERIKSAAN DAHAK

Nama UPK : No.Telp.:

Nama tersangka/pasien : Umur tahun


Jenis kelamin : L P
Alamat lengkap :

Kab/Kota :

Propinsi : Alasan pemeriksaan:


 Diagnosa
Klasifikasi penyakit  Follow up
Paru 1. Akhir tahap awal
Ekstraparu Lokasi : 2. Akhir sisipan
3. 1 bulan sebelum AP
No. identitas sediaan 4. Akhir pengobatan (AP)
(sesuai dengan TB.06) No.Reg.TB kab/kota:
/ /
Tgl.pengambilan dahak terakhir:
Tgl.pengiriman sediaan

Tanda tangan pengambil sediaan


Secara visual dahak tampak:
Nanah lendir : S Bercak darah : S Air liur : S
P P P
S S S

HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM


No. Register Lab. (sesuai dengan TB.04) :

Tanggal Pemeriksaan Spesimen dahak * Hasil **


+++ ++ + 1-9 *** Neg
A (Sewaktu)

B (Pagi)

C (Sewaktu)
*) Diisi sesuai kode huruf sesuai identitas sediaan Diperiksa oleh
**) Beri tanda rumput pd hasil yg sesuai Tanda tangan pemeriksa,
***) Isi dengan jumlah BTA yang ditemukan

(………………………………)

85
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
86
TB.06

PROGRAM TB NASIONAL TB.06


DAFTAR TERSANGKA PENDERITA (SUSPEK) YANG DIPERIKSA DAHAK SPS

Bulan …………………… Tahun ………..


Bila di-
Tanggal Tanggal diagnosis
No. Nama Hasil
Umur Pengambilan Pengiriman Tanggal No TB, Tulis
Identitas Lengkap Alamat Pemeriksaan No Kete-
Tanggal Dahak Sediaan Hasil Reg Tanggal Status
No Sediaan Tersangka Lengkap Reg rang-
didaftar Dahak ke Diperoleh Lab Pembuatan HIV
Dahak Pasien ART an
Lab Kartu
L P A B C A B C TB.01
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20)

Catatan:
1. Tanggal didaftar : diisi dengan tanggal pengambilan dahak Sewaktu yang pertama.
2. No. Identitas sediaan dahak ditulis dengan : No kode Kab (14) / no urut UPK/RS (31)-kode Poli paru (1) / No urut (121) sesuai no pada kolom 1.
3. A = Slide dahak sewaktu pertama ; B = Slide dahak pagi ; C = Slide dahak sewaktu kedua
4. No: Isi nomor urut 3 digit, dimulai dengan 001 pada setiap permulaan tahun.
5. Nomor Identitas Sediaan Dahak : Tulis sesuai dengan Form TB.05
6. Tanggal Pengiriman Sediaan Dahak ke Lab = diisi sama dengan tanggal didaftar.
7. Tanggal Hasil Diperoleh : diisi dengan tanggal terakhir pemeriksaan.
8. Hasil Pemeriksaan : Tulis hasil pembacaan sediaan sesuai kolomnya, neg untuk negatif dan 1+, 2+ dst. untuk hasil positif. A untuk A untuk dahak sewaktu pertama, B untuk dahak pagi, dan C untuk
dahak sewaktu kedua.

Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia


9. Nomor Reg. Lab : Tulis No. Register Lab sesuai dengan form TB.04 yang ada pada TB.05 bagian bawah (hasil pemeriksaan Lab).
10. No. Reg ART : Tulis No. Register ART
11. Status HIV : Tulis NR = bila Non Reaktif (Negatif); RR = Repeated Reaktif (2 x reaktif), IR = Initial Reaktif (1 x reaktif); 3TR = 3 x.
TB.09

PROGRAM TB NASIONAL TB.09

FORMULIR RUJUKAN / PINDAH PASIEN TB


Nama instansi pengirim : Telp.
Nama instansi yang dituju : Telp.
Nama pasien :
Jenis kelamin : L P Umur thn
Alamat lengkap :

No Reg TB Kab/Kota :
Tanggal mulai berobat : - -

Jenis Paduan OAT: Klasifikasi/Tipe Pasien:


Kategori 1 Kasus baru (BTA positif)
Kategori 2 Kasus Kambuh/Default/Gagal
Kategori Anak Lain-lain (a.l. Kronik)
Lain-lain, sebutkan: Kasus baru (BTA negatif / Rontgen pos)
Pindahan

Jumlah dosis (obat) yg sudah diterima:


Tahap awal : dosis Tahap lanjutan : dosis
Pemeriksaan ulang dahak terakhir:
Tanggal : - - Hasil
, Tgl.

( )

UNTUK DI ISI DAN DIKEMBALIKAN KE UNIT PENGIRIM:


Nama pasien : No Reg TB Kab/Kota:
Jenis kelamin : L P Umur thn
Tgl. pasien melapor : - -
Nama Unit Pelayanan Kesehatan (tempat berobat baru)
Telp.
, Tgl.

( )

87
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
TB.10

PROGRAM TB NASIONAL TB.10

FORMULIR HASIL AKHIR PENGOBATAN PASIEN TB PINDAHAN

Nama pasien : (sesuai dgn TB.09)


Jenis kelamin : L P Umur thn
Alamat lengkap :
(sesuai dgn TB.09)
No Reg Kab/Kota asal pasien : (sesuai dgn TB.09)
Tgl. mulai berobat di tempat asal : - -
(sesuai dgn TB.09)

Jenis Paduan OAT: Klasifikasi/Tipe Pasien:


Kategori 1 Sembuh
Kategori 2 Pengobatan lengkap
Kategori Anak Default
Lain-lain, sebutkan: Gagal
Pindah
Meninggal

Keterangan:

, Tgl.

( )

Kepada Yth.

di

88
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Lampiran Formulir HIV

89
Halaman 1 IKHTISAR PERAWATAN HIV DAN TERAPI ANTIRETROVIRAL (ART)
(Disisipkan dalam rekam medis pasien dan disimpan di Instalasi Rekam Medis)
1. Data Identitas Pasien 5. Pemeriksaan Klinis dan Laboratorium
Status
Tang Stad Fungsional Jumlah CD4
No. Register Nasional: Riwayat Alergi Obat BB (CD4 % pd Lain-lain
gal 1 = Kerja,
WHO 2 = Ambulatori,
(hh/bb/tt) anak2)
Jenis kelamin : □ L □ P Umur : .............. tahun/bulan 3 =Baring
............................................... Kunjungan pertama
Nama Pengawas Minum Obat (PMO) : Memenuhi syarat medis
Hubungannya dgn pasien: .......................................................................................... utk ART
Saat mulai ART
Alamat dan no. Telp. PMO:
Setelah 6 bulan ART

Tanggal konfirmasi tes HIV +: Tempat: Setelah 12 bulan ART


Setelah 24 bulan ART
Entry point : 1-KIA 2-Rawat Jalan (TB, Anak, Penyakit Dalam, IMS, lainnya ……….),
Nama : .....................................

3-Rawat Inap, 4-Praktek Swasta, 5-Jangkauan (IDU, PSK, LSL, ...........), 6-LSM, 7-Datang sendiri 6. Terapi Antiretroviral (ART)
8-Lainnya, uraikan …………………………… Nama rejimen ART SUBSTITUSI dalam lini-1, SWITCH ke lini -2, STOP
(Beri tanda x dan/atau lingkari untuk yang sesuai, untuk yang lainnya diuraikan) orisinal
Tgl Substit Switch Stop Restart Alasan Nama rejimen baru
1 - AZT+3TC+NVP usi
2 - AZT+3TC+EFV
□ Pasien dirujuk masuk dari klinik lain:
3 - TDF+3TC+NVP
1. Tanpa ART; 2. Dengan ART 4 - TDF+3TC+EFV
Nama klinik sebelumnya: ......................................... Tgl Rujuk Masuk (RM): ................................. 5 - .....................

Alasan SUBSTITUSI/SWITCH: 1 toksisitas/efek samping, 2 hamil, 3 risiko hamil, 4 TB baru, 5 Ada obat baru, 6 stok obat habis, 7
2. Riwayat Pribadi 3. Riwayat Keluarga alasan lain (uraikan)
(Pilih salah satu) (Pilih salah satu) Alasan hanya untuk SWITCH: 8 gagal pengobatan secara klinis, 9 gagal imunologis, 10 gagal virologis
0-Tidak sekolah Alasan STOP: 1 toksisitas/efek samping, 2 hamil, 3 gagal pengobatan, 4 adherens buruk, 5 sakit/MRS,
1-SD 6 stok obat habis, 7 kekurangan biaya, 8 keputusan pasien lainnya, 9 lain-lain
No Register :

2-SMP Status pernikahan


Pendidikan
3-SMU □ Menikah □ Belum menikah □ Janda/Duda
4-Akademi
5-Universitas 7. Pengobatan TB selama perawatan HIV
0-Tidak bekerja HIV ART
Status Pekerjaan Nama Hub Umur No.Reg.Nas.
1-Bekerja +/- ya/tdk Klasifikasi TB (pilih) Rejimen TB Tempat pengobatan TB:
1-Heteroseksual 1. TB paru 1. Kategori I
Kabupaten: ____________________
2-Homoseksual 2. TB ekstra paru: lokasi……………. 2. Kategori II
3-Biseksual 3. Kategori anak Nama sarana kesehatan:_______________
4-Perinatal Tipe TB
Faktor Risiko 1. Baru No Reg.TB Kabupaten/Kota:_____________
5-Transfusi Darah
6-NAPZA suntik 2. Kambuh
3 Default Tgl. mulai terapi TB : (hh/bb/tt)
7-Lain2, uraikan …….. 4. Gagal
Tgl. selesai terapi TB: (hh/bb/tt)

4. Riwayat terapi antiretroviral 8. Akhir Follow-up


Pernah menerima Jika ya: 1. PMTCT 2. ART 3. PPP Tempat ART dulu: 1. RS Pem 2. RS Swasta 3.PKM Meninggal dunia Tgl. meninggal dunia:
ART? Gagal follow-up (> 3 bulan) Tgl. Kunjungan terakhir:
1. Ya 2 Tidak Nama, dosis ARV & lama penggunaannya:
Rujuk Keluar Tgl: Klinik: baru

Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia


TERAPI ARV
IKHTISAR PERAWATAN HIV DAN ART
90
Halaman 2

9. FOLLOW-UP PERAWATAN PASIEN & TERAPI ANTIRETROVIRAL


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
BB Status Hamil Profilaksis Diberikan
Rencana Infeksi Adherence ART Efek kondom
(kg) Fungsional (ya/tdk) kotrimoksazol Rujuk ke
Tgl. tgl. Stad. Status Obat ARV dan 1 (>95%), samping Jumlah Hasil Ya/Tidak/
& TB 1. Kerja, atau oportunistik Obat untuk IO spesialis
follow- kunjungan WHO TB dosis yg diberikan 2 (80-95%), ART CD4 Lab Tidak ada
untuk 2. Ambulatori metode (Kode) atau MRS
up y.a.d. Dosis per hari 3 (<80%) (Kode)
3. Baring KB
anak
Nama : .....................................
No Register :

Efek samping: Tuliskan > 1 kode − R=Ruam kulit; Mua=mual; Mun=Muntah; D=Diare; N=Neuropati; Ikt=Ikterus; An=Anemi;
Petunjuk dan kode: Ll=Lelah; SK=Sakit kepala; Dem=Demam; Hip=Hipersensitifitas; Dep=Depresi; P=Pankreatitis; Lip=Lipodistrofi;
Tanggal: Tulis tanggal kunjungan yang sebenarnya sejak kunjungan pertama perawatan HIV Ngan=Mengantuk; Ln=Lain2− Uraikan
Adherence ART: Periksalah adherence dgn menanyakan apakah pasien melupakan dosis obat. Tuliskan perkiraan tingkat adherence, misalnya 1
Infeksi Oportunistik: Tuliskan > 1 kode − Kandidiasis (K); Diare cryptosporidia (D); Meningitis cryptocococal (Cr); Pneumonia
(>95%) = < 3 dosis lupa diminum dlm 30 hari; 2 (80-95%) = 3 - 12 dosis lupa diminum dlm 30 hari; 3 (< 80%) = >12 dosis lupa diminum dlm 30 hari.
Status TB: 1. Tdk ada gejala/tanda TB; 2. Suspek TB (rujuk ke klinik DOTS atau pemeriksaan sputum); 3. Dalam terapi TB
Pneumocystis (PCP); Cytomegalovirus (CMV); Penicilliosis (P); Herpes zoster (Z); Herpes simpleks (S); Toxoplasmosis (T);
Hepatitis (H); Lain2-uraikan.

TERAPI
IKHTISAR PERAWATAN HIV DAN ART ARV up)
(Follow

Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia


 

 
 

 
91
  Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
 

 
 
 
 
 
 
92  
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
 
93
Buku  Bantu  Ko-­‐infeksi  TB-­‐HIV  

 
 

 
 

Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia


  58
Fasyankes HIV

Laporan Triwulan Pencapaian Kegiatan Kolaborasi TB-HIV


Penurunan beban TB pada ODHA

Provinsi : Fasyankes :
Kabupaten/Kota : Triwulan : Tahun
Tanggal pelaporan :

No Variabel Jumlah Jumlah


dalam dalam
triwulan setahun *
1 Jumlah ODHA yang berkunjung ke PDP

2 Jumlah ODHA yang dikaji status TB nya

3 Jumlah ODHA yang suspek TB

4 Jumlah ODHA yang diperiksa dahak mikroskopis

5 Jumlah ODHA yang didiagnosis TB Paru BTA (+)

6 Jumlah ODHA yang didiagnosis TB Paru BTA (-)

7 Jumlah ODHA yang didiagnosis TB Ekstraparu

8 Jumlah ODHA yang mendapat pengobatan TB

9 Jumlah ODHA yang mendapat pengobatan TB dan ART

10 Jumlah ODHA yang mendapatkan pengobatan TB dan PPK

* Cara menghitung jumlah dalam setahun dapat dilihat pada panduan penghitungan variabel TB-HIV di
Unit HIV. Kolom “jumlah dalam setahun” diisi pada pelaporan triwulan ke-4.

Mengetahui Pembuat Laporan

94
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Kabupaten/Kota

Laporan Triwulan Pencapaian Kegiatan Kolaborasi TB-HIV


Penurunan beban TB pada ODHA

Provinsi : Jumlah Fasyankes :


Kabupaten/Kota : Triwulan : Tahun
Tanggal pelaporan :

No Variabel Jumlah Jumlah


dalam dalam
triwulan setahun *
1 Jumlah ODHA yang berkunjung ke PDP

2 Jumlah ODHA yang dikaji status TB nya

3 Jumlah ODHA yang suspek TB

4 Jumlah ODHA yang diperiksa dahak mikroskopis

5 Jumlah ODHA yang didiagnosis TB Paru BTA (+)

6 Jumlah ODHA yang didiagnosis TB Paru BTA (-)

7 Jumlah ODHA yang didiagnosis TB Ekstraparu

8 Jumlah ODHA yang mendapat pengobatan TB

9 Jumlah ODHA yang mendapat pengobatan TB dan ART

10 Jumlah ODHA yang mendapatkan pengobatan TB dan PPK

*Kolom “jumlah dalam setahun” diisi pada pelaporan triwulan ke-4.

Mengetahui Pembuat Laporan

95
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Provinsi

Laporan Triwulan Pencapaian Kegiatan Kolaborasi TB-HIV


Penurunan beban TB pada ODHA

Nama Provinsi : Tanggal pelaporan :


Jumlah Kabupaten/Kota : Triwulan : Tahun
Jumlah Fasyankes :

No Variabel Jumlah Jumlah


dalam dalam
triwulan setahun *
1 Jumlah ODHA yang berkunjung ke PDP

2 Jumlah ODHA yang dikaji status TB nya

3 Jumlah ODHA dengan suspek TB

4 Jumlah ODHA yang diperiksa dahak mikroskopis langsung

5 Jumlah ODHA yang BTA negatif dilakukan pemeriksaan foto toraks

6 Jumlah ODHA dengan TB Paru BTA (+)

7 Jumlah ODHA dengan TB Paru BTA (-)

8 Jumlah ODHA yang didiagnosis TB Ekstraparu

9 Jumlah ODHA yang mendapat pengobatan TB

10 Jumlah ODHA yang mendapat pengobatan TB dan ART

*Kolom “jumlah dalam setahun” diisi pada pelaporan triwulan ke-4.

Mengetahui Pembuat Laporan

96
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Laporan Triwulan Pencapaian Kegiatan Kolaborasi TB-HIV
Penurunan beban HIV pada pasien TB

Pasien TB yang tercatat dalam triwulan ………. tahun ……….


Bulan………………. s/d ……………….

Provinsi :_________________ Fasyankes DOTS : _________________


Kabupaten/Kota :_________________ Tanggal Pengumpulan Laporan : _________________

No Variabel Jumlah
1 Jumlah pasien TB yang tercatat

Jumlah pasien TB yang tercatat dengan status HIV positif sebelum


1.1
pengobatan TB
Data konseling dan tes HIV pada pasien TB yang belum periksa HIV
Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan tersebut dan
2
ditawarkan/dianjurkan tes HIV (KTIP/KTS) selama pengobatan TB
Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan tersebut dan dilakukan
3
konseling HIV selama masa pengobatan TB
Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan tersebut dan dilakukan tes
4
HIV selama masa pengobatan TB
Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan tersebut yang hasil tes HIV
5
tercatat selama pengobatan TB
Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan tersebut dengan hasil tes HIV
6
positif selama pengobatan TB
Data Pengobatan Pasien TB yang HIV positif
7 Jumlah pasien TB yang HIV positif

8 Jumlah pasien TB yang HIV positif dan mendapatkan ART

9 Jumlah pasien TB yang HIV positif dan menerima PPK

Mengetahui Pembuat Laporan

97
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Rekapitulasi Laporan Triwulan Pencapaian Kegiatan Kolaborasi TB-HIV
Penurunan beban HIV pada pasien TB

Pasien TB yang tercatat dalam triwulan ………. tahun ……….


Bulan………………. s/d ……………….

Provinsi :_________________ Jumlah Fasyankes DOTS : _______


Kabupaten/Kota :_________________ Jumlah Fasyankes DOTS yang melaporkan : _______
Tanggal Pengumpulan Laporan : _______________

No Variabel Jumlah
1 Jumlah pasien TB yang tercatat

1.1 Jumlah pasien TB yang tercatat dan HIV positif sebelum pengobatan TB
Data konseling dan tes HIV pada pasien TB yang belum periksa HIV
Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan tersebut dan
2
ditawarkan/dianjurkan tes HIV (KTIP/KTS) selama pengobatan TB
Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan tersebut dan dilakukan
3
konseling HIV selama masa pengobatan TB
Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan tersebut dan dilakukan tes
4
HIV selama masa pengobatan TB
Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan tersebut yang hasil tes HIV
5
tercatat selama pengobatan TB
Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan tersebut dengan hasil tes HIV
6
positif selama pengobatan TB
Data koinfeksi TB HIV pada pasien TB
7 Jumlah Pasien Koinfeksi TB HIV

8 Jumlah Pasien Koinfeksi TB HIV yang mendapatkan ART

9 Jumlah pasien koinfeksi TB HIV yang menerima PPK

Mengetahui Pembuat Laporan

98
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Rekapitulasi Laporan Triwulan Pencapaian Kegiatan Kolaborasi TB-HIV
Penurunan beban HIV pada pasien TB

Pasien TB yang tercatat dalam triwulan ………. tahun ……….


Bulan………………. s/d ……………….

Provinsi :_________________
Jumlah Fasyankes DOTS : _______
Jumlah Fasyankes DOTS yang melaporkan : _______
Tanggal Pengumpulan Laporan : _______________

No Variabel Jumlah
1 Jumlah pasien TB yang tercatat

1.1 Jumlah pasien TB yang tercatat dan HIV positif sebelum pengobatan TB
Data konseling dan tes HIV pada pasien TB yang belum periksa HIV
Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan tersebut dan
2
ditawarkan/dianjurkan tes HIV (KTIP/KTS) selama pengobatan TB
Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan tersebut dan dilakukan
3
konseling HIV selama masa pengobatan TB
Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan tersebut dan dilakukan tes
4
HIV selama masa pengobatan TB
Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan tersebut yang hasil tes HIV
5
tercatat selama pengobatan TB
Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan tersebut dengan hasil tes HIV
6
positif selama pengobatan TB
Data koinfeksi TB HIV pada pasien TB
7 Jumlah Pasien Koinfeksi TB HIV

8 Jumlah Pasien Koinfeksi TB HIV yang mendapatkan ART

9 Jumlah pasien koinfeksi TB HIV yang menerima PPK

Mengetahui Pembuat Laporan

99
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Lampiran  Formulir  Pencatatan  TB-­‐HIV  

  55
100
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Lampiran Formulir Pencatatan TB-HIV

Lampiran 1. Contoh Data TB Dan HIV yang dapat digunakan untuk Mengkaji Epidemi TB-HIV.

Data TB Data HIV

•• Kasus TB menurut tipe •• Angka HIV dapat diperoleh antara lain dari:
•• Hasil pengobatan TB menurut tipe - Data surveilans sentinel
•• Data kasus TB pada usia tertentu - Pengunjung klinik Antenatal
•• Angka Multi-drug resistant (MDR) TB
- Pasien HIV dengan TB
- Kasus MDR primer
- Donor darah
- Kasus MDR sekunder
- Pengunjung klinik IMS
•• Proporsi kasus TB yang HIV positif
•• Prevalensi penyakit terkait HIV pada - Kunjungan RS
pasien TB - Penasun
•• Persepsi masyarakat tentang hubungan
antara TB dan HIV - Penerimaan baru TNI dan Polri
•• Persepsi masyarakat tentang pengobatan - Jika memungkinkan ada kohort distribusi usia
TB pada ODHA sebagai indikator insiden pada remaja
•• Riset Operasional
•• Jumlah kasus AIDS
•• Jumlah layanan Konseling dan Tes HIV
•• Jumlah pasien yang mengakses layanan
Konseling dan Tes HIV
•• Pengetahuan, perilaku, dan kebiasaan
masyarakat terkait cara penularan dan
pencegahan HIV
•• Pengalaman program perawatan di rumah
•• Pendekatan multi-sektoral
•• Riset Operasional

101
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Lampiran 2. Daftar TIlik Supervisi dan Bimtek

DAFTAR TILIK
SUPERVISI KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV
DI UNIT PELAYANAN KESEHATAN

I. DATA DASAR

A. Data Umum UPK

1. Nama UPK
2. Alamat
3. No. Telpon/fax/email
4. Kab/Kota
5. Propinsi
6. Nama Direktur/Kepala UPK
7. Petugas/Pejabat yang ditemui

(nama, tugas/kedudukan, no telp)


8. Yang melakukan supervisi (Nama,
Jabatan & Instansi)
9. Tanggal Kunjungan

B. Sumber daya dalam kegiatan TB-HIV

1. Jumlah petugas yg dilatih TB-HIV

Jumlah Jenis pelatihan dan tahun dilatih


Jumlah yang
No. UNIT HIV TB- Lab Farmasi RR
tenaga masih VCT IMAI CST PMTCT MK IMS UP
aktif HIV HIV ARV ARV

1 Dokter

2 Perawat/
paramedis

3 Laboratorium

4 Konselor

5 Petugas
pencatatan/
pelaporan

6 Farmasi

KETERANGAN:

102
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Jumlah Jumlah yang Jenis pelatihan dan tahun dilatih
No. UNIT DOTS
tenaga masih aktif DOTS VCT TB-HIV
1. Dokter
2. Perawat/paramedis
3 Laboratorium
4 Petugas pencatatan/
pelaporan
5 Lain-lain (apoteker,
dll)

Keterangan:

2. Logistik TB-HIV

Apakah tersedia: Ya Tidak Keterangan


1. Logistik TB 1) Reagensia £ £
2) Pot dahak £ £
3) Kaca sediaan (slide) £ £
4) Kotak slide/slide box £ £
5) Obat anti TB (OAT) £ £
a) Program £ £
b) Non-program (sumber
£ £
lain)

6) Formulir/register TB £ £

7) Formulir rujukan ke VCT £ £

8) KIE TB-HIV £ £

Ya Tidak Keterangan

103
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
1. Logistik HIV 1) Reagensia £ £
2) Obat ARV £ £
3) OAT £ £
4) Kotrimoksazol £ £
5) Obat IO lain £ £
6) Formulir/register HIV £ £
7) Kondom £ £
8) Formulir Skrining Gejala TB £ £
9) Formulir/register TB £ £
10) KIE TB-HIV £ £
2. Sumber £ APBD1/Propinsi £
pendanaan untuk
pengadaan £ APBD2/Kab/Kota
logistik obat dan
lab? £ APBN/Pusat

£ Bantuan luar negeri: ________

£ Swadana
£
£
£
£
£
£
£
£

104
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
II. KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV di UPK

A. Manajemen Kolaborasi TB-HIV

A. Membangun Mekanisme kolaborasi


1. Tim/pokja untuk kegiatan TB-HIV Ya Tidak Keterangan
1.1 Apakah sudah terbentuk tim? Kapan tahun dibentuknya
Tim dan apakah ada SK?
(Lampirkan jika ada)

a. Tim HIV (Tuliskan nama petugas


yang terlibat di Tim HIV. Tuliskan juga
telepon/HP/email, untuk memperlancar
komunikasi)
b. Tim TB Tuliskan nama petugas yang
terlibat di Tim TB. Tuliskan
juga telepon/HP/email, untuk
memperlancar komunikasi
c. Tim TB-HIV Tuliskan nama petugas
yang terlibat di Tim TB-HIV.
Tuliskan juga telepon/HP/
email, untuk memperlancar
komunikasi
Bila tidak, jelaskan alasannya?
Dan kapan rencana akan
dibentuk?

1.2 Apakah ada koordinator TB-HIV? Jika ya, sebutkan siapa?

1.3 Apakah pembentukan tim TB-HIV Jika ya, lampirkan SK nya.


didukung dengan SK Direktur/Kepala
UPK/Kepala Dinas Kesehatan setempat?
1.4 Apakah ada uraian tugas secara tertulis Jika ya, lampirkan.
untuk setiap anggota tim TB-HIV?

2 Melaksanakan surveilans TB-HIV Ya Tidak Keterangan


2.1 Apakah ada dokumen/catatan atau Untuk detailnya, cek silang
laporan mengenai kasus pasien TB dengan dengan dokumen yang ada di
HIV di unit TB? poliklinik.
2.2 Apakah ada dokumen/catatan atau Untuk detailnya, cek silang
laporan mengenai kasus ODHA dengan IO dengan dokumen yang ada di
TB di unit Layanan HIV? poliklinik.

105
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
3 Mengadakan perencanaan bersama TB-HIV Ya Tidak Keterangan
3.1. Apakah ada pertemuan kolaborasi TB-HIV secara Lihat notulensi pertemuan.
berkala?
3.2 Apakah ada rencana kerja TB-HIV? Lihat dokumen tertulis
mengenai rencana kerja TB-
HIV
3.3 Apakah ada alokasi anggaran dari UPK untuk
kegiatan TB-HIV (misalnya untuk logistik mis.
obat, reagen, untuk pelatihan dan pertemuan
berkala, dll)

4 Monitoring dan evaluasi Ya Tidak Keterangan


4.1 Apakah dilakukan monitoring bersama Siapa saja yang terlibat?
mengenai kegiatan TB-HIV?
Frekuensi monitoring?
4.2 Apakah dilakukan evaluasi kegiatan TB-HIV Siapa saja yang terlibat?
secara berkala?
Frekuensi monitoring?

B. Manajemen Pelayanan TB-HIV

B. Menurunkan beban tuberkulosis pada ODHA

Intensifikasi penemuan kasus TB dan


1. Ya Tidak Keterangan
pengobatannya
1.1 Apakah semua ODHA dilakukan skrining Tanyakan kriteria apa
TB (ditanyakan tentang gejala TB)? saja yang dipakai untuk
menentukan suspek TB pada
ODHA.

Apakah menggunakan Form


skrining TB?

1.2 Apakah semua ODHA dengan gejala TB


(suspek TB) dilakukan pemeriksaan dahak
SPS secara mikroskopis ?
1.3 Siapa yang meminta untuk dilakukan SPS?

a. Unit TB?
b. Unit HIV?
1.4 Apakah dilakukan pemeriksaan dahak di Jika tidak, dirujuk kemana?
sini?
........................................................

106
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
1.5 Apakah semua ODHA yang suspek TB
dengan hasil BTA negatif dilakukan
pemeriksaan foto toraks?
1.6 Apakah ada metode diagnostik lain yang TB ekstra paru yang sering
digunakan untuk TB ekstra paru? dijumpai pada ODHA
misalnya TB kelenjar limfe,
Histopatologis : £ TB milier, TB meningitis. TB
dengan efusi pleura atau
Biakan :£ perikardium.
Lain-lain :£

1.7 Apakah semua ODHA yang sakit TB Sebutkan paduan OAT yang
mendapatkan pengobatan TB sesuai diberikan.
strategi DOTS (paduan dan lama
pengobatan)?
1.8 Di unit mana OAT diberikan? Jika sebagian ODHA
diberikan OAT di unit DOTS
a. Unit DOTS dan sebagian di unit HIV,
b. Unit HIV tuliskan dalam kolom
“keterangan”.
1.9 Dari mana OAT didapat?
a. Dari Program (Dinkes)
b. Askes
c. Pasien beli sendiri
d. Lain-lain
1.10 Apakah pada ODHA dengan TB dilakukan Kalau ya setiap berapa lama
juga pemantauan pengobatan TB nya?
Kalau tidak, jelaskan
alasannya
Catatan: Pemantauan kemajuan
pengobatan TB adalah dengan
memeriksa dahak SP pada akhir
fase intensif, sebulan sebelum AP,
AP.

Jika awalnya pasien TB dengan BTA


(-), kemungkinan besar akan tetap
negatif pada pemeriksaan akhir
fase intensif. Pada ODHA dengan
TB baik yang BTA (+) maupun BTA
(-) perlu dipantau juga secara klinis
misalnya berat badannya, nafsu
makan, keluhan lain yang dialami
selama pengobatan TB, dll

107
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
2 Pengendalian infeksi TB di di UPK Ya Tidak Keterangan
2.1 Apakah ada tim atau komisi Lakukan
pengendalian infeksi di UPK? observasi dan
lampirkan
dokumennya
2.2 Apakah pengendalian infeksi TB
termasuk di dalamnya?
2.3 Apakah ada protap tertulis Jika ya,
pengendalian infeksi TB? lampirkan.

2.4 Apakah suspek/pasien TB diberikan Lakukan


edukasi mengenai etika batuk baik observasi
secara langsung maupun dengan
menyediakan materi KIE mengenai
etika batuk?

2.5 Apakah UPK menyediakan masker/ Lakukan


tisue untuk suspek/pasien TB? observasi
2.6 Apakah suspek/pasien TB dipisahkan Lakukan
ruang tunggunya dari pasien lainnya? observasi
2.7 Apakah ada tempat/ruang khusus Lakukan
untuk mengumpulkan dahak? observasi
2.8 Apakah dilakukan skrining gejala
TB secara berkala kepada petugas
kesehatan?
2.9 Apakah ruang tunggu pasien memiliki Lakukan
ventilasi yang baik? observasi
2.10 Apakah ruang layanan TB dan HIV
memiliki?
a. ventilasi alami
b. ventilasi mekanis misalnya exhaust
fan dan kipas angin

108
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
C Menurunkan beban HIV pada pasien tuberkulosis
1 Konseling dan testing HIV Ya Tidak Keterangan
1.1 Untuk daerah dengan tingkat epidemi HIV
meluas:

•• Apakah semua pasien TB dilakukan


konseling dan test HIV
Untuk daerah dengan tingkat epidemi HIV
terkonsentrasi:

•• Apakah pasien TB yang mempunyai


faktor risiko HIV dilakukan konseling
dan test HIV
1.2 Apakah menggunakan Form Penilaian Jika ya, lampirkan,
faktor risiko HIV pada pasien TB?
Jika tidak, kriteria apa saja yang
digunakan untuk menentukan
pasien TB yang dilakukan
konseling dan testing HIV?
1.3 Di mana konseling HIV dilakukan?
a. Unit TB
b. Unit HIV
c. Dirujuk ke tempat lain? .........................
1.4 Di mana testing HIV dilakukan?
a. Unit TB
b. Unit HIV
c. Laboratorium UPK
c. Dirujuk ke tempat lain ......................

2 Mempromosikan cara pencegahan HIV Ya Tidak Keterangan


2.1 Apakah pasien TB diberikan informasi Observasi
mengenai HIV, IMS & NAPZA?

2.2 Siapa yang memberikan informasi? Observasi


a. petugas TB
b. petugas HIV

109
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
2.3 Apakah tersedia kondom di unit TB? Observasi
2.4 Adakah alat bantu/materi KIE TB-HIV, Observasi
IMS, NAPZA?
Melaksanakan terapi pencegahan
3 Ya Tidak Keterangan
dengan kotrimoksasol
3.1 Apakah pasien TB-HIV mendapat Jika sebagian, kriteria pasien
pengobatan profilaksis dengan yang seperti apa yang
kotrimoksazol? diberikan kotrimoksazol?
a. Semua
b. Sebagian Jika tidak, apa alasannya?
c. Tidak sama sekali
3.2 Di unit mana kotrimoksazol diberikan?
a. Unit DOTS
b. Unit HIV

Memberikan perawatan,
4 dukungan dan pengobatan HIV/ Ya Tidak Keterangan
AIDS
4.1 Apakah dalam menangani pasien Jelaskan seperti apa?
TB-HIV unit DOTS (di Puskesmas/RS)
berkoordinasi atau merujuk ke unit
PDP/RS ARV?
4.2 Apakah semua pasien TB-HIV memulai Catatan: Indikasi medis (CD4
pengobatan ARV sesuai pedoman dan stadium klinis) dan non
nasional? medis (kesiapan minum obat,
kepatuhan, PMO, support
group, akses ARV, dll)
4.3 Apakah pasien TB-HIV yang layak
mendapatkan ARV diberikan paduan
ARV sesuai pedoman nasional?
4.4 Apakah efek samping pemberian Bila tidak, jelaskan alasannya
bersama OAT dan ARV telah
diinformasikan sebelum pengobatan
dimulai?

110
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
4.5 Apakah dilakukan pemantauan Kalau ya setiap berapa lama
pengobatan pada semua pasien TB-
HIV Kalau tidak, jelaskan alasannya

Catatan: TB (akhir fase intensif,


sebulan sebelum AP, AP). HIV
(setiap bulan untuk evaluasi
klinis, minimal 6 bulan sekali
untuk CD4nya)

III. SURVEILANS TB-HIV

1. Pencatatan dan pelaporan kegiatan kolaborasi TB-HIV

a. UNIT DOTS.

Diisi
1 Jenis format yang ada di UPK Tersedia Diisi benar
lengkap
Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
a. TB 01 (dengan info HIV)
b. TB 02
c. TB 03 UPK (dengan info HIV)
d. TB 04
e. TB 05
f. TB 06
g. TB 09
h. TB 10
i. Lain-lain:

- Form Penilaian faktor risiko HIV

- Form rujukan ke VCT

Ya Tidak Keterangan

111
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
2 Apakah dilakukan supervisi dan registrasi/ -Siapa saja yang melakukan?
validasi data TB secara rutin (termasuk
mengenai data pasien TB yang HIV positif )? -Cek silang dengan form
lainnya

3 Apakah ada umpan balik kepada petugas Lihat dokumen umpan balik
UPK mengenai kinerja program TB dan
kegiatan kolaborasi TB-HIV?

b. UNIT HIV

Jenis format yang tersedia


1. Tersedia Diisi lengkap Diisi benar
di unit HIV
Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
a. Register konseling
b. Register Pra-ART
c. Ikhtisar perawatan HIV
d. Kartu pasien
e. Register ART
f. Register Pemberian Obat ARV
g. Register Stok Obat ARV
(Farmasi)
h. Formulir Rujukan
i. Laporan Bulanan
j. Laporan Kohort

112
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
k. Lain-lain:

- Form skrining gejala TB

- Form rujukan ke unit DOTS

- TB01

- TB02

- TB03 UPK

- TB04

- TB05

- TB06

- TB09

- TB10

2. Laporan bulanan disampaikan kepada Dinas Kesehatan Provinsi £

Dinas Kesehatan Kabupaten £

Subdit AIDS & PMS £

Dit Bina Yanmed Spesialistik£

Lain2 £
Ya Tidak Keterangan
3. Apakah dilakukan supervisi dan validasi data HIV - Siapa saja yang
secara rutin (termasuk data ODHA yang TB)? melakukan?

- Cek silang dengan


form lainnya

4. Apakah ada umpan balik kepada petugas UPK Lihat dokumen umpan
mengenai kinerja program HIV dan kegiatan balik
kolaborasi TB-HIV?

113
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
2. Data hasil kegiatan TB-HIV 6 Bulan Terakhir

No UNIT DOTS Jumlah Keterangan

1 Jumlah pasien TB yang tercatat


1.1 Jumlah pasien TB yang tercatat dan HIV positif
sebelum pengobatan TB

Data konseling dan tes HIV pada pasien TB yang belum periksa HIV
2 Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan
tersebut dan ditawarkan/dianjurkan tes HIV (KTIP/
KTS) selama pengo-batan TB
3 Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan
tersebut dan dilakukan konseling HIV selama masa
pengobatan TB
4 Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan
tersebut dan dilakukan tes HIV selama masa
pengobat-an TB
5 Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan
tersebut yang hasil tes HIV tercatat selama
pengobatan TB
6 Jumlah pasien TB yang tercatat dalam triwulan
tersebut dengan hasil tes HIV positif selama
pengobatan TB
Data Layanan Pasien TB dengan HIV positif
7 Jumlah Pasien Ko-infeksi TB HIV
8 Jumlah Pasien Ko-infeksi TB HIV yang mendapatkan
ART
9 Jumlah pasien ko-infeksi TB HIV yang mendapatkan
PPK

No UNIT HIV Jumlah Keterangan

1 Jumlah ODHA yang berkunjung ke PDP


2 Jumlah ODHA yang dikaji status TB nya
3 Jumlah ODHA dengan suspek TB
4 Jumlah ODHA yang diperiksa dahak mikroskopis

5 Jumlah ODHA yang didiagnosis TB Paru BTA (+)

6 Jumlah ODHA yang didiagnosis TB Paru BTA (-)

7 Jumlah ODHA yang didiagnosis TB Ekstraparu

114
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
8 Jumlah ODHA yang mendapat pengobatan TB

9 Jumlah ODHA yang mendapat pengobatan TB dan ART

10 Jumlah ODHA yang mendapat pengobatan TB dan PPK

Semua pasien TB-HIV, perlu dilakukan pemantauan hasil pengobatan TB nya.

No Hasil Pengobatan TB Jumlah Keterangan

1 Pasien TB-HIV yang mengalami konversi - TB01

- TB03 UPK
2 Hasil pengobatan pasien TB-HIV - TB01

- TB03 UPK

a. Sembuh
b. Pengobatan lengkap
c. Gagal
d. Default (Putus berobat)
e. Pindah
f. Meninggal

115
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Lampiran 3. Obat ARV dan IO

No Nama Obat
1. OBAT ARV
ARV lini I :
•• Zidovudin (AZT, ZDV), 300 mg
•• Lamivudin (3TC), 150 mg
•• Stavudin (d4T), 30 mg
•• Efavirens (EFV), 600 mg
•• Nevirapin (NVP), 200 mg

ARV lini II
•• Tenofovir (TDF), 300 mg
•• Didanosin (ddI), 250 mg
•• Lopinavir/ritonavir (LPV/r), 400 mg/100 mg
•• Abacavir (ABC)
•• Emtricitabine (FTC)

Fixed Dose Combination


•• AZT + 3TC (AZT 300mg, 3TC 150mg)
•• AZT + 3TC + NVP (AZT 300mg, 3TC 150mg, NVP 200mg)

2. OBAT IO •• Klindamisin 150 mg


•• Amfoterisin B injection 50 mg/ •• Klindamisin 150 mg/4 ml ampul
vial (kandidosis berat, kriptokokosis, •• Klindamisin 300 mg
histoplasmosis) •• Kotrimoksasol oral 960 mg
•• Amoksisilin + asam klavulanat iv 1,2 g •• Kotrimoksazol 400mg/80mg
•• Amoksisilin + asam klavulanat p.o. 500 •• Pirimetamin 25 mg tab
mg/125 mg •• Prednisolon 5 mg
•• Amphotericin B 50 mg •• Seftriakson injeksi
•• Asiklovir 400 mg •• Sulfadiazin 500 mg tab
•• Flukonazol 200 mg
•• Folinic Acid 200 mg

116
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
Lampiran 4. Isi Pesan AKMS

Isi Pesan Petugas TB kepada Pasien TB yang dicurigai ko-infeksi HIV:

1. Apa itu HIV


2. Cara penularan dan resiko terinfeksi HIV
3. Cara pencegahan dan program pencegahan seperti penggunaan kondom, pengurangan
dampak buruk Napza suntik, pencegahan HIV dari ibu ke anak
4. Petunjuk layanan konseling di layanan kesehatan dan LSM
5. Daftar Rumah Sakit Rujukan ARV

Isi Pesan Petugas HIV kepada Pasien HIV dengan gejala TB:

1. Apa itu TB, cara penyebarannya


2. Gejala-gejala TB
3. Kondisi-kondisi yang memudahkan seseorang terkena TB
4. Bagaimana cara mendiagnosa penderita TB
5. Bagaimana pengobatan pasien TB
6. Petunjuk layanan pengobatan TB terdekat

Isi Pesan TB-HIV kepada Pengendali Kebijakan, Akademisi, Penyedia Layanan dan Pers
(Diambil dari Talking Points TB-HIV dari STOP TB Partnership, www.stoptb.org):

1. Global burden TB dan Hubungannya dengan HIV yang diperkuat dengan data
2. Tingkat Mortalitas TB/HIV yang diperkuat dengan data
3. Hubungan TB-HIV dan Wanita, diperkuat dengan data
4. Isu Pengobatan TB-HIV
5. Pengendalian penyakit TB dan HIV
6. Diagnosa, Pencegahan dan Pengobatan TB dan HIV
7. Kolaborasi program penanggulangan TB dan HIV
8. Pendanaan

117
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Pedoman Nasional Penanggulangan TB. Edisi 2 Cetakan Pertama. 2006. Departemen
Kesehatan R.I
2. Draft Pedoman AKMS TB. 2006. Departemen Kesehatan R.I
3. TB-HIV Implementation Guideline. 2005. Federal Ministry of Health Ethiopia
4. Talking Points TB-HIV. www.stop tb.org. Stop TB Partnership. Geneva
5. Draft Leaflet dan Poster TB-HIV. 2006. Kolaborasi TB-HIV DKI Jakarta
6. Kebijakan Sementara Kegiatan Kerjasama TB-HIV. Terjemahan. WHO, Stop TB Department
& Department of HIV AIDS. 2004
7. Draft Buku Kebijakan Nasional TB-HIV. 2007. Departemen Kesehatan R.I

118
Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai