Anda di halaman 1dari 27

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengetahuan

2.1.1 Definisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu”, dan ini terjadi setelah

orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan

terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga (Wawan A dan Dewi M, 2010).

2.1.1 Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003) mengemukakan bahwa pengetahuan

yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu :

1. Tahu (Know)

Artinya kemampuan untuk mengingat kembali (recall)

sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang telah diterima. Tahu ini merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur

bahwa orang tahu tentang apa yang telah dipelajari antara lain

menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan.

2. Memahami (Comprehension)

Artinya suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar

tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpreasikan

materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap


9

obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,

menyimpulkan, meramalkan terhadap obyek yang dipelajari.

3. Aplikasi (Aplication)

Artinya kemampuan untuk menggunakan materi yang

dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya yaitu dengan

penggunaan hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya.

4. Analisis (Analysis)

Artinya adakah kemampuan untuk menjabarkan suatu materi

atau suatu obyek ke dalam komponentetapi masih di dalam

struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (Syntesis)

Artinya kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan

bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru,

dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk

menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada. Misalnya dapat

meringkaskan, dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau

rumusan-rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Artinya kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau obyek.Penilaian-penilaian ini

didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau

menggunakan.
10

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

a. Faktor Internal

1. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap

perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang

menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk

berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan

kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi

misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat

meningkatkan kualitas hidup. Menurut YB Mantra yang dikutip

Notoadmojo (2003), pendidikan dapat mempengaruhi seseorang

termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam

memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan

(Nursalam, 2003) pada umumnya makin tinggi pendidikan

seseorang makin mudah menerima informasi.

2. Pekerjaan

Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003), pekerjaan

adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang

kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber

kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah

yang membosankan, berulang dan banyak tantangan. Sedangkan

bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu.

Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap

kehidupan keluarga.
11

3. Umur

Menurut Elisabeth BH yang dikutip Nursalam (2003), usia adalah

umur individu yang terhidtung mulai saat dilahirkan sampai

berulang tahun. Sedangkan menurut Huclok (1998) semakin cukup

umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih

matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan

masyarakat seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari orang yang

belum tinggi kedewasaannya. Hal ini akan sebagai dari pengalaman

dan kematangan jiwa.

b. Faktor Eksternal

1. Faktor Lingkungan

Menurut Ann. Mariner yang dikutip dari Nursalam (2003)

lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada sekitar manusia

dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan

perilaku orang atau kelompok.

2. Sosial Budaya

Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat

mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi.

(Wawan A dan Dewi M, 2010).

2.1.4 Kriteria Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterprestasikan dengan

skala yang bersifat kualitatif, yaitu:

1. Tingkat pengetahuan baik adalah tingkat pengetahuan dimana

seseorang mampu mengetahui, memahami, mengaplikasikan,


12

menganalisis, mensintesis dan mengevaluasikan. Tingkat pengetahuan

baik jika hasil presentase 76%-100%.

2. Tingkat pengetahuan cukup adalah tingkat pengetahuan dimana

seseorang mengetahui tapi kurang mengaplikasikan, menganalisi,

mensintesis dan mengevaluasi. Tingkat pengetahuan cukup jika hasil

presentase 56%-75%.

3. Tingkat pengetahuan kurang adalah tingkat pengetahuan dimana

seseorang kurang mampu dalam mengetahui, memahami,

mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi. Tingkat

pengetahuan kurang jika hasil presentase ≤55%.

(Wawan A dan Dewi M, 2010).

2.2 Konsep Keluarga

2.2.1 Definisi Keluarga

Duval, (1986) keluarga adalah sekumpulan orang dengan

ikatan perkawinan, kelahiran dan adopsi yang bertujuan untuk

menciptakan, mempertahankan budaya dan meningkatkan

perkembangan fisik, mental, emosional serta sosial dari setiap

anggota keluarga ( Andarmoyo, 2012).

Johnson’s, (1992) keluarga adalah kumpulan dua orang atau

lebih yang mempunyai hubungan darah yang sama atau tidak, yang

terlibat dalam kehidupan yang terus menerus, yang tinggal dalam

satu atap, mempunyai ikatan emosional dan mempunyai kewajiban

antara satu orang dengan lainnya (Andarmoyo, 2012).


13

Depkes RI (1998) keluarga adalah mengidentifikasi keluarga

sebagai unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala

keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu

tempat di bawah satu atap dan dalam keadaan saling

ketergantungan (Andarmoyo, 2012).

2.2.2 Keluarga Sebagai Sistem

Keluarga merupakan unit atau sistem terkecil dalam

masyarakat. Sistem merupakan unit kesatuan yang diarahkan pada

tujuan, dibentuk dari bagian-bagian yang berinteraksi, saling

ketergantungan serta dapat bertahan dalam waktu tertentu

(Andarmoyo, 2011).

2.2.3 Tipe Keluarga

Seiring dengan tuntutan keluarga untuk beradaptasi dengan

lingkungan dan budaya, maka bentuk keluarga pun akan berubah

sesuai dengan tuntutan tersebut. Berbagai bentuk keluarga

menggambarkan adaptasi terhadap keluarga. Setiap keluarga

mempunyai kekuatan sendiri untuk dipengaruhi lingkungan

(Andarmoyo, 2012).

a. Keluarga Tradisional

Tradisional Nuclear/Keluarga Inti. Merupakan satu bentuk

keluarga tradisional yang dianggap paling ideal. Keluarga inti

adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, tinggal

dalam satu rumah, di mana ayah adalah pencari nafkah dan ibu

sebagai ibu rumah tangga.


14

b. Keluarga Nontradisional

Bentuk-bentuk varian keluarga nontradisional meliputi

bentuk-bentuk keluarga yang berbeda satu sama lain, baik

dalam struktur maupun dalam dinamikanya, meskipun lebih

memiliki persamaan satu sama lain dalam hal tujuan dan nilai

dari pada keluarga inti tradisional. Orang-orang dalam

pengaturan keluarga non tradisional sering menekankan nilai

aktualisasi diri, kemandirian, persamaan jenis kelamin,

keintiman dalam berbagai hubugan interpersonal.

2.2.4 Struktur Keluarga

Keluarga adalah suatu sistem terbuka yang terdiri beberapa

komponen/ subsistem yang selalu berinteraksi denga lingkungan

eksternal maupun internal. Struktur keluarga adalah pengetahuan

tentang cara keluarga mengorganisasikan sub sistem yang ada pada

keluarga serta bagaimana komponen-komponen keluarga tersebut

berhubungan. Dimensi dasar sturktur keluarga terdiri dari :

Struktur peran, struktur kekuasaan/ kekuatan, pola dan proses

komunikasi serta nilai keluarga.Keempat elemen ini memiliki

interelest dan saling bergantung, struktur ini akan dievaluasi untuk

mengetahui bagaimana keluarga mampu melaksanakan fungsinya

(Andarmoyo, 2012).

2.2.5 Fungsi Keluarga

Keberadaan keluarga pada umumnya adalah untuk memenuhi

fungsi-fungsi keluarga. Fungsi keluarga, berada sesuai dengan


15

sudut pandang terhadap keluarga. Akan tetapi dari sudut kesehatan

keluarga yang sering digunakan adalah fungsi keluarga, yang

sesuai dengan Friedman (Andarmoyo, 2011). Berikut ini dijelaskan

beberapa fungsi keluarga, dari WHO Friedman dan Depkes RI.

Fungsi keluarga menurut WHO (1978) adalah sebagai

berikut :

1. Fungsi Biologis

a. Untuk meneruskan keturunan

b. Memelihara dan membesarkan anak

c. Memenuhi kebutuhan gizi keluarga

d. Memelihara dan merawat anggota keluarga

2. Fungsi Psikologis

a. Memberikan kasih sayang dan rasa aman

b. Memberikan perhatian diantara anggota keluarga

c. Membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga

d. Memberikan identitas keluarga

3. Fungsi Sosialisasi

a. Membina sosialisasi pada anak

b. Membina norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkah

perkembangan anak

c. Meneruskan nilai-nilai keluarga

4. Fungsi Ekonomi

a. Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi

kebutuhan keluarga
16

b. Pengaturan dan penggunaan penghasilan keluarga untuk

memenuhi kebutuhan keluarga

c. Menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga di masa

yang akan datang. Misalnya : pendidikan anak, jaminan

hari tua.

5. Fungsi Pendidikan

a. Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan,

ketrampilan dan membentuk perilaku anak sesuai dengan

bakat dan minat yang dimiliki.

b. Mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan

datang dalam memenuhi perannya sebagai orang dewasa.

c. Mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya.

2.1.1.2.6 Perkembangan Keluarga

Rodgers (1973), mengungkapkan bahwa setiap keluarga akan

melalui perkembangan yang unik, namun secara umum mengikuti

pola yang sama. Hal ini berarti bahwa setiap keluarga mempunyai

variasi dalam perkembangannya yang sama. Perbedaan/variasi dari

perkembangan ini biasanya akibat perbedaan dan bentuk atau tiap

keluarga, penundaan pernikahan atau kehamilan, serta kematian

dan perceraian.

2.3 Konsep Deteksi Dini TB Paru

2.3.1 Deteksi Dini

Deteksi dini merupakan suatu mekanisme yang berupa pemberian

informasi secara tepat waktu dan efektif, agar masyarakat/ individu di


17

daerah rawan mampu mengambil tindakan menghindari atau mengurangi

resiko dan mampu bersiap-siap untuk merespon secara efektif. Deteksi dini

terduga TB Paru dilakukan dengan pelacakan erat pasien dengan gejala TB

Paru, pengumpulan dahak terduga TB Paru, pelatihan kader.

(Kemenkes RI, 2014)

2.3.2Pengertian TB Paru

Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar

kuman TB menyerang paru-paru, tetapi dapat juga menyerang organ atau

bagian tubuh lainnya (misalnya: tulang, kelenjar, kulit, dll). TB Paru dapat

menyerang siapa saja, terutama usia produktif/masih aktif bekerja (15-50

tahun) dan anak-anak. TB Paru dapat menyebabkan kematian (Depkes RI,

2009). Mycobacterium tuberculosis sejenis kuman yang berbentuk batang

dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron yang bersifat tahan

asam dalam pewarnaan yang dapat disebut pula dengan Basil Tahan Asam

(BTA) (Kemenkes RI, 2014).

2.3.3 Etiologi

Penyakit TB Paru disebabkan oleh kuman dari kelompok

Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa

spesies Mycobacterium, antara lain: Mycobacterium tuberculosis,

Mycobacterium africanum, Mycobacterium bovis, Mycobacterium leprae

dsb yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Secara umum

sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) antara lain adlah sebagai

berikut:
18

a. Berbentuk batang dengan panajang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron

b. Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen

c. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein

Jensen, Ogawa

d. Kuman nampak berbentuk batang bewarna merah dalam pemeriksaan

dibawah mikroskop

e. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam

jangka waktu lama pada suhu antara 4oC sampai 70o

f. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet

g. Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan

mati dalam waktu beberapa menit

h. Dalam dahak pada suhu antara 30oC sampai37oC akan mati dalam

waktu kurang lebih 1 minggu.

i. Kuman dapat bersifat dormant (“tidur”/tidak berkembang).

(Kemenkes RI, 2014)

2.3.4 Cara Penularan

Sumber penularan adalah pasien TB Paru BTA positif melalui percik

renik dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB

Paru dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman

dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman

yang terkandung dalam contoh uji > dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga

sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung. Pasien dengan

TB Paru BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan

penyakit TB Paru. Tingkat penularan pasien TB Paru BTA positif adalah


19

65%, pasien TB Paru BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%,

sedangkan pasien TB Paru dengan hasil kultur negatif dan foto toraks

positif adalah 17%. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup

udara yang mengandung percik renik dahak yan infeksius tersebut. Pada

waktu batuk atau bersin, pasien TB Paru BTA positif menyebarkan kuman

ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei/percik renik). Sekali

batuk dapat menghasilkan sekitar 3.000 percikan dahak (Kemenkes RI,

2014).

2.3.5 Resiko Tertular TB Paru

Faktor risiko untuk menjadi sakit TB Paru adalah tergantung dari:

1) Jumlah kasus menular di masyarakat

2) Peluang kontak dengan kasus menular

3) Intensitas batuk sumber penularan

4) Kedekatan kontak dengan sumber penularan

5) Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan

6) Faktor lingkungan: konsentrasi kuman diudara (ventilasi, sinar

ultra violet, penyaringan adalah faktor yang dapat menurunkan

konsentrasi)

7) Konsentrasi/jumlah kuman yang terhirup

8) Usia seseorang yang terinfeksi

9) Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya tahan

tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutirsi

(gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB

Paru). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah


20

pasien TB Paru akan meningkat, dengan demikian penularan TB

Paru di masyarakat akan meningkat pula.

Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB Paru akan menjadi sakit TB

Paru. Namun bila seorang dengan HIV positif akan meningkatkan

kejadian TB Paru melalui reaktifasi. TB umumnya terjadi pada paru

(TB Paru). Namun, penyebaran melalui aliran darah atau getah bening

dapat menyebabkan terjadinya TB diluar organ paru (TB Ekstra Paru).

Apabila penyebaran secar masif melalui aliran darah dapat

menyebabkan semua organ tubuh terkena (TB milier).

(Kemenkes RI, 2014)

Faktor risiko tertular TB Paru menurut Prabu (2008)

1. Faktor umur

Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok

usia produktif yaitu 15-50 tahun.

2. Faktor jenis kelamin

TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan

wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok

sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.

3. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap

pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi

syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan

pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk


21

mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu tingkat

pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya.

4. Pekerjaan

Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu

di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada

saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat

meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran

pernafasan dan umumnya TB Paru.

5. Kebiasaan merokok

Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk

terjadinya infeksi TB Paru.

6. Kepadatan hunian kamar tidur

Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk

suami istri dan anak di bawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara

yang cukup, di syaratkan juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m.

7. Pencahayaan

Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri

patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang

sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Bila sinar

matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka

resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.

8. Ventilasi

Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam

ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan
22

penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk

pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit,

misalnya kuman TB.

9. Kondisi rumah

Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan

penyakit TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat

perkembang biakan kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan

akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan

sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman

Mycrobacterium tuberculosis.

10. Kelembaban udara

Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung,

tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap

dan lembab.

11. Status gizi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang

mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat

dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih.

Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan

daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit.

12. Keadan sosial ekonomi

Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan

daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan

berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan
23

menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan

terkena infeksi TB Paru

13. Perilaku

Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan.

Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan,

bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan

prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber

penular bagi orang disekelilingnya.

2.3.6Tanda dan Gejala

Untuk mendeteksi dini TB Paru perlu diperhatikan tanda dan gejala

berikut ini:

Gejala utama pasien TB Paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau

lebih (Kemenkes RI, 2014)

Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu:

a. Batuk /Batuk darah

Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada

bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang

keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sam,

mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam

jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan

peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-

produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif

(menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah

karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah


24

pada TB Paru terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus

dinding bronkus.

b. Sesak nafas

Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas.

Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang

infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.

c. Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi

radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi

gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.

d. Demam

Biasanya subfebris menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-

kadang panas badan dapat mencapai 40-410C. Serangan demam

pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali.

Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza. Keadaan ini

sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya

infeksi TB Paru yang masuk.

e. Malaise

Penyakit TB Paru bersifat radang menahun. Gejala malaise sering

ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus

(berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat yang

keluar di malam haritanpa ada kegiatan dll. Gejala malaise ini makin

lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

(Sudoyo dkk, 2009).


25

Gejala yang paling utama pada seseorang yang menderita penyakit TB

Paru adalah

1. Selama 3 minggu biasanya mereka akan mengalami batuk berdahak

yang terjadi secara terus menerus

2. Berkeringat di malam hari namun diakibatkan karena hal yang tidak

jelas

3. Melemahnya badan

4. Dahak yang disertai dengan darah dan juga pada penderita batuk darah

5. Rasa sakit di dada dan mengalami sesak nafas

6. Demam yang terjadi kurang lebih selama sebulan atau juga bahkan

lebih

7. Nafsu makan yang menurun dan akan membuat berat badan juga

menurun

Namun gejala penyakit TB Paru yang paling mudah dilihat adalah keringat

yang keluar dimalam hari yang diakibatkan karena suatu hal yang kurang

jelas serta karena mengalami beberapa gejala utama TB Paru yang kahs

seperti diatas.

2.3.7 Staregi Penemuan

Penemuan dan penyembuhan pasien TB Paru secara bermakna akan

dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB Paru serta

sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB Paru yang paling

efektif di masyarakat. Keikutsertaan pasien merupakan slah satu faktor

penting dalam upaya pengendalian TB Paru.

Stategi Penemuan:
26

a. Penemuan pasien TB Paru dilakukan secara intensif pada

kelompok populasi rentan

b. Upaya penemuan secara intesif harus didukung dengan kegiatan

promosi yang aktif, sehingga semua pasien terduga TB Paru dapat

ditemukan secara dini.

c. Penjaringan terduga pasien TB Paru dilakukan di fasilitas

kesehatan; didukung dengan promosi secara aktif oleh petugas

kesehatan bersama masyarakat.

d. Pelibatan semua fasilitas kesehatan dimaksud untuk mempercepat

penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan.

e. Penemuann secara aktif dapat dilakukan terhadap:

1) Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB

Paru seperti pada pasien dengan HIV, DM, dan malnutrisi

2) Kelompok yang rentan karena berada dilingkungan yang

beresiko tinggi terjadinya penularan TB Paru, seperti:

lapas/rutan, tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh,

tempat kerja, asrama dan panti jompo.

3) Anak dibawah umur dibawah lima tahun yang kontak dengan

pasien TB Paru.

4) Kontak erat dengan pasien TB Paru dan pasien TB Paru resistan

obat.

Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang

memiliki gejala: gejala utama adalah batuk berdahak selama 2 minggu

atau lebih, batuk dapat diikuti gejala tambahan yaitu dahak bercampur
27

darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun,

berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan

fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.

(Kemenkes RI, 2014)

2.3.8 Pemeriksaan Penunjang

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai deteksi dini yang

ditemukan maka penderita harus segera melakukan pemeriksaan langsung

ke dokter untuk mengetahui penyebab pastinya. Untuk mengetahui apakah

seseorang mengalami/menderita penyakit TB Paru atau tidak maka

dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:

1. Pemeriksaan dahak

a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai

keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.

S (Sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang

berkunjung pertama kali ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pada saat

bpulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk

menampung dahak pagi pada hari kedua.

P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera

setelah bangun tidur. Pot dibawa dan serahkan sendiri kepada

petugas di fasilitas pelayanan kesehatan.

S (Sewaktu): dahak ditampung di fasilitas pelayanan kesehatan pada

hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.


28

b. Pemeriksaan Biakan

Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis

dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB Paru pada

pasien tertentu, misal:

a) Pasien TB ekstra paru

b) Pasien TB Paru anak

c) Pasien TB Paru dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis

langsung BTA negatif.

(Kemenkes RI, 2014).

2. Pemeriksaan uji kepekaan obat

Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya

resitensi Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT. Untuk menjamin

kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan

oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan

mutu/Quality Assurance (QA). (Kemenkes RI, 2014).

3. Pemeriksaan tuberkulin

Pemeriksan ini masih banyak dipakai untuk membantu

menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita).

Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc

tuberkulin P.P.D (Purified Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5

T.U (intermediate strength). Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan,

akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltat

limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen


29

tuberkulin. Biasanya hampir seluruh pasien tuberkulosis memberikan

reaksi Mantoux yang positif (99,8%) (Sudoyo dkk, 2009).

4. Pemeriksaan rontgen thoraks

Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya

suatu lesi sebelum ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum

pemeriksaan fisik menemukan kelaianan pada paru. Pemeriksaan

rontgen thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi hasil pengobatan

dan ini bergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri

tuberkel terhadap obat antitubekulosis (Muttaqin A, 2012).

5. Pemeriksaan CT Scan

Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menemukan hubungan

kasus TB inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran

garis-garis fibrotic ireguler, pita parenkimal, klasifikasi nodul dan

adenopati, perubahan kelengkungan beras bronkhovaskuler,

bronkhietasis, dan emfisema perisikatriksial. Sebagaimana pemeriksaan

rontgen thoraks, penentuan bahwa kelainan inaktif tidak dapat hanya

berdasarkan pada temuan CT Scan pada pemeriksaan tunggal, namun

selalu dihubungkan denganv kultur sputum yang negatif dan

pemeriksaan secara serial setiap saat. Pemeriksaan CT Scan sangat

bermanfaat untuk mendeteksi adanya pembentukan kapasitas dan lebih

dapat diandalkan daripada pemeriksaan rontgen thoraks biasa (Muttaqin

A, 2012).
30

6. Pemeriksaan darah

Pada pemeriksaan darah hasilnya tidak sensitif dan juga tidak

spesifik. Pada saat TB Paru baru dimulai (aktif) akan didapatkan jumlah

leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri.

Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai

meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali

normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun

ke arah normal lagi. Pemeriksaan tersebut diatas nilainya juga tidak

spesifik (Sudoyo dkk, 2009).

2.3.9 Pengobatan

1. Tahapan Pengobatan TB Paru

Pengobatan TB Paru harus selalu meliputi pengobatan tahap lanjutan

dengan maksud:

Tahap Awal: pengobatan diberikan setiap hari. Pengobatan tahap awal

pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. pada

umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit,

daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2

minggu.

Tahap lanjutan: pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang

penting untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh

khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan

mencegah terjadinya kekambuhan.


31

2. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Tabel 2.1 Obat Anti Tuberkulosis (Kemenkes RI, 2014)


Jenis Sifat Efek samping
Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis toksik,
gangguan fungsi hati, kejang
Rimfampisin (R) Bakterisidal Flu syndrome, gangguan gastrointestinal,
urine bewarna merah, gangguan fungsi
hati, trombositopeni, demam, skin rash,
sesak nafas, anemia hemolitik
Pirazinamid (Z) Bakterisidial Gangguan gastrointestinal, gangguan
fungsi hati, gout artitis
Streptomisin (S) Bakterisidial Nyeri ditempat suntiukan, gangguan
keseimbangan dan pendengaran, rejatan
anafilaktik, anemia agranulositosis,
trombositopeni
Etambutol (E) Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna,
neuritis perifer

Tabel 2.2 Kisaran dosis Obat Anti Tuberkulosis bagi pasien


dewasa(Kemenkes RI, 2014)
Dosis
Harian 3 x / minggu
OAT Kisaran dosis Maksimum Kisaran dosis Maksimum/h
(mg/kg BB) (mg) (mg/kg BB) ari (mg)
Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12 900
Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -
Streptomisin 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000

2.3.10Penanggulangan TB Paru

Sejalan dengan meningkatnya kasus TB Paru, pada awal tahun 1990-an

WHO dan IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB Paru yang

dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-

course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu:

1. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan


32

2. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikrokopis yang terjamin

mutunya

3. Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien

4. Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif

5. Sistem monitoring, pencatatan dan pelaposan yang mampu memberikan

penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien. Stategi ini

akan memutus rantai penularan TB Paru dan dengan demikian dapat

menurunkan insiden TB Paru di masyarakat. Menemukan dan

menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan

penularan TB Paru.

Pada tahun 2015 stategi DOTS diatas oleh Global Stop TB Partnership

stategi DOTS tersebut diperluas menjadi “Strategi Stop TB Paru” yaitu:

1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS

2. Merespon maslah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya

3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan

4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah

maupun swasta

5. Memberdayakan pasien dan masyarakat

6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian

(Kemenkes RI, 2014)


33

2.4 Kerangka Konsep

pengetahuan keluarga tentang


deteksi dini TB Paru yang
meliputi:
Faktor Internal Faktor Eksternal
1. Pengertian
1. Pendidikan 2. Penyebab 1. Lingkungan
2. Pekerjaan 3. Cara penularan 2. Sosial
3. umur 4. Faktor resiko tertular Budaya
penyakit TB
5. Pengobatan

Kriteria Pengetahuan
1. Baik: 76% - 100%
2. Cukup: 56% - 75%
3. Kurang: <55%

Keterangan

: diteliti

: tidak diteliti

: berpengaruh

Gambar 2.2 Kerangka konsep pengetahuan keluarga tentang deteksi dini TB Paru,
di wilayah kerja Puskesmas badegan
34

Anda mungkin juga menyukai