FRAKTURE VERTEBRAE
dan
CEDERA MEDULA SPINALIS
Oleh:
Pembimbing:
Pendamping Internsip:
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. YS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 44 tahun
Suku bangsa : Papua
Status marital : Belum menikah
No. Rekam Medis : 037569
Tanggal masuk RS : 20 Juni 2019
Tanggal pemeriksaan : 20 Juni 2019
2. ANAMNESIS : Autoanamnesa
STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang
Kesadaran / GCS : Compos mentis / 15
Tanda – tanda vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x / menit
Pernapasan : 22 x / menit
Suhu : 36,10C
Saturasi : 99%
Kepala : Normochepal
Wajah simetris, tidak tampak nyeri, tidak tampak luka
Mata : Struktur okular eksterna simestris, tidak ada lesi.
Conjungtiva anemis -/-; Sklera ikterik -/-, orthoforia
Pupil bulat, isokor, 3mm / 3mm
Visus baik ( lebih dari 1/60 )
Hidung : Struktur hidung externa di tengah
Cavitas nasal dalam batas normal.
Pemeriksaan Motorik
Massa otot
D S
Eutrophy Eutrophy
Eutrophy Eutrophy
Tonus
D S
Normotonus Normotonus
Hipotonus Hipotonus
Kekuatan
D S
5555 5555
0000 0000
Refleks fisiologis
D S
BPR +2 +2
TPR +2 +2
PTR +3 +3
ACR +3 +3
Refleks patologis
D S
Hofman - -
Trommer - -
Babinsky - -
Chaddok - -
Oppenheim - -
Klonus
D S
Patella - -
Achiles - -
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah lengkap
HB : 11,8 gr/ dl
GDS : 99 gr/dl
Foto Rontgen torako-lumbal AP-Lateral
MRI tulang belakang (torako-lumbal) untuk melihat letak lesi secara akurat.
5. DIAGNOSIS
Paraplegia et causa Frakture Kompresi Thoracal VIII
6. TATALAKSANA
Pemasangan kateter No 16
IVFD RL 1000cc/24 jam
Injeksi Dexamethason 5mg/24 jam
Injeksi Ceftriaxone 1 gram/12 jam
Injeksi ranitidine 50mg/12 jam
Daneuron 2x1 tab
Non-farmakologis:
7. PROGNOSIS
2.1. Definisi
Trauma medulla spinalis (TMS) adalah trauma pada tulang belakang yang menyebabkan
lesi di medulla spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan
kecacatan menetap atau kematian. Hal ini merupakan keadaan darurat neurologi yang
memerlukan tindakan yang cepat, tepat dan cermat untuk mengurangi angka kecacaan dan
kematian.
Insiden trauma medulla spinalis diperkirakan 30-40 per satu juta penduduk per tahun,
dengan sekitar 8.000-10.000 kasus per tahun. Angka mortalitas diperkirakan 48% dalam 24 jam
pertama, dan lebih kurang 80% meninggal di tempat kejadian, ini disebabkan bertebra servikalis
yang memiliki risiko utama yang paling besar.
2.2. Etiologi
Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti
yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak
medula spinalis.
Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti
penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau
kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik
eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor
neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit
neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital
dan perkembangan.
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi Fraktur Spinal Thorakolumbal
Klasifikasi
dari
trauma
medulla spinalis terbagi atas 2 kategori, yaitu berdasarkan skala impairment scale,
dan berdasarkan tipe/ lokasi trauma
Klasifikasi Impairment Scal
Menurut American Spinal Injury Association, trauma medulla spinalis
dikategorikan dalam 5 tingkatan yaitu tingkat A, B, C, D, dan E. Pembagiannya
adalah sebagai berikut :
Grade Tipe Gangguan Medulla Spinalis
A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu
sampai segmen S4-S5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi otot-otot
motorik utama masih memiliki kekuatan <3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot
motorik utama memiliki kekuatan >=3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal
1) Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi discus intervertebralis dan hematom. Yang
paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh corpus vertebra
yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2) Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan, hal ini
biasanya pada hiperfleksi. Toleransi medula spinalis terhadap peregangan akan menurun
dengan bertambahnya usia.
3) Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gangguan aliran
darah kapiler dan vena.
4) Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau sistem arteri spinalis anterior dan
posterior.
2.5. Diagnosis
Diagnosis trauma medulla spinalis tentu dimulai dengan penilaian kondisi jalan napas,
pernapasan, dan peredaran darah. Setelah ketiga ABC tersebut stabil, barulah dilakukan
anamnesis mengenai kejadian trauma, tipe trauma, keadaan pasien sebelum dan setelah trauma,
gejala-gejala penyerta seperti nyeri yang menjalar, kelumpuhan/hilangnya pergerakan, hilangnya
sensasi rasa, hilangnya kemampuan peristaltik usus, spasme otot, perubahan fungsi otonom dan
seksual. Perlu diingat bahwa penyebab trauma pasien juga harus ditelusuri, misalkan pasien
mengalami kelemahan terlebih dahulu baru kemudian terjatuh.
Setelah anamnesis, dilakukan penilaian generalis guna mengetahui penyebab trauma dan
apakah terdapat kelainan tulang dan sebagainya. Pasien yang diduga mengalami cedera tulang
servikal harus diperlakukan sangat hati-hati. Pemeriksaan neurologis pada cedera medula
spinalis meliputi penilaian berikut seperti:
- Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)
- Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti disfagia)
Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan completeness
dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis lainnya seperti cedera pleksus
brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi saraf spinal yang normal, seperti yang
diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut sebagai level neurologis dari lesi tersebut.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan foto polos vertebra yang merupakan langkah
awal untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang melibatkan medulla spinalis, kolumna vertebralis,
dan jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP, lateral, dan odontoid. Pada
cedera torakal dan lumbal, digunakan foto AP dan Lateral.
Untuk menegakkan diagnosis pasti dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan dan MRI
vertebra. CT-scan dapat lebih jelas memperlihatkan jaringan lunak, struktur tulang, dan kanalis
spinalis dalam potongan aksial. Sedangkan MRI dapat memperlihatkan keseluruhan struktur
internal medulla spinalis dalam sekali pemeriksaan. Selain imaging, pemeriksaan neurofisiologi
klinik seperti SSEP juga dapat dianjurkan
2.6. Tatalaksana
Pemberian Steroid
Metilprednisolon berperan sebagai factor anti-inflamasi dan mengurangi stress
oksidatif, menyelamatkan sel-sel dari kerusakan dengan cara mencegah iskemia, dan
dapat mengurangi edema
Bila diagnosis ditegakkan kurang dari 3 jam pasca trauma, dapat diberikan
kortikosteroid metilprednisolon 30 mg/KgBB intravena bolus selama 15 menit, ditunggu
selama 45 menit, kemudian diberikan infuse terus menerus metilprednisolon selama 24
jam dengan dosis 5.4 mg/KgBB/jam. Bila diagnosis baru ditegakkan dalam 3-8 jam,
maka cukup diberikan metilprednisolon dalam infuse untuk 48 jam. Bila diagnosis baru
diketahui setelah 8 jam, maka pemberian metilprednisolon tidak dianjurkan.
Operasi
Indikasi untuk operasi adalah adanya fraktur, pecahan tulang yang menekan medulla
spinalis, gambaran neurologis yang progresif memburuk, fraktur atau dislokasi yang
labil, terjadinya herniasi diskus intervertebralis yang menekan medulla spinalis.
Tindakan operasi dapat dilakukan dalam 24 jam sampai dengan 3 minggu pasca
trauma. Tindakan operatif awal (kurang dari 24 jam) lebih bermakna menurunkan
perburukan neurologis, komplikasi, dan keluaran skor motorik satu tahun pasca trauma.
Terapi bedah bertujuan untuk mengeluarkan fragmen tulang, benda asing, reparasi hernia
diskus, dan menstabilisasi vertebra guna mencegah nyeri kronis
Rehabilitasi Medik
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan pasien
cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training pada pasien ini
dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk mempertahankan
ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-
otot yang ada. Pasien dengan Central Cord Syndrome / CSS biasanya mengalami
pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik sehingga dapat berjalan dengan
bantuan ataupun tidak.
2.7. Prognosis
Sebuah penelitian prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa rata-rata harapan
hidup pasien cedera medula spinalis lebih rendah dibanding populasi normal. Penurunan rata-rata
lama harapan hidup sesuai dengan beratnya cedera. Penyebab kematian utama adalah komplikasi
disabilitas neurologik yaitu : pneumonia, emboli paru, septikemia, dan gagal ginjal
DAFTAR PUSTAKA
1. Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta :
Perdossi ; 2006.
2. Stewart R, Rotondo M, Henry S, etc. Advance Trauma Life Support. American Collage of
Surgeions Committee of Trauma. 10th edition. 2018
3. Rouanet C, Reges D, Rocha E, Gagliardi V, Silva G. Traumatic spinal cord injury: current
concepts and treatment update. 2017
4. Fehlings M, Tetreault L, Wilson J, Kwon B, Burns A, etc. A clinical practice guideline for
the management of acute spinal cord injury: introduction, rationale and scope. AOSPINE.
2017
5. Aarabi B, Bellabarba C, Chapman J, Dvorak M, etc. Spinal fracture classification system.
AOSpine knowledge forum initiative.