Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

FRAKTURE VERTEBRAE
dan
CEDERA MEDULA SPINALIS

Oleh:

dr. Theresia Herestuwito Naru

Pembimbing:

dr. Alberth Kapitarau Sp.B, FINACS

Pendamping Internsip:

dr. Fredrik Manufandu

PROGRAM INTERNSIP DOKTER RSUD KAIMANA


PAPUA BARAT
2020
BAB I
KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. YS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 44 tahun
Suku bangsa : Papua
Status marital : Belum menikah
No. Rekam Medis : 037569
Tanggal masuk RS : 20 Juni 2019
Tanggal pemeriksaan : 20 Juni 2019

2. ANAMNESIS : Autoanamnesa

Keluhan Utama : lemah pada kedua tungkai


Keluhan Tambahan : nyeri tulang belakang

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Os rujukan dari Puskesmas Lobo. Datang dengan keluhan lemah pada kedua tungkai,
sehingga tungkai susah digerakan sejak ± 6 bulan SMRS. Keluhan juga disertai dengan
nyeri tulang belakang. Os riwayat jatuh dari atap rumah ± 1 tahun SMRS, seelah jatuh
tidak ada keluhan lemah pada kedua tungkai, os hanya merasa nyeri pada bagian
punggung.
Os menyangkal adanya keluhan sulit BAB atau BAK, atau sulit menahan BAB &
BAK.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Disangkal
3. PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang
Kesadaran / GCS : Compos mentis / 15
Tanda – tanda vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x / menit
Pernapasan : 22 x / menit
Suhu : 36,10C
Saturasi : 99%

Kepala : Normochepal
Wajah simetris, tidak tampak nyeri, tidak tampak luka
Mata : Struktur okular eksterna simestris, tidak ada lesi.
Conjungtiva anemis -/-; Sklera ikterik -/-, orthoforia
Pupil bulat, isokor, 3mm / 3mm
Visus baik ( lebih dari 1/60 )
Hidung : Struktur hidung externa di tengah
Cavitas nasal dalam batas normal.

Mulut : Mukosa oral tampak basah


Uvula di tengah, lidah tidak terdapat deviasi
Telinga : Struktur telinga eksterna simetris, tidak ada jejas,sekret -/-

Leher : Tidak ada jejas


Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Tidak ada pembesaran tiroid
Thoraks : Inspeksi : Pergerakan dada simetris, tidak ada lesi
Palpasi : Taktil fremitus normal
(Paru) Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
: Auskultasi: Suara nafas vesikular, Ronki -/-, Wheezing -/-
(Jantung) : Auskultasi: Bunyi jantung I dan II normal, regular, tidak ada gallop dan
murmur
Abdomen : Inspeksi : abdomen datar, luka pada perut bagian bawah
Auskultasi: bising usus normal
Perkusi : timpani di seluruh regio abdomen
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, hati dan limpa tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, perfusi refill < 2 detik

Pemeriksaan Motorik

 Massa otot
D S

Eutrophy Eutrophy

Eutrophy Eutrophy

 Tonus
D S

Normotonus Normotonus

Hipotonus Hipotonus

 Kekuatan
D S

5555 5555

0000 0000

 Refleks fisiologis
D S

BPR +2 +2
TPR +2 +2

PTR +3 +3
ACR +3 +3

 Refleks patologis
D S

Hofman - -

Trommer - -
Babinsky - -
Chaddok - -
Oppenheim - -

 Klonus
D S

Patella - -

Achiles - -

Pemeriksaan Sensorik : Rangsang raba : Hipestesi setinngi umbilicus


Pemeriksaan Otonom : miksi, defekasi, keringat, ereksi tidak terganggu

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan darah lengkap
HB : 11,8 gr/ dl
GDS : 99 gr/dl
 Foto Rontgen torako-lumbal AP-Lateral
 MRI tulang belakang (torako-lumbal) untuk melihat letak lesi secara akurat.

5. DIAGNOSIS
Paraplegia et causa Frakture Kompresi Thoracal VIII

6. TATALAKSANA
 Pemasangan kateter No 16
 IVFD RL 1000cc/24 jam
 Injeksi Dexamethason 5mg/24 jam
 Injeksi Ceftriaxone 1 gram/12 jam
 Injeksi ranitidine 50mg/12 jam
 Daneuron 2x1 tab

Non-farmakologis:

 Rehabilitasi. Meningkatkan kemandirian dan rehabilitasi sosial


 Edukasi
o Agar terus dilakukan mobilisasi agar tidak terjadi kekakuan sendi

7. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad malam


Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
8. FOLLOW UP

Tanggal Subjective Objective Assesment Planning

21/06/2019 Nyeri punggung TD : 110/70 mmhg Paraplegia ec IVFD RL 1000cc/24


vas 2-3 HR : 80x.menit Frakture jam
BAB/BAK +/+ RR : 24x/menit Thoracal VIII Injeksi Dexamethason
S: 36,5 5mg/24 jam
Motorik 5555/5555 Injeksi Ceftriaxone 1
0000/0000 gram/12 jam
Sensorik : Injeksi ranitidine
Hipestesi setinggi 50 mg/12 jam
umbilicus Daneuron 2x1 tab
Refleks Fisiologis Bed Rest
tungkai +3/+3 Fisioterapi
Otonom: miksi,
defekasi,
keringat,ereksi
tidak terganggu
22/06/2019 Nyeri punggung + TD : 100/60 mmhg Paraplegia ec IVFD RL 1000cc/24
vas 2-3 HR : 80x/menit Frakture jam
BAB/BAK +/+ RR : 18x/menit Thoracal VIII Injeksi Dexamethason
S : 36,5 5mg/24 jam
Motorik 5555/5555 Injeksi Ceftriaxone 1
0000/0000 gram/12 jam
Sensorik : Injeksi ranitidine
Hipestesi setinggi 50 mg/12 jam
umbilicus Daneuron 2x1 tab
Refleks Fisiologis Bed Rest
tungkai +3/+3 Fisioterapi
Otonom: miksi,
defekasi,
keringat,ereksi
tidak terganggu
23/06/2019 Nyeri punggung + TD : 100/60 mmhg Paraplegia ec IVFD RL 1000cc/24
vas 2-3 HR : 83x/menit Frakture jam
BAB/BAK +/+ RR : 20x/menit Thoracal VIII Injeksi Dexamethason
S : 36,5 5mg/24 jam
Motorik 5555/5555 Injeksi Ceftriaxone 1
2222/2222 gram/12 jam
Sensorik : Injeksi ranitidine
Hipestesi setinggi 50 mg/12 jam
umbilicus Daneuron 2x1 tab
Refleks Fisiologis Bed Rest
tungkai +3/+3 Fisioterapi
Otonom: miksi,
defekasi, Plan : Rujuk Orthopedi
keringat,ereksi
tidak terganggu
24/06/2019 Nyeri punggung + TD : 100/60 mmhg Paraplegia ec IVFD RL 1000cc/24
vas 2-3 HR : 80x/menit Frakture jam
BAB/BAK +/+ RR : 20x/menit Thoracal VIII Injeksi Dexamethason
S : 36,5 5mg/24 jam
Motorik 5555/5555 Injeksi Ceftriaxone 1
4444/4444 gram/12 jam
Sensorik : Injeksi ranitidine
Hipestesi setinggi 50 mg/12 jam
umbilicus Daneuron 2x1 tab
Refleks Fisiologis Bed Rest
tungkai +3/+3 Fisioterapi
Otonom: miksi, Plan : Rujuk Orthopedi
defekasi,
keringat,ereksi
tidak terganggu
25/06/2019 Nyeri punggung + TD : 110/70 mmhg Paraplegia ec Aff infus
vas 2-3 HR : 80x/menit Frakture Rawat Jalan
BAB/BAK +/+ RR : 20x/menit Thoracal VIII
S : 36,5
Motorik 5555/5555
3333/3333
Sensorik :
Hipestesi setinggi
umbilicus
Refleks Fisiologis
tungkai +3/+3
Otonom: miksi,
defekasi,
keringat,ereksi
tidak terganggu
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Trauma medulla spinalis (TMS) adalah trauma pada tulang belakang yang menyebabkan
lesi di medulla spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan
kecacatan menetap atau kematian. Hal ini merupakan keadaan darurat neurologi yang
memerlukan tindakan yang cepat, tepat dan cermat untuk mengurangi angka kecacaan dan
kematian.
Insiden trauma medulla spinalis diperkirakan 30-40 per satu juta penduduk per tahun,
dengan sekitar 8.000-10.000 kasus per tahun. Angka mortalitas diperkirakan 48% dalam 24 jam
pertama, dan lebih kurang 80% meninggal di tempat kejadian, ini disebabkan bertebra servikalis
yang memiliki risiko utama yang paling besar.

2.2. Etiologi

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis :

 Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti
yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak
medula spinalis.

 Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti
penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau
kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik
eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor
neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit
neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital
dan perkembangan.
2.3 Klasifikasi
 Klasifikasi Fraktur Spinal Thorakolumbal

 Klasifikasi

dari

trauma
medulla spinalis terbagi atas 2 kategori, yaitu berdasarkan skala impairment scale,
dan berdasarkan tipe/ lokasi trauma
 Klasifikasi Impairment Scal
Menurut American Spinal Injury Association, trauma medulla spinalis
dikategorikan dalam 5 tingkatan yaitu tingkat A, B, C, D, dan E. Pembagiannya
adalah sebagai berikut :
Grade Tipe Gangguan Medulla Spinalis
A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu
sampai segmen S4-S5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi otot-otot
motorik utama masih memiliki kekuatan <3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot
motorik utama memiliki kekuatan >=3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal

 Klasifikasi Tipe dan Lokasi Trauma


i. Complete Spinal Cord Injury (Grade A)
a. Unilever
b. Multilevel
ii. Incomplete Spinal Cord Injury (Grade B, C, D)
a. Cervico medullary syndrome
b. Central cord syndrome
c. Anterior cord syndrome
d. Posterior cord syndrome
e. Brown sequard syndrome
f. Conus medullary syndrome
iii. Complete Cauda Equina Injury (Grade A)
iv. IncompleteCauda Equina Injury ( Grade B, C dan D)
2.4. Patofisiologi
Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara langsung. Selain itu,
trauma dapat pula menimbulkan fraktur dan instabilitas tulang belakang sehingga mengakibatkan
cedera pada medula spinalis secara tidak langsung.
Cedera sekunder berupa iskemia muncul karena gangguan pembuluh darah yang terjadi
beberapa saat setelah trauma. Iskemia mengakibatkan pelepasan eksitotoksin, terutama glutamat,
yang diikuti influks kalsium dan pembentukan radikal bebas dalam sel neuron di medula spinalis.
Semua ini mengakibatkan kematian sel neuron karena nekrosis dan terputusnya akson pada
segmen medula spinalis yang terkena. Deplesi ATP (adenosin trifosfat) akibat iskemia akan
menimbulkan kerusakan mitokondria. Selanjutnya, pelepasan sitokrom c akan mengaktivasi
ensim kaspase yang dapat merusak DNA (asam deoksiribonukleat) sehingga mengakibatkan
kematian sel neuron karena apoptosis. Edema yang terjadi pada daerah iskemik akan
memperparah kerusakan sel neuron.
Beberapa minggu setelah itu, pada daerah lesi akan terbentuk jaringan parut yang
terutama terdiri dari sel glia. Akson yang rusak akan mengalami pertumbuhan (sprouting) pada
kedua ujung yang terputus oleh jaringan parut tersebut. Akan tetapi hal ini tidak mengakibatkan
tersambungnya kembali akson yang terputus, karena terhalang oleh jaringan parut yang terdiri
dari sel glia. Kondisi demikian ini diduga sebagai penyebab terjadinya kecacatan permanen pada
trauma medulla spinalis.
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikutnya :

1) Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi discus intervertebralis dan hematom. Yang
paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh corpus vertebra
yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2) Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan, hal ini
biasanya pada hiperfleksi. Toleransi medula spinalis terhadap peregangan akan menurun
dengan bertambahnya usia.
3) Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gangguan aliran
darah kapiler dan vena.
4) Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau sistem arteri spinalis anterior dan
posterior.
2.5. Diagnosis

Diagnosis trauma medulla spinalis tentu dimulai dengan penilaian kondisi jalan napas,
pernapasan, dan peredaran darah. Setelah ketiga ABC tersebut stabil, barulah dilakukan
anamnesis mengenai kejadian trauma, tipe trauma, keadaan pasien sebelum dan setelah trauma,
gejala-gejala penyerta seperti nyeri yang menjalar, kelumpuhan/hilangnya pergerakan, hilangnya
sensasi rasa, hilangnya kemampuan peristaltik usus, spasme otot, perubahan fungsi otonom dan
seksual. Perlu diingat bahwa penyebab trauma pasien juga harus ditelusuri, misalkan pasien
mengalami kelemahan terlebih dahulu baru kemudian terjatuh.

Setelah anamnesis, dilakukan penilaian generalis guna mengetahui penyebab trauma dan
apakah terdapat kelainan tulang dan sebagainya. Pasien yang diduga mengalami cedera tulang
servikal harus diperlakukan sangat hati-hati. Pemeriksaan neurologis pada cedera medula
spinalis meliputi penilaian berikut seperti:

- Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)

- Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)

- Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)

- Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)

- Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti disfagia)

Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan completeness
dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis lainnya seperti cedera pleksus
brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi saraf spinal yang normal, seperti yang
diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut sebagai level neurologis dari lesi tersebut.

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan foto polos vertebra yang merupakan langkah
awal untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang melibatkan medulla spinalis, kolumna vertebralis,
dan jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP, lateral, dan odontoid. Pada
cedera torakal dan lumbal, digunakan foto AP dan Lateral.

Untuk menegakkan diagnosis pasti dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan dan MRI
vertebra. CT-scan dapat lebih jelas memperlihatkan jaringan lunak, struktur tulang, dan kanalis
spinalis dalam potongan aksial. Sedangkan MRI dapat memperlihatkan keseluruhan struktur
internal medulla spinalis dalam sekali pemeriksaan. Selain imaging, pemeriksaan neurofisiologi
klinik seperti SSEP juga dapat dianjurkan

2.6. Tatalaksana

Tujuan pengobatan pada trauma medulla spinalis adalah :


 Menjaga sel yang masih hidup agar terhindar dari kerusakan lanjut.
 Eliminasi kerusakan saraf akibat proses pathogenesis sekunder.
 Mengganti sel saraf yang rusak.
 Menstimulasi pertumbuhan akson dan koneksitiasnya
 Memaksimalkan penyembuhan deficit neurologis.
 Stabilisasi bertebra.
 Neurorestorasi dan neurorehabilitasi untuk mengembalikan fungsi tubuh.
 Tatalaksana di Unit Gawat Darurat
Tindakan darurat mengacu pada :
1. A (Airway)
Menjaga jalan napas tetap lapang.
2. B (Breathing)
Mengatasi gangguan pernafasan, kalau perlu lakukan intubasi
endotrakeal (-ada cedera medulla spinalis servikal atas) dan
pemasangan alat bantu napas supaya oksigenasi adekuat.
3. C (Circulation)
Memperhatikan tanda-tanda hipotensi, terjadi karena pengaruh
pada system saraf ortosimpatis.
 Target MAP ≥ 85 mmhg untuk trauma tumpul dan
penetrasi inkomplit pada medulla spinalis
 Target MAP ≥ 65 mmhg untuk trauma penetrasi komplit
Harus dibedakan antara :
a. Syok Hipovolemik (hipotensi, takikardi, ekstremitas
dingin).
b. Syok Neurogenik (hipotensi, bradikardi, ekstremitas
hangat), pemberian cairan tidak akan menaikkan tensi,
maka harus diberikan obat vasopressor :
- Dopamine untuk menjaga MAP >70
- Bila perlu adrenalin 0,2 mg sk
- Dan boleh diulangi 1 jam kemudian
4. Selanjutnya
 Pasang foley kateter untuk monitor hasil urine dan egah
retensi urine.
 Pasang pipa NGT (hati-hati pada cedera cervical) dengan
tujuan untuk :
- Dekompresi lambung pada distensi
- Kepentingan nutrisi enteral
5. Pemeriksaan Umum dan Neurologis Khusus
 Jika terdapat fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis
- Servikal : pasang kerah fiksasi leher, jangan
dimanipulasi dan disamping kiri-kanan leher ditaruh
bantal pasir.
- Torakal : lakukan fiksasi (torakolumbal brace)

- Lumbal : Fiksasi dengan korset lumbal


Jika pasien perlu dipindahkan, maka harus
menggunakan tekhnik fireman’s carry atau log-roll, yaitu
dibutuhkan minimal tiga orang pada masing-masing sisi
dengan orang keempat yang memimpin gerakan sekaligus
mempertahankan posisi kepala dengan traksi aksial secara
gentle (4-7 kg) menggunakan satu tangan pada dagu (chin)
dan tangan lainnya pada oksiput.

 Pemberian Steroid
Metilprednisolon berperan sebagai factor anti-inflamasi dan mengurangi stress
oksidatif, menyelamatkan sel-sel dari kerusakan dengan cara mencegah iskemia, dan
dapat mengurangi edema
Bila diagnosis ditegakkan kurang dari 3 jam pasca trauma, dapat diberikan
kortikosteroid metilprednisolon 30 mg/KgBB intravena bolus selama 15 menit, ditunggu
selama 45 menit, kemudian diberikan infuse terus menerus metilprednisolon selama 24
jam dengan dosis 5.4 mg/KgBB/jam. Bila diagnosis baru ditegakkan dalam 3-8 jam,
maka cukup diberikan metilprednisolon dalam infuse untuk 48 jam. Bila diagnosis baru
diketahui setelah 8 jam, maka pemberian metilprednisolon tidak dianjurkan.

 Operasi
Indikasi untuk operasi adalah adanya fraktur, pecahan tulang yang menekan medulla
spinalis, gambaran neurologis yang progresif memburuk, fraktur atau dislokasi yang
labil, terjadinya herniasi diskus intervertebralis yang menekan medulla spinalis.
Tindakan operasi dapat dilakukan dalam 24 jam sampai dengan 3 minggu pasca
trauma. Tindakan operatif awal (kurang dari 24 jam) lebih bermakna menurunkan
perburukan neurologis, komplikasi, dan keluaran skor motorik satu tahun pasca trauma.
Terapi bedah bertujuan untuk mengeluarkan fragmen tulang, benda asing, reparasi hernia
diskus, dan menstabilisasi vertebra guna mencegah nyeri kronis

 Rehabilitasi Medik
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan pasien
cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training pada pasien ini
dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk mempertahankan
ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-
otot yang ada. Pasien dengan Central Cord Syndrome / CSS biasanya mengalami
pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik sehingga dapat berjalan dengan
bantuan ataupun tidak.

2.7. Prognosis
Sebuah penelitian prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa rata-rata harapan
hidup pasien cedera medula spinalis lebih rendah dibanding populasi normal. Penurunan rata-rata
lama harapan hidup sesuai dengan beratnya cedera. Penyebab kematian utama adalah komplikasi
disabilitas neurologik yaitu : pneumonia, emboli paru, septikemia, dan gagal ginjal
DAFTAR PUSTAKA

1. Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta :
Perdossi ; 2006.
2. Stewart R, Rotondo M, Henry S, etc. Advance Trauma Life Support. American Collage of
Surgeions Committee of Trauma. 10th edition. 2018
3. Rouanet C, Reges D, Rocha E, Gagliardi V, Silva G. Traumatic spinal cord injury: current
concepts and treatment update. 2017
4. Fehlings M, Tetreault L, Wilson J, Kwon B, Burns A, etc. A clinical practice guideline for
the management of acute spinal cord injury: introduction, rationale and scope. AOSPINE.
2017
5. Aarabi B, Bellabarba C, Chapman J, Dvorak M, etc. Spinal fracture classification system.
AOSpine knowledge forum initiative.

Anda mungkin juga menyukai