Anda di halaman 1dari 12

Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah Kanun Jurnal Ilmu Hukum

Ilyas Ismail No. 58, Th. XIV (Desember, 2012), pp. 333-344.

PEMBATASAN LUAS MAKSIMUM PENGUASAAN TANAH

MAXIMUM WIDE LIMIT OF OWNING LAND

Oleh: Ilyas Ismail *)

ABSTRACT
This article is aimed to explore the rules relating to the limit of maximum land wide
owning in terms of balancing land owning fairly. In regard with such purpose, the study
on rules and experts perspective is conducted. The findings are that although there are
rules regulate the limit of the land owning for agriculture, the rules are providing the
chance for imbalance owning that has been put under personal title right and for the
corporation with exploration rights. The rule on the limit for buildings is limited to title
right for home, and it is based on the minister decree. The rules are tend to imbalance
the owning of the land and difficult to fulfill fair ownership. Thus, it is required for the
rule regulating the maximum limit of the land either for agriculture or building by
looking at the availability and need of it for several necessary.

Keywords: Maximum Wide Limit, Owning Land.

A. PENDAHULUAN

Suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa di satu sisi luas tanah tidak bertambah bahkan

cenderung berkurang akibat berbagai macam peristiwa alam tetapi disisi lain kebutuhan tanah

semakin bertambah seiring bertambahnya jumlah penduduk. Lahirnya Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang biasa disebut juga Undang-

Undang Pokok Agraria (UUPA) memberikan arahan penguasaan dan penggunaan tanah yang dapat

mengakomodir berbagai kepentingan. Oleh karena sebagaian besar penduduk Indonesia adalah

petani maka salah satu tujuan pokok yang ingin capai melalui UUPA pada saat itu adalah

meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk

membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani,

dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. Sejalan dengan tujuan pokok tersebut melarang

penguasaan dan penggunaan tanah yang melampaui batas, dan bagi yang menguasai tanah melebihi

batas maksimum maka kelebihan tanah tersebut diambil oleh negara untuk kemudian di bagi-

bagikan kepada orang yang tidak mempunyai tanah atau yang mempunyai tanah dengan luas yang

*)
DR. Ilyas Ismail, S.H., M.Hum. adalah Dosen Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

ISSN: 0854-5499
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah
No. 58, Th. XIV (Desember, 2012). Ilyas Ismail

terbatas dan kepada bekas pemilik yang tanahnya diambil oleh negara diberikan ganti kerugian.

Pada saat itu yang telah ditetapkan batas maksimumnya hanya terhadap tanah pertanian.

Penetapan luas maksimum penguasaan tanah pertanian ternyata tidak mampu terdistribusinya

tanah-tanah pertanian secara berkeadilan bahkan cenderung menumpuknya tanah pertanian pada

suatu subjek tertentu karena memang ada pengecualian diberikan ketentuan perundang-undangan.

Di samping itu semakin meningkatnya nilai ekonomis tanah mengkibatkan semakin tajammya

kesenjangan sosial antara mereka yang mempunyai akses yang memungkinkan penguasaan tanah-

tanah bangunan yang melampaui batas kewajaran dihadapkan dengan mereka yang paling

membutuhkan tanah, namun tidak mempunyai akses untuk mempunyainya. 1 Sehubungan dengan

hal tersebut urgen untuk ditelaah kembali ketentuan perundangan yang mengatur batas luas

maksimimun penguasaan tanah pertanian dan pentingnya penetapan luas batas maksimun

penguasaan tanah bangunan.

Untuk membahas permasalahan tersebut dilakukan telaahan terhadap data sekunder berupa

ketentuan perundang-undangan dan literatur yang terkait.

B. PEMBAHASAN

1. Batas Maksimum Penguasaan Tanah Pertanian

Salah satu tujuan dilahirkan UUPA adalah dimaksudkan untuk meletakkan dasar-dasar bagi

penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,

kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat

yang adil dan makmur. Sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai itu maka dalam batang tubuh

UUPA ditetapkan beberapa ketentuan dasar yang dipandang dapat memfasilitasi tercapainya tujuan

UUPA. Ketentuan tersebut antara lain sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 UUPA yang

menyebutkan “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah

yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Lebih lanjut dalam Pasal 17 ayat (1) UUPA pada

1
Maria SW. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, 2008, hlm. 11.

334
Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Ilyas Ismail No. 58, Th. XIV (Desember, 2012).

intinya disebutkan bahwa untuk mencapai sebesar besar kemakmuran rakyat diatur luas maksimum

dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak oleh satu keluarga atau badan

hukum.

Pengaturan mengenai batas maksimum khusus tanah pertanian kemudian diatur dalam

Undang-Undang Nomor 56/PRP/Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UU

56/1960). Dalam Pasal 1 ayat (2) UU 56 /1960 disebutkan bahwa penetapan luas maksimun tanah

pertanian yang dapat dipunyai oleh seseorang atau satu keluarga ditentukan oleh tingkat kepadatan

penduduk dan luas suatu daerah, dan rentangnya antara 5 (lima) hektar sampai dengan 15 (lima

belas) hektar untuk tanah sawah atau 6 (enam) hektar sampai dengan 20 (dua puluh) hektar untuk

tanah kering atau akumulasi keduanya yang seluruhnya tidak melebihi 20 (dua puluh) hektar.

Namun demikian dalam Pasal 2 ayat ((1) disebutkan bahwa dengan memperhatikan keadaan yang

sangat khusus Menteri dapat menambah luas maksimum tersebut paling banyak menjadi 25 (dua

puluh lima) hektar. Keadaan yang sangat khusus tersebut antara lain misalnya tanahnya sangat

tandus dan jumlah anggota keluarganya sangat besar.2

Lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (4) disebutkan bahwa ketentuan luas maksimum tersebut

tidak berlaku terhadap tanah pertanian; (a) yang dikuasai dengan hak guna usaha atau hak-hak

lainnya yang bersifat sementara dan terbatas yang didapat dari pemerintah, (b) yang dikuasai oleh

badan-badan hukum.

Paling tidak ada tiga hal yang dapat dicermati dari aturan tersebut. Pertama, bahwa

penetapan batas maksimum penguasaan tanah pertanian merupakan hal mutlak yang harus

dilakukan sebagai prasyarat untuk terwujudnya sebesar besar kemakmuran rakyat khususnya rakyat

tani. Adanya indikasi ketimpangan penguasan tanah, sebagaian kecil orang yang menguasai

sebagaian besar tanah dan sebagian besar orang menguasai sebagian kecil tanah. Hanya 0,2%

penduduk Indonesia mengusai 56% asset nasional yang sebagian besarnya dalam bentuk tanah,

namun dipihak lain paling tidak pada periode 1993 – 2003 jumlah petani gurem bertambah dari 10,8

335
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah
No. 58, Th. XIV (Desember, 2012). Ilyas Ismail

juta menjadi 13,7 juta orang.3 Kedua, batas maksimum yang ditetapkan dalam UU 56/1960 tidak

cocok lagi untuk kondisi sekarang, jumlah penduduk sekarang sudah lebih dari dua kali lipat

dibandingkan pada tahun 1960, disamping itu luasan tanah pertanian cenderung berkurang akibat

peristiwa alam dan alih fungsi lahan. Paling tidak tiap tahun 100.000 hektar lahan pertanian

produktif beralih fungsi, terutama sawah di Pulau Jawa untuk berbagai keperluan, termasuk untuk

industri.4 Kondisi ini tentu akan semakin sempitnya lahan pertanian yang dapat dimanfaatkan petani

untuk menghidupi dirinya dan keluarganya.

Bahkan menurut Nurhasan Ismail5 pembatasan luas maksimum yang ditentukan dalam UU

56/1960 yang didasarkan pada beberapa variabel sehingga menghasilkan batas maksimum yang

sangat variatif tersebut cenderung telah membuka peluang kepada petani kaya untuk tetap

memepertahankan pemilikan tanah yang luas. Hal tersebut dapat dicermati dari hal-hal sebagai

berikut;6 (1) luas tanah yang ditetapkan sebagai batas maksimum penguasaan dan pemilikan tanah

pertanian masih cukup tinggi dibandingkan dengan rata-rata luas penguasaan tanah mayoritas

petani, yaitu kurang dari 0,5 hektar dan bahkan terdapat petani yang tidak bertanah dalam jumlah

yang cukup besar yaitu 60% dari seluruh petani yang ada. Penetapan batas maksimum seluas 5

(lima) hektar sawah atau 6 (enam) hektar tegalan di daerah yang sangat padat seperti di jawa masih

10 (sepuluh) kali lipat dibandingan dengan rata-rata luas pemilikan tanah yang ada; (2) penempatan

faktor tingkat kepadatan penduduk per-kabupaten sebagai dasar penentuan untuk menentukan luas

maksimum menunjukkan adanya pertimbangan yang rasional tetapi didalamnya terkandung

pemberian perlindungan kepada kelompok petani kaya untuk tetap dapat menguasai dan memiliki

tanah yang luas. Karena, di satu sisi realitanya tidak semua tanah yang ada dalam suatu kabupaten

dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian namun di sisi lain tanah-tanah pertanian yang subur dan

luas telah terlebih dahulu dimiliki oleh petani kaya. Karena itu pula seharusnya batas maksimum

2
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan Pelaksanaannya,
Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 75.
3
Surat Kabar Harian Kompas, Ketimpangan Penguasaan Lahan Menjadi Persoalan, 6 Januari 2012.
4
Surat Kabar Harian Kompas, Kepastian Lahan Industri, 24 Juli 2012
5
Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan, Pendekatan Ekonomi Politik, (Perubahan Pilihan Kepentingan, Nilai Sosial
dan Kelompok Diuntungkan), HuMa, Jakarta, 2007, hlm. 184.

336
Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Ilyas Ismail No. 58, Th. XIV (Desember, 2012).

ditetapkan berdasarkan luas tanah yang secara potensial dapat digunakan untuk usaha pertanian

bukan didasarkan pada seluruh luas tanah yang terdapat disetiap kabupaten; (3) faktor jumlah

anggota keluarga sejumlah 7 (tujuh) orang dan dimungkinkan penambahan luas tanah 10% setiap

penambahan anggota keluarga sampai batas maksimum 20 (dua puluh) hektar bahkan atas

pertimbangan Menteri memungkinkan penambahan 5 (lima) hektar dari batas maksimum tersebut,

cenderung menguntungkan petani kaya dan sekaligus menguarangi potensi luas tanah yang dapat

diambil alih oleh negara untuk diredistribusikan kepada petani miskin. Menurut Erman

Rajagukguk. 7 batas maksimum penguasaan tanah di Indonesia tinggi dibandingkan dengan di

Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan pada waktu negara-negara tersebut melaksanakan program

landreform, karena itu batas maksimum penguasaan tanah di Jawa harus dikurangi menjadi dua

hektar, sehingga diperoleh tambahan tanah untuk dibagikan kembali para petani yang tidak

mempunyai tanah.

Ketiga, pengecualian berlakunya batas maksimun tanah pertanian bagi Hak Guna Usaha

(HGU) terutama yang dikuasai oleh badan hukum cenderung semakin tertumpuknya tanah pada

perusahaan-perusahan perkebunan. Pemberian HGU dengan luasan yang relatif tidak terbatas telah

membatasi peluang pemanfaatan tanah petanian oleh petani setempat, bahkan terdapat indikasi juga

bahwa tanah-tanah yang digarap oleh petani setempat berdasarkan hukum adat cenderung dianggap

oleh pemerintah sebagai tanah negara untuk kemudian diberikan HGU kepada perusahaan

perkebunan, disamping itu terdapat juga indikasi penggarapan rakyat atas tanah HGU perkebunan

yang tidak diuasahakan. Disadari atau tidak kondisi tersebut telah menimbulkan konflik antara

perusahaan perkebunan dengan warga setempat yang tidak hanya menimbulkan kerugian

materiil/harta benda tetapi juga menimbulkan korban jiwa. Pada tahun 2011 Konsorsium

Pembaharauan Agraria mencatat bahwa konflik agraria melibatkan 69.975 keluarga di seluruh

6
Nurhasan Ismail, ibid., hlm 186-190
7
Erman Rajagukguk, Reforma Agraria dan Ketahanan Pangan, Makalah disampaikan pada Konferensi Internasional “Regulatory
Reform On Indonesian Land Laws For People’s Welfare”, Kerjasan FH UI dan BPN RI, Jakarta, 11 Desember 2012, hlm. 19.

337
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah
No. 58, Th. XIV (Desember, 2012). Ilyas Ismail

Indonesia yang bersengketa atas 476.048 hektar lahan dan menimbulkan korban jiwa sejumlah 22

(dua puluh dua) orang.8

Adanya pengecualian terhadap tanah-tanah pertanian yang dikuasai dengan status HGU

dan/atau yang dukuasai oleh badan hukum mengindikasikan bahwa pembentuk undang-undang

mengabaikan substansi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan “bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar

besar kemakmuran rakyat”. Tentu sulit untuk dapat terwujudnya sebesara-besar kemakmuran rakyat

apabila sebagian besar rakyat tani Indonesia hanya menguasai lahan dalam luasan yang sangat kecil

sedangkan penguasaan lahan yang sangat luas berada pada sebagian kecil orang. Apapun

pertimbangannya telah berimplikasi pada ketimpangan penguasaan tanah. Perlakuan khusus dan

berlebihan kepada perusahaan perkebunan yang menguasai tanah dengan HGU dengan luasan yang

reltif tidak terbatas telah mencederai semangat program landreform sebagaimana diamanatkan

dalam UUPA yang pada intinya menginginkan adanya pemerataan penguasaan tanah secara

berkeadilan. Karena itu menjadi tidak sejalan, apabila di satu sisi ada undang-undang yang

membatasi penguasaan tanah oleh perorangan tetapi di sisi lain tidak mempunyai undang-undang

yang mengatur pembatasan penguasaan perusahaan atas tanah pertanian termasuk HGU. 9

Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha,

Hak Guna Banguan dan Hak Pakai Atas Tanah (PP 40/1996), pembatasan luas maksimum

penguasaan tanah dengan HGU hanya ditentukan terhadap penguasaan tanah oleh perorangan,

yaitu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (2) PP 40/1996 yang menyebutkan bahwa luas

maksimum tanah yang dapat diberikan dengan HGU kepada perorangan adalah dua puluh lima

hektar. Sedangkan yang dapat diberikan kepada badan hukum tidak ditentukan secara konkrit tetapi

diberikan keleluasan kepada pejabat pemberi HGU dengan mempertimbangkan luas yang

diperlukan bagi pelaksanaannya usahanya, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3) PP

8
Surat Kabar Harian Kompas, Sengketa Lahan Dibiarkan, 29 Mei 2012.
9
Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Pidato Kepala Badan Pertanahan Nasional RI 2009, Pusat Hukum dan Hubungan
Masyarakat BPN RI, 2009, hlm. 112.

338
Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Ilyas Ismail No. 58, Th. XIV (Desember, 2012).

40/1996 yang menyebutkann bahwa luas maksimum tanah yang dapat diberikan dengan HGU

kepada badan hukum ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat

yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan, dengan mengingat luas yang diperlukan untuk

pelaksanaan suatu satuan usaha yang paling berdayaguna di bidang yang bersangkutan.

Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1999 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian

Hak Atas Tanah Negara (PMNA/KBPN 3/1999) hanya mengatur mengenai batas kewenangan

Kepala Kanwil BPN Propinsi dalam pemberian HGU yaitu maksimum 200 hektar, dan untuk luas

yang melebihi dari 200 hektar menjadi kewenangan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Pusat.

Dalam aturan tersebut tidak disebutkan batas luas maksimum yang dapat diberikan HGU oleh

Menteri.

Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah untuk usaha perkebunan dengan status HGU

sebenarnya telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi (PMNA/KBPN 2/1999), yang dalam Pasal 4

disebutkan bahwa izin lokasi dapat diberikan kepada suatu perusahaan dan perusahaan-perusahaan

lain yang merupakan satu group perusahaan dengannya untuk usaha perkebunan dengan luas

maksimum 60.000 hektar di satu propinsi dan 150.000 hektar di seluruh Indonesia untuk komoditas

tebu, sedangkan untuk komoditas lainnya maksimum 20.000 hektar di satu propinsi dan 100.000

hektar di seluruh Indonesia. Walaupun ketentuan tersebut dikecualikan terhadap penguasaan tanah

untuk BUMN dan BUMD, badan usaha yang seluruh atau sebagaian besar sahammya dimiliki

Negara baik Pemerintah maupun pemerintah daerah, dan badan usaha yang seluruh atau sebagian

sahamnya dimilki oleh masyarakat (go publik).

Berbeda dengan ketentuan tersebut, dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor

26/Permentan/Ot.140/2/2007 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, yang dalam Lampiran

3 dirincikan batas maksimum penggunaan areal perkebunan oleh 1 (satu) perusahaan perkebunan

untuk suatu komoditi tertentu, yang antara lain menyebutkan batas maksimum untuk usaha

339
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah
No. 58, Th. XIV (Desember, 2012). Ilyas Ismail

perkebunan tebu 150.000 hektar dan untuk usaha perkebunan kelapa sawit 100.000 hektar. Terkait

dengan ketentuan tersebut sekarang ini Pemerintah dalam hal ini Unit Kerja Presiden bidang

Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) lagi membahas rencana perubahan terhadap

peraturan tersbut terutama berkenaan dengan batas maksimum tersebut karena dipandang

menggerogoti rasa keadilan masyarakat, sehingga nantinya diharapkan batas maksimum tersebut

adalah untuk satu group/kelompok/holding perusahaan, tidak lagi untuk setiap perusahaan.10

Sebenarnya formulasi batas maksimum yang diatur dalam Permentan tersebut di atas tidak

perlu terjadi apabila memperhatikan PMNA/KPBN 2/1999 yang memformulasikan batas

maksimum untuk suatu perusahaan dan untuk suatu group perusahaan. Artinya batas maksimum

tersebut berlaku untuk suatu group/holding perusahaan. Namun demikian untuk saat ini batas

maksimum tersebutpun perlu ditinjau kembali mengingat keterbatasan lahan dan keperluan lahan

bagi petani untuk menghidupi dirinya dan keluarganya.

Tentu sebelum menentukan batasan luas maksimum tersebut hal yang sangat penting harus

dilakukan adalah identifikasi dan inventarisasi penguasaan tanah secara menyeluruh, yang meliputi

objek, subjek, dan struktur penguasaannya. Informasi menganai hal-hal tersebut harus telah tersedia

terlebih dahulu sebelum reformulasi kebijakan menganai batas maksimun penguasaan tanah

pertanian dilakukan.

Selama ini data mengenai penguasaan tanah pertanian terpencar di berbagai institusi, yang

cenderung tidak saling melengkapi bahkan tumpang tindih dan berbeda antara satu dengan lainnya,

karena itu perlu sentralisasi data pertanahan yang lengkap dan mutakhir yang dapat dijadikan dasar

dalam penentuan batas maksimum penguasaan tanan dan tentu untuk berbagai keperluan lainnya.

2. Batas Maksimum Penguasaan Tanah Bangunan

Salah satu prinsip landreform yang dianut dalam hukum agraria nasional adalah larangan

penguasaan tanah yang melampai batas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 dan Pasal 17

10
http://agroindonesia.co.id/2012/08/28/batas-kepemilikan-kebun-bakal-dibatasi/, diunduh 13 Pebruari 2013 jam 10.00

340
Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Ilyas Ismail No. 58, Th. XIV (Desember, 2012).

UUPA, karena itu pula perlu ditentukan batas maksimum penguasaan tanah yang diperkenankan

bagi seseorang atau satu keluarga dan suatu badan hukum baik terhadap tanah pertanian maupun

terhadap tanah bangunan. Dalam Pasal 12 UU No. 56/1960 disebutkan bahwa maksimum luas dan

jumlah tanah perumahan dan pembangunan lainnya serta pelaksanaan selanjutnya diatur dengan

Peraturan Pemerintah. Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 12 disebutkan bahwa oleh karena

pembatasan mengenai tanah-tanah untuk perumahan tidak sepenting tanah-tanah pertanian dan tidak

menyangkut banyak orang maka hal tersebut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun

hingga saat ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum juga terbit.

Penentuan batas maksimum tanah bangunan pada saat ini sama pentingnya dengan

penentuan batas maksimum tanah pertanian. Kebutuhan tanah untuk tempat hunian dan usaha

semakin meningkat disatu sisi dan indikasi penumpukan tanah dengan luasan di atas kewajaran

pada sebagian kecil orang disisi lain harus menjadi perhatian serius pemerintah untuk menerbitkan

aturan mengenai batasan maksimum penguasaan tanah bangunan. Dalam sejarahnya telah pernah

ada aturan yang bermaksud membatasi penguasaan tanah termasuk tanah bangunan, yaitu

Peraturan Menteri Agraria Nomor 14 Tahun 1961 tentang Permintaan dan Pemberian Izin

Pemindahan Hak Atas Tanah, Peraturan Direktur Jenderal Agraria Nomor 4 Tahun 1968 tentang

Penyelenggaraan Izin Pemindahan Hak Atas Tanah, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

SK.59/DDA/1970 tentang Penyederhanaan Peraturan Perizinan Pemindahan Hak Atas Tanah, yang

antara lain mengatur bahwa diharuskan mengajukan permohonan izin pemindahan hak atas tanah

dalam hal penerima hak tersebut telah mempunyai lima bidang tanah termasuk yang dipunyai oleh

suami/ isteri dan anak-anak yang menjadi tanggungannya. Walaupun Peraturan-peraturan tersebut

tidak berlaku lagi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah, namun telah menunjukkan bahwa pernah dilakukan upaya untuk membatasi penguasaan

tanah bangunan.

WIB.

341
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah
No. 58, Th. XIV (Desember, 2012). Ilyas Ismail

Dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6

Tahun 1998 Tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal, antara lain

disebutkan bahwa dalam mengajukan permohonan hak milik atas tanah untuk rumah tinggal

pemohon harus melampirkan pernyataan bahwa dengan perolehan Hak Milik yang dimohon

tersebut yang bersangkutan akan mempunyai Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal tidak lebih

dari 5 (lima) bidang yang seluruhnya meliputi luas tidak lebih dari 5.000 (lima ribu) M2. Ketentuan

tersebut telah agak lebih maju dibandingkan dengan peraturan sebelumnya yang telah dicabut,

namun keputuasan tersebut masih belum cukup memadai, paling tidak atas dasar dua alasan,

sebagai berikut: (1) aturan tersebut masih pada level keputusan menteri, walaupun potensi untuk

dapat disebut sebagai salah satu ketentuan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam UU

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tetapi levelnya berada di

bawah Peraturan Pemerintah semagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 12 UU 56/1960; (2) ruang

lingkup pengaturannya masih terbatas pada tanah bangunan dengan status hak milik untuk tempat

hunian, padahal tanah bangunan tidak hanya dapat berstatus hak milik tetapi dapat juga berstatus

hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai. Di samping itu penggunaan tanah bangunan juga tidak

hanya untuk tempat hunian tetapi juga untuk tempat usaha.

Terkait dengan hal tersebut Maria SW. Sumardjono11 menyatakan bahwa dalam penentuan

batas maksimum tanah bangunan yang dapat dikuasai oleh seseorang dan suatu badan hukum dapat

menggunakan dua alternatif kriteria, yaitu (1) menentukan batas luas tertentu (misalnya 5.000 m2

bagi daerah strategis dan 10.000 m2 bagi daerah lain dengan penentuan bidang tanah sekitar lima

atau sepuluh bidang; atau (2) hanya menentukan batas luas tertentu tanpa menentukan jumlah

bidang tanahnya. Lebih lanjut disebutkan bahwa alternatif kedua lebih fleksibel mengingat adanya

kemungkinan penetapan luas kapling tanah yang diatur oleh pemerintah daerah untuk berbagai

penggunan, dan juga perlu disadari bahwa penetapan batas maksimum untuk perorangan relatif

11
Maria SW. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif….., loc.cit, hlm. 14.

342
Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Ilyas Ismail No. 58, Th. XIV (Desember, 2012).

lebih mudah dibandingkan pembatasan untuk badan hukum, karena pembatasan untuk badan hukum

memerlukan pertimbangan berdasarkan jenis serta volume usaha sehingga akan bervariasi.

Pembatasan tanah bangunan untuk badan hukum seyogyanya juga perlu ketegasan bahwa

badan hukum tersebut dalam arti suatu badan hukum tertentu dan badan hukum-badan hukum yang

merupakan suatu group perusahaan/holding company, sebagaimana juga diperlakukan dalam

pembatasan penguasaan tanah pertanian.

C. PENUTUP

Pengaturan mengenai batas maksimum penguasaan tanah pertanian dalam ketentuan

perundang-undangan yang telah ada cenderung menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan.

Indikasi ketidakadilan karena pembatasan itu hanya terhadap perorangan sedangan terhadap badan

hukum yang menguasai tanah dengan status HGU diberikan perlakuan khusus. Walaupun dalam

peraturan teknis terdapat pembatasannya namum pembatasn tersebut masih membuka peluang

terkonsentrasinya tanah pertanian yang luas pada subjek tertentu sedangkan sebagian besar petani

tidak mempunyai luasan tanah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan

keluarganya. Karena itu diperlukan pengaturan kembali menganai batas maksimum penguasaan

tanah yang dapat mengakomodir kebutuhan petani dan investor secara berkeadilan.

Terhadap tanah bangunan belum ada aturan mengenai batas maksimunnya kecuali terhadap

terhadap penguasaan tanah dengan status hak milik untuk tempat hunian, itupun pengaturannnya

masih berdasarkan Peraturan Menteri. Mengingat pembatasan tanah bangunan adalah sama

pentinganya dengan pembatasan tanah pertanian maka perlu juga segera diterbitkan aturan paling

tidak dalam bentuk peraturan pemerintah, yang antara lain mengatur; batas luas dan atau bidang

yang dapat dikuasai oleh perorangan dan badan hukum; yang objeknya meliputi tanah bangunan

untuk hunian dan tanah bangunan untuk tempat usaha. Tentu penentuan batas maksimum tersebut

dengan memeprhatikan ketersediaan dan kebutuhan tanah untuk berbagai kepentingan.

343
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah
No. 58, Th. XIV (Desember, 2012). Ilyas Ismail

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pertanahan Nasional, 2009, Himpunan Pidato Kepala Badan Pertanahan Nasional RI 2009,
Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat BPN RI, Jakarta.

Harsono, Boedi, 2005, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.

Ismail, Nurhasan,2007, Perkembangan Hukum Pertanahan, Pendekatan Ekonomi Politik,


(Perubahan Pilihan Kepentingan, Nilai Sosial dan Kelompok Diuntungkan), HuMa,
Jakarta.

Rajagukguk, Erman, 2012, Reforma Agraria dan Ketahanan Pangan, Makalah disampaikan pada
Konferensi Internasional “Regulatory Reform On Indonesian Land Laws For People’s
Welfare”, Kerjasan FH UI dan BPN RI, Jakarta, 11 Desember 2012.

Sumardjono, Maria SW., 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Surat Kabar Harian Kompas, Ketimpangan Penguasaan Lahan Menjadi Persoalan, 6 Januari 2012.

Surat Kabar Harian Kompas, Kepastian Lahan Industri, 24 Juli 2012.

Surat Kabar Harian Kompas, Sengketa Lahan Dibiarkan, 29 Mei 2012.

http://agroindonesia.co.id/2012/08/28/batas-kepemilikan-kebun-bakal-dibatasi/, diunduh 13
Februari 2013 jam 10.00 WIB.

344

Anda mungkin juga menyukai