Anda di halaman 1dari 16

IDENTIFIKASI PEMASARAN KOMODITAS TEMBAKAU

HULU HINGGA HILIR DI DESA WUNUT


KABUPATEN TEMANGGUNG

Proposal Penelitian untuk Tesis S-2

Diajukan Oleh
MUIDATUL AZIZAH
181103977

Kepada
MAGISTER MANAJEMEN
STIE WIDYA WIWAHA YOGYAKARTA
2020
PROPOSAL
A. Latar Belakang
Pertanian merupakan salah satu basis ekonomi yang menjadi penentu
ketahanan pangan dan peningkatan taraf hidup petani Indonesia. Salah satu
hasil pertanian yang cukup banyak mendatangkan devisa bagi Indonesia ialah
tembakau. Hal ini lantaran Indonesia merupakan salah satu negara penghasil
tembakau yang menempati urutan ke 5 dunia dengan jumlah produksi
tembakau sebesar 135.678 ton, atau sekitar 1.9% dari total produksi tembakau
dunia (IAKMI, 2014). Di Indonesia sendiri, tembakau dihasilkan dari 3
kelompok, yakni Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negera (PTPN),
dan Perkebunan Besar Swasta (PBS), dimana mayoritas tembakau dihasilkan
dari perkebunan rakyat (Umam, 2019). Menurut Ahsan (2019), terdapat tiga
provinsi penghasil tembakau terbesar di Indonesia yaitu Jawa Timur, Nusa
Tenggara Barat (NTB), dan Jawa Tengah. Pada tahun 2015, produksi
tembakau ketiga provinsi tersebut mencapai 174,6 ton atau 90% dari total
produksi tembakau nasional yang mencapai 193,8 ribu ton (Ahsan, 2019).
Temanggung merupakan sebuah kota kecil di Provinsi Jawa Tengah,
dengan lereng yang menghadap kearah timur dan mendapat penyinaran yang
baik di siang hari, dataran cukup tinggi, unsur hara tanah yang baik serta suhu
optimal sehingga sangat baik untuk tanaman tembakau. Kondisi tersebut
dimanfaatkan petani Temanggung untuk menanam tembakau dari pada padi
dan sayuran dengan keuntungan lebih kecil dibandingkan dengan tembakau.
Hal ini dilakukan untuk memanfaatkan lahan yang ada untuk memperbaiki
kesejahteraan hidup para petani dengan menanam tembakau.
Terkenal dengan julukannya sebagai kota tembakau lantaran
Temanggung mampu menghasilkan tembakau berkualitas baik, karena itu
harga tembakau di Temanggung cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan
tembakau di daerah lain. Hampir semua petani yang memiliki lahan
persawahan berusaha memanfaatkan lahanya untuk ditanami tembakau di
musim kemarau karena dirasakan sangat menguntungkan dengan harga jual
yang tinggi. Namun komoditas tembakau di Kabupaten Temanggung sekarang
ini bukanlah seperti masa-masa lalu. Kini petani tembakau sudah banyak
merugi lantaran harga jual yang semakin turun dari tahun ke tahun sehingga
membuat masyarakat harus melakukan apapun untuk menutup biaya yang
dikeluarkan tanaman tembakaunya, termasuk meminjam modal dengan bunga
yang tinggi.
Petani tembakau menghadapi banyak masalah terkait harga dan hasil
tembakau yang rendah, banyak dari mereka terjebak dalam perjanjian
kemitraan dengan industri tembakau, yang menentukan kualitas dan harga
daun. Salah satu peran Kementerian Perdagangan untuk melindungi petani
tembakau ialah degan mengeluarkan Peraturan Menteri No. 84/2017 tentang
pembatasan impor tembakau. Peraturan ini mengharuskan industri tembakau
untuk membeli tembakau dalam negeri dan mengurangi impor (Ahsan, 2019).
Namun sayangnya peraturan tersebut belum terlaksana dengan optimal
lantaran masih tingginya impor tembakau di Indonesia, hal tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1.
Impor Tembakau Menurut Negara Asal Utama, 2010-2018

Negara Asal 2014 2015 2016 2017 2018


Berat bersih dalam Kg
Tiongkok 46 216,8 38 622,5 39 947,2 56 524,4 38 555,9
Amerika
Serikat 5 323,9 5 487,2 7 536,2 7 414,7 11 618,6
Turki 5 990,2 5 362,8 5 676,6 3 352,3 4 844,0
Brazil 8 797,6 6 715,3 7 006,1 15 345,9 21 772,6
Zimbabwe 4 236,8 2 748,5 4 002,2 6 425,1 14 501,7
India 4 415,1 3 259,9 3 818,2 4 499,4 4 127,0
Srilanka 229,8 273,9 317,8 233,3 149,4
Italia 2 689,8 1 546,4 816,0 1 238,0 2 180,7
Hongkong 0,0 1 263,6 69,0 20,0 0,0
Yunani 1 964,3 916,7 66,6 606,4 2 050,6
Lainnya 15 867,7 9 156,2 12 246,1 23 885,4 21 589,0
Jumlah 95 732,0 75 353,0 81 501,9 119 544,9 121 389,5
Sumber : Badan Pusat Statistik (2019)
Tabel 1 diatas menunjukkan adanya penurunan impor sebanyak 75.353
kg di tahun 2015 dari 95.732 kg di tahun 2014, namun pada tahun selanjutnya
impor tembakau di Indonesia megalami kenaikan sebanyak 81.502,9 kg pada
tahun 2016, naik menjadi 119.544,9 kg di tahun 2017 dan kembali naik
sebanyak 121.389,5 kg di tahun 2018. Tingginya angka impor selama 3 tahun
terakhir menujukkan bahwa peran pemerintah dalam membantu menekan
angka impor untuk membudidayakan hasil tembakau nasional belum
terlaksana dengan baik.
Pada bidang sosial, ekonomi, dan perdagangan tembakau rakyat
berperan penting. Perusahaan rokok yang berproduksi harus menggunakan
tembakau rakyat sebagai bahan utama dalam proses produksi. Prinsipnya
pemerintah seharusnya tidak menghambat perkembangan pertanian dan
kehidupan pertanian bahkan seharusnya, pemerintah membantu
mengembangkannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang lebih
baik. Pemasaran pertanian tembakau di Temanggung saat ini masih
menggunakan sistem monopsoni yaitu penjual dengan jumlah banyak dan
pembeli dengan jumlah sedikit. Perekonomian petani menjadi terombang-
ambing tidak pasti.
Hal yang terjadi di daerah Wunut Temanggung adalah masih
banyaknya petani tembakau yang tidak memiliki modal dan harus
memproduksi tembakau untuk mensejahterakan keluargannya dengan
mengajukan hutang kepada tengkulak yaitu kaum Cina. Setelah produksi
selesai hasil tembakau rakyat tersebut harus dibawa ke gudang milik
tengkulak Cina dengan harga dan berat per keranjangnya ditentukan dari
tengkulak. Di sisi lain bunga dari pinjaman modal sangatlah tinggi, hal ini
sama halnya dengan kerja rodi yang dilakukan di zaman modern saat ini. Uang
hasil penjualan tidak cukup untuk menutup pinjaman modal, hasil produksi
dihargai dengan kisaran harga rendah.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka peneliti tertarik untuk
mengidentifikasi analisis pemasaran komoditas tembakau hulu hingga hilir di
Desa Wunut Kabupaten Temanggung.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka dapat
diidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Penjualan hasil tembakau di Desa Wunut Temanggung harus dijual pada
kaum Cina sebagai tengkulak yang meminjamkan modal awal kepada
petani tembakau;
2. Penentuan harga jual tembakau di Desa Wunut Temanggung tembakau
ditentukan oleh tengkulak atau penguasa pasar;
3. Rendahnya harga beli tembakau di Desa Wunut Temanggung terhadap
tengkulak tembakau;

C. Pertanyaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Bagaimana proses pemasaran tembakau hulu hingga hilir di Desa Wunut
Kabupaten Temanggung?
2. Apasajakah permasalahan yang dihadapi petani dalam memasarkan
tembakau hulu hingga hilir di Desa Wunut Kabupaten Temanggung?
3. Bagaimana solusi untuk megatasi permasalahan proses pemasaran
tembakau hulu hingga hilir yang ada di Desa Wunut Kabupaten
Temanggung?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Mengidentifikasi proses pemasaran tembakau hulu hingga hilir di Desa
Wunut Kabupaten Temanggung;
2. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi petani dalam memasarkan
tembakau hulu hingga hilir di Desa Wunut Kabupaten Temanggung;
3. Menentukan solusi untuk megatasi permasalahan proses pemasaran
tembakau hulu hingga hilir yang ada di Desa Wunut Kabupaten
Temanggung;
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang diharapkan akan memberikan manfaat sebagai
berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Dibidang Ilmu Pendidikan Luar Sekolah, dapat menambah kajian
pengetahuan Pemberdayaan Masyarakat, khususnya kesejahteraan
pertanian, kesejahteraan ekonomi, dan kesejahteraan sosial.
b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan penelitian
sejenis dimasa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pemerintah setempat, sebagai bahan pemikiran untuk
pengembangan kesejahteraan petani tembakau.
b. Memberikan informasi mengenai tingkat kesejahteraan petani
tembakau di Kabupaten Temanggung khususnya di Desa Wunut.

F. Tinjauan Pustaka
1. Komoditas Tembakau
Tanaman tembakau merupakan merupakan salah satu komoditi
yang strategis dari jenis tanaman semusim perkebunan. Peran tembakau
bagi masyarakat cukup besar, hal ini karena aktivitas produksi dan
pemasarannya melibatkan sejumlah penduduk untuk mendapatkan
pekerjaan dan penghasilan. Komoditi tembakau juga merupakan komoditi
yang kontroversial yaitu antara manfaat dan dampaknya terhadap
kesehatan, sehingga dalam pengembangannya harus mengacu pada
penyeimbangan supply dan demand, peningkatan produktivitas dan mutu
serta peningkatan peran kelembagaan petani. Untuk memcapai usahatani
tembakau yang profesional, maka telah dilakukan intensifikasi tembakau
antara lain melalui; 1) penggunaan benih unggul, baik berupa penggunaan
benih introduksi maupun lokal; 2) pengolahan tanah sesuai dengan baku
teknis; 3) pengaturan air termasuk peramalan iklim; 4) pemupukan
tanaman; 5) perlindungan tanaman dan 6) panen serta pasca panen. Areal
pertanaman di indonesia, rata-rata setiap tahun seluas 200.000 ha dengan
produksi 170.000 ton (Dahlan, 2011).
Menurut Dahlan (2011), tanaman tembakau (Nicotianae tabacum
L) termasuk genus Nicotinae, serta familia Solanaceae. Spesies-spesies
yang mempunyai nilai ekonomis adalah Nicotianae Tabocum L dan
Nicotianae Rustica dan syarat tumbuh tanaman tembakau dengan rincian
sebagai berikut :
a. Nicotiana rustica L mengandung kadar nikotin yang tinggi (max n =
16 %) biasanya digunakan untuk membuat abstrak alkoloid (sebagai
bahan baku obat dan isektisida), jenis ini banyak berkembang di Rusia
dan India.
b. Nicotiana tabacum L mengandung kadar nikotin yang rendah (min n =
0,6 %) jenis ini umumnya digunakan sebagai bahan baku pembuatan
rokok. Susunan taksonomi Nicotianae tabacum L sebagai berikut :
Famili : Solanaceae
Subfamili : Nicotianae
Genus : Nicotiana
Subgenus : Tabacum
c. Tanah
Pada dasarnya tembakau menghendaki tanah yang subur dan gembur
serta mengandung humus yang cukup. Selanjutnya tanah diusahakan
agar tidak cepat menjadi kering jika beberapa waktu tidak ada hujan.
Sebaliknya tanah juga diusahakan tidak terlalu basah apabila beberapa
kali ada hujan lebat karena pada keadaan demikian tanaman tembakau
tidak akan tahan. Tanah liat yang subur dapat juga ditanami tembakau
asal tanah dikerjakan dengan baik sehingga menjadi gembur. Begitu
juga pada tanah berpasir yang subur dapat ditanami tembakau asalkan
tanah banyak mengandung humus atau lumpur sehingga tidak cepat
menjadi kering. Tanaman tembakau memiliki sistem perakaran yang
relatif dangkal, namun sangat peka terhadap drainase yang kurang
baik, sehingga persediaan air yang cukup didalam tanah sangat
diperlukan. Tanaman tembakau dapat tumbuh baik pada pH 5,5-6,5
pada umumnya tanah yang mudah meluluskan air lebih sesuai untuk
pertanaman tembakau, namun tanah tersebut harus mempunyai
kapasitas menahan air yang cukup.
d. Iklim
Keberhasilan usaha pertanaman tembakau sangat dipengaruhi oleh
keadaan iklim selama masa pertumbuhannya. Faktor-faktor iklim yang
dipengaruh antara lain: curah hujan, kelembaban, penyinaran dan suhu.
Diantara faktor-faktor tersebut curah hujan merupakan faktor yang
paling besar pengaruhnya. Suhu optimum bagi pertumbuhan tembakau
berkisar antara 18-270 C. Pada umumnya tembakau musim kemarau
(VO) daunnya lebih tebal dari tembakau musim penghujan (NO).
Indonesia tembakau ditanam di tempat-tempat yang berbeda-beda
iklimnya, ada yang di pegunungan tinggi misalnya di Diyeng (2000-
2300 m) ada yang di lereng-lereng gunung seperti di Garut, Kuningan
dan lain-lain tempat, ada yang di dataran seperti Bojonegoro, dan
banyak pula di daerah-daerah tak jauh dari pantai laut, misalnya di
Kendal. Kebun-kebun tembakau perusahaan besar,
2. Tata Niaga Tembakau di Indonesia
Tata niaga merujuk pada sistem perdagangan komoditas tertentu
yang mencakup proses dan kondisi yang terjadi, mulai pemasaran hingga
komoditi itu sampai di tangan konsumen. Adapun istilah tata niaga
tembakau yang digunakan di sini merujuk pada sistem atau mata rantai
pemasaran tembakau dari petani hingga ke konsumen. Dalam hal ini,
tembakau diposisikan sebagai barang bebas yang tidak diatur tata
niaganya. Oleh karena itu, harga tembakau ditentukan berdasarkan kualitas
tembakau dan kebutuhan pabrik yang menggunakannya. Pemerintah tidak
membangun regulasi apapun dalam hal ini. Tembakau tidak dikategorikan
sebagai komoditas unggulan yang diperhatikan negara. Bahkan Kementan
sendiri tidak memiliki perhatian lebih terhadap komoditas Tembakau.
Asumsi ini diperkuat oleh absennya kebijakan nasional yang secara khusus
mengatur mengenai komoditas tembakau. Alhasil, pengaturan komooditas
tembakau diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar (Markus, 2015).
3. Kebijakan Hulu Hilir Komoditas Tembakau
a. Kebijakan Produksi Tembakau
Menurut Murdiyati et al (2006) terdapat beberapa masalah budi
daya tembakau yang mengakibatkan ditolaknya tembakau oleh
perusahaan. Masalah yang pertama adalah ketidakmurnian varietas
tembakau yang ditanam. Benih tembakau buatan petani pada
umumnya juga tidak murni karena seringkali petani mengambil benih
dari daerah lain sehingga meningkatkan ketidakmurnian varietas yang
ditanam. Sehingga, pemerintah harus tegas dalam usaha meningkatkan
mutu tembakau rakyat. Caranya adalah dengan mengupayakan agar
varietas yang ditanam petani adalah sesuai dan murni dengan apa yang
diinginkan perusahaan. Disini Balittas harus selalu menyertakan petani
dalam memilih morfologi tanaman yang sesuai dengan jenisnya, dan
meminta bantuan perusahaan untuk menetapkan varietas yang sesuai
mutunya.
Masalah kedua yang muncul adalah budi daya yang tidak
sesuai dengan standar. Misal saja, di daerah Bojonegoro seringkali
tanaman tembakau virginia rajangan tidak dipangkas, dan dosis pupuk
yang diberikan juga rendah, sehingga hasilnya rendah dan mutu tidak
sesuai dengan kebutuhan pabrik rokok. Sebaliknya pada petani
Madura, untuk meningkatkan hasil tembakau petani seringkali
memberikan pupuk dan jumlah air yang berlebihan, sehingga tanaman
menjadi sangat besar, tetapi mutu daunnya menurun dan tidak sesuai
dengan kebutuhan pabrik rokok. Sehingga yang harus dilakukan
adalah meningkatkan sistem kemitraan antara petani dengan
perusahaan. Dengan sistem ini diharapkan dapat meningkatkan
pelaksanaan budi daya petani yang tepat karena ada jaminan harga dan
pasar dari perusahaan.
Beralih ke masalah pencampuran tembakau. Banyak terjadi
praktek pemalsuan tembakau di masyarakat. Missal saja yang selama
ini menjadi kiblat adalah tembakau Madura dan Temanggung. Karena
harga dua varietas ini mahal maka terkadang tembakau dari daerah lain
dimasukkan ke daerah ini dan diakui sebagai varietas dari Madura dan
Temanggung. Efeknya perusahaan akan kesulitan mengidentifikasi
tembakau tersebut dan menilai bahwa kualitasnya rendah. Jadi, untuk
meminimalisir hal ini pemerintah daerah harus membuat peraturan
daerah yang berguna dalam mencegah masuknya tembakau dari daerah
lain ke daerahnya. Hal ini untuk menjaga keaslian dari varietas
tembakau yang dihasilkan daerah tersebut.
b. Kebijakan Tenaga Kerja
Peranan industri pengolahan tembakau masih sangat besar
dalam merekrut tenaga kerja. Industri rokok menyediakan lapangan
kerja bagi sekitar 10 juta angkatan kerja, atau jika dilihat dari jumlah
angkatan kerja yang mencapai 100 juta tiap tahunnya, maka jumlah
tersebut mengurangi 10% pengangguran. Jadi, banyak orang tertopang
hidupnya dari industri ini. Namun, sayangnya kesejahteraan mereka
masih belum bisa dibilang bagus karena upah yang terkadang tidak
sesuai dengan UMR. Perusahaan haruslah memberikan tunjangan,
reward, dan punishment bagi pekerjanya (Prabaningrum dan Suci,
2008).
Terlebih perusahaan juga harus memberikan batasan mengenai
umur tenaga kerja minimal yang diperbolehkan untuk bekerja.
Perusahaan baik yang bergerak di skala multinasional maupun industry
rumah tangga harus memahami mengenai umur minimal yang
diperbolehkan untuk bekerja. Human Rights Watch (HRW) pada tahun
2016 mengeluarkan laporan mengenai pekerja anak di pertanian
tembakau di Indonesia, dari 132 anak yang diwawancara menyatakan
bahwa bekerja di pertanian tembakau mengganggu sekolah. Bahkan
mereka dibayar dengan upah yang sangat rendah. Termasuk
didalamnya perusahaan juga harus mengatur mengenai tenaga kerja
perempuan, seluruh stakeholder harus memperhatikan benar hal ini
agar tidak terjadi eksploitasi tenaga kerja. Perempuan tidak hanya
diposisikan sebagai pekerja kasar yang bisanya melinting rokok atau
merajang tembakau. Perempuan juga ahrus diberikan kesempatan
untuk bisa menempati posisi strategis dalam perusahaan. Tiap tenaga
kerja hendaknya juga memperoleh kesempatan untuk mengikuti
pelatihan agar skillnya bisa meningkat sehingga tercipta efisiensi kerja.
c. Kebijakan Pemasaran Tembakau
Selama ini tidak ada standar baku mengenai grading dari
kualitas tembakau, sehingga petani tidak memiliki pegangan ketika
menjual produknya. Terlebih ketika rantai pemasaran tembakau
dikuasai oleh satu pihak (pengepul) saja. Handaka dan Surokim (2014)
menyebutkan jika dalam kegiatan pemasaran tembakau telah di
dominasi pedagang Cina. Mereka dengan leluasa bisa menentukan
kualitas dan harga tembakau. Mengingat kondisi yang seperti ini maka
bisa dibuat suatu kebijakan agar pemerintah membangun gudang
tembakau beserta teknologi pengolahannya bagi daerah-daerah sentra
penghasil tembakau.
Keberadaan gudang bisa menampung tembakau dari petani.
Ketika tembakau tidak ada stoknya, gudang akan menaikkan harga.
Pada saat itulah tembakau di gudang dijual, maka petani bisa
mendapatkan untung dari penjualan itu. Hal ini dirasa perlu agar harga
tembakau di pasar tidak dimainkan oleh pengepul. Pemerintah juga
bisa mendorong lahirnya industry rumah tangga yang bergerak dalam
pengolahan tembakau menjadi rokok atau tembakau kering. Dengan
begitu petani akan memiliki pilihan dan penentuan harga tidak
dimonopoli oleh satu pihak.
d. Kebijakan Polutan Industri Tembakau
Rokok menghasilkan limbah puntung rokok yang terbukti
memiliki kandungan zat polutan yang bisa mencemari lingkungan
terutama air. Setiap tahunnya, limbah puntung rokok diprediksi
mencapai 845.000 ton yang mencemari kandungan air tanah, aliran
sungai, dan menjadi sampah yang paling banyak mencemari laut
(Kementerian Kesehatan, 2015). Dari laporan yang sama, diketahui
bahwa konsumsi rokok mencapai 332 miliar batang, yang artinya
terdapat jumlah yang sama untuk limbah puntung rokok. Limbah
tersebut akan terus bertambah setiap tahun seiring konsumsi rokok
yang terus meningkat.
Puntung rokok dianggap sangat berbahaya karena mengandung
asetat selulosa yang butuh hingga butuh 12 tahun untuk terurai.
Terlebih masih banyaknya kandungan bahan kimia yang terkandung di
dalamnya mampu mencemari air dan mengganggu kelanjutan
ekosistem. Jika dibiarkan tentu kondisi ini akan berpengaruh pada
pencemaran lingkungan di Indonesia terutama kemudahan akses
terhadap air bersih. Maka perlu ada kebijakan dari pemerintah dan
perusahaan mengenai bagaimana cara memanfaatkan putung rokok.
Perusahaan harus dibebankan untuk bisa mengolah dan mendaur ulang
putung rokok agar tidak menjadi sampah dan polusi. Dengan begitu,
perusahaan memiliki kewajiban tambahan dalam rangka mengolah
produk-produk buangan dari industry yang dihasilkannya.
e. Kebijakan Pengembangan Daerah Produksi
Kedepan pemerintah lewat kementerian terkait, terutama
kementerian perindustrian haruslah jelas dalam membuat Peta Jalan
Produksi Industri Hasil Tembakau (IHT). Lewat kebijakan ini
diharapkan pemerintah sudah mengetahui rencana sasaran, strategi dan
kebijakan yang akan diambil. Sehingga pertumbuhan produksi dan
usaha bisa tercapai. Termasuk didalamnya rencana jangka panjang dan
dampak sosial budaya yang ditimbulkan dari adanya industri
tembakau. Menurut Suprapti (2010), pemerintah harus sudah memiliki
master plan menegenai daerah mana yang akan dijadikan daerah basis
baru. Daerah basis tidak bisa diharapkan secara terus menerus karena
suatu saat bisa merusak kandungan hara tanahnya. Sehingga daerah
non basis harus dilirik untuk bisa dikembangkan menjadi daerah basis
baru. Pemerintah harus menentukan spesifikasi lokasi baru yang cocok
untuk tanaman tembakau dengan harapan kualitas dan produktivitas
yang dihasilkan tinggi. Dengan begitu diharapkan daerah basis bisa
beristirahat agar kandungan haranya bisa teregenerasi.
f. Kebijakan Diversifikasi Hasil Tanaman Tembakau
Selama ini ketika berbicara mengenai tembakau maka akan
selalu dianalogikan dengan rokok. Padahal tembakau bisa saja diolah
menjadi beragam produk selain rokok. Untuk meminimalisir bahaya
rokok maka pemerintah sudah harus mengarahkan tembakau sebagai
bahan baku produk non rokok. Menurut Santoso dan Kusumastuti
(2008) tembakau bisa dijadikan sebagai pewarna kain. Pemerintah
harus memiliki pandangan baru bahwa tidak selamanya rokok menjadi
hasil olahan tembakau. Temuan ini bisa dijadikan acuan pemerintah
dalam mengembangkan industry tembakau. Terlebih tembakau juga
bisa digunakan sebagai bahan baku protein anti kanker (Growth
Colony Stimulating Factor) dan menstimulasi antibodi terhadap
Human Papiloma Virus (HPV), yang menjadi penyebab kanker mulut
Rahim.
Pengujian Kromatografi Gas (GC) dalam Hasan dan Dwidjono
(2013) menunjukkan minyak atsiri yang diekstrak dari tembakau
tersusun oleh beragam komponen kimia. Minyak atsiri tersebut secara
umum tidak lagi mengandung zat-zat kimia yang berbahaya, seperti
nikotin. Keunggulan minyak atsiri tembakau sebagai senyawa yang
bersifat antimikroba, antioksidan, dan beraroma merupakan potensi
yang dapat dikembangkan. Minyak atsiri tembakau memungkinkan
pengolahan produk turunan tembakau menjadi beragam produk
industri meliputi, farmasi, kosmetik, pembersih rumah tangga, dan
lainnya. Pemerintah harus menginisiasi riset-riset yang bertujuan untuk
menemukan produk-produk turunan dari tembakau, sehingga
tembakau tidak hanay diproses menjadi rokok saja. Jalan lainnya
Kemenkes dapat bersinergi dengan Kementan dan Kemenperin untuk
melakukan diversifikasi produk tembakau yang tidak selalu berbentuk
rokok, tetapi dalam bentuk-bentuk lain.

G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif melalui
pendekatan ini peneliti dapat menghasilkan data yang bersifat deskriptif guna
mengungkap faktor dan proses terjadinya di lapangan. Sugiyono (2017)
menyatakan bahwa penelitian kualitatif digunakan untuk mendapatkan data
yang mendalam dan suatu data yang mengandung makna. Sedangkan
penelitian deskriptif merupakan uraian sistematis tentang teori dan hasil-hasil
penelitian yang relevan dengan variabel yang diteliti. Teknik pengumpulan
data dilakukan degan menggunakan metode wawancara dan dokumentasi.
Teknik analisis data adalah suatu proses untuk mengatur dan
mengorganisasikan urutan data yang didapatkan dari hasil wawancara kedalam
suatu pola untuk mendapatkan bantuan pada tema sehingga mudah dipahami
dan datanya dapat di informasikan kepada orang lain. Terdapat tiga tahapan
yang di gunakan dalam analisis data (Sugiyono, 2015), yaitu:
1. Reduksi Data (Data Reduction)
Reduksi data adalah proses dalam memilih dan merangkum hal-hal
penting dan memfokuskannya pada hal-hal yang penting. Data yang sudah
di fokuskan akan memberikan gambaran yang jelas terhadap penulis dan
dan memudahkan penulis dalam pengumpulan data selanjutnya.
2. Penyajian Data (Data Display)
Penyajian data merupakan proses perangkaian informasi yang
memungkinkan penelitian dilakukan, penyajian data dapat di peroleh dari
keterkaitan kegiatan atau table dan jaringan kerja. Namun penyajian yang
sering digunakan dalam penelitian kualitatif adalah penyajian dalam bentuk
teks yang bersifat naratif. Penyajian data akan lebih teroganisasikan,
tersusun dalam pola sehingga lebih mudah dipahami.
3. Menarik Kesimpulan atau Verifikasi
Kesimpulan dilakukan setelah reduksi data, penyajian data dan
akhirnya menarik kesimpulan, pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara, observasi, dan studi dokumentasi, kesimpulan yang dapat
mengarah pada jawaban dari pertanyaan yang diajukan peneliti pada
narasumber. Hasil setelah menyajikan data dalam bahasa yang dimengerti
yaitu dari penyajian data yang didapatkan peneliti akan dilakukan
penarikan kesimpulan.

H. Daftar Pustaka
Ahsan, Wiyono, Veruswati. 2019. Kajian Impor Tembakau di Indonesia:
Kondisi, Tantangan dan Kebijakan. UI Publishing: Jakarta Pusat
Badan Pusat Statistik (2019)
Handaka, Tatag dan Surokim. 2014. Pola Komunikasi Kelompok Petani
Tembakau Madura Sebagai Basis Penyusunan Kebijakan
Pemberdayaan Ekonomi Politik. Jurnal Karsa 23(2): 223-239
Hasan, Fuad, dan Dwidjono Hadi Darwanto. 2013. Prospek dan Tantangan
Usahatani Tembakau Madura. Jurnal SEPA 10(1): 63-70
Kementerian Kesehatan. 2015. Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI. Diakses http://www.depkes.go.id/resources/download/
pusdatin/ infodatin/infodatin.pdf. pada tanggal 1 Februari 2019 Pukul
08.30 WIB
Murdiyati, A.S., Djajadi, dan Anik Herwati. 2006. Upaya Pembenahan Mutu
Tembakau Rakyat. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat
Malang: 148-155.
Prabaningrum, Veranita dan Suci Wulansari. 2008. Upaya Pengendalian
Tembakau dalam Pembangunan Kesehatan. Majalah Kedokteran
Indonesia 58(1): 20-25.
Santoso, E., dan Kusumastuti, A. 2008. Pemanfaatan Daun Tembakau untuk
Pewarnaan Kain Sutera dengan Mordan Jeruk Nipis. Jurnal Teknobuga
1(1): 15-24.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suprapti, Isdiana. 2010. Analisis Ekonomi Regional Komoditas Tembakau di
Kabupaten Pamekasan. Jurnal Embryo 7(1): 8-14

Anda mungkin juga menyukai