Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

STROKE NON HEMORAGIK

STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB)

Oleh :

NAAFI WIJAYANTI

I4B020079

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

PROGRAM PROFESI NERS

PURWOKERTO

2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Stroke merupakan penyakit terbanyak ketiga setelah penyakit jantung dan
kanker, serta merupakan penyakit penyebab kecacatan tertinggi di dunia.1 Menurut
American Heart Association (AHA), pada tahun 2010 prevalensi stroke mencapai
angka 33 juta pasien di dunia. Stroke adalah penyebab kematian ke-5 di Amerika
dengan angka penderita sebanyak 795.000 pasien/tahun dan pasien yang meninggal
sebanyak 129.000 jiwa.2
Hampir setengah dari pasien stroke yang selamat mengalami kecacatan dari
yang ringan sampai berat.3 Diperkirakan angka kematian akibat stroke sebanyak 24-
38 orang setiap tahunnya di beberapa negara Uni Eropa, seperti Jerman, Itali, Inggris,
Spanyol dan Perancis.3 Asia yang sebagian besarnya merupakan negara berkembang
memiliki jumlah penderita yang lebih banyak dibandingkan dengan negara maju.4
Pada konferensi stroke internasional tahun 2008 juga didapatkan bahwa jumlah kasus
di kawasan Asia terus meningkat.5
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi penyakit stroke di
Indonesia meningkat seiring bertambahnya umur. Kasus stroke tertinggi yang
terdiagnosis tenaga kesehatan terjadi pada usia >75 tahun (43,1%) dan terendah pada
kelompok usia 15-24 tahun (0,2%). Prevalensi berdasarkan jenis kelamin yaitu lebih
banyak pada laki-laki (7,1%) dibandingkan dengan perempuan (6,8%). Berdasarkan
tempat tinggal, prevalensi di perkotaan lebih tinggi (8,2%) dibandingkan dengan
daerah pedesaan (5,7%). Berdasarkan data 10 besar penyakit terbanyak di Indonesia
tahun 2013, prevalensi kasus stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan sebesar 7,0 per mill dan 12,1 per mill untuk yang terdiagnosis memiliki
gejala stroke. Prevalensi tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Utara (10,8%) dan
terendah di provinsi Papua (2,3%). Provinsi Lampung memilik angka kejadian
sebanyak 42.815 orang (7,7%).8 Diperkirakan kasus stroke yang paling terjadi di
dunia, adalah SNH dengan presentase 85-87% dari semua kasus stroke.9
Stroke atau yang dikenal juga dengan istilah gangguan peredaran darah otak
(GPDO), disebut juga sebagai serangan otak (brain attack) ditandai dengan hilangnya
sirkulasi darah ke otak secara tiba-tiba yang dapat mengakibatkan terganggunya
fungsi neurologis.1,10 Terdapat dua jenis utama stroke yaitu SNH dan stroke
hemoragik. Stroke juga memiliki jenis ketiga yaitu, serangan iskemik transien atau
Transient Ischemic Attack) (TIA). TIA adalah stroke ringan yang berfungsi sebagai
tanda peringatan awal stroke yang mungkin terjadi kembali. Stroke non hemoragik
terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu (iskemik) yang
disebabkan oleh oklusi atau stenosis arteri. Oklusi ini disebabkan oleh trombosis dan
emboli, yang semuanya dapat menyebabkan hipoperfusi yaitu pengurangan atau
gangguan dalam aliran darah otak (CBF) yang menyebabkan aliran ataupun asupan
glukosa dan oksigen berkurang sehingga mempengaruhi fungsi neurologis.
Sedangkan stroke hemoragik terjadi bila arteri di otak pecah, menumpahkan darah ke
dalam ruang yang mengelilingi sel-sel otak atau ketika aneurisma otak pecah.
B. TUJUAN
Mengetahui pengertian, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis,
komplikasi, pemeriksaan penunjang, pathway, pencegahan, penatalaksanaan,
pengkajian, diagnosa keperawatan dan intervensi dari Stroke Non Hemoragik.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PENGERTIAN
Stroke merupakan kegawat daruratan medik yang menjadi salah satu penyebab
kematian dan kecacatan (Rachmawati, 2017). Stroke dapat menyerang semua
golongan usia dan sebagian besar akan dijumpai pada usia 55 tahun keatas (Bustan,
2015). Stroke non hemorargik terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-
tiba terganggu atau mengalami (iskemik) yang disebabkan oleh oklusi atau stenosis
arteri (Taufiqurrohman,dkk, 2016).
Stroke non hemoragic adalah stroke yang disebabkan oleh bekuan darah (baik
sebagai trombus maupun embolus), atau dari stenosis pembuluh yang disebabkan
penumpukan plak (Lemone, 2016). Stroke non hemoragic adalah suatu gangguan
peredaran darah ke otak akibat tersumbatnya pembuluh darah tanpa terjadi suatu
perdarahan (Wiwit, 2016). Berdasarkan penjelasan tersebut, bahwa stroke non
hemorargik adalah stroke yang disebabkan gangguan peredaran darah ke otak yang
disebabkan oleh trombus maupun embolus ataupun stenosis pembuluh yang terjadi
akibat penumpukan plak tanpa adanya perdarahan.
B. ETIOLOGI
Stroke biasanya terjadi disebabkan oleh salah satu dari kejadian dibawah ini :
1. Thrombolisis Pengumpulan trombus mulai terjadi dari adanya kerusakan pada
bagian garis endotelial dari pembuluh darah. Arteroslerosis menyebabkan zat lemak
tertumpuk dan membentuk plak di dinding pembuluh darah, plak ini yang membuat
pembuluh drah menyempit (Black & Hawks; 2014)
2. Emboli cerebral Yaitu bekuan darah atau lainnya seperti lemak yang mengalir
melalui pembuluh darah dibawa ke otak, dan nyumbat aliran darah bagian otak
tertentu (Nurarif; 2015)
3. Spasme pembuluh darah Spasme arteri serebral yang disebabkan oleh infeksi,
penurunan aliran darah ke arah otak yang disuplay oleh pembuluh darah yang
menyempit. (Black & Hawks; 2014)
C. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala stroke non hemorargik antara lain; Gambaran klinis stroke non
hemorargik terkait dengan arteri yang terkena
1. Arteri karotis interna
 Hemiparesis atau paralisis pada bagian wajah, lengan dan kaki
 Defisit sensorik kontralateral pada wajah, lengan dan kaki
 Afasia atau disfasia jika terkena hemisfer yang dominan
 Apraksia, agnosia, dan unilateral neglect jika terkena hemisfer non-
dominan  Gangguan penglihatan (Chang, 2010)
2. Arteri serebri anterior
 Hemiparesis pada kaki sampai tungkai bagian bawah
 Berkurangnya sensorik kontralateral pada kaki sampai tungkai bagian
bawah
 Kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan atau bertindak secara
volunter
 Inkontinensia urine(Lemone, dkk, 2016) 3. Arteri serebri media
Hemiplegia pada derah (flacid pada muka, lengan dan tungkai pada sisi
kontralateral)
 Gangguan sensorik (pada daerah yang sama sebagai hemiplegia)
 Aphasia (aphasia global jika hemisfer dominan yang dipengaruhi)
 Hemonymous hemianopsia
 Bingung sampai dengan koma (makin buruk tingkat kesadaran)
 Ketidakmampuan menggerakan mata terhadap sisi yang paralisis
 Denial paralisis
 Kemungkinan pernapasan chynestokes
 Sakit kepala
 Paresis vasomotor
3. Arteri vertebrobasilaris
 Lemah di sisi yang diserang
 Mati rasa di sekitar bibir dan mulut
 Potongan bidang visual
 Diplopia
 Koordinasi buruk
 Disfagia
 Bicara mencerca
 Pusing
 Amnesia dan ataksia(Masriadi, 2016)
4. Arteri basilaris
 Quadriplegia
 Kelemahan otot faring, lidah, dan wajah (Chang, dkk, 2010)
5. Arteri serebralis
 Atakasia, vertigo, limbung dan nistagmus
 Mual dan muntah
 Gangguan rasa nyeri dan sensibilitas terhadap suhu pada batang tubuh dan
ekstermitas di sisi kontralateral
 Paralisis tatapan mata
 Pupil kecil dan ptosis pada sisi kelopak mata yang terkena (Chang, dkk,
2010)
Gambaran klinis stroke non hemorargik berdasarkan sisi otak yang terkena
menurut (Nair & Peate, 2015) antara lain;
1. Sisi kanan otak
 Kehilangan fungsi motorik pada kiri tubuh
 Pusat bahasa tidak terganggu
 Defisit lapang pandang kiri
 Ketidakpedulian yang nyata akan kebebasan
 Penilaian dan perilaku impulsif yang buruk
2. Sisi kiri otak
 Dominan untuk bicara, kemampuan analisis, dan memori auditori serta
verbal
 Hemiplegia sisi kanan
 Afasia ekspresif, reseptif, atau global
 Gangguan proses berpikir
 Kelemahan penglihatan sisi kanan
 Perilaku berhati-hati
D. KLASIFIKASI
1. Stroke iskemik transien (Transtien ischemic attack/TIA) Stroke ini biasa
disebut dengan stroke kecil, dimana stroke yang terjadi pada periode singkat
iskemi serebral terlokalisasi yang menyebabkan defisit neurolis yang
berlangsung selama kurang dari 24 jam. Transtien ischemic attack (TIA)
disebabkan karena gangguan inflamasi arteri, anemia sel sabit, perubahan
ateroklerosis pada arteri karotis dan serebral, trombosis, serta emboli.
Manifestasi neurologis TIA beragam berdasarkan lokasi dan ukuran pembuluh
serebral yang terkena dan memiliki awitan tiba-tiba. Biasanya terjadi defisit
meliputi kebas kontralateral atau kelemahan tungkai, tangan, lengan bawah,
dan pusat mulut, afasia, dan gangguan penglihatan buram serta fugaks
amaurosis (kebutaan yang cepat pada satu mata) (Lemone, dkk, 2016)
2. Stroke pembuluh darah besar (Trombolisis) Stroke trombotik adalah tipe
stroke yang paling umum, dimana sering dikaitkan dengan ateroklerosis dan
menyebabkan penyempitan lumen arteri, sehingga menyebabkan gangguan
masuknya darah yang menuju ke bagian otak.
3. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND) Tanda dan gejala
gangguan persarafan yang berlangsung dalam waktu yang lama lama. Kondisi
RIND dan TIA mempunyai kesamaan, hanya saja RIND berlangsung
maksimal 1 minggu (7 hari) dan kemudian pulih kembali (dalam jangka
waktu 3 minggu) serta tidak meninggalkan gejala sisa (Masriadi, 2016).
4. Stroke embolik kardiogenik Stroke ini terjadi ketika bekuan darah dari
fibrilasi atrial, trombi ventrikel, infark miokard, penyakit jantung kongesti,
atau plak asteroklerosis masuk sistem sirkulasi dan menjadi tersumbat pada
pembuluh serebral terlalu sempit untuk memungkinkan gerakan lebih lanjut.
Pembuluh darah kemudian mengalami oklusi. Tempat yang paling sering
mengalami emboli serebral adalah di bifurkasi pembuluh, terutama pada arteri
serebral tengah (Lemone, dkk, 2016).
5. Complete stroke Suatu gangguan pembuluh darah pada otak yang
menyebabkan deficit neurologist yang berlangsung lebih dalam waktu 24 jam.
Stroke ini akan meninggalkan gejala sisa (Masriadi, 2016).
6. Progressive Stroke (Stroke in Evolution) Gejala gangguan neurologis yang
progresif dalam waktu enam jam atau lebih. Stroke jenis ini merupakan stroke
dimana penentuan prognosisnya terberat dan sulit. Hal ini disebabkan kondisi
pasien yang cenderung labil, berubah-ubah dan dapat mengarah ke kondisi
yang lebih buruk (Masriadi, 2016)
E. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan dari segi penyebab, stroke non hemorargik dapat terjadi dari
beberapa faktor pencetus dimulai dari faktor gaya hidup, faktor yang dapat diubah,
sampai dengan faktor yang tidak dapat diubah. (Alchuriyah & Wahjuni) dan (Nurarif
& Kusuma, 2015). Dari berbagai faktor tersebut dapat menyebabkan ateroklerosis
yang terbentuk daerah yang berlemak, seiring waktu terbentuk plak fibrosis (ateroma)
di lokasi yang mengalami keterbatasan terutama di daerah yang berlawanan yaitu di
percabangan arteri ekstraserebral. Sel darah merah/ trombosit kemudian melekat pada
permukaan plak bersama dengan fibrin, secara perlahan trombosit yang melekat dapat
memperbesar ukuran plak sehingga menyebabkan terbentuknya trombus.
Penyempitan atau oklusi tersebut dapat dapat mengakibatkan aliran darah ke
serebral sehingga dapat mengakibatkan terjadinya stroke non hemorargik (Chang,
dkk, 2010). Apabila aliran suplai darah ke otak terganggu maka akan menimbulkan
perfusi darah pada otak itu sendiri berubah yang dapat menimbulkan hipoksia. Dari
hipoksia dalam otak akan menyebabkan berbagai macam patofisiologi munculnya
klasifikasi stroke yaitu trombotik, embolik, iskemik, dan infark lakunar. Penyebab
yang pertama adalah stroke iskemik (TIA), dimana saling berhubungan dengan
iskhemik serebral dan disfungsi neurologis sementara.
Trombotik bekuan cairan didalam pembuluh darah adalah tipe stroke yang paling
umum terjadi, dimana sering dikaitkan dengan ateroklerosis dan menyebabkan
penyempitan lumen arteri sehingga menyebabkan gangguan suplai darah yang
menuju ke otak yang dapat mengenai arteri serebral tunggal.
Stroke infak lakunar terjadi ketika stroke trombotik mengenai pembuluh serebral
terkecil tidak segera ditangani sehingga meninggalkan rongga kecil di jaringan otak
atau batang otak yang dapat mengenai arteri serebral tengah tengah dan arteri serebral
posterior (Lemone, dkk, 2016) Penyebab umum yang terakhir adalah stroke embolik
kardiogenik (bekuan darah atau material lain) terjadi ketika bekuan darah dari
fibrilasi atrial, trombi ventrikel, infark miokard, penyakit jantung kongesti, atau plak
ateroklrerosis masuk ke sistem sirkulasi dan menjadi tersumbat pada pembuluh
serebral tersebut, sehingga menyebabkan oklusi pembuluh darah, yang dapat
mengenai arteri serebral tengah (Lemone, dkk, 2016)
F. PHATWAY

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT scan mengidentifikasi area perdarahan (biasanya untuk pemakaian darurat.
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging) mengidentifikasi lokasi iskemik (lebih
lambat dari CT scan).
3. MRA (Maagnetik Resonance Angiography) dapat mengidentifikasi
vasculature abnormal atau vasospasm.
4. Difusi atau perfusi MRI/MRA akan menunjukkan area yang tidak
mendapatkan suplai darah dalam jumlah cukup, namun belum mengalami
infarktus.
5. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography) akan menunjukkan
area yang tidak mendapat perfusi secara tepat.
H. KOMPLIKASI
Komplikasi pada stroke non hemoragik adalah:
1. Berhubungan dengan imobilisasi: infeksi pernafasan, nyeri pada daerah
tertekan, konstipasi.
2. Berhubungan dengan paralise: nyeri punggung, dislokasi sendi, deformitas,
terjatuh.
3. Berhubungan dengan kerusakan otak: epilepsy, sakit kepala, Hidrosefalus

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
a. Umur Stroke ditemukan pada semua golingan usia, namun sebagian besar
akan dijumpai pada usia di atas 55 tahun. Kejadian stroke secara eksposional
meningkat pada usia yang sudah lanjut, dimana akan terjadi peningkatan 100
kali lipat pada usia 80-90 adalah 300/10.000 dibandingkan dengan 3/10.000
pada golongan usia 30-40 tahun (Bustan, 2015).
b. Jenis kelamin Laki-laki memiliki kecenderungan lebih besar untuk terkena
stroke dibandingkan dengan wanita, hal ini terjadi karena laki-laki memiliki
hormon testoteron yang bisa meningkatkan kadar LDL darah (Bushnell dalam
Laily, 2017)
c. Alamat / Tempat tinggal Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
(Ghani,dkk, 2016) bahwa penderita stroke paling banyak terjadi yang tinggal
di perkotaan daripada di perdesaan
2. Pengkajian Primer
a. Airway
b. Auskultasi Terdapat suara napas tambahan ronkhi, wheezing jika pasien
stroke mengalami penurunan kesadaran (Mubarak, dkk, 2015)
c. Circulation
1) Tekanan darah Dapat ditemukan tekanan darah tinggi/hipertensi dengan
tekanaan darah >200 mmHg (Nurarif & Kusuma, 2015)
2) Nadi Frekuensi nadi dapat bervariasi (Bararah & Jauhar, 2013)
3) Suhu Hipertermia (Lemone, dkk, 2016)
4) Capilary Refill Time Kapiler refill time > 1-2 detik (Mubarak, dkk,
2015)
5) Sianosis/pucat Pada pasien stroke non hemorargik yang mengalami
perfusi serebral tidak efektif menyebabkan kadar PaO2 < 95% sehingga
menyebabkan sianosis (Mubarak, dkk, 2015)
6) Akral Pada pasien stroke non hemorargik mengalami diaforesis
sehingga dapat ditemukan akral dingin (Nurarif & Kusuma, 2015)
7) Kelembapan Pada pasien stroke non hemorargik mengalami diaforesis
dan akral dingin sehingga mengalami kelembapan pada kulitnya.
8) Disability a) GCS/AVPU Menurut (Heriana, 2014) ada tiga hal yang
dinilai dalam penilaian kuantitatif kesadaran yang menggunakan GCS
(Glasgow Coma Scale); Pada penderita stroke yang mengalami penurunan
kesadaran umumnya mengalami hambatan jalan napas (Jauhar, Bararah &
2013), sekret berbuih (Mubarak, dkk, 2015).
d. Breathing
1) Inspeksi Terdapat retraksi otot pernapasan, pernapasan lebih dari 20
x/menit (Mubarak, dkk, 2015), kesulitan bernapas, sesak napas atau apnea,
kemungkinan pernapasan cheynestokes.
2) Palpasi Focal fremitus umumnya tidak seimbang antara kanan dan kiri
selama ada penumpukan sekret
3) Perkusi Terdapat bunyi hipersonor jika terdapat sekret dalam lapang paru
9) Pupil Pupil kecil dan ptosis pada sisi kelopak mata yang terkena (Chang,
dkk, 2010) 10) Gangguan motorik Hemiplegia, hemiparesis, flasiditas (tidak
adanya tonus otot), spastisitas (peningkatan tonus otot) (Lemone, dkk, 2016)
11) Gangguan sensorik Defisit dalam penglihatan, pendengaran, rasa dan
indra penciuman (Lemone, dkk, 2016, hal. 1802) 12)
Exposure/Enviromental/Event Pada pasien stroke non hemorargik biasanya
akan terjadi ketika selama tidur atau segera setelah bangun tidur sehingga
jarang adanya trauma.
d. Secondary Survey
e. Five Intervensi
1) EKG Jika mempunyai penyakit jantung maka hasil EKG menunjukan
adanya disritmia (Bararah & Jauhar, 2013).
2) Kateter Penggunaan kateter intermiten pada pasien stroke non hemorgik
untuk pengosongan kandung kemih (Nurarif & Kusuma, 2015)
3) NGT Pemasangan selang nasogastrik jika didapatkan gangguan menelan
atau kesadaran menurun (Nurarif & Kusuma, 2015)
4) Sp O2 Didapatkan hasil < 95% (Mubarak, dkk, 2015)
5) Labolatorium Peningkatan lemak dalam darah karena pasien stroke non
hemorargik kesulitan dalam memenuhi kebutuhan makan dan minum (Bararah
& Jauhar, 2013)
6) Full Of Vital Sign a) MAP >130 mmHg jika didapatkan infark miokard
akut dan gagal jantung kongestif (Nurarif & Kusuma, 2015)
b) Nadi Pada stroke iskemik didapatkan nadi mungkin cepat dan halus
tergantung dari pada etiologi penyakit jantung yang menyertai.
c) Suhu Hipertermia (Lemone, dkk, 2016) d) RR Pernapasan tidak teratur
(Mubarak, dkk, 2015)
e) BB BB mungkin menurun pada pasien stroke non hemorargik karena
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan makan dan minum karena
adanya kehilangan sensasi pada lidah. (Bararah & Jauhar, 2013)
7) Give Comfort Jika dalam stroke non hemorargik mengalami peningkatan
TIK maka posisi kepala dinaikkan 30 derajat, posisi kepala dan dada di satu
bidang (Nurarif & Kusuma, 2015)
8) History
a) Keluhan Utama Pada klien stroke non hemorargik keluhan utamnya
biasanya terjadi hemiparesis, hemisensorik, afasia, disartria, ataksia, sampai
vertigo dan akan mengalami penurunan kesadaran.
b) Riwayat penyakit sekarang Stroke non hemorargik akan terjadi pada saat
santai atau tidur, dengan lama serangan sekitar 2-15 menit sampai paling lama
24 jam, gejala yang timbul seperti pusing yang tidak lazim adanya nyeri
kepala yang hebat, mual, muntah, maupun panas. Timbul rasa kesemutan pada
sesisi badan, mati rasa dan terasa seperti terbakar atau terkena cabai. Lemas
atau bahkan kelumpuhan pada sisi badan, mulut dan lidah mencong, gangguan
menelan (Masriadi, 2016).
c) Makan minum terakhir Pada klien stroke infark akan mengalami kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan makan dan minum. Hal ini dapat diketahui
melalui tanda dan gejala seperti nafsu makan hilang, mual muntah.
Kehilangan sensasi pada lidah, pipi dan tenggorokan, disfagia, kesulitan
menelan (Bararah & Jauhar, 2013)
d) Riwayat medikasi Penyalahgunaan obat-obatan terlarang menyebabkan
intake nutrisi/Fe menurun sehingga mengakibatkan penurunan hemoglobin
(Tarwoto & Wartonah, 2010)
e) Pengalaman pembedahan Pada pasien stroke akan dilakukan pembedahan
jika mengalami TIA (Lemone, dkk, 2016)
f) Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat penyakit diabetes melitus
(Bararah & Jauhar, 2013, hal. 38), hipertensi ataupun hipotensi, riwayat
penjakit jantung.
g) Riwayat penyakit keluarga Adanya riwayat kelurga yang terkena stroke
(Nurarif & Kusuma, 2015)
9) Pemeriksaan Fisik Head to Toe:
a) Kepala Pasien stroke akan mengeluh Pusing, sakit kepala (Bararah &
Jauhar, 2013). Pemeriksaan 12 saraf kranial pasien stroke non hemorargik;
o) Dada  Paru-paru: Inspeksi : terdapat retraksi otot pernapasan (Mubarak,
dkk, 2015) Palpasi : focal fremitus umumnya tidak seimbang antara kanan dan
kiri selama ada penumpukan sekret Perkusi : terdapat bunyi hipersonor jika
terdapat sekret dalam lapang paru Auskultasi : ronkhi, wheezing (Mubarak,
dkk, 2015)  Jantung: Inspeksi : ictus cordis tidak nampak pada pasien yang
mengalami obesitas Palpasi : ictus cordis pada teraba pada ICS 5-6 bergeser
ke kiri Perkusi: batas normal jantung atas ICS II mid sternalis, batas bawah
ICS V, batas kiri ICS V midclavicula sinistra dekstra. Pada pasien stroke jika
terjadi kardiomegali perkusi yang didapatkan melebihi batas normal
Auskultasi : S1 dan S2 tidak teratur serta terdapat S3 (Mubarak, dkk, 2015)
p) Abdomen Konstipasi, impaksi feses (Lemone, dkk, 2016), mengalami
distensi abdomen, bising usus negatif, tympani (Bararah & Jauhar, 2013)
q) Ekstermitas Mengalami kelumpuhan atau kelemahan separo badan (Nurarif
& Kusuma, 2015), gangguan fungsi motorik, lemah dan mati rasa di kaki
(Masriadi, 2016), hemiplegia, kontarktur, ankilosis tubuh, atrofi disuse,
disartria (Lemone, dkk, 2016)
r) Kulit/integument Defisit motorik dapat menyebabkan perubahan mobilitas
sehingga komplikasi dapat melibatkan sistem tubuh yang multipel salah
satunya kulit/integument yang dapat menciptakan pembentukan luka dicubitus
(Lemone, dkk, 2016)
3. Pemeriksaan Penunjang
1. CT scan mengidentifikasi area perdarahan (biasanya untuk pemakaian darurat.
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging) mengidentifikasi lokasi iskemik (lebih
lambat dari CT scan).
3. MRA (Maagnetik Resonance Angiography) dapat mengidentifikasi
vasculature abnormal atau vasospasm.
4. Difusi atau perfusi MRI/MRA akan menunjukkan area yang tidak
mendapatkan suplai darah dalam jumlah cukup, namun belum mengalami
infarktus.
5. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography) akan menunjukkan
area yang tidak mendapat perfusi secara tepat. b. Pemeriksaan labolatorium
Darah rutin, gula darah, urine rutin, cairan serebrospinal, AGD, biokimia
darah, elektrolit. Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. Hasil
dari pemeriksaan labolatorium menunjukan hasil AGD yang tidak normal
(Mubarak, dkk, 2015), kenaikan hematokrit dengan vaskositas darah yang
tinggi (Chang, dkk, 2010), peningkatan lemak dalam darah (Bararah &
Jauhar, 2013).
a. EKG 12 Lead Membantu mengidentifikasi penyebab kardiak jika stroke
emboli dicurigai terjadi (Chang, dkk, 2010). Pada pemeriksaan ini akan
menunjukan adanya disritmia (Bararah & Jauhar, 2013).
b. Sinar tengkorak Adanya gambaran kalenjar lempeng pienal yang berubah
pada daerah yang berlawanan dari massa yamg melebar, dan adanya
kalsifikasi parsial dinding aneurisme pada daerah yang mengalami
perdarahan yaitu pada subarakhnoid. Hasil dari pemeriksaan ini
menunjukan adanya tumor sel embolik di dalam otak.
B. Diagnosa Keperawatan (SDKI)
1. Pola Nafas tidak efektif b.d imaturitas neurologis
2. Gangguan pertukaran gas b.d Ketidakseimbangan ventilasi perfusi
3. Nyeri Akut b.d Agen cedera biologis
4. Gangguan ventilasi spontan
5. Resiko perfusi jaringan serebral tidak efektif
6. Gangguan sirkulasi spontan

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
DIAGNOSA INTERVENSI TUJUAN DAN
(SIKI) KRITERIA HASIL
(SLKI)
1. Pola A. PEMANTAUAN Pola Napas (L.01004)
Nafas tidak RESPIRASI (I.01014) Setelah dilakukan
efektif b.d 1. Observasi tindakan
imaturitas o Monitor frekuensi, irama, keperawatan
neurologis kedalaman, dan upaya napas diharapkan pola
o Monitor pola napas (seperti napas efektif, dengan
bradipnea, takipnea, kriteria
hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne- hasil:
Stokes, Biot, ataksik0
o Monitor kemampuan batuk
efektif - Dispnea menurun
o Monitor adanya produksi - Penggunaan otot
sputum bantu
o Monitor adanya sumbatan jalan napas menurun
napas - Pemanjangan fase
o Palpasi kesimetrisan ekspansi ekspirasi menurun
paru - Ortopnea menurun
o Auskultasi bunyi napas - Pernapasan pursed-lip
o Monitor saturasi oksigen menurun
o Monitor nilai AGD - Pernapasan cuping
o Monitor hasil x-ray toraks hidung
2. Terapeutik menurun
o Atur interval waktu pemantauan - Frekuensi napas
respirasi sesuai kondisi pasien membaik
o Dokumentasikan hasil - Kedalaman napas
pemantauan membaik
3. Edukasi - Ekskursi dada
o Jelaskan tujuan dan prosedur membaik
pemantauan - Ventilasi semenit
o Informasikan hasil pemantauan, membaik
jika - Kapasitas vital
perlu membaik
B. MENEJEMEN JALAN - Diameter thoraks
NAPAS (I. 01011) anteriorposterior
1. Observasi membaik
o Monitor pola napas (frekuensi, - Tekanan ekspirasi
kedalaman, usaha napas) membaik
o Monitor bunyi napas tambahan - Tekanan inspirasi
(mis. Gurgling, mengi, weezing, membaik
ronkhi kering)
o Monitor sputum (jumlah, warna,
aroma)
2. Terapeutik
o Pertahankan kepatenan jalan
napas
dengan head-tilt dan chin-lift
(jawthrust
jika curiga trauma cervical)
o Posisikan semi-Fowler atau
Fowler
o Berikan minum hangat
o Lakukan fisioterapi dada, jika
perlu
o Lakukan penghisapan lendir
kurang
dari 15 detik
o Lakukan hiperoksigenasi
sebelum
o Penghisapan endotrakeal
o Keluarkan sumbatan benda
padat
dengan forsepMcGill
o Berikan oksigen, jika perlu
3. Edukasi
o Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak kontraindikasi.
o Ajarkan teknik batuk efektif
4. Kolaborasi
o Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
2.Gangguan A. PEMANTAUAN Pertukaran gas
pertukaran RESPIRASI (I.01014) (L.01003)
gas b.d 1. Observasi Setelah dilakukan
Ketidakseimb o Monitor frekuensi, irama, tindakan
angan kedalaman, dan upaya napas keperawatan
ventilasi o Monitor pola napas (seperti diharapkan
perfusi bradipnea, takipnea, gangguan pertukaran
hiperventilasi, gas tidak
Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, terjadi, dengan kriteria
ataksik0 hasil:
o Monitor kemampuan batuk - Dyspnea menurun
efektif - Bunyi nafas tambahan
o Monitor adanya produksi menurun
sputum - Takikardia menurun
o Monitor adanya sumbatan jalan - Pusing menurun
napas - Penglihatan kabur
o Palpasi kesimetrisan ekspansi menurun
paru - Olaforesis menurun
o Auskultasi bunyi napas - Nafas cuping hidung
o Monitor saturasi oksigen menurun
o Monitor nilai AGD - Gelisah menurun
o Monitor hasil x-ray toraks - PCO2 membaik
2. Terapeutik - PO2 membaik
o Atur interval waktu pemantauan - PH arteri membaik
respirasi sesuai kondisi pasien - Sianosis membaik
o Dokumentasikan hasil - Pola nafas membaik
pemantauan - Warna kulit membaik
3. Edukasi
o Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
o Informasikan hasil pemantauan,
jika
perlu
B. TERAPI OKSIGEN (I.01026)
1. Observasi
o Monitor kecepatan aliran
oksigen
o Monitor posisi alat terapi
oksigen
o Monitor aliran oksigen secara
periodic dan pastikan fraksi yang
diberikan cukup
o Monitor efektifitas terapi
oksigen
(mis. oksimetri, analisa gas
darah ),
jika perlu
o Monitor kemampuan
melepaskan
oksigen saat makan
o Monitor tanda-tanda
hipoventilasi
o Monitor tanda dan gejala
toksikasi
oksigen dan atelektasis
o Monitor tingkat kecemasan
akibat
terapi oksigen
o Monitor integritas mukosa
hidung akibat pemasangan
oksigen
2. Terapeutik
o Bersihkan secret pada mulut,
hidung dan trachea, jika perlu
o Pertahankan kepatenan jalan
nafas
o Berikan oksigen tambahan, jika
perlu
o Tetap berikan oksigen saat
pasien
ditransportasi
o Gunakan perangkat oksigen
yang
sesuai dengat tingkat mobilisasi
pasien
3. Edukasi
o Ajarkan pasien dan keluarga
cara
menggunakan oksigen dirumah
4. Kolaborasi
o Kolaborasi penentuan dosis
oksigen
o Kolaborasi penggunaan oksigen
saat aktivitas dan/atau tidur
3. Nyeri A. MANAJEMEN NYERI (I. Tingkat Nyeri
Akut b.d 08238) Setelah dilakukan
Agen cedera 1. Observasi tindakan
biologis o lokasi, karakteristik, durasi, keperawatan
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri diharapkan nyeri
o Identifikasi skala nyeri menghilang, dengan
o Identifikasi respon nyeri non kriteria
verbal hasil:
o Identifikasi faktor yang - Kemampuan
memperberat dan memperingan menuntaskan
nyeri Aktivitas meningkat
o Identifikasi pengetahuan dan - Keluhan Nyeri
keyakinan tentang nyeri menurun
o Identifikasi pengaruh budaya - Frekuensi membaik
terhadap respon nyeri
o Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
o Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
o Monitor efek samping
penggunaan
analgetik
2. Terapeutik
o Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi pijat,
aroma terapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin,
terapi bermain)
o Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
o Fasilitasi istirahat dan tidur
o Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
3. Edukasi
o Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
o Jelaskan strategi meredakan
nyeri
o Anjurkan memonitor nyri secara
mandiri
o Anjurkan menggunakan
analgetik
secara tepat
o Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi
o Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
B. PEMBERIAN ANALGETIK
(I.08243)
1. Observasi
o Identifikasi karakteristik nyeri
(mis.
Pencetus, pereda, kualitas, lokasi,
intensitas, frekuensi, durasi)
o Identifikasi riwayat alergi obat
o Identifikasi kesesuaian jenis
analgesik (mis. Narkotika,
nonnarkotika,
atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
o Monitor tanda-tanda vital
sebelum
dan sesudah pemberian analgesik
o Monitor efektifitas analgesik
2. Terapeutik
o Diskusikan jenis analgesik yang
disukai untuk mencapai analgesia
optimal, jika perlu
o Pertimbangkan penggunaan
infus
kontinu, atau bolus opioid untuk
mempertahankan kadar dalam
serum
o Tetapkan target efektifitas
analgesic
untuk mengoptimalkan respon
pasien
o Dokumentasikan respon
terhadap
efek analgesic dan efek yang tidak
diinginkan
3. Edukasi
o Jelaskan efek terapi dan efek
samping obat
o
4. Kolaborasi
o Kolaborasi pemberian dosis dan
jenis analgesik, sesuai indikasi
4.Gangguan A. Manajemen Ventilasi Ventilasi Spontan
ventilasi Mekanik (I.01013) (L.01007)
spontan 1. Observasi Setelah dilakukan
 Periksa indikasi ventilator tindakan
mekanik (mis. keperawatan
Kelehan otot napas, disfungsi diharapkan
neurologis, ventilasi spontan,
asidosis dengan
 Monitor efek ventilator kriteria hasil:
terhadap status o Dispnea menurun
oksigenasi (mis. Respon pasien, o Penggunaan otot
bunyi bantu
paru, SaO2) napas menurun
 Monitor efek negatif ventilator o Takikardia
(mis. menurungelisah
Deviasi trachea, barotraumas, menurun
distensi o Volume tidal
gaster, emfisema subkutan) membaik
 Monitor gejala peningkatan o PCO2 membaik
pernapasan o PO2 membaik
 Monitor kondisi yang o SaO2 membaik
meningkatkan
konsumsi oksigen tinggi
 Monitor gangguan mukosa
oral, nasal,
trakea dan laring
2. Terapeutik
o Atur posisi 45 - 60⁰ untuk
mencegah
aspirasi
o Reposisi pasien setiap 2 jam,
jika perlu
o Lakukan perawatan mulut secara
rutin
setiap shift
o Lakukan fisioterapi dada secara
berkala
o Lakukan penghisapan lendir
sesuai
kebutuhan
o Siapkan BVM disamping tempat
tidur
untuk antisipasi malfungsi mesin
o Dokumentasi respon terhadap
ventilator
c. Kolaborasi
o Kolaborasi pemilihan mode
ventilator
o Kolaborasi pemberian agen
pelumpuh
otot, sedatif, analgesik sesuai
kebutuhan
o Kolaborasi penggunaan PS atau
PEEP
untuk meminimalkan hipoventilasi
alveolus
B.Manajemen Jalan Napas
Buatan (I.01012)
1. Observasi
o Monitor posisi selang
endotrakeal
(ETT), terutama setelah mengubah
posisi
o Monitor tekanan balon ETT
setiap 4 – 8
jam
o Monitor kulit area stoma
trakeostomi
(mis. Kemerahan dan perdarahan
o Pasang oropharingeal airway
(OPA)
untuk mencegah ETT tergigit
o Cegah ETT terlipat (kinking)
o Berikan pre-oksigenasi 100%
selama 30
detik (3-6 kali ventilasi) sebelum
dan
sesudah
o Lakukan penghisapan lendir
kurang dari
15 detik sesuai kebutuhan
o Ganti fiksasi ETT setiap 24 jam
o Ubah posisi ETT secara
bergantian (kiri
dan kanan) setiap 24 jam
o Lakukan perawatan mulut secara
rutin
setiap shift o Lakukan perawatan
stoma trakeostomi
secara rutin setiap shift
2. Edukasi
o Jelaskan pasien dan/atau
keluarga tujuan
dan prosedur pemasangan jalan
napas
buatan.
3. Kolaborasi
o Kolaborasi intubasi ulang jika
terbentuk
mucous plug yang tidak dapat
dilakukan
penghisapan.
Daftar pustaka
LeMone, dkk (2016). Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa. Jakarta: EGC

Alchuriyah, S & Wahjuni (2016). Faktor Risiko Kejadian StrokeUsia MudaPada


Pasien Rumah Sakit Brawijaya Surabaya. Departemen Epidemiologi Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga,

Surabaya Bustan, (2015). Manajemen pengendalian penyakit tidak menular. Jakarta :


Rineka Cipta.

Taufiqurrahman, dkk. 2016. Manfaat Pemberian Sitokoline Pada Pasien Stroke Non
Hemoragik (SNH). Jurnal. Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung

Black, J dan Hawks, J. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Dialihbahasakan oleh

Nampira R. Jakarta: Salemba Emban Patria Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015).
APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA
NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction

Chang, E., Daly, J., dan Elliott, D., 2010, Patofisiologi Aplikasi Pada Praktik
Keperawatan, 112-113, Jakarta, EGC.

Masriadi. (2016). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Trans Info Media

Nair M., and Peate I. (2015). Pathophysiology for nurse at a Glance. John Wiley &
Sons. Chapter 15: 36-37.

Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.

Ghani L, Laurentia K M & Delima,(2016) Faktor Risiko Dominan Penderita Stroke


Di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. Maret 2016. Vol. 44, No. 1,: 49-58

Bararah, T dan Jauhar, M. 2013. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi


Perawat Profesional. Jakarta : Prestasi Pustakaraya

Mubarak WI., Nurul C., Joko S. 2015. Standar Asuhan Keperawatan dan Prosedur
Tetap dalam Praktik Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Heriana, P. (2014). Buku ajar kebutuhan dasar manusia. Tangerang : Binarupa Aksara

Anda mungkin juga menyukai