Anda di halaman 1dari 23

A.

Konsep Teoritis
1. Definisi
Fraktur Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa. Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku
Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah
rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang
diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing
(Mansjoer, Arif, et al, 2016).
Patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain
menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih
(karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A,
2014).
Patah tulang humerus adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari
tulang humerus yang terbagi atas :
a. Fraktur Suprakondilar Humerus
b. Fraktur Interkondiler Humerus
c. Fraktur Batang Humerus
d. Fraktur Kolum Humerus
Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :
a. Tipe Ekstensi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam
posisi supinasi.
b. Tipe Fleksi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi
pronasi (Mansjoer, Arif, et al, 2016).

2. Anatomi Fisiologi
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi
mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut
Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah
periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut benang sharpey,
yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan
tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat kuat
yang disusun dalam unit struktural yang disebut Sistem Haversian. Tiap sistem
terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal Haversian. Lapisan melingkar dari
matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara lamellae disebut
Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan
seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang
panjang dan di dalamnya terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke
tulang melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah inilah yang mengangkut
nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan
tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya
terdapat Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae ini terlihat seperti spon
tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalam nya terdapat bone
marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua
macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel darah merah melalui
proses hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak
dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom
(FES) (Black,J.M,et al, dan Ignatavicius, Donna. D,2014).
Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast.
Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang
baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast
adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak
maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-elemen ekstra seluler yang
disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein,
karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai
media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara tulang
daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium
organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras.sedangkan aliran
darah dalam tulang antara 200 – 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi
tulang (Black,J.M,et al, dan Ignatavicius, Donna. D,2014).
Tulang panjang adalah tulang yang panjang berbentuk silinder dimana
ujungnya bundar dan sering menahan beban berat. Tulang panjang terdiriatas
epifisis, tulang rawan, diafisis, periosteum, dan medula tulang. Epifisis (ujung
tulang) merupakan tempat menempelnya tendon dan mempengaruhi kestabilan
sendi. Tulang rawan menutupi seluruh sisi dari ujung tulang dan
mempermudah pergerakan, karena tulang rawan sisinya halus dan licin.
Diafisis adalah bagian utama dari tulang panjang yang memberikan struktural
tulang. Metafisis merupakan bagian yang melebar dari tulang panjang antara
epifisis dan diafisis. Metafisis ini merupakan daerah pertumbuhan tulang
selama masa pertumbuhan. Periosteum merupakan penutup tulang sedang
rongga medula (marrow) adalah pusat dari diafisis (Black,J.M,et al, dan
Ignatavicius, Donna. D,2014).
Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas),
korpus, dan ujung bawah.
a. Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang
membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla dan merupakan bagian
dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang lebih ramping
disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas dibawah leher anatomik
terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas Mayor dan disebelah depan
terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu Tuberositas Minor. Diantara
tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus intertuberkularis) yang
membuat tendon dari otot bisep. Dibawah tuberositas terdapat leher
chirurgis yang mudah terjadi fraktur.
b. Korpus
Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih.
Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas
deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan
oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah
lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis
sehingga disebut celah spiralis atau radialis.
c. Ujung Bawah
Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi
dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi
sebelah dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan
ulna dan disebelah luar etrdapat kapitulum yang bersendi dengan radius.
Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu
epikondil lateral dan medial (Pearce, Evelyn C, 2015).

3. Etiologi
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang
paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya, dan penarikan (Oswari E, 2016).

4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah
putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya (Carpnito, Lynda Juall, 2015).

5. Manifestasi Klinis
a. Deformitas
b. Bengkak atau penumpukan cairan/daerah karena kerusakan pembuluh
darah.
c. Echimiosis.
d. Spasme otot karena kontraksi involunter di sekitar fraktur.
e. Nyeri, karena kerusakan jaringan dan perubahan fraktur yang meningkat
karena penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian fraktur.
f. Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf, di
mana saraf ini dapat terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.
g. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan tulang,
nyeri atau spasme otot.
h. Pergerakan abnormal (menurunnya rentang gerak).
i. Krepitasi yang dapat dirasakan atau didengar bila fraktur digerakkan.
j. Hasil foto rontgen yang abnormal.
k. Shock yang dapat disebabkan karena kehilangan darah dan rasa nyeri yang
hebat (Wim de Jong & Sjamsuhidajat R. 2016).

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hemoglobin,
hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED)
meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa
penyembuhan Ca dan P mengikat di dalam darah.
b. Radiologi
Pada rontgen dapat dilihat gambaran fraktur (tempat fraktur, garis fraktur
(transversa, spiral atau kominutif) dan pergeseran lainnya dapat terbaca
jelas). Radiografi humerus AP dan lateral harus dilakukan. Sendi bahu dan
siku harus terlihat dalam foto. Radiografi humerus kontralateral dapat
membantu pada perencanaan preoperative. Kemungkinan fraktur patologis
harus diingat. CT-scan, bone-scan dan MRI jarang diindikasikan, kecuali
pada kasus dengan kemungkinan fraktur patologis. Venogram/anterogram
menggambarkan arus vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur
fraktur yang lebih kompleks (Mansjoer A. 2016).

7. Penatalaksanaan
a. Konservatif
Pada umumnya, pengobatan patah tulang shaft humerus dapat
ditangani secara tertutup karena toleransinya yang baik terhadap angulasi,
pemendekan serta rotasi fragmen patah tulang. Angulasi fragmen sampai
300 masih dapat ditoleransi, ditinjau dari segi fungsi dan kosmetik. Hanya
pada patah tulang terbuka dan non-union perlu reposisi terbuka diikuti
dengan fiksasi interna. Dibutuhkan reduksi yang sempurna disamping
imobilisas beban pada lengan dengan cast biasanya cukup untuk menarik
fragmen ke garis tengah. Hanging cast dipakai dari bahu hingga
pergelangan tangan dengan siku fleksi 90° dan bagian lengan bawah
digantung dengan sling disekitar leher pasien. Cast (pembalut) dapat
diganti setelah 2-3 minggu dengan pembalut pendek (short cast) dari bahu
hingga siku atau functional polypropylene brace selama ± 6 minggu.
Pergelangan tangan dan jari-jari harus dilatih gerak sejak awal. Latihan
pendulum pada bahu dimulai dalam 1 minggu perawatan, tapi abduksi
aktif ditunda hingga fraktur mengalami union. Fraktur spiral mengalami
union sekitar 6 minggu, variasi lainnya sekitar 4-6 minggu. Sekali
mengalami union, hanya sling (gendongan) yang dibutuhkan hingga
fraktur mengalami konsolidasi.
Pengobatan non bedah kadang tidak memuaskan pasien karena
pasien harus dirawat lama. Itulah sebabnya pada patah tulang batang
humerus dilakukan operasi dan pemasangan fiksasi interna yang kokoh.
Berikut beberapa metode dan alat yang digunakan pada terapi konservatif :
1) Hanging cast
Indikasi penggunaan meliputi pergeseran shaft tengah fraktur humerus
dengan pemendekan, terutama fraktur spiral dan oblik. Penggunaan
pada fraktur transversa dan oblik pendek menunjukkan kontraindikasi
relatif karena berpotensial terjadinya gangguan dan komplikasi pada
saat penyembuhan. Pasien harus mengangkat tangan atau setengah
diangkat sepanjang waktu dengan posisi cast tetap untuk efektivitas.
Seringkali diganti dengan fuctional brace 1-2 minggu pasca trauma.
Lebih dari 96% telah dilaporkan mengalami union.
2) Coaptation splint
Diberikan untuk efek reduksi pada fraktur tapi coaptation splint
memiliki stabilitas yang lebih besar dan mengalami gangguan lebih
kecil daripada hanging arm cast. Lengan bawah digantung dengan
collar dan cuff. Coaptation splint diindikasikan pada terapi akut fraktur
shaft humerus dengan pemendekan minimal dan untuk jenis fraktur
oblik pendek dan transversa yang dapat bergeser dengan penggunaan
hanging arm cast. Kerugian coaptation splint meliputi iritasi aksilla,
bulkiness dan berpotensial slippage. Splint seringkali diganti dengan
fuctional brace pada 1-2 minggu pasca trauma.
3) Thoracobranchial immobilization (velpeu dressing)
Biasanya digunakan pada pasien lebih tua dan anak-anak yang tidak
dapat ditoleransi dengan metode terapi lain dan lebih nyaman jadi
pilihan. Teknik ini diindikasikan untuk pergeseran fraktur yang
minimal atau fraktur yang tidak bergeser yang tidak membutuhkan
reduksi. Latihan pasif pendulum bahu dapat dilakukan dalam 1-2
minggu pasca trauma.
4) Shoulder spica cast
Teknik ini diindikasikan pada jenis fraktur yang mengharuskan
abduksi dan eksorotasi ektremitas atas. Kerugian teknik ini meliputi
kesulitan aplikasi cast, berat cast dan bulkiness, iritasi kulit,
ketidaknyamanan dan kesusahan memposisikan ektremitas atas.
5) Functional bracing
Memberikan efek kompresi hidrostatik jaringan lunak dan
mempertahankan aligment fraktur ketika melakukan pergerakan pada
sendi yang berdekatan. Brace biasanya dipasang selama 1-2 minggu
pasca trauma setelah pasien diberikan hanging arm cast atau
coaptation splint dan bengkak berkurang. Kontraindikasi metode ini
meliputi cedera massif jaringan lunak, pasien yang tidak dapat
dipercaya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan asseptabilitas
reduksi. Collar dan cuff dapat digunakan untuk menopang lengan
bawah; aplikasi sling dapat menghasilkan angulasi varus (kearah
midline).
b. Tindakan operatif
Pasien kadang-kadang mengeluh hanging cast tidak nyaman,
membosankan dan frustasi. Mereka bisa merasakan fragmen bergerak dan
hal ini kadang-kadang cukup dianggap menyusahkan. Hal penting yang
perlu diingat bahwa tingkat komplikasi setelah internal fiksasi pada
humerus tinggi dan sebagian besar fraktur humerus mengalami union
tanpa tindakan operatif. Meskipun demikian, ada beberapa indikasi untuk
dilakukan tindakan pembedahan, diantaranya :
1) Cedera multiple berat
2) Fraktur terbuka
3) Fraktur segmental
4) Fraktur ekstensi intra-artikuler yang bergeser
5) Fraktur patologis
6) Siku melayang (floating elbow) – pada fraktur lengan bawah
(antebrachi) dan humerus tidak stabil bersamaan.
7) Palsi saraf radialis (radial nerve palsy) setelah manipulasi
8) Non-union (Rasjad C.2014).

8. Komplikasi
a. Komplikasi Awal
1) Cedera vaskuler
Jika ada tanda-tanda insufisiensi vaskuler pada ekstremitas, kerusakan
arteri brakhialis harus disingkirkan. Angiografi akan memperlihatkan
tingkat cedera. Hal ini merupakan kegawatdaruratan, yang
memerlukan eksplorasi dan perbaikan langsung ataupun cangkok
(grafting) vaskuler. Pada keadan ini internal fixation dianjurkan.
2) Cedera saraf
Radial nerve palsy (wrist drop dan paralisis otot-otot ekstensor
metacarpophalangeal) dapat terjadi pada fraktur shaft humerus,
terutama fraktur oblik pada sepertiga tengah dan distal tulang humerus.
Pada cedera yang tertutup, saraf ini sangat jarang terpotong, jadi tidak
diperlukan operasi segera. Pergelangan tangan dan telapak tangan
harus secara teratur digerakkan dari pergerakan pasif putaran penuh
hingga mempertahankan (preserve) pergerakan sendi sampai saraf
pulih. Jika tidak ada tanda-tanda perbaikkan dalam 12 minggu, saraf
harus dieksplorasi. Pada lesi komplit, jahitan saraf kadang tidak
memuaskan, tetapi fungsi dapat kembali dengan baik dengan
pemindahan tendon. Jika fungsi saraf masih ada sebelum manipulasi
lalu kemudian cacat setelah dilakukan manipulasi, hal ini dapat
diasumsikan bahwa saraf sudah mengalami robekan dan dibutuhkan
operasi eksplorasi.
3) Infeksi
Infeksi luka pasca trauma sering menyebabkan osteitis kronik. Osteitis
tidak mencegah fraktur mengalami union, namun union akan berjalan
lambat dan kejadian fraktur berulang meningkat. Jika ada tanda-tanda
infeksi akut dan pembentukan pus, jaringan lunak disekitar fraktur
harus dibuka dan didrainase. Pilihan antibiotic harus disesuaikan
dengan hasil sensitivitas bakteri. External fixation sangat berguna pada
kasus ini, namun jika intramedullary nail sudah terlanjur digunakan
dan terfiksasi stabil, nail tidak perlu dilepas (Rasjad C.2014).
b. Komplikasi Lanjut
1) Delayed Union and Non-Union
Fraktur transversa kadang membutuhkan waktu beberapa bulan untuk
menyambung kembali, terutama jika traksi digunakan berlebihan
(penggunaan hanging cast jangan terlalu berat). Penggunaan teknik
yang sederhana mungkin dapat menyelesaikan masalah, sejauh ada
tanda-tanda pembentukkan kalus (callus) cukup baik dengan
penanganan tanpa operasi, tetapi ingat untuk tetap membiarkan bahu
tetap bergerak. Tingkat non-union dengan pengobatan konservatif pada
fraktur energi rendah kurang dari 3%. Fraktur energi tinggi segmental
dan fraktur terbuka lebih cenderung mengalami baik delayed union dan
non-union. Intermedullary nailing menyebabkan delayed union, tetapi
jika fiksasi rigid dapat dipertahankan tingkat non-union dapat tetap
dibawah 10%.
2) Joint stiffness
Joint stiffness sering terjadi. Hal ini dapat dikurangi dengan aktivitas
lebih awal, namun fraktur transversa (dimana abduksi bahu nyeri
disarankan) dapat membatasi pergerakan bahu untuk beberapa minggu
(Rasjad C.2014).

B. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan
a) Provoking Incident : apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
(Ignatavicius, Donna D, 2014).
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
(Ignatavicius, Donna D, 2014).
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga
diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
(Ignatavicius,DonnaD, 2014).
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
(Ignatavicius, Donna D, 2014).
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 2014).
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap
pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang
tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.

c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya,
warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain
itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
e) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain.
f) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
h) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
i) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
j) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
(Ignatavicius, Donna D, 2014).
b. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan
paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
b. Keadaan Lokal
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain :
a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
b) Cape au lait spot (birth mark).
c) Fistulae.
d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal).
f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu
dicatat adalah:
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit.
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal,tengah, atau distal).
3) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini
perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari
tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada
gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat
adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 2015).

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang,
kompresi saraf, cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex
spasme otot sekunder.
b. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan diskontinuitas
jaringan tulang, nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan
neuromuscular dan penurunan kekuatan lengan atas.
d. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani
operasi, status ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
3. Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Keperawatan Perencanaan Rasional


Kriteria Hasil Intervensi
(NOC) (NIC)
1. Nyeri akut yang Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji nyeri dengan skala 0-4. 1. Nyeri merupakan respon
berhubungan dengan keperawatan selama ...x 24 jam subjektif yang dapat dikaji
pergerakan fragmen masalah nyeri pada klien dapat dengan menggunakan skala
tulang, kompresi saraf, diatasi dengan kriteria hasil : nyeri.
cedera neuromuscular, 1. Klien melaporkan nyeri 2. Atur posisi imobilisasi pada 2. Imobilisasi yang adekuat
trauma jaringan, dan reflex berkurang atau dapat lengan atas. dapat mengurangi pergerakan
spasme otot sekunder. diatasi, mengidentifikasi fragmen tulang yang menjadi
Tujuan : nyeri berkurang, aktivitas yang unsur utama penyebab nyeri
hilang, atau teratasi meningkatkan atau pada lengan atas.
mengurangi nyeri. 3. Nyeri dipengaruhi oleh
2. Klien tidak gelisah. 3. Bantu klien dalam kecemasan, ketegangan,
Skalanyeri 0-1 atau teratasi. mengidentifikasi faktor pencetus. suhu, distensi kandung
kemih, dan berbaring lama.
4. Jelaskan dan bantu klien terkait 4. Pendekatan dengan
dengan tindakan pereda nyeri menggunakan relaksasi dan
nonfaramakologi. nonfarmakologi dalam
mengurangi nyeri.
5. Mengalihkan perhatian klien
5. Ajarkan metode distraksi selama
terhadap nyeri ke hal-hal
nyeri akut.
yang menyenangkan.
6. Mengurangi rasa nyeri.
6. Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian analgesic.
7.
2. Hambatan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji mobilitas dan observasi 1. Mengetahui tingkat
yang berhubungan dengan keperawatan selama ...x 24 jam adanya peningkatan kerusakan. kemampuan klien dalam
diskontinuitas jaringan masalah mobilitas pada klien melakukan aktivitas.
tulang, nyeri sekunder dapat diatasi dengan kriteria 2. Ajarkan klien melakukan latihan 2. Gerakan aktif memberikan
akibat pergerakan fragmen hasil : gerak aktif pada ekstremitas yang massa, tonus, dan kekuatan
tulang. 1. Klien dapat ikut seta dalam tidak sakit. otot.
program latihan, tidak 3. Bantu klien melakukan ROM 3. Untuk mempertahankan
mengalami kontraktur fleksibilitas sendi sesuai
sendi, kekuatan otot kemampuan.
bertambah. 4. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi 4. Kemampuan mobilisasi
2. Klien menunjukan tindakan untuk melatih fisik klien. ekstremitas dapat
untuk meningkatkan ditingkatkan dengan latihan
mobilitas. fisik dengan tim fisioterapi.
3. Defisit perawatan diri Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kemampuan dan tingkat 1. Memantau dalam
berhubungan dengan keperawatan selama ...x 24 jam penurunan dalam skala 0-4 untuk mengantisipasi dan
kelemahan neuromuscular masalah perawatan diri pada melakukan ADL. merencanakan pertemuan
dan penurunan kekuatan klien dapat diatasi dengan untuk kebutuan individual.
lengan atas. kriteria hasil : 2. Hindari apa yang tidak dapat 2. Hal ini dilakukan untuk
1. Klien dapat menunjukan dilakukan klien dan bantu bila mencegah frustasi dan
perubahan gaya hidup untuk perlu. menjaga harga diri klien
kebutuhan merawat diri. karena klien dalam keadaan
2. Mampu melakukan cemas dan membutuhkan
aktivitas perawatan diri bantuan orang lain.
3. Berikan klien motivasi dan ajak
sesuai dengan tingkat 3. Klien memerlukan empati
klien untuk berpikir positif
kemampuan. dan perawatan yang
terhadap kelemahan yang
konsisten.
dimilikinya.
4. Agar klien lebih mudah
4. Rencanakan tindakan untuk
mengambil peralatan yang
mengurangi pergerakan pada sisi
diperlukan.
lengan yang sakit.
5. Ansietas berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tanda verbal dan nonverbal 1. Reaksi verbal atau nonverbal
dengan krisis situasional, keperawatan selama ...x 24 jam ansietas. dapat menunjukkan
akan menjalani operasi, masalah ansietas pada klien perasaannya klien seperti
status ekonomi, dan dapat diatasi dengan kriteria marah dan gelisah.
perubahan fungsi peran. hasil : 2. Beri lingkungan yang tenang. 2. Mengurangi rangsangan
1. Klien mengenal eksternal yang tidak perlu.
perasaannya. 3. Tingkatkan kontrol sensasi klien. 3. Memberikan informasi
2. dapat mengidentifikasi tentang keadaan klien,
penyebab atau factor yang menekankan penghargaan
mempengaruhi. terhadap pertahanan diri yang
3. menyatakan ansietasnya positif, memberikan umpan
berkurang. balik yang positif.
4. Beri kesempatan klien
4. Dapat menghilangkan
mengungkapkan ansietasnya.
ketegangan terhadap
kekhawatiran yang tidak
diekspresikan.
5. Berikan privasi kepada klien
5. Memberi waktu
dengan orang terdekat
mengekspresikan perasaan,
menghilangkan ansietas, dan
perilaku adaptasi.
DAFTAR PUSTAKA

Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process
Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 2014.
Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta,
2015.
Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta,
2014.
Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B.
Saunder Company, 2014.
Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI,
Jakarta, 2016.
Oswari, E, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2016.
Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 2015.
Rasjad C. Pengantar Bedah Ortopedi. PT. Yarsef Watampone : Jakarta. Hal 380-395.
2014
Reksoprodjo, Soelarto, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara,
Jakarta, 2015.
Wim de Jong & Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke 2 .EGC : Jakarta.
2016.

Anda mungkin juga menyukai