Anda di halaman 1dari 16

PAPER UJI PRAKLINIK DAN KLINIK TANAMAN OBAT

“UJI TOKSISITAS SUBKRONIS DAN KRONIS”

OLEH

NAMA : APRILIA HUSAIN

NIM : 19018021

KELAS : TRANSFER A 2019

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR

MAKASSAR

2020
I.1 Pengertian Uji Toksisitas
Uji toksisitas adalah suatu pengujian untuk mengamati suatu aktivitas
farmakologi suatu senyawa. Prinsip uji toksisitas merupakan pengujian
terhadap komponen bioaktif yang bersifat toksik jika diberikan dengan dosis
tinggi dan apabila diberikan dengan dosis rendah maka akan menjadi obat.
Zat atau senyawa asing yang ada di lingkungan dapat terserap ke dalam
tubuh secara difusi dan langsung akan mempengaruhi keseimbangan dalam
tubuh. Uji toksisitas digunakan untuk mengetahui pengaruh senyawa yang
dihasilkan oleh dosis tunggal dari suatu campuran senyawa pada hewan
coba sebagai uji pra skrining senyawa bioaktif (Fadli, 2015).
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat
pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis respon yang khas dari
sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberikan
informasi mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi
pemaparan pada manusia, sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya
demi keamanan manusia (Mayangsari,dkk. 2017)..
Uji toksisitas menggunakan hewan uji sebagai model, berguna untuk
melihat adanya reaksi biokimia, fisiologik dan patologik pada manusia
terhadap suatu sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara
mutlak untuk membuktikan keamanan suatu bahan pada manusia, namun
dapat memberikan petunjuk adanya toksisitas relatif dan membantu
identifikasi efek toksik bila dipaparkan pada manusia (Mayangsari,dkk.
2017)..
Faktor-faktor yang menentukan hasil uji toksisitas secara in vivo dapat
dipercaya adalah pemilihan spesies hewan uji, galur dan jumlah hewan serta
penggunaannya, cara pemberian sediaan, pemilihan dosis, efek samping
sediaan, teknik dan prosedur pengujian (Mayangsari,dkk. 2017).
uji toksisitas jenis ini mencangkup pemberian zat secara berulang
dalam waktu lebih lama dari uji toksisitas akut. Uji toksisitas jangka panjang
terdiri dari uji toksisitas subkronis, kronis dan seumur hidup (life long studies)
(Mayangsari,dkk. 2017).
Faktor lain yang turut berperan yaitu faktor fisik, lingkungan dan sosial.
Di samping itu, efek toksik suatu zat dapat dipengaruhi oleh senyawa lain
yang diberikan bersamaan. Efek toksik dapat berubah karena berbagai hal
seperti perubahan absorpsi, distribusi, dan ekskresi senyawa, peningkatan
atau pengurangan biotranformasi, serta perubahahan kepekaan reseptor
pada organ sasaran (Hernawati, 2012).
Efek toksik sangat bervariasi dalam mempengaruhi sifat, organ
sasaran, maupun mekanisme kerjanya. Umumnya toksikan hanya
mempengaruhi satu atau beberapa organ saja. Hal tersebut dapat
disebabkan lebih pekanya suatu organ, atau lebih tingginya kadar bahan
kimia dan metabolitnya di organ. Toksisitas merupakan sifat bawaan suatu
zat, bentuk dan tingkat manifestasi toksiknya pada suatu organisme
bergantung pada berbagai jenis faktor. Faktor yang nyata adalah dosis dan
lamanya pajanan. Faktor yang kurang nyata adalah spesies dan strain
hewan, jenis kelamin, umur, serta status gizi dan hormonal (Hernawati,
2012).
I.2 Prinsip Uji toksisitas
Uji toksisitas merupakan pengujian yang mempunyai banyak
keterbatasan, seperti adanya perbedaan spesies, efek toksik tertentu yang
hanya terjadi pada manusia. Derajat kepercayaan prediksi adanya toksisitas
pada manusia tergantung pada beberapa kondisi seperti pemilihan spesies
hewan uji, metode pemberiannya dan lain-lain. Meskipun metode uji yang
elah dirancang dengan baik dapat memberikan inikasi kemungkinan adanya
efek pada manusia, namun mengingat perbedaan spesies keterbatasan
jumlah hewan, dan sebagainya tidak menutup kemungkinan diperlukannya
pemantauan penggunaannya pada manusia (Moektiwardoyo, 2019)
I.3 Penggolongan Uji toksisitas
Pada umumnya metode uji toksisitas dapat dibagi menjadi dua
golongan golongan pertama terdiri atas uji toksisitas yang dirancang untuk
mengevaluasi keseluruhan efek umum suatu senyawa pada hewan uji. Pada
dasarnya secara individu uji golongan ini berbeda antara yang satu dengan
yang lainnya dalam kaitan dengan lamanya uji berlangsng dan luasnya
evalasi kritis pada hewan uji terhadap toksisitas umum. Uji-uji ini diidentifikasi
sebagai uji toksisitas akut, uji toksisitas subkronik dan uji toksisitas kronis
(Moektiwardoyo, 2019).
Golongan yang kedua dari uji toksisitas adalah uji toksisitas yang
dirancang untuk mengevaluasi dengan rinci tipe toksisitas spesifik termasuk
kedalam uji toksisitas spesifik adalah uji potensi, uji teratogenik, uji
reproduksi, uji tumorigenisitas dan uji karsiogenitas, dan uji perilaku
(Moektiwardoyo, 2019).
Uji toksisitas akut merupakan bagian dari uji praklinik yang dirancang
untuk mengukur efek toksik suatu senyawa. Toksisitas akut mengacu pada
efek toksik yang terjadi setelah pemberian oral dosis tunggal dalam selang
waktu 24 jam. Dosis Letal tengah atau LD50 adalah tolak ukur statistik
setelah pemberian dosis tunggal yang sering dipergunakan untuk
menyatakan tingkatan dosis toksik sebagai data kuantitatif. Sedangkan gejala
klinis, gejala fisiologis dan mekanisme toksik sebagai data kualitatifnya
(Mustafa, dkk 2017)
I. 4 Macam –macam uji toksisitas
Menurut bentuknya toksisitas dapat dibagi menjadi 2 bentuk, toksisitas
umum (akut, subakut atau subkronik, kronik) dan toksisitas khusus
(teratogenik, mutagenik, dan karsinogenik). Dalam uji toksisitas juga perlu
dibedakan obat tradisional yang dipakai secara singkat dan yang dipakai
dalam jangka waktu lama penggunaanya (Fadli, 2015).
I.4.1 Uji Toksisitas jangka pendek (subkronis)
Uji toksisitas subkronis adalah pengujian untuk mendeteksi efek toksik
yang muncul setelah pemberian sediaan uji atau zat dengan dosis berulang
yang deberikan selama kurang dari setengah usia harapan hidup hewan
(pada tikus 3 bulan, dengan usia tikus 24 bulan) (mayangsari,dkk. 2017).
Uji toksisitas jangka pendek (subkronis) uji ini dilakukan dengan
memberikan zat kimia tersebut berulang-ulang, biasanya setiap hari, atau 5
kali seminggu, selama jangka waktu kurang lebih 10% masa hidup hewan,
yaitu 3 bulan untuk tikus dan 1 atau 2 tahun untuk anjing. Namun, beberapa
peneliti menggunakan jangka watu yang lebih pendek, misalnya pemberian
zat kimia selama 14 dan 28 hari (Harmita.dkk, 2006)
Uji toksisitas jangka pendek ini disarankan untuk memilih tiga dosis
yaitu satu dosis yang cukup tinggi, dosis rendah yang diharapkan tidak akan
memberikan efek toksik sama sekali dan dosis menengah. Kadang kala
ditambahkan satu dosis atau lebih untuk memastikan tujuan diatas agar
dapat dicapai dan kelompok pembanding harus diikutsertakan (Lu, 2010).
Tujuan utama dari uji ini adalah untuk mengungkapkan dosis tertinggi yang
diberikan tanpa memberikan efek merugikan serta untuk mengetahui
pengaruh senyawa kimia terhadap tubuh dalam pemberian berulang. Uji ini
ditujukan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik senyawa uji serta
untuk memperlihatkan apakah spektrum efek toksik itu berkaitan dengan
takaran dosis (Fadli, 2015).
Persyaratan dalam uji toksisitas subkronik antara lain hewan yang
digunakan adalah rodensia tikus putih (strain Sprague Dawley atau Wistar)
atau mencit (strain ddY atau BALB/c dan lain-lainnya). Syarat hewan uji
adalah sehat, umur 6-8 minggu. Dosis yang digunakan adalah sekurang-
kurangnya digunakan 3 kelompok dosis yang berbeda antara lain dosis
sediaan uji yang paling tinggi menimbulkan efek toksik tetapi tidak
menimbulkan kematian atau gejala toksisitas yang berat, dosis menengah
menimbulkan gejala toksik yang lebih ringan sedangkan dosis yang paling
rendah tidak menimbulkan gejala toksik (NOAEL) (BPOM, 2014).
Pemeriksaan lain meliputi analisa organ individu. Analisa organ
individu merupakan hal yang perlu dilakukan untuk mengetahui efek samping
yang muncul terhadap pemberian obat yang mengandung toksik. Pemberian
obat yang mengandung toksik melalui jalur oral ke dalam tubuh akan diserap
masuk ke saluran pencernaan kemudian akan memasuki darah, sehingga
akan terdistribusi cepat ke seluruh tubuh (Harrison et,al. 2013).
Uji sub kronik bertujuan untuk mengetahui pengaruh toksisikan
terhadap perubahan beberapa parameter biometrik biota uji serta tingkat
gangguan fisiologis dan kerusakan jaringan yang terjadi pada organ biota uji.
Perubahan yang terjadi pada biometrik, fisiologis, dan kerusakan jaringan
biota uji dapat diukur pada selang waktu yang ditentukan maupun pada akhir
masa pemaparan. Konsentrasi toksikan pada uji sub-konik dapat didasarkan
pada konsentrasi batas aman toksikan, dan nilai dari konsentrasi batas
aman. (Muliari dkk,2019)
Uji toksisitas subkronis adalah pengujian untuk mendeteksi efek toksik
yang muncul setelah pemberian sediaan uji atauzat dengan dosis berulang
yang diberikan selama kurang dari serengah usia harapan hidup hewan
( pada tikus 3 bulan, dengan usia tikus 24 bulan) (Lestari, 2014)
I.4.2 Uji toksisitas akut
Uji toksisitas akut bertujuan untuk mengamati efek toksik suatu
senyawa yang bisa terjadi dalam jangka waktu yang singkat setelah
pemberiannya dengan takaran tertentu. Paling tidak empat peringkat dosis
yang dianjurkan dalam pengujian toksisitas akut, dosis tersebut berkisar dari
dosis terendah yang tidak atau hampir tidak mematikan seluruh hewan uji
sampai dengan dosis tertinggi yang dapat mematikan seluruh atau hampir
seluruh hewan uji (Fadli, 2015).
I.4.3 Uji toksisitas kronik
Uji toksisitas kronik tujuan uji toksisitas kronik adalah untuk
memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji
toksisitas subkronik, karakterisasi toksisitas dari suatu sediaan uji yang
dipaparkan dalam waktu lama dan berulang, dan menentukan dosis yang
tidak menimbulkan efek toksik (BPOM, 2014).
Uji toksisitas suatu produk bertujuan untuk mengukur tingkat toksik
suatu zat. Biasanya pada uji toksisitas menggunakan hewan uji seperti
kelinci, anjing, hamster, monyet, tikus dan lain-lain (floridha, 2016)
Uji toksisitas kronis adalah sama dengan subkronis dengan waktu
lebih panjang yaitu 6 bulan. Uji toksisitas kronis dengan waktu lebih panjang
dari 6 bulan tidak akan bermanfaat kecuali untuk melihat efek homogenitas.
Pada uji toksisitas kronis diutamakan menguji keamanan obat atau bahan
kimia lain (mayangsari,dkk. 2017).
Uji toksisitas jangka panjang (kronis) percobaan jenis ini mencangkup
pemberian zat kimia secara berulang selama 3-6 bulan atau seumur hidup
hewa, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk tikus, dan 7-10 tahun
untuk anjing dan monyet.memperpanjang percobaan kronis lebih dari 6 bulan
tidak akan bermanfaat, kecuali untuk percobaan karsinogenik
(mayangsari,dkk. 2017).
Uji toksisitas jangka panjang uji toksisitas jenis ini mencakup
pemberian zat secara berulang dalam waktu lebih lama uji toksisitas akut. uji
toksisitas jangka panjang terdiri dari uji toksisitas subkronis, kronis dan
seumur hidup hewan (life long studies) (Lestari, 2014).
I.5. Rancangan Percobaan
Hewan Uji
Sekurang-kurangnya digunakan 2 jenis hewan, hewan pengerat dan
bukan hewan pengerat. Biasanya dapat digunakan tikus dan anjing, jantan
dan betina, sehat, dewasa, umur 5-6 mingu untuk tikus, dan 4-6 bulan untuk
anjing.
Jumlah Hewan Uji
Masing-masing kelompok terdiri atas 10 ekor hewan pengerat atau 4
ekor anjing untuk setiap jenis kelamin. Jikapada percobaan akandilakuakan
pengorbanan atau pembedahan hewan percobaan, jumlah hewan uji harus
sudah dipertimbangkan sebelumnya.
Kondisi Ruangan dan Pemeliharaan Hewan Uji
Untuk hewan pengerat, digunakan ruangan dengan suhu 22⁰C (±
3⁰C), kelembapan relatif 30 -70%, dan penerangan 12 jam terang dan gelap.
Untuk ukan hewan pengerat, kondisi runagan dan pemeliharaan hewan
disesuaikan dengan jenis hewan. Hewan dikelompokan dalam kandang
berdasarkan jenis kelamin. Ukuran kandang yang digunakan sesuai dengan
jumlah hewan perkandang. Hewan diberi makanan hewan laboratorium yang
sesuai, makanan dan minuman diberikan tanpa batas.
Dosis Uji
Sekurang-kurangnya digunakan 3 kelompok dosis dan satu kelompok
kontrol untuk setiap jenis kelamin. Dosis dan jumlah kelompok dosis harus
cukup sehingga dapat diperoleh dosis toksik dan dosis tidak berefek. Dosis
toksik harus menyebabkan gejala toksik yang nyata pada beberapa hewan uji
dan terjadinya kematian tidak boleh lebih dari 10%, sedangkan dosis tidak
digunakan 10-20% dari harga LD 50 dengan mempertimbangkan hasil yang
diperoleh dari uji pendahuluan; tingakat dosis lain ditetapkan dengan faktor
perkalian tetap 2-10.
Batas Uji
Jika pada dosis 1000 mg/kg bobot badan tidak dihasilkan efek toksik,
dosis tidak perlu dinaikan lagi meskipun dosis yang diharapkan untuk
manusia belum dicapai.
Cara Pemberian Zat Uji
Pada dasarnya, zat ujiharus diberikan sesuai dengan cara pemberian
atau pemaparan yang diperkirakan pada manusia. Jika diberikan secara oral,
zat uji dapat diberikan dengan pencekokan menggunakan sonde atau ad
libitum didalam makanan atau minuman hewan. Jika dicampur dengan
makanan atau minuman hewan, jumlah zat uji yang ditambahkan harus
diperhitungkan berdasarkan jumlah makananatau minuman yang di konsumsi
setiap hari.
Lama Pemberian Zat Uji
Lama pemberian zat uji adalah 28-90 hari atau 10% dari seluruh umur
hidup hewan, diberikan 7 hari dalam seminggu.
Prosedur
Sebelum percobaan dimulai, hewan di aklimatisasi didalam ruangan
percobaan selama kurang lebih 7 hari. Hewan dikelompokan secara acak
sedemikian rupa sehingga penyebaran bobot badan mereka merata untuk
semua kelompok.
Masing-masing hewan uji pada setiap kelompok harus diamati setiap
hari terhadap adanya gejala-gejala toksik. Bobot badan ditimbang paling
sedikit 1 kali dalam 1 minggu.
Makanan yang dikonsumsi oleh masing-masing hewan atau
perkelompok ditimbang paling sedikit 1 kali dalam 1 minggu. Hewan yang
mati selama periode pemberian zat uji harus segera di autopsi; setiap organ
dan jaringan diamati secar makropatologi; dan jika perlu, lakukan
pemeriksaan histopatologi dan penimbangan organ tertentu.
Hewan yang jelas-jelas sudah sekarat selama periode pemberian zat
uji harus segera dikorbankan, diautopsi, setiap organ dan jaringannya diamati
secara makropatologi,organ tertentu ditimbang, serta harus dilakukan
pemeriksaan parameter hematologi, biokimia klinis, dan histopatologi.
Pada akhir periode pemberian zat uji, semua hewan yang hidup
dikorbankan, diautopsi, dilakukan pengamatan mikropatologi, penimbangan
organ-organ tertentu, dan pemeriksaan histopatologi pada setiap organ dan
jaringan. Pemeriksaan parameter hematologi dan biokimia klinis harus
dilakukan pada darah yang dikumpulkan pada saat pengorbanan hewan;
pemeriksaan dilakukan terhadap sebanyak mungkin parameter.
Parameter hematologi yang diuji antara lain jumlah eritrosit; jumlah
leukosit; angka hematokrit; kadar hemoglobin; hitung jenis leukosit;serta
tetapan darah MCV, MCH, DAN MCHC.
Parameter biokimia klinis yang diuji antara lain protein total;albumin;
nitrogen urea;kreatinin; bilirubin total; glukosa; kolesterol; alkaline fosfatase;
glutamat oksaloasetat transminase; glutamatpiruvattransaminase; laktat
dehidrogenase; kolinestrease; kalsium; fosfor anorganik.
Organ dan jaringan yang diperiksa secara histopatologi antara lain
kulit, kelenjar getah bening, kelenjar sukmaksila, tulang dada, tulng paha,
timus, trakea, paru-paru dan bronki, jantung, pankreas, limpa, ginjl, kelenjar
anak ginjal, kandung kemih, epididimis, testis atau ovarium, uterus, otak,
kelenjar tiroid dan paratiroid, lidah, esofagus, lambung, duodenum,usus
kecil/besar, hati, kelenjar pituitari, sumsum tulang belakang, serta organ atau
jaringan lain yang menunjukan perubahan-perubahan secara makropatologi.
Organ ditimbang; organ berupa pasangan ditimbang bersamaan.
Berdasarkan hasil pengamatan secara makropatologi, gejala-gejala klinis,
atau pertimbangan lain, beberapa organ atau jaringan tidak perlu diuji.
Evaluasi Hasil
Harus dilakukan evaluasi hubungan dosis dan efek terjadi, yaitu
terjadinya efek toksik dan derajat toksisitas, termasuk perubahan bobot
badan, gejala klinis, parameter hematologi, biokimi klinis, makropatologi dan
histopatologi, dan organ sasaran, kematian, dan efek umum lain atau efek
yang spesifik jika ada (Harmita.dkk, 2006).
I.6 Rancangan Percobaan
Prinsip
Sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada
beberapa kelompok hewan uji selama tidak kurang dari 12 bulan. Selama
waktu pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setiap hari untuk
menentukan adanya toksisitas. Hewan yang mati selama periode pemberian
sediaan uji, bila belum melewati periode rigor mortis (kaku) segera diotopsi,
organ dan jaringan diamati secara makropatologi dan histopatologi. Pada
akhir periode pemberian sediaan uji, semua hewan yang masih hidup
diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap
organ maupun jaringan, serta dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia
klinis, histopatologi (BPOM RI, 2014).
Hewan Uji dan Jumlah
Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih (strain Sprague
Dawley atau Wistar) atau mencit (strain ddY atau BALB/c dan lain-lainnya).
Syarat hewan uji adalah sehat, umur 4-5 minggu (sesegera mungkin setelah
weaning dan masa aklimatisasi). Masing-masing kelompok dosis
menggunakan hewan minimal 40 ekor yang terdiri dari 20 ekor jantan dan 20
ekor betina untuk setiap kelompok dosis, 20 ekor hewan yang terdiri dari 10
ekor jantan dan 10 ekor betina diotopsi pada bulan ke-6 (kelompok ad
interim) untuk diperiksa hematologi, biokimia klinis dan histopatologi.
Sebelum percobaan dimulai, hewan diaklimatisasi di ruang percobaan
selama lebih kurang 7 hari. Hewan dikelompokkan secara acak sedemikian
rupa sehingga penyebaran berat badan merata untuk semua kelompok
dengan variasi berat badan tidak melebihi 20% dari rata-rata berat badan
(BPOM RI, 2014)..
Dosis Uji
Sekurang-kurangnya digunakan 3 kelompok dosis yang berbeda, 1
kelompok kontrol dan kelompok ad-interim (semua dosis dan kelompok
kontrol) untuk setiap jenis kelamin. Tingkat dosis yang paling tinggi harus
menunjukkan efek toksik tetapi tidak menimbulkan insiden fatal; tingkat dosis
menengah menunjukkan tingkatan pengaruh toksik; sedangkan tingkat dosis
yang paling rendah tidak menimbulkan gejala toksik NOAEL (BPOM RI,
2014).
Batas Uji
Bila pada dosis 1000 mg/kg berat badan tidak dihasilkan efek toksik,
dosis tidak perlu dinaikkan lagi (BPOM RI, 2014)..
Penyiapan Sediaan Uji
Sediaan uji dilarutkan dengan bahan pembawa yang sesuai (misalnya
aquadestilata, minyak nabati) sampai dengan dosis yang dikehendaki (BPOM
RI, 2014)..
Cara Pemberian dan Volume Pemberian
Pada dasarnya cara pemberian sediaan uji harus disesuaikan dengan
cara pemberian atau pemaparan yang diterapkan pada manusia, biasanya
diberikan secara oral dengan volume pemberian 1 mL sediaan uji per 100 g
berat badan hewan, tetapi dalam kondisi tertentu volume pemberian dapat
sampai 2 mL sediaan uji per 100 g berat badan hewan apabila digunakan
pembawa air (BPOM RI, 2014).
Waktu Pemberian Sediaan Uji
Sediaan uji diberikan setiap hari selama tidak kurang dari 12 bulan
(BPOM RI, 2014).
Pengamatan
Pengamatan terjadinya gejala-gejala toksik dan gejala klinis yang
berupa perubahan kulit, bulu, mata, membran mukosa, sekresi, ekskresi,
perubahan cara jalan, tingkah laku yang aneh (misalnya berjalan mundur),
kejang dilakukan setiap hari selama 12 bulan (BPOM RI, 2014)..
Monitoring Berat Badan dan Konsumsi Makanan
Monitoring kenaikan berat badan dilakukan seminggu 2 kali. Hewan
ditimbang setiap hari untuk menentukan volume sediaan uji yang akan
diberikan. Sedangkan jumlah makanan yang dikonsumsi ditimbang dua hari
sekali (BPOM RI, 2014)..
Pengambilan Darah
Darah diambil menggunakan alat suntik steril dan selalu dijaga agar
tidak terkena air (untuk menghindari terjadinya hemolisis). Setelah hewan
dianestesi dengan eter darah diambil dari vena jugularis secara perlahan-
lahan menggunakan alat suntik steril sebanyak 3–5 mL, satu alat suntik
digunakan untuk satu hewan. Sebanyak 0,5 mL darah dimasukkan kedalam
tabung mikrosentrifus yang telah diisi antikoagulan (EDTA) sebanyak 10 µL
untuk pemeriksaan hematologi, sebanyak 0,5 mL darah untuk pembuatan
apusan darah. Sisanya dimasukkan kedalam tabung pemusing/tabung
sentrifus dan didiamkan pada suhu kamar selama 10 menit, kemudian
dipindahkan ke dalam tangas es tidak boleh kurang dari 20 menit dan segera
disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Selanjutnya serum
dipisahkan dan disimpan dalam lemari beku (-200C) untuk pemeriksaan
biokimia klinis (BPOM RI, 2014)..
Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan hematologi meliputi: konsentrasi hemoglobin, jumlah
eritrosit, jumlah leukosit, diferensial leukosit, hematokrit, jumlah platelet
(trombosit), perhitungan tetapan darah yaitu: MCV, MCH, MCHC dan
penetapan deferensial leukosit (BPOM RI, 2014)..
Pemeriksaan Biokimia Klinis
Pemeriksaan biokomia klinis menurut OECD (2001) meliputi: natrium,
kalium, glukosa, total-kolesterol, trigliserida, nitrogen urea, kreatinin, total-
protein, albumin, GOT, GPT, total-bilirubin, alkaline fosfatase, gamma
glutamil trans-peptidase, LDH, asam empedu. Sedangkan menurut WHO
(2000) pemeriksaan biokimia klinis meliputi: fungsi hati (GOT, GPT, gamma
GT) dan fungsi ginjal (nitrogen urea, kreatinin, total-bilirubin). Parameter
utama minimal yang harus diperiksa adalah glukosa, total-kolesterol,
trigliserida, nitrogen urea, kreatinin, GOT, dan GPT (BPOM RI, 2014)..
Pengamatan Makropatologi
Hewan yang telah dikorbankan harus segera diotopsi dan dilakukan
pengamatan secara makropatologi secara seksama untuk setiap organ
(BPOM RI, 2014).
Penimbangan Organ
Organ yang akan ditimbang (bobot absolut) harus dikeringkan terlebih
dahulu dengan kertas penyerap, kemudian segera ditimbang, sedangkan
yang dianalisis adalah bobot relatif, yaitu bobot organ absolut dibagi bobot
badan (BPOM RI, 2014).
Pemeriksaan Histopatologi
Organ yang diperiksa secara histopatologi meliputi: otak, pituitari,
tiroid, timus, paru-paru, jantung, hati, ginjal, limpa, adrenal, pankreas, testis,
vesikula seminalis, kantong kemih, indung telur, uterus, epididimis, usus,
limfo nodus, saraf tepi, lambung, tulang dada, tulang paha, sumsum tulang
belakang atau sekurang-kurangnya 5 organ utama yaitu hati, limpa, jantung,
ginjal, paru dan ditambah organ sasaran yang diketahui secara spesifik.
Organ-organ kecil seperti pituitari, tiroid, adrenal yang tidak memungkinkan
untuk dibuat preparat histopatologi dapat diabaikan. Setiap organ dan
jaringan yang sudah dipisahkan segera dimasukkan dalam larutan dapar
formaldehida 10% dan dibuat preparat histopatologi kemudian diperiksa
dibawah mikroskop (BPOM RI, 2014).
Evaluasi Hasil
Evaluasi hubungan dosis dan efek yang terjadi yaitu terjadinya efek
toksik dan derajat toksisitas, yang meliputi perubahan berat badan, gejala
klinis, parameter hematologi, biokimia klinis, makropatologi dan histopatologi,
organ sasaran, kematian dan efek umum lain atau efek yang spesifik (BPOM
RI, 2014)..
DAFTAR PUSTAKA

BPOM. 2014. Pedoman Uji Toksisitas Secara In Vivo. Jakarta; Menteri


Hukum Dan HAM
BPOM RI. 2014. Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo. Jakarta :
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia
Elly Mayangsari., Bayu Lestari., Setyawati Soeharto., Nurdiana.,
Nurpermatasari., Umi Kalsum., Husnul Khotimah., Dian Nugrahenny.
2017. Buku Ajar Farmakologi Dasar. Malang : UB Press
Fadli, Muhammad Yogie 2015. Uji Toksisitas Ekstrak Etanol Daun Sambung
Nyawa (Gynura Procumbes (Lour) Merr) Terhadap Gambaran
Hispatologis Lambung Pada Tikus Galur Sprague Dawley. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Flodridha, Fudhita & Annisa Ulfah Pristya. 2016. Nano Teknologi Dibidang
Kesehatan . U.B Press; Malang
Harmita., Maksum Radji., M.Biomed. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati. Edisi
Ketiga. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta
Harrison, Longo L Dkk. 2013. Gastroentologi Dan Hepatologi. Jakarta; EGC
Hernawati. 2012. Gambaran Efek Toksik Etanol Pada Sel Hati. Bandung
Lestari, Cinthyarindi Tiffani. 2014. Konsentrasi Bilirubin Aktivitas Aspartate
Aminotransferase Dan Alanine Aminotransferase Pada Anjing Yang
Terinfeksi Babesia Sp. Kronis. Skripsi .Fakultas Kedokteran Hewan.
Institute Pertanian Bogor
Lu, Frank C. 2010. Toksikologi Dasar. Jakarta; UI Press
Moektiwardoyo, Moelyono., Yoppi Iskandar., Yasminar Susilawati., Ida
Musfiroh., Sri Adi Sumiwi., Jutti Levita., Marline Abdassah. 2019.
Jawer Kotok Plectranthus Scntellarioides Dari Etnofarmasi Menjadi
Sediaan Fitofarmasi. CV Budi Utama; Yogyakarta
Muliari., Ilham Zulfahmi., Yusrizal Akmal. 2019. Ekotoksikologi Akuatik. IPB
Press; Bogor
Mustapa, A.M., Tety Tuloli., Abdul Muis Mooduto. 2017. Uji Toksisitas Akut
Yang Diukur Dengan Penentuan LD50 Ekstrak Etnanol Bunga
Cengkeh (Syzygium aromaticum L) Terhadap Mencit (Mus Musculus)
Menggunakan Metode Thompson-Weil. Universitas Negeri Gorontalo;
Gorontalo

Anda mungkin juga menyukai