Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga disebut typhus
atau types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi terutama menyerang bagian
saluran pencernaan. Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat
(endemik) di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa.

Penyakit ini pertama kali muncul dalam wabah yang terjadi di Athena sampai Sparta
Yunani pada tahun 430-424 SM. Sejarah yang tidak kalah menarik adalah tentang “Tifoid
Marry” yang pada tahun 1907 menjadi seorang carier/ pembawa penyakit tifoid di Amerika,
dimana setiap restoran tempat dia bekerja selalu terjadi epidemi tifoid.

Di Indonesia, diperkirakan antara 800 - 100.000 orang terkena penyakit tifus atau demam
tifoid sepanjang tahun. Demam ini terutama muncul di musim kemarau dan konon anak
perempuan lebih sering terserang, peningkatan kasus saat ini terjadi pada usia dibawah 5 tahun.

Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan. Di daerah rural (Jawa Barat) didapatkan 157 kasus per 100.000 penduduk,
sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 kasus per 100.000 penduduk. Perbedaan insiden
di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi
lingkungan dengan salah satunya tempat pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat
kesehatan lingkungan.

Prevalensi kasus 91% demam tifoid terjadi pada usia 3-19 tahun, kejadian meningkat
setelah usia 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan
penyakit demam lainnya sehingga untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan
kuman untuk konfirmasi. Demam yang terjadi biasanya bertipe berkepanjangan (prolonged
fever), yaitu demam yang berlangsung minimal lebih dari 5 hari dengan pola yang biasanya
khas/klasik yaitu demam yang rendah dan perlahan-lahan lalu meningkat dari hari ke hari hingga
cenderung konstan tinggi. Namun pola demam yang seperti itu sudah jarang ditemui karena
pengaruh pemakaian antibiotik dalam pengobatan pribadi.

Bakteri penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhii bersama turunan lainnya
Salmonella paratyphii A dan parathypii B kedua kuman ini dapat mencemari makanan dan
minuman penderita karena paling sering ditemukan di tinja atau air kemih penderita. Sanitasi
yang kurang adalah penyebab utama seperti pencucian tangan yang kurang bersih, makanan atau
minuman yang tercemar vektor pembawa penyakit seperti lalat sehingga memudahkan penularan
penyakit melalui media fecal-oral.

Pada anak- anak demam tifoid cukup sering ditemui, salah satu penyebabnya selain
sanitasi adalah system kekebalan atau imunitas yang belum berkembang dengan baik.
Komplikasi atau penyulit pun tidak jarang terjadi seperti gangguan SSP (delirium sampai
gangguan kesadaran) dan perforasi usus yang menyebabkan peritonitis. Sedangkan pada bayi
relative jarang ditemukan karena masih mendapatkan perlindungan dari ASI yang mengandung
IgA sekretorik yang memberikan proteksi local khususnya pada saluran cerna.

Seringkali keterlambatan diagnosis dan ketidakpahaman orang tua terhadap apa yang
dialami oleh anak menjadikan demam tifoid cukup serius untuk ditangani. Penularan yang cukup
mungkin terjadi adalah pada orang tua atau orang- orang serumah yang kontak dengan penderita.
Sangatlah mungkin dari penderita yang sifatnya tidak memperlihatkan gejala tapi sesungguhnya
membawa penyakit dalam tubuhnya (carier).

Pada tahun 1897, Almorth Edward Wright mengembangkan vaksin untuk penyakit ini
disusul pada tahun 1909 Frederik F. Russell, seorang dokter Angkatan Darat AS yang
mengembangkan vaksin ini untuk kemudian divaksinasikan guna mengeliminasi epidemi tifus
kala itu.

Saat ini telah berkembang imunisasi untuk demam tifoid ini yaitu Ty21a dan ViCPS,
namun masih dicari tingkat efektivitas dan keamanannya terutama bagi anak anak.
BAB II

TINJAUAN TEORI

1 Definisi

Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram negatif
Salmonella typhii. Disebut Tifoid karena pada awalnya penyakit ini memiliki mnanifestasi yang
hampir sama dengan Demam Tifus yang disebabkan oleh bakteri Rickettsia oleh karena itu
penyakit ini diberi akhiran “id” yang berarti mirip.

Di Indonesia sendiri penyakit ini lebih akrab dengan sebutan Tifus atau Tipes karena
kemiripannya dengan demam Tifus tersebut. Demam tifoid merupakan suatu infeksi Fecal-Oral
yang pada nantinya akan menyerang saluran Cerna khususnya usus halus (jejunum dan ileum)
dilanjutkan dengan masuknya ke dalam aliran darah (bakteremia) yang akan menyebabkan gejala
atau tanda yang khas tempat dimana kuman melewati organ selama bakteremia tersebut.

2 Etiologi

Salmonella sp. adalah salah satu strain dari bakteri gram negative bentuk bacil atau
batang, tidak berspora, tidak berkapsul, bergerak dengan flagella peritrik, memiliki ukuran 2-4
µm x 0,5 -0,8 µm. Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif anaerob, mati dalam
suhu 56oC dan pada keadaan kering. Di dalam air dapat bertahan selama 4 minggu dan hidup
subur dalam media yang mengandung garam empedu. Memiliki 3 macam antigen yaitu antigen
O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel) dan antigen Vi

Berdasarkan serotipenya kuman Salmonella dibedakan menjadi 4: Salmonella typhi,


Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Serotipe group D.

Salmonella typhi, Paratyphi A, dan Paratyphi B merupakan penyebab infeksi utama pada
manusia, bakteri ini selalu masuk melalui jalan oral, biasanya dengan mengkontaminasi makanan
dan minuman. Faktor- faktor lain yang mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap infeksi
Salmonella sp. adalah keasaman lambung, flora normal usus, dan ketahanan usus lokal.
3 Epidemologi

Demam tifoid dan paratifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemic di Asia,
Afrika, Amerika Latin, kep. Karibia, dan Oceania, termasuk Indonesia. Penyakit ini tergolong
menular yang dapat menyerang banyak orang melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi.

Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 2002 sekitar 16 juta per
tahun, 600.000 diantaranya berakhir dengan kematian. Di Indonesia prevalensi 91% kasus
demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun dengan kejadian yang meningkat setelah usia 5
tahun.

Ada dua sumber penularan penyakit ini yaitu pasien yang menderita demam tifoid dan
yang lebih sering adalah dari carier yaitu orang yang sudah sembuh dari demam tifoid tapi masih
mengekskresikan S. typhii dalam tinja selama lebih dari setahun.

Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui secret
saluran nafas, urin, tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang
berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es,
debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Mudah mati pada klorisasi dan
pasteurinisasi (temp 63oC).

Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui makanan/minuman yang


tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman (carier), biasanya keluar
bersama- sama dengan tinja (rute fecal-oral).

Dapat juga terjadi transmisi transprasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu
pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari
laboratorium penelitian.
4 Patofisiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti


organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup
dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ-
organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah,
4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air
ke dalam lumen intestinal

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos
masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui,
jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 10 5 dan jumlah
bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post
gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum. Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.

Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk
ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus
usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif
maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi
yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal
ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa
mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S. typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus.

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,
respirasi, dan gangguan organ lainnya.

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus.
Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel
usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk
dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem
vaskuler, yang tidak stabiil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis.
5 Gejala Klinis

Keluhan dan gejala Demam Tifoid umumnya tidak khas, dan bervariasi dari gejala yang
menyerupai flu ringan sampai sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara
klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan
gastrointestinal dan keluhan susunan saraf pusat.

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Demam lebih dari 7 hari,
biasanya mulai dengan subfebris yang makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2
panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari. Demam yang terjadi biasanya khas tinggi
pada sore hingga malam hari dapat mencapai 39-40oC dan cenderung turun menjelang pagi.
Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Pada minggu ketiga suhu
badan berangsur- angsur turun dan normal pada akhir minggu ketiga. Perlu diperhatikan bahwa
tidak selalu ada bentuk demam yang khas seperti di atas pada demam tifoid. Tipe deman menjadi
tidak beraturan, mungkin karena intervensi pengobatan (penggunaan antipiretik atau antibiotic
lebih awal) atau komplikasi yang terjadi lebih awal. Pada khususnya anak balita, demam tinggi
dapat menyebabkan kejang.

Mekanisme demam sendiri tidak jauh berbeda dengan mekanisme demam akibat infeksi
pada umumnya. Dimana Bakteri Salmonella typhi yang memproduksi endotoksin merupakan
pirogen eksogen selain mediator- mediator radang yang disekresi oleh sel- sel mukosa usus yang
mengalami infeksi (IL-1, IL-6, TNF-alfa, & IFN-6) yang merupakan pirogen endogen. Kedua
pirogen ini akan mengaktivasi pelepasan Fosfolipase A2 pada membran sel yang mana akan
mengaktivasi asam arakidonat yang melalui jalur siklooksigenase memproduksi Prostaglandin
E2 (PGE2). Prostaglandin E2 bersama dengan AMP siklik yang diaktivasinya akan mengubah
seting termostat yang terdapat di hipothalamus sehingga terjadilah demam.

Gejala sistem gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, perut
kembung, lidah kotor, sampai hepato-splenomegali. Gastrointestinal problem biasanya
dipengaruhi oleh peredaran bakteri atau endotoksinnya pada sirkulasi. Dari cavum oris
didapatkan lidah kotor yaitu ditutupi selaput putih dengan tepi yang kemerehan kadangkala
waktu lidah dijulurkan lidah akan tremor kesemua tanda pada lidah ini disebut dengan Tifoid
Tongue. Meskipun jarang ditemukan pada anak- anak tapi cukup berarti diagnostik. Gejala-
gejala lain yang tidak spesifik seperti mual, anoreksia. Karena bakteri menempel pada mukosa
usus dan berkembang biak dalam Peyer patch di dalamnya maka tidak jarang akan muncul
gejala- gejala seperti diare atau kadang diselingi konstipasi. Diare merupakan respon terhadap
adanya bakteri dalam lumen usus yang perlu untuk secepatnya dikeluarkan, namun diare pada
demam tifoid tidak sampai menyebabkan dehidrasi, pun begitu dengan konstipasi yang mungkin
baru dialami setelah mengalami diare beberapa kali. Penderita anak- anak lebih sering
mengalami diare daripada konstipasi dewasa sebaliknya, hal itulah yang kadang- kadang
membuat sering miss diagnosis ketika penderita datang berobat.

Kuman yang mengalami perjalanan dalam sirkulasi (bekteremia) juga menimbulkan


gejala pada organ Retikulo Endotelial System salah satunya Hepar dan Lien. Hepato-
splenomegali terjadi akibat dari replikasi kuman dalam sel- sel fagosit atau sinusoid. Replikasi
dalam hepar dan lien ini tentunya akan menyebabkan respon inflamasi lokal yang melibatkan
mediator radang seperti InterLeukin (IL-1, IL-6), Prostaglandin (PGE-2) dimana menyebabkan
permeabilitas kapiler akan meningkat sehingga terjadi oedema. Pembesaran pada hepar-lien ini
umumnya tidak selalu nyeri tekan dan hanya berlangsung singkat (terutama terjadi waktu
bakteremia sekunder). Penanda ini cukup spesifik dalam membantu diagnostik.

Gangguan Sistem Saraf terjadi bila ada toksin yang menembus Blood Brain Barier, pada
anak gangguan sistem saraf akibat tifoid ini lebih sering bersifat Sindrom Otak Organik yang
berarti kelainan extra cranial mengakibatkan gangguan kesadaran seperti Delirium, gelisah,
somnolen, supor hingga koma. Pada anak- anak tanda- tanda ini sering muncul waktu mereka
tidur dengan manifestasi khas “mengigau atau nglindur” yang terjadi selama periode demam
tifoid tersebut. Gangguan otak organik ini biasanya lebih berat ditemukan pada demam tifoid
pada keadaan lanjut yang sudah mengalami komplikasi. Pada keadaan ini biasanya gangguan
kesadaran tidak lagi ditemukan hanya sewaktu tidur saja melainkan bisa timbul sewaktu- waktu.

Pada ekstremitas, punggung, atau perut mungkin didapatkan floresensi kulit berupa ruam
makulo papular kemerahan dengan ukuran 1-5 mm yang mirip dengan ptechiae disebut dengan
Roseola/ Rose Spot. Penyebab roseola ini karena emboli basil dalam kapiler kulit terkumpul di
bawah permukaan kulit sehingga menyerupai bentuk bunga roseola. Ruam ini muncul paa hari
ke 7-10 dan beratahn selama 2-3 hari. Namun menurut IDAI penyakit tropik infeksi ruam/rose
spot ini hampir tidak pernah dilaporkan pada kasus anak di Indonesia.

6. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik penderita sangat tergantung pada keadaan pasien yang


bervariasi menurut sudah sampai dimana perjalanan penyakitnya.

Keadaan Umum anak biasanya tampak lemah atau lebih rewel dari biasanya. Pada
keadaan yang sudah terjadi komplikasi sangat mungkin keadaan menjadi toksik, salah
satunya adalah penurunan kesadaran mulai dari delirium, stupor hingga koma.

Pada pemeriksaan kepala dan leher observasi tanda- tanda dehidrasi yang
mungkin terjadi akibat diare sebagai suatu symptom yang dapat terjadi pada infeksi
demam tifoid. Tanda- tanda dehidrasi dapat dinilai dari mata cowong dan bibir kering
dengan rasa haus yang meningkat. Pemeriksaan intra oral evaluasi lidah apakah
didapatkan Tifoid Tongue dengan pinggir yang hiperemi sampai tremor.

Pemeriksaan Thorax pada umumnya jarang didapatkan kelainan, kecuali pada


demam tifoid yang sangat berat dengan komplikasi extraintestinal pada cavum pleura
yang menyebabkan pleuritis, namun sangat jaarang terjadi pada anak- anak.
Pemeriksaan Abdomen adalah yang paling penting dari pemeriksaan fisik pada
demam tifoid. Meteorismus dapat terjadi karena pengaruh kuman Salmonella typhi pada
intestinal atau akibat pengaruh diare yang diselingi konstipasi. Bising usus biasanya
meningkat baik pada saat diare maupun saat konstipasi. Palpasi organ kemungkinan
didapatkan hepato-splenomegali ringan permukaan rata dengan nyeri tekan minimal.

Pada extremitas, thorax, abdomen, atau punggung biasanya didapatkan rose spot
atau Roseola, yaitu ruam makulopapular kemerahan dengan diameter 1-5 mm. Namun
sangat jarang terjadi pada anak- anak

7. Pemeriksaan Penunjang

 Darah Lengkap, pada darah lengkap infeksi bakteri akan menunjukkan leukositosis
dengan hitung jenis yang cenderung ke kiri (Diff. count shift to the Left). Namun
untuk tifoid leukosit cenderung normal atau bahkan sampai leukopenia. Penyebab dari
leukopenia ini belum diketahui secara jelas, tetapi diyakini akibat replikasi kuman di
dalam Peyer Patch yang merupakan makrofag jaringan usus sehingga tidak mampu
dideteksi oleh polimorfonuklear leukosit granul seperti Netrofil stab ataupun segmen.
Makrofag jaringan merupakan Limfosit sehingga tidak jarang terjadi Limfositosis
relatif, karena makrofag meningkat sedangkan lekosit PMN normal sampai menurun,
hitung jenis bisa jadi Shift to Right. Namun tidak jarang ditemukan leukosit yang
meningkat (leukositosis) bisa primer ataupun sekunder. Primer dari penyakit demam
tifoid itu sendiri, sedangkan sekunder bisa terjadi akibat infeksi tumpangan. Pada
keadaan Demam Tifoid yang sudah terjadi komplikasi berupa perdarahan usus sangat
mungkin didapatkan anemia dengan tipe Hipokromik Mikrositik.

 Uji Widal, uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella
typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella
typhi dengan antibody penderita yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan
pada uji widal adalah suspense bakteri Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin/antibodi
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: antigen O (dari tubuh kuman itu
sendiri), antigen H (dari flagella kuman), antigen Vi (simpai kuman) dan antigen
Paratyphi A dan B (antigen dari Salmonella Paratyphi A dan B)

oUji Widal menggunakan cara klasik dengan menggunakan tabung (Tube


Aglutination Test), dengan rincian sebagai berikut:
Tabung I II III IV V

Larutan 0,9 0,5 0,5 0,5 0,5


garam
fisiologis
(ml)

Serum 0,1 0,5 0,5 0,5 0,5


pasien (ml)

Suspensi 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5


antigen (ml)

Titer 1/10 1/20 1/40 1/80 1/160


antibodi

oDengan keterangan sebagai berikut: Tabung I = solut : 0,1 ml serum pasien,


solven: 0,9 larutan garam fisiologis -> 0,1 dibagi 0,9 + 0,1 = 0,1/0,1 = 1/10.
Tabung II = 0,5 ml campuran larutan garam fisiologis dan serum pasien tabung I
(1/10) + 0,5 ml larutan garam fisiologis tabung II = 1/20
oTiter 1/10 mengandung arti dalam 1 ml serum terdapat 10 unit antibodi
Cara menentukan titer antibodi sebagai berikut:

Tabung I II III IV V

Titer 1/10 1/20 1/40 1/80 1/160


Deretan + + - - -
Tabung + + + - -

+ + + + +

oKeterangan: tanda (+) berarti terjadi aglutinat yaitu terjadi reaksi antigen antibodi
dan yang digunakan adalah tabung aglutinat terakhir (titer 1/160)
oUji widal dianggap positif apabila didapatkan titer 1/200 atau terjadi peningkatan
sebanyak 4x
Dari keempat agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.

Pembentukan antibodi mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam atau awal
minggu kedua, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu
keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula- mula timbul
agglutinin O, kemudian diikuti oleh agglutinin H. pada penderita yang sudah sembuh
agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H dapat
menetap 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan
penyakit.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1) pengobatan dini dengan
antibiotik, 2) gangguan pembentukan antibody/ immunocompromissed, 3) pemberian
kortikosteroid, 4) waktu pengambilan darah, 5) riwayat vaksinasi, 6) Reaksi amnestik,
yaitu peningkatan titer antibodi pada non infeksi tifoid atau infeksi tifoid pada masa
lalu, 7) faktor teknik pemeriksaan antara laboratorium,akibat aglutinasi silang dan
strain salmonella yang digunakan untuk suspense antigen. Tromnositopeni juga sangat
mungkin terjadi bila terjadi penekanan sumsum tulang akibat bakteremia kuman.

 Kultur, hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal
sebagai berikut: 1) telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan
kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negatif, 2) volume darah yang kurang (< 5cc darah). Bila
volume darah yang dibiakkan terlalu sedikit hasil biakan kuman bisa negative. Darah
yang diambil sebaiknya secara bedsaide langsung dimasukkan ke media cair empedu
(oxgall) untuk pertumbuhan kuman. 3) riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lalu dapat
menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi in dapat menekan bakteremia
hingga biakan darah dapat negatif, 4) saat pengambilan darah yang kurang tepat pada
waktu antibodi meningkat (minggu pertama).

Oleh karena itu untuk pengambilan spesimen yang akan dikultur sebaiknya diambil
waktu awal minggu kedua setelah sakit karena sensitifitasnya cukup tinggi,
dikarenakan kuman hampir pasti didapatkan diseluruh organ dan jaringan tubuh.

Kultur kuman dapat diambil dari darah, urin, atau feses. Arti diagnostik yang penting
didapat dari gall kultur (kultur di media biakan garam empedu) karena kemampuan
hidup bakteri salmonella sangat tinggi di media ini. Spesimen lain yang mengandung
arti diagnostik penting adalah biopsi sumsum tulang yang memiliki hasil positif
hampir 90% kasus. Pada biakan feses yang perlu dicari adalah Fecal Monocyte sebagai
respon dari usus yang mengalami reaksi dengan skuman salmonella yang bereplikasi
di dalamnya. Biakan dari feses ini khususnya bermanfaat bagi carier tifoid

 Pemeriksaan Serologi (IgM dan IgG anti Salmonella), IgM anti salmonella atau
yang dikenal dengan TUBEXR tes adalah pemeriksaan diagnostic in vitro
semikuantitatif yang cepat dan mudah untuk mendeteksi infeksi Tifoid akut.
Pemeriksaan ini mendeteksi antibody IgM terhadap antigen Lipo Polisakarida bakteri
Salmonella typhi dengan sensitivitas dan spesifitas mencapai > 95% dan > 91%.

Prinsip pemeriksaan dengan metode Inhibition Magnetic Binding Immunoassay


(IMBI). Antibodi IgM terhadap Lipopolisakarida bakteri dideteksi melalui
kemampuannya untuk menghambat reaksi antara kedua tipe partikel reagen yaitu
indikator mikrosfer latex yang disensitisasi dengan antibodi monoclonal anti 09
(reagen warna biru) dan mikrosfer magnetic yang disensitisasi dengan LPS Salmonella
typhi (reagen warna coklat). Setelah sedimentasi partikel dengan kekuatan magnetik,
konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam cairan menunjukkan daya inhibisi.
Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan konsentrasi IgM Salmonella
typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir
reaksi terhadap skala warna.

Ada 4 interpretasi hasil :

 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.

 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid

 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:

 Immunodominan yang kuat

 Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H


kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B.

 Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon


antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.

 Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat


melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.

 Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan


baik di alam maupun diantara mikroorganisme

Kelebihan pemeriksaan menggunakan IgM anti Salmonella:

 Mendeteksi infeksi akut Salmonella

 Muncul pada hari ke 3 demam

 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella


 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit

 Hasil dapat diperoleh lebih cepat

 Pemeriksaan radiologi, bukan merupakan pemeriksaan wajib untuk menegakkan


diagnosa, tapi untuk evaluasi sudah terjadi komplikasi atau belum:

 Foto thorax, apabila saat perawatan didapatkan sesak, sangat mungkin terjadi
infeksi sekunder berupa pneumonia

 Foto Polos abdomen (BOF), bila diduga sudah terjadi komplikasi intestinal
seperti perforasi usus. Gambaran yang tampak bisa distribusi udara yang tidak
merata, air fluid level, bayangan radiolusen di daerah hepar, tanda- tanda
udara bebas dalam cavum abdomen.

8. Komplikasi dan Penatalaksanaannya

Secara garis besar terdapat 2 macam komplikasi yaitu komplikasi intestinal dan
komplikasi ekstra intestinal.

 Komplikasi intestinal mencakup perdarahan intestinal dan perforasi usus. Pada


perdarahan intestinal diawali dari Peyer Patch yang mengalami infeksi terutama pada
ileum terminal dapat terbentuk tukak/luka yang berbentuk lonjong dan memanjang
terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah
maka akan terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka
perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi gangguan
koagulasi darah atau gabungan keduanya. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat
mengalami perdarahan minor dan tidak memerlukan tranfusi darah. Perdarahan yang
hebat dapat terjadi hingga penderita dapat mengalami syok hipovilemik. Secara klinis
perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kg/jam
dengan factor hemostasis yang masih dalam batas normal.

Perforasi Usus terjadi sekitar 3% penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu
ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid
yang biasa terjadi, penderita demam tifoid dengan perforasi usus akan mengeluh nyeri
perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah lalu menyebar ke seluruh
lapang perut dan disertai tanda- tanda ileus. Bising usus melemah, pekak hapar juga
menghilang yang menandakan adanya udara bebas dalam cavum abdomen. Untuk lebih
menguatkan kea rah perforasi usus dapat dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen AP
dan lateral dimana akan didapatka gambaran air fluid level dan bayangan radiolusen
pada hepar.

Bila sudah terjadi perforasi maka harus segera diberikan antibiotik spectrum luas untuk
infeksi kuman Salmonella typhi dengan kombinasi Chloramphenicol dan Ampisilin IV
serta untuk mengatasi kuman yang fakultatif anaerob pada flora usus digunakan
Gentamisin atau Metronidazole. Walaupun jarang terjadi pada anak- anak namun
mortalitasnya cukup tinggi bila sampai terjadi perforasi usus.

 Komplikasi extraintestinal yang paling sering terjadi pada anak- anak adalah manifestasi
neuropsikiatrik yang mana sering terjadi delirium dan atau Sindroma Otak Organik yang
lain. Hal ini sering juga disebut sebagai tifoid toxic atau tofoid ensefalopati.
Pengobatannya ditambah dengan Kortikosteroid (dexamethasone) 3x5 mg.

9. Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di Negara maju, dengan terapi antibiotic yang
adekuat, angka mortalitas < 1%. Di Negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia dapat
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps atau kambuh dapat timbuh beberapa kali. Individu yang mengeluarkan Salmonella
typhi lebih dari 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi carier yang kronis. Resiko menjadi
carier pada anak- anak rendah dan meningkat sesuai usia. Carier kronik terjadi pada 1-5% dari
seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada carier kronis
dibandingkan populasi umum. Walaupun carier urin kronis juga dapat terjadi, namun hal ini
jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan schistosomiasis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliegma dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 volume Z. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC.

2. Burnside, Mc Glynn. 1995. Adam’s Diagnosis Fisik. Penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta.

3. Hegar, Badriul dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia
Jilid 1. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.

4. Ilmu Kesehatan Anak.1985. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FK UI


5. Masjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius.

6. Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSU Dr. Soetomo. 2008. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak Edisi III. Surabaya: RSU Dr. Soetomo Surabaya.

7. Soedarmo, Poorwo Sumarmo S. dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi
Kedua. Jakarta: Badan Peberbit IDAI.

8. Sudoyo, Aru W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

9. Wilson, dan Price. 2002. Patofisiologi Volume 1 Edisi Keenam. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta.

10. www.medicastore.com
11. www.pediatric.com
12. www. emedicine/tifoidfever/patofisiogy.com

Anda mungkin juga menyukai