Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN

DEMAM TYPOID DI RUANG PERAWATAN UMUM 3

RUMAH SAKIT UMUM MEDIKAL CENTRE (KMC)

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Program Profesi Ners Stase Keperawatan Anak
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kuningan

Disusun oleh :

Lustiani

JNR0200064

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN

2020-2021
A. Definisi

Demam typoid (enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang biasanya

mengenai saluran pencernaan dengan gejala deman yang lebih dari satu

minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Susilaningrum,

2015). Typus adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada

saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat

gangguan kesadaran (Suriadi, 2014).

Demam tipoid (entric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya

mengenai saluran cerna, dengan gejala demam kurang lebih dari 1 minggu,

gangguan pada pencernaan dan kesadaran .penyakit infeksi pada salmonella

(salmonellosis) ialah golongan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

sejumlah besar spesies yang tergolong dalam genus salmonella, yang

biasanya mengenai saluran cerna (Sodikin, 2013).

Demam Tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut

yang disebabkan oleh Salmonella typhi [ CITATION Nur15 \l 1033 ] . Tifoid

termasuk infeksi sistemik dengan gejala yang khas yaitu demam. Adapun

demam yang dialami oleh pasien yang menderita penyakit ini umumnya

memiliki pola khusus dengan suhu yang meningkat (sangat tinggi) naik-

turun. Hal ini terjadi pada sore dan malam hari sedangkan di pagi hari hampir

tidak terjadi demam. Hal inilah yang biasanya tidak disadari oleh penderita

maupun keluarga penderita (Dinkes, 2013).


B. Anatomi fisiologi

1. Anatomi & Fisiologi

Menurut Sodikin 2011,sistem pencernaan terdiri dari :

Gambar 2.1 sistem pencernaan pada manusia menurut Sodikin

(2011).

1. Mulut

Mulut merupakan bagin pertama dari pencernaan. Dinding kavum

oris memiliki struktur untuk fungsi mastikasi (pengunyahan), dimana

makanan akan dipotong, dihancurkan oleh gigi dan dilembabkan

oleh saliva (Sodikin,2011).

2. Lidah

Lidah tersusun atas otot yang pada bagian atas dan


sampingnya dilapisi dengan mukosa, lidah pada neonates relative

pendek dan lebar. Lidah berfungsi membolak-balikan makanan

sehingga semua makanan dihancurkan secara merata.selain itu, lidah

berfungsi membantu menelan makanan (Sodikin, 2011).

3. Gigi

Gigi mempunyai ukuran berbeda – beda. Setiap gigi

memiliki tiga bagian yaitu mahkota yang terlihat di atas gusi, leher

yang ditutupi oleh gusi dan akar yang ditahan oleh soket tulang.

Fungsi gigi untuk mengunyah makanan(Sodikin, 2011).

4. Esofagus/kerongkongan

Esophagus merupakan tuba otot dengan ukuran 8 – 10 cm

dari kartilago krikoid sampai bagian kardia lambung. Panjangnya

bertambah selama 3 tahun setelah kelahiran, selanjutnya kecepatan

pertumbuhan lebih lambat mencapai panjang dewasa 23 – 30 cm.

Kerongkonan atau esophagus berfungsi menyalurkan

makanan dari mulut ke lambung. Secara anatomis di depan

esophagus adalah trachea dan kelenjar tiroid, jantung, serta

diafragma, sedangkan dibagian belakangnya adalah kolumna

vertebralis(Sodikin, 2011).

5. Lambung

Lambung berbentuk lebar dan merupakan bagian yang dapat

berdilatasi dari saluran cerna. Bentuk lambung bervarisi bergantng

dari jumlah makanan didalamnya, adanya gelombang peristaltik,


tekanan dari organ lain, dan postur tubuh. Posisi dan bentuk

lambung juga sangat bervariasi, biasanya memiliki bentuk “J”, dan

terletak di kuadran kiri atas abdomen. Fungsi utama lambung adalah

menyiapkan makanan untuk dicerna di usus, memecah makanan,

penambahan cairan setengah cair dan meneruskannya ke duodenum.

Makanan disimpan di dalam lambung lalu dicampur dengan asam,

mucus, dan pepsin, kemudian dilepaskan pada kecepatan mantap

terkontrol ke dalam duodenum (Sodikin, 2011).

Secara mekanisme lambung juga mencerna makanan secara

kimiawi. Lambung menghasilkan suatu cairan yang mengandung air,

lender, asam lambung (HCL), serta enzim renin dan pepsinogen.

Karena sifatnya yang asam, cairan lambung dapat membunuh kuman

yang masuk bersama makanan. Sementara itu, enzim rennin akan

mengumpulkan protein susu yang ada di dalam air susu sehingga

dapat dicerna lebih lanjut. Pepsinogen akan diaktifkan oleh HCL

menjadi pepsin yang berfunsi memecah protein menjadi pepton

(Budiyono, 2011).

6. Usus kecil

Usus kecil terbagi menjadi duodenum, jejunum, dan ileum. Usus

kecil memiliki panjng 300- 350 cm saat lahir, mengalami

peningkatan sekitar 50 % selama tahun pertama kehidupan, dan

berukuran ± 6 meter saat dewasa. Duodenum merupakan bagian

terpendek dari ususkecil yaitu sekitar 7,5 – 10 cm dengan diameter 1


– 1,5 cm. dinding usus terbagi menjadi 4 lapisan,yaitu mukosa, sub

mukosa, muskuler, dan serosa(peritoneal) (Sodikin,2011).

Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari

(duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus.

Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pylorus dalam

jumlah yang bisa dicerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum

akan mengirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti

mengalirkan makanan (Budiyono, 2011).

Duodenum menerima enzim pankreatik dari pankreas dan

empedu dari hati. Cairan tersebut (yang masuk ke dalam duodenum

melalui lubang yang disebut sfingter oddi) merupakan bagian yang

penting dari proses pencernaan dan penyerapan. Gerakan peristaltic

juga membantu pencernaan dan penyerapan dengan cara mengaduk

dan mencampurnya dengan zat yang dihasilkan oleh usus. Beberapa

senti pertama dari lapisan duodenum adalah licin tetapi sisanya

memiliki lipatan-lipatan, tonjoan-tonjolan kecil (vili) dan tonjolan

yang lebih kecil (mikrovili)(Budiyono, 2011).

7. Pankreas

Pankreas merupakan suatu organ yang terdiri dari 2 jaringan dasar

yaitu asini yang menghasilkan enzim-enzim pencernaan dan pulau

pancreas yang menghasilkan hormon. Pankreas melepaskan enzim

pencernaan kedalam duodenum dan melepaskan hormon ke dalam

darah (Budiyono, 2011).


Tiga hormon yang dihasilkan oleh pankreas adalah :

a. Insulin, yang berfungsi menurunkan kadar gula dalam darah.

b.Glucagon, yang berfungsi menaikkan kadar gula dalam darah.

c.Somatostatin, yang berfungsi menghalangi pelepasan kedua

hormone lainnya (insulin dan glucagon) (Budiyono, 2011).

8. Kandung dan Saluran empedu

Empedu mengalir dari hati melalui duktus hepatikus kiri dan

kanan, yang selanjutnya bergabung membentuk duktus hepatikus

umum. Saluran ini kemudian bergabung dengan sebuah saluran yang

berasal dari kandung empedu (duktus sistikus) untuk membentuk

saluran empedu umum. Duktus pankreatikus bergabung dengan

saluran empedu umu dan masuk ke dalam duodenum (Budiyono,

2011).

Menurut Budiyono (2011), empedu memiliki 2 fungsi penting:

a. Membantu pencernaan dan penyerapan lemak

b. Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh,

terutama hemoglobin yang berasal dari penghacuran sel darah

merah dan kelebihan kolesterol.

9. Usus Besar

Menurut Budiyono (2011), usus besar terdiri dari:

a. Kolon asendens (kanan)

b. Transversum

c. Kolon desendens (kiri)


10. Rektum dan Anus

Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus

besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Biasanya rektum

ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu

pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk

ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar.

Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini,

tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam

pengendalian otot yang penting untuk menunda buang air besar

(Budiyono, 2011).

Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana

bahan limbah keluar dari.Sebagai anus terbentuk dari permukaan

tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus.Suatu cincin berotot

(sfingter ani) menjaga agar anus tetap tertutup (Budiyono, 2011).

C. Etiologi

Penyebab demam tifoid adalah kuman Salmonella typhi, Salmonella

paratyphii A, dan Salmonella Paratyphii B, Wujudnya berupa basil gram

negative, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora. Kuman tumbuh pada

suasana fakultatif anaerob pada suhu 15-41oC (Optimum 37oC) dan pH

pertumbuhan 6-8 [ CITATION Muh12 \l 1033 ].

D. Tanda dan Gejala


Masa inkubasi demam typhoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-

gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat,

dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi

hingga kematian.

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan

gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala,

pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan

tidak enak diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya

didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan

– lahan terutama pada sore hari hingga malam hari. (Perhimpunan Dokter

Spesial Penyakit dalam Indonesia, 2014)

Masa tunas 7-14 hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodromal ( gejala

awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas ) yaitu:

1. Perasaan tidak enak badan

2. Nyeri kepala

3. Pusing

4. Diare

5. Anoreksia

6. Batuk

7. Nyeri otot

8. Muncul gejala klinis yang lain

Demam berlangsung 3 minggu. Minggu pertama: demam ritmen,


biasanya menurun pagi hari, dan meningkat pada sore dan malam hari.

Minggu kedua : demam terus. Minggu ketiga : demam mulai turun secara

berangsur-angsur, gangguan pada saluran pencernaan, lidah kotor yaitu

ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai

tremor, hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan, gangguan pada

kesadaran, kesadaran yaitu apatis-samnolen. Gejala lain ”RESEOLA”

( bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit ) ( Kapita

selekta, kedokteran, jilid 2 ).

E. Komplikasi

Komplikasi Intestinal

1. Perdarahan usus

Karena perlukaan dinding usus dan ditandai dengan melena.

2. Perforasi usus

Karena bakterinya yang mengakibatkan peradangan usus dan terjadi

pada minggu ke 3, dengan gejala pasien mengeluh sakit perut hebat,

akan lebih nyeri lagi jika ditekan, terlihat tegang (kembung), nadi kecil

dan cepat, TD turun.

3. Ileus paralitik : karena peradangan (inflamasi) usus yang lama sehingga

menyebabkan peristaltik usus berhenti.

Komplikasi Ekstra Intestinal

1. Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, thrombosis.

2. Darah : anemia, trombositopenia.


3. Ginjal : glomerulonefritis

4. Tulang : osteomielitis dan arthritis

5. Neuropsikiatrik : delirium, meningitis, polyneuritis perifer

F. Fatofiologi

Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan

terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus

pada ileum terminalis. Di usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian

melalui barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffl ing, actin

rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola intraseluler. Kemudian

Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke

dalam pembuluh darah melalui sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi

pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya

masih memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-

14 hari.

Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan

berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati,

limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam

makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke

dalam system peredaran darah dan menyebabkan bakteremia. sekunder

sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi.Bakteremia sekunder

menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen.

Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ

sistem retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali.


Menetapnya Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa

kuman atau carrier.

(CDK, 2012).

G. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Leukosit

Menurut buku – buku disebutkan pada demam typoid terdapat leucopenia

dan limfositosis relative, tetapi kenyataan leucopenia tidaklah sering

dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typoid, jumlah leukosit pada

sediaan darah tepi berada batas- batas normal, malahan kadang-kadang

terdapat leukositosis. Walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi

sekunder. Oleh karena itu, pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna

untuk diagnosis demam typoid.

2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT

SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi kembali ke normal setelah

sembuhnya demam typoid. kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak

memerlukan pembatasan pengobatan.

3. Biakan Darah

Biakan darah positif memastikan demam typoid, tetapi biakan darah

negatif menyingkirkan demam typoid. Hal ini disebabkan karena hasil

biakan darah bergantung pada beberapa factor antara lain :

a. Teknik Pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium berbeda dengan yang lain, malahan

hasil satu laboratorium biasa berbeda dari waktu ke waktu. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan,

karena jumlah kuman yang berada dalam darah hanya sedikit, yaitu

kurang dari 10 kuman/ml darah, maka untuk keperluan pembiakan.

Pada anak – anak 2 – 5 ml. Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil

biakan biasa negative,terutama pada orang yang sudah mendapat

pengobatan spesifik .Selain ini darah tersebut harus langsung dikirim

ke laboratorium. Waktu pengambilan darah paling baik adalah saat

demam tinggi pada waktu bakterimia berlangsung.

b. Saat pemeriksaan selama berjalan penyakit

Pada demam typoid biakan darah terhadap S.Typhi terutama positif

pada minggu pertama penyakit dan berkurang  pada minggu-minggu

berikutnya. Pada waktu kambuh biakan bias positif lagi.

c. Vaksinasi dimasa lampau

Vaksinasi terhadap demam typoid dimasa lampau menimbulkan

antibody dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteriemia

4. Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan

antibody, aglutinin yang spesifik terhadap salmonella terdapat dalam

serum pasien demam typoid pada orang yang pernah ketularan salmonella

dan pada orang yang pernah divaksinasi terhadap demam typoid.

Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella

yang sudah dimatikan dan diolah laboratorium.Maksud uji widal adalah

menentukan adanya agglutinin dalam serum pasien yang disangka


menderita demam typoid.Akibat infeksi oleh S.Typhi, pasien membuat

anti bodi (aglutini),yaitu:

a. Aglutinin O,yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari

tubuh kuman).

b. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagela

kuman).

c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal sari simapi

kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang

ditentukan titernya untuk diagnosis. Mungkin tinggi titernya, mungkin

besar kemungkinan pasien menmderita demam typoid. Pada infeksi yang

aktif, titer uji widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang

dilakukan selang paling sedikit 5 hari.

Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 ,

1/640. Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan

(+). - Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah

ada kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+).

Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung

dinyatakan (+) pada pasien dengan gejala klinis khas.

H. Penatalaksanaan medis

Penatalaksanaan demam tifoid ada tiga, yaitu :

1. Pemberian antibiotic
Terapi ini dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab demam tifoid.

Obat yang sering dipergunakan adalah:

a. Kloramfenikol 100mg/kg berat badan/hari/4 kali selama 14 hari

b. Amoksili 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali.

c. Kotrimoksazol 480 mg, 2 x 2 tablet selama 14 hari.

d. Sefalosporin generasi II dan III (ciprofloxacin 2 x 500 mg selam 6

hari; ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari; ceftriaxone 4 gram/hari

selama 3 hari).

2. Istirahat dan perawatan

Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi.

Penderita sebaiknya beristirahat total ditempat tidur selama 1 minggu

setelah bebas dari demam. Mobilisasi dilakukan secara bertahap, sesuai

dengan keadaan penderita. Mengingat mekanisme penularan penyakit ini,

kebersihan perorangan perlu dijaga karena ketidakberdayaan pasien untuk

buang air besar dan air kecil.

3. Nonfarmakologi dan Diet

a. Diharuskan untuk Bedrest

b. Agar tidak memperberat kerja usus, pada tahap awal penderita diberi

makanan berupa bubur saring. Selanjutnya penderita dapat diberi

makanan yang lebih padat dan akhirnya nasi biasa, sesuai dengan

kemampuan dan kondisinya. Pemberian kadar gizi dan mineral perlu

dipertimbangkan agar dapat menunjang kesembuhan penderita

(Widoyono, 2011).
I. Konsep Asuhan keperawatan

a. Pengkajian

Identitas Data Umum (selain identitas klien, juga identitas orangtua;

asal kota dan daerah, jumlah keluarga)

1) Keluhan Utama (penyebab klien sampai dibawa ke rumah sakit)

2) Riwayat kehamilan dan kelahiran:

Prenatal : (kurang asupan nutrisi , terserang penyakit infeksi

selama hamil)

Intranatal : Bayi terlalu lama di jalan lahir , terjepit jalan lahir,

bayi menderita caput sesadonium, bayi menderita cepal

hematom

Post Natal : kurang asupan nutrisi , bayi menderita penyakit

infeksi , asfiksia ikterus

3) Riwayat Masa Lampau

Penyakit yang pernah diderita: Tanyakan, apakah klien pernah

sakit batuk yang lama dan benjolan bisul pada leher serta tempat

kelenjar yang lainnya dan sudah diberi pengobatan antibiotik

tidak sembuh-sembuh? Tanyakan, apakah pernah berobat tapi

tidak sembuh? Apakah pernah berobat tapi tidak teratur?

4) Pernah dirawat dirumah sakit

5) Obat-obat yang digunakan/riwayat Pengobatan

6) Riwayat kontak dengan penderita TBC

7) Alergi
8) Daya tahan yang menurun.

9) Imunisasi/Vaksinasi : BCG

10) Riwayat Penyakit Sekarang (Tanda dan gejala klinis TB serta

terdapat benjolan/bisul pada tempat-tempat kelenjar seperti:

leher, inguinal, axilla dan sub mandibula)

11) Riwayat Keluarga (adakah yang menderita TB atau Penyakit

Infeksi lainnya, Biasanya keluarga ada yang mempunyai

penyakit yang sama)

12) Riwayat Kesehatan Lingkungan dan sosial ekonomi

a) Lingkungan tempat tinggal (Lingkungan kurang sehat

(polusi, limbah), pemukiman yang padat, ventilasi rumah

yang kurang, jumlah anggota keluarga yang banyak), pola

sosialisasi anak

b) Kondisi rumah

c) Merasa dikucilkan

d) Aspek psikososial (Tidak dapat berkomunikasi dengan

bebas, menarik diri)

e) Biasanya pada keluarga yang kurang mampu

f) Masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk

sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang banyak

g) Tidak bersemangat dan putus harapan.


13) Riwayat psikososial spiritual (Yang mengasuh, Hubungan

dengan anggota keluarga,Hubungan dengan teman

sebayanya, Pembawaan secara umum, Pelaksanaan spiritual)

b. Diagnosa Keperawatan

Penyakit demam sangat berisiko maka pasien perlu dirawat di

rumah sakit, sedangkan keperawatan pasien yang perlu diperhatikan

ialah resiko peningkatan suhu tubuh, gangguan keseimbangan cairan dan

elektrolit, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.

Diagnosa yang sering muncul adalah :

a. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi ditandai dengan suhu

tubuh diatas nilai normal

b. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi

ditandai dengan batuk tidak efektif, gelisah

c. Perencanaan

N Diagnosa Tujuan Intervensi

o Keperawatan SLKI SIKI

SDKI
1. Hipertermia SLKI : SIKI

Termoregulasi Manajemen

Penyebab L.14134 Hipertermia

1. Dehidrasi I.15506

2. Terpapar Setelah

lingkungan dilakukan
panas intervensi  Observasi

3. Proses penyakit selama .. x ..


1. Identifikasi
(mis. Infeksi dan jam, maka
penyebab
kanker) hipertermia
hipertermia
4. Ketidaksesuaian menurun dengan
(mis. Dehidrasi,
pakaian dengan keriteria hasil :
terpapar
suhu lingkungan 1. Menggigil
lingkungan
5. Peningkatan laju menurun
panas,
metabolissme 2. Kulit merah
penggunaan
6. Respon trauma menurun
inkubator)
7. Aktivitas 3. Kejang
2. Monitor suhu
berlebih menurun
tubuh
8. Penggunaan 4. Akrosianosis
3. Monitor kadar
incubator menurun
elektrolit
5. Konsumsi
4. Monitor
Gejala Tanda Mayor oksigen
haluaran urine
 Subyektif : - menurun
5. Monitor
 Obyektif 6. Piloereksi
komplikasi
menurun
Suhu tubuh diatas akibat
7. Vasokonstrik
nilai normal hipertermia
si perifer
 Terapeutik
menurun
Gejala Tanda
1. Sediakan
8. Kutis
Minor
lingkungan yang
 Subyektif : - memorata dingin

 Obyektif : menurun 2. Longgarkan

1. Kulit merah 9. Pucat atau lepas

2. Kejang menurn pakaian

3. Takardi 10.Takikardia 3. Basahi dan

4. Tachipnea menurun kipasi

5. Kulit terasa 11.Takipnea permukaan

hangat menurun tubuh

12.Bradikardia 4. Berikan cairan

Kondisi klinis Terkait meningkat oral

1. Proses infeksi 13.Dasar kuku 5. Ganti linen

2. Hipertiroid sianolik setiap hari atau

3. Stroke menurun lebih sering jika

4. Dehidrasi 14.Tidak ada mengalami

5. Trauma hipoksia hiperhidrosis

6. Prematuritas 15.Suhu tubuh (keringat

membaik berlebih)

16.Suhu kulit 6. Lakukan

membaik pendinginan

17.Kadar eksternal (mis.

glukosa Selimut

membaik hipotermia atau

18.Pengisian kompres dingin


kapiler pada dahi, leher,

membaik dada, abdomen

19.Ventilasi dan aksila)

membaik 7. Hindari

20.Tekanan pemberian

darah antipiretik atau

membaik aspirin

8. Berikan

oksigen, jika

perlu

 Edukasi

1. Anjurkan tirah

baring

 Kolaborasi

1. Kolaborasi

pemberian

cairan dan

elektrolit

intravena, jika

perlu
2. Penyebab SLKI: SIKI:

 Fisiologis Bersihan Jalan Manajemen Pola

1. Spasme jalan Napas Napas

napas L.01001 I.01011

2. Hipersekresi

jalan napas Setelah  Observasi

3. Disfungsi dilakukan 1. Monitor pola

neuromuskuler intervensi napas(frekuensi

4. Benda asing selama .. x .. , kedalaman,

dalam jalan jam, maka di usaha napas)

napas harapkan 2. Monitor bunyi

5. Adanya jalan bersihan jalan napas tambahan

napas buatan napas tidak (mis. Gurgling,

6. Sekresi yang efektif dengan whezeeng,ronk

tertahan keriteria hasil : hi, mengi)

7. Hiperplasia 1. batuk efektif 3. Monitor sputum

dinding jalan meningkat (jumlah, warna,

napas 2. produksi aroma)

8. Proses infeksi sputum menurun  Terapeutik

9. Respon alergi 3. mengi 1. Pertahankan

10. Efek agen menurun kepatuhan jalan

farmakologis 4. whezeeng napas dengan

(anastesi) menurun head-till(jaw-


 Situasional 5. meconium trush jika

1. Merokok aktif (pada neonatus) curiga trauma

2. Merokok pasif menurun servikal)

3. Terpajan 6. dyspnea 2. Posisikan

polutan 7. ortapnea semifowler-

8. sulit bicara fowler

Gejala Dan Tanda 9. sianosis 3. Berikan minum

Mayor 10. gelisah hangat

Subjektif:- 11. frekuensi 4. Lakukan

Objektif : napas menurun fisioterapi dada

1. Batuk tidak 12. pola napas jika perlu

efektif membaik 5. Lakukan

2. Tidak mampu pengisapan

batuk lender kurang

3. Sputum berlebih dari 15 detik

4. Mengi, 6. Lakukan

whezeeng dan hiperoksigenasi

ronkhi kering sebelum

5. Meconium di penghisapan

jalan napas endotrabeal

( pada neonatus) 7. Keluarkan

sumbatan benda

Gejala Dan Tanda padat deng


Minor forsep mc-Gill

Subjektif : 8. Berikan

1. Dyspnea oksigen jika

2. Sulit bicara perlu

3. Ortopnea  Edukasi

1. Anjurkan

Objektif : asupan cairan

1. Gelisah 2000 ml/hari,

2. Sianosis jika tidak

3. Bunyi napas kontraindikasi

menurun 2. Ajarkan teknik

4. Frekuensi napas batuk efektif

berubah  Kolaborasi

5. Pola napas 1. Kolaborasi

berubah pemberian

bronkodilator,

ekspektoran,

mukolitik jika

perlu
Penyebab SLKI SIKI

3. 1. Ketidakmampu Status Nutrisi Manajemen Nutrisi

an menelan L.03030 I.03119

makanan

2. Ketidakmampu Setelah  Observasi :


an mencerna dilakuan 1. Identifikasi

makanan tindakan status nutrisi

3. Ketidakmampu keperawatan ... 2. Identifikasi

an x ... jam alergi dan

mengabsorbsi diharapkan intoleransi

nutrien status nutrisi makanan

membaik 3. Identifikasi

Gejala Tanda dengan Kriteria makanan yang

Mayor Hasil : disukai

Subjektif : - 1. Porsi 4. Identifikasi

Objektif : makanan kebutuhan

1. Berat badan yang kalori dan jenis

menurun dihabiskan nutrient

minial 10% meningkat 5. Identifikasi

dibawah 2. Verbalisasi perlunya

rentang keinginan penggunaan

ideal untuk selang

2. Peningkata meningkatk nasogastric

n an nutrisi 6. Monitor asupan

kebutuhan meningkat makanan

metabolism 7. Monitor berat


3. Perasaan
e. badan
cepat
8. Monitorhasil
kenyang
Gejala Tanda menurun pemeriksaan

Minor 4. Nyeri laboratorium

Subjektif : abdomen
1. Cepat meningkat  Terapeutik :

kenyang 1. Lakukan oral


5. Berat badan
setelah hygiene, jika
meningkat
makan perlu
6. Nafsu
2. Kram/ nyeri 2. Fasilitasi
makan
abdomen menentukan
membaik
3. Nafsu pedoman diet
7. Mermban
makan ( mis. Piramida
mukosa
menurun makanan )
membaik
3. Sajikan
Objektif :
makanan secara
1. Bising usus
menarik dan
hiperaktif
suhu yang
2. Otot
sesuai
mengunyah
4. Berikan
lemah otot
makanan tinggi
menelan
serat untuk
lemah
menjegah
3. Membran
konstipasi
mukosa
5. Berikan
pucat makanan tinggi

4. Sariawan kalori dan tinggi

protein

Kondisi klinis 6. Berikan


Terkait suplemen
1. Stroke makanan, jika
2. Parkinson perlu
3. Mobius
7. Hentikan
syndrom
pemberian
4. Cerebral palsy
makan melalui
5. Cleft lip
selang
6. Cleft palate
nasogatrik jika
7. Amotropic
asupan oral
lateral sclerosis
dapat ditoleransi

 Edukasi :

1. Anjurkan

posisi duduk

jika mampu

2. Anjurkan diet

yang

diprogramkan
 Kolaborasi :

1. Kolaborasi

pemberian

medikasi

sebelum makan

( mis. Pereda

nyeri,

antiemetic ),

jika perlu

2. kolaborasi

dengan ahli

gizi untuk

menentukan

jumlah kalori

dan jenis

nutrien yang

dibutuhkan,

jika perlu
4. Risiko SLKI : SIKI

ketidakseimbangan Keseimbangan Manajemen Cairan

elektrolit Cairan I.03098

L.03020

Faktor Risiko  Obsevasi

1. Ketidakseimbang Setelah 1. Monitor status


an cairan (mis. dilakukan hidrasi (mis.

Dehidrasi dan intervensi Frekuensi nadi,

intoksikasi air) selama … x .. kekuatan

2. Kelebihan jam, maka nadi,akral,

volume cairan cairan elektrolit pengisian

3. Gangguan seimbang kapiler,

mekanisme dengan keriteria kelembaban

regulasi (mis. hasil : mukosa, turgor

Diabetes) 1. Asupan kulit, tekanan

4. Efek samping cairan darah)

prosedur (mis. 2. Haluaran urin 2. Monitor berat

Pembedahan) 3. Kelembaban badan harian

5. Diare membrane 3. Monitor berat

6. Muntah mukosa badan sebelum

7. Disfungsi ginjal 4. Asupan dan sesudah

8. Disfungsi makanan dialysis

regulasi endokrin 5. Edema 4. Monitor hasil

6. Dehidrasi pemeriksaan

Kondisi Klinis 7. Asiles laboratorium

Terkait 8. Konfusi (mis.

1. Gagal ginjal 9. Tekanan Hematocrit, Na,

2. Anoreksia darah CI,berat jenis

nervosa 10. Denyut nadi urin,BUN)


3. Diabetes 11. Tekanan artri 5. Monitor status

mellitus rata-rata hemodinamik

4. Penyakit chorn 12. Membrane (mis. MAP,

5. Gastreoentritis mukosa CVP, PAP,

6. Pankreatitis 13. Mata cekung PCWP jika

7. Cedera kepala 14. Turgor kulit tersedia

8. Kanker 15. Berat badan  Terapeutik

9. Trauma 1. Catat intake-

multiple 11. output dan

10. Luka baka hitung balans

11. Anemia sel cairan 24 jam

sabit 2. Berikan

asupan cairan,

sesuai

kebutuhan

3. Berikan cairan

intravena, jika

perlu

 Kolaborasi

1. Kolaborasi

pemberian

diuretic, jika

perlu
d. Implementasi

Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai

dengan rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan

dapat bersifat mandiri dan kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan

perlu diawasi dan dimonitor kemajuan kesehatan klien.

e. Evaluasi

Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan

data subyektif dan obyektif yang akan menunjukkan apakah tujuan

pelayanan keperawatan sudah dicapai atau belum. Bila perlu langkah

evaluasi ini merupakan langkah awal dari identifikasi dan analisa

masalah selanjutnya.

J. Pathway

Virus, bakteri, jamur


Infeksi saluran napas
atas

Infeksi saluran napas


bawah

Peradangan

Peningkatan suhu
tubuh

Hipertermia

Peningkatan Meningkatnya
metabolik PH berkurang
evaporasi
tubuh

Risiko deficit volume


Anoreksia
cairan Kelemahan

Intake makanan
Intoleransi berkurang
aktivitas

Deficit nutrisi

K. Daftra Pustaka
Adriana, D. 2013. Tumbuh Kembang dan Terapi Bermain Pada Anak.

Jakarta : Salemba Medika

Arief Mansjoer (2010), Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4, Jakarta :

Media Aesculapius.

Aru W, Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi

V.Jakarta: Interna Publishing.

Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Edisi 1. EGC. Jakarta

Berman,A., Snider, S. & Fradsen, G. (2016). Kozier & Erb’s

Fundamentals of Nursing (10thed). USA: Pearson Education.

Bowen, L (2014). Fluid, electrolyte and acid-base balance. In Dempsey J,

Hillege S, Hill R (Eds) Fundamentals of Nursing and Midwifery : A

Person-Centred Approach to care.

Galuh, 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Demam

Tifoid Pada Anak Di RSUD Tugurejo Semarang. (Di download tanggal 20

juni 2019)

Grainger, A. (2013). Principles of temperature monitoring. Nursing

Standard, 27(50), 48-55.

Fadhillah Harif , 2018. SDKI ( Standar Diagnosa Keperawatan

Indonesia).Jakarta

Julia Klaartje Kadang, SpA (2000). Metode Tepat Mengatasi Demam.

Tamsuri. Anas. (2006). Tanda – tanda Vital Suhu Tubuh. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai