Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN TIORI CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

A. Konsep Chronic Kidney Disease


1. Pengertian
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penurunan fungsi ginjal
progresif yang ireversibel ketika ginjal tidak mampu mempertahankan
keseimbangan metabolik, cairan, dan elektrolit yang menyebabkan terjadinya
uremia dan azotemia (Bayhakki, 2013).
Chronic Kidney Disease adalah kemunduran fungsi ginjal yang
progresif dan ireversibel dimana terjadi kegagalan kemampuan tubuh untuk
mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit yang
mengakibatkan uremia atau azotemia (Wijaya dan Putri, 2017).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Chronic Kidney Disease adalah suatu keadaan klinis yang terjadi
penurunan fungsi ginjal dengan ditandai terjadinya penurunan GFR selama
>3 bulan yg bersifat progresif dan irreversibel, ginjal tidak dapat
mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan, dan elektrolit yang
menyebabkan terjadinya uremia dan azotemia.

2. Etiologi
a. Gangguan pembuluh darah ginjal : Berbagai jenis lesi vaskular dapat
menyebabkan iskemik ginjal dan kematian jaringan ginjal. Lesi yang paling
sering adalah aterosklerosis pada arteri renalis yang besar, dengan kontriksi
skleratik progresif pada pembuluh darah hiperplasia fibromuskular pada
satu atau lebih arteri besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh
darah nefrosklerosis yaitu saatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi
lama yang tidak diobati, dikarakteristikan oleh penebalan, hilangnya
elastisitas sistem, perubahan darah ginjal mengakibatkan penurunan aliran
darah dan akhirnya gagal ginjal.
b. Gangguan imunologis: Seperti glomerulonefritis & SLE
c. Infeksi : Dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri terutama E. Coli
yang berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri
ini mencapai ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara
asceden dari traktus urinarius bagian bawah lewat ureter ke ginjal sehingga
dapat menimbulkan kerusakan irreversibel ginjal yang disebut
plenlonefritis.
d. Gangguan metabolik : seperti DM (Diabetes Melitus) yang menyebabkan
mobilisasi lemak meningkat sehingga terjadi penebalan membran kapiler
dan di ginjal dan berkelanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi
nefripati amiliodosis yang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia
abnormal pada dinding pembuluh darah secara serius merusak membran
glomerulus.
e. Gangguan tubulus primer : terjadi nefrotoksis akibat analgesik atau logam
berat.
f. Obstruksi taktus urinarius : oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan
kontriksi uretra.
g. Kelainan kongenetal dan herediter: penyakit polikistik = kondisi keturunan
yang dikarakteristik oleh terjadinya kista/kantong berisi cairan di dalam
ginjal dan organ lain, serta tidak adanya jar. Ginjal yang bersifat
kongenetal (hipoplasia renalis) serta adanya asidosis.

3. Patofisiologi
Fungsi renal menurun, produksi akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia
dan mempengarui setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah maka grjala akan semakin berat. Dan banyak gejala uremia membaik
setelah dialisis (Wijaya dan putri, 2017)
Penyebab yang mendasari CKD bermacam-macam seperti penyakit
glomerulus baik primer maupun sekunder, penyakit vaskular, infeksi, nefritis
interstisial, obstruksi saluran kemih. Patofisiologi penyakit ginjal kronik
melibatkan 2 mekanisme kerusakan : (1) mekanisme pencetus spesifik yang
mendasari kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator
inflamasi pada glomerulo nefritis, atau pajanan zat toksin pada penyakit
tubulus ginjal dan interstitium; (2) mekanisme kerusakan progresif yang
ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang tersisa.
Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan masing – masing memiliki
kontribusi terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal injury karena etiologi
seperti yang telah dijelaskan di atas, pada awalnya ginjal masih memiliki
kemampuan untuk mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya nefron sehat
yang tersisa ini akan mengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi
tekanan glomerular, dan akan menyebabkan hipertensi sistemik dalam
glomerulus. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan 
hipertrofi nefron yang sehat sebagai mekanisme kompensasi. Pada tahap ini
akan terjadi poliuria, yang bisa menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia
akibat ekskresi Na melalui urin meningkat. Peningkatan tekanan glomerulus
ini akan menyebabkan proteinuria. Derajat proteinuria sebanding dengan
tingkat progresi dari gagal ginjal. Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial
dapat menyebabkan kerusakan langsung terhadap jalur lisosomal intraselular,
meningkatkan stres oksidatif, meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan
melepaskan faktor kemotaktik yang pada akhirnya akan menyebabkan
inflamasi dan fibrosis tubulointerstitiel melalui pengambilan dan aktivasi
makrofag.

Gambar 2.3 Piramid Iskemik dan Sklerosis Arteri dan Arteriol pada Patogan
lintang Ginjal (McAlexander, 2015)
Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan
sintesis matriks ektraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan akumulasi
kolagen tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular sklerosis, fibrosis
tubulointerstitiel, dan atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang
sehat menjadi berkurang dan akan menghentikan siklus progresi penyakit oleh
hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron.
Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan
fungsi ekskretorik maupun non-ekskretorik ginjal.  Kerusakan fungsi
ekskretorik ginjal antara lain penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan
reabsorbsi Na pada tubuli, penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi
fosfat, penurunan ekskresi hidrogen.
Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan
mengubah bentuk inaktif Ca, menyebabkan penurunan produksi eritropoetin
(EPO), menurunkan fungsi insulin, meningkatkan produksi lipid, gangguan
sistem imun, dan sistem reproduksi. Angiotensin II memiliki peran penting
dalam pengaturan tekanan intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara
sistemik dan secara lokal di ginjal dan merupakan vasokonstriktor kuat yang
akan mengatur tekanan intraglomerular dengan cara meningkatkan irama
arteriole efferent. Angiotensin II akan memicu stres oksidatif yang pada
akhirnya akan meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan
kemoaktraktan, sehingga angiotensin II memiliki peran penting dalam
patofisiologi CKD.
Gangguan tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan
karena banyak sebab, salah satunya adalah penurunan sintesis 1,25-
dihydroxyvitamin D atau kalsitriol, yang akan menyebabkan kegagalan
mengubah bentuk inaktif Ca sehingga terjadi penurunan absorbsi Ca.
Penurunan absorbsi Ca ini akan menyebabkan hipokalsemia dan osteodistrofi.
Pada CKD akan terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang terjadi karena
hipokalsemia, hiperfosfatemia, resistensi skeletal terhadapPTH. Kalsium dan
kalsitriol merupakan feedback negatif inhibitor, sedangkan hiperfosfatemia
akan menstimulasi sintesis dan sekresi PTH.
Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu
untuk mengekskresikan zat – zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul
hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth faktor
ini akan menyebabkan inhibisi 1- α  hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam
sintesis kalsitriol. Karena inhibisi oleh FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun
akan menurun. Akan terjadi resistensi terhadap vitamin D. Sehingga feedback
negatif terhadap PTH tidak berjalan. Terjadi peningkatan hormon
parathormon. Akhirnya akan timbul hiperparatiroidisme sekunder.
Hiperparatiroidisme sekunder akan menyebabkan depresi pada sumsum tulang
sehingga akan menurunkan pembentukan eritropoetin yang pada akhirnya
akan menyebabkan anemia. Selain itu hiperparatiroidisme sekunder juga akan
menyebkan osteodistrofi yang diklasifikasikan menjadi osteitis fibrosa cystic,
osteomalasia, adinamik bone disorder, dan mixed osteodistrofi. Penurunan
ekskresi Na akan menyebabkan retensi air sehingga pada akhirnya dapat
menyebabkan oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga terjadi
terutama bila GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada CKD stadium 5. Penuruan
ekskresi ini akan menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko
terjadinya kardiak arrest pada pasien.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi
adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap.  Pada CKD,
ginjal tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal
untuk mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk
ammonium. Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada CKD stadium 5.
Anion gap terjadi karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion – anion lain
yang tidak terekskresi dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD dapat
menyebabkan gangguan metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic
juga merupakan salah satu faktor dalam perkembangan osteodistrofi ginjal.
Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi
sisa nitrogen dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia, basal
urea nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta
asam urat. Uremia yang bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan
dapat mengenai sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom
uremia ini akan menyebabkan trombositopati dan memperpendek usia sel
darah merah. Trombositopati akan meningkatkan resiko perdarahan spontan
terutama pada GIT, dan dapat berkembang menjadi anemia bila
penanganannya tidak adekuat. Uremia bila sampai di kulit akan menyebabkan
pasien merasa gatal – gatal.
Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan
produksi lipid, gangguan sistem imun, dan gangguan reproduksi. Karena
fungsi insulin menurun, maka gula darah akan meningkat. Peningkatan
produksi lipid akan memicu timbulnya aterosklerosis, yang pada akhirnya
dapat menyebabkan gagal jantung.
Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada
hiperparatiroidisme sekunder yang akan menurunkan sintesis EPO. Selain itu
anemia dapat terjadi juga karena masa hidup eritrosit yang memendek akibat
pengaruh dari sindrom uremia, anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi
(Kirana, 2015)
4. Pathways

Penurunan COP
5. Klasifikasi Berdasarkan Derajat Penyakitnya
Dibawah ini 5 stadium penyakit Chronic Kidney Disease sebagai berikut :
a. Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
b. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
c. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat (30 s/d 59 ml/min)
d. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
e. Stadium 5, gagal ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)

Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin Test) dapat
digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatini serum

Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

6. Manifestasi Klinik
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac
dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema. Pada
gagal ginjal kronik hampir selalu disertai hipertensi, mekanisme terjadinya hipertensi
pada CKD oleh karena penimbunan garam dan air, atau sistem renin angiostensin
aldosteron (RAA). Sesak nafas merupakan gejala yang sering dijumpai akibat
kelebihan cairan tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang disertai efusi perikardial.
Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat gangguan elektrolit.
b. Gangguan pulmoner
Nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekles.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein
dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut,
nafas bau ammonia. akibat metabolisme protein yang terganggu oleh bakteri usus
sering pula faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut. Disamping itu sering
timbul stomatitis, cegukan juga sering yang belum jelas penyebabnya. Gastritis erosif
hampir dijumpai pada 90 % kasus CKD, bahkan kemungkinan terjadi ulkus peptikum
dan kolitis uremik.
d. Gangguan muskuluskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan), burning
feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki), tremor, miopati
(kelemahan dan hipertropi otot-otot ekstremitas. Penderita sering mengeluh tungkai
bawah selalu bergerak-gerak (restlesslessleg syndrome), kadang tersa terbakar pada
kaki, gangguan syaraf dapat pula berupa kelemahan, gangguan tidur, gangguan
konsentrasi, tremor, kejang sampai penurunan kesadaran atau koma.
e. Gangguan integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom. Gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh. Kulit berwarna
pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik hitam dan gatal akibat uremik
atau pengendapan kalsium pada kulit.
f. Gangguan endokrin
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi
dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.
g. Sistem hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopetin, sehingga
rangsangan eritopoesis pada sum-sum tulang berkurang, hemodialisi akibat
berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi
gangguan fungsi trombosit dan trombositopeni. selain anemi pada CKD sering disertai
pendarahan akibat gangguan fungsi trombosit atau dapat pula disertai trombositopeni.
Fungsi leukosit maupun limposit dapat pula terganggu sehingga pertahanan seluler
terganggu, sehingga pada penderita CKD mudah terinfeksi, oleh karena imunitas yang
menurun.
h. Gangguan lain
Akibat hipertiroid sering terjadi osteoporosis, osteitis, fibrasi, gangguan
elektrolit dan asam basa hampir selalu dijumpai, seperti asidosis metabolik,
hiperkalemia, hiperforfatemi, hipokalsemia. (Wijaya dan Putri, 2017)
Pasien dengan stadium I atau II tidak memiliki gejala atau gangguan metabolik
seperti asidosis, anemia, dan penyakit tulang. Selain itu, pengukuran yang paling umum
dari gangguan fungsi ginjal yaitu serum kreatininmungkin hanya sedikit meningkat pada
tahap awal CKD . akibatnya, estimasi GFR sangat penting bagi pengenalan tahap awal
CKD. Karena tahap awal CKD sering tidak terdeteksi, dibutuhkan diagnosis pada pasien
dengan tingkat kecurigaan yang tinggi yaitu yang mengalami kondisi kronis seperti
hipertensi dan diabetes militus.
Tanda dan gejala terkait dengan CKD menjadi lebih umum pada stage III, IV, V.
Anemia, kelainan metabolisme kalsium dan fosfor (hiperparatiroidisme sekunder),
malnutrisi, abnormalitas cairan dan elektrolit menjadi lebih umum seiring fungsi ginjal
memburuk. Umumnya pada pasien CKD stadium V juga mengalami gagal-gagal,
intoleransi dingin, berat badan menurun, neuropati perifer (Joy et al, 2008).

7. Komplikasi
a. Anemia
Pada penyakit gagal ginjal kronis disebabkan oleh produksi eritropoietin yang tidak adekuat oleh
ginjal dan diobati dengan pemberian eritropoietin subkutan atau intravena. Hal ini hanya bekerja
bila kadar besi, folat dan vitamin B12 adekuat dan pasien dalam keadaan baik. Sangat jarang
terjadi, antibodi dapat terbentuk melawan eritropoietin yang diberikan sehingga terjadi anemia
aplastik (Muttaqin, 2014)

b. Penyakit vaskuler dan hipertensi


Penyakit vaskuler merupakan penyebab utama kematian pada PGK. Pada pasien yang tidak
menyandang diabetes, hipertensi mungkin merupakan faktor risiko yang paling penting.
Sebagian besar hipertensi pada PGK disebabkan hipervolemia akibat retensi natrium dan air.
Keadaan ini biasanya tidak cukup parah untuk bisa menimbulkan edema, namun mungkin
terdapat ritme jantung tipel. Hipertensi seperti ini biasanya memberikan respon terhadap restriksi
natrium dan pengendalian volume tubuh melalui dialisis. Jika fungsi ginjal memadai, pemberian
furosemid dapat bermanfaat.
Hipertensi yang tidak memberikan respons terhadap pengurangan volume tubuh sering kali
berkaitan dengan produksi renin yang berlebihan. Kelebihan aktivitas simpatis juga dapat
berperan. Vasokontriksi seperti endotelin, hormon antidiuretik (antidiuretic hormone, ADH atau
vasopresin), norepinefrin (noreadrenalin), atau defisiensi vasodilator nitrat oksida dapat pula
berperan dalam hipertensi jenis ini. Jika tekanan darah tidak bisa dikontrol dengan inhibitor
ACE, blocker reseptor angiotensin, vasodilator, atau β-blocker, maka nefrektomi kadang
membantu. Namun demikian stenosis arteri renaalis seharurnya disingkirkan sebagai penyebab
hipertensi, karena seringkali dapat diobati dengan angioplasti balon (O'callaghan, 2009).

c. Endokrin
Pada pria, GGK dapat menyebabkan kehilangan libido, impotensi dan menyebabkan penurunan
jumlah motilitas sperma. Pada wanita sering terjadi kehilangan libido, berkurangnya ovulasi dan
infiltrasi. Siklus hormone pertumbuhan yang abnormal dapat turut berkontribusi dalam
menyebabkan retradasi pertumbuhan pada anak dan kehilangan massa otot pada orang dewasa
(Prabowo, 2014).

d. Neurologis dan psikiatrik


Gagal ginjal yang tidak diobati dapat menyebabkan kelelahan, kehilangan kesadaran dan bahkan
koma, seringkali dengantanda iritasi neurologis (mencakup tremor, asteriksis, agitasi,
meningismus, peningkatan tonus otot dengan mioklonus, klonus pergelangan kaki,
hiperrefleksia, plantar ekstensor, dan yang paing berat, kejang). Aktivitas Na+/ K+ ATPase
terganggu pada uremia dan terjadi perubahan yang terganggu hormon paratiroid (Parathyroid
Hormone/ PTH) pada transpor kalsium membran yang dapat berkontribusi dalam menyebabkan
neurotransmisi yang abnormal (O'callaghan, 2009). Neuropati perifer yang terjadi. Manifestasi
yang khas adalah neuropati sensoorimotorik distal, dan kelemahan serta kehilangan massa otot
distal. Biasanya terjadi simetris, namun dapat juga terjadi mononeuropati terisolasi serta
mengenai saraf kranial. Neuropati autonomik juga dapat terjadi. Miopati dapat disebabkan oleh
defisiensi vitamin D, hipokalsemia, hipofosfatemia dan kelebihan PTH. Gangguan tidur sering
terjadi. Kaki yang tidak bisa diam (restless leg) atau kram otot dapat juga terjadi dan kadang
merespons terhadap pemberian kuinin sulfat. Gangguan psikiatrik seperti depresi dan ansietas
sering terjadi dan terdapat peningkatan risiko bunuh diri (O'callaghan, 2009).
e. Lipid
Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat penurunan katabolisme
trigliserida. Kadar lipid lebih tinggi pada pasien yang menjalani dialisis peritoneal dari pada
pasien yang menjalani hemodialisis, mungkin akibat hilangnya protein plasma regulator seperti
apolipoprotein A-1 di sepanjang membran peritoneal (Prabowo, 2014).

f. Penyakit jantung
Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadi jika kadar ureum atau fosfat tinggi
atau terdapat hiperparatiroidisme sekunder yang berat. Kelebihan cairan dan hipertesi dapat
menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau dilatasi kardiomiopati. Fistula dialisi arterivena yang
besar dapat menggunakan proporsi curah jantung dalam jumlah besar sehingga mengurangi
curah jantung yang dapat digunakan oleh bagian tubuh yang tersisa (O’Callaghan, 2009).

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Urine
1) Volume : < 400 ml/24 jam(oliguria)/anuria
2) Warna : urin keruh
3) Berat jenis < 1, 015
4) Osmolalitas< 350 m osm/ kg
5) Klirens kreatinin : turun
6) Na++ > 40 mEq/lt
7) Protein : proteinuria (3-4+)
b. Darah
1) BUN/Kreatinin : >0,6-1,2 mg/dL(untuk laki-laki), >0,5-1,1 mg/dL (wanita)
2) Ureum : 5-25 mg/dL
3) Hitung darah lengkap : Ht turun, Hb < 7-8 gr%
4) Eritrosit : waktu hidup menurun
5) GDA, Ph menurun : asidosis metabolik
6) Na ++ serum : menurun
7) K+ : meningkat
8) Mg +/ fosfat : meningkat
9) Protein (khusus albumin) : menurun
c. Osmolalitas serum > 285 m osm/kg
d. KUB foto : ukuran ginjal / ureter/KK dan obstruksi ( batas)
e. Pielogram retrograd : identifikasi ekstravaskuler, massa.
f. Sistouretrogram berkemih : ukuran KK, refluks kedalaman ureter, retensi.
g. Ultrasono ginjal : sel. Jaringan untuk diagnosis histologist.
h. Endoskopi ginjal, nefroskopi : batu, hematuria, tumor
i. EKG : ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
j. Foto kaki, tengkorak, kulomna spinal (Wijaya dan Putri, 2017)

9. Penatalaksanaan
a. Pengaturan minum : pemberian cairan
b. Pengendalian hipertensi=<intake garam
c. Pengendalian K+ darah
d. Penanggualan anemia: transfusi
e. Penanggualan asidosis
f. Pengobatan dan pencegahan infeksi
g. Pengaturan protein dalam makan
h. Pengobatan neuropati
i. Dialisis
j. Tlansplatasi ginjal (Wijaya dan Putri, 2017)

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Data Biografi :identitas pasien, nama, umur, jenis kelamin, agama, status
perkawinan, pendidikan, suku/bangsa, pekerjaan, alamat, ruang, identitas
penaggung jawab, hubungan dengan pasien, no telepon, asuransi kesehatan (jika
ada).
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama/alasan masuk Rumah sakit
2) Riwayat kesehatan sekarang : dimulai dri akhir masa sehat, ditulis dengan
kronologis sesuai urutan waktu, dicatat perkembangan dan perjalanan
penyakitnya seperti : faktor pencetus, sifat keluhan (mendadak/berlahan-
lahan/terus menerus/hilang timbul atau berhubungan dengan waktu, lokalisasi
dan sifarnya ( menjalar /menyebar/berpindah/menetap), bearat ringannya
keluhan (menetap/cenderung bertambah atau berkurang), lamanya keluhan,
upaya yang dilakukan untuk mengatasi, keluhan saat pengkajian, diagnosa
medik
3) Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit yang pernah dialami (jenis penyakit, lama dan upaya untuk mengatasi,
riwayat masuk RS), Alergi, Obat-obatan yang pernah digunakan.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit menular/tidak menular/keturunan dalam keluarga, disertai genogram.
5) Pengkajian lingkungan
Pengkajian lingkungan rumah, lingkungan klien bekerja, fokus pada upaya
keamanan klien, informasi tentang lingkungan rumah dan tempat bekerja
meliputi:tata ruang, kebersihan, resiko cidera, paparan polusi, pencahayaan,
susasana rumah,
c. Pengkajian Primer
1) Airway
Kaji: bersihan jalan nafas, ada/tidaknya sumbatan pada jalan nafas, distress
pernafasan, tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring
2) Breathing
Kaji: frekuensi nafas, usaha, dan pergerakan dinding dada, suara pernafasan
melalui hidung dan mulut, udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
3) Circulation
Kaji: denyut nadi karotis, tekanan darah, warna dan kelembaban kulit, tanda-
tanda perdarahan eksternal dan internal
4) Disability
Kaji: tingkat kesadaran, gerakan ekstremitas, GCS, ukuran pupil dan responnya
terhadap cahaya
5) Exposure
Kaji: tanda-tanda trauma yang ada
d. Pola fungsional gordon
1) Pola management kesehatan/persepsi kesehatan
Persepsi terhadap penyakit yang dialaminya, Riwayat penggunaan
tembakau, alkohol, alergi (obat-obatan, makanan, reaksi alergi), mengatur dan
menjaga kesehatannya, pengetahuan dan praktik pencegahan penyakit.

2) Pola nutrisi dan metabolik


Kebiasaan klien dalam memenuhi kebutuhan nutrisi sebelum dan
sesudah sakit meliputi : jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi,
frekuensi makan dan minum, porsi makan, makanan yang disukai, nafsu
makan (normal,meningkat, menurun), pantangan atau alergi, penurunan sensasi
kecap, mual-muntah, stomatitis, kesulitan menelan (disfagia). riwayat masalah
kulit/penyembuhan (ruam, kering, keringat berlebihan, penyembuhan
abnormal, jumlah minum/24 jam dan jenis (kehausan yang sangat), mengkaji
ABCD yaitu :A (Antropometri) : BB, TB, sebelum dan sesudah sakit
fluktuasi BB 6 bulan terakhir (naik/turun), B (Biocemicle): Hemoglobin,
Leukosit, Trombosit, Hematoktit (cairan), Albumin edema, C (Clinicel) : turgor
kulit, konjungtiva, CRT, D (Diet) : diet/suplment khusus, Instruksi diet
sebelumnya.
3) Pola eliminasi
Buang air besar (BAB) : Frekuensi, waktu, Warna, konsistensi, Kesulitan
(diare, konstipasi, inkontinensia), Buang Air Kecil (BAK) : Frekuensi,
Kesulitan/keluhan (disuria, noktiria, hematuria, retensia, inkontinensia).
4) Pola aktivitas dan kebersihan diri kemampuan perawatan diri
0 : Mandiri
1: dengan alat bantu
2: dibantu orang lain
3: dibantu orang lain dan peralatan
4: ketergantian / ketidakmampuan
5) Pola istirahat dan tidur
Lama tidur : (jam/malam, tidur siang , tidur sore), waktu kebiasaan menjelang
tidur, masalah tidur (insomnia, terbangun dini, mimpi buruk), perasaan
setelah bangun (merasa segar / tidak setelah tidur).
6) Pola kognitif dan Persepsi sensori
Status mental (sadar / tidak, orientasi baik atau tidak ), bicara: normal, genap,
aphasia ekspresif, kemampuan berkomunikasi, kemampuan memahami,
tingkat ansietas , Pendengaran: DBN, Tuli, tinitis, alat bantu dengar,
Penglihatan (DBN, Buta, katarak, kacamata, lensa kontak, dll), vertigo,
ketidaknyamanan/nyeri /akut/ kronis, penatalaksaan nyeri
7) Persepsi diri dan konsep diri
Perasaan klien tentang dirinya, gambar dirinya, ideal dieinya, harga dirinya,
peran dirinya, ideal dirinya.
8) Pola hubungan peran
Pekerjaan, sistem pendukung : (pasangan, tetangga, keluarga serumah,
keluarga tinggal berjauhan, maslah keluarga berkenaan dengan perawatan RS,
kegiatan sosial : bagaimana hubungan dengan masyarakat.
9) Pola seksual dan reproduksi
Tanggal Menstruasi Terakhir (TMA), masalah-masalah dalam pola
reproduksi, Pap smear terakhir, kepuasan dan tidak puasan klien dalam pola
seksualitas, kesulitan dalam pola seksualitas, masalah seksual B. D penyakit
10) Pola koping dan toleransi stres
Perawat mengkaji kemampuan klien dalam mengelola stess,
Kehilangan/perubahan besar dimasa lalu, Hal yang dilakukan saat ada
masalah, Pengguanaan obat saat menghilangkan stres, Keadaan emosi dalam
sehari-hari (santai/tegang), keefektifan dalam mengelola stress.
11) Pola nilai dan Keyakinan
Keyakinan Agama, budaya, Pengaruh agama dalam kehidupan.
e. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum: Kesadaran, Klien tampak sehat/ sakit/sakit berat
2) Tanda –tanda vital : TD, ND, RR, S
3) Kulit : Warna kulit (sianosis, ikterus, pucat eritema), Kelembaban, Turgor
kulit, Ada/tidaknya edema
4) Kepala/rambut : Inspeksi, Palpasi
5) Mata : Fungsi penglihatan, Ukuran pupil, Konjungtiva, Lensa/iris, Odema
palpebra, Palpebra, Sklera
6) Telinga : Fungsi pendengaran, Kebersihan, Daun telinga, Fungsi
keseimbangan, Sekret, Mastoid
7) Hidung dan sinus : Inspeksi, Fungsi penciuman, Pembengkakan, Kebersihan,
Pendarahan, Sekret
8) Mulut dan tenggorokan : Membran mukosa, Keadaan gigi, Tanda radang
(gigi,lidah,gusi), Trismus, Kesulitan menelan, Kebersihan mulut
9) Leher : Trakea simetris atau tidak, Kartoid bruid, JVP, Kelenjar limfe,
Kelenjar tiroid, Kaku kuduk
10) Thorak atau paru : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi
11) Jantung : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi
12) Abdomen : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi
13) Ekstremitas : Vaskuler perifer, Capilari refil, Clubbing, Perubahan warna
14) Neurologis : Status mental/GCS, Motorik, Sensori, Tanda rangsangan
meningkat, Saraf kranial, Reflek spikologis, Reflek patologis
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko Ketidak efektifan perfusi jaringan ginjal (00203)
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme regulasi (00026)
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan metabolisme (00046)
d. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
faktor bologis (00002)
e. Intoleransi aktivitas berhubungan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen (00092)
f. Pola nafas tidak efektif berhubungan hiperventilasi (00032)(Heardman et al, 2015)
3. Intervensi

No. DX Tujuan & KH Intervensi Keperawatan Rasional


1. Tujuan : Circulatory Care
Setelah dilakukan 1. Lakukan penilaian secara 1. Sebagai data dasar
tindakan keperawatan komprehensif fungsi untuk menentukan
selama 3x24 jam sirkulasi perifer. (cek nadi intervensi selanjutnya
resiko ketidak priper,oedema, kapiler
efektifan perfusi refil, temperatur
ginjal adekuat. ekstremitas).
2. Kaji nyeri 2. Mengetahui persepsi
Kriteria Hasil: dan tingkatan nyeri
Circulation Status yang dirasakan klien
1. Membran mukosa 3. Inspeksi kulit dan Palpasi 3. Mengetahui adanya
merah muda anggota badan edema ekstremitas
2. Conjunctiva tidak 4. Atur posisi pasien, 4. Posisi tersebut dapat
anemis ekstremitas bawah lebih memperbaiki sirkulasi
3. Akral hangat rendah untuk memperbaiki
4. TTV dalam batas sirkulasi.
normal. 5. Monitor status cairan 5. Mengetahui balance
5. Tidak ada edema intake dan output cairan
6. Evaluasi nadi, oedema 6. Mengetahui tingkatan
edema pada klien dan
kondisi klien
7. Berikan therapi 7. Terapi antikoagulan
antikoagulan. dapat mencegah
terjadinya
penggumpalan darah
klien.

2. Tujuan: Fluid Management


Setelah dilakukan 1. Kaji status cairan : 1. Mengetahui adanya
asuhan keperawatan timbang berat kelebihan volume cairan
selama 3x24 jam badan,keseimbangan pada klien
volume cairan masukan dan haluaran,
seimbang. turgor kulit dan adanya
edema
Kriteria Hasil: 2. Timbang popok/pembalut 2. Mengetahui output cairan
Fluid Balance jika diperlukan klien
1. Terbebas dari
edema, efusi, 3. Pertahankan catatan intake 3. Mengetahui status balance
anasarka dan output yang akurat cairan klien
2. Bunyi nafas 4. Batasi masukan cairan 4. Mencegah adanya edema
bersih,tidak 5. Pasang urin kateter jika 5. Pemasangan kateter dapat
adanya dipsnea diperlukan melancarkan output urine
3. Memilihara klien
tekanan vena 6. Monitor hasil lab yang 6. Hasil lab
sentral, tekanan sesuai dengan retensi menginterpretasikan status
kapiler paru, cairan (BUN , Hematokrit, cairan dan elektrolit klien
output jantung osmolalitas urin  )
dan vital sign
normal. 7. Monitor vital sign 7. Mengetahui kondisi umum
4. Pasien dapat klien
menjelaskan 8. Monitor indikasi retensi / 8. Indikasi retensi/kelebihan
indikator kelebihan cairan (kreacles, cairan dapat menentukan
kelebihan cairan CVP , edema, distensi intervensi yang tepat bagi
vena leher, asietes) klien

9. Kaji lokasi dan drajat 9. Lokasi dan derajat edema


edema dapat menentukan seberapa
berat kelebihan volume
cairan klien
10. Berikan diuretik sesuai 10. Diuretic dapat meningkatkan
interuksi output cairan klien
11. Kolaborasi dokter jika 11. Dapat dilakukan terapi yang
tanda cairan berlebih tepat pada klien
muncul memburuk
12. Jelaskan pada pasien dan 12. Mencegah klien dari
keluarga rasional kelebihan cairan dan
pembatasan cairan keluarga dapat memantau
asupan cairan klien
13. Menjelaskan cara diit 13. Klien dapat mengetahui diit
pasien yang tepat untuk menjaga
kondisinya
14. Kolaborasi pemberian 14. Pemberian cairan yang tepat
cairan sesuai terapi. dapat mencegah klien dari
kelebihan cairan

Fluid Monitoring
1. Tentukan riwayat jumlah 1. Sebagai data dasar dalam
dan tipe intake cairan dan menentukan intervensi
eliminasi selanjutnya
2. Tentukan kemungkinan 2. Untuk mengetahui tindakan
faktor resiko dari ketidak yang tepat untuk mengatasi
seimbangan cairan masalah
(hipertermia, terapi
diuretik, kelainan renal,
gagal jantung, diaporesis,
disfungsi hati, dll )
3. Monitor berat badan 3. Mengetahui adakah
keleibihan volume cairan
4. Monitor serum dan 4. Mengetahui kadar cairan dan
elektrolit urine elektrolit
5. Mengetahui adanya
5. Monitor adanya distensi kelebihan volume cairan
leher, rinchi, eodem
perifer dan penambahan
BB 6. Edema dapat menjadi tanda
6. Monitor tanda dan gejala kelebiihan cairan
dari odema
Hemodialysis therapy 1. Terapi hemodialisa sesuai
1. Bekerja secara prosedur dapat mengurangi
kolaboratif dengan pasien kelebihan cairan dan sisa
untuk menyesuaikan metabolism di tubuh
panjang dialisis,
peraturan diet,
keterbatasan cairan dan
obat-obatan untuk
mengatur cairan dan
elektrolit pergeseran
antara pengobatan.
3. Tujuan : Pressure management
Setelah dilakukan 1. Monitor kulit akan adanya 1. Kemerahan dapat
asuhan keperawatan kemerahan menjadi tanda
selama 3x24 jam kerusakan integritas
diharapkan gangguan kulit.
integritas kulit 2. Monitor tanda dan gejala 2. Infeksi dapat
teratasi dengan infeksi pada area insisi menjadikan integritas
kulit menjadi rusak
Kriteria Hasil: 3. Anjurkan pasien 3. Pakaian yang longgar
1. Tidak ada tanda – menggunakan pakaian dapat mengurangi rasa
tanda infeksi yang longgar nyeri pada kulit yang
2. Ketebalan dan rusak
teksture jaringan 4. Hindari kerutan pada 4. Kerutan di tempat tidur
normal tempat tidur dapat menyebabkan
3. Menunjukan nyeri pada kulit yang
pemahaman rusak
dalam proses 5. Jaga kebersihan kulit agar 5. Menjaga integritas kulit
perbaikan kulit tetap bersih dan kering agar tetap bagus
dan mencegah 6. Mobilisasi pasien (ubah 6. Mobilidsasi rutin dapat
terjadinya cidera posisi pasien setiap dua mencegah dekubitus
berulang jam sekali)
4. Menunjukan 7. Oleskan lotion atau 7. Lotion dapat
terjadinya proses minyak baby oil pada melembabkan kulit
penyembuhan daerah yang tertekan.
luka
4. Tujuan : Nutritional Management
Setelah dilakukan 1. Monitor adanya mual dan 1. Mual dan muntah dapat
asuhan keperawatan muntah menjadi data untuk
selama 3x24 jam menentukan status
nutrisi seimbang dan nutrisi
adekuat. 2. Monitor status nutrisi. 2. Mengetahui adanya
gangguan nutrisi pada
Kriteria Hasil: klien
Nutritional Status 3. Monitor adanya 3. Sebagai data penguat
1. Nafsu makan kehilangan berat badan untuk mengetahui
meningkat dan perubahan status adanya gangguan nutrisi
2. Tidak terjadi nutrisi.
penurunan BB 4. Monitor albumin, total 4. Hasil lab dapat menjadi
3. Masukan nutrisi protein, hemoglobin, dan data pendukung
adekuat hematocrit level yang menentukan intervensi
4. Menghabiskan menindikasikan status
porsi makan nutrisi dan untuk
5. Hasil lab normal perencanaan treatment
(albumin, kalium) selanjutnya.
5. Monitor intake nutrisi dan 5. Intake nutrisi yang
kalori klien. adekuat dapat
meningkatkan status
nutrisi
6. Berikan makanan sedikit 6. Makanan sedikit tapi
tapi sering sering dapat
meningkatkan nafsu
makan klien
7. Berikan perawatan mulut 7. Perawatan mulut dapat
sering meningkatkan nafsu
klien
8. Kolaborasi dengan ahli 8. Diet yang sesuai dapat
gizi dalam pemberian diet menyeimbangkan status
sesuai terapi nutrisi klien
9. Monitor masukan 9. Masukan makanan yang
makanan / cairan dan adekuat dapat
hitung intake kalori harian meningkatkan status
nutrisi klien

5 Tujuan: Activity Therapy


Setelah dilakukan 1. Bantu klien untuk 1. Mengetahui tingkat
tindakan keperawata mengidentifikasi aktivitas aktivitas yang mampu
selema 2x24 jam yang mampu dilakukan. dilakukan klien
pasien diharapkan 2. Bantu untuk mendapatkan 2. Alat bantu dapat
masalah intoleransi alat bantuan aktivitas membantu aktivitas
aktivitas dapat seperti kursi roda, krek. klien
teratasi dengan 3. Bantu pasien dan keluarga 3. Kekurangan aktivitas
untuk mengidentivikasi klien dapat menjadi data
Kriteria Hasil : kekurangan dalam untuk menentukan
1. Mampu beraktivitas intervensi yang tepat
melakukan 4. Bantu klien untuk 4. Motivasi diri dapat
aktivitas sehari mengembangkan motivasi meningkatkan
hari (ADLS) diri dan penguat kepercayaan diri klien
secara mandiri 5. Kolaborasikan dengan 5. Terapi yang tepat dapat
2. Berpartipasi tenaga medik dalam meningkatkan kondisi
dalam aktivitas merencanakan program klien
fisik tampa terapi yang tepat.
disertai
peningkatan
tekanan darah,
nadi dan RR
3. Status respirasi :
pertukaran gan
dan ventilasi
adekuat
4. Mampu
berpindah :
dengan atau
tampa bantuan
alat

6. Tujuan : Respiratory Monitoring


Setelah dilakukan 1. Monitor rata – rata, 1. Menjadi data dasar
asuhan keperawatan kedalaman, irama dan dalam menentukan
selama 1x24 jam pola usaha respirasi intervensi yang tepat
nafas adekuat. 2. Catat pergerakan 2. Mengetahui adanya
dada,amati kesimetrisan, gangguan pola nafas
Kriteria Hasil: penggunaan otot klien
Respiratory Status tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan
1. Peningkatan intercostal
ventilasi dan 3. Monitor pola nafas : 3. Mengetahui adanya
oksigenasi yang bradipena, takipenia, gangguan pernafasan
adekuat kussmaul, hiperventilasi, pada klien
2. Bebas dari tanda 4. Auskultasi suara nafas, 4. Mengetahui adanya
tanda distress catat area penurunan / suara nafas tambahan
pernafasan tidak adanya ventilasi dan
3. Suara nafas yang suara tambahan
bersih, tidak ada
sianosis dan Oxygen Therapy
dyspneu (mampu 1. Auskultasi bunyi nafas, 1. Mengetahui adanya
mengeluarkan catat adanya crakles gangguan pola nafas
sputum, mampu klien
bernafas dengan 2. Ajarkan pasien nafas 2. Nafas dalam dapat
mudah, tidak ada dalam meningkatkan
pursed lips) oksigenasi klien
4. Tanda tanda vital 3. Atur posisi senyaman 3. Memberikan rasa
dalam rentang mungkin nyaman dan rileks
normal 4. Batasi untuk beraktivitas 4. Aktivitas yang
berlebihan dapat
menyebabkan pasien
kelelahan dan dispnea
5. Kolaborasi pemberian 5. Pemberian oksigen
oksigen dapat meningkatkan
oksigenasi klien

Tabel 2.5 NIC (Gloria et al, 2015), NOC (Moorhead, 2016)

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Akses Pembuluh Darah, diakses tanggal 20 juni 2018,melalui
<https://www.sahabatginjal.com/penting-bagi-anda/hemodialisis>
Bayhakki. 2013. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gagal Ginjal Kronik. Jakarta: EGC
Heardman. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017. EGC: Jakarta
Huddak and Gallo 2010, Fahmi 2016. Pengaruh Self Management Dietary Counseling
Terhadap Self Care Dan Status Cairan Pada Pasien Hemodialisa, Tesis, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
Ika 2015.Laporan Pendahuluan “Chronic Kidney Disease (CKD)”dilihat 4 Mei 2018, melalui
<http://repository.lppm.unila.ac.id/1391/1/49-54-IKA-A.pdf>
Joy et al (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha Publishig
Kirana 2015. Laporan pendahuluan Asuhan Keperawatan pada pasien Chronic Kidney Disease
diakses pada tanggal 4 mei 2018 melalui
<https://www.academia.edu/31553378/CHRONIC_KIDNEY_DEASES
McAlexcander 2016,Faruq 2017, Upaya Penurunan Volume Cairan Pada Pasien Gagal Ginjal
Kronis, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Oscar 2017,Situasi Penyakit Ginjal Kronikdiakses pada tanggal 25 Mei 2018,
melalui<http://www.depkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/infodatin/infodatin%20ginjal%202017.pd>
Sudoyo et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Interna Publishing
Suharyanto, T. Madjid A, 2009.Asuhan Keperewatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan . Jakarta: Penerbit Trans Info Media
Syaifudin. 2011. Anatomi Fisiologi: Kurikulum Berbasis Kompetensi Untuk Keparawatan &
Kebidanan Ed 4 Jakarta: EGC
Wijaya dan Putri. 2017. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Teori dan Contoh
Askep. Yogyakarta: Nuha Medika
Wilson 2012, Fahmi 2016. Pengaruh Self Management Dietary Counseling Terhadap Self Care
Dan Status Cairan Pada Pasien Hemodialisa, Tesis, Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai