Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah gizi di Indonesia saat ini memasuki masalah gizi ganda (Double

Burden Nutrition). Artinya, masalah gizi kurang masih belum teratasi

sepenuhnya, sementara sudah muncul masalah gizi lebih. Underweight

(kurus/berat badan kurang), over weight (berat badan lebih) dan obesitas

termasuk dalam sepuluh risiko dalam hal beban penyakit global (Global

Burden Disease) (World Health Organisation, 2008).

Obesitas menjadi masalah di seluruh dunia baik di negara maju maupun

negara berkembang. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa

pada tahun 2008, sekitar 1,4 milyar orang dewasa usia 20 tahun ke atas

mengalami overweight dan prevalensi obesitas di dunia yaitu 10% pada pria

dan 14% pada wanita. Angka ini mengalami peningkatan 2 kali lipat bila

dibandingkan dengan tahun 1980 (5% pada pria dan 8% pada wanita) (WHO,

2008). Prevalensi kegemukan (obesitas) di negara maju berkisar dari 2.4% di

Korea Selatan hingga 32.2% di Amerika Serikat, sedangkan di negara

berkembang berkisar dari 2.4% di Indonesia sampai 5.6% di Saudi Arabia

(Low et al, 2009).

Masalah obesitas banyak dialami oleh beberapa golongan masyarakat, antara

lain balita, anak usia sekolah, remaja, dewasa, dan lanjut usia (Padmiari and Hadi,

2003). Di Indonesia, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007

1
2

menunjukkan bahwa 8.8% remaja berumur 15 tahun kelebihan berat dan 10.3%

obesitas. (laki-laki 13,9% dan perempuan 23,8%). Berdasarkan Riskesdas 2010

prevalensi kegemukan lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan prevalensi di

pedesaan yaitu berturut-turut sebesar 10,4% dan 8,1 %. BerdasarkanRiset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 prevalensi gemuk pada remaja usia 13-15 tahun

sebesar 10,8 persen, terdiri atas 8,3 persen gemuk dan 2,5 persen sangat gemuk

(obesitas), sedangkan prevalensi obesitas pada usia remaja 16-18 tahun adalah

7,3% yang terdiri dari 5,7 % gemuk dan 1,6 % obesitas.

Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 prevalensi obesitas

pada usia remaja 16-18 tahun di propinsi Sumatera Barat adalah 7,9%.

Sementara itu berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Padang, diketahui

bahwa sekolah dengan remaja obesitas terbanyak adalah SMA Adabiyah

Padang dengan persentase sebesar 13,7%.

Masalah gizi utama pada remaja adalah defisiensi mikronutrien, khususnya

anemia defisiensi zat besi, serta masalah malnutrisi, baik gizi kurang dan

perawakan pendek maupun gizi lebih sampai obesitas dengan ko-

morbiditasnya yang keduanya seringkali berkaitan dengan kebiasaan makan

salah. Masalah gizi pada remaja muncul dikarenakan kebiasaan makan yang

tidak sehat. (Satgas Remaja IDAI, 2013).

Kebiasaan makan adalah cara-cara individu dan kelompok memilih,

mengkonsumsi, dan menggunakan makanan-makanan yang tersedia, yang

didasarkan pada faktor-faktor sosial dan budaya dimana individu atau

kelompok individu hidup (Santoso, 2004). Remaja mulai merasa


3

bertanggungjawab untuk kebiasaan makan, sikap dan perilaku sehat mereka

sendiri (Turconi, 2008).

Kebiasaan makan remaja menjadi perhatian khusus karena kelompok

rentan ini memiliki energi dan nutrisi yang dibutuhkan lebih besar daripada

populasi orang dewasa (Ayranci, Eronoglu & Son, 2010). Tidak terpenuhinya

kebutuhan nutrisi pada masa ini dapat berakibat terlambatnya pematangan

seksual dan hambatan pertumbuhan linear.

Kebiasaan makan yang dibentuk sebelum masa remaja, dapat berubah

secara substansial selama masa remaja dan jika perubahan kebiasaan makan ini

tidak sehat, cenderung mempengaruhi kesehatan dan risiko penyakit pada fase

kehidupan selanjutnya. Hasil penelitian Viner & Baker (2005) menunjukkan

bahwa kesehatan orang dewasa tampaknya lebih terkait dengan faktor resiko

remaja dibandingkan dengan masa kanak-kanak. Misalnya, risiko menjadi

obesitas pada saat dewasa lebih mungkin jika obesitas merupakan faktor resiko

remaja daripada jika itu faktor resiko pada masa kanak-kanak. (Savige, Ball,

Worsley & Crawford; 2007). Faktanya, kebiasaan makan berperan penting

dalam pemeliharaan berbagai kesehatan dan nutrisi (Turconi, 2008).

Selain itu, dampak dari kebiasaan makan yang tidak sehat pada masa

dewasa bisa menimbulkan anemia dan keletihan yang disebabkan karena

kekurangan zat besi, kondisi yang menyebabkan mereka tidak mampu merebut

kesempatan kerja. Dampak negatif kekurangan mineral sering tidak kelihatan

ketika mereka mencapai usia dewasa. Contoh, kalsium sangat penting untuk
4

pembentukan tulang pada masa remaja. Kekurangan kalsium selagi muda

merupakan penyebab osteoporosis di usia lanjut (Arisman 2007).

Pada umumnya remaja mempunyai kebiasaan makan yang kurang baik.

Beberapa remaja sering mengonsumsi makanan dalam jumlah yang tidak

seimbang dibandingkan dengan kebutuhannya. Karakteristik kebiasaan makan

remaja yaitu melewatkan sarapan pagi, diet dan ngemil (Ganasegeran, Dubai,

Qureshi, Al-Abed, dan AM, 2012). Selain itu remaja juga memiliki kebiasaan

makan yang tak menentu seperti melewatkan jam makan, makan makanan

yang tinggi lemak dan tinggi kalori, serta mengkonsumsi kalori di malam hari.

Sementara itu, golongan sayur-sayuran dan buah-buahan yang mengandung

banyak vitamin dan mineral tidak populer di kalangan remaja (Turconi, 2008;

Mosack, 2009).

Di Amerika Serikat, remaja tidak setiap hari makan buah dan sayur,

sedangkan kudapan asin dan manis (70%) dimakan beberapa kali (sepertiga

dari mereka) setiap hari. Hampir 50 % remaja, terutama remaja yang lebih tua

tidak sarapan dan lebih memilih kudapan. Sebagian besar kudapan bukan

hanya “hampa kalori” tetapi juga sedikit sekali mengandung zat gizi (Arisman,

2007).

Di Indonesia, prevalensi nasional kurang makan buah dan sayur pada

penduduk umur > 10 tahun adalah 93,6 %. Untuk umur 15 -24 tahun prevalensi

nasional kurang makan buah dan sayur adalah 93,8%. Konsumsi buah dan

sayur paling rendah terdapat pada provinsi Riau dan Sumatera Barat, masing-

masing 97,9 % dan 97,8 % sedangkan yang berada di bawah rata-rata nasional
5

adalah provinsi Gorontalo (83,5 %), DI Yogyakarta (86,1%) dan Lampung

(87,7%).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siagian (2010) menunjukkan bahwa

kebiasaan konsumsi serat makanan umumnya masih dibawah angka

kecukupan. Penelitian Emalia (2012) tentang konsumsi junk food di

Palembang menunjukkan bahwa 51,6% responden sering mengkonsumsi junk

food. Untuk kebiasaan sarapan pagi, hasil penelitian Istianah (2012) hanya 48%

remaja yang sarapan pagi setiap hari sedangkan 52% remaja tidak sarapan

setiap hari yang mana akan berakibat pada konsentrasi belajar dan prestasi

akademik. Selain itu kebiasaan ngemil pada remaja SMA juga sering

dilakukan. Penelitian yang dilakukan Nurhayati (2010) menunjukkan bahwa

kebiasaan snacking (ngemil) remaja di sekolah nonfavorit lebih tinggi (86,4%)

dibandingkan dengan sekolah favorit (36,8%).

Telah ada peningkatan dramatis dalam jumlah remaja dengan kebiasaan

makan tidak sehat selama dua puluh tahun terakhir. Prevalensi kebiasaan

makan yang tidak sehat telah meningkat di semua kelas sosial ekonomi dalam

dua dekade terakhir dan sebagai hasilnya, semakin dibutuhkan tenaga

profesional, orang tua dan pendidik untuk program intervensi untuk menangani

kebiasaan makan yang tidak sehat (Beer, 2006).

Kebiasaan makan remaja dipengaruhi oleh banyak faktor. Adapun faktor-

faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan diantaranya yaitu faktor

lingkungan alam, Lingkungan budaya dan agama, pengetahuan gizi, penilaian

yang lebih terhadap mutu makanan, faktor sosiodemografis dan dan faktor
6

psikologis (Ginting, 2004). Faktor lingkungan alam, lingkungan budaya dan

agama, pengetahuan gizi, penilaian yang lebih terhadap mutu dan makanan

dianggap sama untuk suatu komunitas dan budaya di lingkungan tertentu. Lain

halnya dengan faktor sosiodemografis dan psikologis yang berbeda pada setiap

individu.

Salah satu faktor sosiodemografis yang mempengaruhi kebiasaan makan

remaja adalah jenis kelamin dan status sosioekonomi. Penelitian yang

dilakukan Bester dan Schnell (2014) menunjukkan bahwa laki-laki memiliki

kebiasaan makan yang lebih sehat daripada perempuan. Penelitian yang

dilakuakan oleh Shi dkk (2015) menunjukkan status sosioekonomi

berhubungan positif dengan frekuensi asupan makanan berenergi tinggi (high-

energi foods).

Hasil penelitiian yang dilakukan Lalluka dkk, (2014) menunjukkan

bahwa pendidikan dan pendapatan rumah tangga berhubungan dengan

kebiasaan makan yang sehat. Kebiasaan makan orang yang memiliki status

sosioekonomi yang tinggi lebih sehat daripada kebiasaan makan orang dengan

status sosioekonomi rendah.

Faktor psikologis yang mempengaruhi kebiasaan makan berhubungan

dengan kesehatan jiwa yang dapat menyebabkan gangguan dalam kebiasaan

makan yang sehat. Gangguan kesehatan jiwa seperti, depresi, tidak bahagia

atau cemas, dan stress dapat menyebabkan orang memakan jenis makanan

yang tidak sehat (Polivy & Herman, 2005).


7

Konsekuensi dari makan pada kesehatan mental dan jiwa bisa

memperkuat kebiasaan makan sehat dan tidak sehat (artinya ada kemungkinan

bahwa makan dengan cara sehat membuat orang merasa lebih baik secara

psikologis, akan tetapi, juga ada kemungkinan bahwa makan dengan cara yang

tidak sehat membuat orang merasa lebih baik secara emosional (Polivy &

Herman, 2005)

Faktor psikologis menimbulkan kebiasaan makan yang tidak sehat yaitu

berupa makan yang tidak terkontrol, makan ketika tidak lapar dan makan

dengan alasan untuk menghibur diri (comfort eating) atau menolak makan

sebagai senjata yang dikaitkan dengan emosi positif dan negatif. Misalnya,

yaitu makan karena merasa cemas, kesepian, bosan, bahagia, marah dan

gelisah. Hal ini dapat dipicu oleh stress dan suasana hati. Stress psikologis

seringkali dikaitkan dengan konsumsi makanan yang meningkat, terutama

dalam mengkonsumsi makanan berlemak tinggi (Sims, dkk, 2008; Barasi,

2009; Jade, 2010).

Hasil penelitian Ganasageran tahun 2015 menunjukkan ada 4 dari 6

faktor psikologi yang secara signifikan (p<0,05) mempengaruhi kebiasaan

makan yaitu makan karena merasa kesepian, makan sampai sakit perut, makan

karena merasa kesepian dan makan karena merasa bosan. Dalam analisis

multivariat, umur dan ‘makan karena merasa bahagia’ secara signifikan terkait

dengan skor kebiasaan makan (p<0,05).

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Sanlier dan Ogretir (2012)

menunjukkan ada perbedaan yang signifikan pada jenis kelamin perempuan


8

yang makan karena dipengaruhi oleh mood positif dan mood negatif daripada

laki-laki. Perempuan makan lebih banyak daripada laki-laki pada saat berada

dalam mood positif.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang sebelumnya adalah

pendapatan perkapita. Pendapatan perkapita negara Indonesia lebih rendah

dibandingkan dengan pendapatan negara Malaysia. Berdasarkan data dari

international monetary fun, world economic outlook database 2012 yang

dikutip dalam Chairil dkk pada tahun 2013, menunjukkan pendapatan

pendapatan perkapita negara Indonesia, yaitu sebanyak 3660 US$ lebih rendah

dibandingkan dengan pendapatan perkapita negara Malaysia, sebanyak 10.578

US$. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa pendapatan menentukan

kebiasaan makan seseorang.

SMA Adabiah merupakan salah satu sekolah swasta ternama yang ada di

Kota Padang dan lokasi SMA tersebut cukup strategis berada di pusat Kota

Padang. Berdasarkan data didapat peneliti dari Dinas Kesehatan Kota Padang

pada siswa SMA tahun 2018 dengan prevalensi gizi lebih dan obesitas 13, 7 %

di kota Padang, SMA yang memiliki angka kejadian Obesitas dan gizi lebih

pada remaja terbanyak terdapat pada SMA Adabiah Padang, SMA Arrisalah,

SMA Muhammadiyah 1, SMU Pertiwi dan SMU pembangunan. SMA Adabiah

memiliki angka kejadian terbanyak dibandingkan SMA lainnya.

Survey awal yang peneliti lakukan di SMA Adabiah Padang, peneliti

mendapatkan data dari 10 orang yang diambil secara acak dengan memberikan

pertanyaan kepada siswa tersebut, didapatkan data bahwa 60% dari mereka
9

jarang sarapan pagi, 80% dari mereka makan tidak teratur, 50% dari mereka

sering makan gorengan, 30% dari mereka sering makan makanan ringan

(snack), 70% dari mereka jarang makan buah-buahan dan 40% dari mereka

jarang makan sayuran. Dilihat dari faktor psikologis dengan kebiasaan makan,

peneliti mendapatkan data 75% dari siswa makan pada pesta perayaan, seperti

ulang tahun dan pernikahan, 37,5% siswa makan karena tidak ada kegiatan dan

37,5% siswa ingin makan ketika melihat makanan di depan mereka.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka penulis

tertarik untuk meneliti tentang hubungan faktor sosiodemografis dan psikologis

dengan kebiasaan makan remaja di SMA Adabiah padang tahun 2018.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka

peneliti merumuskan masalah sebgai berikut : Untuk melihat bagaimana Pengaruh

Faktor Sosiodemogfrafis dan Psikologis dengan Kebiasaan Makan Remaja di

SMA Adabiah Padang Tahun 2018?.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh

faktor sosiodemografis dan psikologis dengan kebiasaan makan remaja

di SMA Adabiah Padang Tahun 2018

2. Tujuan Khusus
10

a. Mengetahui distribusi frekuensi responden berdasarkan faktor

sosiodemografis (jenis kelamin, tingkat pendidikan ayah, tingkat

pendidikan ibu, dan pendapatan orangtua) remaja SMA Adabiah

Padang tahun 2018

b. Mengetahui distribusi frekuensi faktor psikologis remaja di SMA

Adabiah Padang Tahun 2018

c. Mengetahui distribusi frekuensi kebiasaan makan remaja di SMA

Adabiah Padang.

d. Mengetahui perbedaan rerata skor kebiasaan makan antara jenis

kelamin laki-laki dan perempuan

e. Mengetahui perbedaan rerata skor kebiasaan makan antara tingkat

pendidikan ibu yang berpendidikan < SLTA dengan tingkat

pendidikan ibu yang berpendidikan ≥ SLTA

f. Mengetahui perbedaan rerata skor kebiasaan makan antara tingkat

pendidikan ayah yang berpendidikan < SLTA dengan tingkat

pendidikan ayah yang berpendidikan ≥ SLTA

g. Mengetahui perbedaan rerata skor kebiasaan makan antara

orangtua yang berpenghasilan < UMR dengan orangtua yang

berpenghasilan ≥ UMR

h. Mengetahui perbedaan rerata skor kebiasaan makan dengan faktor

psikologis antara remaja yang menjawab ya dengan yang tidak

pada makan karena merasa kesepian atau sedih


11

i. Mengetahui perbedaan rerata skor kebiasaan dengan faktor

psikologis antara remaja yang menjawab ya dan tidak pada makan

yang tidak terkontrol

j. Mengetahui perbedaan rerata skor kebiasaan makan dengan faktor

psikologis antara remaja yang menjawab ya dan tidak pada makan

sampai perut terasa sakit

k. Mengetahui perbedaan rerata skor kebiasaan dengan faktor

psikologis antara remaja yang menjawab ya dan tidak pada makan

karena rasa kesal dan marah.

l. Mengetahui perbedaan rerata skor kebiasaan dengan faktor

psikologis antara remaja yang menjawab ya dan tidak pada makan

karena merasa bosan.

m. Mengetahui perbedaan rerata skor kebiasaan dengan faktor

psikologis antara remaja yang menjawab ya dan tidak pada makan

karena merasa bahagia.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Profesi Keperawatan

Sebagai bahan masukan bagi tenaga keperawatan, khususnya perawat

komunitas dalam memberikan asuhan keperawatan melalui penyuluhan

kesehatan tentang kebiasaan makan yang sehat pada remaja.


12

2. Bagi Remaja

Berbagai informasi yang diperoleh dari penelitian ini dapat dijadikan

sebagai acuan bagi remaja sehingga remaja mampu untuk mengetahui

bagaimana kebiasaan makan yang sehat sehingga tidak menjadi pemicu

terjadinya gangguan kesehatan pada remaja.

3. Bagi penelitian

Sebagai bahan rujukan kepada peneliti yang akan datang yang akan

melakukan penelitian selanjutnya serta menambah wawasan kita tentang

hubungan faktor sosiodemografis dan psikologis dengan kebiasaan

makan remaja.

Anda mungkin juga menyukai