Anda di halaman 1dari 38

Tugas Hukum Internasional

Nama : Akwila Sewa Radja


NIM : 2019110168
Kelas/Semester : Malam/III

1. Contoh Kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia danPenyesalaiannya.


Tragedi G30SPKI
Peristiwa 1965-1966 merupakan suatu peristiwa tragedi kemanusiaan yang menjadi
lembaran sejarah hitam bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut terjadi sebagai akibat dari
adanya kebijakan negara pada waktu itu untuk melakukan penumpasan terhadap para
anggota dan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap telah melakukan
tindakan perlawanan terhadap negara.
Kebijakan negara yang diikuti dengan tindakan kekerasan terhadap warga negara yang
dituduh sebagai anggota maupun simpatisan PKI pada waktu itu, dilakukan secara berlebihan
dengan menggunakan cara-cara yang tidak manusiawi yang berdampak pada jatuhnya
korban jiwa manusia baik yang meninggal dunia maupun 18 yang luka-luka.
Sesuai dengan laporan dari para korban maupun keluarga korban, pada peristiwa 1965-
1966, telah mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia antara
lain pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara
paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang -
wenang, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan (persekusi) dan penghilangan orang secara
paksa.
Selain itu, para korban maupun keluarga korban juga mengalami penderitaan mental
(psikologis) secara turun temurun yakni berupa adanya tindakan diskriminasi di bidang hak
sipil dan politik, maupun di bidang hak ekonomi, sosial dan budaya.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka korban maupun keluarga korban peristiwa 1965-
1966 telah melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan hak asasinya guna
mendapatkan keadilan serta terpulihkannya hak-hak mereka yang telah terlanggar (redress).
Adapun salah satu perjuangannya adalah dengan mengadukan peristiwa tersebut kepada
Komnas HAM.
Menanggapi pengaduan korban, keluarga korban, dan masyarakat, Komnas HAM,
sesuai dengan fungsi dan tugasnya sebagaimana diamanatkan di dalam Undang Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah 1 membentuk Tim Pengkajian
berkenaan dengan peristiwa tersebut. Dari hasil pengkajian, kemudian Komnas HAM
menindaklanjuti
dengan membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat Periistiwa
1965- 1966.
Pembentukan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat Peristiwa 1965-
1966 dimaksudkan sebagai pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 18 jo Pasal 19 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, yang dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang berat Peristiwa 1965-
1966 menjalankan mandatnya sejak 1 Juni 2008 sampai dengan 30 April 2012. Dalam
menjalankan mandatnya, tim ad hoc telah menerima sejumlah pengaduan dari masyarakat
serta melakukan pemeriksaan terhadap saksi/korban sebanyak 349 (tiga ratus empat puluh
Sembilan) orang. Tim juga telah melakukan peninjauan secara langsung ke sejumlah daerah
dalam rangka pelaksanaan penyelidikan.
Dalam menjalankan tugasnya, Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang
Berat Peristiwa 1965-1966 mengalami berbagai hambatan:
1. Luasnya Geografis Peristiwa 1965-1966.
2. Keterbatasan Anggaran
3. Lamanya Peristiwa (kejadiannya panjang dan terjadi di masa lalu)
4. Traumatik Yang Dialami Korban.

2. Ringkasan Materi
Tugas dan Wewenang Pengadilan HAM
Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah pengadilan khusus yang berlokasi di lingkungan
pengadilan umum di suatu daerah atau kota. Pengadilan Hak Asasi Manusia didasarkan pada
UU No. 26 tahun 2000. Pengadilan Hak Asasi Manusia memiliki kekuatan untuk meninjau
dan memutuskan hak asasi manusia yang serius, termasuk hak asasi manusia yang dilakukan
oleh warga negara Indonesia di luar Republik Indonesia. Kekuatan Pengadilan Hak Asasi
Manusia untuk meninjau dan memutuskan pelanggaran serius hak asasi manusia yang
disebutkan di atas tidak berlaku bagi pelanggar yang berusia di bawah 18 tahun pada saat
kejahatan terjadi. Pengadilan Hak Asasi Manusia Khusus ditinjau dan memutuskan pada UU
No. 26 tahun 2000 untuk menolak pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia yang
terjadi sebelum dikeluarkannya Dekrit
Adapun tugas dan wewenang Pengadilan HAM: Tugas:
Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai
dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia.
Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya
pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai hal
Wewenang:
Memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat,termasuk
yang dilakukan diluar teritorial wilayah negara RI oleh warga negara Indonesia
Dasar Hukum Pengadilan HAM
Dasar Pembentukan Pengadilan HAM
Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dibentuklah Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum untuk
mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pembentukan Pengadilan HAM
dituangkan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia yang ditetapkan pada tanggal 23 November tahun 2000.
Tempat dan Kedudukan Pengadilan HAM
Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Untuk Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan
Negeri yang bersangkutan.
Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak
asasi manusia yang berat berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara RI oleh warga
negara Indonesia. Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutuskan perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di
bawah 18 tahun pada saat terjadi kejahatan dilakukan.
Susunan Majelis Hakim Pengadilan HAM
Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh majelis
hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang. Majelis hakim Pengadilan HAM
terdiri atas:
orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan; orang hakim ad hoc.
Apa saja nilai-nilai yang berkaitan dengan HAM menurut UU Nomor 39 Tahun 1999
Hakim ad hoc dalam Pengadilan HAM tersebut di atas diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Mahkamah Agung. Jumlah hakim ad hoc sekurang- kurangnya 12 orang
dengan masa jabatan 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk kali masa jabatan
Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi
Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan/atau ahli warisnya dapat
memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sesuai dengan putusan Pengadilan HAM.
Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu
memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban ataukeluarganya oleh pelaku
atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa:
pengembalian harta milik,
pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, dan penggantian biaya untuk
tindakan tertentu.
Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik,
jabatan atau hak-hak lain.

Mekanisme Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat (Tetap/Permanen dan Ad-hoc)

Mekanisme Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat Melalui Pengadilan


Nasional Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional tidak dapat dilepaskan dengan masih
banyaknya pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di berbagai kawasan dunia.
Selama itu, penanganan pelanggaran berat HAM baik terkaitlembaganya maupun pada
penghukumannya belum ada kesepakatan secara internasional. Pelanggaran berat HAM
(Gross Violation of Human Rights)seringterjadi di negara-negara otoritarian. Ketika proses
demokrasi bergulir pada suatu negara, maka timbul masalah pertanggungjawaban hukum
atas terjadinya pelanggaran tersebut(Mahsyur Effendi, 2004)
Pelbagai upaya nasional maupun internasional yang dilakukan banyak negara untuk meminta
pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang dilakukan rezim otoritiran di sejumlah
negara di dunia ini dimaksudkan untuk mengakhiri atau memutus rantai impunitas
(impunity)(Suparman Marzuki diambil dalam Mahrus Ali & Syarif Nurhidayat, 2011).Politik
hukum penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui pengadilan ditujukan
untuk mengakhiri atau memutus rantai “impunity”yaitu suatu tindakan kekuasaan yang tidak
mengambil tindakan hukum apapun atas suatu kejahatan yang dilakukan atau dengan kata
lain meminta pertanggungjawaban pelaku
atas perbuatan yang belum dipertanggungjawabkan (Suparman Marzuki).Tidak
dipenuhinya kewajiban negara untuk menuntut, mengadili dan menghukum pelaku telah
menimbulkan impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat.
Praktik impunitas telah terjadi sejak berabad lamanya di pelbagai negara dan terus
berlangsung hingga sekarang ini. Eropa pernah gagal membentuk pengadilan
Internasional terhadap Raja Wilhelm II atas kejahatannya yang melawan moralitas
internasional sebagaimanayang telah direkomendasikan oleh Perjanjian Versailles.
Impunitas juga dinikmati pula oleh Kaisar Hirohito oleh Mahkamah Tokyo atas
keputusan AS,dan membiarkan penjahat Perang Dunia II menjadi Kepala Megara
Kerajaan Jepang, dan bahkan dia dianggap sebagai pahlawan patriotik dimana abunya
ditempatkan pada Kuil Suci Sito di Yasukuni. Di Argentina, para pejabat militer tingkat
menengah dari pemerintahan junta yang mengibarkan perang kotor untuk menentang
orang orang yang melawan mereka, melakukan penyiksaan dan melenyapkannya dengan
cara membuang mereka dari pesawat terbang di atas Lautan Atlantik , sementara itu para
Jenderal tersebut mendapat pengampunan.
Fenomena impunitas di Indonesia juga terjadi di era Orde Baru yang banyak sekali
melakukan pelanggaran HAM berat namun tidak satu pun pelaku pelanggaran HAM berat di
era terebut dapat dimintai pertanggungjawaban dalam bentuk apapun. Dari beberapa kasus
impunitas tersebut menunjukkan bahwa setiap negara termasuk negara luar bahkan PBB
sekalipun berpeluang untuk melindungi pelaku kejahatan HAM berat sebagai akibat adanya
kepentingan politik, ideologis, dan ekonomi dibandingkan penegakan HAM dan keadilan.
Gerakan untuk melawan impunitas secara efektif dengan cepat mendapat dukungan yang
sangat luas sebagaimana tercermin dalam Konferensi HAM Dunia di Wina 1993. Dalam
paragraph 60 Deklarasi Wina disebutkan bahwa pengadilan atas pelanggaran HAM akan
memberi basis hukum yang kuat bagi tegaknya supremasihukum yang berkeadilan (the rule
of law).
Hukum Internasional mengenal prinsip “exhaustion of domestic remedies” yang
mengharuskan penggunaan semaksimal mungkin semua upaya hukum yang terseda di
tingkat nasional terlebh dahulu sebelum menggnakan mekanisme remedi di tingkat
internasional dan regional. Dengan kata lain,mekanisme remedi internasional hanya
diperlukan bila mekanisme remedi nasional tidak bekerja secara efektif sehingga korban
merasa belum mendapatkan keadilan. Beberapa contoh penggunaan mekanisme nasional,
seperti terbentuknya pengadilan HAM nasional di Sierra Lene sebagai “Internationalize
domestic tribunal”dengan nama “Special Court”; di Kamboja dibentuk dengan nama
“Extraordinary chambers” dan di Timor Leste disebut “Special Panels” untuk mengadili
para pelaku kejahatan internasional tertentu seperti genosida, kejahatan perang, dan penyiksaan.
Selain itu penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di tingkat nasional juga dapat dilakukan melalui
pengadilan nasional atas dasar prinsip yurisdiksi universal. Berdasarkan prinsip tersebut, setiap negara
memiliki kompetensi untuk melaksanakan yurisdiksinya dalam mengadili para pelaku kejahatan
internasionaltertentu seperti genosida, kejahatan perang dan penyiksaan. Adapun dasar penggunaan yurisdiksi
universal adalah bahwa kejahatan-kejahatan tersbut dianggap menyangkut umat manusia secara
keseluruhan(Suparman Marzuki). Penggunaan yurisdiksiuniversalditujukan untuk mencegah adanya tempat
berlindung bagi para pelaku pelanggaran HAM berat.
Dengan sistem ini maka terhadap pelaku yang berada di wilayah yurisdiksi suatu negara , negara tersebut harus
mengadili dan menghukum pelaku berdasarkan hukum pidananya atau mengekstradisikan ke negara lain yang
memiliki dan henda melaksanakan yurisdiksinya. Salah satu contoh penggunaan prinsip jurisdiksi universal
adalah kasus Pinochet mantan diktator Cile yang melakukan pelanggaran HAM berat ketika berkuasa di Cile
untuk ditangkap dan diekstradisi ke Spanyol atas dakwaaan melakukan tindakan penyiksaan, pembunuhan dan
penculikan(Suparman Marzuki). Penerapan yurisdiksi universal juga dapat dilihat di Israel dalam kasus Adolf
Eichmann, seorang warga negara Jerman yang melaksanakan eksekusi bagi sekitar 5 juta jiwa orang Yahudi di
Eropa, yang akhirnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti melakukan kejahatanterhadap kemanusiaan,
kejahatan perang, dan kejahatan genosida terhadap bangsa Yahudi.
Upayaperadilan terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat menjadi tanggung jawab negara dan bangsa
Indonesia serta masyarakat Internasional secara keseluruhan. Ini artinya bahwa yurisdiksi pengadilan
internasional tetap masih terbuka bagi suatu negara meskipun negara tersebut termasuk Indonesia secara
khusus sudah memiliki pengadilan HAM.
Menurut Pasal 1 angka 3 menentukan bahwa yang dimasud dengan Pengadilan Hak Asasi Manusia atau
Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelangaran HAM yang berat. Dengan demikian
Pengadilan HAM adalah pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum yang hanya bertugas dan
berwenang untuk memeriksadan memutus perkara pelanggaran berat HAM. Pelanggaran berat HAM
merupakan “extra ordinary crimes”dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun
internasionaldan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP
serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immaterial yang mengakibatkan perasaan tidak aman, baik
terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu
dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum dan perlindungan hak-hak asasi manusia di Indonesia(Syawal
Abdulajid & Anshar, 2010).
Pengadilan HAM mempunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran berat
HAM. Pelanggaran HAM berat yang dimaksud adalah perkara pelanggaran berat HAM yang terjadi sesudah
berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Menurut Pasal 2 Undang-Undang ini dinyatakan bahwa Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang
berada di lingkungan Peradilan Umum. Yang dimaksud dengan Pasal 2 mengenai kalimat “ di lingkungan
Peradilan Umum” adalah bahwasanya Pengadilan HAM berada di dalam lingkungan Peradilan Umum seperti
yang dimaksud oleh Pasal 10 Ayat 1 huruf a UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan ;
a) Peradilan Umum; b) Peradilan Agama; c) Peradilan Militer; c) Peradilan Tata Usaha Negara(Pasal 10 Ayat 1
UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman). Dengan demikian apa yang dimaksud dengan
Pengadilan HAM adalah pengadilan yang merupakan pengkhususan (diferensiasi/spesialisasi) dari pengadilan
di lingkungan Peradilan Umum yang tugas dan wewenangnya hanya memeriksa dan memutus perkara
pelanggran HAM yang berat saja(R. Wiyono, 2006).
Pasal 4 menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
HAM yang berat. Dengan demikian yang dimaksud dengan Pengadilan HAM disini adalah pengadilan yang
berada di lingkungan Peradilan Umum yang hanya bertugas dan berwenang untuk memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran HAM yang berat saja(R. Wiyono, 2006). Karena kekuasaan kehakiman di lingkungan
Peradilan Umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri sebagai Pengadilan Tingkat Pertama yang
berkedudukan di Ibu Kota daerah kota atau daerah kabupaten dan Pengadilan Tinggi sebagai Pengadilan
Tingkat Banding yang berkedudukan di ibu kota provinsi, padahal Pasal 3 Ayat (1) menentukan bahwa
Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kota atau daerah kabupaten maka hanya dapatdiketahui bahwa
pengkhususan (diferensiasi/spesialisasi) hanya ada di Pengadilan Negeri saja artinya pembentukan Pengadilan
HAM hanya ada pada Pengadilan Negeri saja.
Sayangnya di dalam UU No. 26 Tahun 2000 tidak terdapat ketentuan tentang cara pembentukan Pengadilan
HAM, yang ada hanya cara pembentukan Pengadilan HAM ad hoc yaitu dengan Keputusan
Presidensepertiyang ditentukan dalam Pasal 43 Ayat (2)
UU No. 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan HAM. Di dalam praktik menunjukkan bahwa cara pembentukan
Pengadilan HAM juga dilakukan dengan Keputusan Presiden, misalnya
KeputusanPresiden Nomor 31 Tahun 2001tentang Pembentukan Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya , Pengadilan Negeri Medan, dan Pengadilan Makassar sebagai
pelaksanaan dari Pasal 45.
Adapun alasan mengapa pemerintah perlu utuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat di
pengadilan HAM , telah dituangkan di dalam Penjelasan Umum UU Pengadilan HAM atas dasar pertimbangan
sebagai berikut; 1) pelanggaran HAM yang berat yang merupakan “extra ordinary crimes”dan berdampak
secara luas, baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur
dalam KUHP serta menimbulkan kerugan, baik materiil maupun immaterial yang mengakibatkan perasaaan
tidak aman, baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam
mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan, dan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia; 2) terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat diperlukan
langkah-langkah penyelidikan , penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan yang bersifat khusus yaitu: a)
diperlukan penyelidikan dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc dan hakim ad
hoc; b) diperlukan penegasan bahwa penyelidikan, hanya dilakukan oleh Komnas HAM, sedangkan penyidik
tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam KUHAP; c) diperlukan
ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaaan di
pengadilan; d) diperlukan ketentuan menenai perlindungan korban dan saksi; e) diperlukan ketentuan yang
menegaskan tidak ada kadaluwarsa bagi pelanggaran HAM yang berat.
Mengenai lingkup kewenangan absolut atau kompetensi absolut dari Pengadilan HAM oleh Pasal 4 ditentukan
bahwa Pengadilan HAM mempunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
HAM yang berat dan sudah tentu yang dimaksud dengan perkara pelanggaran HAM ini adalah perkara
pelanggaran HAM yangberat yang terjadi sesudah berlakunya UU No.26 Tahun 2000 tanggal 23 November
2000.
Di dalam Pasal 1 angka 2 ditentukan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM yang berat adalah HAM
sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 26 Tahun 2000 artinya seperti yang ditentukan oleh Pasal 7 yaitu
pelanggaran HAM yang berat meliputi;
a) kejahatan genosida; b) kejahatan terhadap kemanusiaan. Sehingga yurisdiksi hukum yang dapat diterima dan
diterapkan oleh Pengadilan HAM adalah hanya memeriksa, mengadili , dan memutuskan kasus-kasus
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pertimbangan mengapa pembuat undang-undang
hanya memasukkan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang menjadi yurisdiksi Pengadilan HAM adalah disebabkan
menurut pertimbangan dari sisi hukum dan politis bahwa dua jenis kejahatan ini sangat berarti dan menentukan
bagi peradaban bangsa Indonesia sejak kini dan di masa yang akan dating(Romli Atmasasmita, 2004).
Di dalam Pasal 3 Ayat (1) menentukan tempat kedudukan dari Pengadilan HAM yaitu daerah hukum
Pengadilan HAM meliputi darerah huukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Mengenai kedudukan
Pengadilan HAM dijelaskan dalam Pasal 45 Ayat
jo . Ayat (2) ditentukan pada saat mulai berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 pada tanggal 25 November 2000
dibentuk Pengadilan HAM sebagia berikut;
Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan daerah huku yang meliputi wilayah; a.1. Daerah
Khusus Ibukota Jakarta; a. 2. Provinsi: Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu,
Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan daerah hukum yang meliputi provinsi: Jawa Timur,
Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan
Daerah Istimewa Yogjakarta
Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar dengan daerah hukum yang meliputi wilayah provinsi;
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara , Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara dan Irian Jayad)Pengadilan
HAM pada Pengadilan Negeri Medandengan daerah hukum yang meliputi wilayah provinsi;Sumatera Utara,
Riau, Jami, Sumatera Barat,dan Daerah Istimewa Aceh.
Karena kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah termasuk yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional (ICC) dan juga termasuk yurisdiksi Pengadilan HAM, maka hubungan antara keduanya dapat
dijelaskan bahwayurisdiksi dari Mahkamah Kejahatan Internasional adalah merupakan pelengkapterhadap
yurisdiksi dari Pengadilan Kejahatan Internasional. Maksudnya, yurisdiksi dari Mahkamah Kejahatan
Internasional baru dapat dilaksanakan jika proses peradilan yang efektif melalui tindakan hukum di tingkat
nasional tidak dapat dilaksanakan(R. Wiyono, 2006). Dengan demikian Mahkamah Pidana Internasional tidak
mempunyai yurisdiksi secara langsung atau serta merta terhadap pelangggaran Hak Asasi Manusia yang berat
yang terjadi. Sebagai penjabaran lebih lanjut dari ketentuan bahwa Mahkamah Pidana Internasional adalah
merupakan pelengkap terhadap yurisdiksi hukum pidana nasional, Pasal 17 ayat (1) Statuta Roma menentukan
bahwa suatu kasus tidak dapat diterima oleh Mahkamah Pidana Internasional jika:
Kasusnya sedang diadakan penyidikan atau penuntutan oleh suatu negara yang
mempunyai yurisdiksi atas kasus tersebut kecuali kalau negara tersebut tidak bersedia atau benar-benar tidak
mampu melakukan penyidikan atau penuntutan;
Kasusnya telah diadakan penyidikan oleh suatu negara yang mempunyai yurisdiksi atas kasus tersebut dan negara
itu telah memutuskan untuk tidak mengadakan penuntutan orang yag bersangkutan, kecuali kalau keputusan itu
timbul dari ketidaksediaan atau ketidakmampuan negara tersebut untuk benar-benar melalukan penuntutan
Orang yang bersangkutan telah diadili untuk perbuatan yang menjadi dasar dakwaan dan dalam suatu sidang oleh
Mahkamah PIdana Internasional telah diputuskan tidak dapat diadili berdasarkan Pasal 20 Ayat (3)
Kasusnya tidak cukup berat untuk membenarkan tindakan lebih lanjutDisamping Pasal 17 Ayat (1) Statuta Roma,
yang termasuk penjabaran lebih lanjut dari ketentuan bahwa Mahkamah Pidana Internasional adalah
merupakan pelengkap terhadap yurisdiksi hukum nasional.

Mekanisme Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat Melalui Pengadilan Internasional


Kepedulian internasional terhadap hak asasi manusia merupakan gejala yang relatif baru. Menurut pendapat
Scott Davidson, terdapat kaitan yang sangat erat antara perlindungan terhadap hak asasi manusia di tingkat
nasional dan di tingkat internasional. Semua instrumen internasional mewajibkan sistem konstitusional
domestik setiap negara memberikan kompensasi yang memadai kepada orang-orang yang haknya dilanggar.
Mekanisme internasional untuk menjamin Hak Asasi Manusia baru akan melakukan perannya apabila sistem
perlindungan di dalam negara itu sendiri goyah atau bahkan tidak ada. Dengan demikian, mekanisme
internasional sedikit banyak berfungsimemperkuat perlindungan domestik terhadap hak asasi manusia dan
menyediakan pengganti jika sistem domestik gagal atau tidak memadai(Scott Davidson, 2008).
Upaya peradilan terhadap pelaku pelanggaran berat melalui mekanisme pengadilan Internasional pernah
dilakukan saat di bentuknya dua pengadilan
internasional yang bersifat ad hoc yaitu a) International Military Tribunal-IMT Nuremberg di Jerman dan b)
International Military Tribunal for the Far Eastdi Tokyo , yang lebih dikenal dengan Tokyo Tribunal, dimana
keduanya dibentuk saat itu untuk mengadili para penjahat perang yang melakukan pelanggaran HAM berat
pasca Perang Dunia II. Sejak berakhirnya peradilan Nuremberg, Jerman dan Tokyo, Jepang pada tahun 1948,
pengadilan Internasional yang dibentuk untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat tidak pernah
dibentuk lagi. Hal itu bukan karena tidak pernah terjadi lagi
kejahatan serius, tetapi karena pada masa perang dingin sampai akhir tahun 1980-an
, kekuatan blok Barat dan blok Timur saling mencegah terbentuknya pengadilan internasional untuk mengadili
kejahatan yang dilakukan oleh salah satu anggota blok tersebut(Suparman Marzuki, 2010).
Baru setelah Perang Dingin usai, dibentuklah dua pengadilan Internasional ad hocyaitu a) International
Criminal Tribunal for Yugoslavia-ICTY dan b) International Criminal Tribunal for Rwanda-ICTY untuk
mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat selama kurang lebih 50 tahun setelah dibentuknya International
Military of Nurembergdan Tokyo Tribunal. Dua pengadilan internasional tersebut (Yugoslavia dan Rwanda)
merupakan katalisator penting terbentuknya suatu pengadilan yang permanen yaitu Mahkamah Pidana
Internasional (ICC).
ICC dibentuk berdasarkan Statuta Roma (Rome Statute of International Criminal Court 1998)(Statuta Roma
1998 adalah suatu perjanjian internasional yang hanya mengikat negara-negara yang mengekspresikan secara
formal keinginan masing-masing negara untuk terikat pada isi perjanjian tersebut. Negara-negara tersebut
kemudian menjadi “State Parties” (negara pihak) dari statute tersebut jika telah meratifikasinyam namun ada
juga sejumlah negara yang baru menandatangani konvensi tersebut tetapi belum meratifikasinya sebagai bagian
dari undang-undang nasionalnya termasuk Indonesia. Sejak Statuta Roma dibentuk dan diberlakukan pada 1
Juli 2002, tercatat 122 negara telah menjadi negara pihak dari perjanjian dan 31 negara telah menandatangani
statuta tersebut)danmerupakan suatu lembaga permanen yang dibentuk untuk mengadili pelanggaran HAM
berat. ICC merupakan lembaga hukum independen dan permanen yangdibentuk oleh masyarakat negara-negara
internasional untuk menjatuhkan hukuman kepada setiap bentuk kejahatan menurut hukum internasional yang
dicakup dalam Statuta ini yaitu; a) genosida, b) kejahatan terhadap kemanusiaan, c) kejahatan perang;
d) agresi. Meskipun lebih dari setengah abad yang lalu komunitas internasional telah menetapkan sistem
regional dan internasional untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, jutaan manusia
masih menjadi korban genosida,kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Namun hanya sedikit
pelaku kejahatan hak asasi manusia yang diadili oleh Pengadilan Nasional.
Adapun tujuan dibentuknya ICC antara lain; a) mengakhiri impunitas; b) membantu mengakhiri konflik; c)
memperbaiki kelemahan proses pengadilan ad-hoc; d) mengambil alih pada saat institusi pengadilan pidana
nasional tidak mau atau tidak mampu untuk mengadili kejahatan serius di negaranya; e) mengusahakan agar
para korban dan keluarganya dapat memiliki kesempatan untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran, dan
memulai proses rekonsiliasi; f) mencegah orang atau pihak-pihak yang berencana melakukan kejahatan serius
menurut hukum internasional(Iman Santosa, 2013).
Yurisdiksi mahkamah ini meliputi kejahatan yang terjadi setelah tanggal 11 Juli 2002 antara lain; (1) kejahatan
Genosida (the crime of genocide); (2) Kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against humanity); (3)
Kejahatan Perang (War Crimes); (4) kejahatan Agresi (The Crime of Aggression). Selain itu mahkamah juga
memiliki yurisdiksi yang bersifat komplementer atas pengadilan nasional yang menegaskan bahwa ICC adalah
pelengkap (komplementer) bagi pengadilan nasional. ICC baru hanya dapat digunakan apabila pengadilan
nasional tidak mampu (unable)atau tidak mau (unwilling)mengadili kejahatan HAM yang serius.
ICC juga dilarang melaksanakan peradilan terhadap kejahatan yang sama yang sedang diselidiki atau dituntut
dalam pengadilan nasional suatu negara termasuk juga apabila kasusnya telah diselidiki oleh suatu negara yang
mempunyai yurisdiksi atas kasus tersebut, dan negara itu telah memutuskan untuk tidak menuntut orang yang
bersangkutan kecuali jika keputusan tersebut timbul dari ketidaksediaan atau ketidakmampuan negara tersebut
untuk benar-benar melakukanpenuntutan; atau kasusnya tidak cukup gawat untuk membenarkan tindakan lebih
lanjut oleh ICC(Pasal 17 Statuta Roma 1998). Dengan demikian, ICC merupakan the last resort (ultimum
remedium)sebagai pelengkap dan jaminan penghormatan penggunaan mekanisme hukum (pengadilan)
nasional.
Berbeda dengan pengadilan Internasional ad hoc sebelumnya, ICC merupakan pengadilan permanen,
independen , bukan organ PBB karena dibentuk berdasarkan perjanjian multilateral antara negara-negara di
dunia. Akan tetapi antara pengadilan dan PBB memiliki hubungan formal dimana Dewan Keamanan PBB
memiliki peranan yang signifikan di dalam pelaksanaan yurisdiksi pengadilan yaitu DK PBB memiliki
wewenang untuk memulai atau menunda dilakukannya investigasi terhadap pelaku kejahatan berdasarkan bab
VII Piagam PBB.
Adapun yang menjadi yurisdiksi ICC meliputi; (1) Territorial Jurisdiction (rationae loci); yurisdiksi ICC hanya
berlaku dalam wilayah negara pihak, yurisdiksi juga diperluas bagi kapal atau pesawat terbang yang terdaftar
dinegara pihak dan dalam wilayah bukan negara pihak yang mengakui yurisdiksi IC berdasarkan deklarasi ad
hoc(Pasal 12 Statuta Roma 1998); (2) Material Jurisdiction(rationae materiae); kejahatan yang menjadi
yurisdiksi ICC terdiri dari kejahatan terhadap kemanusiaan , kejahatan perang , genosida dan kejahatan
agresi(Pasal 5-8 Statuta Roma 1998); (3) Temporal Jurisdiction(rationae temporis).ICC baru bisa memiliki
yurisdiksi terhadap kejahatan yang diatur dalam Statuta setelah Statuta Roma berlaku yaitu 1 Juli 2002(Pasal
11 Statuta Roma 1998); (4) Personal
Jurisdiction(rationae personae); ICC memiliki yurisdiksi atas orang (natural person) di mana pelaku kejahatan
dalam yurisdiksi ICC harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara individu (individual criminal
responsibility) , termasuk pejabat pemerintahan, komandan baik militer maupun sipil (Pasal 17 ayat 2 butir a
Statuta Roma 1998).
ICC juga menggunakan prinsip “trigger mechanism”di dalam penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat.
Prinsip tersebut menjelaskan beberapa hal yaitu;1) negara pihak boleh melaporkan suatu keadaan kepada
penuntut umum tentang telah terjadinya atau lebih kejahatan yang merupakan yurisdiksi (Pasal 13 (a) dan Pasal
14 Statuta Roma); 2) atas inisiatif penuntut umum untuk melakukan penyelidikan proprio motu(tindakan
berdasarkan inisiatif sendiri) karena adanya informasi dari sumber yang bisa dipertanggungjawabkan bahwa
telah terjadi kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC;
3) Atas dasar laporan dari Dewan Keamanan PBB mengenai situasi telah terjadinya satu
atau lebih kejahatan yang berada dalam yurisdiksi ICC sesuai dengan Bab VII Piagam PBB Pasal 13
(b) dan 52 (c) Statuta Roma(A Join Project of Rights and Democract and The International Center for
Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy,2002).

Mekanisme Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat Melalui Pengadilan Campuran (Hybridcourt)
Selain mekanisme nasional dan internasional, mekanisme lain yang merupakan mekanisme baru untuk
menegakkan keadilan dalam kasus pelanggaran HAM berat adalah melalui pengadilan campuran atau “Hybrid
Tribunal”. Model pengadilan ini muncul sebagai kritik terhadap kelemahan pengadilan nasional dan
pengadilan internasional seperti pengadilan kejahatan internasional untuk Rwanda dan Yugoslavia.
Model pengadilan campuran pertama kali dilaksanakan di Timor-Timur, kemudian dilaksanakan di Kamboja
serta Sierra Leone dimana model pengadilan seperti
ini menggabungkan kekuatan pengadilan ad hoc internasional dengan pengadilan nasional atau domestik. Pada
pengadilan ICTY dan ICTR, PBB bertanggungjawab menyediakan biaya, sumber daya, hakim dan jaksa
penuntut umum. Hukum materiil yang diterapkan dalam persidangan juga tidak hanya hukum nasional negara
yang bersangkutan tetapi juga menggunakan norma-norma dari berbagai instrumen hukum HAM Internasional.
Apresiasi terhadap pengadilan HAM campuran ini cukup baik karena dinilai lebih memiliki nilai legitimasi
sebagai suatu mekanisme yang adil untuk mengadili para pelaku yang bertanggung jawab atas perbuatan
mereka. Seperti halnya pengadilan nasional, model campuran ini lebih murah biayanya untuk dijalankan
dibandingkan dengan
persidangan ad hoc. Selain itu mekanisme ini dianggap lebih sedikit menimbulkan pertentangan secara politis,
lebih berarti bagi komunitas korban dan lebih efektif dalam membangun kembali sistem peradilan lokal.
Meskipun demikian, pengadilan campuran ini tetap mengundang kekhawatiran berupa kemungkinan
mekanisme ini bukannya mengambil sisi terbaik dari sistem yuridis nasional ataupun internasional tetapi malah
mengadopsi sisi buruknya, seperti yang tercermin pada pengadilan campuran Timor Timur yang faktanya
menunjukkan ketidakefisienan karena meminimalkan keterlibatan lokal serta kegagalannya menjalankan
standar proses yuridis yang benar (Suparman Marzuki, 2010).
Sekalipun mekanisme pengadilan campuran yang diterapkan untuk pertama kalinya di Timor Timur atau yang
sekarang disebut Timor Leste memiliki kelemahan- kelemahan, tetapi mulai diyakini oleh banyak kalangan
terutama PBB yang melihat mekanisme campuran ini lebih baik dibandingkan dengan mekanisme ad hoc
karena dengan mekanisme ini, maka masyarakat internasional melalui PBB bisa secara langsung terlibat dan
menjadi bagian dari proses yudisial sehingga kelemahan- kelemahan mekanisme nasional (domestic) berupa
kerentanan politik atau kelemahan hukum dapat dieliminasi.

Mekanisme Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR)
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah sebuah komisi yang ditugaskan untuk menemukan dan
mengungkapkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pada masa lampau oleh suatu pemerintahan, dengan
harapan menyelesaikan konflik yang tertinggal dari masa lalu. Dengan berbagai nama, komisi ini kadang-
kadang dibentuk oleh negara- negara yang muncul dari masa-masa pergolakan internal, perang saudara, atau
pemerintahan yang dictator (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,
https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Kebenaran_dan_Rekonsiliasi diakses pada 15
Desember 2016).
Sebagai contoh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan, yang dibentuk oleh PresidenNelson
Mandela setelah apartheid, pada umumnya dianggap sebagai sebuah model untuk Komisi Kebenaran, yang
jarang, kalaupun pernah, dicapai di tempat-tempat lain. Sebagai laporan pemerintah, mereka dapat memberikan
bukti- bukti menentang revisionisme sejarah atas terorisme negara dan kejahatan-kejahatan lain serta
pelanggaran- pelanggaran hak asasi manusia. Komisi-komisi kebenaran kadang- kadang dikritik karena
membiarkan kejahatan tidak dihukum, dan menciptakan impunitas bagi pelanggar- pelanggar hak asasi
manusia yang serius.
Komisi ini berorientasi pada penyelidikan kasus masa lampau dalam jumlah besar, dibentuk dalam waktu
sementara, selama satu periode tertentu yang telah ditentukan sebelumnya, dan memperoleh beberapa jenis
kewenangan sebagai upaya melukiskan seluruh pelanggaran HAM selama satu periode tertentu (Suparman
Marzuki, 2010). Misi daripada komisi ini adalam melakukan rekonsiliasi (Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, rekonsiliasi adalah perbuatan memulihkan hubungan persahabatan kembali pada keadaan semula
atau perbuatan menyelesaikan perbedaan, http://kbbi.web.id/rekonsiliasi diakses pada 15 Desember 2016).
Misi ini didasarkan pada kepercayaan bahwa rekonsiliasi antara pelaku dan korban pelanggaran HAM
membutuhkan pengungkapan kebenaran di belakang semua kejadian secara menyeluruh. Oleh karena itu,
memberikan kesempatan kepada korban untuk bicara dan menerima penjelasan tentang kejadian-kejadian
penting yang berhubungan dnegan pelanggaran HAM di masa lalu merupakan hal yang penting. Inilah fondasi
untuk mengungkap kebenaran demi menegakkan keadilan.
Rekonsiliasi dalam masyarakat pascarezim otoritarian sangat penting karena keadilan transisional lebih dari
sekedar menangani pelanggaran HAM kasus per kasus tetapi juga menjadi dasar moral pemerintahan
transisional dalam menghormati martabat manusia melalui cara-cara yang demokratis, non kekerasan dan
sesuai dengan prinsip supremasi hukum. Semua itu bertujuan agar kesalahan yang sama tidak terjadi lagi di
masa depan.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) adalah fenomena yang timbul di era transisi politik dari suatu
rezim otoriter ke rezim demokratis, terkait dengan persoalan penyelesaian kejahatan terhadap kemanusiaan
yang dilakukan oleh rezim sebelumya. Pemerintahan transisi berusaha menjawab masalah tersebut dengan
mencoba mendamaikan kecenderungan menghukum di satu sisi dengan memberi maaf atau amnesti di sisi
yang lain. Sebagai “jalan tengah” tentu saja upaya demikian tidak memuaskan banyak pihak terutama korban,
keluarga korban, dan organisasi masyarakat sipil tetapi cara inilah yang dapat dilakukan mengingat kejahatan
terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh rezim sebelumnya mengandung dimensi politik, psikologis dan
hukum yang sangat kompleks (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, http://pusham.uii.ac.id/ham/
16_Chapter10.pdf hal. 413, diakses pada 15 Desember 2016).
Sejak kemunculannya pertama kali di Argentina dan Uganda pada medium 1980- an , KKR telah menjadi
fenomena internasional. Lebih dari 20 negara telah memilih jalan mendirikan KKR sebagai cara
mempertanggungjawabkan kejahatan hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa lampau. Beberapa
diantaranya berhasil meskipun sebagian juga mengalami kegagalan. Kesadaran pentingnya mengusut,
mengungkap
kebenaran dan meminta pertanggungjawaban rezim atas pelanggaran HAM berat di masa lalu secara teoretis
diyakini banyak aktivis pro demokrasi merupakan jalan menuju demokrasi. Tidak mungkin sebuah bangsa
dapat hidup bersatu padu dalam damai di atas sejarah penuh luka dan kekerasan. Proses transisi menuju
demokrasi harus berjalan di atas proses sejarah yang jujur, adil dan bertanggung jawab. Pemerintahan yang
baru harus menemukan jalan keluar untuk meneruskan detak nadi kehidupan, menciptakan ulang ruang
nasional yang damai dan layak dihuni, membangun semangat dan upaya rekonsiliasi dengan para musuh masa
lampau, dan mengurung kekejaman masa lampau dalam sangkar masa lampaunya sendiri.
KKR bukanlah lembaga yang menggantikan fungsi pengadilan karena memang bukan badan peradilan, bukan
persidangan hukum dan tidak memiliki kekuasaan untuk mengirim seseorang ke penjara atau memvonis
seseorang karena suatu kejahatan tertentu. Hanya saja Komisi Kebenaran dapat melakukan beberapa hal
penting yang secara umum tidak dapat dicapai melalui proses penuntutan persidangan di pengadilan pidana.
KKR dapat menangani kasus dalam jumlah relatiflebih besar dibandingkan dengan pengadilan pidana.
Dalam suatu situasi di mana terjadi pelanggaran HAM yang berat dan meluas dan sistematis di bawah rezim
sebelumnya, Komisi Kebenaran dapat menyelidiki semua kasus atau sejumlah besar kasus yang ada secara
komprehensif dan tidak dibatasi kepada penanganan sejumlah kecil kasus saja. Komisi Kebenaran berada
dalam posisi untuk menyediakan bantuan praktis bagi para korban, yang secara spesifik mengidentifikasi dan
membuktikan individu-individu atau keluarga-keluarga mana saja yang menjadi
korban kejahatan masa lampau sehingga mereka secara hukum berhak untuk mendapatkan bentuk reparasi di
masa yang akan dating (Suparman Marzuki, 2010). Contohnya, Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran di Cile
yang dapat mengidentifikasi masing-masing orang dan anggota keluarga yang kemudian menjadi layak untuk
berbagai fasilitas dari pemerintah di masa yang akan datang, seperti beasiswa sekolah, subsidi perumahan,
asuransi kesehatan, dan pensiun.
KKR juga dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar seperti: bagaimana suatu pelanggaran
HAM terjadi, mengapa terjadi, faktor apakah yang terdapat dalam suatu masyarakat atau dalam suatu negara
yang memungkinkan kejadian tersebut terjadi, perubahan-perubahan apa saja yang harus dilakukan untuk
mencegah pelanggaran HAM tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Komisi Kebenaran juga dapat
membantu terlaksananya resolusi dengan mengakui penderitaan yang dialami korban,membuat pemetaan atas
pngaruh dari kejahatan di masa lalu, dan merekomendasikan reparasi.
Komisi Kebenaran juga dapat merekomendasikan pembaharuan-pembaharuan tertentu didalam institusi-
institusi publik, seperti di dalam kepolisian dan pengadilan dengan tujuan mencegah terulangnya kembali
pelanggaran HAM.
KKRjuga dapat memilah antara pertanggungjawaban dan pengungkapan para pelaku. Komisi Kebenaran juga
dapat mengurangi jumlah kebohongan yang beredar tanpa dibuktikan kebenarannya di depan public. Contoh di
Argentina, pekerjaan Komisi membuat militer mustahil mengklaim bahwa mereka tidak membuang korban
yang setengah mati dari helikopter ke laut, demikian halnya di Cile, di depan publikorang tidak boleh
mengatakan rezim Pinochet tidak membunuh ribuan orang tidak bersalah karena Komisi Kebenaran telah
mengungkapkannya (Suparman Marzuki, 2010).
Dari beberapa contoh kasus di atas dapat diketahui bahwa tugas KKR adalah mencari, menemukan dan
mengemukakan fakta atau kenyataan tentang suatu peristiwa dengan segala akibatnya; menimbang dan
menempatkan keadilan korban dan pelaku sebagai prinsip kerja; tidak boleh berlaku tidak fair dan tidak adil
terhadap pelaku sekalipun; dan yang terakhir semua temuan harus dinyatakan secara benar, fair, jujur dan
transparan, tidak manipulatif untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yang sesungguhnya yaitu mendamaikan para
pihak yang pernah bersengketa atau bermusuhan.
Rekonsiliasi sebagai kata kunci pembentukan KKR jelas terkait dengan usaha memperbaiki hubungan sosial,
politik dan psikologis antara warga negara sebagai pribadi atau kelompok dengan negara akibat perlakuan atau
tindakan negara yang tidak adil dan tidak manusiawi. Rekonsiliasi itu diperlukan untuk membangun masa
depan
bangsa dan negara yang demokratis di atas pilihan sikap memaafkan atau melupakan, dan bukan penuntutan
pidana. Rekonsiliasi mensyaratkan dilakukannya pengungkapan kebenaran. Jadi yang dimaksud disini adalah
rekonsiliasi nasional dimana keberhasilan Komisi Kebenaran sebagian diperhitungkan dari seberapa besar
kemampuan dan keberhasilannya menciptakan rekonsiliasi.
Pada pemerintahan pasca Soeharto telah dikelaurkan Tap V/ MPR/ 2000 dan UU No. 26 Tahun 2000 sebagai
dasar hukum dari KKR di Indonesia. Dalam Bab I, huruf B, Paragraf kedua TAP MPR V/MPR/2000
ditegaskan bahwa “ kesadaran dan komiten yang sungguh-sungguh untuk memantapkan persatuan dan
kesatuan nasional harus diwujudkan dalam langkah-langkah nyata, berupa pembentukan Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi Nasional serta merumuskan etika berbangsa dan visi Indonesia masa depan. Dalam bab V
angka 3 juga ditegaskan bahwa”
Komisi ini (KKR) bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan
dan pelanggaran HAM pada masa lampau sesuai dengan huk
dan peraturan perundang-undangan yagn berlaku serta melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan
bersama sebagai bangsa. Lebih jauh dalam bab itu juga ditegaska bahwa “langkah-langkah setelah
pengungkapan kebenaran, dapat dilakukan melalui pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf,
perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan
persatuan dan kesatuan bangsa dengan sepenuhnya memperhatikan rasa keadilan masyarakat” Dalam kurun
waktu empat tahun setelah disahkan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka dikeluarkanlah
UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi setelah keluar mandat TAP MPR No.
V/MPR/2000 dan UU N0. 26 Tahun 2000. Namun sayangnya pada 7 Desember 2006 atau dua tahun setelah
diundangkan , UU KKR dibatalkan oleh MK melalui putusannya Nomor 006/puu- IV/2006. MK memutuskan
UU No.27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bertentangan dengan UUD 1945 .
Karena itu KKR dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Sementara itu menurut hakim I Dewa Gede Palaguna yang mengemukakan pendapat yang berbeda (dissenting
opinion), hanya pasal 27 (Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 19 dapat
diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan) UU KKR yang bertentangan dengan UUD 1945 sedangkan
Pasal 1 angka 9 (Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran
HAM yang berat dengan memerhatikan pertimbangan DPR) dan Pasal 44 (pelanggaran HAM yang berat yang
telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan
HAM), sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pembatalan UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR
ini juga akhirnya secara tidak langsung membatalkan terbentuknya anggota KKR yang mana proses seleksinya
telah sampai ke tingkat Presiden, sekaligus memupus alternatif penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat
sebagaimana yang dimandatkan oleh UU No. 26 Tahun 2006. Meskipun UU tentang KKR ini telah dibatalkan
menurut Jimly Asshidiqie, hal ini tidak berarti MK menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di
masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Dengan kata lain, upaya penyelasaian kasus pelanggaran.

Proses Beracara Pada Peradilan HAM


Hukum acara Pengadilan HAM diatur dalam Bab IV yang berjudul Hukum Acara pada UU Pengadilan HAM,
yang dimulai dari Pasal 10 sampai dengan Pasal 33. Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini,
hukum acara atas perkara Pelanggaran HAM yang Berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.
Ketentuan-
ketentuan hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu
peristiwa yang diduga merupakan Pelanggaran HAM yang Berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang- undang ini. Penyelidikan ini dilakukan Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM). Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan
lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan
mediasi hak asasi manusia. Kewenangan penyelidikan yang hanya diberikan kepada Komnas HAM ini
dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komnas HAM adalah lembaga
yang bersifat independen. Status independen Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan dapat membentuk
tim ad hoc yang terdiri atas Komnas HAM dan unsur-unsur masyarakat. Pengertian unsur masyarakat adalah
tokoh dan anggota masyarakat yang profesional, berdedikasi, berintegritas tinggi, dan menghayati di bidang
HAM.
Dalam hal penyelidik mulai melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat, penyelidik memberitahukan hal itu kepada penyidik. Pelaksanaan penyelidikan
dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai rangkaian tindakan Komnas HAM dalam lingkup pro justisia.
Menurut KUHAP, penyelidikan diintrodusir dengan motivasi perlindungan HAM dan pembatasan ketat
terhadap penggunaan upaya paksa, dimana upaya paksa baru digunakan sebagai tindakan yang terpaksa
dilakukan. Penyelidikan mendahului tindakan-tindakan lain yaitu untuk menentukan apakah suatu peristiwa
yang diduga Pelanggaran HAM yang Berat dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Pasal 20 ayat
UU Pengadilan HAM menyebutkan bahwa: ”Dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa
terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka
kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik”
Di dalam UU Pengadilan HAM tidak diperinci tentang penyusunan rencana penyelidikan yang berbentuk pola
dari suatu rencana penyelidikan. Untuk itu dalam rangka mengadakan penyelidikan, rencana penyelidikan
dapat menggunakan sistem yang dipergunakan dalam dunia intelejen dengan penyesuaian seperlunya. Rencana
penyelidikan tersebut harus memuat tentang:
Sumber informasi yang perlu dihubungi (orang, organisasi Lembaga Swadaya
Masyarakat, kelompok orang, instansi, tempat dan lain-lain);
Informasi atau alat bukti apa yang dibutuhkan dari sumber tersebut (yang bermanfaat untuk pembuktian telah
terjadi pelanggaran HAM);
Cara memperoleh informasi atau alat bukti tersebut (terbuka, tertutup, wawancara, interogasi,
pemotretan dan sebagainya);
Petugas pelaksana; dan Batas waktu kegiatan Penyidikan
Apabila hasil penyelidikan Komnas HAM dianggap cukup bukti permulaan atau telah memenuhi unsur-unsur
terjadinya Pelanggaran HAM yang Berat serta sudah lengkap dan dapat diterima oleh penyidik, maka tahap
selanjutnya adalah dilakukannya penyidikan. Undang-Undang Pengadilan HAM tidak memuat definisi
penyidikan. Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 10 UU Pengadilan HAM, definisi penyidikan yang dimuat
dalam UU Hukum Acara Pidana dapat digunakan. Oleh sebab itu, yang dimaksud Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP)
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pada tahap penyidikan
kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap perkara Pelanggaran HAM yang Berat diberikan kepada
Jaksa Agung. Kewenangan penyidikan tersebut tidak termasuk kewenangan menerima laporan atau pengaduan.
Berbeda halnya dengan konsep hukum acara pidana yang membolehkan penyidik menerima laporan atau
pengaduan. Dalam melakukan penyidikan tersebut, Jaksa Agung ”dapat’” mengangkat penyidik ad hoc yang
terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat. Kata ”dapat” dalam ketentuan ini dimaksudkan agar Jaksa
Agung dalam mengangkat penyidik ad hoc dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Dalam menjalanan tugasnya,
penyidik berhak melakukan upaya penangkapan; penahanan; pemeriksaan surat; penggeledahan; penyitaan;
pemeriksaan setempat terhadap rumah, bangunan dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak
tertentu; mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidik. Kelanjutan dari adanya Pelanggaran HAM
yang Berat yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang, apabila penyidik mempunyai dugaan keras
disertai bukti-bukti permulaan yang cukup maka penyidik berwenang melakukan penangkapan terhadap
tersangka pelaku Pelanggaran HAM yang Berat tersebut. Tahap selanjutnya, jika dirasakan perlu tersangka
tersebut dapat dikenakan penahanan. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP). Sedangkan yang dimaksud penahanan adalah
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP). Berkenaan dengan
masalah penangkapan dan penahanan tersebut, maka penyidik dalam menggunakan kedua haknya tersebut
haruslah dilandasi keyakinan adanya ”presumption of guilty”. Hal ini berarti bahwa sebelum penyidik
mengambil keputusan untuk menangkap dan atau menahan, maka penyidik harus mempunyai bukti permulaan
yang cukup serta dugaan keras telah dilakukan Pelanggaran HAM yang Berat oleh tersangka. Apabila penyidik
masih merasa ragu mengenai kesalahan tersangka, maka harus dipilih tindakan yang meringankan, dengan
jalan tidak melakukan penangkapan atau penahanan atas diri tersangka. Tindakan penyidik mengambil putusan
yang demikian dalam ilmu hukum dikenal dengan asas ”in de bio proreo”. Penangkapan tidak dapat dilakukan
secara sewenang-wenang karena hal itu melanggar HAM. Untuk menangkap seseorang, maka penyidik harus
mengeluarkan surat perintah penangkapan disertai pencantuman identitas tersangka
dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara
Pelanggaran HAM yang Berat yang dipersangkakan dan harus disertai surat tugas. Tanpa surat perintah
penangkapan, tersangka dapat menolak petugas yang bersangkutan, kecuali tertangkap tangan. Perintah
penangkapan baru dikeluarkan kalau sudah ada dugaan keras telah terjadi Pelanggaran HAM yang Berat
disertai pula bukti permulaan yang cukup. Permasalahan yang dihadapi mengenai masalah penangkapan ini
antara lain adalah definisi/pengertian apa yang dimaksud dengan bukti permulaan. Undang-Undang Pengadilan
HAM maupun UU Hukum Acara Pidana tidak memberikan definisi bukti permulaan. Sehingga hal ini dapat
menjadikan tafsiran yang berbeda-beda diantara penegak hukum sendiri. Penangkapan dilakukan untuk paling
lama 1 (satu) hari. Untuk perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau
terdakwa yang diduga keras melakukan Pelanggaran HAM yang Berat berdasarkan bukti yang cukup, dalam
hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,
merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi Pelanggaran HAM yang Berat. Penahanan
untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari dan dapat diperpanjang
untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah
hukumnya. Jika waktu 180 (seratus delapan puluh) hari tersebut telah habis
dan penyidikan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh)
hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai daerah hukumnya. Jadi total masa penahanan di tingkat penyidikan
dapat berjumlah 240 (dua ratus empat puluh) hari. Untuk tindakan- tindakan penyidik lainnya, seperti
ketentuan mengenai penggeledahan dapat dilihat pada Pasal 32 sampai dengan Pasal 37 UU Hukum Acara
Pidana; Penyitaan dapat dlihat pada Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 UU Hukum Acara Pidana; Pemeriksaan
Surat pada Pasal 47 sampai dengan 49 UU Hukum Acara Pidana. Penyidikan terhadap Pelanggaran HAM yang
Berat harus diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan
diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari tersebut dapat
diperpanjang oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya untuk waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari. Apabila selama masa 180 (seratus delapan puluh) hari itu habis dan penyidikan belum
dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang untuk masa paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua
Pengadilan HAM sesuai daerah hukumnya. Jadi total waktu yang diberikan kepada penyidik untuk melakukan
penyidikan adalah paling lama 240 (dua ratus empat puluh) hari. Apabila dalam jangka waktu 240 (dua ratus
empat puluh) hari penyidikan tidak menghasilkan bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah
penghentian penyidikan (SP3) oleh Jaksa Agung. Jika pihak korban atau keluarganya tidak dapat menerima
SP3 tersebut, maka korban, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai
dengan derajat ketiga, berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah
hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah SP3 dikeluarkan,
proses penyidikan hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang
melengkapi hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan.

Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ”pidana” ke pengadilan ”negeri” yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Dalam konteks Pelanggaran HAM yang Berat
berdasarkan Pasal 10 UU Pengadilan HAM, maka kata ”pidana” diganti menjadi Pelanggaran HAM yang Berat
dan kata ”negeri” diganti menjadi ”HAM atau HAM Ad Hoc”. Sehingga jika ditafsirkan bunyinya menjadi,
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara Pelanggaran HAM yang Berat ke
pengadilan HAM atau Pengadilan HAM Ad
Hoc yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Penuntutan perkara Pelanggaran HAM yang
Berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam menjalankan tugas penuntutan, Jaksa Agung dapat mengangkat
penuntut umum ad hoc dari unsur pemerintah dan atau masyarakat.[38] Penuntutan wajib dilaksanakan paling
lambat 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima.[39] Setelah penuntut umum
menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah
berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Dalam hal
penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu
secepatnya membuat surat dakwaan. Surat dakwaan yang dibuat diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:
a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan tersangka; b. uraian
secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat
tindak pidana itu dilakukan. Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud
dalam ketentuan huruf b diatas dinyatakan batal demi hukum. Penyerahan hasil penyidikan Pelanggaran HAM
yang Berat kepada penuntut umum tidak mesti atau serta merta dilakukannya penuntutan, dengan cara
dilimpahkan berkasnya ke Pengadilan HAM. Hal itu sangat tergantung pada hasil penilaian Penuntut apakah
berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan atau tidak memenuhi persyaratan. Dalam kasus Pelanggaran
HAM yang Berat, Jaksa Agung sebagai penyidik sekaligus sebagai Penuntut. Kondisi ini berarti tidak mungkin
dilakukan chek and balance yang obyektif dalam hal terjadi perbedaan pandangan antara penyidik dan
penuntut. Hal ini berbeda dari UU Hukum Acara Pidana yang menempatkan Polisi sebagai penyidik dan Jaksa
sebagai penuntut. Prinsip pemisahan memungkinkan dapat dilakukannya chek and balance terhadap hasil
penyidikan maupun tindakan-tindakan penuntut. Dalam kasus Pelanggaran HAM fungsi chek and balance
dapat dilakukan oleh korban atau keluarganya melalui praperadilan. Sedangkan untuk Komnas HAM sebagai
penyelidik sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai
perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara Pelanggaran HAM yang Berat.
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Setelah berkas penuntutan dilimpahkan ke Pengadilan HAM, kemudian dibentuk Majelis Hakim untuk
memeriksa dan memutus perkaranya. Majelis hakim yang dibentuk berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2
(dua) orang hakim pada Pengadilan HAM
bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Majelis hakim ini diketuai oleh hakim yang berasal dari
Pengadilan HAM yang bersangkutan. Untuk pengangkatan dan pemberhentian hakim ad hoc dilakukan oleh
Presiden selaku kepala negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Sedangkan yang dimaksud hakim ad hoc
adalah hakim yang diangkat dari luar hakim karier yang memenuhi persyaratan profesional, berdedikasi dan
berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan,
memahami dan menghormati HAM dan kewajiban dasar manusia. Pengadilan HAM memiliki jangka waktu
selama 180 (seratus delapan puluh) hari untuk memeriksa dan memutus perkara Pelanggaran HAM yang Berat
terhitung sejak perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan HAM. Bila para pihak tidak menerima atau puas
apa yang telah menjadi putusan Majelis Hakim di tingkat Pengadilan HAM, maka dapat ditempuh upaya
hukum. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan
pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang ini
(KUHAP). Untuk upaya hukum banding, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama
90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi. Hakim yang memeriksa
dan memutus berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Upaya hukum kasasi dimohonkan ke Mahkamah Agung yang
memeriksa dan memutus dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara
dilimpahkan ke Mahkamah Agung. Hakim yang memeriksa dan memutus berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri
atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Berbeda halnya dengan pengangkatan hakim
ad hoc pada tingkat Pengadilan HAM dan Pengadilan Tinggi, pada tingkat kasasi, hakim ad hoc diangkat oleh
Presiden selaku kepala negara atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat. Mengenai upaya hukum peninjauan
kembali yang tidak diatur dalam UU Pengadilan, maka berdasarkan Pasal 10 UU Pengadilan HAM digunakan
ketentuan dan tata cara upaya hukum peninjauan kembali yang ada dalam UU Hukum Acara Pidana.
Permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dapat dilakukan oleh terpidana atau ahli warisnya
terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum. Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan
bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau
terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan
sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan
yang lain;
Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Atas
dasar alasan yang sama sebagaimana yang tersebut pada Pasal 263 ayat (2) UU Hukum Acara Pidana,
peninjauan kembali dapat diajukan apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah
dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan
Jika pada upaya hukum banding dan kasasi pengajuanya dibatasi oleh jangka waktu, maka pada upaya hukum
peninjauan kembali tidak dibatasi oleh jangka waktu.

Perlindungan Korban
Beberapa instrumen hak asasi manusia mengacu pada “hak untuk memperoleh restitusi sesuai dengan undang-
undang” (pasal 10 konvensi Amerika mengenai Hak Asasi Manusia) yang lebih khusus atau “hak untuk
mendapatkan kompensasi yang memadai” (pasal 21 (2) piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan
Rakyat).Yang lebih khusus adalah ketentuan pasal 9(5) Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan pasal
5(5) Konvensi Eropa tentang perlindungan Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar, yang mengacu pada “hak
ataskompensasi yang dapat diberlakukan”. Demikian juga halnya dengan Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Hukuman lainnya yang kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (CAT =
Convention against Torture and Other CCruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment). Konvensi ini
mengandung ketentuan yang memberikan korban penyiksaan suatu penggantian dan hak yang dapat
diberlakukan untuk suatu kompensasiyang adil dan memadai, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh
mungkin (pasal 14(1)). Juga, Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa
(Declaration on the Protection of All Persons from enforced Dissapparance) memberikepada korban
penghilangan paksa dan keluarganya suatu penggantian dan kompensasi yang memadai, termasuk sarana untuk
rehabilitasi sepenuh mungkin (pasal 19).
Demikian pula, dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik 1966 (ICCPR) memperluas hak-
hak korban. Pasal 2 (3) menyatakan bahwa setiap Negara Pihak ke menyanggupi ICCPR untuk:
Menjamin bahwa setiap orang yang hak atau kebebasannya diakui dalam Kovenan ini dilanggar akan memperoleh
upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut telah dilakukan oleh orang yang bertindak dalam
kapasitas resmi;
Memastikan bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus memiliki hak-hak dalamnya
yangditentukan oleh lembaga peradilan, administratif atau legislatif yang kompeten, atau oleh lembaga
berwenang lainnya yang diatur olehsistemhukum dari Negara, dan untuk mengembangkan kemungkinan
pemulihan hukum;
Memastikan bahwa pihak berwenang harus menegakkan pemulihan tersebut saat diberikan.
Pemenuhan hak atas kompensasi dan restitusi diatur dalam UU No.26 tahun 2000 telah dipraktekkan dalam
pengadilan HAM. Hukum acara pengadilan HAM yang digunakan selama tidak diatur khusus, mengacu pada
ketentuan KUHAP. Akibatnya, prosedur pengajuan kompensasi dan restitusi juga mengacu pada ketentuan
dalam KUHAP.Mekanisme KUHAP dalam pemenuhan hak-hak korban menggunakan mekanisme tuntutan
ganti kerugian dengan permintaan penggabungan perkara pidana dengan klaim kerugian. Pasal 98 ayat (1)
KUHAP mengatur bahwa dalam satu perkara pidana yang menimbulkan kerugian bagi orang lain maka ketua
sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkanmenggabungan perkara ganti kerugian kepada perkara itu.
Pengertian tentang “orang lain” berdasarkan penjelasan pasal 98 adanya mencakup tentang korban.
Selainmekanisme KUHAP, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 tahun 2002 juga mengatur tentang
mekanisme atau tata cara pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM yang
berat. Namun, ketentuan dalam PP tersebut merupakan pengaturan yang hanya merujuk pelaksanaan
kompensasi dan restitusi setelah adanya putusan dari pengadilan yakni eksekusi atas putusan “kompensasi” dan
“restitusi” kepada korban.Perlu ditambahkan disini bahwa UU No. 13 tahun 2006, dalam pasal 7 ayat (1)
menyebutkan bahwa korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berhak mengajukan ke
pengadilan hak atas kompensasi atau restitusi. Ketentuan ini memunculkan mekanisme baru dalam prosedur
pengajuan hak atas kompensasi atau restitusi yakni terlibatnyaLPSK dalam prosedur pengajuan. Pengaturan
tersebut menunjukkan dua penafsiran, yakni; pertama, bahwa tuntutan ganti kerugian (kompensasi dan
restitusi) hanya bisa diajukan oleh korban melalui LPSK. Kedua, korban dapat mengajukan ganti kerugian
melalui LPSK, dan dapat juga mengajukan ganti kerugian dengan prosedur yang lainnya misalnya KUHAP.
Untuk memastikan prosedur baku, perlu keselarasan dengan regulasi yang lainnya misalnya dengan KUHAP
dan PP
No. 3 tahun 2002. Jika tidak ada keselarasan dalam prosedurpengajuan hak atas kompensasi dan restitusi ini
maka kemungkinan akan menimbulkan kebingunan bagi korban, tentang mekanisme yang akan digunakan
dalam mengajukan tuntutan kompensasi dan restitusi.
Istilah perlindungan korban dan saksi secara jelas dinyatakan dalam pasal 34 UU No. 26 tahun 2000 tentang
pengadilan HAM. Ayat 1 menyatakan bahwa setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia
yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dan ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak
manapun. Ayat 2 menyatakan perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 wajib dilaksanakan oleh
aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. Dan ayat yang ke-3 menyatakan ketentuan
mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam pasal 5 UU No.13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korbantelah menjelaskan tentang hak-hak
mereka, diantaranya:
memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluaarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang
berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
memberikan keterangan tanpa tekanan; mendapat penerjemah;
bebas dari pertanyaan yang menjerat; mendapatkan informasi atas perkembangan kasus;
mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; mendapat
identitas baru;
mendapatkan tempat kediaman baru;
memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; mendapat nasihat hukum; dan/atau
memperoleh bantuan hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Sedangkan dalam pasal 6
menerangkan korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhakatas hak sebagaimana
dimaksud dalam pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan psiko-sosial.
Peraturan Pemerintah (PP) tentang tata cara pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban adalah PP No.2
tahun 2002. Dalam PP ini dinyatakan bahwa perlindungan
merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan
untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban, saksi, dari ancaman, gangguan, terror,
dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Menurut pasal 2 dan pasal 4 PP No.2 tahun 2002, menjelaskan tentang: Pasal 2: setiapkorban atau saksi dalam
pelanggaran HAM yang berat berhak memperoleh
perlindungan dari aparat penegak hukum dan aparat keamanan;
perlindungan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan
sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 4:
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:
Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisikdan mental; Perahasiaan identitas
korbanatau saksi;
Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.

Tata Cara Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat Menurut
PP No 3 Tahun 2002
Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan
langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi,
atau dirampas oleh siapapun.
Dalam hal terjadi pengabaian, pengurangan dan perampasan hak asasi manusia, terutama terjadi pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun
polisi, maka pihak korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya berhak memperoleh
kompensasi, restitusi dan atau rehabilitasi secara tepat, cepat, dan layak dalam arti bahwa pihak korban atau
ahli warisnya berhak memperoleh ganti kerugian atau pengembalian hak- hak dasarnya yang dilakukan sesuai
dengan sasaran yakni korban dan penggantian kerugiannya, pelaksanaannya segera diwujudkan, dan
pengembalian haknya harus patut sesuai dengan rasa keadilan.
Ganti kerugian atau pengembalian hak, misalnya pengembalian kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan fisik
dan kebutuhan non fisik, yang masuk dalam lingkup kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diputus oleh
Pengadilan HAM di setiap tingkatan pengadilan.
Mengenai besarnya ganti kerugian atau pemulihan kebutuhan dasar tersebut diserahkan sepenuhnya kepada
hakim yang memutus perkara yang dicantumkan dalam amar putusannya. Jadi, hakim diberikan kebebasan
sepenuhnya secara adil, layak, dan cepat mengenai besarnya ganti kerugian tersebut berdasarkan hasil
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan beserta bukti-bukti yang
mendukungnya.
Peraturan Pemerintah ini dibentuk sebagai pelaksanaan Pasal 35 ayat (3) Undang- undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM yang berbunyi:
Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi.
Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.
Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang diberikan kepada
korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Kompensasi dan rehabilitasi yang menyangkut
pembiayaan dan perhitungan keuangan negara dilaksanakan oleh Departemen Keuangan. Sedangkan mengenai
kompensasi, dan rehabilitasi di luar pembiayaan dan perhitungan keuangan negara dilaksanakan oleh Instansi
Pemerintah Terkait.
Di samping itu, Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai tata cara pelaksanaan kompensasi, restitusi, dan
rehabilitasi kepada pihak korban, dari mulai proses diterimanya salinan putusan kepada Instansi Pemerintah
Terkait dan korban sampai dengan pelaksanaan pengumuman pengadilan dan pelaksanaan laporan.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM meliputi Pengadilan HAM dan
Pengadilan HAM Ad Hoc, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun
emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya,
sebagi akibat pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.
Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti
kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga,
dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau
penggantian biaya untuk tindakan
tertentu.
Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak
lain.
Instansi Pemerintah Terkait adalah instansi Pemerintah termasuk Departemen Keuangan yang secara tegas disebut
dalam amar putusan.
Pasal 2
Kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli
warisnya.
Pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus dilaksanakan secara tepat, cepat, dan layak. Pasal 3
Instansi Pemerintah Terkait bertugas melaksanakan pemberian kompensasi dan rehabilitasi berdasarkan putusan
Pengadilan HAM yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam hal kompensasi dan atau rehabilitasi menyangkut pembiayaan dan perhitungan keuangan negara,
pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Pasal 4
Pemberian restitusi dilaksanakan oleh pelaku atau pihak ketiga berdasarkan perintah yang tercantum dalam
amar putusan Pengadilan HAM
Pasal 5
Pelaksanaan putusan Pengadilan HAM oleh Instansi Pemerintah Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) wajib dilaporkan kepada Pengadilan HAM yang mengadili perkara yang bersangkutan dan Jaksa
Agung paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal putusan dilaksanakan.
Pasal 6
Pengadilan HAM mengirimkan salinan putusan Pengadilan HAM, Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah Agung,
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Jaksa Agung.
Jaksa Agung melaksanakan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan
membuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan kepada Instansi Pemerintah Terkait untuk melaksanakan
pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi, dan kepada pelaku atau pihak ketiga untuk melaksanakan
pemberian restitusi.
Pasal 7
Instansi Pemerintah Terkait melaksanakan pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi serta pelaku atau pihak
ketiga melaksanakan pemberian restitusi, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak berita acara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat diterima. Pasal 8
Pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi, dilaporkan oleh Instansi Pemerintah Terkait,
pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan HAM yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti
pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi tersebut.
Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) disampaikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.3.Setelah
Ketua Pengadilan HAM menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan HAM
mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 9
Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi kepada pihak korban melampaui
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya
dapat melaporkan hal tersebut kepada Jaksa Agung.
Jaksa Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera memerintahkan Instansi Pemerintah Terkait, pelaku,
atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
tanggal perintah tersebutditerima.
Pasal 10
Dalam hal pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi dapat dilakukan secara bertahap, maka setiap
tahapan pelaksanaan atau kelambatan pelaksanaan harus dilaporkan kepada Jaksa Agung.
Aspek-Aspek Pemulihan Efektif Bagi Para Korban
Berbagai instrumen HAM internasional telah mengembangkan sejumlah prinsip penting tentang hak-hak
pemulihan korban, diantaranya Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan
Penyalahgunaan Kekuasaan. Prinsip-prinsip lainnya juga telah diatur dalam berbagai Konvensi dan
dikembangkan dalam dalam berbagai
yurisprudensi Pengadilan Internasional, serta dalamhukum pidana di berbagai negara. Prinsip-prinsip tersebut
dapat terangkum sebagai berikut:
Prinsip pemulihan dalam keadaan semula (restutio in integrum); Prinsip ini adalah suatu upaya bahwa korban
kejahatan haruslah dikembalikan pada kondisi semula sebelum kejahatan terjadi, meski disadari bahwa tidak
akanmungkin korban kembali pada kondisi sebelumnya. Prinsip ini menegaskan,bentuk pemulihan kepada
korban haruslah selengkap mungkin dan mencakup berbagai aspek yang ditimbulkan dari kejahatan yang
terjadi. Beberapa contoh penerapan prinsip ini adalah ketentuan- ketentuan mengenai hak-hak korban yang
cukup lengkap tidak hanya mencakup kerugian materiil, tetapi mencakup kerugian immateriil dalam berbagai
bentuknya. Selain itu juga berbagai dukungan dan bantuan kepada korban baik medis, psikologis, dan sosial.
Prinsip ini mendasarisejumlah prinsip lainnya misalnya penghargaan harkat dan martabat manusia, keadilan
dan hak atas ganti kerugian secara layak.
Prinsip non diskriminasi; ketentuan-ketentuan yang terkait dengan reprasi korban, akan berlaku bagi semua orang,
tanpa perbedaan segala macam jenis, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, umur, bahasa, agama, kekayaan,
status kelahiran atau keluarga, asal usul etnis atau sosial, dan ketidakmampuan.
Prinsip penghormatan harkat dan martabat korban; para korban harus diperlakukan dengan rasa kasih dan
dihormati martabatnya. Korban berhak mendapatkan kesempatan menggunakan mekanisme keadilan dan
memperoleh ganti rugi dengan segera, sebagaimana ditetapkan oleh perundangan nasional, atas kerugian yang
dideritanya.
Prinsip tepat guna, adil, dan proporsional; Mekanisme pengadilan dan administrasi perlu ditegakkan dan diperkuat
untuk memungkinkan korban memperoleh ganti rugi lewat prosedur formal atau tak formal yang tepat, adil,
dan proporsional. Korban harus diberitahu mengenai hak-haknya dalam mengupayakan ganti rugi lewat
mekanisme tersebut.
Prinsip kebutuhan dan kemudahankorban; ketersediaan proses pengadilan dan administratifyang efektif, untuk
mengatasi kebutuhankorban harus dipermudah dengan, misalnya :
informasi yang cukup kepada korban tentang perkembangan kasusnya; korban dapat mengungkapkan
pandangannya dalam proses peradilan;
memberikan bantuan secukupnya kepada para korban selama proses hukuman dijalankan; mengambil tindakan
untuk mengurangi gangguan kepada korban, melindungi kebebasan pribadinya, apabila perlu, dan menjamin
keselamatannya, maupun keselamatan
keluarganya dan saksi-saksi yang memberikan kesaksian untuk kepentingannya, dari intimidasi dan tindakan
balasan;
menghindari penundaan yang tidak perlu dalam penempatan kasus-kasus dan pelaksanaan perintah atau keputusan
yang memberikan ganti rugi kepada para korban.
Ganti kerugian yang lengkap dan komprehensif; korban dan keluarganya harus mendapatkan ganti kerugian yang
adil dan tepat ari orang bersalah atau pihak ketiga yang bertanggung jawab. Ganti kerugianmencakup
pengembalian harta milik atau pembayaran atas kerusakan atau kerugian yang diderita, penggantian biaya-
biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban, penyediaan jasa dan hak-hak pemulihan. Dalam kasus
perusakan besar terhadap lingkungan, restitusi, mencakupsejauh mungkin, pemulihan lingkungan itu,
membangun kembali prasarana, pergantian fasilitas masyarakat dan penggantian biaya pemindahan, apabila
perusakan tersebut mengakibatkan perpindahan sekelompok masyarakat.
Tanggung jawab negara; apabila ganti kerugian tidak sepenuhnya tersedia dari orang yang bersalah atau sumber-
sumber lain, negara harus berusaha untuk memberi ganti kerugian kepada:
para korban yang, menderita luka jasmani berat atau kemerosotan kesehatan fisiknya atau mental sebagai akibat
kejahatan yang serius;
keluarga, terutama tanggungan dari orang-orang yang meninggal atau yang menjadi lumpuh secara fisik atau
mental sebagai akibat kejahatan tersebut.
Pembentukan penguatan dan perluasan dana-dana nasional untuk kompensasi kepada para korban harus
didorong, di mana tepat dana-dana lain dapat juga diadakan untuk keperluan ini, termasuk dalam kasus-kasus di
mana negara yang si korbannya adalah warga negaranya tidak berada dalam kedudukan untuk memberi
kompensasi kepada korban atau kerugian tersebut. Apabila pejabat pemerintahan atau wakil-wakil lain yang
bertindak dengan kapasitas resmi atau setengah resmi melanggar hukum pidana nasional, para korban harus
menerima restitusi dari negara yang pejabat atau wakilnya bertanggung jawab atas kerusakan yang timbul.
Dalam kasus-kasus di mana pemerintahan yang di bawah kekuasaannya melakukan tindakan yang
menyebabkan jatuhnya korban,harus memberikan restitusi kepada para korban. Perhatian kepada korban dan
kebutuhan khusus; Para korban harus menerima bantuan material, medis, psikologis dan sosial yang perlu
lewat sarana pemerintah, sarana-sarana sukarela, khususnya misalnya kepada kelompok khusus diantaranya
masyarakat adat.Para korban harus diberi tahu tersediannya pelayanan kesehatan dan sosial dan bantuan lain
yang berkaitan dan mereka harus senantiasa diberi kesempatan untuk memanfaatkannya. Petugas kepolisian,
dan aparat
penegak hukum lainnya,pelayanan sosial dari personil lain yang bersangkutan harus menerima pedoman untuk
menjadikan mereka peka terhadap kebutuhan para korban, serta menerima pedoman untuk memastikan
pemberian bantuan yang benar dan segera. Dalam memberikan pelayanan dan bantuan kepada para korban
perhatian harus diberikan kepada orang-orang yang mempunyai kebutuhan-kebutuhan khusus yang disebabkan
oleh sifat kerugian yang ditimbulkan atau karena faktor-faktor lainnya.

Hak-Hak Korban
Dalam deklarasi korban dinyatakan beberapa hak pokok korban yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara
yakni: Pertama, hak korban atas tersedianya mekanisme keadilan dan memperoleh ganti rugi dengan segera
(baik berupa kompensasi maupun restitusi); Kedua, hak atas informasimengenai hak-haknya dalam
mengupayakan ganti rugi dan memperolehinformasi kemajuan proses hukum yang berjalan termasuk ganti
kerugian; Ketiga, hak untuk menyatakan pandangan dan memberikan pendapat; Keempat; hak atas tersedianya
bantuan selama proses hukuman dijalankan; Kelima, hak atas perlindungan dari gangguan/intimidasi/tindakan
balasan dari pelaku, perlindungan kebebasan pribadi dan keselamatan baik pribadi maupun keluarganya, dan
Keenam, hak atas mekanisme/ proses keadilan yang cepat dan sederhana/ tidak adanya penundaan.
Sementara itu dalam Statuta Roma dan aturan mengenai hukum danpembuktian, sebagai instrumen hukum hak
asasi manusia internasionalpokok yang terkait erat pelanggaran hak asasi manusia yang beratmemberikan
perhatian khusus atas posisi korban dalam prosesberjalannya peradilan. Hal tersebut diatur dalam beberapa
pasal yangmengatur mengenai hak-hak korban selama proses peradilan berlangung.Yaitu : Pertama, hak atas
perlindungan bagi korban selama proses peradilanberlangsung (pasal 57 yang mengatur perlindungan pada
tahap pre trialmaupun Pasal 68 yang berisi hak-hak korban selama proses persidangan,seperti partisipasi
korban, mekanisme perlindungan dalam tahapanpembuktian untuk memberikan keterangan secara in camera
maupunpengajuan bukti dengan sarana elektronika). Kedua, hak atas jaminanperlindungan baik dalam konteks
finansial maupun fasilitas lainnya bagikorban kejahatan dan keluarganya (Pasal
79 mengatur mengenaipembentukan Trust Fund untuk menjamin hak-hak korban kejahatan dan keluarganya)
Selain dua dokumen di atas, dalam ranah hukum hak asasi manusiainternasional dikenal pula prinsip-prinsip
van Boven dan prinsip-prinsipJoinet sebagai dua acuan pokok yang dirumuskan melalui studi mendalamoleh
Pelapor Khusus Sub Komisi Hak Asasi Manusia PBB dan ahliindependen. Berdasarkan beberapa kaidah
hukum Internasional bahwasetiap
pelanggaran terhadap hak asasi manusia akan menimbulkan hakatas pemulihan. Yang dimaksud pemulihan
menurut Van Boven adalah segala jenis ganti rugi (redress) yang bersifat material maupun non materialbagi
para korban pelanggaran hak – hak asasi manusia oleh karena ituhak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
mencakup aspek – aspek tertentudari pemulihan. Boven mengusulkan enam prinsip dasar yang harusdipenuhi
oleh negara yang akan merumuskan kebijakan untukpemenuhan hak-hak korban, yakni : Pertama, pemulihan
dapat dituntut secara individual maupun kolektif. Kedua, negara berkewajiban menerapkan langkah-langkah
khusus yang memungkinkan dilakukannya langkah-langkah pemulihan yang efektif secara penuh. Pemulihan
harus seimbang dengan beratnya pelanggaran dan kerusakan- kerusakan yangdiakibatkannya, yang mencakup
pula restitusi, kompensasi, rehabilitasi,kepuasan, dan jaminan agar kejadian serupa tidak terulang. Ketiga,
setiap negara harus mengumumkan melalui mekanisme publik maupun lembaga swasta baik di dalam maupun
di luar negeri tentang tersedianya prosedur- prosedur pemulihan. Keempat, ketentuan-ketentuan pembatasan
tidak bolehditerapkan selama masa dimana tidak ada penyelesaian efektif atas pelanggaran hak asasi manusia
dan pelanggaran hukum humaniter. Kelima, setiap negara harus memungkinkan tersedianya secara cepat
seluruh informasi yang berkenaan dengan persyaratan- persyaratan tuntutan pemulihan. Keenam, keputusan-
keputusan menyangkut pemulihan ataskorban pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum
humaniter harus dilaksanakan melalaui cara yang cermat dan cepat.
Sedangkan dalam prinsip Joinet, secara garis besar merupakan usaha perlindungan dan pemajuan hak asasi
manusia melalui langkah-langkah untuk menghapus impunitas dengan mengadopsi prinsip-prinsip dasar hak
asasi manusia universal untuk diterapkan hingga pada upaya-upaya dalam bekerjanya mekanisme hukum
domestik. Dalam studi tersebut, dipaparkan dalam empat point penting yakni: hak untuk mengetahui,hak atas
keadilan, hak atas reparasi, dan jaminan ketidak berulangan. Salah satu prinsip hak atas keadilan yang cukup
penting untuk diangkat
adalah ketentuan mengenai prinsip pembatasan yang dibenarkan oleh keinginan untuk memerangi impunitas,
mengenai ketentuan amnesti dalam pelanggran hak asasi manusia yang berat. Jelas dalam prinsip tersebut
menyatakan bahwa amnesti tidak dapat diberikan kepada pelaku pelanggaran sebelum korban mendapatkan
keadilan melalui pengadilan yang efektif. Amnesti tidak boleh memiliki pengaruh hukum apapun terhadap
proses peradilan yang diajukan oleh korban terkait dengan reparasi.
Sistem peradilan pidana dapat mengembangkan upaya-upaya pemulihan bagi korban pelanggaran hak asasi
manusia melalui beberapa metode yang secara garis besar
dibedakan menjadi dua, yakni: monetaryremedies dan non-monetary remedies. Monetary remedies merupakan
pemulihan yang mendayagunakan nilai materi dalam wujud uang ataufisik untuk mereparasi
kerusakan/kerugian yang diakibatkan oleh adanya pelanggaran hak asasi manusia. Sedangkan Non-Monetary
Remedies adalah upaya pemulihan bagi korban yang lebih mendasarkan pada perbaikan atas
kerusakan/kerugian yang ditimbulkan dengan langkah-langkah tertentu yang tidak dapat dipadankan dengan
nilai material tertentu (seperti: permintaan maaf dari pelaku/negara, jaminan ketidakberulangan, rehabilitasi,
truth telling, hukuman bagi pelaku, atau pernyataan melalui putusan hakim (declaratory judgements).
Pada ranah hukum nasional, sejak diberlakukannya undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban
dan PP Nomor 44 tahun 2008,dalam pelaksanaan perlindungan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia
yang berat praktis mengacu pada dua peraturan perundang-undangan tersebut. Meskipun sepanjang tidak
bertentangan dengan kedua peraturan perundang-undangan tersebut undang-undang dan peraturanpemerintah
lainnya masih diberlakukan. Dalam undang-undang tersebut hak- hak korban tidak dibedakan secara khusus
dari hak-hak yang dimiliki saksi. Artinya undang-undang telah mengakomodasi hak atas keadilan yang layak
bagi korban karena jaminan perlindungan bagi korban telahdidapatkan sejak proses penyelidikan dilakukan.
Dalam undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, korban pelanggaran hak asasi manusiamemiliki dua
hak eksklusif yang diberikan oleh undang-undang yakni hak atas kompensasi dan pemberian bantuan, selain
tentunya terdapat pula hak untuk mengajukan restitusi kepada pelaku kejahatan. Dalam pandangan penulis,
mengenai rumusan dari definisi kompensasi yang terdapat pada PP Nomor 44 tahun 2008 terdapat kesalahan
konseptual yang sifatnya fundamental. Rumusan pengertian kompensasi dalam PP tersebut adalah ganti
kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang
menjadi tanggung jawabnya.
Dengan rumusan tersebut, maka kompensasi baru akan dapat dijalankan dengan menggantungkan ada tidaknya
pelaku dan/ataumampu atau tidaknya pelaku untuk memberikan ganti rugi. Tentunya ini tidak sebangun dengan
konsep dan prinsip-prinsip hukum hak asasi manusia, yang memberikan kewajiban kepada negara untuk
memberikan perlindungan dan jaminan kepada korban secara maskimal dengan mengambil langkah- langkah
yang tepat, cermat, cepat, dan memberikan kepuasan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Tentunya hal ini akan menjadi catatan penting bagi penulis dan bagi semua peserta diskusi.
Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban
menjadi rujukan mengenai hak-hak, bentuk-bentuk perlindungan, dan bentuk bantuan yang
dijamin oleh undang-undang. Dalam Pasal 5, terdapat 13 (tiga belas) hak saksi dan atau
korban yangdalam konteks pemberian perlindungan akan diberikan oleh LPSK. DalamPasal
5 tersebut, undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa
perlindungan utama yang diperlukan adalah perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga,
dan harta benda, sertabebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksiannya dalam proses
perkara yang berjalan. Untuk lebih jelasnya apa saja hak-hak saksi danatau korban yang
dapat diberikan oleh LPSK dapat dilihat dalam tabel 1.Selain Pasal 5, korban juga memiliki
hak atas kompensasi dan hak atas restitusi sebagaimana diatur pada Pasal 7 undang-undang
tentang Perlindungan Saksi. Menurut undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, dalam Pasal 6 khusus terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia berhak pula
atas bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

Anda mungkin juga menyukai