Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

HUKUM ADAT

“ UPACARA TOLAK BALA DAN LANGKAH PREVENTIF PENCEGAHAN

COVID-19 DI NTT”

OLEH

NAMA : FERDINANDUS DEWA

NIM 2019110166

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS FLORES

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan

rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Upacara Tolak Bala Dan

Langkah Preventif Pencegahan Covid-19” pada waktu yang tepat.

Penulisan makalah ini penulis buat guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat agar

menambah wawasan serta pengetahuan berkaitan dengan peran dari komunitas adat sebagai

upaya pencegahan penyebaran Covid-19 yang mana menjadi masalah utama saat ini.

Penulis menyadari bahwa penulis hanya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan,

demikian juga dengan makalah ini yang masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu,

penulis berharap kirannya ada kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi

perbaikan dan bekal dalam pembuatan makalah lainnya dikemudian hari. Semoga makalah ini

dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.

Ende, Mei 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…............................................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang........................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah…...............................................................................................4

1.3. Tujuan dan Manfaat................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Proses Upacara Adat Tolak Bala Setiap Daerah…...................................................6

2.2 Upacara Adat Tolak Bala Sebagai Langkah Preventif Pencegahan Covid-

19..............................................................................................................................11

2.3 Peran Upacara Adat Tolak Bala Terhadap Covid-19 di NTT….............................12

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan….........................................................................................................14

3.2 Saran…..................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak terdeteksi di Provinsi Wuhan, Cina pada Desember 2019, virus Corona atau Covid-

19 secara resmi pada 11 Maret 2020 oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dinyatakan

telah menjadi pandemi global dan menunjukkam peta penyebaran yang cukup cepat di

berbagai negara. Berdasarkan data pada 15 Mei 2020 pukul 22.00 WIB dari Johns Hopkins

University (Baltimore, Amerika Serikat), Kementerian Kesehatan, hingga saat ini

penyebaran Covid-19 telah ada di lebih dari 200 negara dengan jumlah kasus sebanyak

4.442.200 dan jumlah kasus pasien meninggal sebanyak 303.714.

Penyebaran Covid-19 yang begitu cepat dikarenakan kontak dengan pasien positif, masa

inkubasi dengan tanpa gejala yang tergolong panjang yakni 14 hari serta belum dibatasinya

akses keluar masuk ke beberapa negara mengakibatkan beberapa negara seperti kesulitan

untuk membendung masuknya virus ini dalam negara tersebut. Begitu juga Indonesia yang

mana pada awal tahun 2020 turut mengalami permasalahan yang datang dari sektor

kesehatan karena teridentifikasinya salah satu Warga Negara Indonesia (WNI) yang

diketahui sebagai orang dengan positif Covid-19.

Tercatat sejak tanggal 28 Februari 2020 pasca pengumuman yang dilakukan secara

nasional di berbagai media massa di Indonesia terkait pasien pertama yang dinyatakan

positif terinfeksi virus corona atau Covid-19, pemerintah bersama tenaga dari sektor

kesehatan telah melakukan sejumlah tindakan pencegahan.

1
Tindakan pencegahan yang dilakukan antara lain mengisolasi rumah pasien positif

Covid-19, menjaga keamanan rumah pasien hingga melakukan perawatan sesuai prosedur

perawatan pasien positif Covid-19.

Beberapa tindakan pencegahan yang dilakukan pemerintah terhadap pasien pertama

dengan tujuan memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di Indonesia nyatanya belum

benar-benar berhasil. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya pasien positif Covid-19

setiap harinya.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh COVID19 GO.ID hingga 15 Mei 2020 Indonesia

telah mencatat kasus positif sebanyak 16.496 kasus, sembuh sebanyak 3.803 kasus dan

meninggal sebanyak 1.076 kasus. Kasus positif Covid-19 di Indonesia ini tersebar di 34

provinsi dengan kasus tertinggi di Provinsi DKI Jakarta dengan jumlah kasus 5.774 (35.02%)

dan kasus terendah di Provinsi Aceh dengan jumlah kasus 17 (0.1%).

Dengan terkonfirmasinya 34 provinsi yang telah memiliki pasien positif Covid-19 maka

seluruh provinsi di Indonesia dinyatakan telah memiliki kasus Covid-19, salah satunya

provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Berdasarkan pemberitaan di surat kabar harian Pos Kupang di NTT, jumlah pasien positif

Covid-19 di wilayah NTT mencapai 47 orang yang mana tersebar pada sembilan

kabupaten/kota. Meningkatnya angka ini setelah dari 46 sampel Swab yang diperiksa

ditemukan 8 pasien positif yang berasal dari Kabupaten Sikka, Kota Kupang dan Kabupaten

Sumba Timur.
Berikut data penyebaran pasien positif Covid-19 di NTT:

Kabupaten/Kota Pasien Postitif Klaster

Manggarai Barat 12 orang Klaster Gowa, Sulawesi Selatan

Ende 1 orang Klaster Gowa, Sulawesi Selatan

Kota Kupang 9 orang Klaster Sukabumi, Jawa Barat

TTS 2 orang Klaster Magetan, Jawa Timur

Rote Ndao 2 orang Klaster Papua

Sumba Timur 2 orang Klaster STT Grogol, Jakarta

Kota Kupang 1 orang Klaster Yogyakarta

Kota Kupang 4 orang Transmisi Lokal

Sikka 12 orang Klaster KM Lambelu

Flores Timur 1 orang Klaster KM Lambelu

Nagekeo 1 orang Klaster KM Lambelu

Sumber : Surat Kabar Harian Pos Kupang, 16 Mei 2020

Seiring meningkatnya pasien positif Covid-19 di NTT, pemerintah baik pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah telah mengeluarkan kebijakan serta aturan-aturan yang bertujuan

untuk mencegah penularan pasien positif Covid-19 di NTT pada umumnya dan kabupaten-

kabupaten yang masih dinyatakan bersih dari pasien positif Covid-19 pada khususnya.

Banyak tindakan nyata yang dilakukan oleh pemerintah antara lain kebijakan untuk

meliburkan aktivitas belajar mengajar untuk setiap sekolah dan ASN (Aparatur Sipil Negara)

di provinsi NTT maupun kabupaten/kota, pembatasan izin berpergian menggunakan jalur

udara, laut maupun darat dengan SOP yang ditentukan, mewajibkan penggunaan masker bagi
siapa saja yang melakukan aktivitas luar, pembatasan jam operasional kerja, pelarangan

melakukan kegiatan yang melibatkan banyak orang, pelarangan beribadah di tempat Ibadah

serta pemberlakuan social distancing.

Tidak hanya kebijakan-kebijakan yang diterapkan, pemerintah juga secara langsung turun

untuk mencegah penyebaran Covid-19 di daerah masing-masing dengan memanfaatkan

kearifan lokal. Salah satunya adalah dengan melakukan upacara adat yang diyakini dapat

menghalau Covid-19 dari daerah masing-masing.

Sebagai daerah yang memiliki banyak suku dengan kearifan lokal masing-masing yang

masih dipegang dan dipercaya hingga kini membuat pemerintah dan masyarakat memilih

upacara adat yang diyakini bisa menjadi langkah alternatif terhadap persoalan pandemi

Covid-19 karena mengandalkan bantuan alam dan kekuatan para leluhur.

Berdasarkan uraian masalah di atas maka penulis tertarik untuk melihat bagaimana

upacara tolak bala yang dilakukan di NTT yang diambil sebagai langkah preventif

pencegahan Covid-19.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana proses upacara adat Tolak Bala di masing-masing daerah di NTT?

2. Mengapa upacara adat Tolak Bala dipilih sebagai langkah preventif pencegahan

Covid-19 di NTT?

3. Bagaimana peran upacara adat Tolak Bala terhadap Covid-19 di NTT?


1.3 Tujuan dan Manfaat

Makalah ini memiliki tujuan dan manfaat, yakni:

1. Mengetahui proses upacara adat Tolak Bala di masing-masing daerah di NTT.

2. Mengetahui mengapa upacara adat Tolak Bala dipilih sebagai langkah preventif

pencegahan Covid-19 di NTT.

3. Mengetahui peran upacara adat Tolak Bala terhadap Covid-19 di NTT.


BAB II

ISI

2.3 Proses Upacara Adat Tolak Bala Setiap Daerah

a) Flores Timur

Upacara Tolak Bala di suku Demondei di Adonara, Flores Timur, NTT disebut

bekang boang. Bekang boang artinya membaraui dan melindungi kampung, dihelat saat

wabah penyakit, hama tanaman, dan cuaca buruk mengancam daerah itu.Upacara adat ini

melibatkan semua warga Desa Demondei baik yang berdiam di dalam desa itu maupun

yang berada di perantauan.

Upacara ini kembali diadakan setelah pernah diselenggarakan tahun 2006 dan

2013 untuk mengusir hama tikus yang merusak tanaman warga dan mengahalau cuaca

buruk. Dan untuk kali ini upacara ini diselenggarakan untuk menolak penyebaran

COVID-19 di Desa Demondei khususnya dan Adonara umumnya. Upacara ini

melibatkan lima tokoh adat mewakili lima suku di desa itu.

Adapun prosesinya, seorang tokoh adat akan menenggak minuman lokal, arak,

sebagai tanda perdamaian Tuhan dan manusia. Ketua adat lalu menerima hewan korban

berupa seekor ayam jantan dari setiap kepala keluarga untuk didoakan. Inilah hewan

tebusan dosa bagi setiap kepala keluarga. Hewan ini sebagai pembersihan dosa,

kesalahan, dan penolakan semua bentuk ancaman penyakit, terutama Covid-19.

Darah ayam yang jatuh di batu mesbah persembahan kemudian sebagian

dicampur dengan air kelapa muda untuk dipercikkan pada semua anggota keluarga yang

hadir. Ini sebagai simbol perlindungan sekaligus pembersihan diri bagi keluarga itu.
b) Sikka

Upacara Tolak Bala di Desa Korobhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka,

NTT di pesisir selatan pulau Flores disebut Joka Segu Ngawu Re’e yang digelar Mosalaki

atau tetua adat Tanah Bhera etnis Lio. Wilayah adat Tanah Bhera terbentang di desa

Korobhera, Bhera, Dobo, Dobo Nua Pu;u serta sedikit wilayah di Desa Gera. Semuanya

ada di Kecamatan Mego.

Ritual menggunakan janur atau daun kelapa yang muda karena menyejukkan dan

diyakini dapat menghindari penyakit. Daun kelapa dianggap sebagai simbol pembawa

kesejukan dan kedamaian.

Ritual dipandu oleh Mosalaki. Persis di depan Mosalaki yang memandu terdapat

sebuah batu ceper yang ditanam berdiri di tanah dengan dikelilingi oleh tiga buah batu

ceper lainnya. Beras dan telur ayam kampung diletakan di ujung atas batu ceper yang

telah diperciki darah babi. Di tiga batu ceper lainnya yang juga ditetesi darah babi,

diletakkan tembakau (rokok) dari lintingan daun Koli atau Tuak, sirih pinang dan beras.

Selanjutnya, Mosalaki akan menatap tajam ke depan sambil sesekali komat kamit

melantungka doa dan memanggil arwah leluhut untuk hadir dalam ritual adat untuk

mengusir wabah penyakit Corona.

Batu tempat meletakkan persembahan atau sesajen disebut Mase atau Mahe. Mase

menjadi pusat pagelaran ritual adat. Tiga Mase yang kecil mengelilingi Mase yang besar

sebagai penopang dari belakang (Tau Tuke).

Ritual menghadap ke laut karena dipercaya wabah penyakit diyakini datang dari

suatu tempat yang jauh dan bukan dari wilayah mereka, sehingga harus dibawa kembali

ke tempat asal wabah penyakit tersebut.


Ritual digelar di Dusun Wara di lokasi yang dinamakan Kuwu Si’e. mereka harus

memberi makan dan minum kepada leluhur dan meminta leluhur menghantar wabah

penyakit Covid-19 ke rumah besar (asal) mereka. Dengan menggelar ritual adat, mereka

berharap wabah Covid-19 tidak datang ke wilayah ulayat Tanah Bhera khususnya dan

Indonesia umumnya. Juga mencegah segala penyakit serta hama yang menyerang

tanaman pertanian dan perkebunan warga.

Nasi yang dimasak di periuk tanah bersama daging ayam berbumbu garam

diambil dari dua tungku yang dibuatk tak jauh dari tempat ritual. Mosakali akan

meletakkan sedikit daging ayam dan nasi di Mase juga moke atau arak juga dituangkan.

Sesudah memanggil arwah leluhur untuk makan, sisa makanan dan moke akan

diberikan kepada para Mosalaki dan tamu yang hadir. Sebuah kayu Reo ditancapkan di

samping Mase. Mosalaki lalu meletakkan Nyiru di kayu dengan bagian belakangnya

menghadap ke laut. Kayu Reo untuk penahan nyiru membelakangi laut agar menghalau

penyakit tidak bisa masuk ke wilayah ini .Tempat ini dinamakan Kuwu Si’e, pembuangan

segala jenis wabah penyakit dan segala sesuatu yang jelek.

Hampir semua wilayah kabupaten Sikka hingga sebagian wilayah kota Maumere

selalu dijumpai janur yang diikat di tiang dan pagar rumah. Ada juga yang ditanam di

jalan masuk ke perkampungan. Ada yang mengikat janur dengan sepotong kain berwarna

merah dan juga daun damar. Kain merah dan daun damar diyakini sebagai penolak bala,

termasuk menghalau wabah Corona.

Ritual adat dilakukan untuk mendukung langkah pemerintah mencegah penularan

wabah penyakit Corona. Setelah ritual adat digelar, ada dua pantangan yang harus ditaati
yaitu dilarang menerima tamu dari luar selama dua hari dan dilarang membuat

kegaduhan.

c) Kefamenanu

Upacara adat Tolak Bala yang dilakukan oleh tokoh adat suku Bikomi di

Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), NTT dinamakan Tapoin Maputu Nok Malala

yang mana merupakan salah satu tradisi masyarakat Dawan yang bertujuan untuk

dijauhkan dari sebuah bencana. Tapoin Maputu Nok Malala merupakan bahasa Dawan

yang berarti mengeluarkan bara dan hawa panas yang sedang melanda.

Ritual ini digelar di atas puncak bukit Neonbat, Kelurahan Maubeli Kecamatan

Kota Kefamenanu tersebut, dilakukan sebagai salah satu bentuk dukungan kepada

pemerintah terutama kepada para tenaga medis yang saat ini merupakan garda terdepan

dalam menghadapi pandemi virus Covid-19.

Prosesi ritual ini dilakukan dengan cara menyembelih seekor ayam jantan warna

putih di atas puncak bukit Neonbat. Kemudian, darahnya dipercikan di sekitar batu yang

dijadikan sebagi lokasi ritual diiringi dengan ungkapan dan permintaan kepada leluhur

dalam bahasa Dawan. Intinya meminta kepada leluhur agar membantu menghalau bala

yang sedang melanda manusia.

Tempat ritual ini diadakan dipilih dengan alasan puncak bukit Neonbat

merupakan salah satu tanah adat di Kabupaten Timor Tengah Utara yang selalu

digunakan oleh Mone Ha atau empat raja dalam melakukan tradisi ritual adat.

Dengan dilaksanakannya ritual adat ini, diharapkan bencana virus Covid-19 yang

terjadi di negara ini dapat secepatnya teratasi.


d) Lembata

Masyarakat Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, NTT

menggelar ritual adat Tolak Bala atau Tolak Penyakit untuk mencegah penyebaran virus

Covid-19. Ritual kali ini digelar di Pantai Lewolein, Desa Dikesare. Ritual ini merupakan

tradisi dan warisan adat yang sudah dilakukan turun temurun.

Ritual adat Tolak Bala atau dikenal dengan Lede Lewu dilakukan oleh tuan tanah

(Suku Paliwala Iku, Koto, Koro, Kepite Duli, Kepite Lewu). Ritual ini meminta kepada

leluhur dan Lewotana untuk menjauhkan desa dan masyarakat dari marabahaya dan

penyakit salah satunya mencegah penyebaran Covid-19 tidak menyebar di Desa Dikesare.

Pelaksanaan ritual ini wajib dihadiri oleh seluruh keluarga dan masyarakat yang

ada di Desa Dikesare. Setiap warga yang datang wajib membawa anyaman dari daun

lontar. Warga kemudian membawa anyaman tersebut ke pinggir pantai lalu di kumpulkan

dan digantung pada sebatang bambu yang ditancapkan di pinggir pantai.

Sebelum dilakukan upacara tersebut salah satu suku dari Kepite Lewu memberi

tanda dengan melakukan pukulan dengan mengunakan sebatang kayu pada dinding-

dinding rumahnya dan meneriakan kata “ Lodo -Lodo ( keluar – keluar )”, setelah itu baru

diikuti oleh semua warga di rumah masing-masing.

Kemudian akan dilakukan seremonial pemberian makan untuk leluhur oleh tuan

tanah atau pemangku ulayat dengan membacakan mantra-mantra adat sambil memotong

seekor anak ayam dan dibagikan kepada leluhur disetiap masing-masing suku yang ada di

Desa Dikesare.
Pada malam hari tidak di izinkan untuk menyalakan penerangan dalam bentuk apa

pun dan suasana kampung hening. Seluruh rumah penduduk akan gelap gulita hal ini di

lakukan selama empat malam berturut-turut.

e) Nagekeo

Upacara adat Tolak Bala di Nagekeo dikenal dengan nama Tu Ze, Loka Libha

Noa Corona. Upacara ini digelar di Kecamatan Boawae dan diikuti oleh masyarakat adat

dalam wilayah di radius ibu kota Kecamatan Boawae, Nagekeo, NTT.

Upacara ini dilaksanakan selama tiga hari dan melibatkan hanya 10 orang

perwakilan dari setiap desa/kelurahan untuk mencegah terjadinya kerumunan massa

dengan mengenakan masker dan menjaga jarak.

Ritual dilakukan dalam 3 tahapan yaitu hari pertama dilakuakn Ti’I Ka Pati Inu

untuk para leluhur di setiap Pu’u Peo Ate/Ngusa Nabe Tadu Bhada Heli Hele dan di

setiap rumah warga. Hari kedua adalah hari puncak pelaksanaan Tu Ze Loka Libha Noa

Corona. Sementara hari ketiga dilakukan acara adat IE atau pemulihan dan pembersihan

secara adat.

2.4 Upacara Adat Tolak Bala Sebagai Langkah Preventif Pencegahan Covid-19

Sejumlah daerah memutuskan untuk menyelenggarakan upacara adat Tolak Bala

di masing-masing daerah dengan tujuan yang sama yaitu menghalau penyebaran virus

Covid-19 walaupun dengan tata cara yang berbeda.

Keputusan untuk melibatkan kearifan lokal sebagai langkah alternatif disamping

kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah pusat dan daerah karena


masyarakat daerah setempat masih sangat percaya dengan kehadiran dan bantuan dari

para leluhur untuk membantu mengahalau dan menghilangkan marabahaya dan

malapetaka berupa virus Covid-19 yang mana hanya diminta dengan upacara tersebut.

Selain itu, upacara Tolak Bala dilakukan karena melihat kembali kekuatan

daripada upacara sejenis yang pernah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya oleh

leluhur dengan tujuan untuk menolak marabahaya atau malapetaka dan terbukti upacara

ini membantu leluhur untuk menghalau itu.

Bukti dari keberhasilan upacara tolak bala yakni di Nagekeo di masa lalu pernah

terjadi U Boe atau wabah penyakit yang menyerang sapid an kerbau yang menyebabkan

kematian serempak dan menyebar dengan sangat cepat. Ritual yang sama juga dilakuakn

saat terjadi serangan ulat atau walang sangit pada tanaman masyarakat dan hasilnya

dengan ritual ini semua penyakit dan hama tersebut musnah.

Bukti lainnya juga terjadi di Adonara pada tahun n 2006 dan 2013 untuk mengusir

hama tikus yang merusak tanaman warga dan menghalau cuaca buruk.

2.5 Peran Upacara Adat Tolak Bala Terhadap Covid-19 di NTT

Upacara adat Tolak Bala yang dilakukan oleh beberapa daerah di NTT nyatanya

memiliki peran terhadap pencegahan penyebaran Covid-19 di NTT khususnya daerah

penyelenggara, antara lain:

a. Masyarakat diingatkan untuk selalu hidup selaras dengan alam dan mencintai

alam dan lingkungan mengingat asal virus Covid-19 datang dari hewan.
b. Larangan untuk beraktifitas juga semacam karantina mandiri agar masyarakat bisa

berdiam diri di rumah dalam jangka tertentu.

c. Pantangan berupa larangan menerima tamu dari luar selama dua hari nyatanya

turut membantu program pemerintah untuk membatasi akses masuk ke daerah-

daerah untuk mengurangi resiko penularan virus Covid-19.

d. Pantangan berupa larangan membuat kegaduhan membuat masyarakat memilih

untuk berdiam diri dalam rumah sehingga sangat mengurangi aktivitas secara

berkelompok dimana terdapat kemungkinan untuk saling menyebarkan virus

Covid-19.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari keseluruhan isi makalah ini adalah bahwa

perlu adanya keseimbangan antara adat istiadat dan kebijakan pemerintah dalam hal

mengatasi penyebaran virus Covid-19 yang kini telah menjadi pandemik global yaitu

melalui tradisi di masing-masing daerah yang bertujuan untuk menolak bala atau

marabahaya berupa virus Covid-19 ini.

Sejumlah daerah di NTT nyatanya mempercayai kekuatan daripada upacara adat

ini sehingga pemerintah bersama elemen masyarakat dan tua-tua adat menyelenggarakan

upacara adat ini secara bersama-sama.

Penyelenggaraan upacara adat ini dipilih sebagai alteratif daripada langkah

preventif terhadap penyebaran virus Covid-19 ini dan secara tidak langsung pantangan-

pantangan yang datang dari upacara adat ini mendukung program kebijakan pemerintah

terkaitan dengan Covid-19.

3.2 Saran

Saran yang dapat diberikan dari materi dalam makalah ini adalah:

 Perlu adanya upacara adat tolak bala karena sebagai salah satu bentuk

penghormatan terhadap kearifan lokal yang mana dimiliki oleh masing-

masing daerah.
 Perlu adanya perhatian lebih terhadap langkah preventif virus Covid-19

berupa upacara adat sejenis ini sehingga bisa menjadi pertimbangan untuk

dilakukan serentak beberapa daerah di NTT dengan koordinasi yang baik.


DAFTAR PUSTAKA

 https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51850113

 https://www.matamatapolitik.com/bertentangan-dengan-sains-apa-urgensi-tolak-bala-ntt-

original-news-polling/

 https://www.mongabay.co.id/2020/04/03/ritual-tolak-bala-corona-di-sikka-seperti-apa/

 https://kumparan.com/florespedia/cegah-corona-masyarakat-desa-dikesare-di-ntt-gelar-

ritual-adat-tolak-bala-1t91e04YS1z/full

 https://kupang.tribunnews.com/2020/04/24/di-nagekeo-masyarakat-adat-boawae-gelar-

ritual-adat-tolak-bala-berikut-liputannya
LAMPIRAN

Ritual adat tolak bala Joka Segu Ngawu Re’e mencegah masuknya virus Covid-19 yang digelar

masyarakat adat Tanah Bhera di Desa Korobhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka, NTT

Tuan Tanah atau Laki Pu’u Bernadus Kere sedang memberikan sesajen kepada leluhur di

Mase atau batu ceper dalam ritual adat tolak bala Joka Segu Ngawu Re’e mencegah wabah

Covid-19 di Desa Korobhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka, NTT.


Suku Bikomi gelar tradisi Tolak Bala lawan Covid-19

Tua adat Desa Dikesare menggelar ritual adat menolak bala untuk mencegah penyebaran

virus Covid-19 di Desa Dikesare

Suasana saat acara tolak bala di Kecamatan Boawae Kabupaten Nagekeo

Anda mungkin juga menyukai