HUKUM ADAT
COVID-19 DI NTT”
OLEH
NIM 2019110166
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS FLORES
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Upacara Tolak Bala Dan
Penulisan makalah ini penulis buat guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat agar
menambah wawasan serta pengetahuan berkaitan dengan peran dari komunitas adat sebagai
upaya pencegahan penyebaran Covid-19 yang mana menjadi masalah utama saat ini.
Penulis menyadari bahwa penulis hanya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan,
demikian juga dengan makalah ini yang masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penulis berharap kirannya ada kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi
perbaikan dan bekal dalam pembuatan makalah lainnya dikemudian hari. Semoga makalah ini
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…............................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.2 Upacara Adat Tolak Bala Sebagai Langkah Preventif Pencegahan Covid-
19..............................................................................................................................11
3.1 Kesimpulan….........................................................................................................14
3.2 Saran…..................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak terdeteksi di Provinsi Wuhan, Cina pada Desember 2019, virus Corona atau Covid-
19 secara resmi pada 11 Maret 2020 oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dinyatakan
telah menjadi pandemi global dan menunjukkam peta penyebaran yang cukup cepat di
berbagai negara. Berdasarkan data pada 15 Mei 2020 pukul 22.00 WIB dari Johns Hopkins
penyebaran Covid-19 telah ada di lebih dari 200 negara dengan jumlah kasus sebanyak
Penyebaran Covid-19 yang begitu cepat dikarenakan kontak dengan pasien positif, masa
inkubasi dengan tanpa gejala yang tergolong panjang yakni 14 hari serta belum dibatasinya
akses keluar masuk ke beberapa negara mengakibatkan beberapa negara seperti kesulitan
untuk membendung masuknya virus ini dalam negara tersebut. Begitu juga Indonesia yang
mana pada awal tahun 2020 turut mengalami permasalahan yang datang dari sektor
kesehatan karena teridentifikasinya salah satu Warga Negara Indonesia (WNI) yang
Tercatat sejak tanggal 28 Februari 2020 pasca pengumuman yang dilakukan secara
nasional di berbagai media massa di Indonesia terkait pasien pertama yang dinyatakan
positif terinfeksi virus corona atau Covid-19, pemerintah bersama tenaga dari sektor
1
Tindakan pencegahan yang dilakukan antara lain mengisolasi rumah pasien positif
Covid-19, menjaga keamanan rumah pasien hingga melakukan perawatan sesuai prosedur
dengan tujuan memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di Indonesia nyatanya belum
benar-benar berhasil. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya pasien positif Covid-19
setiap harinya.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh COVID19 GO.ID hingga 15 Mei 2020 Indonesia
telah mencatat kasus positif sebanyak 16.496 kasus, sembuh sebanyak 3.803 kasus dan
meninggal sebanyak 1.076 kasus. Kasus positif Covid-19 di Indonesia ini tersebar di 34
provinsi dengan kasus tertinggi di Provinsi DKI Jakarta dengan jumlah kasus 5.774 (35.02%)
Dengan terkonfirmasinya 34 provinsi yang telah memiliki pasien positif Covid-19 maka
seluruh provinsi di Indonesia dinyatakan telah memiliki kasus Covid-19, salah satunya
Berdasarkan pemberitaan di surat kabar harian Pos Kupang di NTT, jumlah pasien positif
Covid-19 di wilayah NTT mencapai 47 orang yang mana tersebar pada sembilan
kabupaten/kota. Meningkatnya angka ini setelah dari 46 sampel Swab yang diperiksa
ditemukan 8 pasien positif yang berasal dari Kabupaten Sikka, Kota Kupang dan Kabupaten
Sumba Timur.
Berikut data penyebaran pasien positif Covid-19 di NTT:
Seiring meningkatnya pasien positif Covid-19 di NTT, pemerintah baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah telah mengeluarkan kebijakan serta aturan-aturan yang bertujuan
untuk mencegah penularan pasien positif Covid-19 di NTT pada umumnya dan kabupaten-
kabupaten yang masih dinyatakan bersih dari pasien positif Covid-19 pada khususnya.
Banyak tindakan nyata yang dilakukan oleh pemerintah antara lain kebijakan untuk
meliburkan aktivitas belajar mengajar untuk setiap sekolah dan ASN (Aparatur Sipil Negara)
udara, laut maupun darat dengan SOP yang ditentukan, mewajibkan penggunaan masker bagi
siapa saja yang melakukan aktivitas luar, pembatasan jam operasional kerja, pelarangan
melakukan kegiatan yang melibatkan banyak orang, pelarangan beribadah di tempat Ibadah
Tidak hanya kebijakan-kebijakan yang diterapkan, pemerintah juga secara langsung turun
kearifan lokal. Salah satunya adalah dengan melakukan upacara adat yang diyakini dapat
Sebagai daerah yang memiliki banyak suku dengan kearifan lokal masing-masing yang
masih dipegang dan dipercaya hingga kini membuat pemerintah dan masyarakat memilih
upacara adat yang diyakini bisa menjadi langkah alternatif terhadap persoalan pandemi
Berdasarkan uraian masalah di atas maka penulis tertarik untuk melihat bagaimana
upacara tolak bala yang dilakukan di NTT yang diambil sebagai langkah preventif
pencegahan Covid-19.
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
2. Mengapa upacara adat Tolak Bala dipilih sebagai langkah preventif pencegahan
Covid-19 di NTT?
2. Mengetahui mengapa upacara adat Tolak Bala dipilih sebagai langkah preventif
ISI
a) Flores Timur
Upacara Tolak Bala di suku Demondei di Adonara, Flores Timur, NTT disebut
bekang boang. Bekang boang artinya membaraui dan melindungi kampung, dihelat saat
wabah penyakit, hama tanaman, dan cuaca buruk mengancam daerah itu.Upacara adat ini
melibatkan semua warga Desa Demondei baik yang berdiam di dalam desa itu maupun
Upacara ini kembali diadakan setelah pernah diselenggarakan tahun 2006 dan
2013 untuk mengusir hama tikus yang merusak tanaman warga dan mengahalau cuaca
buruk. Dan untuk kali ini upacara ini diselenggarakan untuk menolak penyebaran
Adapun prosesinya, seorang tokoh adat akan menenggak minuman lokal, arak,
sebagai tanda perdamaian Tuhan dan manusia. Ketua adat lalu menerima hewan korban
berupa seekor ayam jantan dari setiap kepala keluarga untuk didoakan. Inilah hewan
tebusan dosa bagi setiap kepala keluarga. Hewan ini sebagai pembersihan dosa,
dicampur dengan air kelapa muda untuk dipercikkan pada semua anggota keluarga yang
hadir. Ini sebagai simbol perlindungan sekaligus pembersihan diri bagi keluarga itu.
b) Sikka
NTT di pesisir selatan pulau Flores disebut Joka Segu Ngawu Re’e yang digelar Mosalaki
atau tetua adat Tanah Bhera etnis Lio. Wilayah adat Tanah Bhera terbentang di desa
Korobhera, Bhera, Dobo, Dobo Nua Pu;u serta sedikit wilayah di Desa Gera. Semuanya
Ritual menggunakan janur atau daun kelapa yang muda karena menyejukkan dan
diyakini dapat menghindari penyakit. Daun kelapa dianggap sebagai simbol pembawa
Ritual dipandu oleh Mosalaki. Persis di depan Mosalaki yang memandu terdapat
sebuah batu ceper yang ditanam berdiri di tanah dengan dikelilingi oleh tiga buah batu
ceper lainnya. Beras dan telur ayam kampung diletakan di ujung atas batu ceper yang
telah diperciki darah babi. Di tiga batu ceper lainnya yang juga ditetesi darah babi,
diletakkan tembakau (rokok) dari lintingan daun Koli atau Tuak, sirih pinang dan beras.
Selanjutnya, Mosalaki akan menatap tajam ke depan sambil sesekali komat kamit
melantungka doa dan memanggil arwah leluhut untuk hadir dalam ritual adat untuk
Batu tempat meletakkan persembahan atau sesajen disebut Mase atau Mahe. Mase
menjadi pusat pagelaran ritual adat. Tiga Mase yang kecil mengelilingi Mase yang besar
Ritual menghadap ke laut karena dipercaya wabah penyakit diyakini datang dari
suatu tempat yang jauh dan bukan dari wilayah mereka, sehingga harus dibawa kembali
memberi makan dan minum kepada leluhur dan meminta leluhur menghantar wabah
penyakit Covid-19 ke rumah besar (asal) mereka. Dengan menggelar ritual adat, mereka
berharap wabah Covid-19 tidak datang ke wilayah ulayat Tanah Bhera khususnya dan
Indonesia umumnya. Juga mencegah segala penyakit serta hama yang menyerang
Nasi yang dimasak di periuk tanah bersama daging ayam berbumbu garam
diambil dari dua tungku yang dibuatk tak jauh dari tempat ritual. Mosakali akan
meletakkan sedikit daging ayam dan nasi di Mase juga moke atau arak juga dituangkan.
Sesudah memanggil arwah leluhur untuk makan, sisa makanan dan moke akan
diberikan kepada para Mosalaki dan tamu yang hadir. Sebuah kayu Reo ditancapkan di
samping Mase. Mosalaki lalu meletakkan Nyiru di kayu dengan bagian belakangnya
menghadap ke laut. Kayu Reo untuk penahan nyiru membelakangi laut agar menghalau
penyakit tidak bisa masuk ke wilayah ini .Tempat ini dinamakan Kuwu Si’e, pembuangan
Hampir semua wilayah kabupaten Sikka hingga sebagian wilayah kota Maumere
selalu dijumpai janur yang diikat di tiang dan pagar rumah. Ada juga yang ditanam di
jalan masuk ke perkampungan. Ada yang mengikat janur dengan sepotong kain berwarna
merah dan juga daun damar. Kain merah dan daun damar diyakini sebagai penolak bala,
wabah penyakit Corona. Setelah ritual adat digelar, ada dua pantangan yang harus ditaati
yaitu dilarang menerima tamu dari luar selama dua hari dan dilarang membuat
kegaduhan.
c) Kefamenanu
Upacara adat Tolak Bala yang dilakukan oleh tokoh adat suku Bikomi di
Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), NTT dinamakan Tapoin Maputu Nok Malala
yang mana merupakan salah satu tradisi masyarakat Dawan yang bertujuan untuk
dijauhkan dari sebuah bencana. Tapoin Maputu Nok Malala merupakan bahasa Dawan
yang berarti mengeluarkan bara dan hawa panas yang sedang melanda.
Ritual ini digelar di atas puncak bukit Neonbat, Kelurahan Maubeli Kecamatan
Kota Kefamenanu tersebut, dilakukan sebagai salah satu bentuk dukungan kepada
pemerintah terutama kepada para tenaga medis yang saat ini merupakan garda terdepan
Prosesi ritual ini dilakukan dengan cara menyembelih seekor ayam jantan warna
putih di atas puncak bukit Neonbat. Kemudian, darahnya dipercikan di sekitar batu yang
dijadikan sebagi lokasi ritual diiringi dengan ungkapan dan permintaan kepada leluhur
dalam bahasa Dawan. Intinya meminta kepada leluhur agar membantu menghalau bala
Tempat ritual ini diadakan dipilih dengan alasan puncak bukit Neonbat
merupakan salah satu tanah adat di Kabupaten Timor Tengah Utara yang selalu
digunakan oleh Mone Ha atau empat raja dalam melakukan tradisi ritual adat.
Dengan dilaksanakannya ritual adat ini, diharapkan bencana virus Covid-19 yang
menggelar ritual adat Tolak Bala atau Tolak Penyakit untuk mencegah penyebaran virus
Covid-19. Ritual kali ini digelar di Pantai Lewolein, Desa Dikesare. Ritual ini merupakan
Ritual adat Tolak Bala atau dikenal dengan Lede Lewu dilakukan oleh tuan tanah
(Suku Paliwala Iku, Koto, Koro, Kepite Duli, Kepite Lewu). Ritual ini meminta kepada
leluhur dan Lewotana untuk menjauhkan desa dan masyarakat dari marabahaya dan
penyakit salah satunya mencegah penyebaran Covid-19 tidak menyebar di Desa Dikesare.
Pelaksanaan ritual ini wajib dihadiri oleh seluruh keluarga dan masyarakat yang
ada di Desa Dikesare. Setiap warga yang datang wajib membawa anyaman dari daun
lontar. Warga kemudian membawa anyaman tersebut ke pinggir pantai lalu di kumpulkan
Sebelum dilakukan upacara tersebut salah satu suku dari Kepite Lewu memberi
tanda dengan melakukan pukulan dengan mengunakan sebatang kayu pada dinding-
dinding rumahnya dan meneriakan kata “ Lodo -Lodo ( keluar – keluar )”, setelah itu baru
Kemudian akan dilakukan seremonial pemberian makan untuk leluhur oleh tuan
tanah atau pemangku ulayat dengan membacakan mantra-mantra adat sambil memotong
seekor anak ayam dan dibagikan kepada leluhur disetiap masing-masing suku yang ada di
Desa Dikesare.
Pada malam hari tidak di izinkan untuk menyalakan penerangan dalam bentuk apa
pun dan suasana kampung hening. Seluruh rumah penduduk akan gelap gulita hal ini di
e) Nagekeo
Upacara adat Tolak Bala di Nagekeo dikenal dengan nama Tu Ze, Loka Libha
Noa Corona. Upacara ini digelar di Kecamatan Boawae dan diikuti oleh masyarakat adat
Upacara ini dilaksanakan selama tiga hari dan melibatkan hanya 10 orang
Ritual dilakukan dalam 3 tahapan yaitu hari pertama dilakuakn Ti’I Ka Pati Inu
untuk para leluhur di setiap Pu’u Peo Ate/Ngusa Nabe Tadu Bhada Heli Hele dan di
setiap rumah warga. Hari kedua adalah hari puncak pelaksanaan Tu Ze Loka Libha Noa
Corona. Sementara hari ketiga dilakukan acara adat IE atau pemulihan dan pembersihan
secara adat.
2.4 Upacara Adat Tolak Bala Sebagai Langkah Preventif Pencegahan Covid-19
di masing-masing daerah dengan tujuan yang sama yaitu menghalau penyebaran virus
malapetaka berupa virus Covid-19 yang mana hanya diminta dengan upacara tersebut.
Selain itu, upacara Tolak Bala dilakukan karena melihat kembali kekuatan
daripada upacara sejenis yang pernah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya oleh
leluhur dengan tujuan untuk menolak marabahaya atau malapetaka dan terbukti upacara
Bukti dari keberhasilan upacara tolak bala yakni di Nagekeo di masa lalu pernah
terjadi U Boe atau wabah penyakit yang menyerang sapid an kerbau yang menyebabkan
kematian serempak dan menyebar dengan sangat cepat. Ritual yang sama juga dilakuakn
saat terjadi serangan ulat atau walang sangit pada tanaman masyarakat dan hasilnya
Bukti lainnya juga terjadi di Adonara pada tahun n 2006 dan 2013 untuk mengusir
hama tikus yang merusak tanaman warga dan menghalau cuaca buruk.
Upacara adat Tolak Bala yang dilakukan oleh beberapa daerah di NTT nyatanya
a. Masyarakat diingatkan untuk selalu hidup selaras dengan alam dan mencintai
alam dan lingkungan mengingat asal virus Covid-19 datang dari hewan.
b. Larangan untuk beraktifitas juga semacam karantina mandiri agar masyarakat bisa
c. Pantangan berupa larangan menerima tamu dari luar selama dua hari nyatanya
untuk berdiam diri dalam rumah sehingga sangat mengurangi aktivitas secara
Covid-19.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari keseluruhan isi makalah ini adalah bahwa
perlu adanya keseimbangan antara adat istiadat dan kebijakan pemerintah dalam hal
mengatasi penyebaran virus Covid-19 yang kini telah menjadi pandemik global yaitu
melalui tradisi di masing-masing daerah yang bertujuan untuk menolak bala atau
ini sehingga pemerintah bersama elemen masyarakat dan tua-tua adat menyelenggarakan
preventif terhadap penyebaran virus Covid-19 ini dan secara tidak langsung pantangan-
pantangan yang datang dari upacara adat ini mendukung program kebijakan pemerintah
3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari materi dalam makalah ini adalah:
Perlu adanya upacara adat tolak bala karena sebagai salah satu bentuk
masing daerah.
Perlu adanya perhatian lebih terhadap langkah preventif virus Covid-19
berupa upacara adat sejenis ini sehingga bisa menjadi pertimbangan untuk
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51850113
https://www.matamatapolitik.com/bertentangan-dengan-sains-apa-urgensi-tolak-bala-ntt-
original-news-polling/
https://www.mongabay.co.id/2020/04/03/ritual-tolak-bala-corona-di-sikka-seperti-apa/
https://kumparan.com/florespedia/cegah-corona-masyarakat-desa-dikesare-di-ntt-gelar-
ritual-adat-tolak-bala-1t91e04YS1z/full
https://kupang.tribunnews.com/2020/04/24/di-nagekeo-masyarakat-adat-boawae-gelar-
ritual-adat-tolak-bala-berikut-liputannya
LAMPIRAN
Ritual adat tolak bala Joka Segu Ngawu Re’e mencegah masuknya virus Covid-19 yang digelar
masyarakat adat Tanah Bhera di Desa Korobhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka, NTT
Tuan Tanah atau Laki Pu’u Bernadus Kere sedang memberikan sesajen kepada leluhur di
Mase atau batu ceper dalam ritual adat tolak bala Joka Segu Ngawu Re’e mencegah wabah
Tua adat Desa Dikesare menggelar ritual adat menolak bala untuk mencegah penyebaran