Anda di halaman 1dari 7

ILMU NEGARA

TEORI HUKUM DAN IMPLEMENTASI PEMBENTUKAN HUKUM DI


INDONESIA
Diajukan sebagai syarat untuk memenuhi tugas sebagai pengganti Ujian Final
Mata Kuliah Ilmu Negara, yang diampu oleh:
Dr. La Sensu, SH., M.H.

DISUSUN OLEH

NAMA : MUHAMMAD FACHRUL ROZI HASBUL


NIM : H1A120192
KELAS :D

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021

1
NAMA : MUHAMMAD FACHRUL ROZI HASBUL

NIM : H1A120192

KELAS :D

MK : ILMU NEGARA

PERIHAL : RANGKUMAN MATERI

PERAN SUPREMASI HUKUM DALAM


NEGARA

Bangsa yang beradab adalah bangsa yang menjalani fungsi


hukumnya secara merdeka dan bermartabat. Merdeka dan bermartabat
berarti dalam penegakan hukumnya wajib berpihak pada keadilan,
yaitu keadilan untuk semua. Sebab, apabila penegakan hukum dapat
mengaplikasikan nilai keadilan, tentulah penerapan fungsi hukum
tersebut dilakukan dengan cara berfikir secara filosofis.
Tentang bagaimana seharusnya wajah sistem hukum dalam
suatu negara hukum, ahli hukum terkenal yaitu Lon Fuller dalam
bukunya The Morality of Law, menyebutkan sebagai berikut:
1. Hukum harus dituruti oleh semua orang, termasuk oleh
penguasa negara.
2. Hukum harus dipublikasikan.
3. Hukum harus berlaku ke depan, bukan untuk berlaku surut.
4. Kaidah hukum harus ditulis secara jelas, sehingga dapat
diketahui dan diterapkan secara benar.

2
5. Hukum harus menghindari dari kontradiksi-kontradiksi.
6. Hukum jangan mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin
dipenuhi.
7. Hukum harus bersifat konstan sehingga ada kepastian hukum.
Tetapi hukum harus juga diubah jika situasi politik dan sosial
telah berubah.
8. Tindakan para aparat pemerintah dan penegak hukum haruslah
konsisten dengan hukum yang berlaku.

Sebenarnya jika dikaji secara multidisipliner, maka konsep


supremasi hukum yang tercermin dalam adagium hukum sebagai
panglima menabrak berbagal teori dan ilmu lain. Tabrakan pertama
adalah akibat “ego sektoral” dari masing-masing. Dalam hal ini,
masing-masing beranggapan, dengan berbagai teori pembenarnya,
mereka mengatakan bahwa bidang mereka masing-masinglah yang
paling penting dibandingkan bidang-bidang lainnya. Tentu saja para
ahli hukum menganggap sektor hukum sebagai panglima. Tetapi para
ahli ekonomi juga mengaggap sektor ekonomi yang menjadi
panglima, karena kemajuan suatu bangsa secara riil diukur seberapa
besar income negara ataupun income per kapita dari rakyat dalam
negara yang bersangkutan. Seperti juga ahli ilmu politik yang
menganggap bahwa dalam suatu negara, sektor politiklah yang
menjadi panglimanya, karena politik berarti kekuasaan, yang
diperoleh dan rakyat banyak melalui pemilihan-pemilihan umum,
sehingga layak untuk dimenangkan.

3
Kalau begitu, siapa yang sebenarnya yang harus menjadi
panglima, apakah sektor hukum, politik, ekonomi, atau sektor-sektor
lainnya. Jawabannya tentu berdasarkan kepada basis negara yang
bersangkutan. Bagi suatu negara hukum, tentu sektor hukum harus
menjadi panglima, sehingga dalam negara yang bersangkutan tidak
terjadi pelanggaran hukum, pelanggaran hak asasi manusia, korupsi,
atau kesewenang-wenangan dari penguasa. Bagi suatu negara yang
sangat berorientasi kepada politik dan kekuasaan, tentu sektor
politiklah yang menjadi panglima, sehingga politik dan pemerintahan
akan menjadi kuat dan stabil. Sedangkan bagi negara yang berorien-
tasi Sebuah Konstruksi Ideal Negara Hukum tasi kepada ekonomi,
maka sektor ekonomilah yang menjadi panglima, sehingga negara
akan berkembang perekonomiannya, rakyatnya menjadi makmur
dengan income yang tinggi. Seorang sosiolog Talcott Parson telah
mencoba menoropong keadaan saling tarik menarik dari berbagai
sektor tersebut secara sosiologi, dengan melakukan pendekatan yang
fungsional dan struktural, melalui teorinya yang disebut dengan teori
“sibernetika”. Teori sibernetika ini mengajarkan bahwa dalam suatu
sistem masyarakat terdapat berbagai sub sistemnya, yaitu:

1. Sub sistem ekonomi.


2. Sub sistem politik.
3. Sub sistem sosial.
4. Sub sistem budaya.

Keempat subsistem tersebut memunyai pola dalam


memengaruhi orientasi sebuah negara dalam membangun. Hal ini bisa

4
saja terjadi asalkan arah dari pada negara konsisten dengan apa yang
dilakukan oleh penguasanya. Masing-masing sub sistem tersebut
memiliki energi dan saling tarik menarik satu sama lain. Tetapi di
antara masing-masing sub sistem tersebut tidak memiliki kekuatan
tarikan yang sama, satu sama lain saling memengaruhi, bahkan saling
berbenturan. Benturan-benturan antarkekuatan dari masing-masing
sub sistem tersebut menimbulkan energi, dimana muatan energi yang
paling kuat ada pada sub sistem ekonomi, sehingga sub sistem
ekonomi ini yang menarik dan memengaruhi paling kuat terhadap sub
sistem lainnya. Berturutturut kekuatannya cenderung melemah setelah
sub sistem ekonomi adalah sub sistem politik, sub sistem sosial dan
sub sistem budaya. Menurut Parsons, sektor hukum berada dalam sub
sistem budaya, sehingga daya energinya sangat lemah dan karenanya
daya tariknya kecil sekali. Sektor hukum dalam sub sistem budaya
memunyai fungsi utama untuk melakukan integrasi diantara proses-
proses yang berlangsung dalam masyarakat sehingga tercapai suatu
ketertiban. Karena kedudukan sektor hukum dalam sub sistem budaya,
sehingga daya tarik menariknya menjadi sangat lemah, maka menurut
teori sibernetika ini mustahil sektor hukum dapat menjadi panglima.

Teori sibernetika dari Talcolt Parsons tersebut benar jika dilihat


dan segi ilmu kemasyarakatan melalui pendekatan struktural dan
fungsionalnya. Sebagian lain dalam ilmu sosiologi, teori Parsons
tersebut hanya merupakan pendeskripsian fakta-fakta saja. Artinya
hanya mengungkapkan apa adanya (das sein), bukan apa yang
seharusnya (das sollen). Tetapi pendekatan yang sebenarnya yang
harus dilakukan adalah suatu pendekatan dan berbagai segi dan

5
berbagai sektor ilmu pengetahuan, sehingga dapat menghasilkan
output yang valid dan multidimensi. Karena, dalam kenyatannya,
sebenarnya semua sektor tersebut menjadi penting dan harus berfungsi
dengan baik karena satu sama lain saling berkorelasi positif dan saling
dorong mendorong ke arah kemajuan suatu bangsa, sehingga semua
sektor seyogyanya harus menjadi panglima. Inisialnya, korelasi positif
antara sektor ekonomi dengan sektor hukum, yang dalam hal ini
bagaimana suatu perekonomian suatu negara bisa maju jika hukum
tidak ditegakkan sehingga yang terjadi justru tindakan korupsi dan
sewenang-wenang dari para penyelenggara negara. Sebaliknya,
bagaimana suatu hukum bisa ditegakkan jika sektor ekonomi tidak
dikembangkan, yang berakibat masyarakatnya menjadi miskin, tanpa
penghasilan yang layak, dan banyak pengangguran, sehingga banyak
kejahatan, dan juga tentunya akan banyak korupsi dan para
penyelenggara negara, sebagai akibat dan tidak cukupnya penghasilan
masyarakat bahkan tidak cukup untuk sekedar bertahan hidup
sekalipun).

Berangkat dan berdasarkan asumsi di atas, maka dapat


diketahui, betapa penting supremasi hukum yang dalam hal ini
berhubungan dengan masalah pengaturan tentang jalan masuk ke
dalam penguasaan dan penataan sumber-sumber daya dalam
masyarakat. Apabila di sini dikatakan, bahwa hukum mengatur jalan
masuk yang demikian itu, hal ini tidak lain berarti hukum melakukan
pembagian sumbersumber daya itu. Apabila hukum melakukan
pembagian yang demikian itu maka apakah yang menjadi ukurannya?

6
Beberapa hal yang dipersoalkan dalam pembagian sedemikian itu
adalah:

1. Kepada siapakah sumber-sumber daya itu diberikan/ dibagikan?


2. Seberapa besarkah bagian yang diberikan kepada masing-
masing penerima?
3. Apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh
bagian itu?)

Kesimpulan :

Dari beebrapa penjelasa di atas, maka sudah semestinya hukum harus


mampu memainkan peran yang sesungguh-sungguhnya sebagai upaya
mewujudkan ketertiban dan keadilan bagi masyarakat. Jika dalam
supremasi hukum dijalankan maka sudah pasti negara tidak dapat
dipandang sebelah mata dalam mewujudkan sebuah sistem
kenegaraan yang ideal.

Anda mungkin juga menyukai