Anda di halaman 1dari 6

4.

*Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 002*

Serial Karya Kho Ping hoo

“Pergi begitu saja? Pergi kemana dan kenapa?”

Nurseta menggeleng kepalanya. “Saya tidak tahu eyang. Mereka tidak meninggalkan pesan dan
pakaian merekapun tidak ada. Sampai sekarang mereka tidak pernah pulang dan tidak pernah
memberi kabar.”

“Hemm, lalu engkau yang dulu berusia sepuluh tahun hidup seorang diri? Apakah engkau tidak
memiliki sanak keluarga?”

“Tidak eyang, ayah dan ibu merupakan pendatang baru dan orang asing di Karang Tirta. Saya hidup
seorang diri. Ki Lurah Suramenggala mengurus semua peninggalan orang tuaku. Tidak banyak hanya
pondok kecil dan sedikit ladang. Ki Lurah membelinya sendiri dan memberikan uangnya sedikit demi
sedikit kepada saya. Saya diperbolehkan tinggal membantu pengembala mengurus hewan
ternaknya. Kurang lebih tiga tahun kemudian, uang hasil penjualan rumah dan ladang itu kata Ki
Lurah sudah habis untuk biaya hidup saya. Mulailah dalam usia tiga belas tahun saya hidup sebagai
buruh tani. Sampai sekarang, selalu berpindah-pindah ke rumah pemilik sawah yang saya bantu.”

Empu Dewamurti mengangguk-angguk. Anak ini memiliki latar belakang yang penuh rahasia. Entah
darimana datangnya orang tuanya dan rahasia apa yang tersembunyi di balik kehilangan mereka
yang aneh.

“Jadi kalau begitu engkau hidup sebatang kara, tiada sanak keluarga dan tiada rumah atau tempat
tinggal sama sekali”.

“Benar eyang, akan tetapi mulai sekarang saya tidak sebatang kara lagi. Saya hidup bersama eyang
guru, saya mempunyai eyang dan saya dapat melayani eyang!” kata Nurseta dan dalam suaranya
terkandung kegembiraan.

“Baik Nurseta, engkau akan hidup bersamaku sampai engkau dapat menguasai ilmu-ilmu yang akan
kuajarkan kepadamu. Kulihat engkau masih membawa arit di ikat pinggangmu. Nah, sekarang carilah
sebatang kayu batang pohon nangka untuk membuat sarung untuk Keris Pusaka Megatantra itu.”

“Baik eyang.”
Nurseta lalu mencari kayu untuk membuat warangka (sarung keris). Setelah mendapat kayu yang
cukup baik dia kembali dan duduk di atas batu di depan gurunya, lalu mulai membentuk sebuah
sarung keris. Sambil membuat sarung keris, Nurseta bertanya kepada gurunya.

“Eyang, mengapa dua orang penculik itu begitu ngotot untuk merebut keris megatantra ini?”

“Keris pusaka ini adalah sebuah keris yang ampuh dan bertuah, Seta. Engkau telah membuktikannya
sendiri. Ketika engkau menggugah dua orang bocah yang terculik itu, karena engkau memegang keris
ini, maka engkau membebaskan mereka dari pengaruh sihir. Mereka ingin memiliki keris pusaka ini
yang akam membuat mereka menjadi semakin kuat dan sakti.

“Dan kalau boleh saya bertanya, eyang. Mengapa pula eyang mempertahankan keris ini mati-
matian?”

Empu Dewamurti tersenyum lebar. "memang aku melawan mereka, akan tetapi bukan semata-mata
untuk mempertahankan keris, melainkan terutama sekali agar mereka membebaskan dua bocah
yang mereka culik itu."

"Eyang, apakah gunanya sebatang keris diperebutkan sampai mengadu nyawa? Saya masih ingat
akan satu diantara nasehat ayah dahulu. Ketika saya membaca sebuah kitab Weda, ayah
menerangkan bahwa setiap alat apapun juga tidak mempunyai sifat baik maupun buruk. Kata ayah,
baik dan buruknya suatu alat tergantung sepenuhnya kepada cara kita yang mempegunakan alat itu.
Contohnya arit ini, eyang. Kalau dipergunakan untuk bekerja, menyabit rumput, menebang pohon,
termasuk membuat warangka keris ini, maka ini menjadi alat yang baik. Sebaliknya kalau dipakai
untuk membacok, melukai atau membunuh orang, maka jelas arit ini menjadi alat yang tidak baik.
Lalu untuk apa keris diperebutkan mati-matian?"

"Bagus kalau engkau masih ingat akan wejangan ayahmu itu, Nurseta. Ayahmu benar. Memang baik
atau buruk itu tidak ada, baik atau buruk baru muncul setelah ada pandangan dan perbuatan. Agar
mudah kau ingat, segala yang sifatnya membangun, menjaga keindahan, mendatangkan manfaat
bagi orang-orang lain adalah baik dan segala sesuatu yang sifatnya merusak, menyebabkan
keburukan, mendatangkan manfaat hanya kepada diri sendiri, adalah buruk dan jahat. Mengapa aku
mencegah keris ini jatuh ke tangan mereka?, karena aku mengenal siapa mereka dan aku yakin
bahwa kalau keris ini jatuh ke tangan mereka, maka keris ini akan menjadi alat yang jahat dan
mendatangkan malapetaka kepada orang banyak."

"Siapakah sebenarnya orang sakti itu eyang?"


"Yang laki-laki adalah Resi Bajrasakti, dia itu seorang penasehat kerajaan Wengker. Karena kerajaan
itu memusuhi Sang Prabu Erlangga, maka tentu kedatangannya di wilayah Kahuripan ini hanya akan
melakukan perbuatan yang mendatangkan kekacauan. Mungkin dia melakukan penyelidikan di
wilayah Kahuripan ini. Adapun yang perempuan itu bernama Nyi Dewi Durgakumala. Ia seorang
tokoh kerajaan Wurawari yang juga memusuhi Sang Prabu Erlangga. Tentu kedatangannya juga tidak
bermaksud baik, tiada bedanya dengan Rsi Bajrasakti. Mereka berdua itu sakti mandraguna, selain
dahsyat ilmu silatnya, juga mereka itu ahli-ahli sihir dan segala macam ilmu hitam. Lihat saja Nyi
Dewi Durgakumala itu. Usianya seingatku sudah mendekati lima puluh tahun, akan tetapi ia masih
nampak muda belia dan cantik. Ah orang-orang sesat itu hanya mementingkan keindahan dan
kesenangan jasmani saja, sama sekali melupakan keadaan rohani."

"Akan tetapi apa perlunya mereka itu menculik linggajaya dan Puspadewi, eyang?"

Kakek itu menarik nafas panjang. "Hal itu ada hubungannya dengan syarat ilmu sesat mereka. Ilmu
sesat itu selalu ada hubungannya dengan nafsu. Nafsu apa saja. Akan tetapi dalam hal mereka
berdua, yang menjadi syarat adalah pemuasan nafsu daya rendah birahi. Resi Bajrasakti suka
menculik dan memperkosa perawan-perawan cantik demi memperkuat ilmu sesatnya, Nyi Dewi
Durgakumala sebaliknya menculik para perjaka yang tampan."

"Aduh, kasihan sekali kalau begitu Lingggajaya dan Puspa dewi" seru Nurseta.

Empu Dewamurti menghela nafas panjang."Kita sudah berusaha menolong mereka, akan tetapi
gagal. Segala upaya itu dapat berhasil atau gagal sesuai dengan kehendak Sang Hyang Widhi. Yang
penting, upaya kita itu berlandaskan kebenaran. Berhasil atau gagal berada dalam kekuasaan Sang
Hyang Widhi. Kita semua masing-masing terikat oleh karmanya sendiri-sendiri. Tidak ada yang perlu
disesalkan!"

Setelah Nurseta selesai membuat warangka keris, Empu Dewamurti lalu memasukkan keris pusaka
itu kedalam sarung keris yang sederhana itu lalu menyuruh Nurseta menyelipkan keris dan
warangkanya itu di pinggangnya. Kemudian dia mengajak muridnya melanjutkan perjalanan.

"Kita akan tinggal di sebuah guha diantara puncak-puncak pegunungan Arjuna." Kata kakek itu. Dan
pergilah mereka ke gunung Arjuna yang terkenal wingit (angker/menakutkan) itu.

Kemanakah perginya Linggajaya dan Puspa Dewi? Mereka sudah dapat melarikan diri, kenapa tidak
tiba di rumah masing-masing di dusun Karang Tirta dan ketika dicari oleh para penduduk dusun itu
tidak dapat ditemukan?
Tidak salah apa yang dikatakan Empu Dewamutri kepada Nurseta tadi bahwa segala sesuatu yang
terjadi dalam kehidupan seorang manusia sudah diatur dan ditentukan oleh kekuasaan Sang Hyang
Widhi sesuai dengan karma masing-masing. Manusia memang wajib berusaha, wajib berdaya upaya
sekuat tenaga, namun semua itu tidak akan mengubah apa yang telah ditentukan oleh Sang Hyang
Widhi. Adapun baik buruknya karma itu tergantung sepenuhnya kepada keadaan hati dan perbuatan
manusia itu sendiri. Sang Hyang Widhi Maha Adil, manusia bijak pasti menerima kebaikan dan
manusia jahat pasti menerima keburukan. Siapa menanam benihnya, dia akan memetik buahnya.

Ketika Linggajaya dan Puspa Dewi melariak diri di malam bulan purnama itu, memang mereka
bermaksud untuk pulang ke Karang Tirta. Akan tetapi, sebelum tiba di dusun yang sudah dekat itu,
mereka mendengar teriakan lembut namun jelas terdengar oleh telinga mereka.

"Bocah bagus, kemana engkau hendak lari?" Jelas itu adalah suara Nyi Dewi durgakumala. Suara itu
memang tidak nyaring karena wanita itu takut kalau-kalau terdengar oleh Empu Dewamurti, akan
tetapi suara itu didorong oleh tenaga sakti dan melengking ke arah depan sehingga terdengar oleh
Linggajaya dan Puspa Dewi.

"Cah Ayu manis, denok moblong-moblong, berhentilah!" terdengar pula suara Resi Bajrasakti.

Mendengar dua suara ini, tentu saja dua orang itu menjadi takut dan panik. Tadinya memang
mereka lari berbareng, akan tetapi ketika mendengar suara itu, saking bingungnya mereka
berpencar. Linggajaya berlari ke arah kanan meninggalkan Puspa Dewi dan bocah perempuan itu
dengan ketakutan berlari ke kiri.

Sementara itu Resi Bajrasakti dan Nyi Dewi Durgakumala yang kecewa sekali karena tidak berhasil
merampas keris Megatantra dan dikalahkan oleh Empu dewamurti kini mencurahkan perhatian
mereka kepada dua orang anak yang mereka culik dan kini entah bagaimana telah melarikan diri.

Mereka melakukan pengejaran, akan tetapi mereka mengejar dengan hati gentar pula kalau-kalau
Empu Dewamurti juga mengejar mereka. Dalam kegugupan mereka itu, kini merekapun berpencar
dan melakukan pengejaran. Dan terjadilah hal yang sama sekali diluar kehendak dan perhitungan
dua orang datuk itu. Resi Bajrasakti lari mengejar ke kanan dan Nyi Dewi Durgakumala lari mengejar
ke kiri. Dengan sendirinya Resi Bajrasakti dapat menyusul Linggajaya dan sebaliknya Nyi Dewi
Durgakumala dapat menyusul Puspa Dewi.

Dalam keremangan malam karena bulan purnama sudah condong ke barat dan tertutup awan tipis,
Resi Bajrasakti hanya melihat bayangan Linggajaya yang berlari di depannya. Dia mengira bahwa itu
adalah Puspa Dewi. Setelah dia menyambar tubuh anak itu, dibuatnya tidak mampu bergerak dan
bersuara lalu dipanggulnya, barulah dia menyadari bahwa telah salah tangkap. Akan tetapi sudah
kepalang, dia tidak peduli dan mempercepat larinya meninggalkan tempat itu karena merasa takut
terhadap Empu Dewamurti, apalagi setelah kini ia berpisah dengan Nyi Dewi Durgakumala.

Resi Bajrasakti berlari mempergunakan ilmu lari cepat, melarikan diri seperti terbang saja sambil
memanggul tubuh Linggajaya. Pemuda remaja berusia lima belas tahun ini kembali merasa tidak
berdaya, tidak mampu menggerakkan tubuh dan tidak mampu mengeluarkan suara. Akan tetapi
diapun tahu bahwa kini yang melarikan bukanlah wanita cantik tadi, melainkan kakek tinggi besar
yang menyeramkan. Diam-diam dia merasa menyesal. Bagaimanapun juga dia lebih senang kalau
diculik wanita cantik itu. Baru baunya saja, ketika dia dipanggul wanita itu, harum semerbak. Tidak
seperti kakek ini yang baunya apek!.

Linggajaya adalah putera Ki Lurah Suramenggala yang dimanja. Ibunya adalah istri ketiga lurah itu.
Wajahnya tampan, kulitnya halus seperti ibunya, akan tetapi wataknya bengis dan angkuh seperti
ayahnya. Setelah lari sepanjang malam dengan cepat sekali menuju ke arah barat, pada keesokan
harinya setelah matahari mulai terbit, Resi Bajrasakti tiba di sebuah hutan dan dia berhenti, lalu
menurunkan tubuh Linggajaya ke atas tanah. Dilemparkannya begitu saja sehingga tubuh pemuda
remaja itu terjatuh dan rebah terlentang di atas tanah.

Linggajaya yang rebah di atas tanah itu tetap tak mampu bergerak atau bersuara. Akan tetapi dia
memandang kepada kakek itu dengan mata melotot penuh kemarahan. Melihat ini Resi Bajrasakti
menjadi heran dan mengerutkan alisnya. Betapa berani dan tabahnya bocah ini, pikirnya penasaran
akan tetapi juga kagum. Dia sama sekali tidak tahu bahwa kemarahan pemuda remaja yang
diperlihatkan dari pandang matanya itu sama sekali bukan karena Linggajaya seorang yang tabah
dan pemberani. Kemarahannya itu terbawa oleh wataknya yang angkuh dan sombong. Biasanya
orang sedusun bersikap hormat dan mengalah kepadanya, takut akan kedudukan ayahnya sebagai
kepala dusun. Sekarang melihat ada orang berani bersikap sewenang-wenang kepadanya, tidak
takut sama sekali, dia menjadi marah!

"Heh-heh, bocah keparat! Berani engkau melotot kepadaku?. Huh, untuk apa anak iblis seperti
engkau ini bagiku? Tunggu, aku akan menyiksamu sampai mati, engkau akan mati perlahan-lahan
dan aku ingin dulu mendengar engkau bernyanyi-nyanyi kesakitan dalam sekarat!".

Setelah berkata demikian, Resi Bajrasakti lalu mengebutkan tangannya tiga kali ke arah muka, perut
dan kaki pemuda itu dan seketika Linggajaya dapat bergerak dan bersuara kembali. Begitu dapat
hergerak dan mengeluarkan suara, Linggajaya yang merasa tersinggung kehormatannya dan sudah
marah sekali itu lalu melompat dan bangkit berdiri. Dia bertolak pinggang dengan tangan kanannya,
lalu telunjuk kirinya menunjuk ke arah muka datuk itu dan dia memaki.

"Jahanam tua bangka kurang ajar! Apa engkau sudah bosan hidup? Engkau tidak tahu siapa aku!"
Resi Bajrasakti terbelalak, heran dan kagum. Sikap pemuda remaja itu dianggapnya luar biasa berani
dan kurang ajarnya, satu diantara sikap-sikap yang disukai dan dikagumi.

"Ha-ha-ha, memangnya engkau siapa?" tanyanya.

“Aku adalah putera tunggal Ki Suramenggala yang menjadi orang nomor satu di Karang Tirta, paling
kaya, paling kuat dan paling berkuasa! Engkau mencari mati kalau berani mengganggu aku!"

Mendengar kesombongan ini, Resi Bajrasakti menjadi semakin kagum dan dia mulai tertawa
bergelak. Watak anak ini cocok sekali dengan wataknya sendiri!

"Ha-ha-ha-ha! Kalau aku tidak takut mati dan sekarang aku mengganggumu, engkau mau apa cah
bagus?"

Bersambung seri 5

Anda mungkin juga menyukai